Anda di halaman 1dari 19

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Ny. T

Usia : 32 tahun

Pendidikan : SLTA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Jl.Dwikora Raya no.6 Glatik, Halim Perdana Kusuma

Masuk RS tanggal : 1 September 2013

No. Rekam Medis : 06-17-32

Suami

Nama : Tn. A

Usia : 35 tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : TNI AU (SERDA)

Alamat : mess Gelatik

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Keluar darah pervaginam sejak tiga hari SMRS

b. Riwayat Haid
- Pertama kali haid pada umur 13 tahun

- Haid tidak teratur dan disertai nyeri

- Lama haid 7 hari

- HPHT : 17 agustus 2013


c. Riwayat Perkawinan

- Perkawinan ke 1

- Masih kawin

- Lama kawin 10 tahun

c. Riwayat Kehamilan
Anak pertama: perempuan, umur 8 tahun, Berat lahir 2500 gram, Panjang lahir
48 cm, lahir spontan, di klinik, ditolong bidan, lahir hidup.

III. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


3 hari SMRS, pasien mengeluh keluar darah pervaginam, darah berwarna merah
coklat, kehitaman dan menggumpal. Darah yang keluar sebanyak satu pembalut
penuh dan pasien dapat mengganti pembalut lebih dari 5 kali dalam sehari karena
jumlah darah yang banyak. Keluhan disertai rasa nyeri pada perut.
2 hari SMRS, keluhan keluar darah pervaginam semakin banyak warna merah
kehitaman dan menggumpal. Nyeri semakin terasa di perut bagian bawah dan
daerah panggul pasien. Nyeri terasa mengganggu sehingga pasien sulit melakukan
aktivitas sehari-hari. Kemudian pasien berobat ke UGD dan diberi obat anti-nyeri.
Keluhan nyeri berkurang.
1 hari SMRS, keluar darah pervaginam tidak juga berhenti dan nyeri tidak
membaik. Pasien juga mengeluh sakit kepala, badan terasa lemas, dan rasa mual.
Pasien mengatakan sejak 3 bulan terakhir siklus haid tidak teratur dan dalam
sebulan bisa mendapat haid 2 kali. Tidak ada riwayat trauma pada alat kelamin
wanita. Tidak ada riwayat sering mimisan dan mudah memar pada tubuh pasien.
Tidak ada riwayat terjadi perdarahan pada alat kelamin pasien setelah melakukan
hubungan seksual. Tidak ada riwayat mengkonsumsi obat-obatan , minuman keras,
jamu-jamuan dan tidak merokok. Kemudian keluarga pasien membawa pasien
berobat ke RSAU untuk pengobatan lebih lanjut.

Riwayat kontrasepsi : KB (suntik)

Riwayat penyakit : Keputihan


Riwayat penyakit keluarga : Tidak ada Hipertensi, Asma ,Diabetes Mellitus, dan
alergi . Tidak ada riwayat mioma uteri, cancer serviks, endometriosis, Polycystic
Ovarian Syndrome (PCOS) .

IV. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak lemas

Kesadaran : Kompos mentis

Tanda-Tanda Vital:

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Suhu : 36,7 oC

Nadi : 88 x/menit

Pernafasan : 20 x/menit

BB : 155 kg

TB : 65 cm

Kulit : sawo matang

Kepala : Normochepali

Leher : Pembesaran KGB -, Pembesaran tyroid -

Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-

Telinga : Dalam batas normal

Hidung : Dalam batas normal

Mulut : Dalam batas normal


Mukosa Bibir : Tampak anemis

THORAKS

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS 5 midklavikula sinistra

Perkusi : Batas jantung dekstra Linea parasternalis dextra IV

Batas jantung sinistra Linea midclavicularis sinistra V

Auskultasi : S1 / S2 (+), murmur sistolik (-), gallop (-).

Paru

Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris

palpasi : Vokal fremitus (-/-), nyeri tekan –

perkusi : Sonor seluruh lapangan paru

auskultasi : Vesikular, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen

Inspeksi : Simetris, bentuk datar, supel

Palpasi : Nyeri tekan regio hipogastrika (+) , tidak teraba massa/benjolan

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising Usus (+)

Ekstremitas : Edema -, Sianosis -


V. PEMERIKSAAN GINEKOLOGI

Genitalia Eksterna

Inspeksi

Vulva : Distribusi rambut merata, tidak ada ulkus, tidak ada abses, tidak ada fluor
albus, tidak ada pus, terdapat darah haid (+)

Palpasi

Tidak ada pembesaran kelenjar Bartolini, tidak teraba abses, tidak ada nyeri tekan.

