Anda di halaman 1dari 9

1. Apakah itu etos kerja ?

2. Dalil mana saja yang menunjukkan mengenai etos kerja ?


3. Apa saja prinsip dasar etos kerja dalam islam ?
4. Contoh etos kerja dalam islam
5. Cara menumbuhkan sikap etos kerja

1. Apa itu etos kerja

2. Hakekat Etos Kerja dalam Islam


Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter serta
keyakinan atas sesuatu.
Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat.
Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai yang
diyakininya. Dari kata etos ini dikenal pula kata etika yang hamper mendekati pada
pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk moral sehingga dalam
etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan
sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang
sesempurna mungkin.
Dalam al-Qur’an dikenal kata itqon yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh,
akurat dan sempurna. (An-Naml : 88). Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk
menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus
memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus
tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan
harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara
kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah
(pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22)
Pengertian Kerja
Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik
dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan
dengan masalah keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa Indonesia susunan
WJS Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu.
Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah.
KH. Toto Tasmara mendefinisikan makan dan bekerja bagi seorang muslim adalah suatu
upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh asset dan zikirnya untuk
mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang
menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang
terbaik atau dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa dengan bekerja manusia
memanusiakan dirinya.
Lebih lanjut dikatakan bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk
memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai tujuannya
tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang
optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.
Di dalam kaitan ini, al-Qur’an banyak membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang
diikuti oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan
dengan masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di
dunia dan di akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika kerja
positif dan negatif. Di dalam al-Qur’an banyak kita temui ayat tentang kerja seluruhnya
berjumlah 602 kata, bentuknya :
1) Kita temukan 22 kata ‘amilu (bekerja) di antaranya di dalam surat al-Baqarah: 62, an-
Nahl: 97, dan al-Mukmin: 40.
2) Kata ‘amal (perbuatan) kita temui sebanyak 17 kali, di antaranya surat Hud: 46, dan al-
Fathir: 10.
3) Kata wa’amiluu (mereka telah mengerjakan) kita temui sebanyak 73 kali, diantaranya
surat al-Ahqaf: 19 dan an-Nur: 55.
4) Kata Ta’malun dan Ya’malun seperti dalam surat al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
5) Kita temukan sebanyak 330 kali kata a’maaluhum, a’maalun, a’maluka, ‘amaluhu,
‘amalikum, ‘amalahum, ‘aamul dan amullah. Diantaranya dalam surat Hud: 15, al-Kahf:
102, Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8, dan at-Tur: 21.
6) Terdapat 27 kata ya’mal, ‘amiluun, ‘amilahu, ta’mal, a’malu seperti dalam surat al-
Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan al-Ahzab: 31.
7) Disamping itu, banyak sekali ayat-ayat yang mengandung anjuran dengan istilah
seperti shana’a, yasna’un, siru fil ardhi ibtaghu fadhillah, istabiqul khoirot, misalnya ayat-
ayat tentang perintah berulang-ulang dan sebagainya.
Di samping itu, al-Qur’an juga menyebutkan bahwa pekerjaan merupakan bagian dari
iman, pembukti bahwa adanya iman seseorang serta menjadi ukuran pahala hukuman,
Allah SWT berfirman:
“…barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh…” (Al-Kahfi: 110)
