Sterilisasi adalah suatu proses untuk membuat ruang / benda menjadi sterilatau suatu proses untuk
membunuh semua jasad renik yang ada, sehingga jika ditumbuhkan di dalam suatu medium tidak
ada lagi jasad renik yang dapat berkembang biak. Sterilisasi harus dapat membunuh jasad renik
yang paling tahan panas yaitu spora bakteri (Fardiaz, 1992). Sedangkansanitasi adalah suatu
proses untuk membuat lingkungan menjadi sehat..
Tujuan obat dibuat steril (seperti obat suntik) karena berhubungan langsung dengan darah
atau cairan tubuh dan jaringan tubuh yang lain dimana pertahanan terhadap zat asing tidak
selengkap yang berada di saluran cerna / gastrointestinal, misalnya hati yang dapat berfungsi
untuk menetralisir / menawarkan racun (detoksikasi = detoksifikasi).
Diharapkan dengan steril dapat dihindari adanya infeksi sekunder. Dalam hal ini tidak
berlaku relatif steril atau setengah steril , hanya ada dua pilihan yaitu steril dan tidak steril.
Sediaan farmasi yang perlu disterilkan adalah obat suntik / injeksi, tablet implant, tablet
hipodermik dan sediaan untuk mata seperti tetes mata / Guttae Ophth., cuci mata / Collyrium dan
salep mata /Oculenta.
1. Sterilisasi uap
Adalah proses sterilisasi thermal yang menggunakan uap jenuh dibawah tekanan selama 15 menit
pada suhu 121o. Kecuali dinyatakan lain,berlangsung di suatu bejana yang disebut otoklaf, dan
mungkin merupakan proses sterilisasi paling banyak dilakukan.
Alat :
Disebut otoklaf, yaitu suatu panci logam yang kuat dengan tutup yang berat, mempunyai lubang
tempat mengeluarkan uap air beserta krannya, termometer, pengatur tekanan udara, klep
pengaman.
Cara bekerja :
Otoklaf dipanaskan, ventilasi dibuka untuk membiarkan udara keluar. Pengusiran udara pada
otoklaf berdinding dua, uap air masuk dari bagian atas dan udara keluar dari bagian bawah yang
dapat ditunjukkan pada gelembung yang keluar dari ujung pipa karet dalam air.
Setelah udara bersih, bahan yang akan disterilkan dimasukkan sebelum air mendidih, tutup otoklaf
dan dikunci, ventilasi ditutup dan suhu serta tekanan akan naik sesuai dengan yang dikehendaki.
Atur klep pengaman supaya tekanan stabil.
Setelah sterilisasi selesai, otoklaf dibiarkan dingin hingga tekanannya sama dengan tekanan
atmosfir. Cara sterilisasi ini lebih efektif dibanding dengan pemanasan basah yang lain, karena
suhunya lebih tinggi.
3. Sterilisasi gas
Bahan aktif yang digunakan adalah gas etilen oksida yang dinetralkan dengan gas
inert, tetapi keburukan gas etilen oksida ini adalah sangat mudah terbakar, bersifat mutagenik,
kemungkinan meninggalkan residu toksik di dalam bahan yang disterilkan, terutama yang
mengandung ion klorida.
Pemilihan untuk menggunakan sterilisasi gas ini sebagai alternatif dari sterilisasi
termal, jika bahan yang akan disterilkan tidak tahan terhadap suhu tinggi pada sterilisasi uap
atau panas kering.
Proses sterilisasinya berlangsung di dalam bejana bertekanan yang didesain seperti pada
otoklaf dengan modifikasi tertentu. Salah satu keterbatasan utama dari proses sterilisasi dengan
gas etilen oksida adalah terbatasnya kemampuan gas tersebut untuk berdifusi sampai ke daerah
yang paling dalam dari produk yang disterilkan.
Cara-cara menyaring :
Ada 2 cara untuk menyaring , yaitu :
1. Dengan tekanan positip : larutan dalam penyaring ditekan dengan tekanan yang lebih besar dari
udara luar.
2. Dengan tekanan negatip : larutan dalam penyaring diisap (penampung di vakumkan).
Udara yang dipakai untuk itu harus udara bersih, biasanya digunakan gas nitrogen (N2) yang
dialirkan melalui kapas berlemak dalam tabung gelas atau platina yang dipanaskan.
Kemudian bahan obat, zat pembawa, zat pembantu disimpan secara aseptic dalam ruang aseptic
hingga terbentuk obat / larutan injeksi dan dimasukkan ke dalam wadah secara aseptic.