Pemeriksaan In Spekulo:

Vagina : dinding vagina licin, tidak ada massa, tidak ada abses, tidak ada ulkus, tidak
ada fluor albus

Portio : terbelah melintang, tidak tampak erosi, tidak ada polip, tumor atau ulkus, OUE
tampak tertutup, terdapat darah (+)

Pemeriksaan Bimanual:

Tidak ada massa dan tidak ada nyeri tekan pada vagina dan serviks. Darah (+)

Portio Lunak, Konsistensi kenyal, OUE tertutup

Parametrium dan Adnexa : teraba lemas, tidak ada massa, tidak ada nyeri tekan

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah

Hb : 7,4 gr/dL ( normal: 11,7- 15,5)

Leukosit : 6100 mm3


Bleeding Time : 3 menit ( N : 1-3 menit)

Clotting Time : 7 menit ( N 4-7 menit)

Trombosit : 428 ribu/mm3 (N: 150-440 ribu/mm3)

Hematokrit : 29 % ( N: 35-47 %)

Tes Kehamilan: Negatif

VII. DIAGNOSIS

Diagnosis kerja : Metroragia dengan anemia e.c suspek perdarahan uterus


disfungsional

Differential Diagnosis:

Perdarahan uterus karena kelainan organik yaitu mioma uteri, cancer serviks.

Pemeriksaan yang Dianjurkan: USG

VIII. PENGOBATAN/TINDAKAN
- IVFD RL

- Neurobion 1 x 1

- Cefotaxim IV 3 x 1

- Vitamin C IV 2 x 1

- Tranfusi WB 2 kantong

- Tranfusi PRC 1 kantong


FOLLOW UP

Tanggal 02-09- 2013

S : Tampak sakit ringan, badan lemas, sakit kepala, keluar darah sedikit

O : TD 120/80, N 80 x/ m, R 22 x/ m, S 36,50C, Hb 7,4 g/dl

Abdomen:

Inspeksi: Datar

Palpasi :tidak ada nyeri tekan , tidak ada massa/benjolan

Perkusi: Timpani

Auskultasi: Bising Usus (+) normal

A : Metroragia dengan anemia e.c perdarahan uterus disfungsional

P : - IVFD RL , Neurobion 1 x 1, Cefotaxim 3 x 1, Vitamin C IV 2 x 1, Tranfusi WB 2


kantong, Tranfusi PRC 1 kantong, pro kuret.
Tinjauan Pustaka

Perdarahan Uterus Disfungsional

I. Definisi

Perdarahan uterus disfungsional (PUD) adalah perdarahan uterus abnormal yang terjadi di
dalam maupun di luar siklus haid, yang semata-mata disebabkan gangguan fungsional
mekanisme kerja hipotalamus-hipofisis-ovarium-endometrium tanpa kelainan organik alat
reproduksi. PUD paling banyak dijumpai pada usia perimenars dan perimenopause. Perdarahan
uterus abnormal hampir selalu disebabkan oleh gangguan poros hormonal hipotalamus-
hipofisis – ovarium.

Batasan Perdarahan Uterus Abnormal:

Polimenoragia : frekuensi haid yang abnormal yang berlangsung setiap < 24 hari

Menoragia : Haid yang berlebihan dan berkepanjangan ( > 80 ml dan berlangsung > 7 hari )
namun dengan siklus yang normal

Metroragia : Episode perdarahan yang tidak beraturan

Menometroragia : Perdarahan uterus yang tidak teratur dan jumlah berlebihan

Sebagian besar kejadian PUD terjadi pada masa sekitar menarche (usia 11 – 14 tahun ) atau
sekitar menopause ( usia 45 – 50 tahun .

Pada masa perimenopause , perdarahan uterus anovulasi seringkali disebabkan oleh


menurunnya kapasitas ovarium.

Pada masa remaja, perdarahan anovulasi sering disebabkan oleh kegagalan sistem
hipotalamus – hipofisis untuk merespon mekanisme umpan balik positif dari estrogen.

