Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Anatomi Fisiologi Tulang

1. Anatomi Tulang

Humerus (arm bone) merupakan tulang terpanjang dan terbesar dari

ekstremitas superior. Tulang tersebut bersendi pada bagian proksimal dengan

skapula dan pada bagian distal bersendi pada siku lengan dengan dua tulang,

ulna dan radius. Ujung proksimal humerus memiliki bentuk kepala bulat

(caput humeri) yang bersendi dengan kavitas glenoidalis dari scapula untuk

membentuk articulatio gleno-humeri. Pada bagian distal dari caput humeri


terdapat collum anatomicum yang terlihat sebagai sebuah lekukan oblik.

Tuberculum majus merupakan sebuah proyeksi lateral pada bagian distal dari

collum anatomicum. Tuberculum majus merupakan penanda tulang bagian

paling lateral yang teraba pada regio bahu. Antara tuberculum majus dan

tuberculum minus terdapat sebuah lekukan yang disebut sebagai sulcus

intertubercularis. Collum chirurgicum merupakan suatu penyempitan humerus

pada bagian distal dari kedua tuberculum, dimana caput humeri perlahan

berubah menjadi corpus humeri. Bagian tersebut dinamakan collum

chirurgicum karena fraktur sering terjadi pada bagian ini (Pearce E, 2009).

Corpus humeri merupakan bagian humerus yang berbentuk seperti

silinder pada ujung proksimalnya, tetapi berubah secara perlahan menjadi

berbentuk segitiga hingga akhirnya menipis dan melebar pada ujung distalnya.

Pada bagian lateralnya, yakni di pertengahan corpus humeri, terdapat daerah

berbentuk huruf V dan kasar yang disebut sebagai tuberositas deltoidea.

Daerah ini berperan sebagai titik perlekatan tendon musculus deltoideus.

Beberapa bagian yang khas merupakan penanda yang terletak pada bagian

distal dari humerus. Capitulum humeri merupakan suatu struktur seperti

tombol bundar pada sisi lateral humerus, yang bersendi dengan caput radii.

Fossa radialis merupakan suatu depresi anterior di atas capitulum humeri,

yang bersendi dengan caput radii ketika lengan difleksikan. Trochlea humeri,

yang berada pada sisi medial dari capitulum humeri, bersendi dengan ulna

(Timurawan A, 2017).
Fossa coronoidea merupakan suatu depresi anterior yang menerima

processus coronoideus ulna ketika lengan difleksikan. Fossa olecrani

merupakan suatu depresi posterior yang besar yang menerima olecranon ulna

ketika lengan diekstensikan. Epicondylus medialis dan epicondylus lateralis

merupakan suatu proyeksi kasar pada sisi medial dan lateral dari ujung distal

humerus, tempat kebanyakan tendon otot-otot lengan menempel. Nervus

ulnaris, suatu saraf yang dapat membuat seseorang merasa sangat nyeri ketika

siku lengannya terbentur, dapat dipalpasi menggunakan jari tangan pada

permukaan kulit di atas area posterior dari epicondylus medialis (Sobotta,

2007)

Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung atas),

korpus, dan ujung bawah.

a. Kaput

Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang

membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapla dan merupakan bagian

dari banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang lebih ramping

disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas dibawah leher anatomik

terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas Mayor dan disebelah depan

terdapat sebuahmbenjolan lebih kecil yaitu Tuberositas Minor. Diantara

tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus intertuberkularis) yang

membuat tendon dari otot bisep. Dibawah tuberositas terdapat leher

chirurgis yang mudah terjadi fraktur.


b. Korpus

Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin

pipih. Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut

tuberositas deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah

celah benjolan oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah

medial ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau

saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis.

c. Ujung Bawah

Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi

dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi

sebelah dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan

ulna dan disebelah luar terdapat kapitulum yang bersendi dengan radius.

Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil yaitu

epikondil lateral dan medial (Pearce, Evelyn C, 2009).

2. Fisiologi Tulang

a. Memberi kekuatan pada kerangka tubuh

b. Tempat melekatnya otot

c. Melindungi organ penting

d. Tempat pembuatan sel darah

e. Tempat penyimpanan garam mineral

(Sobotta, 2009)
B. Konsep Fraktur

1. Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang baik karena

trauma, tekanan maupun kelainan patologis. Fraktur adalah patah tulang,

biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 2005). Sedangkan

menurut Smeltzer (2005) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang

yang ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang

dikenai stress yang lebih besar dari yang diabsorpsinya.