5. Viskositas
USP mengizinkan penggunaan bahan pengkhelat viskositas untuk memperpanjang lama
kontak dalam mata dan untuk absorpsi obat dan aktivitasnya. Bahan-bahan seperti metilselulosa,
polivinil alkohol dan hidroksi metil selulosa ditambahkan secara berkala untuk meningkatkan
viskositas.
Para peneliti telah mempelajari efek peningkatan viskositas dalam waktu kontak dalam
mata. umumnya viskositas meningkat 25-50 cps range yang signifikan meningkat lama kontak
dalam mata.
6. Additives/Tambahan
Penggunaan bahan tambahan dalam larutan mata diperbolehkan, namun demikian
pemilihan dalam jumlah tertentu. Antioksidan, khususnya Natrium Bisulfat atau metabisulfat,
digunakan dengan konsentrasi sampai 0,3%, khususnya dalam larutan yang mengandung garam
epinefrin. Antioksidan lain seperti asam askorbat atau asetilsistein juga digunakan. Antioksidan
berefek sebagai penstabil untuk meminimalkan oksidasi epinefrin.
Penggunaan surfaktan dalam sediaan mata dibatasi hal yang sama. surfaktan nonionik,
kelas toksis kecil seperti bahan campuran digunakan dalam konsentrasi rendah khususnya suspensi
dan berhubungan dengan kejernihan larutan.
Penggunaan surfaktan, khususnya beberapa konsentrasi signifikan sebaiknya dengan
karakteristik bahan-bahah. surfaktan nonionik, khususnya dapat bereaksi dengan adsorpsi dengan
komponen pengawet antimikroba dan inaktif sistem pengawet.
Surfaktan kationik digunakan secara bertahap dalam larutan mata tetapi hampir invariabel
sebagai pengawet antimikroba. benzalkonium klorida dalam range 0,01-0,02% dengan toksisitas
faktor pembatas konsentrasi. Benzalkonium klorida sebagai pengawet digunakan dalam jumlah
besar dalam larutan dan suspensi mata komersial.
pH Cairan Mata
Ada persetujuan umum tentang konsentrasi ion hydrogen dari cairan lakrimal adalah mendekati
netral.Namun demikian, variasi nilai telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Kemudian Hasford
dan Hicks, Buchr dan Baeschlin, Feldman, Dekking, Byleveld, van Grosz dan Hild dan Goyan
dilaporkan telah menemukan pH cairan mata berhubungan dengan darah. Yang lain telah
mendapatkan nilai yang berbeda: Gyorffy dari 6,3-8,4, Lipschultz 8,0, Oguchi dan Nakasima dari
8,4-8,6.
Federsen-Bjergaard menemukan pH cairan lakrimal dari sepuluh orang normal dan
menemukan nilai 8,2. Dia membuat ketentuan dengan cara kolorimetri dan elektrometri, dan
ditemukan hasil yang sama pada kedua metode. Hind dan Goyan dalam pekerjaan terakhir,
menemukan pH air mata adalah 7,4. Berdasarkan hal itu, pH cairan lakrimal sekurang-kurangnya
7,4 dan mungkin lebih alkali. (Scoville’s : 224).
Konsentrasi ion hidrogen dari cairan mata berkisar 7,2-7,4. Sekresi lakrimal mempunyai
nilai pH antara 7,2-7,4 dan mempunyai kapasitas membuffer yang tinggi. Akibatnya, mata dapat
mentoleransi larutan yang mempunyai nilai pH dari 3,5-10, mereka tidak didapar dengan kuat
ketika cairan mata akan dengan cepat memperbaiki nilai pH normal dari mata.
Pewadahan
Wadah untuk larutan mata.Larutan mata sebaiknya digunakan dalam unit kecil, tidak pernah lebih
besar dari 15 ml dan lebih disukai yang lebih kecil. Botol 7,5 ml adalah ukuran yang
menyenangkan untuk penggunaan larutan mata. Penggunaan wadah kecil memperpendek waktu
pengobatan akan dijaga oleh pasien dan meminimalkan jumlah pemaparan kontaminasi. Botol
lastic untuk larutan mata juga dapat digunakan.Meskipun beberapa botol lastic untuk larutan mata
telah dimunculkan dalam pasaran, mereka masih melengkapi dan yang terbaik adalah untuk
menulis secara langsung produksi untuk menghasilkan informasi teknik dalam perkembangan
terakhir.