II. Fisiologi Menstruasi

Pada siklus menstruasi normal, terdapat produksi hormon-hormon yang paralel dengan
pertumbuhan lapisan rahim untuk mempersiapkan implantasi (perlekatan) dari janin (proses
kehamilan). Gangguan dari siklus menstruasi tersebut dapat berakibat gangguan kesuburan,
abortus berulang, atau keganasan. Gangguan dari sikluas menstruasi merupakan salah satu
alasan seorang wanita berobat ke dokter.

Siklus menstruasi normal berlangsung selama 21-35 hari, 2-8 hari adalah waktu keluarnya
darah haid yang berkisar 20-60 ml per hari. Penelitian menunjukkan wanita dengan siklus
mentruasi normal hanya terdapat pada 2/3 wanita dewasa, sedangkan pada usia reproduksi yang
ekstrim (setelah menarche <pertama kali terjadinya menstruasi> dan menopause) lebih banyak
mengalami siklus yang tidak teratur atau siklus yang tidak mengandung sel telur. Siklus
mentruasi ini melibatkan kompleks hipotalamus-hipofisis-ovarium.

Siklus Menstruasi Normal

Sikuls menstruasi normal dapat dibagi menjadi 2 segmen yaitu, siklus ovarium (indung telur)
dan siklus uterus (rahim). Siklus indung telur terbagi lagi menjadi 2 bagian, yaitu siklus
folikular dan siklus luteal, sedangkan siklus uterus dibagi menjadi masa proliferasi
(pertumbuhan) dan masa sekresi.

Perubahan di dalam rahim merupakan respon terhadap perubahan hormonal. Rahim terdiri dari
3 lapisan yaitu perimetrium (lapisan terluar rahim), miometrium (lapisan otot rehim, terletak
di bagian tengah), dan endometrium (lapisan terdalam rahim). Endometrium adalah lapisan
yangn berperan di dalam siklus menstruasi. 2/3 bagian endometrium disebut desidua
fungsionalis yang terdiri dari kelenjar, dan 1/3 bagian terdalamnya disebut sebagai desidua
basalis.

Sistem hormonal yang mempengaruhi siklus menstruasi adalah:

1. FSH-RH (follicle stimulating hormone releasing hormone) yang dikeluarkan


hipotalamus untuk merangsang hipofisis mengeluarkan FSH

2. LH-RH (luteinizing hormone releasing hormone) yang dikeluarkan hipotalamus untuk


merangsang hipofisis mengeluarkan LH

3. PIH (prolactine inhibiting hormone) yang menghambat hipofisis untuk mengeluarkan


prolaktin
Pada setiap siklus menstruasi, FSH yang dikeluarkan oleh hipofisis merangsang
perkembangan folikel-folikel di dalam ovarium (indung telur). Pada umumnya hanya 1 folikel
yang terangsang namun dapat perkembangan dapat menjadi lebih dari 1, dan folikel tersebut
berkembang menjadi folikel de graaf yang membuat estrogen. Estrogen ini menekan produksi
FSH, sehingga hipofisis mengeluarkan hormon yang kedua yaitu LH. Produksi hormon LH
maupun FSH berada di bawah pengaruh releasing hormones yang disalurkan hipotalamus ke
hipofisis. Penyaluran RH dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik estrogen terhadap
hipotalamus. Produksi hormon gonadotropin (FSH dan LH) yang baik akan menyebabkan
pematangan dari folikel de graaf yang mengandung estrogen. Estrogen mempengaruhi
pertumbuhan dari endometrium. Di bawah pengaruh LH, folikel de graaf menjadi matang
sampai terjadi ovulasi. Setelah ovulasi terjadi, dibentuklah korpus rubrum yang akan menjadi
korpus luteum, di bawah pengaruh hormon LH dan LTH (luteotrophic hormones, suatu hormon
gonadotropik). Korpus luteum menghasilkan progesteron yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan kelenjar endometrium. Bila tidak ada pembuahan maka korpus luteum
berdegenerasi dan mengakibatkan penurunan kadar estrogen dan progesteron. Penurunan kadar
hormon ini menyebabkan degenerasi, perdarahan, dan pelepasan dari endometrium. Proses ini
disebut haid atau menstruasi. Apabila terdapat pembuahan dalam masa ovulasi, maka korpus
luteum tersebut dipertahankan.