2. Penyebab Fraktur

Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,

gerakan punter mendadak dan kontraksi otot yang ekstrim. Patah tulang

mempengaruhi jaringan sekitarnya mengakibatkan oedema jaringan lunak,

perdarahan keotot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf

dan pembuluh darah. (Brunner & Suddarth,2005).

3. Jenis Fraktur Ekstermitas

Fraktur ekstremitas terdiri dari fraktur ekstremita sbawah dan atas

adapun jenis jenisnya adalah sebagai berikuit:

1) Fraktur ekatremitas atas :

a) Fraktur collum humerus

b) Fraktur humerus

c) Fraktur suprakondiler humerus

d) Fraktur radius dan ulna (fraktur an tebrachi)

e) Fraktur colles
f) Fraktur metacarpal

g) Fraktur phalang proksimal, medial, dan distal

2) Jenis fraktur ekstremitas bawah

a) Fraktur collum femur

b) Fraktur femur

c) Fraktur supra kondiler femur

d) Fraktur patella

e) Fraktur plateu tibia

f) Fraktur cruris

g) Fraktur ankle

h) Fraktur metatarsal

i) Fraktur phalang proksimal, medial dan distal

4. Mekanisme Nyeri Pada Fraktur

Nyeri pada fraktur adalah nyeri yang termasuk dalam nyeri nosiseptif.

apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka system nosisseptif akan bergeser

fungsinya, dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan

jaringan yang rusak.


Gambar 2.1 Mekanisme Nyeri.

Pada kasus nyeri nosiseptif terdapat proses transduksi, transmisi,

modulasi dan persepsi. Transduksi merupakan konversi stimulus

noksious termal, mekanik (trauma pada fraktur) atau kimia menjadi

aktivitas listrik pada akhiran serabut sensorik nosiseptif. Proses ini

diperantarai oleh reseptor ion channel natrium yang spesifik.

Konduksi merupakan perjalanan aksi potensial dari akhiran saraf

perifer ke sepanjang akson menuju akhiran nosiseptor di system

saraf pusat. Transmisi merupakan bentuk transfer sinaptik dari satu

neuron ke neuron lainnya. Kerusakan jaringan yang diakibatkan

trauma seperti robekan otot, putusnya kontinuitas tulang, akan

memacu pelepasan zat-zat kimiawi (mediator inflamasi) yang

menimbulkan reaksi inflamasi yang diteruskan sebagai sinyal ke

otak. Sinyal nyeri dalam bentuk impuls listrik akan dihantarkan oleh
serabut saraf nosiseptor tidak bermielin (serabut C dan delta) yang

bersinaps dengan neuron di kornu dorsalis medulla spinalis. Sinyal

kemudian diteruskan melalui traktus spinotalakmikus di otak,

dimana nyeri pada fraktur dipersepsi, dilokalisis dan

diinterpretasikan (Pinzon, 2014).

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Fraktur dan Kegawat daruratannya Menurut Brunner

& Suddarth (2005), pengkajian primer dan resusitasi sangat penting untuk

mengontrol perdarahan yang diakibatkan oleh trauma muskuloskeletal.

Perdarahan dari patah tulang panjang dapat menjadi penyebab terjadinya syok

hipovolemik. Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan

pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi. Reduksi pada

fraktur yaitu dilakukan bedah Open Reduction Internal Fixation (ORIF).

C. Fraktur Humerus

1. Definisi

Fraktur humerus adalah fraktur pada tulang humerus yang disebabkan

oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak langsung (de Jong, 2010).

Fraktur humerus adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang

humerus yang terbagi atas :

1. Fraktur Collum Humerus

2. Fraktur Batang Humerus


3. Fraktur Suprakondiler Humerus

4. Fraktur Interkondiler Humerus

2. Etiologi

Fraktur merupakan hasil dari terjadinya gerakan mekanis yang keras

pada tulang. Kekuatan yang terjadi menyebabkan fraktur yang besarnya

bervariasi tergantung pada bagian dan karakteristik tulang.

