Anda di halaman 1dari 61

IMUNODEFISIENSI

KARYA TULIS ILMIAH SARJANA

PERIODE 2016/2017

Oleh:

CHINDY PANIATI GOUTAMA LAY

NIM: 0120840051

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA

2016
IMUNODEFISIENSI

KARYA TULIS ILMIAH SARJANA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Guna mencapai Gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)

Oleh

CHINDY PANIATI GOUTAMA LAY

NIM: 0120840051

Dosen Pembimbing:

1. dr. Agnes S. Rahayu, M.Kes

2. dr. Reno D. Rumbino

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA

2016

i
LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui dan diterima oleh Panitia Ujian Karya Tulis Ilmiah
Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura,
Untuk memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Pada
Hari :
Tanggal :

Mengesahkan

Panitia Ujian Karya Tulis Ilmiah Fakultas Kedokteran


Universitas Cenderawasih

Ketua Sekretaris

dr. dr.
NIP. NIP.

Tim penguji

1. dr.
NIP.

2. dr.
NIP.

3. dr.
NIP.

ii
PERSEMBAHAN

Pada lembar persembahan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima

kasih kepada pihak-pihak yang sangat mendukung penulis dalam penyusunan

skripsi. Skripsi dalam bentuk Karya Tulis Ilmiah ini, penulis persembahkan

kepada:

1. Kedua orang tua dan keluarga tercinta, ayah (Welly Ray), ibu

(Sriwahyuni), Charles Lay, Evi Lay, Sherina Lay, Sandi, Safira aa, Nindy

dan Irwan Dait, S.Kel yang selalu memberi dukungan moril, materi dan

do’a sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi.

2. Kepada dosen pembimbing I (dr. Agnes S. Rahayu M,Kes) dan dosen

pembimbing II (dr. Reno D. Rumbino) yang selalu memberi ilmu dan

bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulis.

3. Seluruh dosen pengajar dan staf tata usaha Fakultas Kedokteran

Universitas Cenderawasih.

4. Kepada sahabat dan sejawat Christera, Bunga, Wajuliani, Eka, Dewi, Fitri,

Lily dan Agung, Arif, yang selalu membantu dan mendukung penulis.

5. Untuk rekan seperjuangan alumni SMA Negeri 1 Nabire.

6. Untuk rekan sejawat Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih

angkatan tahun 2012.

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas semua karunia-

Nya penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan skripsi dalam bentuk makalah

karya tulis ilmiah sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana

Kedokteran (S.Ked). Karya tulis ilmiah yang berjudul Imunodefisiensi ini berisi

tentang Bab I Pendahuluan, Bab II Isi (definisi, epidemiologi, etiologi, penegakan

diagnosis, diagnosis banding, terapi, komplikasi, rehabilitasi, prognosis dan

edukasi), serta Bab III Penutup.

Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan,

bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan

ini penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Onesimus Sahuleka SH, M.Hum selaku Rektor Universitas

Cenderawasih.

2. Bapak dr. Trajanus L. Jembise, Sp.B selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Cenderawasih.

3. dr. Agnes S. Rahayu, M.Kes selaku dosen pembimbing I dan dr. Reno D.

Rumbino selaku dosen pembimbing II yang selalu memberi masukan dan

bimbingan selama penulisan skripsi sehingga penulisan berjalan lancar.

4. Bapak/ ibu dosen selaku panitia Karya Tulis Ilmiah yang sangat membantu

dalam pelaksanaan penulisan skripsi.

5. Staf Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih yang telah

membekali penulis dengan berbagai ilmu selama mengikuti perkuliahan.

iv
6. Staf Tata Usaha Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih yang telah

membantu kelancaran administrasi di Fakultas Kedokteran Universitas

Cenderawasih.

7. Kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan materil dan moril

kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih belum sempurna dan

terbatas, sehingga memerlukan penelitian yang lebih lanjut serta kritik dan saran

dari pihak yang lebih berkompeten.

Jayapura, 2016

Penulis

v
DAFTAR ISI

HAL JUDUL ...................................................................................................... i

HAL PENGESAHAN ........................................................................................ ii

HAL PERSEMBAHAN .................................................................................... iii

KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv

DAFTAR ISI ..................................................................................................... vi

DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ ix

DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

1.1. Latar belakang…………………………………………………………..1

1.2. Rumusan masalah................................................................................... 3

1.3. Tujuan penulisan .................................................................................... 4

1.4. Manfaat penulisan .................................................................................. 4

BAB II ISI .......................................................................................................... 6

2.1. Definisi ................................................................................................. 6

2.2. Epidemiologi ........................................................................................ 8

2.3. Etiologi ................................................................................................ 10

2.4. Penegakan Diagnosis .......................................................................... 23

2.4.1. Anamnesa ................................................................................ 23

2.4.2. Pemeriksaan Fisik ..................................................................... 28

2.4.3. Pemeriksaan Penunjang .......................................................... 29

2.5. Diagnosis Banding .............................................................................. 31

vi
2.6. Terapi .................................................................................................. 33

2.6.1.Farmakoterapi ............................................................................ 33

2.6.2.Non Farmakoterapi .................................................................... 35

2.7. Komplikasi .......................................................................................... 38

2.8. Rehabilitasi ......................................................................................... 40

2.9. Prognosis ............................................................................................. 40

2.10. Edukasi ................................................................................................ 41

BAB III PENUTUP .......................................................................................... 42

3.1. Kesimpulan ........................................................................................ 42

3.2. Saran .................................................................................................. 43

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 45

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pengukuran immunoglobulin (antibodi) ............................................. 30

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pembagian sel imum adaptif dan alami........................................... 11

Gambar 2. Penyebab imunodefisiensi sekunder ............................................... 22

Gambar 3. Malnutrisi menyebabkan penyakit .................................................. 23

Gambar 4. Algoritma klinis untuk defisiensi sel B ........................................... 26

Gambar 5. Algoritma klinis untuk defisiensi sel Tatau kombinasi sel T&sel . 27

Gambar 6. Algoritma klinis untuk defisiensi sistem fagosit ............................. 28

ix
DAFTAR SINGKATAN

AIDS : Acquired Immunodeficiency Syndrome

AZT : Zidovudine

CBC : Complete Blood Count

CVID : Common Variable Immunodeficiency

ESID : European Society of Immnodeficiency

HIGM : Hyper IgM Syndrome

HIV : Human Immunodeficiency Virus

Ig : Imunoglobulin

IL : Interleukin

IVIG : Intravena Immunoglobulin

NK : Natural Killer

PEM : Protein dan Energy Malnutrition

RNA : Ribonucleic Acid

SCID : Severe Combined Immunodeficiency

Sel Th : Sel T helper

Sel Ts : Sel T sitotoksik

TB : Tuberkulosis

XLA : X-linked agammaglobulinemia

XLP : X-linked Lymphoproliferative

x
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tubuh manusia mempunyai suatu kemampuan untuk melawan hampir

semua jenis organisme atau toksin yang cenderung akan merusak jaringan

dan organ tubuh, kemampuan ini disebut imunitas (Guyton, 2007:460).

Integritas sistem imun adalah esensial untuk pertahanan terhadap infeksi

mikroba dan produk toksiknya, karenanya kerusakan salah satu komponen

sistem imun dapat mengganggu aktivitas seluruh sistem pertahanan tubuh

(Baratawidjaja, 2009:479). Fungsi imun yang menurun atau tidak berfungsi

dengan baik disebut imunodefisiensi(Radji, 2015:57).

Dalam keadaan imunodefisiensi berbagai mikroorganisme (kuman,

virus, parasit, jamur) yang ada di lingkungan maupun yang sudah ada dalam

tubuh penderita, yang dalam keadaan normal tidak patogenik/memiliki

patogenitas yang rendah dapat menjadi invasif dan menimbulkan beberapa

penyakit (Radji, 2015:58). Secara garis besar imunodefisiensi dibagi

menjadi 2 golongan yaitu imunodefisiensiprimer(kongenital) dan

sekunder(didapat). Imunodefisiensi primer dapat bersifat kongenital yang

ditandai dengan berkurangnya sel T, sel B, atau kombinasi

keduanya.Sedangkan imunodefisiensi sekunderadalah suatu kelainan respon

imun yang timbul dari penyebab lain, seperti infeksi virus atau bakteri,

malnutrisi atau pengobatan dengan menggunakan obat yang menginduksi

imunosupresi (Harrison, 2014:1749).

1
2

Imunodefisiensi primer yang sering terjadi ialah defisiensi IgA terjadi

pada sekitar 1:600 individu di Amerika Utara. Presentasi klinis

imunodefisiensi primerbervariasi, namun yang terbanyak melibatkan

kerentanan terhadap infeksi sebagai infeksi rutin (otitis,sinus, paru), oleh

karena itu mungkin tidak terdeteksi dalam diagnosis awal

perawatan.Imunodefisiensi sekunder yang paling terkenal dari kelompok ini

adalah Acquired Immune Deficiency Syndrome yang timbul setelah

terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (Kusumo, 2012:14).

Menurut Ditjen PP & PL Kemenkes Republik Indonesia pada tanggal

17 Oktober 2014, melaporkan secara kumulatif bahwa kasus Human

Immunodeficiency Virus & Acquired Immune Deficiency Syndrome pada

tanggal 1 Januari 1987 sampai dengan 30 September 2014 terdiri dari

Human Immunodeficiency Virus sebanyak 150.296 kasus dan Acquired

Immune Deficiency Syndrome sebanyak 55.799 kasus. Menurut UNICEF

Indonesia (2012:1) dengan populasi hanya 1,5 persen dari penduduk

Indonesia, Tanah Papua di tahun 2011 telah berkontribusi terhadap lebih

dari 15 persen dari semua kasus HIV baru di Indonesia. Papua memiliki

angka kasus hampir 15 kali lebih tinggi dari rata-rata nasional. Tanah Papua

mengalami tingkat epidemi HIV tergeneralisir yang rendah dengan

prevalensi 3 persen pada orang muda usia 15-24 tahun. Prevalensi HIV pada

penduduk asli Papua lebih tinggi (2,8 persen) dari prevalensi penduduk non-

pribumi (1,5 persen) dan lebih tinggi pada laki-laki (2,9 persen)

dibandingkan pada perempuan (1,9 persen).