Pada tiap siklus dikenal 3 masa utama yaitu:

1. Masa menstruasi yang berlangsung selama 2-8 hari. Pada saat itu endometrium (selaput
rahim) dilepaskan sehingga timbul perdarahan dan hormon-hormon ovarium berada
dalam kadar paling rendah

2. Masa proliferasi dari berhenti darah menstruasi sampai hari ke-14. Setelah menstruasi
berakhir, dimulailah fase proliferasi dimana terjadi pertumbuhan dari desidua
fungsionalis untuk mempersiapkan rahim untuk perlekatan janin. Pada fase ini
endometrium tumbuh kembali. Antara hari ke-12 sampai 14 dapat terjadi pelepasan sel
telur dari indung telur (disebut ovulasi)

3. Masa sekresi. Masa sekresi adalah masa sesudah terjadinya ovulasi. Hormon
progesteron dikeluarkan dan mempengaruhi pertumbuhan endometrium untuk
membuat kondisi rahim siap untuk implantasi (perlekatan janin ke rahim)
Siklus ovarium :

1. Fase folikular. Pada fase ini hormon reproduksi bekerja mematangkan sel telur yang
berasal dari 1 folikel kemudian matang pada pertengahan siklus dan siap untuk proses
ovulasi (pengeluaran sel telur dari indung telur). Waktu rata-rata fase folikular pada
manusia berkisar 10-14 hari, dan variabilitasnya mempengaruhi panjang siklus
menstruasi keseluruhan

2. Fase luteal. Fase luteal adalah fase dari ovulasi hingga menstruasi dengan jangka waktu
rata-rata 14 hari

Siklus hormonal dan hubungannya dengan siklus ovarium serta uterus di dalam siklus
menstruasi normal:

1. Setiap permulaan siklus menstruasi, kadar hormon gonadotropin (FSH, LH) berada
pada level yang rendah dan sudah menurun sejak akhir dari fase luteal siklus
sebelumnya
2. Hormon FSH dari hipotalamus perlahan mengalami peningkatan setelah akhir dari
korpus luteum dan pertumbuhan folikel dimulai pada fase folikular. Hal ini merupakan
pemicu untuk pertumbuhan lapisan endometrium
3. Peningkatan level estrogen menyebabkan feedback negatif pada pengeluaran FSH
hipofisis. Hormon LH kemudian menurun sebagai akibat dari peningkatan level
estradiol, tetapi pada akhir dari fase folikular level hormon LH meningkat drastis
(respon bifasik)
4. Pada akhir fase folikular, hormon FSH merangsang reseptor (penerima) hormon LH
yang terdapat pada sel granulosa, dan dengan rangsangan dari hormon LH, keluarlah
hormon progesteron
5. Setelah perangsangan oleh hormon estrogen, hipofisis LH terpicu yang menyebabkan
terjadinya ovulasi yang muncul 24-36 jam kemudian. Ovulasi adalah penanda fase
transisi dari fase proliferasi ke sekresi, dari folikular ke luteal
6. Kedar estrogen menurun pada awal fase luteal dari sesaat sebelum ovulasi sampai fase
pertengahan, dan kemudian meningkat kembali karena sekresi dari korpus luteum
7. Progesteron meningkat setelah ovulasi dan dapat merupakan penanda bahwa sudah
terjadi ovulasi
8. Kedua hormon estrogen dan progesteron meningkat selama masa hidup korpus luteum
dan kemuadian menurun untuk mempersiapkan siklus berikutnya.