Menurut Reksoprodjo (2010) fraktur humerus disebabkan oleh trauma

di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Trauma ada 2 jenis

yaitu :

1. Trauma langsung

Terjadi benturan pada tulang yang mengakibatkan fraktur di tempat itu

2. Trauma tidak langsung yaitu terjadi benturan pada tulang dan titik tumpu

benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.

Tekanan pada tulang dapat berupa:

1. Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral

2. Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal

3. Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur

impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi

4. Kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau

memecah

5. Trauma oleh karena remuk


6. Trauma karena tarikan pada ligament atau tendon akan menarik sebagian

tulang

3. Manifestasi Klinis

Menurut Smeltzer & Bare (2002) tanda dan gejala dari fraktur

humerus, yaitu:

1. Nyeri

Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang

diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk

bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar

fragmen tulang.

2. Deformitas

Pergeseran fragmen pada fraktur menyebakan deformitas (terlihat

maupun terasa), deformitas dapat diketahui dengan membandingkan

ekstremitas yang normal.

3. Krepitus

Saat ekstremitas diperiksa, terasa adanya derik tulang dinamakan

krepitus yang terasa akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.

4. Pembengkakan dan perubahan warna.

Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi

pembengkakan dan perubahan warna lokal yang mengikuti fraktur.

Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah

cidera.
4. Klasifikasi

Menurut Hoppenfield (2011) patah tulang humerus dapat dibagi menurut ada

tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar, yaitu :

1) Fraktur tertutup (closed fracture)

Apabila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia

luar.

2) Fraktur terbuka (open fracture)

Apabila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar

karena adanya permukaan di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas tiga

derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan berat ringannya

patah tulang.

Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo – Anderson (Smeltzer & Bare,

2009) adalah:

1) Grade I : dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya, kerusakan

jaringan lunak minimal, biasanya tipe fraktur simple transverse dan

fraktur obliq pendek.

2) Grade II : luka lebih dari 1 cm panjangnya, tanpa kerusakan jaringan

lunak yang ekstensif, fraktur komunitif sedang dan ada kontaminasi.

3) Grade III : yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan

jaringan lunak yang ekstensif, kerusakan meliputi otot, kulit dan

struktur neurovascular.

4) Grade III ini dibagi lagi kedalam :


- III A : fraktur grade III, tapi tidak membutuhkan kulit untuk penutup

lukanya.

- III B : fraktur grade III, hilangnya jaringan lunak, sehingga tampak

jaringan tulang, dan membutuhkan kulit untuk penutup (skin graft).

- III C : fraktur grade III, dengan kerusakan arteri yang harus

diperbaiki, dan beresiko untuk dilakukannya amputasi.

Fraktur juga dapat diklasifikasikan menurut bentuk dan pola patahannya

(Smeltzer & Bare, 2009), yaitu:

1) Fraktur transversal

Fraktur yang terjadi karena benturan langsung pada titik fraktur dengan

bentuk patahan fraktur adalah lurus melintang pada batang tulang.

Fraktur ini pada umumnya menjadi stabil kembali setelah direduksi.

2) Fraktur oblik

Fraktur ini terjadi karena benturan tak langsung ketika suatu kekuatan

pada jarak tertentu menyebabkan tulang patah pada bagian yang paling

lemah. Fraktur ini berbentuk diagonal sepanjang tulang dan biasanya

terjadi karena pemelintiran pada ekstremitas.

3) Fraktur spiral

Fraktur spiral terjadi ketika sebuah anggota gerak terpuntir dengan kuat

dan biasanya disertai dengan kerusakan pada jaringan lunak. Bentuk

patahan dari fraktur spiral hampir sama dengan fraktur obilk, akan tetapi

pada fraktur spiral patahannya mengelilingi tulang sehingga seolah-olah

terpilin seperti spiral.


4) Fraktur komunitiva

Fraktur komunitiva merupakan kondisi di mana tulang yang patah pecah

menjadi dua bagian atau lebih.

5) Fraktur kompresi

Fraktur yang terjadi ketika kedua tulang menumbuk (akibat tubrukan)

tulang ketiga yang berada di antaranya

6) Fraktur greenstick

Fraktur di mana garis fraktur pada tulang tersebut hanya parsial (tidak

lengkap) pada sisi konveks bagian tulang yang tertekuk, seperti ranting

pohon yang lentur. Fraktur jenis ini hanya terjadi pada anak-anak.

