Anda di halaman 1dari 5

Disfungsi sawar kulit

Pada penderita dermatitis atopik terjadi defek permeabilitas sawar kulit dan

terjadi peningkatan trans-epidermal water loss sebesar 2-5 kali. Derajat defek

tersebut sesuai dengan perjalanan penyakit (akut, subakut, kronik) dan derajat

inflamasi di kulit. Adanya defek tersebut mengakibatkan kulit menjadi kering

dan lebih rentan terhadap bahan iritan, karena penetrasi antigen atau hapten akan

lebih mudah. Pajanan ulang dengan antigen akan menyebabkan toleransi dan

hipersensitivitas sehingga terjadi peningkatan reaksi inflamasi. Selanjutnya

terjadi peningkatan proses abnormalitas imunologik yang akan memacu

penurunan fungsi sawar kulit.

Proses patofisiologi gatal

Faktor imunologik merupakan salah satu faktor yang berperan pada dermatitis

atopik. Di dalam kompartemen dermo-epidermal kulit dapat berlangsung respon

imun yang melibatkan sel langerhans (SL) epidermis, limfosit, eosinofil dan sel

mast. Bila suatu antigen (bisa berupa alergen hirup, alergen makanan, autoantigen)

terpajan ke kulit individu dengan kecenderungan atopi, maka antigen tersebut akan

ditangkap oleh antibodi IgE yang ada pada permukaan sel mast atau Ig E yang ada

di membran SL epidermis.

Sel langerhans epidermis dan sel dendritik dermis sebagai antigen presenting cell

(APC) pada dermatitis atopik dapat mengaktifkan sel T alergen spesifik melalui antibodi

Ig E alergen spesifik yang terikat pada reseptor FcεRI, FcεRII dan IgE-binding protein.

Antigen yang ditangkap IgE pada SL bermigrasi melalui dermis ke saluran limfe dan

kelenjar getah bening regional (regio parakortikal). Antigen tersebut diproses

bekerjasama dengan major histocompatibility complex (MHC) II akan dipresentasikan

untuk mengaktifkan sel T naive yang mengakibatkan reaksi berkesinambungan terhadap

sel T di kulit dan akan terjadi diferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi yang

menentukan perkembangan sel T ke arah Th1 atau Th2. Peningkatan jumlah limfosit T
terlihat pada semua individu atopik bila dibandingkan dengan individu non atopik.

Dengan adanya glikoprotein permukaan, sel T akan terekspresi secara berbeda pada

proses pematangan dan menentukan fenotip sel T. Terdapat dua fenotip yaitu sel T

helper/regulatory CD4+ dan sel T cytotoxic/ supressor CD8+. Infiltrat mononuklear

pada lesi dermatitis atopik terutama terdiri atas sel T CD4+ dan sedikit sel T CD8+

Pada saat pajanan alergen, lingkungan sitokin berperan penting pada perubahan Sel T

helper menjadi sel Th1 atau Th2. Sel Th 1 dipicu oleh interleukin (IL)-12 yang

diproduksi oleh makrofage dan sel dendritik. Perkembangan sel T menjadi sel Th2

dipacu oleh IL-10 dan Prostaglandin (PG) E. Sel Th1 akan mengeluarkan sitokin

interferon (IFN)-γ, Tumor Necrosis Factor (TNF), IL-2 dan IL-17, sedangkan sel Th2

memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13. Interleukin 4, IL-5 dan IL-13

menyebabkan peningkatan level Ig E dan eosinofil serta menginduksi molekul adesi

yang terlibat pada migrasi sel inflamasi ke lesi kulit

Pola ekspresi lokal sitokin berperan penting pada terjadinya inflamasi di jaringan

setempat. Pada dermatitis atopik pola tersebut bergantung pada usia lesi kulit. Pada kulit

non lesi atau lesi akut dermatitis atopik, sel T mengekspresikan peningkatan jumlah IL-

4, IL-5, dan IL-13, namun sedikit INF-γ. Interleukin-4 menghambat produksi INF-γ dan

menekan diferensiasi ke arah sel Th1 sehingga lingkungan tersebut cenderung memicu

perkembangan ke arah sel Th2. Pada dermatitis atopik akut ini akan mengeluarkan

sitokin Th2 yang akan menginduksi respon lokal Ig E untuk menarik sel-sel

inflamasi (limfosit dan eosinofil) sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan dan

pengeluaran dari molekul adhesi. Pada lesi kronik terjadi perubahan pola sitokin. Pada

dermatitis atopik yang kronis akan terjadi peningkatan kadar INF-γ, IL-12, IL-5, dan

granulocyte monocyte colony stimulating factor (GM-CSF). Interferon-γ yang

merupakan sitokin Th1 akan diproduksi lebih banyak sedangkan kadar IL-5 dan IL-13

masih tetap tinggi. Interferon- dan IL-12 akan memicu terjadinya infiltrasi dari

limfosit dan makrofag. Lesi kronik berhubungan dengan hiperplasia


epidermis. Interferon-γ dan GM-CSF mampu menginduksi sel basal untuk berproliferasi

menghasilkan pertumbuhan keratinosit epidermis.