Tipe wadah yang biasa digunakan untuk tetes mata adalah vertikal dilipat ambar atau gelas
botol hijau layak dengan tutup bakelite yang membawa tube tetes dengan sebuah pentil dan
kemampuan untuk ditutup sebagaimana untuk menahan mikroorganisme. Sifat-sifat yang penting
sebagai berikut :
1. Mereka (wadah) dilengkapi dengan uji untuk membatasi alkali gelas. Copper (1963) menunjukkan
bahwa kadang-kadang botol dapat dibebasalkalikan tetapi tube tetes tidak. Ini dapat dicontohkan
oleh tetes mata fisostigmin dalam larutan dalam botol tidak berwarna tetapi pada tube tetes
berwarna merah muda.
2. Mereka melindungi isi bahan terhadap cahaya. Banyak bahan obat sensitif terhadap cahaya.
3. Mereka mempunyai segel yang memuaskan. Norton (1963) menunjukkan test warna.
4. Pentil karet atau pentil dari bahan-bahan lain adalah penyerap dan sebaiknya dijenuhkan dengan
pengawet yang digunakan dalam larutan mata dimana mereka digunakan.
5. Mereka menyiapkan penetes yang siap digunakan dan melindungi terhadap kerusakan dan
kontaminasi.
6. Mereka dilengkapi dengan pengaturan racun. Banyak obat mata adalah racun.
7. Wadah non gelas tidak bereaksi dengan obat-obat atau partikel lain yang menjadi isi larutan.
Wadah untuk larutan mata. Larutan mata sebaiknya digunakan dalam unit kecil, tidak
pernah lebih besar dari 15 ml dan lebih disukai yang lebih kecil. Botol 7,5 ml adalah ukuran yang
menyenangkan untuk penggunaan larutan mata. Penggunaan wadah kecil memperpendek waktu
pengobatan akan dijaga oleh pasien dan meminimalkan jumlah pemaparan kontaminasi.
Botol plastik untuk larutan mata juga dapat digunakan. Meskipun beberapa botol plastik
untuk larutan mata telah dimunculkan dalam pasaran, mereka masih melengkapi dan yang terbaik
adalah untuk menulis secara langsung produksi untuk menghasilkan informasi teknik dalam
perkembangan terakhir.
Larutan mata disiapkan secara terus-menerus dikemas dalam wadah tetes (droptainers)
polietilen atau dalam botol tetes gelas. Untuk mempertahankan sterilitas larutan, wadah harus
steril. Wadah polietilen disterilkan dengan etilen oksida, sementara penetes gelas dapat dengan
dibungkus dan diotoklaf. Secara komersial disiapkan unit dosis tunggal dengan volume 0,3 ml atau
kurang dikemas dalam tube polietilen steril dan disegel dengan pemanasan.
Wadah gelas sediaan mata tradisional dengan dilengkapi penetes gelas telah dilengkapi
hampir sempurna dengan unit penetes polietilen densitas rendah yang disebut “Droptainer”. Hanya
sejumlah kecil wadah gelas yang masih digunakan, biasanya karena pembatasan sterilitas. Larutan
intraokuler volume besar 250-500 ml telah dikemas dalam gelas, tetapi bahkan sediaan parenteral
mulai dikemas dalam pabrik khusus wadah polietilen/polipropilen. Satu yang masih perlu
dipikirkan adalah wadah plastik, biasanya polietilen densitas rendah, adalah tidak dengan alat
tergantikan dengan gelas.
Wadah plastik adalah permeabel terhadap beberapa bahan termasuk cahaya dan air. Wadah
plastik dapat mengandung variasi bahan-bahan ekstraneous seperti bahan pelepas jamur,
antioksidan, reaksi quenchers dan yang mirip, siap dapat menggunakan plastik dalam wadah
larutan. Lem label, tinta dan warna juga dapat berpenetrasi polietilen dengan cepat, sebaliknya
bahan-bahan menguap dapat menyerap dari larutan ke dalam atau melalui wadah plastik.
Wadah gelas memberikan bahan yang menyenangkan untuk penyiapan terus-menerus
larutan mata. Tipe I digunakan. Wadah sebaiknya dicuci dengan air destilasi steril kemudian
disterilisasi dengan otoklaf. Penetes normalnya disterilkan dan dikemas dalam blister pack yang
menyenangkan.
Nilai isotonisitas.