7) Fraktur patologik

Fraktur yang terjadi pada tulang yang sudah mengalami kelainan

misalnya metastase tumor.

Berdasarkan arah pergeserannya, fraktur humerus dibagi menjadi :

1) Fraktur sepertiga proksimal humerus

Fraktur yang mengenai proksimal metafisis sampai insersi m.

pectoralis mayor diklasifikasikan sebagai fraktur leher humerus. Fraktur

di atas insersi pectoralis mayor menyebabkan fragmen proksimal abduksi

dan eksorotasi rotator cuff serta distal fragmen bergeser ke arah medial.

Fraktur antara insersi m. pectoralis mayor dan deltoid umumnyaterlihat

adduksi pada akhir distal dari proksimal fragmen dengan pergeseran

lateral dan proksimal dari distal fragmen.

2) Fraktur sepertiga tengah dan distal humerus


Jika fraktur terjadi di distal dari insersi deltoid pada sepertiga tengah

korpus humerus,pergeseran ke medial dari fragmen distal dan abduksi dari

fragmen proksimal akan terjadi.

5. Patofisiologi

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya

pegas untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang

lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang

yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah

terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,

marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan

terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga

medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.

Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon

inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan

infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses

penyembuhan tulang nantinya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur penyembuhan tulang:

1. Faktor intrinsic

Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan

untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas,

kelelahan (fatigue fracture), dan kepadatan atau kekerasan tulang.

2. Faktor ektrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung

terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.

Jenis fraktur berdasarkan kekuatan yang mengenainya:

 Kompresif: fraktur proksimal dan distal humerus

 Bending: fraktur transversa shaft humerus

 Torsional: fraktur spiral shaft humerus

 Torsional dan bending: fraktur oblik, kadang diikuti dengan fragmen

”butterfly”.
6. Pathway

TRAUMA PADA HUMERUS

Fraktur humerus terbuka Fraktur humerus tertutup

Kerusakan neurovascular
Port de entrée Nyeri/ketidaknyamanan
Terapi imobilitas/gips
Spasme otot
Perubahan sirkulasi Gerakan frakmen tulang
embolisme lemak Ketidakmampuan
Cedera jaringan lunak menggerakkan lengan
Penurunan kekuatan otot
2. Risiko tinggi infeksi Trauma jaringan

Ketidakmampuan
menggerakkan
8. Kerusakan integritas 1. Nyeri lengan Penurunan
kulit kekuatan otot
6. Ketidakefektifan koping
individu dan keluarga

7. ansietas 3. Hambatan
mobilitas fisik
4. Deficit perawat diri
5. Risiko tinggi trauma
Kurang terpajan informasi

Salah interprestasi

9. Defisiensi pengetahuan
tentang prognosis dan
kebutuhan pengobatan
7. Pemeriksaan Penunjang

a) Laboratorium

Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hemoglobin,

hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED)

meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa

penyembuhan Ca dan P mengikat di dalam darah.

b) Radiologi

Pada rontgen dapat dilihat gambaran fraktur (tempat fraktur, garis

fraktur (transversa,spiral atau kominutif) dan pergeseran lainnya dapat

terbaca jelas). Radiografi humerus AP dan lateral harus dilakukan. Sendi

bahu dan siku harus terlihat dalam foto. Radiografi humerus kontralateral

dapat membantu pada perencanaan preoperative. Kemungkinan fraktur

patologis harus diingat. CT-scan, bone-scan dan MRI jarang

diindikasikan, kecuali pada kasus dengan kemungkinan fraktur

patologis. Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT

scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang lebih kompleks.

8. Penatalaksanaan

1. Konservatif

Pada umumnya, pengobatan patah tulang shaft humerus dapat

ditangani secara tertutup karena toleransinya yang baik terhadap

angulasi, pemendekan serta rotasi fragmen patah tulang. Angulasi

fragmen sampai 300 masih dapat ditoleransi, ditinjau dari segi fungsi dan
kosmetik. Hanya pada patah tulang terbuka dan non-union perlu reposisi

terbuka diikuti dengan fiksasi interna. Dibutuhkan reduksi yang sempurna

disamping imobilisasi, beban pada lengan dengan cast biasanya cukup

untuk menarik fragmen ke garis tengah.

