ب َوال ه
ِش َهادَة ِ عا ِل ِم ْالغَ ْي َ سولُهُ َو ْال ُمؤْ ِمنُونَ ۖ َو
َ ست ُ َردُّونَ ِإلَ ٰى ُ َّللاُ َع َملَ ُك ْم َو َر َ ََوقُ ِل ا ْع َملُوا ف
سيَ َرى ه
َفَيُن َِبئ ُ ُك ْم ِب َما ُك ْنت ُ ْم تَ ْع َملُون
“Dan Katakanlah; “Bekerjalah kamu, maka Allah swt dan Rasulullah-Nya serta orang-
orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah)
Yang Mengetahui akan yang gaib dan nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah
kamu kerjakan.”(QS. At-Taubah’; 105)
Disisi lain, Rasulullah saw sangat menekankan kepada seluruh umatnya, agar tidak
menjadi orang yang pemalas dan orang yang suka meminta-minta. Pekerjaan apapun, walau
tampak hina dimata banyak orang, jauh lebih baik dan mulia daripada harta yang ia peroleh
dengan meminta-minta. Dalam sebuah riwayat disebutkan;
ْ وابْدأ،من يد السفلى
بمن ْ وعن حكيْم بن حزام رضى هللا عنهما عن النبي صلى هللا عليْه وسلم قال (اليد العليا خير
والفظ للبخارى, ومن يسْت ْغن ي ْغنه هللا) متفق عليه
ْ فف يعفه هللا ْ عن ظهر غنى
ْ ومن يسْت ْع ْ تعول وخيْر الصدقة
“Dari Hakim putra Hizam, ra., dari Rasulullah saw., beliau bersabda; “Tangan yang
di atas lebih baik dari tangan yang di bawah, dahulukanlah orang yang menjadi
tanggunganmu. Dan sebaik-baiknya sedekah itu ialah lebihnya kebutuhan sendiri. Dan barang
siapa memelihara kehormatannya, maka Allah akan memeliharanya. Dan barang siapa
mencukupkan akan dirinya, maka Allah akan beri kecukupan padanya.” (H.R Bukhari)
Perbuatan suka memberi atau enggan meminta-minta dalam memenuhi kebutuhan
hidup, sangatlah dipuji oleh agama. Hal ini jelas dikatakan Nabi SAW dalam hadis di atas
bahwa Nabi mencela orang yang suka meminta-minta (mengemis) karena perbuatan tersebut
merendahkan martabat kehormatan manusia. Padahal Allah sendiri sudah memuliakan
manusia, seperti terungkap melalui firman-Nya :
ِ ض ْلنَا ُه ْم َعلَى َك ِثي ٍْر ِم َم ْن َخلَ ْقنَا ت َ ْف
ض ْيلا َ َت َوف فى اْل َب ِر َواْل َبحْ ِر َو َرزَ ْقنَا ُه ْم ِمنَ ال ه
ِ ط ِي َبا ِ َولَقَدْ ك ََر ْمنَا َب ِنى اَدَم ََو َح ْملنَا ُه ْم
“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di
daratan dan di lautan. Kami berikan mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.” (Q.S Al-Isra’ : 70)
Dalam sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Dari Abu Hurairah r.a berkata,
Rasulullah SAW telah bersabda : Orang mu’min yang memiliki keimanan yang kuat lebih Allah
cintai daripada yang lemah imannya. Bahwa keimanan yang kuat itu akan menerbitkan
kebaikan dalam segala hal. Kejarlah (sukailah) pekerjaan yang bermanfaat dan mintalah
pertolongan kepada Allah. Janganlah lemah berkemauan untuk bekerja. Jika suatu hal yang
jelek yang tidak disenangi menimpa engkau janganlah engkau ucapkan : Seandainya aku
kerjakan begitu, takkan jadi begini, tetapi katakanlah (pandanglah) sesungguhnya yang
demikian itu sudah ketentuan Allah. Dia berbuat apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya
ucapan “seandainya” itu adalah pembukaan pekerjaan setan.” (H.R Muslim) mengisyaratkan
bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan tentang tiga hal, yaitu : menguatkan keimanan,
melakukan hal yang bermanfaat, dan memohon pertolongan kepada Allah. Di samping itu
beliau melarang berbuat dua hal, yaitu: menjadi lemah, dan menyesali apa yang telah menimpa
diri dari sesuatu yang tidak disukai, sehingga mengatakan : “Seandainya aku lakukan begitu,
tak akan terjadi begini.”
