Anda di halaman 1dari 5

Tips Hukum Membantah Bukti Lawan Yang Hanya Berupa

Surat Pernyataan Sepihak


Sumber foto: di sini
Tak jarang kita temukan di masyarakat ataupun di persidangan,
seseorang (baik penggugat maupun tergugat) mengagung-agungkan
surat pernyataan sepihak dari orang lain lalu menjadikannya sebagai
senjata pamungkas untuk membuktikan ataupun untuk menuntut suatu
hal. Apalagi jika surat pernyataan tersebut sudah dibuat di atas materai
yang akan membuat orang bersangkutan makin besar kepala.
Pertanyaan sekarang apakah surat pernyataan sepihak dari seseorang
di atas materai punya kekuatan pembuktian dan bisa dijadikan sebagai
alat bukti yang sah dalam persidangan perdata?
Pada prinsipnya surat pernyataan tidak punya kekuatan pembuktian
apapun dan bukan merupakan alat bukti yang sah, (baca juga alat bukti
yang sah dalam hukum perdata) kecuali surat pernyataan tersebut diakui
keberadaan, isi dan keasliannya oleh si pembuat di bawah sumpah di
depan persidangan.
Yang merupakan alat bukti yang sah menurut hukum (Pasal 1867 KUH
Perdata) adalah akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang seperti akta notaris, sertifikat tanah, putusan pengadilan dan
sebagainya yang memang dimaksudkan sebagai alat bukti. Atau akta di
bawah tangan yang dibuat oleh para pihak meski tidak dibuat atau
diketahui oleh pejabat umum, asalkan itu diakui oleh para pihak. Misal,
perjanjian jual beli yang hanya dibuat dan ditandatangani oleh dua orang
(para pihak).
Surat pernyataan merupakan surat bukan akta yang kekuatan
pembuktiannya sangat kurang, dan masih bisa dipertanyakan isi serta
keaslian dari surat tersebut. Lagian surat pernyataan hanya berlaku
untuk diri orang yang membuatnya, tidak berlaku atau mengikat bagi
orang lain.
Dasar hukumnya, Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3901 K/Pdt/1985
tanggal 29 November 1988 menyatakan “Surat pernyataan yang merupakan
pernyataan belaka dari orang-orang yang memberi pernyataan tanpa diperiksa
di persidangan, tidak mempunyai kekuatan pembuktian apa-apa (tidak dapat
disamakan dengan kesaksian).”
Soal surat pernyataan di atas materai, memang menurut UU Bea
Materai (Pasal 2 ayat [1] huruf a UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea
Meterai) suatu surat yang ingin diajukan sebagai bukti di persidangan
harus dibubuhi materai agar sah sebagai alat bukti.
Namun persoalannya apakah surat pernyataan yang sudah dibuat di
atas materai punya kekuatan pembuktian?
Jawabnya, kembali pada Yurisprudensi MA No 3901 di atas, kalau orang
yang membuat surat pernyataan tersebut bisa dihadirkan di persidangan
dan memberikan keterangan bahwa benar surat tersebut dia yang buat
dan isinya adalah sesuai dan benar, maka surat pernyataan tersebut
punya kekuatan pembuktian. Tapi jika orang yang membuat tidak bisa
dihadirkan di persidangan maka surat pernyataan tersebut tidak punya
kekuatan pembuktian apa-apa.
Kesimpulannya
Pertama, jika mengajukan bukti berupa surat pernyataan maka wajib
menghadirkan orang yang membuat surat tersebut di persidangan untuk
mengkonfirmasi dan menjelaskan surat pernyataan tersebut dengan
begitu surat pernyataan akan punya kekuatan pembuktian.
Kedua, surat pernyataan diatas materai hanya membuat surat tersebut
bisa diajukan sebagai alat bukti di persidangan bukan membuat surat
tersebut punya kekuatan pembuktian
Kekuatan Hukum Penggunaan Materai
Dalam Perjanjian
Penulis
Admin
-
Maret 28, 2016
0
3857


Sumantro SH
Oleh : Sumantro SH

Sumantro SH
OPINI (HPC)- Dalam masyarakat seringkali muncul opini atau spekulasi bahwa
sebuah perjanjian apabila tidak diberikan (ditempel) materai maka perjanjian
tersebut tidak memilik kekuatan hukum yang mengikat kepada kedua belah
pihak atau tidak sah dan lain-lain sebagainya. Bahwa apakah opini atau
sepekulasi tersebut hanyalah sebuah mitos atau kebenaran yang sebenarnya
dari segi hukum. Sebelumnya penulis berusaha untuk mempersamakan
persepsi bahwa perjanjian (Overeenkomst)adalah Perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal
1313 KUHPerdata). Perbuatan tersebut merupakan perbuatan hukum yang
memiliki akibat hukum, dengan adanya perbuatan tersebut maka timbullah
perikatan (Verbintenis : Bahasa Belanda) yang mengikat kepada kedua belah
pihak.