Hanging cast dipakai dari bahu hingga pergelangan tangan dengan

siku fleksi 90° dan bagian lengan bawah digantung dengan sling disekitar

leher pasien. Cast (pembalut) dapat diganti setelah 2-3 minggu dengan

pembalut pendek (short cast) dari bahu hingga siku atau functional

polypropylene brace selama ± 6 minggu. Pergelangan tangan dan jari-jari

harus dilatih gerak sejak awal. Latihan pada bahu dimulai dalam 1minggu

perawatan, tapi abduksi aktif ditunda hingga fraktur mengalami union.

Fraktur spiral mengalami union sekitar 6 minggu, variasi lainnya

sekitar 4-6 minggu. Sekali mengalami union, hanya sling (gendongan)

yang dibutuhkan hingga fraktur mengalami konsolidasi. Pengobatan non

bedah kadang tidak memuaskan pasien karena pasien harus dirawat

lama. Itulah sebabnya pada patah tulang batang humerus dilakukan

operasi dan pemasangan fiksasi interna yang kokoh.

Berikut beberapa metode dan alat yang digunakan pada terapi

konservatif:

a) Hanging Cast

Indikasi penggunaan meliputi pergeseran shaft tengah fraktur

humerus dengan pemendekan, terutama fraktur spiral dan oblik.

Penggunaan pada fraktur transversa dan oblik pendek menunjukkan


kontraindikasi relatif karena berpotensial terjadinya gangguan dan

komplikasi pada saat penyembuhan. Pasien harus mengangkat tangan

atau setengah diangkat sepanjang waktu dengan posisi cast tetap untuk

efektivitas.

Seringkali diganti dengan fuctional brace 1-2 minggu pasca

trauma. Lebih dari 96% telah dilaporkan mengalami union.

b) Coaptation Splint

Diberikan untuk efek reduksi pada fraktur tapi

coaptation splint memiliki stabilitas yang lebih besar dan mengalami

gangguan lebih kecil dari pada hangingarm cast. Lengan bawah

digantung dengan collar dan cuff. Coaptation splint diindikasikan

pada terapi akut fraktur shaft humerus dengan pemendekan minimal

dan untuk jenis fraktur oblik pendek dan transversa yang dapat

bergeser denganpenggunaan hanging arm cast. Kerugian coaptation

splint meliputi iritasi aksilla,bulkiness dan berpotensial slippage.

Splint seringkali diganti dengan fuctional bracepada 1-2 minggu pasca

trauma.

c) Thoracobranchial Immobilization (velpeu dressing)

Biasanya digunakan pada pasien lebih tua dan anak-anak yang

tidak dapat ditoleransi dengan metode terapi lain dan lebih nyaman

jadi pilihan. Teknik ini diindikasikan untuk pergeseran fraktur yang

minimal atau fraktur yang tidak bergeser yang tidak membutuhkan


reduksi. Latihan pasif pendulum bahu dapat dilakukan dalam 1-2

minggu pasca trauma.

d) Shoulder Spica Cast

Teknik ini diindikasikan pada jenis fraktur yang

mengharuskan abduksi dan eksorotasi ektremitas atas. Kerugian

teknik ini meliputi kesulitan aplikasi cast, beratcast dan bulkiness,

iritasi kulit, ketidaknyamanan dan kesusahan memposisikan

ektremitas atas.

e) Functional Bracing

Memberikan efek kompresi hidrostatik jaringan lunak dan

mempertahankan aligment fraktur ketika melakukan pergerakan pada

sendi yang berdekatan. Brace biasanya dipasang selama 1-2 minggu

pasca trauma setelah pasien diberikan hanging arm cast atau

coaptation splint dan bengkak berkurang. Kontraindikasi metode ini

meliputi cedera massif jaringan lunak, pasien yang tidak

dapat dipercaya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan

asseptabilitas reduksi. Collar dan cuff dapat digunakan untuk

menopang lengan bawah aplikasi sling dapat menghasilkanangulasi

varus (kearah midline)


2. Tindakan Operatif

Pasien kadang-kadang mengeluh hanging cast tidak nyaman,

membosankan dan frustasi. Mereka bisa merasakan fragmen bergerak dan

hal ini kadang-kadang cukupdianggap menyusahkan. Hal penting yang

perlu diingat bahwa tingkat komplikasi setelah internal fiksasi pada

humerus tinggi dan sebagian besar fraktur humerus mengalami union

tanpa tindakan operatif.