III. Penyebab:

1. Iatrogenik :

1. Estrogen eksogen ( kontraspsi oral )


2. Aspirin
3. Heparin
4. Tamoxifen
5. IUD

2. Diskrasia darah :

1. Tromobositopenia
2. Fibrinolisin meningkat
3. Penyakit autoimune
4. Leukoemia
5. Penyakit Von Willebrand

3. Sistemik :

1. Penyakit hepar (metabolisme estrogen terganggu )


2. Penyakit ginjal (hiperprolaktinemia)
3. Penyakit tiroid

4. Trauma :

1. Laserasi
2. Abrasi
3. Benda asing

5. Penyakit organik :

1. Komplikasi kehamilan
2. Mioma uteri
3. Keganasan servik / corpus uteri
4. Polip endometrium
5. Adenomiosis
6. Endometritis
7. Hiperplasia endometrium
IV. Patogenesis

Secara garis besar, kondisi di atas dapat terjadi pada siklus ovulasi (pengeluaran sel
telur/ovum dari indung telur), tanpa ovulasi maupun keadaan lain, misalnya pada
wanita premenopause (folikel persisten).Sekitar 90% perdarahan uterus difungsional
(perdarahan rahim) terjadi tanpa ovulasi (anovulation) dan 10% terjadi dalam siklus
ovulasi.
Pada siklus ovulasi.
Perdarahan rahim yang bisa terjadi pada pertengahan menstruasi maupun bersamaan
dengan waktu menstruasi. Perdarahan ini terjadi karena rendahnya kadar hormon
estrogen, sementara hormon progesteron tetap terbentuk.
Pada siklus tanpa ovulasi (anovulation), Perdarahan rahim yang sering terjadi pada
masa pre-menopause dan masa reproduksi. Hal ini karena tidak terjadi ovulasi,
sehingga kadar hormon estrogen berlebihan sedangkan hormon progesteron rendah.
Akibatnya dinding rahim (endometrium) mengalami penebalan berlebihan (hiperplasi)
tanpa diikuti penyangga (kaya pembuluh darah dan kelenjar) yang memadai. Nah,
kondisi inilah penyebab terjadinya perdarahan rahim karena dinding rahim yang rapuh.
Di lain pihak, perdarahan tidak terjadi bersamaan. Permukaan dinding rahim di satu
bagian baru sembuh lantas diikuti perdarahan di permukaan lainnya. Jadilah perdarahan
rahim berkepanjangan.
a. Gambaran klinik
Perdarahan rahim yang dapat terjadi tiap saat dalam siklus menstruasi. Jumlah
perdarahan bisa sedikit-sedikit dan terus menerus atau banyak dan berulang. Kejadian
tersering pada menarche (atau menarke: masa awal seorang wanita mengalami
menstruasi) atau masa pre-menopause.
a.Perdarahan ovulatori
Perdarahan ini merupakan kurang lebih 10 % dari perdarahan disfungsional dengan
siklus pendek (polimenore) atau panjang (oligomenore). Untuk menegakan diagnosis
perdarahan ovulatori perlu dilakukan kerokan pada masa mendekati haid. Jira karena
perdarhan yang lama dan tidak teratur siklus haid tidak dikenali lagi, maka Madang-
kadang bentuk survei suhu badan basal dapat menolong. Jika sudah dipastikan bahwa
perdarahan berasal dari endometrium tipe sekresi tanpa adanya sebab organik, maka
harus dipikirkan sebagai etiologinya:
1. korpus luteum persistens
Dalam hal ini dijumpai perdarahan Madang-kadang bersamaan dengan ovarium yang
membesar. Sindrom ini harus dibedakan dari kelainan ektopik karena riwayat penyakit
dan hasil pemeriksaan panggul sering menunjukan banyak persamaan antara keduanya.
Korpus luteum persistens dapat menimbulkan pelepasan endometrium yagn tidak
teratur (irregular shedding). Diagnosis ini di buat dengan melakukan kerokan yang tepat
pada waktunya, yaitu menurut Mc. Lennon pada hari ke 4 mulainya perdarahan. Pada
waktu ini dijumpai endometrium dalam tipe sekresi disamping nonsekresi.
2. insufisiensi korpus luteum Hal ini dapat menyebabkan premenstrual spotting,
menoragia atau polimenore. Dasarnya ahíla kurangntya produksi progesteron
disebabkan oleh gangguan LH realizing factor. Diagnosis dibuat, apabila hasil biopsi
endometrial dalam fase luteal tidak cocok dengan gambaran endometrium yang
seharusnya didapat pada hari siklus yang bersangkutan.
3. apopleksia uteri Pada wanita dengan hipertensi dapat terjado pecahnya pembuluh
darah dalam uterus.
4. kelainan darah Seperti anemia, purpura trombositopenik, dan gangguan dalam
mekasnisme pembekuan darah.