3

Imunodefisiensiini merupakan penyakit yang sering terjadi di dunia,

termasuk di Indonesia. Standar kompetensi untukimunodefisiensiadalah dua,

sehingga lulusan dokter umum harus mampu mendiagnosis klinik terhadap

penyakit tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi

penanganan penderita selanjutnya, agar penderita dengan imunodefisiensi

ini dapat ditangani dengan tepat. Oleh karena itu, penulis memilih

imunodefisiensisebagai judul dalam karya tulis ilmiah ini.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Apa definisiimunodefisiensi?

1.2.2. Bagaimana epidemiologi imunodefisiensi ?

1.2.3. Apa etiologi imunodefisiensi?

1.2.4. Bagaimana cara menegakkan diagnosis imunodefisiensi ?

1.2.5. Apa diagnosis banding imunodefisiensi ?

1.2.6. Bagaimana penatalaksanaan imunodefisiensi?

1.2.7. Apa komplikasi imunodefisiensi ?

1.2.8. Bagaimana cara rehabilitasi penderitaimunodefisiensi?

1.2.9. Bagaimana prognosis penderita imunodefisiensi ?

1.2.10. Bagaimana cara edukasi penderita imunodefisiensi?


4

1.3. Tujuan Penulisan

1.3.1. Tujuan umum

Mengetahui karakteristik imunodefisiensiberdasarkan tinjauan

pustaka dari beberapa referensi.

1.3.2. Tujuan khusus

1. Mengetahui definisiimunodefisiensi.

2. Mengetahui epidemiologi imunodefisiensi.

3. Mengetahui etiologi imunodefisiensi.

4. Mengetahui cara menegakkan diagnosis imunodefisiensi.

5. Mengetahui diagnosis banding imunodefisiensi.

6. Mengetahui terapi yang tepat untuk penderitaimunodefisiensi.

7. Mengetahui komplikasi dari imunodefisiensi.

8. Mengetahui cara rehabilitasi penderitaimunodefisiensi.

9. Mengetahui prognosis penderitaimunodefisiensi.

10. Mengetahui cara edukasi kepada penderitaimunodefisiensi.

1.4. Manfaat Penulisan

Penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi :

1.4.1. Penulis

Sebagai tambahan informasi bagi penulis, agar dapat mendiagnosis

dan menangani kasus imunodefisiensidengan benar sebagai dokter umum

dikemudian hari, sesuai Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI).

1.4.2. Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih


5

Sebagai tambahan referensi dan bahan kajian bagi mahasiswa

Fakultas Kedokteran mengenai imunodefisiensi.

1.4.3. Masyarakat

Agar masyarakat dapat memperoleh infomasi, khususnya mengenai

gejala dari imunodefisiensiserta cara membedakannya dengan penyakit

infeksi lain agar kasus imunodefisiensi dapat terdiagnosis sejak dini

dengan benar.
BAB II

ISI

2.1. Definisi

Imunodefisiensi atau imunokompromais ialah fungsi sistem imun

yang menurun atau tidak berfungsi dengan baik. Gangguan

imunodefisiensidapat disebabkan oleh kerusakan atau defisiensi pada sel

fagositik, limfositB, limfosit T atau komplemen (Baratawidjaja, 2009:479).

Gejala yang spesifik serta beratnya penyakit, usia saat penyakit dimulai dan

jenis infeksi yang timbul sering memberikan petunjuk mengenai sifat

kerusakan imunologikyang terjadi (Sullivan, 2015:1). Penderita dengan

kerusakan imunitas humoralbiasanya mengalami infeksi sinopulmonaris

kronik atau rekuren, otitis media dan bakteremia. Sedangkan kerusakan

imunitas selular atau makrofag cenderung memudahkan infeksi mikroba

intraselular, bakteri intraselular dan infeksi mikobakteri. Bila terdapat

kelainan pada imunitas yang diperantarai sel merupakan predisposisi untuk

infeksi jamur dan virus. Infeksi piogenik yang rekuren sering ditemukan

pada defisiensi komplemen. Kerusakan pada komplemen dapat

memudahkan terjadinya kejadian meningitis (Harrison, 2014:1746).

Fungsi masing-masing komponen sistem imun humoral, sistem imun

selular atau keduanya dan sistem komplemen dapat terganggu baik oleh

sebab kongenital maupun sebab yang didapat. Oleh karena itu penderita

imunodefisiensi mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap infeksi yang

berasal dari tubuh sendiri maupun nosokomial dibanding dengan yang tidak

mengalami imunodefisiensi(Radji, 2015:57-59).Secara umum,

6
7

imunodefisiensi dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu imunodefisiensi

primer (kongenital) dan imunodefisiensi sekunder (didapat). Menurut Herz

(2011:5) imunodefisiensi primer (kongenital) merupakan kelainan langka

yang penyebabnya bersifat genetik dan terutama ditemukan pada bayi serta

anak-anak kecil, tapi kadang secara klinis baru ditemukan pada usia lanjut.

Gejala infeksi ringan, berat atau persisten atau infeksi yang terjadi

disebabkan oleh mikroorganisme yang tidak diketahui, biasanya timbul pada

awal kehidupan yang didiagnosis sebagai suatu infeksi yang terjadi setelah

perlindungan oleh antibodi maternal menurun.

Imunodefisiensisekunder adalah gangguan yang tidak disebabkan

oleh kelainan intrinsik perkembangan fungsi sel T dan sel B. Defisiensi

tersebut mengenai fungsi fagosit dan limfosit yang dapat terjadi akibat

infeksi HIV, malnutrisi, terapi sitotoksik, sebagai akibat dari proses penyakit

yang mendasarnya. Imunodefisiensi sekunder dapat meningkatkan

kerentanan terhadap infeksi oportunistik. Penyakit AIDS merupakan

imunodefisiensi sekunder yang sering dijumpai akibat terinfeksi oleh HIV

(Baratawidjaja, 2009:496).

Berdasarkan beberapa referensi diatas, maka dapat disimpulkan

bahwa definisi imunodefisiensi adalah beragam gangguan yang ditandai

dengan berkurangnya atau tidak adanya salah satu atau lebih komponen dari

sistem kekebalan tubuh. Gangguan tersebut dapat bersifat kronis dan

biasanya merupakan gangguan yang cukup penting oleh sebab yang didapat

dari awal kehidupan ataupun adanya penyakit yang mendasari.


8

2.2. Epidemiologi

Imunodefisiensi primer seperti defisiensi IgAterjadi dengan frekuensi

sekitar 1 dalam 600 keturunan Eropa, defisiensi IgA ini jauh lebih jarang

terjadi pada keturunan Asia dan Afrika. Di Jepang, insidensinya

diperkirakan sekitar 1 dalam 18.500 (Harrison, 2014:1751). Penelitian lain

yang dilakukan oleh McCusker and Warrington (2011:1) dalam artikelnya

Allergy, Asthma & Clinical Immunology yang membahas mengenai Primary

Immunodeficiency. Dikatakan estimasi prevalensi gangguan imunodefisiensi

primer (selain gangguan imunodefisiensi IgA) di Amerika Serikat adalah

sekitar 1:1200 kelahiran hidup. Defisiensi IgA adalah imunodefisiensi

primer yang paling umum, terjadi sekitar 1:300 hingga 1:500 orang.

Kondisi serius terdeteksi selama masa bayi atau masa kanak-kanak,

namun bentuk ringan dari imunodefisiensi primer ini tidak dapat didiagnosis

sampai di kemudian hari, dan beberapa jenis imunodefisiensi humoral

mungkin terjadi di masa dewasa. Sebuah studi retrospektif dilakukan pada

55 penderita dewasa yang didiagnosis sebagai penderita imunodefisiensi

primer antara Januari 1998 dan Januari 2009 di sebuah pusat medis tunggal

tersier di Korea. Kekurangan subclass IgG adalah fenotipe yang paling

umum 67% (37/55), diikuti oleh defisiensi IgG 20% (11/55), defisiensi IgM

7% (4/55), Common Variable Immunodeficiency 2% (1/55), defisiensi IgA

2% (1/55) dan X-linked agammaglobulinemia 2% (1/55) (Kusumo,

2012:19).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rath dan Niedzwiecki

dalam artikel Malnutrition The Leading Cause of Immune Deficiency


9

Diseases Worldwide (2015:4), di negara berkembang dalam 1 tahun sekitar

13 – 14 juta anak-anak meninggal, 70% kasus meninggal disebabkan oleh

penyakit infeksi dan yang paling umum disebabkan malnutrisi. Kegagalan

sistem imun sebagai konsekuensi dari malnutrisi yang menjadi penyebab

tertinggi kematian pada anak, dewasa dan orang tua.

Imunodefisiensi sekunder yang paling terkenal dari kelompok ini

adalah AIDS.Menurut Ditjen PP & PL Kemenkes Republik Indonesia pada

tanggal 17 Oktober 2014, melaporkan secara kumulatif bahwa kasus HIV

&AIDS pada 1 Januari 1987 sampai dengan 30 September 2014 terdiri dari

HIVsebanyak 150.296 kasus dan AIDS sebanyak 55.799 kasus. Menurut

UNICEF Indonesia (2012:1) dengan populasi hanya 1,5 persen dari

penduduk Indonesia, Tanah Papua di tahun 2011 berkontribusi terhadap

lebih dari 15 persen dari semua kasus HIV baru di Indonesia. Papua

memiliki angka kasus hampir 15 kali lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Tanah Papua mengalami tingkat epidemi HIV tergeneralisir rendah dengan

prevalensi 3 persen pada orang muda usia 15-24 tahun. Prevalensi HIV pada

penduduk asli Papua lebih tinggi (2,8 persen) dari prevalensi penduduk non-

pribumi (1,5 persen) dan lebih tinggi terjadi pada laki-laki (2,9 persen)

dibandingkan pada perempuan (1,9 persen).


