Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Erupsi obat dapat terjadi akibat pemakaian obat, yaitu obat yang diberikan oleh
dokter dalam resep, atau obat yang dijual bebas, termasuk campuran jamu-
jamuan.Yang dimaksud dengan obat adalah senyawa atau produk yang digunakan
untuk eksplorasi atau mengubah keadaan fisiologik atau patologik dengan tujuan
mendatangkan keuntungan bagi si pemakai obat untuk diagnosis, terapi maupun
profilaksis.Pemberian obat secara topikal dapat pula menyebabkan alergi sistemik
akibat penyerapan obat di kulit.1
Obat makin lama makin banyak digunakan oleh masyarakat sehingga reaksi
terhadap obat juga meningkat, yaitu reaksi simpang obat (adverse drug reaction) atau
RSO. Reaksi yang terjadi dapat ringan sampai berat hingga mengancam jiwa.RSO
yang bermanifestasi pada kulit dan mukosa disebut erupsi obat.Mekanisme terjadinya
erupsi obat dapat secara non imunologik dan imunologik, tetapi sebagian besar
merupakan reaksi imunologik.Erupsi obat dengan mekanisme imunologik disebut
erupsi obat alergik (EOA).Satu macam obat dapat dapat menyebabkan lebih dari satu
jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi dapat disebabkan oleh bermacam-macam
obat. 1,4
Exanthematous drug reactions atau erupsi eksantematosa merupakan salah satu
jenis erupsi obat yang dikarenakan reaksi hipersensitivitas tipe IV dikarenakan
pemakaian obat secara oral maupun parenteral.dengan gambaran klinisnya berupa
perubahaneritematosa tanpa disertai bula atau pustule Seringkali erupsi ini
generalisata dan simetris, dapat terdiri dari eritema, macula yang berkonfluens, dan
atau papul yang tersebar di wajah, telapak tangan, dan kaki. Erupsi obat ini disebut
juga erupsi makulopapular atau morbiliformis dan sangat jarang terjadi pada orang
yang berusia sangat muda.Erupsi baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian
obat dan dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu 7 – 14 hari.Erupsi bermula dari

1
batang tubuh dan menyebar ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu
disertaipruritus.1,4
Erupsi eksantematosa merupakansalah satu erupsi akibat obat paling tersering
yaitu sebanyak 91,2% dan dapat disebabkan oleh semua obat.Ampicillin, amoxicillin,
dan sulfonamide merupakan obat-obat yang paling sering menyebabkan erupsi
eksantematosa1. Erupsi dapat hilang tanpa penghentian obat, namun sangat jarang
terjadi.Sebaliknya, ruam dapat berkembang progresif menjadi eritroderma atau
dermatitis eksfoliativadengan melanjutkan terapi.Oleh karena itu perlu ditegakkan
diagnosa yang tepat dari gangguan ini karena kasus ini memberikan manifestasi yang
serupa dengan gangguan kulit lain, identifikasi dan anamnesis yang tepat dari
penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah satu hal penting untuk memberikan
tatalaksana yang cepat dan tepat bagi penderita dengan tujuan membantu
meningkatkan prognosis serta menurunkan angka morbiditas.1,4

2
BAB II
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Umur : 45 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : DS Malei
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal masuk RS : 26 April 2018

2. ANAMNESIS (AUTOANAMNESA)
Keluhan Utama :
Timbul bintik-bintik merah di seluruh badan

Riwayat Penyakit Sekarang


Seorang perempuan berusia 45 tahun MRS dengan keluhan timbul bintik-
bintik merah diseluruh yang disertai rasa gatal. Selain itu, pada bagian lidah
pasien timbul berupa bercak bewarna putih. Keluhan tersebut sudah dirasakan
sejak 1 minggu yang lalu. Sebelumnya pasien didiagnosis HIV AIDS dan telah
mendapatkan pengobatan. Menurut keluarganya, keluhan tersebut muncul
setelah mengkonsumsi obat tersebut dan menurut keluarganya pasien tidak
memiliki riwayat alergi obat maupun makanan. Riwayat pnyakit terdahulu (-).

