Anda di halaman 1dari 4

60 menit setelah 10 tahun

Oleh : Arie Armanda

Aku dan dia duduk saling berhadapan dalam satu meja di sebuah restoran mewah. Ia
mengenakan sebuah dress bewarna hitam dengan pernak-pernik kristal yang bertabur di kain
tersebut. Lipstik yang menempel di bibirnya bewarna merah jambu dan terlihat basah. Maskara
mengitari kelopak matanya, riasan wajahnya dikhatamkan dengan blass on tipis yang tercetak
pada kedua pipinya. Kuku-kukunya tangannya ia cat bewarna maroon. Ada sebuah cincin dijari
manis sebelah kiri. Setahuku ia tak pernah berdandan seperti ini. Setidaknya sepuluh tahun yang
lalu, ketika usiaku dan usianya sama-sama ada pada angka dua puluhan.
Kami sama-sama diam membisu, begitu banyak kecanggungan. Aku hanya sesekali
meliriknya, memperhatikan tampilan dan perubahan diwajahnya setelah sepuluh tahun tak
bertemu. Selebihnya aku hanya menatap dua gelas kristal kosong ukiran Eropa yang seolah-olah
berdiri dengan ekspresi bingung melihat dua manusia berbeda jenis yang duduk sudah dua puluh
menit tapi tak sepatah katapun keluar dari mulut mereka.
Pertemuan pertama dalam sepuluh tahun terakhir, seharusnya begitu banyak cerita yang
ingin dilontarkan. Begitu banyak risalah yang ingin dikisahkan. Begitu banyak momen yang
ingin dibagikan. Belum lagi nostalgia pada cerita-cerita lima tahun sebelum sepuluh tahun itu
berlangsung. Cerita sebelum kepergiannya, cerita menjelang kepergian, dan cerita setelah
kepergiannya. Untuk alasan itulah aku duduk disini, berhadapan dengannya setelah sepuluh
tahun yang lalu ia pergi tanpa selembar kabar dan setapak jejak.
"Aku membawa sesuatu, semoga kamu masih ingat."
Ia membuka pembicaraan setelah tiga puluh menit kami saling diam. Dikeluarkannya
sesuatu dari dalam tas mewah berjenis tote yang sejak tadi ada disisi kanan meja, sebuah kotak
musik. Kotak musik itu kuhadiahkan ketika ulang tahunnya yang ke-23. Satu bulan sebelum ia
menghilang tanpa kabar. Ia menyodorkan kotak musik itu lebih dekat kehadapanku, lalu
memutar tuas di sisi kanan kotak musik itu. Melantunlah Fur Elise karya pianis legendaris
Ludwigh van Bethoven. Tanpa sadar aku memejamkan mata menikmati alunannya. Seolah-olah
terlempar pada masa sepuluh tahun silam. Musik itu baru berhenti sekitar tujuh menit. Aku
membuka mata.
"Apa kabar?." Ucapnya dengan nada yang datar.
“Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja.” Ucapku singkat.
“Sepuluh tahun, seperti tidak ada perubahan dari diri kamu.”
“Sepuluh tahun, banyak yang berubah dari diri kamu.”
“Oh ya? Apa yang berubah?” Ia bertanya.
Pertanyaannya retoris, tak perlu kujawab karena aku yakin dia juga sudah tahu
jawabannya. Ia berubah dalam segala hal, caranya berpakaian, caranya berdandan, caranya
berbicara. Ia bukan seperti yang dulu kukenal.
“Apa yang ingin kamu bahas?.” Pertanyaan ini sudah dari menit awal tadi ingin
kulontarkan kepadanya.
“ Sudah tiga bulan aku kembali ke kota ini. Mencari kamu.”
“Mencari saya?.”
“Aku kira kota ini terlalu besar untuk mencari seseorang, dan aku yakin orang bebas
seperti kamu memang sulit untuk ditemukan.”
Wanita dihadapanku ini, ia miliki segalanya sebagai seorang wanita. Pendidikan, karir,
ekonomi, semuanya dalam kategori sangat baik. Beberapa kali aku melihatnya dalam wawancara
dan talk show ditelevisi, ia dikenal sebagai pebisnis wanita termuda paling sukses di negeri ini.
Sementara aku, hanya seorang guru honorer.
“Saya rindu kamu Rie.” Ucapnya dengan wajah tertunduk. Air matanya menetes
beberapa titik membasahi meja.
“Saya minta maaf telah pergi sepuluh tahun yang lalu. Papa tahu bahwa saya menjalin
hubungan dengan seorang mahasiswa yang juga pekerja serabutan. Papa kirim saya ke Australia
untuk melanjutkan kuliah disana. Papa tutup semua akses untuk saya menghubungi kamu.
Sepuluh tahun saya gak bisa lupain kamu. Saya, masih berharap hidup bersama kamu sampai
detik ini.” Ia mengatakan itu sambil menahan tangis.

