BAB VII
sebesar selisih antara besarnya rencana pengeluaran dan rencana penerimaan yang
diajukan oleh daerah kepada pusat. Dalam prakteknya, sistem ini tidak berjalan seratus
persen, karena pada kenyatannya sampai dengan tahuri 1956 pemerintah memberikan
tunjangan tergantung kepada kebijakan sendiri yang dikendalikan oleh Kementerian
Dalam Negeri, sehingga sistem tersebut oIeh sebagian pihak Iebih tepat untuk disebut
“limit post”. Keadaan ini menyulitkan daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan
APBDnya karena daerah tidak mengetahui dan tidak dapat memastikan lebih dahulu
berapa besarnya subsidi yang akan diberikan.
Hal ini terus berlangsung sampai dcngan Konferensi Walikota di jakarta pada
tahun 1954 yang mendesak Kementerian Dalam Negeri untuk menetapkan subsidi
sebelum tahun dinas dimulai. Kementrian Dalam Negeri menerima keputusan tersebut.
Langkah- Iangkah perbaikan untuk memperbaiki sistem pemerintahan daerah dan
sistem keuangannya mulai dipikirkan terutama setelah berlakunya UUDS 1950. Tahun
1952 dibentuk Panitia Natsir yang dikatuai 0Ieh Mr. Muh. Natsir yang tugasnya
mempelajari dan merancang peraturan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Panitia
ini dibentuk dengan Keputusan Menteri Daiam Negeri Nomor Dec. 8/8/5 tanggal 24
April 1952.
Panitia ini pada tahun 1953 telah berhasil menyusun 3 buah rancangan undang-
undang, yaitu Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah,
rancangan Undang-undangtentang Peraturan Umum Pajak Dacrah dan Rancangan
Undang-undang tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah. Di samping itu panitia juga
berhasil menyelesaikan 7 buah Rancangan Peraturan Pemerintah yang merupakan
pelaksanaan dari RUU Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Rancangan UU tersebut
kemudian disampaikan ke Parlenian dan baru mendekati akhir 1956 dibicarakan dan
dengan perubahan-perubahan kecil akhirnya ditetapkan sebagai UU N0m0r 32 Tahun
1956 (Lambaran Negara N0m0r 77 Tahun 1956, Tambahan Lembaran Negara Nomor
1442). UU ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1957.
Hampir bersamaan dengan itu pada tanggal 18 lanuari 1957 diundangkan pula
Undang-undang No 1 Tahun 1957 tentang pokok Pemerintahan Daerah yang
didalamnya diatur pula j secara garis besar bab tentang Keuangan daerah. Usaha-usaha
untuk mengganti UU Nomor 32 Tahun 1956 tolah beberapa kali dilakukan. Setidaknya
ada 3 buah naskah Rancangan Undang-undang yang berhasil disusun, yaitu RUU
Perimbangan ” Keuangan Tahun 1963, RUU Perimbangan Keuangan Tahun 1965, dan
RUU Hubungan Keuangan Tahun 1968.
Mulai Pelita III dana Inpres ini mencakup bantuan pembangunan bagi
pemerintah provinsi, kabupaten dan desa serta bantuan untu pembangunan gedung
sekolah, pusat kesehatan masyarakat, reboisasi pgmbgngunan pembangunan jalan dan
pasar.
Menurut Nick Dévas (1988: 180), hubungan keuangan pusat dan daerah di
Indonesia memiliki peranan yang menekankan peranan pemerintah daerah sebagai
ungkapan dari kemauan dan identitas masyarakat setempat. Tujuan pemerintah daerah
pada dasar bersifat politik dalam arti- pemerintah daerah merupakan wadah penduduk
setempat untuk mengemukakan keinginan mereka menyelenggarakan urusan setempat
sesuai dengan kebutuhan (keinginan) dan prioritas mereka.
Sumber pendapatan asli daerah yang utama adalah pajak dan retribusi, kedua
sumber ini sangat tergantung pada pusat, sesuai dengan pembawanya, urusan keuangan
dimanapun senantiasa dikategorikan sebagai urusan yang diatur dan diurus oleh pusat.
Daerah hanya boleh mengatur dan mengurus sepanjang pusat ada pengesahan dan yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Karena bersifat statu teori maka pada
dasarnya ketergantungan daerah pada pusat dibidang keuangan akan selalu tergantung
dari apakah sumber PAD tersebut cukup tau tidak cukup membelanjai diri sendiri.
Walaupun kemandirian itu ada, bukanlah kemandirian penuh, kemandirian hanya
terbatas pada kebebasan ditentukan sendiri. Penentuan dan cara menggunakan PAD
tersebut, kinipun akan Iebih dibatasi oleh mekanisme pengesahan presentif (pengesahan
APBD). Tingkat ketargantungan akan Iebih besar, apabila :
2) Cara membiayai proyek dan Iayanan-Iayanan yang sangat kacau. Satu unit Iayanan
seperti gedung pusat kesehatan mendapat dana dari tiga atau Iebih tingkat
pemerintah dan bahkan dari tiga atau Iebih departemen. Konsekuensinya adalah
terdapat kesulitan dalam mengontrol baberapa besar sebenarnya dana kebutuhan dan
bagaimana pertanggungjawabannya yang diberikan jika diperhadapkan pada
berbagai pihak.