b. Perdarahan anovulatoir
Stimulasi dengan estrogen menyebabkan tumbuhnya endometrium. Dengan menurunya
Kadar estrogen dibawah tingkat tertentutimbul perdarahan yang Madang-kadang
bersifat siklik, Kadang-kadang tidak teratur sama sekali. Fluktuasi kadar estrogen ada
sangkutpautnya dengan jumlah folikel yang pada statu waktu fungsional aktif. Folikel
– folikel ini mengeluarkan estrogen sebelum mengalami atresia, dan kemudian diganti
oleh folikel – folikel baru. Endometrium dibawah pengaruh estrogen tumbuh terus dan
dari endometrium yang mula-mula ploriferasidapat terjadi endometrium bersifat
hiperplasia kistik. Jika gambaran ini diperoleh pada kerokan maka dapat disimpulkan
adanya perdarahan anovulatoir.Perdarahan fungsional dapat terjadi pada setiap waktu
akan tetapi paling sering pada masa permulaan yaitu pubertas dan masa pramenopause.
Pada masa pubertas perdarahan tidak normal disebabkan oleh karena gangguan atau
keterlambatan proses maturasi pada hipotalamus, dengan akibat bahwa pembuatan
realizing faktor tidak sempurna. Pada masa pramenopause proses terhentinya fungsi
ovarium tidak selalu berjalan lancar. Bila pada masa pubertas kemungkinan keganasan
kecil sekali dan ada harapan lambat laun keadaan menjadi normal dan siklus haid
menjadi ovulatoir, pada seorang dewasa dan terutama dalam masa pramenopause
dengan perdarahan tidak teratur mutlak diperlukan kerokan untuk menentukan ada
tidaknya tumor ganas. Perdarahan disfungsional dapat dijumpai pada penderita-
penderita dengan penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit darah, penyakit
umum yang menahun, tumor-tumor ovarium dan sebagainya. Akan tetapi disamping
itu terdapat banyak wanita dengan perdarahan disfungsional tanpa adanya penyakit-
penyakit tersebut. Selain itu faktor psikologik juga berpengaruh antara lain stress
kecelakaan, kematian, pemberian obat penenang terlalu lama dan lain-lain dapat
menyebabkan perdarahanan ovulatoir

V. Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan klinis yang lengkap harus dilakukan dalam pemeriksaan
pasien. Jika anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjukkan adanya penyakit sistemik,
maka penyelidikan lebih jauh mungkin diperlukan. Abnormalitas pada pemeriksaan
pelvis harus diperiksa dengan USG dan laparoskopi jika diperlukan. Perdarahan siklik
(reguler) didahului oleh tanda premenstruasi (mastalgia, kenaikan berat badan karena
meningkatnya cairan tubuh, perubahan mood, atau kram abdomen ) lebih cenderung
bersifat ovulatori. Sedangkan, perdarahan lama yang terjadi dengan interval tidak
teratur setelah mengalami amenore berbulan – bulan, kemungkinan bersifat
anovulatori. Peningkatan suhu basal tubuh ( 0,3 – 0,6 C ), peningkatan kadar
progesteron serum ( > 3 ng/ ml ) dan atau perubahan sekretorik pada endometrium yang
terlihat pada biopsi yang dilakukan saat onset perdarahan, semuannya merupakan bukti
ovulasi. Diagnosis DUB setelah eksklusi penyakit organik traktus genitalia, terkadang
menimbulkan kesulitan karena tergantung pada apa yang dianggap sebagai penyakit
organik, dan tergantung pada sejauh mana penyelidikan dilakukan untuk
menyingkirkan penyakit traktus genitalia. Pasien berusia dibawah 40 tahun memiliki
resiko yang sangat rendah mengalami karsinoma endometrium, jadi pemeriksaan
patologi endometrium tidaklah merupakan keharusan. Pengobatan medis dapat
digunakan sebagai pengobatan lini pertama dimana penyelidikan secara invasif
dilakukan hanya jika simptom menetap. Resiko karsinoma endometerium pada pasien
DUB perimenopause adalah sekitar 1 persen. Jadi, pengambilan sampel endometrium
penting dilakukan.
VI. Pemeriksaan penunjang:
1. Pemeriksaan darah : Hemoglobin, uji fungsi thiroid , dan kadar HCG, FSH, LH,
Prolaktin dan androgen serum jika ada indikasi atau skrining gangguan
perdarahan jika ada tampilan yang mengarah kesana.
2. Pemeriksaan USG untuk mendeteksi kelainan organik
3. Deteksi patologi endometrium melalui (a) dilatasi dan kuretase dan (b)
histeroskopi. Wanita tua dengan gangguan menstruasi, wanita muda dengan
perdarahan tidak teratur atau wanita muda ( < 40 tahun ) yang gagal berespon
terhadap pengobatan harus menjalani sejumlah pemeriksaan endometrium.
Penyakit organik traktus genitalia mungkin terlewatkan bahkan saat kuretase.
Maka penting untuk melakukan kuretase ulang dan investigasi lain yang sesuai
pada seluruh kasus perdarahan uterus abnormal berulang atau berat. Pada wanita
yang memerlukan investigasi, histeroskopi lebih sensitif dibandingkan dilatasi
dan kuretase dalam mendeteksi abnormalitas endometrium.
4. Laparoskopi : Laparoskopi bermanfaat pada wanita yang tidak berhasil dalam
uji coba terapeutik.