Hukum perikatan yang berlaku di Indonesia menganut asas kebebasan


berkontrak(the principle of freedom of contract) dan asas konsesualisme (the
principle of consensualism). Suatu perjanjian sah apabila memenuhi
persyaratan Pasal 1320 KUHperdata yaitu, kesepakatan kedua belah pihak,
kecakapan untuk membuat perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang
halal. Apabila dalam sebuah perjanjian melanggar syarat subjektif (kesepakatan
dan/atau kecakapan) maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan
(canceling) dan apabila melanggar syarat objektif (suatu hal tertentu dan/atau
suatu sebab yang halal) maka perjanjian tersebut batal demi hukum (null and
void).Suatu perjanjian yang telah memenuhi syarat sah sebagaimana dimaksud
dalam pasal 1320 KUHperdata maka prestasi (kewajiban) dari perjanjian
tersebut wajib dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Apabila salah satupihak
lalai melaksanakan prestasinya maka telah dapat dikatakan terjadinya
wanprestasi (cedera janji).

Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat seringkali kita temukan perjanjian


yang telah dibubuhi materai dan perjanjian yang tidak dibubuhi materai.
Materai pada hakekatnya adalah pajak atas dokumen-dokumen tertentu yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang dibebankan oleh
negara. Adapun dokumen-dokumen yang ditentukan yang dikenakan bea
materai diatur dalam Pasal 2 undang-undang nomor 13 Tahun 1985 tentang
bea materai. Apabila suatu perjanjian yang tidak dibubuhi meterai ingin
dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan pengadilan maka pemegang
surat perjanjian wajib melakukan pelunasan Bea Materai yang terutang
(permateraian kemudian). Adapun dasar pemateraian kembali berdasarkan
Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Kepmenkeu No. 476/KMK.03/2002 dimana pemegang
dokumen (perjanjian) dapat melakukan permateraian kemudian dengan
menggunakan materai tempel atau surat setoran pajak dan kemudian disahkan
oleh pejabat pos. Dokumen (perjanjian) yang ingin dilakukan permateraian
kemudian dikenakandenda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari
Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar yang besarnya disesuaikan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada dasarnya setiap perjanjian yang telah dibuat dan disepakati baik yang
telah bermaterai maupun tidak bermaterai memiliki kekuatan hukum
pembuktian yang sama, akan tetapi suatu perjanjian yang tidak dibubuhi
dengan materai untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti dipengadilan maka
harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan administratif yaitu dengan
dilakukannya permateraian kemudian. Perjanjian memiliki kekuatan hukum
mengikat kepada kedua belah pihak apabila telah terpenuhinya syarat sah
suatu perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata bukan
pada kekuatan ditempelkannya materai di dalam perjanjian. Dalam hukum
perjanjian kita mengenal asas pacta sunt servanda secara implisit dinyatakan
dalam Pasal 1340 KUHperdata “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas ini
memberikan jaminan kepastian hukum kepada setiap subjek hukum yang
melakukan hubungan hukum yang bersifat keperdataan. Terakhirnya penulis ini
menegaskan bahwa perjanjian yang tidak bermaterai, prestasi perjanjian tetap
wajib dilaksanakan oleh para pihak, bukan berarti tanpa materai perjanjian
tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Tanpa ditempelkannya materai dalam
perjanjian, perjanjian tersebut tetap sah secara hukum sepanjang memenuhi
ketentuan Pasal 1320 KUHperdata

1.Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (“UU 13/1985”), fungsi atau
hakikat utama Bea Meterai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh negara untuk dokumen-dokumen
tertentu,
2. tanpa bermaterai pun setiap surat perjanjian dinyatakan sah, namun jika ingin surat perjanjian tsb menjadi
alat bukti, maka harus di lengkapi materai.
3. tidak memenuhi kewajiban melakukan pembayaran tidak termasuk tindak pidana penipuan, melainkan
termasuk tindakan cedera janji (wanprestasi) yg merupakan aspek hukum perdata.
sekian, sedikit penjelasan saya

Anda mungkin juga menyukai