3) Karena adanya sumbangan daerah otonom (SDO), maka ada kecenderungan pihak
pemerintah daerah menerima pegawai banyak mungkin tanpa memperhitungkan
kabutuhan atau biaya. Masalah keuangan negara dan daerah adalah masalah
organisasi keuangan suatu negara, sebagai negara yang mencirikan asas negara
kesatuan, daerah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari nagara kesatuan RI.
Dengan berpegang pada asas negara kesatuan tersebut, maka antara keuangan
negara dan daerah terdapat hubungan yang erat sekali. Dimana bukan saja bersifat
hubungan keuangan antara tingkat pemerintah akan tetapi mencakup pula faktor—
faktor strategis pembangunan dan pengawasan terhadap daerah
Menurut Gertz (Kompas, 23 April 1984, hal. 1) bahwa sifat kepulauan dari sudut
geografis, keanekaragaman peradaban dan kebudayaan, akan memperkaya Indonesia
apabila negara ini menerima dan memanfaatkan perbedaan yang ada dan akan
menghancurkan apabila negara mengabaikan dan memberanguskannya.
Hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah, atau dalam arti yang sempit
sering disebut sebagai perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan salah satu
bentuk dan sekian bentuk hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Hubungan ini
timbul karena adanya pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan 0leh badan badan yang
disusun secara bertingkat. Pendekatan terhadap hubungan ini dapat terjadi interdisiplin
misalnya ketatanegaraan, administrasi negara, politik, hukum, ekonomi dan ilmu
Iainnya. Karena masalah perimbangan keuangan nini menjadi tuntutan reformasi maka
pemerintah telah menetapkan Undang—undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pengalaman selama ini
menunjukkan bahwa PAD relatif kecil sehingga APBD pada umumnya didominasi oIeh
sumbangan pemerintah pusat dan sumbangan lainnya yang diatur dengan perundang-
undangan.
Rendahnya PAD bukan berarti bahwa daerah tersebut miskin atau tidak memiliki
sumber-sumber keuangan yang potensial, tetapi Iebih banyak disebabkan oleh kebijakan
pemerintah pusat. Selama ini sumber keuangan yang potensial dikuasai cleh pemerintah
pusat.
Aturan keuangan pusat dan daerah, pada satu sisi mendukung pelaksanaan
pembangunan nasional, disisi lain untuk memfasilitasi proses pembangunan daerah
yang dijalankan dibawah skema otonomi daerah.
Ada tiga fungsi yang diemban oleh pemerintah yakni fungsi alokasi, meliputi
antara lain sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa, serta pelayanan
masyarakat. Fungsi distribusi, meliputi pendapatan dan kekayaan masyarakat,
pemerataan pembangunan. Fungsi stabilitas, pertahanan keamanan, ekonomi dan
moneter. Ketiga fungsi ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah. Dengan demikian ketiganya menjadi landasan penting dalam penentuan dasar-
dasar perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Kewenangan daerah untuk memungut Pajak dan Retribusi Daerah diatur dengan
UU No. 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 18 Tahun 1997
dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanannya yaitu PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak
Daerah dan PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Besarnya jumlah dana perimbangan ini ditetapkan setiap
tahun anggaran dalam APBN. Dana perimbangan terdiri dari :
a. Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan atas
Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari Sumber Daya Alam;
b. Dana Albkasi Umum (DAU)
c. Dana Alokasi Khussu (DAK)
Bagi hasil pajak meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Berdasarkan UU Perpajakan Tahun 2000,
mulai tahun 2001 daerah memperoleh bagi hasil Pajak Penghasilan (PPh), yakni PPh
karyawan (psl. 21) sefta PPh psl 25/29 orang pribadi. Hal ini dimaksudkan sebagai
kompensasai dan penyelaras bagi dacrah-daerah yang tidak memiiiki sumber daya alam
tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara. Bagi Hasil Sumber
Daya Alam terdiri dari sektor skehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas
alam dan pcrikanan.
e. Objek pajak sektor pedesaan yaifu 70 %bagian Ditjen Pajak dan 30 % bagian
daerah. Penggunaan dan tata eara penyaluran Biaya Pemungutan PBB
bagiandaerah diatur masing-masing daerah.