10

2.3. Etiologi

2.3.1. Imunodefisiensi primer (bawaan)

Imunodefisiensi primer secara luas diklasifikasikan menurut

komponen dari sistem kekebalan tubuh yang terutama terganggu.

Gangguan sistem imunitas tersebut dapat dibedakan atas gangguan sistem

imun adaptif (defisiensi sel T, defisiensi sel B dan kombinasi defisiensi

antara sel T serta sel B) dan gangguan sistem imun alami (gangguan

fagositik dan gangguan komplemen) (McCusker, 2011:2). Sistem imun

adaptif/spesifik adalah suatu sistem yang dapat mengenali suatu substansi

asing yang masuk ke dalam tubuh dan dapat memacu perkembangan

respon imun yang spesifik terhadap substansi tersebut. Sel-sel imun yang

berperan penting adalah sel limfosit B dan limfosit T. Limfosit B adalah

sel yang berasal dari sel induk di dalam sumsum tulang yang tumbuh

menjadi sel plasma menghasilkan antibodi yang secara tidak langsung

dapat mendestruksi benda asing, jika dirangsang oleh suatu antigen maka

limfosit B akan mengalami pematangan sehingga menghasilkan antibodi

atau imunoglobulin (Radji, 2015:29).

Limfosit T (sel T) adalah suatu sel yang terbentuk dari sumsum

tulang yang akan mengalami pembelahan dan pematangan di kelenjar

timus. Sel T umumnya berperan pada inflamasi, aktivasi fagositosis

makrofag, aktivasi dan proliferasi sel B dalam produksi antibodi. Sel T

juga berperan dalam pengenalan dan penghancuran sel yang terinfeksi

virus (Baratawidjaja, 2009:116). Sistem imun alami/non spesifik adalah

lini pertama pertahanan tubuh terhadap masuknya suatu mikroorganisme.


11

Proses imunitas alami meliputi proses fagositosis bakteri dan organisme

lain oleh sel darah putih dan sistem makrofag jaringan, penghancuran

organisme yang tertelan ke dalam saluran cerna oleh asam lambung dan

enzim pencernaan, daya tahan kulit terhadap invasi organisme, adanya

suatu senyawa kimia dalam darah seperti lisozim, polipeptida dasar,

komplek komplemen, dan limfosit pembunuh alami (natural

killerlymphocyte) (Guyton, 2007:460).

Gambar 1. Pembagian sel imum adaptif dan alami

a. Gangguan kekebalan sistem imunitas adaptif


(dikutip dari Playfair dan Chain, 2004:10)
Sel T dan sel B adalah sel utama dari sistem kekebalan adaptif

tubuh. Sel B memediasi produksi antibodi dan oleh karena itu memainkan

peran utama dalam antibodi-mediated (humoral) immunity. Sel T juga

mengatur respon sel yang dimediasi sistem imun. Cacat yang terjadi pada

setiap pengembangan, diferensiasi dan pematangan sel T mengarah pada

gangguan imunodefisiensisel T, sedangkan kelainan yang berkaitan

dengan sel B mengarah pada pengembangan sel B dan atau gangguan hasil

pematangan sel B (defisiensi antibodi), karena produksi antibodi dari sel B

yang diperantarai sel B membutuhkan fungsi dari sel T. Oleh karenanya


12

gabungan antara gangguan sel T dan sel B akan menyebabkan suatu

gangguan imunodefisiensi sel B dan sel T (Combined Immunodeficiency)

(Kusumo, 2012:15).

1. Defisiensi imun sel B

Defisiensi sel B dapat berupa gangguan perkembangan sel B

atau sel B yang tidak berfungsi dengan adekuat. Berbagai akibat dapat

ditemukan seperti tidak adanya satu kelas atau subkelas Ig atau semua

Ig. Penderita dengan defisiensi semua jenis IgG (Imunoglobulin G)

lebih mudah menjadi sakit dibanding dengan yang hanya menderita

defisiensi kelas Ig tertentu (Baratawidjaja, 2009:487). Penderita

dengan defisiensi humoral sering memiliki kondisi berkurang atau

tidak ada kadar imunoglobulin serum, tetapi juga dapat menunjukkan

jumlah normal atau meningkatnya kadar imunoglobulin serum dengan

fungsi abnormal (McCusker, 2011:3). Manifestasi klinis dari

kegagalan pematangan antibodi akan berdampak pada beberapa

gangguan diantaranya adalah X-linked agammaglobulinemia,

Hipogammaglobulinemia sementara, Common variable

immunodeficiency (CVID), defisiensi imunoglobulin yang selektif

(disgamaglobulinemia) (Lindegren, 2004:4)

1.1. X-linked agammaglobulinemia (XLA)

Pada tahun 1952, Bruton menggambarkan penyakit yang

disebutnya agammaglobulinemia bruton X-linked hanya terjadi

pada bayi laki-laki, oleh karena itu XLA dikenal juga dengan

Bruton’s agammaglobulinemia. Penyakit ini jarang terjadi,


13

biasanya nampak pada awal kehidupan yakni usia 5-6 bulan

sewaktu IgG yang berasal dari ibunya mulai menghilang

(Baratawidjaja, 2009:487-488). Individu yang terkena penyakit

ini memiliki sedikit limfosit B yang mengandung imunoglobulin

dalam darahnya dan individu tersebut tidak memiliki folikel

limfoid primer (sumsum tulang dan timus) dan sekunder (limpa

dan kelenjar getah bening). Namun, di sumsum tulang ditemukan

prekursor sel B dalam frekuensi normal (Harrison, 2014:1750).

XLA adalah hasil dari mutasi atau delesi yang mengkoding

enzim Bruton Tirosin Kinase (Btk), yang bertanggung jawab

untuk menengahi pengembangan dan pematangan sel B. Gen

kinase mengalami cacat yang terletak di regio Xq 22. Kelainan

ini ditandai dengan berkurangnya sel B dan serum IgG, IgA dan

IgM di dalam sirkulasi (Magdalena, 2011:234-235). Bayi dengan

defisiensi sel B mudah mengalami otitis media rekuren,

bronkitis, septikemi, pneumoni,artritis, meningitis dan dermatitis.

Kuman penyebab pada umumnya adalah H.influenza dan

S.pneumoni. Sering pula ditemukan sindrom malabsorbsi oleh

karena G.lamblia yang bermanifestasi dalam saluran cerna

(Madkaikar, 2013:580).

1.2. Hipogammaglobulinemia sementara

Hipogammaglobulinemia sementara dapat terjadi pada bayi

bila sintesis Ig terutama IgG terlambat. Sebabnya tidak jelas,

tetapi dapat berhubungan dengan defisiensi sementara dari sel


14

Th. Penyakit ini ditemukan pada bayi dengan

Hipogammaglobulinemia yang berusia 6-7 bulan dengan keadaan

banyak bayi menderita infeksi saluran nafas rekuren. Bayi sering

menderita infeksi kuman piogenik gram positif (kulit, selaput

otak atau saluran nafas). Keadaan ini akan membaik sendiri,

biasanya pada usia 16-30 bulan. Pada usia 5-6 bulan kadar IgG

yang berasal dari ibu mulai menurun dan bayi mulai

memproduksi IgG sendiri. Kadang-kadang bayi tidak mampu

memproduksi IgG yang cukup walaupun kadar IgM dan IgA

normal. Hal tersebut disebabkan oleh karena sel T yang belum

matang. Gangguan dapat berlangsung dari beberapa bulan

sampai 2 tahun. Perbedaannya dengan Bruton adalah pada

Hipogammaglobulinemia tidak ditemukan IgG dan sel B dalam

darah (Baratawidjaja, 2009:488-489).

1.3. Common Variable Immunodeficiency (CVID)

Common Variable Immunodeficiency (CVID) merupakan

kelainan heterogen diferensiasi dan maturasi sel B dengan

produksi antibodi disfungsional. Penderita mengalami penurunan

konsentrasi serum IgG, gangguan respon antibodi spesifik, dan

infeksi rekuren (Magdalena, 2011:237). CVID dapat mengenai

pria dan wanita dengan sebab yang belum diketahui. Penyakit ini

dapat timbul setiap saat, biasanya antara usia 15-35 tahun.

Penderita menunjukkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi

kuman piogenik. Selain itu sering ditemukan pula penyakit


15

autoimun. Seperti halnya Bruton, kadar semua kelas Ig sangat

menurun. Bedanya adalah bahwa pada penderita dengan CVID

mengandung sel B tetapi sel tersebut tidak mampu berkembang

menjadi sel plasma yang memproduksi Ig. Beberapa penderita

menunjukkan kelebihan sel Ts yang mengganggu respon sel B

(Baratawidjaja, 2009:489).

1.4. Defisiensi imunoglobulin yang selektif (disgamaglobulinemia)

Disgamaglobulinemia adalah penurunan satu atau lebih

imunoglobulin (Ig), sedangkan kadar Ig yang lain normal atau

meningkat. Ig adalah suatu protein yang dibuat oleh tubuh

sebagai respon terhadap masuknya antigen, dapat mengenali dan

mengikat antigen secara spesifik. Imunoglobulin sendiri terdiri

dari 5 kelas utama yaitu IgG, IgM, IgA, IgD dan IgE. IgA

merupakan 10-15% dari total antibodi dalam serum, akan tetapi

IgA juga terdapat dalam cairan sekresi yang diproduksi dalam

jumlah besar oleh sel plasma dan jaringan limfoid yang terdapat

di saluran pencernaan, saluran pernafasan dan saluran urogenital.