Islam senantiasa mengajarkan kepada umatnya agar berusaha untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Tidak dibenarkan seorang muslim berpangku tangan saja atau berdoa
mengharap rezeki datang dari langit tanpa mengiringinya dengan usaha. Namun demikian,
tidak dibenarkan pula terlalu mengandalkan kemampuan diri sehingga melupakan pertolongan
Allah SWT dan tidak mau berdoa kepada-Nya
ِومنهم َّمن يقول ربّنا آتنا في ال ّدنيا حسنة وفي اآلخرة حسنة
وقنا عذاب النّار
“Dan di antara mereka ada orang yang bendo'a: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka’”, (QS. Al-Baqarah : 201).
Al-Qawiyy merujuk kepada: reliability, dapat diandalkan. Juga berarti, memiliki kekuatan
fisik dan mental (emosional, intelektual, spiritual). Sementara al-Amiin, merujuk kepada
integrity, satunya kata dengan perbuatan alias jujur, dapat memegang amanah.
4. Kerja Keras
Ciri pekerja keras adalah sikap pantang menyerah; terus mencoba hingga berhasil. Kita
dapat meneladani ibunda Ismail AS Sehingga seorang pekerja keras tidak mengenal
kata gagal (atau memandang kegagalan sebagai sebuah kesuksesan yang tertunda).
5. Kerja Cerdas
Cirinya memiliki pengetahuan dan keterampilan; terencana; memanfaatkan segenap
sumberdaya yang ada. Seperti yang tergambar dalam kisah Nabi Sulaeman AS (Alaihi
Salam) jika etos kerja dimaknai dengan semangat kerja, maka etos kerja seorang Muslim
bersumber dari visinya: meraih hasanah fiddunya dan hasanah fi al-Akhirah. Jika etos
kerja difahami sebagai etika kerja; sekumpulan karakter, sikap, mentalitas kerja, maka
dalam bekerja, seorang Muslim senantiasa menunjukkan kesungguhan.
Bekerja merupakan keniscayaan dalam hidup. Dalam suasana zaman yang semakin
sulit, kaum beriman dituntut mampu survive dan bangkit membangun peradaban
seperti sedia kala. Syarat untuk itu tidak cukup lagi ditempuh dengan kerja keras,
tetapi harus kerja cerdas.
Tidak ada lain bagi kaum beriman kecuali harus mengkaji pandangan Islam
tentang etos kerja. Meski makhluk hidup di bumi sudah mendapat jaminan rezeki
dari Allah, namun kemalasan tidak punya tempat dalam Islam. Fatalisme atau
paham nasib tidak dikenal dalam Islam. Firman Allah, "...maka carilah rezeki di
sisi Allah, kemudian beribadah dan bersyukurlah kepada Allah. Hanya kepada
Allah kamu akan dikembalikan” (Qs Al-Ankabut: 17).
Menurut ayat itu, rezeki harus diusahakan. Dan seakan mengonfirmasi ayat di atas,
firman Allah di ayat lain tegas menyatakan, cara mendapat rezeki adalah dengan
bekerja. “Jika shalat telah ditunaikan, maka menyebarlah kalian di muka bumi,
carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung”
(Qs Al-Jumu’ah: 10).