4.1 Bagian Daerah Dari Hasil Penerimaan Sumber Daya Alam Dan Sektor
Kehutanan
Penerimaan dari sumber ini terdiri dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan
(IHPH) dan Provinsi dari sumber daya hutan. Bagian daerah dari sumber ini
ditetapkan sebagai berikut:
1. 80 % dari penerimaan IHPH dibagi dengén rineian;
a. 16 % bagian propinsi
b. 64 % bagian kabupaten/kota penghasil
2. 80 % dari penerimaan Provinsi SDA dengan rineian;
a. 16 % bagian propinsi
b. 64 % bagian kabupaten/kota penghasil `
b. 64 % bagian kabupaten/kota
Bagian Daerah Dari SDA Sektor Pertambangan Minyak Dan Gas Alam
Dalam kaitan hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah, yang dalam arti
sempit searing disebut sebagai perimbangan keuanganpusat dan daerah. Dana
perimbangan keuangan merupakan bentukbagi hasil penerimaan negara yang berasal
dari Pajak Bumi dan Ban-gunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB),PPh orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21, serta penerimaan sumber
daya alam, yang selanjutnya dialokasikan kepada daerah-daz-1- rah untuk membiayai
Oleh karena itu perlu adanya perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah yang mengarah pada kesebandingan antara sumber-sumber penerimaan
daarah dengan banyaknya dan Iuasnya kagiatan yang dilaksanakanpemerintah daerah.
Pcrimbangan keuangan untuk mandukung pelaksanaan otonomi daerah yang efektif
dilaksanakan tanggal 1 januari 2001,ternyata berjalan tidak seperti yang diharapkan.
Terjadinya defisit anggaran berbagai dacrah memberikan gambaran, bahwa
perimbangan keuangan antara pemcrintah pusat dan daerah tidak memberikan jaminan
untuk terpenuhi seluruh kebutuhan pembiayaan pelaksanaan kegiatan _pemerintah di
daerah. Di sisi lain terdapat pula beberapa daerah yang .mengalami surplus anggaran.
Dana perimbangan terdiri dari:
a) Dana Bagi Hasil
b) Dana Alokasi Umum
c) Dana Alokasi Khusus
Dana bagi hasil adalah bagian dari dana penerimaan Pajak Bumidan Bangunan
(PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), penerimaan dari
sumber daya alam yang tcrmasuk juga luran Hasil Hutan (IHH) dan Pcmberian Hak dan
Tanah.Dengan demikian sejalan dengan tujuan pokok dana perimbangan dapat Iebih
memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah; menciptakan
sistem pembiayaan daerah yang adil, propersional, rasional, transparan, partisipatif,
bertanggung jawab (akuntabel), sera membcrikan kepastian sumber keuangan daerah
dari wilayah daerah yang bersangkutan. Perimbangan keuangan tidak hanya antara
pemerintah pusat dan daerah tetapi juga antara pemerintah daerah tingkat I (pemerintah
propinsi) dan pemerintah daerah tingkat II (Kabupaten/Kota)
Bagian daerah dari penerimaan negara iuran Hak Pengusaha Hutan dibagi dengan
perincian:
1. 16 % untuk daerah Propinsi yang bersangkutan
2. 64 % untuk daerah Kabupaten/Kota penghasil
Bagian daerah dari penerimaan negara provisi (iuran) Sumber Daya Hutan dibagi
dengan perincian:
a. 16 °/0 untuk dacrah Propinsi yang bersangkutan
b. 32 % untuk daerah Kabupaten/Kota penghasil
c. 32 % untuk daerah Kabupaten/Kota Iainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Bagian daerah dari penerimaan negara Iuran Tetap (land- rent) dibagi
dengan perincian:
a. 16 % untuk daorah Propinsi yang bersangkutan.
b. 64 % untuk daerah Kabupaten/Kota penghasil.
c. Sektor Perikanan
Pcnerimaan negara dari sumber daya alam sektor perikanan terdiri dari:
1. Penerimaan pungutan pengusahaan perikanan
2. Pcnerimaan pungutan hasil perikanan Bagian daerah dari penerimaan negara
sektor perikanan dibagikan dengan porsi yang sama besar kepada
Kabupaten/Kotadi seluruh Indonesia.
Komponen potensial seperti kakao, kelapa sawit dan turunannya, karet dan hasil
Iainnya. Kontribusi selain pertanian ini cukup besar bagi penerimaan negara dan
merupakan penerimaan yang potensial bagi daerah jika dimasukkan sebagai bagian
dari dana perimbangan.
pada akhirnya akan ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat daerah penghasil.
Daerah yang bukan penghasil tidak memiliki pcran apapun secara langsung terhadap
kegiatan sektor perikanan ini, dan bahkan tidak menanggung dampak negatif yang
ditimbulkannya. jadi kurang tepat bila daerah bukan penghasil juga menerima bagian
dengan porsi yang sama dengan daerah penghasil. Berdasarkan pemikiran dan alasan
tersebut, seharusnya hasil penerimaan tersebut tidak dibagikan dengan pola pembagian
dangan porsi yang sama ke seluruh Kabupatan dan Kota, akan tatapi pamerintah daerah
penghasil agar diberikan bagian yang lebih besar. Bagian daerah penghasil sebaiknya
pcmbagiannya mengacu pada pola pembagian seperti sektor sumber daya alam lainnya,
yang dibagikan kepada daerah penghasil, propinsi bersangkutan dan daerah Iainnya
dalam propinsi yang bersangkutan.