3
3. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalis :
Kesadaran Umum : Sakit berat
Status Gizi : Kurang
Kesadaran : Samnolen entis

b. Tanda-tanda Vital
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Nadi : 102x/menit
Pernapasan : 25x/menit
Suhu : 39,1oC
c. Kepala
Sklera : Ikterik (-)
Konjungtiva : Anemis (-)
Bibir : Sianosis (-)
d. Jantung/Paru : Dalam batas normal
e. Abdomen : Tampak urtikaria
f. Ekstremitas : Tampak urtikaria
g. Kelenjar limfe : Dalam batas normal

Status Dermatologis
 Lokasi : Universal
 Ukuran : Miliar, Plakat
 Effloresensi : Papul Eritema, vesikel dan bulla

4. RESUME
Seorang perempuan berusia 45 tahun MRS dengan keluhan timbul bintik-bintik
merah diseluruh tubuh yang disertai rasa gatal. Selain itu, pada bagian lidah pasien
timbul berupa bercak bewarna putih. Keluhan tersebut sudah dirasakan sejak 1

4
minggu yang lalu. Sebelumnya pasien didiagnosis HIV AIDS dan telah mendapatkan
pengobatan. Menurut keluarganya, keluhan tersebut muncul setelah mengkonsumsi
obat tersebut dan menurut keluarganya pasien tidak memiliki riwayat alergi obat
maupun makanan. Dan tidak ada riwayat penyakit terdahulu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital; tekanan darah 110/60 mmHg,
nadi 102x/ menit, respirasi 25 x/menit, suhu tubuh 39,10C.
Dari status dermatologi didapatkan adanya eritema dengan skuama.

5. DIAGNOSIS KERJA
Exanthematous Drug Eruption

6. ANJURAN PEMERIKSAAN
Pacth test

7. DIAGNOSIS BANDING
a. Urtikaria and Angioedema
b. Exanthematous viral disease

8. PENATALAKSANAAN
Sistemik :
 Cetirizine 1x10 mg
 Dexamethasone 5mg/kgBB amp IV/12 Jam

Topikal :
 Asam Fusidat cr 10 gram
 Salicyl Talk

5
Edukasi
a) Menjelaskan kepada penderita tentang penyebab penyakitnya
b) Memberi penjelasan kepada penderita bahwa penyakit ini bisa timbul lagi
c) Menjelaskan kepada penderita untuk mentaati aturan terapi.

9. PROGNOSIS
Qua ad vitam : Malam
Qua ad functionam : Malam
Qua ad sanationam : Malam
Qua ad cosmetikam : Dubia ad malam

6
10. FOLLOW UP

Follow up Hari I

S Muncul eritema di seluruh badan dan disertai rasa gatal

O TD: 110/60 mmHg


N: 102x/menit
S: 39,1oC
R: 25 x/menit
Status status dermatologi:
 Lokasi : Universal
 Ukuran : Miliar, Plakat
 Effloresensi : Tampak Eritema dan urtika
A Exanthematous Drug Eruption
P Sistemik:
 Dexamethasone 5mg/kgBB amp IV/12 Jam
 Cetirizine 1 x 10 mg
Topikal :
 Salycil Talk

7
Dokumentasi Kasus

8
Follow Up Hari 2

S Muncul vesikel-vesikel pada bagian leher dan bagian lengan bagian lateral.

O TD: 110/90 mmHg


N: 105x/menit
S: 38, 6oC
R: 24 x/menit
Status status dermatologi:
 Lokasi : Universal
 Ukuran : Miliar, Plakat
 Effloresensi : vesikel pada daerah leher sebelah kiri dan pada bagian
lengan atas dan Urtika pada seluruh badan
A Exanthematous Drug Eruption
P Sistemik:
 Dexamethasone 5mg/kgBB amp IV/12 Jam
 Cetirizine 1 x 10 mg
Topikal :
 Salycil Talk

9
Dokumentasi Kasus

10
Follow Up Hari 3

S Muncul vesikel dan bulla pada bagian leher sebelah kiri dan lengan bagian atas kiri
dan kanan
O
TD: 110/90 mmHg
N: 102x/menit
S: 37, 9oC
R: 24 x/menit
Status status dermatologi:
 Lokasi : Leher, Ekstremitas atas
 Ukuran : Lentikular, numular
 Effloresensi : Bulla
A
P Exanthematous Drug Eruption
Sistemik:
 Dexamethasone 5mg/kgBB amp IV/12 Jam
 Cetirizine 1 x 10 mg
Topikal :
 Salycil Talk

11
Dokumentasi Kasus

12
BAB III
PEMBAHASAN

Seorang perempuan dengan usia 45 tahun datang ke RS dengan keluhan timbul

bintik-bintik merah diseluruh tubuh terutama pada ekstremitas bawah yang disertai

rasa gatal. Selain itu, pada bagian lidah pasien timbul berupa bercak bewarna putih.