VI. Penatalaksanaan

Setelah menegakkan diagnosa dan setelah menyingkirkan berbagai kemungkinan


kelainan organ, teryata tidak ditemukan penyakit lainnya, maka langkah selanjutnya
adalah melakukan prinsip-prinsip pengobatan sebagai berikut:

1. Menghentikan perdarahan. 2. Mengatur menstruasi agar kembali normal. 3.


Transfusi jika kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 8 gr%.

Menghentikan perdarahan.

Langkah-langkah upaya menghentikan perdarahan adalah sebagai berikut:


Kuret (curettage). Hanya untuk wanita yang sudah menikah. Tidak bagi gadis dan tidak
bagi wanita menikah tapi “belum sempat berhubungan intim”. O b a t
(medikamentosa)1. Golongan estrogen.Pada umumnya dipakai estrogen alamiah,
misalnya: estradiol valerat (nama generik) yang relatif menguntungkan karena tidak
membebani kinerja liver dan tidak menimbulkan gangguan pembekuan darah. Jenis
lain, misalnya: etinil estradiol, tapi obat ini dapat menimbulkan gangguan fungsi liver.
Dosis dan cara pemberian: Estrogen konyugasi (estradiol valerat): 2,5 mg diminum
selama 7-10 hari.Benzoas estradiol: 20 mg disuntikkan intramuskuler. (melalui
bokong) Jika perdarahannya banyak, dianjurkan nginap di RS (opname), dan diberikan
Estrogen konyugasi (estradiol valerat): 25 mg secara intravenus (suntikan lewat selang
infus) perlahan-lahan (10-15 menit), dapat diulang tiap 3-4 jam. Tidak boleh lebih 4
kali sehari. Estrogen intravena dosis tinggi ( estrogen konjugasi 25 mg setiap 4 jam
sampai perdarahan berhenti ) akan mengontrol secara akut melalui perbaikan
proliferatif endometrium dan melalui efek langsung terhadap koagulasi, termasuk
peningkatan fibrinogen dan agregasi trombosit. Terapi estrogen bermanfaat
menghentikan perdarahan khususnya pada kasus endometerium atrofik atau inadekuat.
Estrogen juga diindikasikan pada kasus DUB sekunder akibat depot progestogen ( Depo
Provera ). Keberatan terapi ini ialah bahwa setelah suntikan dihentikan,perdarahan
timbul lagi.