Meskipun demikian, ada beberapa indikasi untuk dilakukan tindakan

pembedahan, diantaranya :

a Cedera multiple berat

b Fraktur terbuka

c Fraktur segmental

d Fraktur ekstensi intra-artikuler yang bergeser

e Fraktur patologis

f Siku melayang (floating elbow) – pada fraktur lengan bawah

(antebrachi) dan humerus tidak stabil bersamaan

g Palsi saraf radialis (radial nerve palsy) setelah manipulasi

h Non-union

Fiksasi dapat berhasil dengan :

a Kompresi plate and screws

b Interlocking intramedullary nail atau pin semifleksibel

c External Fixation Plating


Menjadikan reduksi dan fiksasi lebih baik dan memiliki keuntungan

tambahan bahwa tidak dapat mengganggu fungsi bahu dan

siku.

9. Komplikasi

1) Komplikasi Awal

a) Cedera vaskuler

Jika ada tanda-tanda insufisiensi vaskuler pada ekstremitas,

kerusakan arteribrakhialis harus disingkirkan. Angiografi akan

memperlihatkan tingkat cedera. Hal ini merupakan

kegawatdaruratan, yang memerlukan eksplorasi dan perbaikan

langsung ataupun cangkok (grafting) vaskuler. Pada keadan ini

internal fixation dianjurkan.

b) Cedera saraf

Radial nerve palsy (wrist dro dan paralisis otot-otot

ekstensormetacarpophalangeal) dapat terjadi pada fraktur shaft

humerus, terutama frakturoblik pada sepertiga tengah dan distal tulang

humerus. Pada cedera yang tertutup, saraf ini sangat jarang terpotong,

jadi tidak diperlukan operasi segera. Pergelangan tangan dan

telapak tangan harus secara teratur digerakkan dari pergerakan

pasif putaran penuh hingga mempertahankan (preserve) pergerakan

sendi sampai saraf pulih.


Jika tidak ada tanda-tanda perbaikkan dalam 12 minggu, saraf harus

dieksplorasi. Pada lesi komplit, jahitan saraf kadang tidak memuaskan,

tetapi fungsi dapat kembali dengan baik dengan pemindahan tendon.

Jika fungsi saraf masih ada sebelum manipulasi lalu kemudian cacat

setelah dilakukan manipulasi, hal ini dapat diasumsikan bahwa

saraf sudah mengalami robekan dan dibutuhkan operasi eksplorasi.

c) Infeksi

Infeksi luka pasca trauma sering menyebabkan osteitis kronik.

Osteitis tidak mencegah fraktur mengalami union, namun union akan

berjalan lambat dan kejadian fraktur berulang meningkat. Jika ada

tanda-tanda infeksi akut dan pembentukan pus, jaringan lunak disekitar

fraktur harus dibuka dan didrainase. Pilihan antibiotic harus

disesuaikan dengan hasil sensitivitas bakteri.

External fixation sangat berguna pada kasus ini, namun jika

intramedullary nail sudah terlanjur digunakan dan terfiksasi stabil, nail

tidak perlu dilepas.

2) Komplikasi Lanjut

a) Delayed Union and Non-Union

Fraktur transversa kadang membutuhkan waktu beberapa

bulan untuk menyambung kembali, terutama jika traksi

digunakan berlebihan (penggunaan hanging cast jangan terlalu

berat). Penggunaan teknik yang sederhana mungkin dapat

menyelesaikan masalah, sejauh ada tanda-tanda pembentukkan kalus


(callus) cukup baik dengan penanganan tanpa operasi, tetapi ingat

untuk tetap membiarkan bahu tetap bergerak.