Keluhan tersebut sudah dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Sebelumnya pasien

didiagnosis HIV AIDS dan telah mendapatkan pengobatan. Menurut keluarganya,

keluhan tersebut muncul setelah mengkonsumsi obat tersebut dan menurut

keluarganya pasien tidak memiliki riwayat alergi obat maupun makanan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital; tekanan darah 110/60 mmHg,

nadi 102x/ menit, respirasi 25 x/menit, suhu tubuh 39,10c

Dari status dermatologi didapatkan adanya papul eritema dengan bulla. Dari

anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat ditegakkan diagnosis Exanthematous Drug

Eruption dan di diagnosis banding Urtikaria dan exanthematous viral disease.

Exantematous Drug Eruption didefinisikan sebagai suatu reaksi simpang

hipersensitivitas terhadap obat yang diberikan secara parenteral atau ditelan. Ia

ditandai dengan erupsikulityang menyerupai campak seperti eksantem virus dan

keterlibatan sistemik yang rendah. 1

Erupsi Exanthematous, kadang-kadang disebut sebagai morbilliform atau

makulopapular, adalah yang paling sering terjadi, terhitung sekitar 95% reaksi kulit2

(Gambar -1). Erupsi biasanya dimulai pada daerah badan dan menyebar secara perifer

13
dalam mode simetris. Pruritus hampir selalu ada. Erupsi ini biasanya terjadi dalam

waktu 1 minggu sejak inisiasi terapi dan mungkin muncul 1 atau 2 hari setelah obat

terapi telah dihentikan. 15 Resolusi, biasanya dengan 7-14 hari, terjadi dengan

perubahan warna dari merah terang ke merah kecoklatan, yang mungkin diikuti oleh

deskuamasi. Diagnosis banding dalam hal ini pasien termasuk exanthem yang

menular (mis., viral, bakteri, atau riketsia), penyakit vaskular kolagen, dan infeksi. 1

Pada kasus ini gejala yang timbul diduga akibat pemberian obat (ceftriaxone dan

paracetamol) sehingga muncul keluhan kulit pada pasien yaitu berupa urtikaria

(kemerahan pada kulit yang bersifat sementara), kemudian muncul vesikel dan bula

pada keesokan harinya yang kemudian membaik setelah penghentian obat yang

diduga penyebab terjadinya erupsi obat pada pasien.

Gambar 1. Exanthematous drug eruption : Ampicillin. makula eritomatous dan papul


yang jelas, yang tersebar di badan dan ekstremitas 1

14
Pasien Ny. M merupakan pasien yang masuk dengan diagnosis utama yaitu
positif HIV, sehingga pada pemberian obat selama dirumah sakit seperti Antibiotik
(ceftriaxone) dan Antipireutik (Paracetamol), muncul gejala pada kulit seperti
urtikaria, vesikel dan bula. Berdasarkan hal tersebut sesuai dengan teori riwayat
Erupsi dapat disebabkan oleh berbagai macam obat-obatan, termasuk β-laktam
("penicillins"), sulfonamide antimikroba, reverse transcriptase nonnukleosida
inhibitor (misalnya, nevirapine), dan antiepilepsi obat-obatan. Penelitian telah
menunjukkan bahwa obat spesifik sel T memainkan peran utama dalam
exanthematous, bullous, dan reaksi obat pustular. Pada pasien yang memiliki
mononukleosis menular, risiko terjadinya erupsi exanthematous saat sedang dirawat
dengan aminopenicillin (mis,ampisilin) meningkat dari 3% -7% hingga 60% -100%.1
Erupsi exanthematous dalam hubungannya dengan demam dan peradangan
organ internal (misalnya, hati, ginjal, sistem saraf pusat) menandakan reaksi yang
lebih serius, yang dikenal sebagai reaksi sindrom hipersensitivitas, reaksi
hipersensitivitas terinduksi obat (DIHS) atau reaksi obat dengan eosinofilia dan
sistemik. gejala (DRESS). 1
Gejala kulit yang timbul pada pasien Ny. M bila dikaitkan dengan teori maka
patofisiologi yang terjadi yaitu Exanthematous drug eruption merupakan
idiosinkratik, mediasi sel-T dan melibatkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (Tipe
IV).3 Reaksi ini melibatkan limfosit, APC (Antigen Presenting Cell) dan sel
Langerhans yang mempresentasi antigen kepada limfosit T. Limfosit T yang
tersensitisasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat
yaitu terjadi 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen menyebabkan pelepasan
serangkaian limfokin.1,4,