Karena itu IgA merupakan imunoglobulin yang paling banyak

terdapat di dalam tubuh karena IgA dapat dijumpai dalam saliva,

air mata, air susu ibu, sekret vagina, bronkus dan prostat. Fungsi

utama IgA diperkirakan dapat mencegah penempelan mikroba

patogen terutama bakteri dan virus pada permukaan mukosa

(Radji, 2015:32-35).
16

Defisiensi IgA selektif merupakan kelainan imunodefisiensi

primer yang paling sering dijumpai. Penderita memiliki

kerusakan pada diferensiasi sel B menjadi sel plasma yang

mensekresi IgA (Magdalena, 2011:239). Pada sebagian penderita

defisiensi IgA, penurunan selektif subkelas IgG2 dan IgG4

dikaitkan dengan peningkatan infeksi. Patogenesis defisiensi

IgA, baik yang diturunkan secara genetik maupun akibat

pengaruh lingkungan, melibatkan hambatan pada diferensiasi

terminal limfosit B. Pada penderita ini, limfosit yang

mengandung IgA juga memiliki IgM di permukaannya. Fenotipe

imatur ini, yang juga banyak ditemukan pada neonatus, mungkin

mencerminkan adanya kerusakan primer pada interaksi antara sel

B dan sel T (Harrison, 2014:1751).

IgG merupakan antibodi yang dibentuk atas adanya

rangsangan antigen. Dalam serum orang dewasa normal IgG

merupakan 80% dari total antibodi yang terdapat dalam serum.

Karena IgG dapat menembus jaringan plasenta dan masuk ke

dalam peredaran darah fetus, maka IgG dapat memberikan

proteksi utama pada bayi terhadap infeksi selama beberapa

minggu pertama setelah lahir. IgG dapat melindungi tubuh dari

bakteri, virus, menetralkan toksin bakteri dan dapat merangsang

sistem komplemen serta meningkatkan efektifitas sel-sel fagosit

apabila berikatan dengan antigen (Radji, 2015:34-35).


17

Defisiensi subkelas IgG didefinisikan sebagai kadar

subkelas IgG yang rendah (IgG1, IgG2, IgG3, atau IgG4) dengan

kadar IgG total yang normal dan kadar isotipe imunoglobulin

yang normal. Sebagian besar penderita defisiensi subkelas IgG

dengan infeksi berulang tampaknya mengalami gangguan

pengaturan yang menghambat diferensiasi normal sel B.

Gangguan ini dapat meluas mengenai isotipe immunoglobulin

lain (Harrison, 2014:1751).

2. Defisiensi imun sel T

Defisiensi imun sel T dapat terjadi karena timus yang tidak

berkembang dengan normal. Kerusakan timus akan menyebabkan

fungsi sel T terganggu, termasuk sel Ts dan sel Th. Kekebalan tubuh

melawan virus dan jamur terganggu pada mereka yang menderita

kondisi ini (Bonnila, 2005:36). Penderita dengan defisiensi sel T

kongenital sangat rentan terhadap infeksi virus, jamur dan protozoa.

Oleh karena sel T juga berpengaruh terhadap aktivasi dan proliferasi

sel B, maka defisiensi sel T disertai pula dengan gangguan produksi Ig

yang nampak dari tidak adanya respon terhadap vaksinasi. Aplasia

timus kongenital atau sindrom DiGeorge adalah defisiensi sel T

dengan sebab yang tidak diketahui. Penderita tidak mempunyai atau

hanya sedikit sel T dalam darah, kelenjar getah bening dan limpa

(Baratawidjaja, 2009:491).

Defisiensi tersebut disebabkan oleh kerusakan pada kromosom

22 dalam perkembangan embrio yang terjadi sekitar 12 minggu


18

sesudah masa gestasi. Kerusakan pada sel T dapat diketahui bila

penderita mengalami kelainan jantung dan hipoplasia dari timus, bayi

menunjukkan gejala hipokalsemia selama 24 jam pertama sesudah

lahir, wajah yang abnormal disertai terjadi displasia telinga dan mulut

serta jarak antara kedua mata yang abnormal, hipoparatiriod

(Madkaikar, 2013:580-581).

3. Kombinasi defisiensi sel T serta sel B

Gangguan ini dapat berdampak secara langsung pada sistem

imun humoral maupun imunitas yang dimediasi oleh sel T disebut

Severe combined immunodeficiency (SCID). Anak-anak dengan SCID

biasanya memiliki infeksi selama satu tahun masa kehidupannya dan

akan terus berulang kecuali bila diterapi (Kusumo, 2012:15). Penderita

dengan SCID rentan terhadap infeksi virus, bakteri, jamur dan

protozoa, Pneumosistis karini, kandida. Gejala terlihat pada usia muda

dan bila tidak diobati jarang dapat hidup melebihi usia satu tahun.

Tidak adanya sel B dan sel T terlihat dari limfositopenia. Kepada

penderita dengan SCID tidak boleh diberikan vaksin

hidup/dilemahkan oleh karena dapat menjadi fatal. Contohnya vaksin

sabin yang merupakan vaksin polio yang dilemahkan, vaksin MMR

(measles, mumps, rubella) (Baratawidjaja, 2009:491-493).

b. Gangguan kekebalan sistem imun bawaan

Respon imun bawaan merupakan garis pertahanan pertama

terhadap organisme yang berpotensi menyerang pertahanan tubuh.

Pengenalan yang baik terhadap ancaman dan induksi gangguan dari


19

kaskade inflamasi merupakan langkah-langkah penting dalam

mengeliminasi organisme patogen dari sistem tubuh. Kegagalan sistem

bawaan untuk mengidentifikasi patogen akan berdampak pada tertundanya

respon imun dan akan memperburuk manifestasi klinis yang timbul

(Kusumo, 2012:17). Banyak sel dan protein yang terlibat dalam respon

imun bawaan termasuk diantaranya fagosit (neutrofil dan makrofag), sel

dendritik dan protein komplemen. Fagosit terutama bertanggung jawab

untuk proses fagositosis, sebuah proses dimana sel menelan dan

menghilangkan patogen yang menyerang tubuh. Protein komplemen

berfungsi untuk mengidentifikasi dan mengopsonisasi antigen asing

membuat mereka rentan terhadap fagositosis (Radji, 2015:17-19).

Tanda-tanda dan gejala khas dari gangguan fagosit adalah terjadi

kerentanan terhadap infeksi piogenik yang berhubungan dengan jumlah

neutrofil yang menurun, infeksi jamurpada kulit, infeksi saluran

pernapasandan organ-organ internal,serta luka yang menyakitkan di sekitar

mulut (Madkaikar, 2013:582). Defisiensi komplemen dapat terjadi setelah

usia 5 tahun. Penyakit autoimun dan infeksi piogenik sering dikaitkan

dengan defisiensi komponen komplemen C1-C4) dari jalur klasik.

Defisiensi komponen komplemen C5-C9telah meningkatkan kerentanan

terhadap infeksi serius dari spesies Neisseria.Komplikasi seperti

pneumonia yang berulang, meningitis, dan peritonitis terjadi karena

defisiensi C3 (Madkaikar, 2013:583).


20

2.3.2. Imunodefisiensi sekunder (didapat)

Imunodefisiensi sekunder dikenal juga sebagai imunodefisiensi

didapat,dapat dikaitkan dengan berbagai agen imunosupresif seperti

malnutrisi, penuaan, penggunaan obat-obatan tertentu seperti kemoterapi,

obat imunosupresif. Banyak penyakit yang secara langsung atau tidak

langsung dapat menyebabkan terjadinya imunosupresi. Penyakit tersebut

diantaranya kanker yang berasal sumsum tulang, sel darah dan infeksi

kronis tertentu. Imunodefisiensi juga merupakan keadaan yang khas dari

AIDS yang disebabkan oleh HIV. Usia yang terlalu dini seperti pada bayi

baru lahir masih terdapat sel limfoid yang imatur, belum terdapat sel

memori, IgG yang rendah berasal dari ibu pada bayi prematur, penurunan

fungsi neutrofil dan penurunan aktivitas dari sel NK (natural killer). Hal

Ini akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh alami dan spesifik.

Sementara pada usia lanjut,manusia mengalami penurunan sistem imun

(Mwambete, 2013:1553).

Gangguan metabolisme seperti diabetes dan uremia kronis dapat

berdampak pada proliferasi limfosit, fagositosis dan kemotaksis.

Menurunkan ekspresi reseptor IL-2 dan respon limfosit terhadap IL-1 pada

penderita uremia, hal ini dapat dijadikan sebagai faktor patogen dalam

perkembangan yang progresif pada suatu kegagalan sistem imun yang

berhubungan dengan suatu penyakit ginjal stadium akhir (Baratawidjaja,

2009:498).
21

a. Infeksi HIV dan Imunodefisiensi sekunder

HIV secara langsung menginfeksi sel T helper dan mengganggu

respon sistem imun tubuh yang lain secara tidak langsung. Suatu

proses penyakit yang menyebabkan ketidakseimbangan hormon,

nutrisi, sisa metabolisme tubuh yang toksik yang terdapat didalam

cairan tubuh manusia dapat berdampak pada satu atau lebih sistem

kekebalan tubuh manusia. Walaupun antibakteri yang diberikan dapat

mengurangi angka kematian dan kesakitan pada infeksi menular, hasil

akhir dari proses infeksi tergantung pada efektivitas respon imun

manusia yang bersangkutan (Mwambete, 2013:1554).

b. Obat imunosupresi dan imunoregulator

Penggunaan terapi imunosupresif telah sangat meningkat dalam

beberapa tahun terakhir. Penderita yang menjalani transplantasi organ

atau terapi kanker biasanya akan mengalami keadaan imunodefisiensi

yang disebabkan oleh efek dari obat atau radiasi yang diberikan. Efek

samping yang paling umum adalah terjadi perubahan pada sel T,

dimana sel T lebih sering terkena dibanding sel B, termasuk juga CD4

dan CD8 (Mwambete, 2013:1554).