***
Wanita dihadapanku ini bernama Kinan. Ia kekasihku ketika kuliah dulu. Kami sama-
sama aktif di organisasi kampus. Ayahnya merupakan pejabat dan politisi terkenal di kota ini.
Aku tak tahu bagaimana wanita seperti Kinan bisa jatuh hati dengan pria sepertiku. Ia hanya
katakan bahwa aku pria yang berkarakter, berprinsip dan teguh dalam berpendirian.
Hampir setiap hari aku menghabiskan waktu dengannya dalam kegiatan organisasi
kampus. Ia gadis yang cerdas, pintar bergaul, idealis, dan sederhana. Pada sebuah momen kami
pernah melakukan demonstrasi di depan kantor ayahnya. Ia memegang pengeras suara dan
berorasi dengan lantang. Pada akhirnya aku menyerah, tak kuasa menahan gejolak bahwa aku
juga mulai jatuh hati dengan karakter wanita ini. Kesederhanaannya, caranya berfikir, caranya
menganalisa sebuah masalah. Ia terlihat beda dari perempuan lain yang kukenal.
Aku dan Kinan menjalin kasih cukup lama, sahabat-sahabatku yang pernah mencoba
mendekatinya mengatakan bahwa aku adalah pria yang beruntung bisa mendapatkan hati wanita
ini. Ia tak pernah merasa minder berjalan bersamaku. Pria kumal dengan setelan pakaian
sederhana. Padahal diluar sana, beberapa pria dengan tunggangan mewah entah berapa kali
kulihat mencoba mendekatinya. Ia hanya katakan bahwa tak perlu kemewahan untuk
mendapatkan hatinya, ia sudah hidup mewah ketika baru dilahirkan.
Empat puluh menit telah berlalu sejak aku dan dia duduk berhadapan di satu meja, aku
sendiri bingung memilih kalimat yang tepat untuk tidak membuatnya tersinggung setelah
mendengar pengakuannya barusan.
“Kinan, sepuluh tahun adalah waktu yang lama. Saya sudah lakukan berbagai cara yang
saya mampu untuk mencari kamu. Saya datangi sahabat-sahabat kamu. Saya datangi rumah
kamu, saya datangi segala tempat di kota ini yang pernah kamu singgahi. Tapi tidak pernah saya
temukan jawaban, semua orang memilih bungkam ketika saya tanyakan mengenai keberadaan
kamu.”
“Pernah kamu menemui papa saya?” Ia bertanya.
“Lima tahun yang lalu papa kamu yang datangi saya. Ia menyuruh saya untuk berhenti
mencari kamu. Ia katakan tak ingin menanggung malu karena putri semata wayangnya memiliki
kekasih seorang mahasiswa yang hanya menyambi sebagai pekerja serabutan.” Air mata Kinan
keluar semakin deras dari pelupuk matanya.
“Apa kamu sudah punya perempuan lain?” Ia bertanya.
“Cinta saya hanya untuk kamu Kinan, kamu yang membuat saya tak bisa mencintai
wanita lain.” Jawabku.
“Setengah tahun yang lalu papa meninggal, berkali-kali papa mengenalkan saya kepada
laki-laki. Papa bilang mereka layak untuk saya, tapi tidak ada yang bisa menggantikan kamu
dihati saya Rie. Pada akhirnya papa menyerah, ia merasa bersalah karena telah memisahkan saya
dan kamu. Sebelum meninggal ia igin minta maaf ke kamu. Papa berharap saya dapat menemui
kamu dan memberi saya kebahagiaan. Harapan saya masih tinggi untuk hidup bersama kamu
Rie.”
Lima puluh menit sudah berlalu ketika ia mengakhiri kalimat barusan. Dan aku semakin
tercekat pada apa yang ia ceritakan.
“Kinan, kamu yang dulu katakan bahwa kamu mencintai saya karena saya adalah pria
yang berprinsip. Saya mohon maaf untuk segala hal. Saya telah kubur impian bersama kamu
sejak saya dan papa kamu bertemu. Kamu layak membuka hati, kamu layak dapat pria yang
sepadan. Terimakasih untuk segalanya.”
“Kamu tidak ingin menjalani hidup bersama saya lagi?” Ia bertanya.
Pertanyaannya barusan membuatku lebih canggung dari suasana sebelumnya. Bagiku Kinan
adalah segalanya, aku seperti mengidap Phillopobhia setelah kepergiannya, semacam penyakit
takut jatuh cinta dan takut menjalin hubungan asmara pada lawan jenis. Kutarik nafas dalam-
dalam sebelum mengucapkan kalimat terakhir, kalimat yang sejak tadi ingin kulontarkan setelah
pengakuannya.
“Dengan segala kesederhanaan saya sudah punya hidup sendiri Kinan. Saya sudah
terbiasa hidup tanpa kamu. Terimakasih untuk cinta yang masih kamu simpan selama sepuluh
tahun terakhir.” Pada menit ke enam puluh kusodorkan kembali kotak musik yang tadi ia
perlihatkan. Kuputar tuas kotak musik itu. Fur Elise melantun perlahan. Kemudian aku berdiri
dari kusi, memutar badan lalu pergi meninggalkannya. Meninggalkan sepuluh tahunku yang lalu.
(Penulis adalah mahasiswa FKIP UMSU jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia)

Anda mungkin juga menyukai