2. Obat Kombinasi
Terapi siklik merupakan terapi yang paling banyak digunakan dan paling efektif.
Pengobatan medis ditujukan pada pasien dengan perdarahan yang banyak atau
perdarahan yang terjadi setelah beberapa bulan amenore. Cara terbaik adalah
memberikan kontrasepsi oral ; obat ini dapat dihentikan setelah 3 – 6 bulan dan
dilakukan observasi untuk melihat apakah telah timbul pola menstruasi yang normal.
Banyak pasien yang mengalami anovulasi kronik dan pengobatan berkelanjutan
diperlukan. Paparan estrogen kronik dapat menimbulkan endometrium yang berdarah
banyak selama penarikan progestin . Speroff menganjurkan pengobatan dengan
menggunakan kombinasi kontrasepsi oral dengan regimen menurun secara bertahap.
Dua hingga empat pil diberikan setiap hari setiap enam hingga duabelas jam , selama 5
sampai 7 hari untuk mengontrol perdarahan akut. Formula ini biasanya mengontrol
perdarahan akut dalam 24 hingga 48 jam ; penghentian obat akan menimbulkan
perdarahan berat. Pada hari ke 5 perdarahan ini, mulai diberikan kontrasepsi oral siklik
dosis rendah dan diulangi selama 3 siklus agar terjadi regresi teratur endometrium yang
berproliferasi berlebihan. Cara lain, dosis pil kombinasi dapat diturunkan bertahap ( 4
kali sehari, kemudian 3 kali sehari, kemudian 2 kali sehari ) selama 3 hingga 6 hari, dan
kemudian dilanjutkan sekali setiap hari. Kombinasi kontrasepsi oral menginduksi atrofi
endometrium, karena paparan estrogen progestin kronik akan menekan gonadotropin
pituitari dan menghambat steroidogenesis endogen. Kombinasi ini berguna untuk
tatalaksana DUB jangka panjang pada pasien tanpa kontraindikasi dengan manfaat
tambahan yaitu mencegah kehamilan. Khususnya untuk pasien perimenarche,
perdarahan berat yang lama dapat mengelupaskan endometrium basal, sehingga tidak
responsif terhadap progestin. Kuretase untuk mengontrol perdarahan
dikontraindikasikan karena tingginya resiko terjadinya sinekia intrauterin ( sindroma
Asherman ) jika endometrium basal dikuret. OC aman pada wanita hingga usia 40 dan
diatasnya yang tidak obes, tidak merokok dan tidak hipertensi.

3. Golongan progesterone

Pertimbangan di sini ialah bahwa sebagian besar perdarahan fungsional bersifat


anovulatoar, sehingga pemberian obat progesterone mengimbangi pengaruh estrogen
terhadap endometrium. Obat untuk jenis ini, antara lain: Medroksi progesteron asetat
(MPA): 10-20 mg per hari, diminum selama 7 10 hari. Norethisteron: 3×1 tablet,
diminum selama 7-10 hari. Kaproas hidroksi-progesteron 125 mg secara intramuscular

4. OAINS

Menorragia dapat dikurangi dengan obat anti inflamasi non steroid. Fraser dan
Shearman membuktikan bahwa OAINS paling efektif jika diberikan selama 7 hingga
10 hari sebelum onset menstruasi yang diharapkan pada pasien DUB ovulatori, tetapi
umumnya dimulai pada onset menstruasi dan dilanjutkan selama espisode perdarahan
dan berhasil baik. Obat ini mengurangi kehilangan darah selama menstruasi (
mensturual blood loss / MBL ) dan manfaatnya paling besar pada DUB ovulatori
dimana jumlah pelepasan prostanoid paling tinggi.2Mengatur menstruasi agar kembali
normal Setelah perdarahan berhenti, langkah selanjutnya adalah pengobatan untuk
mengatur siklus menstruasi, misalnya dengan pemberian: Golongan progesteron: 2×1
tablet diminum selama 10 hari. Minum obat dimulai pada hari ke 14-15
menstruasi.Transfusi jika kadar hemoglobin kurang dari 8 gr%.
Terapi yang ini diharuskan pasiennya untuk menginap di Rumah Sakit atau klinik.
Sekantong darah (250 cc) diperkirakan dapat menaikkan kadar hemoglobin (Hb) 0,75
gr%. Ini berarti, jika kadar Hb ingin dinaikkan menjadi 10 gr% maka kira-kira perlu
sekitar 4 kantong darah
2.8 Prognosis

Penegakan diagnosa secara dini dan pengobatan yang tepat dapat memberikan angka
kesembuhan yang baik bagi wanita.

Daftar Pustaka

1. Millie, Richard. Dysfunctional uterine bleeding. 15 Juli 2013. Diunduh dari


http://emedicine.medscape.com/article/257007-overview
2. Sarwono P. Ilmu kebidanan. Jakarta:FKUI;2009.
3. B, Achmad. Ilmu Kesehatan Reproduksi Ginekologi.Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran

Anda mungkin juga menyukai