Cairan mata isotonik dengan darah dan mempunyai nilai isotonisitas sesuai dengan larutan
Natrium Klorida P 0.9%.Secara ideal larutan obat mata harus mempunyai nilai isotonis tersebut,
tetapi mata tahan terhadap nilai isotonis rendah yang setara dengan larutan NaCl P 2.0 % tanpa
gangguan nyata.
Beberapa larutan obat mata perlu hipertonik untuk meningkatkan daya serap dan
menyediakan kadar bahan aktif yang cukup tinggi untuk menghasilkan efek obat yang cepat dan
efektif. Apabila larutan obat seperti ini digunakan dalam jumlah kecil, pengenceran dengan air
mata cepat terjadi sehingga rasa perih akibat hipertonisitas hanya sementara.Tetapi penyesuaian
isotonisitas oleh pengenceran dengan air mata tidak berarti, jika digunakan larutan hipertonik
dalam jumlah besar sebagai koliria untuk membasahi mata. Jadi yang penting adalah larutan obat
mata untuk keperluan ini harus mendekati isotonik.
Pendaparan.
Banyak obat, khususnya garam alkaloid, paling efektif pada pH optimal bagi pembentukan basa
bebas tidak berdisosiasi.Tetapi pada pH ini obat mungkin menjadi tidak stabil, sehingga pH harus
diatur dan dipertahankan dengan penambahan dapar.
Salah satu maksud pendaparan larutan obat mata adalah untuk mencegah kenaikan pH yang
disebabkan pelepasan lambat ion hidroksil dari wadah kaca.Kenaikan pH dapat mengganggu
kelarutan dan stabilitas obat.Penambahan dapar dalam pembuatan obat mata harus didasarkan pada
beberapa pertimbangan tertentu.Air mata normal memiliki Ph lebih kurang 7.4 dan mempunyai
kapasitas dapar tertentu. Penggunaan obat mata akan merangsang pengeluaran air mata dan
penetralan cepat setiap kelebihan ion hidrogen atau ion hidroksil dalam kapasitas pendaparan air
mata.
Berbagai obat mata seperti garam alkaloid bersifat asam lemah dan hanya mempunyai
kapasitas dapar yang lemah.Jika hanya satu atau dua tetes larutan yang mengandung obat tersebut
diteteskan pada mata, pendaparan oleh air mata biasanya cukup untuk menaikkan Ph sehingga
tidak terlalu merangsang mata.Dalam beberapa hal, Ph dapat berkisar antara 3.5 dan 8.5.
Beberapa obat, seperti Pilokarpin HCl dan Epinefrin Bitartrat, lebih asam sehingga
melebihi kapasitas dapar air mata. Secara ideal larutan obat mata mempunyai Ph dan isotonisitas
yang sama dengan air mata. Hal ini tidak selalu dapat dilakukan karena pada Ph 7.4 banyak obat
yang tidak cukup larut dalam air.Sebagian besar garam alkaloid bebas pada ph ini.
Selain itu banyak obat yang tidak stabil secara kimia pada ph mendekati
7.4.Ketidakstabilan ini lebih nyata pada suhu tinggi yang digunakan pada sterilisasi dengan
pemanasan.Oleh karena itu sistem dapar harus dipilih sedekat mungkin dengan pH fisiologis yaitu
7.4 dan tidak menyebabkan pengendapan obat atau mempercepat kerusakan obat.
Bahan Pengawet.
Larutan obat mata dapat dikemas dalam wadah takaran ganda bila digunakan secara perorangan
pada pasien dan bila tidak terdapat kerusakan pada permukaan mata.Wadah larutan obat mata
harus tertutup rapat dan disegel untuk menjamin sterilitas pada pemakaian pertama.Larutan harus
mengandung zat atau campuran zat sesuai untuk mencegah pertumbuhan atau memusnahkan
bakteri yang mungkin masuk pada waktu wadah dibuka saat penggunaan.Sedangkan untuk
penggunaan pada pembedahan, disamping steril, larutan obatmata tidak boleh mengandung bahan
antibakteri karena dapat menimbulkan iritasi pada jaringan mata.
Perhitungan
1. Untuk mendapatkan pH yang optimal
pH optimal untuk darah atau cairan tubuh yang lain adalah 7,4 dan disebut isohidri. Karena
tidak semua bahan obat stabil pada pH cairan tubuh, tetes mata sering dibuat dengan pH diluar
tubuh dan berdasarkan kestabilan bahan tersebut.
pH dapat diatur dengan cara :
a. Penambahan zat tunggal, misalnya asam untuk alkaloid, basa untuk golongan sulfa
b. Penambahan larutan dapar, misalnya dapar fosfat untuk injeksi, dapar borat untuk obat tetes mata.