15
Tabel 1. Gambaran klinis reaksi cutaneus terhadap obat1

Reaksi ini terjadi setelah beberapa hari pemberian obat dan tidak terjadi setelah
pemberian dosis pertama, hal ini menunjukkan perlunya periode sensitisasi sebelum
reaksi terjadi.Pasien yang mengalami Sindrom hipersensitivitas obat memiliki sel
limfosit T yang teraktivasi dalam sirkulasinya. Sel limfosit T yang spesifik
terstimulasi dengan konsep p-i (pharmacological interactionwith immune receptors)
menghasilkan interleukin 5 (IL- 5) dan interferon gamma (IFN-g). Interleukin 5
merupakan faktor kunci dalam pengaturan pertumbuhan, diferensiasi, dan aktivasi
eosinofil.Sementara itu IFN-g memiliki peran dalam up regulation major
histocompatibility complex (MHC) kelas II pada keratinosit. Aktivasi MHC kelas II
tersebut selanjutnya akan mempresentasikan obat ke sel T CD4+. Beberapa jenis obat
dapat langsung berikatan dengan reseptor pada sel T. Interaksi antara obat dengan sel
T akan mengaktifkan respon imun. Oleh karena itu terkadang reaksi yang timbul

16
tidak mengikuti kaidah respon imun yang ada, yaitu reaksi dapat terjadi pada paparan
pertama tanpa memerlukan proses sensitisasi sebelumnya1,4
Gejala klinis yang muncul akibat Exanthematous drugs eruption ditandai
dengan erupsi makulopapular atau morbiliformis yang dapat diinduksi oleh hampir
semua obat. Seringkali terdapat erupsi generalisata dan simetris terdiri atas eritema,
selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam, malese dan nyeri sendi. Lesi
biasanya timbul dalam 1-2 minggu setelah dimulainya terapi.1
Reaksi awal pada pasien yang sebelumnya sensitif, erupsi mulai timbul dalam
2 atau 3 hari setelah obat diberikani ulang. Untuk reaksi akhir, sensitisasi timbul
ketika mengkonsumsi atau setelah menyelesaikan pengobatan, puncak insidens
adalah hari kesembilan kemudian. Namun ACDR (Adverse Cutaneous Drug
Reaction) bisa timbul kapan saja antara hari pertama hingga minggu ketiga setelah
pengobatan dimulai.1
Simptom pada kulit biasanya pruritus juga menganggu tidur. Bagian lesi kulit
yang sakit menunjukkan perkembangan ACDR yang lebih serius seperti toksik
epidermal nekrolisis (TEN). Pasien juga bisa demam dan menggigil.1
Simetris, hampir selalu pada badan dan ekstremitas. Lesi konfluens di daerah
intertriginosa, yaitu, ketiak, selangkangan, daerah inframammary. Telapak tangan dan
telapak kaki terlibat secara bervariasi. Pada anak-anak, mungkin terbatas pada wajah
dan ekstremitas. Reaksi terhadap ampisilin biasa muncul awalnya di siku, lutut, dan
badan, memperluas simetris ke sebagian besar daerah tubuh.1,
Pasien Ny.M berjenis kelamin Perempuan dan saat ini berusia 45 tahun, hal ini
sesuai dengan teori bahwa Drug Eruption telah diidentifikasi banyak faktor resiko
yang terlibat, termasuk infeksi dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan
jenis kelamin dan usia yang mendukung untuk terjadinya drug eruption.

17
Diagnosis
Anamnesis : adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan obat.
Pemeriksaan Klinis : Adanya kelainan klinis berupa erupsi eksantematosa
(makulopapular atau morbiliformis) dan penghentian obat yang diikuti penurunan
gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi oleh obat tersebut.