Obat sitotoksik, gentamisin, amikain, tobramisin dapat

mengganggu kerja dari kemotaksis neutrofil. Obat sitotoksik banyak

digunakan pada penderita tumor, tetapi obat ini juga akan membunuh

sel penting dari sistem imun termasuk sel induk, progenitor neutrofil

dan limfosit yang cepat membelah dalam organ limfid. Penggunaan

tetrasiklin dapat menekan imunitas selular. Jumlah neutrofil yang


22

berfungsi sebagai fagosit dapat menurun akibat pemakaian obat

kemoterapi, analgesik, antihistamin, antitiroid, antikonvulsi penenang

dan antibiotik (Baratawidjaja, 2009:497).

Gambar 2. Penyebab imunodefisiensi sekunder


(Dikutip dari Mwambete, 2013:1554)
c. Malnutrisi (kekurangan gizi atau gizi berlebih)

Kekurangan gizi menjadi dasar terjadinya malnutrisi protein

dan energi (PEM) keadaan ini sebagian besar menyebabkan kerentanan

terhadap infeksi pada manusia di negara yang miskin atau kurang

berkembang terutama terjadi pada anak-anak. PEM adalah penyebab

umum dari imunodefisiensi sekunder. Manutrisi yang berat pada anak

dapat mempengaruhi perkembangan timus, sistem imun yang menurun

menyebabkan penurunan jumlah limfosit perifer. Faktor komplemen

menjadi terbatas saat terjadi malnutrisi, sehingga akan mempengaruhi

fungsi fagosit untuk menghilangkan dan membunuh patogen. Infeksi

yang berkelanjutan dapat menjadi suatu keadaan malnutrisi. Infeksi

yang dapat berkontribusi menjadi malnutrisi adalah seperti infeksi


23

gastrointestinal yang dapat menyebabkan diare, HIV/AIDS, TB, dan

infeksi kronis lainnya yang dapat menyebabkan kaheksia dan anemia,

adanya parasit di usus yang dapat menyebabkan anemia dan gizi yang

kurang (Mwambete, 2013:1555).

Gambar 3. Malnutrisi menyebabkan penyakit


(Dikutip dari Rath & Niedzwiecki, 2015:6)

2.4. Penegakan Diagnosis

2.4.1. Anamnesa

Seiring komplikasi infeksi yang terutama ditemukan pada

masalah klinis sebagai akibat dari adanya defisiensi antibodi,

penanganan sebagian besar dipusatkan pada pencegahan dan

penanganan infeksi seperti halnya pemantauan untuk mendeteksi

dini adanya komplikasi yang terjadi (Magdalena, 2011:241).

Deteksi dini sangat memungkinkan untuk menilai keberhasilan

suatu terapi, dan dapat menyelamatkan kehidupan seseorang.

Imunodefisiensi primer biasanya diduga karena adanya infeksi

yang menyerang anak-anak dan orang dewasa yang bersifat umum,

berat, persisten, atau dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang


24

tidak biasa. Sedangkan untuk mengetahui imunodefisiensi

sekunder, pemeriksa harus mencari adanya penyakit dasar yang

mendahului keadaan klinis penderita. Jenis infeksi yang terjadi

dapat memberikan petunjuk untuk jenis imunodefisiensi primer

yang dialami (Herz, 2011:5).

Evaluasi klinis yang cermat sangat penting untuk mengenali

penderita dengan imunodefisiensi primer. Pentingnya mengetahui

tanda dan gejala yang terlihat untuk menentukan tindakan yang

lebih lanjut. Terdapat 10 tanda-tanda klinis yang dapat digunakan

untuk mempertimbangkan adanya suatu keadaan imunodefisiensi

menurut European Society of Immunodeficiencies (ESID) yang

tertera di dalam penelitian yang dilakukan oleh Madkaikar et al

(2013:580) mengenai Primary Immunodeficiency Disorders.

Penderita yang memenuhi salah satu kriteria harus segera dirujuk

ke imunolog klinis untuk evaluasi lebih lanjut. Kesepuluh tanda

tersebut adalah seperti berikut:

1. Mengalami ≥ 8 kali gangguan infeksi telinga dalam jangka

waktu satu tahun

2. Mengalami ≥ 2 kali infeksi sinus yang serius dalam jangka

waktu satu tahun

3. ≥ 2 bulan penggunaan antibiotika dengan efek yang sangat

kecil

4. Mengalami ≥ 2 kali pneumonia dalam jangka waktu satu tahun


25

5. Terjadi kegagalan pertumbuhan normal bayi (berat badan dan

tumbuh kembang)

6. Kekambuhan abses pada kulit atau organ

7. Infeksi jamur yang persisten pada mulut atau kulit

8. Kebutuhan antibiotik intravena untuk mengobati infeksi

9. Mengalami ≥ 2 kali infeksi dengan jangkauan lokasi yang

cukup dalam

10. Riwayat keluarga dengan imunodefisiensi primer

Kelainan genetik dapat dideteksi dengan memperhatikan

gejala (simptomatik) yang dikeluhkan oleh penderita dengan

melakukan beberapa hal berikut :

1. Uji skrining dengan melihat kesepuluh tanda di atas untuk

mengevaluasi bayi yang tidak menunjukkan gejala

(asimptomatik) dimana ini merupakan langkah awal yang harus

dilakukan.

2. Algoritma klinis untuk mengenali tanda dan gejala awal yang

ditampilkan oleh penderita dengan terlebih dahulu telah

dilakukan pemeriksaan laboratorium.

Algoritma klinis dapat dimulai dengan mengidentifikasi

orang yang sering mengalami infeksi berulang diluar normal,

meningkatkan kesiagaan pemeriksa mengenai jenis, frekuensi, dan

penampilan dari imunodefisiensi, riwayat keluarga dan dapat

melakukan tindakan medis yang tepat (Lindegren, 2004:6). Gejala

klinis dari jenis infeksi yang terjadi dan jenis imunodefisiensi


26

berbeda antar satu dengan yang lain. Algoritma klinis yang

menjelaskan gejala klinis tersebut tertera di dalam jurnal

Diagnostic & Clinical Care Guideline oleh Buckley et all

(2009:10,14,18) adalah sebagai berikut :

Gambar 4. Algoritma klinis untuk defisiensi sel B


(dikutip dari Buckley, 2009:10)
27

Gambar 5. Algoritma klinis untuk defisiensi sel T


atau kombinasi sel T&sel B
(dikutip dari Buckley, 2009:14)
28

Gambar 6. Algoritma klinis untuk defisiensi sistem fagosit


(dikutip dari Buckley, 2009:18)

2.4.2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada penderita imunodefisiensi dapat

dilakukan untuk membantu dalam menegakkan diagnosis yang

sesuai dengan tanda yang ditemukan. Dalam penelitian yang

dilakukan oleh Eley pada tahun 2014:6-7 dalam jurnalnya Primary

Immunodeficiency diseases terdapat beberapa kelainan yang

ditemukan setelah melakukan pemeriksaan fisik seperti berikut:

a) Kulit dan anggota badan: eczema, eritroderma pada neonatus,

adanya distrofi pada kuku, peteki.


29

b) Cavum oral: Gingivostomatitis, periodontitis, ulser pada

mukosa oral, hipoplasia enamel gigi.

c) Mata: adanya lesi pada retina dan telangiektasia

d) Jaringan limfoid: tidak adanya nodus limfe dan tonsil

e) Neurologi: Ataksia, mikrosefali dan makrosefali

f) Ditemukannya angioedema tanpa urtikaria, pertumbuhan yang

abnomal atau tidak sesuai.

2.4.3. Pemeriksaan penunjang

a. Complete Blood Count (CBC)

Darah normal mengandung berbagai macam sel yang

berbeda, beberapa sel berperan pada sistem imun.Tes ini digunakan

untuk mengevaluasi keberadaan limfopenia, limfosit abnormalserta

sel fagositik, dan juga kelainan yang terkait hematologi lain yang

mungkin dapat menunjukkan adanya gangguan imunodefisiensi

primer. Keberadaan limfopenia yang signifikan misalnya, mungkin

merupakan indikasi pertama dari imunodefisiensi sel T (seluler)

(Herz, 2011:6). Alat diagnostik lain yang penting meliputi tes

proliferasi limfosit dan flow cytometry yang memungkinkan untuk

penghitungan sel B, sel T, dan sel NK (natural killer), serta

evaluasi penanda limfosit, variabilitas sel T dan reseptor adhesi

yang mungkin terkait dengan cacat pada sistem imun spesifik

(McCusker, 2011:5).
30

b. Pengukuran imunoglobulin

Imunoglobulin atau antibodi adalah protein yang dapat

mengenali mikroorganisme yang dapat menginfeksi dan membantu

sistem imun menghancurkan patogen tersebut. Sebagian besar

imunodefisiensi primer menyebabkan tubuh menghasilkan sedikit

antibodi atau tidak ada sama sekali antibodi yang dihasilkan.

Pengukuran imunoglobulin G (IgG), A (IgA), E (IgE) dan M (IgM)

sangat penting untuk menentukan suatu diagnosis adanya

gangguan imunodefisiensi primer. Penting untuk diingat bahwa

jumlah imunoglobulin atau antibodi dapat berubah-ubah selama

masa kanak-kanak, sehingga hasil dari pengukuran

immunoglobulin harus diinterpretasikan berdasarkan umur

penderita(Herz, 2011:8-9).