2. Untuk mendapatkan larutan yang isitonis
Larutan obat tetes mata dikatakan isotonis, jika :
a. Mempunyai tekanan osmosis yang sama dengan tekanan osmosis cairan tubuh (darah, cairan
lumbar, air mata) bernilai sama dengan tekanan osmosis larutan NaCl 0,9 % b/v.
b. Mempunyai tekanan titik beku sama dengan titik beku cairan tubuh, yaitu -0,52oC.
3. Perhitungan isotonis:
Isotonis adalah suatu keadaan pada saat tekanan osmosis larutan obat sama dengan tekanan
osmosis cairan tubuh kita ( darah, air mata ).
Hipotonis adalah tekanan osmosis larutan obat < tekanan osmosis cairan tubuh.
Hipertonis adalah tekanan osmosis larutan obat > tekanan osmosis caiaran tubuh.
Cara menghitung tekanan osmosis
Banyak rumus yang dapat di pakai tetapi pada umumnya berdasarkan perhitungan terhadap
penurunan titik beku ( PTB ). Penurunan titik beku darah dan air mata adalah -0,520C.
Larutan NaCl 0,9% b/v adalah larutan garam fisiologis yang isotonis dengan cairan tubuh.
Beberapa cara menghitung tekanan osmosis :
a. Cara penurunan titik beku ( PTB ) air yang disebabkan oleh 1% b/v zat khasiat dengan rumus
menurut FI
Keterangan :
B : bobot zat tambahan ( NaCl ) dalam satuan gram untuk tiap 100 ml larutan
0,52 : titik beku cairan tubuh ( -0,520C )
b1 : PTB zat aktif
C : konsentrasi dalam satuan % b/v zat aktif
b2 : PTB zat tambahan ( NaCl )
Tiga jenis keadaan tekanan osmosis larutan obat :
Keadaan isotonis adalah jika nilai B = 0, maka b1C = 0,52
Keadaan hipotonis adalah jika nilai B positif, maka b1C < 0,52
Keadaan hipertonis adalah jika nilai B negative, maka b1C > 0,52
b. Cara Ekuivalensi NaCl
Yang dimaksud dengan ekuivalensi NaCl (E) adalah banyaknya gram NaCl yang
memberikan efek osmosis yang sama dengan 1 g zat terlarut tertentu.
Jika Eefedrin HCl= 0,28; berarti setiap 1 g Efedrin HCl ̴ 0,28 g NaCl
Jadi dpat dianalogikan sebagai berikut.
Ex= a; artinya tiap 1 g zat X ̴ a g NaCl
Ex= E`; artinya tiap 1 g zat X ̴ E g NaCl
Jika bobot zat X = W g →maka ekuivalensinya adalah W x E g NaCl
Larutan isootonik NaCl 0,9 % b/v ; artinya tiap 100ml NaCl ̴ 0,9 g NaCl
Jika bobot NaCl = W x E g ; maka volume yang isotonis adalah (W x E) 100/0,9 ; sehingga
dapat kita rumuskan sebagai berikut
Rumus 2 V= (W xE) 100/0,9 = (WxE) 111,1
Keterangan :
V = volume lautan yang sudah isotonis dalam satuan ml
W = bobot zat aktif dalam satuan gram
E = nilai ekuivalen zat aktif
Jika volume larutan = V ml dan volume yang sudah isotonis = V ml ; maka =-volume yang
belum isotonis adalah (V-V’)ml, sedangkan volume untuk tiap 100 ml NaCl agar isotonis ̴ 0,9 g
NaCl, maka bobot NaCl (B) yang masih diperlukan agar larutan menjadi isotonis adalah (V-V) x
0,9/100, maka B = (V-V) x 0,9 /100 atau B =(0,9/100 x V)-(0,9/100 x V). Jika V kita ganti dengan
(WxE) 100/0,9 maka B = [0,9/100xV]-[0,9/100x(WxE) 100/0,9] dan akhirnya kita dapatkan rumus
sebagai berikut.