Ayat lain bahkan menyatakan, dijadikannya siang terang agar manusia mencari
rezeki dari Allah (Qs Al-Isra: 12), terlihatnya bahtera berlayar di lautan agar
manusia mencari karunia Allah (Qs An-Nahl: 14), adanya malam dan siang agar
manusia beristirahat pada waktu malam dan bekerja pada waktu siang (Qs Al-
Qashash: 73).
Masih banyak ayat serupa. Intinya, rezeki Allah hanya akan diperoleh dengan etos
kerja tinggi. Bagaimana teknis pelaksanaan etos kerja sebagaimana perintah Allah
di atas?
Menurut riwayat Al-Baihaqi dalam ‘Syu’bul Iman’ ada empat prinsip etos kerja
yang diajarkan Rasulullah. Keempat prinsip itu harus dimiliki kaum beriman jika
ingin menghadap Allah dengan wajah berseri bak bulan purnama.
Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan). Halal dari segi jenis
pekerjaan sekaligus cara menjalankannya. Antitesa dari halal adalah haram, yang
dalam terminologi fiqih terbagi menjadi ‘haram lighairihi’ dan ‘haram lidzatihi’.
Analoginya, menjadi anggota DPR adalah halal. Tetapi jika jabatan DPR
digunakan mengkorupsi uang rakyat, status hukumnya jelas menjadi haram.
Jabatan yang semula halal menjadi haram karena ada faktor penyebabnya. Itulah
‘haram lighairihi’. Berbeda dengan preman. Dimodifikasi bagaimanapun ia tetap
haram. Keharamannya bukan karena faktor dari luar, melainkan jenis pekerjaan itu
memang ‘haram lidzatihi’.
Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain
(ta’affufan an al-mas’alah). Kaum beriman dilarang menjadi benalu bagi orang
lain. Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi
pekerjaannya mengemis. Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang yang mau
membawa tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di
atas punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, diberi atau
ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, setiap pekerjaan asal halal adalah mulia dan terhormat dalam
Islam. Lucu jika masih ada orang yang merendahkan jenis pekerjaan tertentu
karena dipandang remeh dan hina. Padahal pekerjaan demikian justru lebih mulia
dan terhormat di mata Allah ketimbang meminta-minta.
Lebih tegas, Allah bahkan menyebut orang yang rajin beribadah tetapi
mengabaikan nasib kaum miskin dan yatim sebagai pendusta-pendusta agama (Qs
Al-Ma’un: 1-3). Itu karena tidak dikenal istilah kepemilikan harta secara mutlak
dalam Islam. Dari setiap harta yang Allah titipkan kepada manusia, selalu
menyisakan hak kaum lemah dan papa.
Demikianlah, dan sekali lagi, kemuliaan pekerjaan sungguh tidak bisa dilihat dari
jenisnya. Setelah memenuhi empat prinsip di atas, nilai sebuah pekerjaan akan
diukur dari kualitas niat (shahihatun fi an-niyat) dan pelaksanaannya (shahihatun fi
at-tahshil). Itulah pekerjaan yang bernilai ibadah dan kelak akan mengantarkan
pelakunya ke pintu surga.
Aspek Kecerdasan yang Perlu Dibina dalam Diri, untuk Meningkatkan Etos Kerja :
1. Kesadaran : keadaan mengerti akan pekerjaanya.
2. Semangat : keinginan untuk bekerja.
3. Kemauan : apa yang diinginkan atau keinginan, kehendak dalam bekerja.
4. Komitmen : perjanjian untuk melaksanakan pekerjaan (janji dalam bekerja).
5. Inisiatif : usaha mula-mula, prakarsa dalam bekerja.
6. Produktif : banyak menghasilkan sesuatu bagi perusahaan.
7. Peningkatan : proses, cara atau perbuatan meningkatkan usaha, kegiatan dan sebagainya
dalam bekerja.
8. Wawasan : konsepsi atau cara pandang tentang bekerja.(Siregar, 2000, p.24)