Tabel 1. Pengukuran immunoglobulin (antibodi)


Gangguan
imunodefisiensi IgG IgA IgE IgM
primer
XLA (Bruton
Rendah Rendah Rendah Rendah
diseases)
Common variable Terkadang
Rendah Rendah
immunodeficiency rendah
Total
normal,
satu atau
Defisiensi IgG Normal Normal Normal
lebih
subkelas
rendah
Biasanya Biasanya Biasanya Biasanya
SCID
rendah rendah rendah rendah

(dikutip dari Herz, 2011:8)


31

c. Tes HIV

HIV menyerang sistem kekebalan tubuh dan dapat

menyebabkan kondisi yang dikenal sebagai acquired

immunodeficiency syndrome (AIDS). Tes HIV adalah tes darah

sederhana dan luas yang tersedia. Test HIV juga merupakan

indicator yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosis

imunodefisiensi sekunder (Herz, 2011:10).

d. Tes genetik

Imunodefisiensi primer terjadi karena adanya kerusakan pada

gen yang berperan dalam perkembangan dan kerja dari sistem

imun tubuh. Kelainan pada gen ini sebagian besar diwariskan dari

orang tua, tetapi yang lain dapat terjadi melalui mutasi genetik

yang muncul selama masa kehamilan. Dengan menganalisis DNA

penderita, dokter dapat mengidentifikasi setiap kelainan yang

terjadi. Tes genetik juga dapat membantu proses pemilihan

pengobatan, dapat membantu memprediksikan bagaimana

kemajuan dan dampak dari imunodefisiensi primer (prognosis),

dapat memastikan kejadian fetus memiliki cacat genetik yang dapat

menyebabkan imunodefisiensi primer (Herz, 2011:11).

2.5. Diagnosis Banding

Diagnosis banding yang harus dipertimbangkan saat ditemukan

keadaan defisiensi antibodi primer adalah alergi pada pediatri dan asma,
32

terutama ketika penderita mengalami kerentanan terhadap infeksi yang

berulang. Gejala dan infeksi pernafasan juga dapat berlangsung pada anak

yang didiagnosis dengan asma meskipun telah mendapatkan perawatan

yang tepat, penelitian lanjut juga diperlukan untuk menyingkirkan

penyebab lain. Keterlambatan dalam diagnosis dapat menyebabkan

terjadinya infeksi kronis, kerusakan organ, atau menyebabkan kematian

(Shabestari, 2008: 303).

Menurut Rundles (2014:5-6) yang dipublikasikan oleh National

Organization for Rare Disorders, dalam artikelnya Rundles mengatakan

gejala gangguan berikut memiliki gejala yang serupa dengan Common

Variable Immunodeficiency. Diagnosis banding dari Common Variable

Immunodeficiency adalah sebagai berikut:

2.5.1. Agammaglobulinemia

Agammaglobulinemia adalah gangguan imunodefisiensi

bawaan yang ditandai oleh rendahnya konsentrasi antibodi dalam

darah karenanya kurang sel limfosit dalam darah dan getah bening.

2.5.2. Hyper IgM Syndrome (HIGM)

Gangguan imunodefisiensi primer yang memiliki kadar

antibodi IgA, IgG, IgE yang rendah. Kadar antibodi IgM dapat

mencapai nilai normal atau meningkat. Gejala dan tanda fisik

ditemukan pada tahun pertama dan kedua kehidupan.

HIGMditandai dengan infeksi yang berulang pada telinga tengah,

sinus, paru-paru, kulit atau daerah lain. Anak dengan HIGM

memiliki gangguan penyerapan nutrisi, diare kronik, kegagalan


33

dalam penambahan berat badan (gagal tumbuh) dan pembesaran

tonsil.

2.5.3. X-linked Liymphoproliferative (XLP)

XLP adalah gangguan yang sangat jarang diwariskan dan

merupakan gangguan imunodefisiensi primer yang ditandai dengan

respon imun yang lemah terhadap infeksi virus Epstein-Barr

(EBV). Virus ini terdapat di populasi umum dan dikenal karena

disebabkan oleh infeksi mononucleosis(IM), biasanya efeknya tidak

bertahan lama. Namun pada penderita XLP, paparan EBV dapat

mengakibatkan keadaan yang berat yang dapat mengancam nyawa,

jumlah antibodi yang rendah dalam darah. Hal ini mengakibatkan

peningkatan kerentanan terhadap infeksi.

2.6. Terapi

2.6.1. Farmakoterapi

a. Antibiotik

Defisiensi IgA selektif, atau defisiensi subkelas IgG, yang

datang dengan infeksi pernapasan atas dapat ditangani dengan baik

dengan pemberian kemoprofilaksis antibakterial. Hal ini secara

khusus membantu penderita penderita defisiensi transient ringan.

Oleh karenanya, profilaksis dengan antibiotik dipertimbangkan

sebagai model terapi awal bagi kebanyakan penderita. Profilaksis

biasanya dimulai dengan amoksisilin, trimetoprim-sulfametoksazol,

atau azitromisin. Jika tidak efektif, obat lain seperti amoksisilin–


34

klavulanat atau klaritromisin juga dapat digunakan. Beberapa

praktisi menggunakan dosis terapeutik penuh, dan yang lain hanya

menggunakan setengahnya. Beberapa melakukan rotasi antibiotik

preventif setiap 1 hingga 6 bulan, dan yang lainnya

mempertahankan terapi dengan satu obat saja (Magdalena,

2011:242).

b. Antiviral

Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam

pengembangan obat efektif. Siklus virus HIV menunjukkan

beberapa titik rentan yang diduga dapat dicegah dengan obat

antiviral. Ada 2 jenis obat antiviral yang digunakan untuk

mengobati infeksi HIV dan AIDS. Analog nucleotide mencegah

aktivitas reverse transcriptase seperti timidine-AZT, dideoksinosin

dan dideoksisitidin yang dapat mengurangi kadar RNA HIV dalam

plasma. Biasanya obat-obat tersebut tidak berhasil menghentikan

progres penyakit oleh karena timbulnya bentuk reverse

transcriptase yang persisten terhadap obat. Inhibitor protease virus

sekarang digunakan untuk mencegah suatu proses protein precursor

yang akan menjadi kapsid virus yang matur dan protein core

(Baratawidjaja, 2009:510).

Terapi saat ini menggunakan kombinasi tiga obat yang terdiri

atas protease inhibitor dengan 2 inhibitor reverse transcriptase

yang terpisah. Hal ini digunakan untuk menurunkan kadar RNA

virus dalam plasma menjadi sangat rendah untuk lebih dari satu
35

tahun. Perlu pengamatan terhadap kemungkinan terjadinya

resistensi. Resistensi terhadap inhibitor protease dapat terjadi

setelah pemberian beberapa hari. Resistensi terhadap zidovudin

atau azidotimidin dapat terjadi setelah pemberian beberapa bulan.

Untuk resistensi terhadap zidovudin diperlukan 3 sampai 4 bulan

mutasi dalam reverse transcriptase, tetapi satu mutasi saja sudah

dapat menimbulkan resistensi terhadap inhibitor protease

(Baratawidjaja, 2009:510).

2.6.2. Non farmakoterapi

a. Transplantasi

Transplantasi timus fetal atau stem cell dari sumsum tulang

dilakukan untuk memperbaiki kompetensi imun. Transplantasi

sumsum tulang dari donor dan resipien yang memiliki hubungan

genetik yang cocok telah dilakukan dengan hasil yang baik pada

beberapa kasus. Transplantasi timus fetal juga telah dilakukan pada

aplasia timus (Baratawidjaja, 2009:509).

b. Terapi pengganti imunoglobulin

Secara umum dapat diterima bahwa penderita dengan

penurunan produksi antibodi spesifik yang signifikan memerlukan

terapi pengganti imunoglobulin. Indikasi pemberian imunoglobulin

intravena (IVIG) adalah sebagai pengobatan imunodefisiensi

primer, untuk pencegahan terhadap terjadinya infeksi bakteri pada

penderita hipogammaglobulinemia, untuk mengurangi infeksi

bakteri yang ringan dan berat agar menurunkan frekuensi infeksi


36

HIV pada anak di rumah sakit (Camcioglu, 2012:97). Diagnosis

dini dan pemberian terapi imunoglobulin bagi penderita ini tidak

hanya penting untuk mencegah infeksi akut seperti pneumonia atau

meningitis tetapi juga untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas

yang berkaitan dengan komplikasi kronik seperti penyakit paru

kronik atau infeksi enteroviral kronik (Magdalena, 2011:241).

Dosis IVIG yang direkomendasikan untuk penggantian

immunoglobulin antara 0,3 dan 0,6 g/kg, diberikan setiap 2 sampai

4 minggu secara intravena. Dosis pertama pemberian infus IVIG

sering menyebabkan reaksi yang merugikan lebih dibandingkan

dengan dosis kedua atau ketiga berikut. Dengan demikian,

pemberian infus IVIG pertama pada penderita imunodefisiensi

harus diberikan secara perlahan sebagai larutan 5%, dimulai

dengan dosis 0,5-1,0 mg/kg per menit. Penderita harus dipantau

untuk setiap reaksi yang merugikan selama pemberian IVIG. Jika

penderita dapat mentoleransi pengobatan dengan baik, maka

kecepatan drip infus obat dinaik menjadi 1,5-2,5 mg/kg/menit

setelah 15 sampai 30 menit. Maksimal drip infus adalah 4 mg/kg

per menit. Infus produk IVIG harus bertahan 2 sampai 4 jam.