Tingkat non-union dengan pengobatan konservatif pada fraktur

energy rendah kurang dari 3%. Fraktur energi tinggi segmental dan

fraktur terbuka lebih cenderung mengalami baik delayed union dan

non-union. Intermedullary nailing menyebabkan delayed union, tetapi

jika fiksasi rigid dapat dipertahankan tingkat non-union dapat tetap

dibawah 10%.

b) Joint stiffness

Joint stiffness sering terjadi. Hal ini dapat dikurangi dengan

aktivitas lebih awal,namun fraktur transversa (dimana abduksi bahu

nyeri disarankan) dapat membatasi pergerakan bahu untuk beberapa

minggu. Tambahan, pada anak-anak, fraktur humerus jarang terjadi.

Pada anak-anak dibawah 3 tahun kemungkinan kekerasan pada anak

perlu difikirkan.

Fraktur dirawat dengan bandage sederhana pada lengan hingga ke

badan untuk 2-3 minggu. Pada anak yang lebih tua memerlukan plaster

splint pendek.
D. Asuhan Keperawatan Faktur Humerus Sinistra

1. Pengkajian

a. Identitas Pasien

Terdiri dari nama, nomor rekam medis, agama, jenis kelamin, pekerjaan,

status perkawinan, alamat, tanggal masuk, pihak yang mengirim, cara

masuk RS, diagnosa medis, dan identitas penanggung jawab meliputi :

Nama, umur, hubungan dengan pasien, pekerjaan, dan alamat.

b. Riwayat Kesehatan

1) Keluhan utama

Keluhan utama merupakan hal-hal yang dirasakan oleh pasien

sebelum masuk ke rumah sakit.

2) Riwayat Kesehatan Sekarang

Biasanya pasien mengalami nyeri pada bagian yang patah (fraktur),

bagian yang patah (fraktur) sakit untuk digerakkan, kecemasan, dan

lain-lain.

3) Riwayat Kesehatan Dahulu

Apakah sebelumnya pasien pernah menderita penyakit yang

membuat pasien dirawat di Rumah Sakit. Penting untuk dikaji

mengenai riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya

riwayat aergi terhadap jenis obat kemudian dokumentasikan.

4) Riwayat Kesehatan Keluarga

Kaji apakah keluarga pasien pernah mengalami penyakit seperti

yang dirasakan oleh pasien.


c. Pengkajian Pola Persepsi dan Penanganan Kesehatan

1) Persepsi Terhadap Penyakit

Biasanya persepsi pasien dengan fraktur humerus sinistra

mengalami kecemasan yang tinggi.

2) Pola Nutrisi/ Metabolisme

a) Pola Makan

Berapa kali pasien makan dalam sehari, porsi nya habis atau

tidak, makanan nya mengandung protein atau tidak, dan lain-

lain.

b) Pola Minum

Berapa gelas pasien minum dalam sehari.

3) Pola Eliminasi

a) BAB

b) BAK

4) Pola Aktivitas/ Latihan

Biasanya kemampuan perawatan diri dan kebersihan diri terganggu

dan biasanya membutuhkan pertolongan atau bantuan orang lain.

5) Pola Istirahat Tidur

Biasanya pasien mengalami gangguan tidur, gelisah karena adanya

nyeri pada bagian ekstermitas yang patah.

1) Pola Kognitif-Persepsi

Biasanya tingkat ansietas pasien mengalami fraktur humerus

sisnistra ini pada tingkat ansietas ringan sampai sedang.


7) Pola Peran Hubungan

Biasanya pasien tidak bisa menjalankan peran atau tugasnya sehari-

hari karena perawatan yang lama.

8) Pola Seksualitas/ reproduksi

9) Pola Persepsi Diri/ Konsep Diri

a) Body Image/ Gambaran Diri

Biasanya mengalami fungsi alat tubuh terganggu, keluhan

karena kondisi tubuh, prosedur pengobatan yang mengubah

fungsi alat tubuh.

b) Role/ Peran

Biasanya mengalami perubahan peran karena penyakit yang

diderita.

c) Identity/ Identitas Diri

Biasanya mengalami kurang percaya diri, merasa terkekang,

tidak mampu menerima perubahan, merasa kurang memiliki

potensi.

d) Self Esteem/ Harga Diri

Biasanya mengalami rasa bersalah, menyangkal kepuasan diri,

mengecilkan diri, keluhan fisik.

e) Self Ideal/ Ideal

Biasanya mengalami masa depan suram, terserah pada nasib,

merasa tidak memiliki kemampuan, tidak memiliki harapan,

merasa tidak berdaya.