Pemeriksaan Penunjang
 Hemogram – Eosinofilia perifer
 Dermatopathology – Limfosit perivaskuler dan eosinofil

Gambar 2. Maculopapular drug eruption dengan spongiosis ringan disetengah lebih


rendah dari epidermis.7

18
Dari kasus diatas, Differential Diagnosis dari Exanthematous Drug Eruption
adalah sebagai berikut :

1. Urtikaria dan Angioedema

Urtikaria ditandai dengan edema setempat pada kulit dengan ukuran yang
bervariasi. Predileksi dapat diseluruh tubuh. Keluhan umumnya gatal dan panas di
tempat lesi. Lesi individual biasanya bertahan kurang dari 24 jam kemudian hilang
perlahan. 2,4
Ketika jaringan dermal dan subkutan yang dalam juga bengkak, reaksi ini
dikenal sebagai angioedema. Angioedema sering unilateral dan nonpruritic dan
berlangsung selama 1-2 jam, meskipun mungkin bertahan selama 2-5 hari. Urtikaria
dan angioedema, bila dikaitkan dengan penggunaan obat, biasanya menunjukkan
reaksi hipersensitivitas langsung imunoglobulin (Ig) E-mediated. Mekanisme ini
ditandai oleh reaksi langsung terhadap penisilin dan antibiotik lain. Tanda dan gejala
reaksi alergi bermediasikan IgE biasanya termasuk pruritus, urtikaria, pembilasan
kulit, angioedema, mual, muntah, diare, sakit perut, hidung tersumbat, rinorea, edema
laring, dan bronkospasme atau hipotensi.2,5
Urtikaria dan angioedema juga dapat disebabkan oleh reaksi non-IgE-mediated
yang menghasilkan pengeluaran histamin secara langsung dan nonspesifik atau
mediator peradangan lainnya. Obat yang diinduksi non-IgE-mediated urticaria dan
angioedema biasanya terkait dengan obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID),
angiotensin converting enzyme (ACE) -inhibitor dan opioid. 2
Angioudema biasanya terjadi di daerah bibir, kelopak mata, genitalia eksterna,
tangan dan kaki. Angioudema pada glottis menyebabkan asfiksia, sehingga
dibutuhkan penanganan segera, penyebab tersering ialah penisillin, asam asetil
salisilat, dan NSAID.4

19
Gambar 3. Urtikaria dan angioudema. Pasien dengan urtikaria di badan dan leher
dan angioudema disekitar mata 2

2. Exanthematous Viral Disease


Viral eksantema sebagian besarnya berhubungan dengan self-limited disease.
Pada measlesruam terdiri dari macula eritematosa dan papula yang muncul di
belakang telinga dan di garis rambut anterior, penggabungan, tersebar di bagian leher
dan tungkai distal, dan akhirnya mempengaruhi ekstremitas atas dan bawah termasuk
tangan dan kaki.3
Measles atau rubella adalah penyakit yang tinggi resiko untuk terkena
exanthematous viral disease. Etiologi tersering dari penyakit ini adalah virus Measles.
Manusia adalah satu-satunya host alami bagi virus measles yang menyebar melalui
droplet. Masa inkubasi virus selama 8-12 hari dan gejala muncul selama 4-5 hari3
Manifestasi klinis yang timbul berupa demam lebih dari 400C, malaise,
conjunctivitis, dan batuk selama 4 hari3.

20
Terapi yang diberikan Lini pertama berupa terapi suportif, terapi infeksi
sekunder, vitamin A , Imunoglobulin IM, dan Vaksinasi. Lini kedua diberikan
Antivirus sistemik.3

Gambar 4. Exathematous Viral Disease oleh virus measles.3

Terapi

Umumnya pengobatan yang diberikan untuk pasien dengan Exanthematous drug


eruption adalah menghentikan obat-obatan yang menjadi penyebab erupsi.1,4
 Berikan edukasi berupa :
- Memjelaskan pada pasien tentang keadaannya, bagaimana
penyakitnya menyebabkan keluhan kulit yang muncul
- Menjelaskan pada pasien bahwa ada obat yang diduga menjadi
penyebab keluhan kulit, akibatnya obat tersebut harus dihentikan.

21
 Pemberian terapi Kortikosteroid.
Kortikosteroid mempunyai kemampuan menekan inflamasi atau peradangan
dengan cara menghambat fosfolipase A dan menekan IL-1α. Kortikosteroid
mempunyai potensi (kekuatan) yakti potensi rendah dan potensi tinggi. Dalam
kasus ini, pemilihan kortikosteroid yang tepat dapat diberikan kortikosteroid
sistemik dan topikal dengan potensi rendah, di mana kortikosteroid potensi
rendah adalah paling aman untuk penggunaan jangka panjang.9
o Kortikosteroid Sistemik dapat diberikan dengan pemberian
Dexamethasone Inj 5mg/ml.
o Kortikosteroid Topikal dapat diberikan Hidrokortisone 1%