Untuk infus berikutnya konsentrasi IVIG 10% dan 12% dapat

digunakan, dengan drip infus 4 mg/kg per menit. Tujuan terapi

IVIG pada penderita imunodefisiensi primer adalah untuk menjaga

agar serum IgG tetap diantara kisaran 350 mg / dl dan 500 mg/dl

(Camcioglu, 2012:101).
37

Secara umum, dosis dan interval dari pemberian

imunoglobulin disesuaikan untuk menjaga kadar serum tetap

berada di atas 500 mg/dl. Meski demikian, regimen pengganti

harus disesuaikan dengan keadaan masing–masing penderita dan

responnya terhadap pengobatan, beberapa studi telah

memperlihatkan bahwa dosis yang lebih tinggi dari dosis standar

bermanfaat untuk penderita-penderita tertentu. Mempertahankan

kadar IgG (> 800 mg/dl) mungkin diindikasikan bagi penderita

penyakit paru kronik dan atau sinusitis refrakter kronik

(Magdalena, 2011:242).

Pada penderita dengan agammaglobulinemia atau

hipogammaglobulinemia berat (< 200 mg/dl) mungkin memerlukan

loading dose (misalnya 1 dosis 1 g/kg berat badan atau dibagi

menjadi dosis terpisah).Kondisi infeksius spesifik mungkin

memerlukan pemberian terapi immunoglobulin dosis tinggi

sementara, misalnya pengobatan penderita XLA yang menderita

meningoensefalitis enteroviral kronik, dimana mempertahankan

kadar IgG > 1000 mg/dl telah menunjukkan hasil yang baik.

Pemberian IgG subkutan terbukti aman dan sama efektifnya dengan

IgG intra vena. Keuntungan utamanya adalah efek samping

sistemik yang lebih rendah, fluktuasi konsentrasi serum IgG

(Imunoglobulin G) yang lebih kecil, dan perbaikan kualitas hidup

bagi penderita yang melakukan pengobatan di rumahnya sendiri

(Magdalena, 2011:241). Jumlah cairan imunoglobulin yang


38

diberikan kepada bayi dan anak-anak adalah 10 ml dan 30 ml untuk

anak yang berusia lebih tua. Dosis pemeliharaan yang

direkomendasikan adalah 100 mg/kg/minggu. Kadar imunoglobulin

harus mencapai >5 g/L untuk penderita agammaglobulinemiadan

>3 g/L untuk penderita CVID. Pemberian Ig subkutan telah

dilaporkan memberikan perbaikan kesehatan yang jauh lebih baik

dan meningkatkan fungsi sosial dan sekolah bagi anak-anak

(Camcioglu, 2012:104-105).

Efek samping lokal (eritema, pembengkakan, dan kulit

tegang) umumnya terjadi akibat pemberian IgG subkutan. Hal ini

bersifat ringan dan biasanya hilang dalam 24 jam. Jarang

ditemukan efek samping yang lama. Jumlah total IgG yang

diberikan per bulan secara umum sama, baik dengan pemberian

IgG intra vena dan pemberian subkutan (Magdalena, 2011:242).

2.7. Komplikasi

Jika gangguan imunodefisiensi tidak diobati, maka keadaan

imunodefisiensi akan menimbulkan komplikasi yang membutuhkan

perhatian medis. Komplikasi yang umum dialami oleh penderita

imunodefiensi adalah infeksi berulang seperti infeksi pada mata, telinga,

saluran pernafasan, timbulnya gangguan autoimun, kerusakan

jantung,saluran pencernaan, peningkatan risiko kanker dan sampai

kematian (Magdalena, 2011:238). Kebanyakan efek jangka panjang terjadi

karena dua alasan yaitu sering infeksi dan atau adanya penderita
39

imunodefisiensi primer yang telah mengalami peningkatan kerentanan

terhadap infeksi baik sebelum diagnosis dan selama masa tindak lanjut,

beberapa di antaranya dapat menyebabkan kerusakan organ permanen,

cacat dan mungkin bahkan kematian jika tidak ditangani. Infeksi yang

paling umum adalah pneumonia, diare akut, sinusitis akut dan otitis media.

Penderita ini juga rentan terhadap infeksi pernafasan dari paru-paru dan

saluran bronkial, yang dapat menyebabkan kerusakan permanen pada

organ, serta infeksi akut dan berulang, terutama melibatkan sistem

pencernaan (Kazemi, 2013:24-25).

Penderita dengan defisiensi antibodi sering mengalami komplikasi

gastrointestinal seperti diare kronis atau berulang yang menjadi

manifestasi klinis yang paling umum terjadi kadang disertai malabsorpsi

dan penurunan berat badan. Dalam CVID, diagnosis banding untuk

keluhan gastrointestinal sangat luas, dengan prevalensi kejadian

komplikasi non-infeksi seperti hiperplasia nodular limfoid, penyakit

radang usus, gastritis atrofi, penyakit sariawan dan lymphangiectasia usus

(Fried, 2009:406).

Penderita imunodefsiensi humoral, agammaglobulinemia memiliki

kemungkinan mengalami komplikasi paru. Infeksi saluran pernapasan atas

yang terjadi lebih dari 80% dari penderita dengan imunodefisiensi primer,

termasuk Acute otitis media dan sinusitis, infeksi saluran pernafasan

rendah meliputi bronkitis dan pneumonia serta komplikasinya

(Mondragon, 2015:148-150).
40

2.8. Rehabilitasi

Mengajarkan penderita untuk menghindari pencetus terjadinya

infeksi, memberikan vaksin atau terapi sesuai dengan indikasi keluhan,

dan antibiotik sebagai profilaksis untuk penderita dengan gangguan

tertentu (infeksi sekunder).

2.9. Prognosis

Prognosis pada penderita imunodefisiensi sangat bervariasi

tergantung pada penyebab gangguan tersebut. Namun, yang terjadi pada

kelangsungan hidup penderita mengalami peningkatan yang

signifikansejak tahun 1970-an dengan adanya kemajuan penatalaksanaan

infeksi dan pemberian antibiotik sejak dini serta meningkatkan layanan

perawatan intensif. Selanjutnya, pemberian vaksin rutin dapat memberikan

imunitas yang baik pada orang dengan risiko tinggi, untuk menurunkan

kejadian infeksi (McCusker, 2011:7). Nasib kehidupan anak-anak yang

menderita imunodefisiensi primer bergantung pada tiga pilar yaitu (1)

dikenali sejak dini, (2) terapi dan pengawasan yang adekuat, dan (3)

adanya penyakit yang mendasari. Poin terakhir tidak dapat diubah, poin

yang pertama adalah tugas dari dokter yang pertama kali bertemu anak

penderita imunodefisiensi, dan poin yang kedua merupakan tugas

gabungan dari dokter anak umum dan dokter imunologi anak untuk

menindaklanjuti kasus tersebut (Vries, 2010:176).


41

2.10. Edukasi

Edukasikan pada penderita langsung adalah kunci untuk merawat

kesehatan penderita sendiri menjadi lebih baik.Semakin banyak individu

yang mengerti mengenai gangguan imunodefisiensi yang dideritanya dan

mengenali gejala dan tanda yang dialami, akan membuat upaya

pengobatan jauh lebih mudah dilakukan. Penderita dan keluarga harus

diberi pengertian mengenai kerja dari sistem imun tubuh saat mengalami

gangguan, oleh karena itu menerima pengobatan dan tindakan medis dari

tenaga medis yang professional dapat membantu penderita menjadi lebih

sehat. Untuk membantu menjaga kesehatan yang baik, beberapa hal

berikut harus diperhatikan yaitu asupan nutrisi yang baik, diet yang

seimbang sangat penting untuk pertumbuhan normal,

perkembangan, pemeliharaan dan perbaikan tubuh serta terutama penting

dalam mencegah terjadinya penyakit (Baltimore, 2007:120-121).

Keluarga harus lebih memperhatikan masalah kesehatan penderita,

yang dapat mempengaruhi kesehatan penderita yaitu seperti pencegahan

infeksi, menggunakan antibiotik jika penderita sakit, berikan vaksin untuk

anak dan keluarga, kenali gejala dan tanda penyakit yang dikeluhkan oleh

anak agar hal tersebut dapat didiagnosis sejak dini (Baltimore, 2013:).
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Beragam gangguan yang ditandai dengan berkurangnya atau tidak

adanya salah satu atau lebih komponen dari sistem kekebalan tubuh

disebut imunodefisiensi, dan dapat menyebabkan tubuh manusia rentan

terhadap berbagai infeksi. Kejadian terbanyak yang terjadi pada kasus

imunodefisiensi primer berupa defisiensi IgA. Sedangkan imunodefisiensi

yang membutuhkan perhatian besar adalah penderita yang terinfeksi oleh

virus HIV, hampir 15 persen dari semua kasus HIV baru di Indonesia,

Papua memiliki angka kasus hampir 15 kali lebih tinggi dari rata-rata

nasional. Imunodefisiensi dapat terjadi secara genetik (bawaan/primer) dan

didahului oleh suatu penyakit dasar (didapat/sekunder), sehingga perlu

pemeriksaan yang cermat untuk menemukan penyebab dari

imunodefisiensi tersebut.

Melalui anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

yang tepat maka dokter dapat menegakkan diagnosa imunodefisiensi yang

sesuai dengan bentuk klinis yang didapatkan. Diagnosis banding dari

keadaan imunodefisiensi antara lain; infeksi saluran pernafsan berupa

alergi pada pediatri dan asma, Agammaglobulinemia, Hyper IgM

Syndrome (HIGM), X-linked Liymphoproliferative (XLP).

42
43

Pengobatan yang dapat diberikan untuk penderita imunodefisiensi antara

lain; antibiotik, antiviral, transplantasi timus, terapi pengganti

immunoglobulin. Jika pengobatan yang diberikan tidak berhasil akibat

diagnosis yang tidak tepat, maka dapat menimbulkan komplikasi seperti

infeksi yang rekuren, komplikasi pada saluran respirasi yang bersifat

infeksi dan non infeksi serta komplikasi pada saluran gastrointestinal.