Rumus 3 B = 0,9/100 x V – (WxE)
Keterangan :
B = bobot zat tambahan dalam satuan gram
V = volume larutan dalam satuan ml
W = bobot zat khasiat dalam satuan gram
E = ekuivalensi zat aktif terhadap NaCl
Tiga jenis keadaan tekanan osmosis larutan obat:
Keadaan isotonis jika nilai B = 0 ; maka 0,9/100 xV = (WxE)
Keadaan hipotonis jika nilai B positif ; maka 0,9/100 x V > (WxE)
Keadaan hipertonis jika nilai B negatif ; maka 0,9/100 x V < (WxE)
c. Cara faktor disosiasi (Farmakope Belanda VI)
Sudah ditetapkan bahwa larutan NaCl 0,9% b/v isotonis dengan cairan tubuh. Tekanan
osmosis larutan sebanding dengan jumlah bagian-bagian dalam larutan. Dalam larutan encer, dapat
dikatakan bahwa garam-garam terdisosiasi sempurna.
NaCl Na+ + Cl-
(Fa/Ma)xa
Dari sebuah molekul NaCl terbentuk 2 (dua) ion. Jadi faktor disosiasi NaCl = 2; lebih tepat
sebetulnya 1,8 karena ada sedikit kesetimbangan reaksi.
Jadi faktor isotonisnya adalah:
Keterangan:
fa = faktor disosiasi zat-zat yang mendekati keadan yang sebenarnya; untuk zat-zat yang tidak
terdisosiasi seperti glukosa dan gliserin = 1 ; untuk asam lemah dan basa lemah = 1,5 dan untuk
asam kuat dan basa kuat =1,8
Ma= bobot molekul zat.
a, b, c,.... dan seterusnya adalah kadar zat dalam larutan dalam satuan g/liter.
Jadi larutan isotonis dapat dihitug dari NaCl 0,9% b/v tersebut, yaitu:
= (f.NaCl/M.NaCl)x kadar NaCl ( dalam satuan gram/liter)
= (1,8/ 58,5)x9 = 0,28 (berarti setiap larutan yang mempunyai faktor isontonis
= 0,28 adalah isotonis).
Dapat kita turunkan rumus sebagai berikut
(fa/Ma)x a + (fb/Mb)x b + (fc/Mc) x c......dst= 0,28
Rumus 4
Untuk menghitung banyaknya zat penambah (h) dalam membuat larutan isotonis dapat
dirumuskan sebagai berikut:
(fa/Ma )x a + (fb/Mb)x b ............dst + (fh/Mh)x h = 0,28.
(fh/Mh)x h ={ 0,28- [(fa/Ma )x a]+[ (fb/Mb)x b]+ ......dst}
h= (Mh/fh)x { 0,28-[(fa/Ma )x a] + [(fb/Mb)x b]+.....dst}
Rumus 5
h = (Mh/fh)x { 0,28-[(fa/Ma )x a] + [(fb/Mb)x b]+.....dst}
harga = (Mh/fh)untuk:
Nacl =32
Glukosa = 198
Etanol 96% b/v = 43
Na nitrat = 42
Gliserin = 81
Pustaka
1. Ansel. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI press
2. Anonim. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan RI
3. Anonim. 1995. Farmakope Indonesia ediai IV. Jakarta : Departemen Kesehatan RI
4. Pharmacopee Ned edisi V
5. Soetopo dkk. 2002. Ilmu Resep Teori. Jakarta : Departemen Kesehatan
6. Voigt. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : UGM Press
7. Lachman dkk. 1994. Teori Dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta : UI Press
8. Departemen Kesehatan RI. 1978. Formularium Nasional edisi II. Jakarta
9. Van Duin. 1947. Ilmu Resep. Jakarta : Soeroengan
10. Anonim. Farmakope Herbal
11. Anief. 2006. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : UGM Pres
12. Martindale, The Extra Pharmacopeia Twenty-eight Edition. The Parmaceutical Press, London.
1982.
13. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Jakarta: PT Infomaster.
14. Departement of pharmaceutical Science. 1982. Martindale the Extra Pharmacoeia 28th edition.
London: The Pharmaceutical Press.
15. Badan Pengawas Obat dan Makanan. ISFI. 2006. ISO Indonesia, volume IV. Jakarta: PT. Anem
Kosong Anem (AKA).
16. Wade, Ainley and Paul J Weller.Handbook of Pharmaceutical excipients.Ed II.1994.London; The
Pharmaceutical Press.
17. Hardjasaputra, S. L. Purwanto, Dr. dkk. 2002. Data Obat di Indonesia (DOI), edisi 10. Jakarta:
Grafidian medi press.