 Anti Histamin
Antihistamin secara klinis dapat digunakan sebagai antialergi. Antihistamin
dalam dosis terapi efektif untuk mengobati edema, eritema dan pruritus, tetapi
tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin..
Antihistamin tersebut digolongkan dalam antihistamin penghambat reseptor
H1 (AH1). Kemudian ditemukan kelompok antihistamin baru yang dapat
menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin tersebut
digolongkan sebagai antihistamin penghambat reseptor H2 (AH2).
Antihistamin terdiri 3 generasi, yaitu antihistamin generasi pertama, generasi
ke dua dan generasi ke tiga. Dalam kasus ini, pilihan antihistamin yang tepat
untuk pasien adalah antihistamin H1 generasi ke dua. Di mana, pada
antihistamin generasi ke dua juga mempunyai efektifitas antialergik seperti
antihistamin generasi pertama. Selain itu juga memiliki sifat lipofilik yang
rendah, sulit menembus sawar darah otak. Reseptor H1 sel otak tetap diisi
histamin, Sehingga efek samping yang ditimbulkan agak kurang tanpa efek
mengantuk. Obat ini ditoleransi sangat baik, dapat diberikan dengan dosis
tinggi untuk meringankan gejala alergi sepanjang hari. Antihistamin generasi

22
ke dua yang tepat diberikan kepada pasien yaitu dapat diberikan Ceterizine, di
mana pada ceterizine tidak mengalami metabolism, mulai dari kerjanya yang
lebih cepat dan efektif dalam pengobatan urtika. Adapun pilihan lain
antihistamin generasi ke dua yaitu terfenadin, astemizol, loratadin.10

Komplikasi
Jika obat yang menyebabkan timbulnya erupsi masih tetap digunakan, ruam
dapat berkembang progresif menjadi eritroderma atau dermatitis eksfoliativa.
Beberapa erupsi eksantematosa bisa mengalami progresivitas menjadi reaksi obat
yang lebih berat seperti Sindrom Stevens-Johnson, Nekrolisis Epidermal Toksik,
serta ruam kulit dengan gejala sistemik dan eosinophilia.

Prognosis
Dubia ad malam

Pencegahan
Apabila obat tersangka penyebab erupsi obat alergik telah dipastikan, maka
sebaiknya kepada penderita diberikan catatan berupa kartu kecil yang memuat jenis
obat tersebut (serta golongannya). Kartu tersebut ditunjukkan bilamana diperlukan
(misalnya apabila penderita berobat), sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang
memungkinkan terulangnya erupsi obat 1

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Shear N, Knowles S. Cutaneus Ractions to Drugs. In Wolff K, Goldsmith LA,


Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. Eds. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 8th . New York: Mc Graw-Hill.2012. p 449-457
2. Kaplan A. Urticaria and angioudema. In Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. Eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 8th . New York: Mc Graw-Hill.2012. p.414-430.
3. Belazarian L, Lorenzo M,Pearson A, Swenney s, and Wiss K. Exanthematous
Viral Disease. In Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS,
Leffel DJ. Eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th . New York:
Mc Graw-Hill.2012. p2337-2366
4. Budianti W. Erupsi obat alergi, in Sri Menaldi, Kusmarinah Bramono, Wresti
Indriatmi, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan
penerbit fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017. p190-195.
5. Aisah S, Effendi EH. Urtikaria dan Angioedema. in Sri Menaldi, Kusmarinah
Bramono, Wresti Indriatmi, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-
7. Jakarta: Badan penerbit fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017.
p311-314
6. Law RM, Law DTS. Dermatologic Drugs Eruptions and Common Skin
Condition. McGraw-Hill education.2014.p 347-358
7. Weyers, Wolfgang,.Hystopathology of Drug Eruption – General Criteria,
Common Patterns, and differential Diagnosis. Germany: Department of
Dermatology, universitas of Munster. 2011. p.43
8. Stern. R. S. Exanthematous Drug Eruptions. N. Engl J Med 2012;366:2492-501.
9. Johan R. Penggunaan Kortikosteroid topikal yang tepat. in continuing
professional development. CDK-227/Vol.42.2015. p308-312

24
10. Gunawijaya F. Manfaat pengunaan antihistamin generasi ketiga. Di bagian
histologi fakultas kedokteran universitas trisakti. Artikel.
http://www.dipa.co.id/images/article/news/newarticle/Antihistamin.pdf. p123-
129

25

Anda mungkin juga menyukai