Rehabilitasi penderita imunodefisiensi yaitu dengan menghindari

fakto-faktor pencetus yang dapat membuat penderita terinfeksi. Prognosis

untuk penderita imunodefisiensi adalah baik jika diagnosis dini dapat

ditegakkan dan penanganan dilakukan dengan tepat oleh seorang dokter.

Edukasi terpenting untuk penderita dan keluarga adalah mengenali gejala

dan tanda-tanda dari imunodefisiensi serta dapat membedakannya dengan

infeksi rutin pada umumnya.

Setelah mengetahui beberapa hal di atas, maka dokter umum harus

mampu menegakkan diagnosis, dan dapat melakukan rujukan dengan tepat

agar dapat mencegah komplikasi yang terjadi pada penderita

imunodefisiensisesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia.

3.2. Saran

1. Pembaca disarankan untuk tidak menjadikan makalah ini sebagai

satu-satunya sumber referensi bacaan tentang imunodefisiensi

sehingga perlu menambah pengetahuan dengan bacaan dari referensi

lain.
44

2. Bagi mahasiswa kedokteran yang ingin melakukan penelitian lebih

lanjut terkait imunodefisiensi sebaiknya menambah isi dan

pembahasan yang lebih lengkap.


DAFTAR PUSTAKA

Baltimore. 2007. Patient & Family Handbook for Primary Immunodeficiency

Diseases 4th edition. Published by Immune Deficiency Foundation, USA:

120-121 hlm. Diunduh dari https://primaryimmune.org/.../IDF-Patient-

Family-Handbook-5th-Edition-2015-Reprint-. Diakses pada tanggal 22

Oktober 2016

Baltimore. 2013. Patient & Family Handbook for Primary Immunodeficiency

Diseases 5th edition. Published by Immune Deficiency Foundation, USA:

120-121 hlm. Diunduh dari https://primaryimmune.org/.../IDF-Patient-

Family-Handbook-5th-Edition-2015-Reprint-. Diakses pada tanggal 22

Oktober 2016

Baratawidjaja, K.G & Rengganis, I. 2009. Imunologi Dasar Edisi kedelapan.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 116; 479-498 hlm.

Bonilla, A Francisco. et all. 2005. Practice Parameter for The Diagnosis and

Management of Primary Immunodeficiency. Published by Annals of

Allergy,Asthma & Immunology, Boston:2-12;24-28 hlm. Diunduh dari

https://www.aaaai.org/Aaaai/media/MediaLibrary//immunodeficiency2005

.pdf. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2016

Buckley, RH,. Et all. 2009. Diagnostic & Clinical Care Guideline. Published by

Immune Deficiency Foundation, USA:10,14,18 hlm. Diunduh dari

http://primaryimmune.org/up-content/upload/2011/04/IDF. Diakses pada

tanggal 1 Desember 2016

45
Camcioglu, Y. 2012. Immunoglobulin Treatment of Immunodeficient Patients.

Published by Intech, Turki:97; 101 hlm. Diunduh dari

http://www.intechopen.com/books/immunodeficiency/immunoglobulin-

treatment-of-immunodeficient-patients. Diakses pada tanggal 17 Oktober

2016

Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2014. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia.

Diunduh dari http://www.pppl.depkes.go.id/focus?id=1222. Diakses pada

tanggal 17 Oktober 2016

Eley, B. 2014. Primary Immunodeficiency Diseases (PIDs): Diagnostic &

treatment Considerations for Patient Managed at Red Cross War

Memorial Children’s Hospital (RCWMCH). South Africa: 6-7 hlm. Dari

http://www.paediatrics.uct.ac.za/sites/default/files/image_tool/images/38/1

.5.10%20PIDsdiagnostic%20%20treatment%20considerations.pdf.Diakses

pada tanggal 19 Oktober 2016

Fried & Bonilla. 2009. Pathogenesis, Diagnosis, and Management of Primary

Antibody Deficiencies and Infections. Published by Clinical Microbiology

Reviews 22, Amerika: 406 hlm. Diunduh dari

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19597006. Diakses pada tanggal 19

Oktober 2016

Guyton, A.C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. EGC, Jakarta: 460

hlm.

Harrison. 2014. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke 13 (Harrison’s

Principles of Internal Medicine). EGC, Jakarta: 1746-1573 hlm.


Herz, Al W. et all. 2011. Diagnosis of Primary Immunodeficiencies 1 edition.

Published by International Patient Organisation For Primary

Immunodeficiencies(IPOPI), United Kingdom: 3-8 hlm. Diunduh dari

www.ipopi.org/uploads/WEB_IPOPI_Diagnosis.pdf.Diakses pada tanggal

19 Oktober 2016

Kazemi, A. 2013. Long-Term Effects of PIDDs. Published by

IglivingMagazine:24-25 hlm. Diunduh dari

http://www.igliving.com/magazine/articles/IGL_2013_AR_Long_Term_E

ffects_of_PIDDS.pdf. Diakses pada tanggal 19 November 2016

Kusumo, P.D. 2012. Gangguan Imunodefisiensi Primer (PID). Published by

Universitas Kristen Indonesia, Jakarta: 15-18 hlm. Diunduh dari

http://www.e-journal.jurwidyakop3.com. Diakses pada tanggal 19 Oktober

2016

Lindegren, M.L .et all. 2004. Applying Public Health Strategies to Primary

Immunodeficiency Diseases : A Potential Approach to Genetic Disorders.

Published by Center for Diseases Control and Prevention (CDC), USA: 4-

7 hlm. Diunduh dari

www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5301a1.html. Diakses pada

tanggal 19 Oktober 2016

Madkaikar M, Mishra A, Ghosh K. 2013. The Review Article; Diagnostic

Approach to Primary Immunodefciency Disorders. Departement of

Pediatric Immunology and Leukocyte Biology, National Institute of

Immunohaematology in KEM Hospital, India: 580-583 hlm. Diunduh dari


www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23942400. Diakses pada tanggal 19

Oktober 2016

Magdalena, M & Mappiasse, A. 2011. Defisiensi Antibodi Primer &

Hubungannya dengan Kelainan Kulit volume 3 Edisi 1. Published by

Majalah Kesehatan Pharmamedika,Makasar: 234-240 hlm.Diunduh dari

http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/kespha/article/view/1094/0.

Diakses pada tanggal 19 Oktober 2016

McCusker,C & Warrington, R. 2011. Primary Immunodeficiency. Published by

Allergy, Asthma & Clinical Immunology journal Vol 7 Supplement 1,

Canada: 2-7 hlm. Diunduh dari

https://aacijournal.biomedcentral.com/articles/10.1186/1710-1492-7-S1-

S11. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2016

Mondragon, J.M. Boone, ATS, et all. 2015. Pulmonary Complications in

Pediatric Patient with Primary Immunodeficiency (PI). Published by

Gaceta Medica de Mexico/Pubmed, Meksiko:148-150 hlm. Diunduh dari

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25946525. Diakses pada tanggal 19

Oktober 2016

Mwambete ,K.D&Temu, M.J. 2013. Challenges of Secondary Immunodeficiency

and Drug Resistant Opportunistic Pathogens in Developing Countries.

Formatex, Tanzania: 1553-1557 hlm. Diunduh dari

www.formatex.info/microbiology4/vol3/1553-1563.pdf. Diakses pada

tanggal 5 November 2015


Playfair, JHL,. Chain, BM. 2004. Immunology at a Glance Seventh Edition.

London:10 hlm. Diunduh dari http://faculty.mu.edu.sa/download.php.

Diakses pada tanggal 1 Desember 2016

Radji, M. 2015. Imunologi & Virologi Edisi Revisi. Innovative Scientific

Futuristic Informative Penerbit, Jakarta: 29; 34-36; 57-61 hlm.

Rath, M & Niedzwiecki, A. 2015. Malnutrition: The Leading Cause of Immune

Deficiency Diseases Woldwide. Published by Dr. Rath Education Services,

USA: 4 hlm. Diunduh dari www4.dr-rath-foundation.org/nat_vit/PDF-

Files/malnutrition_brochure_screen.pdf. Diakses pada tanggal 19 Oktober

2016

Rundles, C.C. 2014. Common Variable Immune Deficiency. Published by

National Organization for Rare Disorders, Mount Sinai:5-6 hlm. Diunduh

dari https://rarediseases.org/rare-diseases/common-variable-immune-

deficiency/. Diakses pada tanggal 23 November 2016

Shabestari, M.S& Rezaei, N. 2008. Asthma and Allergic Rhinitis in a Patient with

BTK Deficiency. Published by Journal Investigation Allergol Clinical

Immunol, Iran: 303 hlm. Diunduh dari

www.jiaci.org/issues/vol18issue4/11.pdf. Diakses pada tanggal 20

November 2016

Sullivan, K.E. 2015. Clinical Focus on Primary Immunodeficiencies: Diagnostic

Approaches to antibody Deficiencies. Published by Immune Deficiency

Foundation, USA; 3-6 hlm. Diunduh dari http://primaryimmune.org/wp-


content/uploads/2015/11/IDF-Clinical-Focus-Diagnostic-Approaches-to-

Antibody-Deficiencies-2015.pdf. Diakses pada tanggal 3 November 2016

UNICEF Indonesia. 2012. Ringkasan Kajian Respon terhadap HIV & AIDS.

Jakarta: 1-2 hlm. Diunduh dari https://www.unicef.org/indonesia/id/A4_-

_B_Ringkasan_Kajian_HIV.pdf. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2016

Vries, E.D& Driesen, G. 2010. Educational Paper Primary Immunodeficiencies in

Children: a Diagnostic Challenge. Published by Europa Journal

Pediatric, Eropa:176 hlm. Diunduh dari

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21170549. Diakses pada tanggal 19

November 2016

Anda mungkin juga menyukai