Kelainan imunologi yang utama pada dermatitis atopik berupa pembentukan Ig

E yang berlebihan. Antigen yang terikat dengan Ig E yang terdapat pada

permukaan sel mast akan menyebabkan pelepasan beberapa mediator kimia antara

lain histamin yang berakibat rasa gatal dan kemerahan kulit. Pelepasan mediator

tersebut terjadi 15-60 menit setelah pajanan dan sering disebut reaksi fase cepat (early

phase reaction). Tiga sampai empat jam setelah reaksi fase awal akan terjadi reaksi fase

lambat (late phase reaction). Reaksi ini terjadi ekspresi adhesi molekul pada dinding

pembuluh darah yang diikuti tertariknya eosinofil, limfosit, monosit pada area radang.

Mekanisme ini terjadi karena peningkatan aktifitas Th2 untuk memproduksi IL-3,

IL-4, IL-5, IL-13, GM-CSF yang menyebabkan eosinofil, merangsang sel limfosit B

membentuk IgE dan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan sel mast, tetapi

tidak terjadi peningkatan Th1

.
Gambar 1 Patogenesis dermatitis atopik

Pengobatan

Tatalaksana DA yang efektif meliputi kombinasi penghindaran pencetus, pengurangan


gatal menjadi seminimal mungkin, perbaikan sawar kulit, dan obat anti inflamasi.
Perbaikan sawar kulit dengan perawatan kulit yang baik sangat penting untuk
mengontrol DA. Fungsi sawar kulit di perbaiki dengan hidrasi yang baik dan aplikasi
pelembab. Carbonil diamida (soft u derm) melembutkan kulit dan mengurangi gatal,
menciptakan lapisan minyak di atas kulit yang dapat memerangkap air di bawahnya.
Perbaikan sawar ini mencegah penetrasi bahan-bahan iritan, alergen dan bakteri.

antihistamin

Antihistamin oral digunakan untuk mengontrol gatal. Antihistamin sedatif misalnya


hydroxyzine, diphenhydramine, chlorpheniramine, lebih disarankan dibandingkan antihistamin
non-sedatif karena efek sedatifnya lebih bermanfaat dibandingkan efek antipruritiknya.
Pasien sering menggaruk di saat tidur sehingga dengan efek sedasi antihistamin pasien ter-
hindar dari lesi kulit akibat garukan yang justru akan memperberat kondisi DAnya.
Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal mempunyai efek anti inflamasi, antipruritus, dan efek vasokonstriktor.
Potensi steroid yang digunakan bersifat individual, bergantung pada derajat dermatitis,
lokasi dermatitis, luas permukaan kulit yang terkena, dan usia pasien. Risiko efek samping
bergantung pada potensi steroid yang digunakan, jumlah steroid yang digunakan,
penggunaan oklusi, luas area yang terlibat, dan keutuhan kulit. Penetrasi steroid paling
tinggi pada wajah dan genitalia, paling rendah pada telapak tangan dan telapak kaki.

1. Leung DMY, Eichenfield LF, Boguniewick M. Atopic dermatitis.Dalam: Goldsmith


LAKatz SI, Gilchrest BA, Palerr AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatricks
dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill;2012.165-82.
2. Bieber T, Bussmann C. Atopic dermatitis . Dalam: Bolognia, JL, Jorizzo J L, Schaferr
Julie V, editor. Dermatology.Edisi ke-3. New York: Elsevier; 2012. 203-19.
4. Murphy Kenneth P. Allergy and allergic disease. Dalam: Janeway CA Jr,travers P,
walport M, editors. Janeway’s Immunobiology. Edisi ke-8. New York:Garland Science,
2012. 571-606.
5. Nyoman D. Disfungsi Sawar Epidermis dan Strategi Penanganan Dermatitis
Atopik[Internet]. 2014; CDK-215;41(4).

Anda mungkin juga menyukai