10) Pola Koping-Toleransi Stres

Biasanya pasien mengalami factor stres, contoh financial, perasaan

tidak berdaya, ansietas, takut, marah, dan perilaku serta perubahan

proses kognitif.

11) Pola Keyakinan Nilai

Biasanya tidak terjadi gangguan pola tata nilai dan kepercayaan.

d. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan umum dan tanda-tanda vital

a) Keadaan umum

b) Tingkat kesadaran

c) TTV : TD, N, RR, S

2) Kepala

a) Rambut

b) Wajah

c) Mata

d) Hidung

e) Bibir

f) Gigi

g) Lidah :

3) Leher : Biasanya tidak terjadi pembesaran kelenjar tiroid atau

kelenjar getah bening.


4) Dada/ Thorak

a) Inspeksi

b) Palpasi

c) Perkusi

d) Auskultasi

5) Jantung

a) Inspeksi

b) Palpasi

c) Perkusi

d) Auskultasi

6) Perut/ Abdomen

a) Inspeksi

b) Auskultasi

c) Palpasi

d) Perkusi

7) Ekstremitas

Biasanya didapatkan adanya nyeri pada ekstermitas yang patah

(fraktur), keterbatasan gerak sendi.

8) Sistem Integumen

Warna kulit, kelembapan, turgor kulit.

9) Sistem Neurologi

(Muttaqin, 2011).
2. Diagnosa

Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan

respons manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu

atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi

dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan

menurunkan, membatasi, mencegah, dan merubah (Carpenito, 2000).

Gordon (1976) mendefinisikan bahwa diagnosa keperawatan adalah

masalah kesehatan actual dan potensial dimana perawat berdasarkan

pendidikan dan pengalamannya, dia mampu dan mempunyai kewenangan

untuk memberikan tindakan keperawatan. Kewenangan tersebut didasarkan

pada standar praktek keperawatan dan etik keperawatan yang berlaku di

Indonesia.

NANDA menyatakan bahwa diagnosa keperawatan adalah keputusan

klinik tentang respon individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah

kesehatan aktual atau potensial, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan

untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan

perawat.

Semua diagnosa keperawatan harus didukung oleh data, dimana

menurut NANDA diartikan sebagai ”defenisi karakteristik”. Definisi

karakteristik tersebut dinamakan ”Tanda dan gejala”, tanda adalah sesuatu

yang dapat diobservasi dan gejala adalah sesuatu yang dirasakan oleh klien.

Diagnosa keperawatan menjadi dasar untuk pemilihan tindakan keperawatan


untuk mencapai hasil bagi seorang perawat yang dapat diandalakan(NANDA

Internasional, 2007).

Diagnosa keperawatan berfokus pada, respon aktual atau potensial

klien terhadap masalah kesehatan dibandingkan dengan kejadian fisiologis,

komplikasi, atau penyakit.

Tujuan Pencatatan Diagnosa Keperawatan, yaitu :

a. Menyediakan definisi yang tepat yang dapat memberikan bahasa yang

sama dalam memahami kebutuhan klien bagi semua anggota tim

pelayanan kesehatan.

b. Memungkinkan perawat untuk mengkomunikasikan apa yang mereka

lakukan sendiri, dengan profesi pelayanan kesehatan yang lain, dan

masyarakat.

c. Membedakan peran perawat dari dokter atau penyelenggara pelayanan

kesehatan lain.

d. Membantu perawat berfokus pada bidang praktik keperawatan.

e. Membantu mengembangkan pengetahuan keperawatan.

Berdasarkan data pengkajian yang telah didapat atau terkaji, kemudian

data dikumpulkan maka dilanjutkan dengan analisa data untuk menentukan

diagnosa keperawatan yang ada pada klien dengan fraktur humerus sinistra.
Menurut NANDA (2015), diagnosa keperawatan pada pasien Fraktur

Humerus Sinistra, meliputi :

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik

b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular

dan musculoskeletal, nyeri pada luka post operasi.

c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive.

d. Resiko trauma berhubungan dengan gangguan keseimbangan

e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka

Anda mungkin juga menyukai