Ada juga ayat al-Qur’an yang menunjukkan pengertian kerja secara sempit misalnya
firman Allah SWT kepada Nabi Daud As.
“ Dan Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara
kamu dalam peperanganmu…” (al-Anbiya: 80)
Dalam surah al-Jumu’ah ayat 10 Allah SWT menyatakan :
“ Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (al-Jumu’ah:
10)
Pengertian kerja dalam keterangan di atas, dalam Islam amatlah luas, mencakup seluruh
pengerahan potensi manusia. Adapun pengertian kerja secara khusus adalah setiap
potensi yang dikeluarkan manusia untuk memenuhi tuntutan hidupnya berupa makanan,
pakaian, tempat tinggal, dan peningkatan taraf hidup.
3. Inilah pengertian kerja yang bisa dipakai dalam dunia ketenaga-kerjaan dewasa ini,
sedangkan bekerja dalam lingkup pengertian ini adalah orang yang bekerja dengan
menerima upah baik bekerja harian, maupun bulanan dan sebagainya.
4. Pembatasan seperti ini didasarkan pada realitas yang ada di negara-negara komunis
maupun kapitalis yang mengklasifikasikan masyarakat menjadi kelompok buruh dan
majikan, kondisi semacam ini pada akhirnya melahirkan kelas buruh yang seringkali
memunculkan konflik antara kelompok buruh atau pun pergerakan yang menuntut adanya
perbaikan situasi kerja, pekerja termasuk hak mereka.
5. Konsep klasifikasi kerja yang sedemikian sempit ini sama sekali tidak dalam Islam, konsep
kerja yang diberikan Islam memiliki pengertian namun demikian jika menghendaki
penyempitan pengertian (dengan tidak memasukkan kategori pekerjaan-pekerjaan yang
berkaitan dengan ibadah dan aktivitas spiritual) maka pengertian kerja dapat ditarik pada
garis tengah, sehingga mencakup seluruh jenis pekerjaan yang memperoleh keuntungan
(upah), dalam pengertian ini tercakup pula para pegawai yang memperoleh gaji tetap dari
pemerintah, perusahaan swasta, dan lembaga lainnya.
6. Pada hakikatnya, pengertian kerja semacam ini telah muncul secara jelas, praktek
mu’amalah umat Islam sejak berabad-abad, dalam pengertian ini memperhatikan empat
macam pekerja :
7. 1) al-Hirafiyyin; mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu,
dan para pemilik restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka
yang bekerja dalam jasa angkutan dan kuli.
8. 2) al-Muwadzofin: mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai
dari suatu perusahaan dan pegawai negeri.
9. 3) al-Kasbah: para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara
jual beli seperti pedagang keliling.
10. 4) al-Muzarri’un: para petani.
11. Pengertian tersebut tentunya berdasarkan teks hukum Islam, diantaranya hadis rasulullah
SAW dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda, berikanlah upah pekerja sebelum
kering keringat-keringatnya. (HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani).
12. Pendapat atau kaidah hukum yang menyatakan : “Besar gaji disesuaikan dengan hasil
kerja.” Pendapat atau kaidah tersebut menuntun kita dalam mengupah orang lain
disesuaikan dengan porsi kerja yang dilakukan seseorang, sehingga dapat memuaskan
kedua belah pihak.

Dalil Mengenai Etos Kerja


Islam sangat mendorong orang-orang mukmin untuk bekerja keras, karena pada
hakikatnya kehidupan dunia ini merupakan kesempatan yang tidak akan pernah terulang untuk
berbuat kebajikan atau sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Ini sekaligus untuk menguji
orang-orang mukmin, siapakah diantara mereka yang paling baik dan tekun dalam bekerja.
Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Mulk ayat 2 yang artinya “Yang menjadikan mati dan
hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Untuk menekankan perintah agar kita semua menggunakan kesempatan hidup ini
dengan giat bekerja dan beramal, Allah swt menegaskan bahwa tidak ada satu amal atau satu
pekerjaan pun yang terlewatkan untuk mendapatkan imbalan di hari akhir nanti, karena semua
amal dan pekerjaan kita akan disaksikan Allah swt, Rasulullah saw dan orang-orang mukmin
lainnya. Allah swt berfirman;

‫ب َوال ه‬
ِ‫ش َهادَة‬ ِ ‫عا ِل ِم ْالغَ ْي‬ َ ‫سولُهُ َو ْال ُمؤْ ِمنُونَ ۖ َو‬
َ ‫ست ُ َردُّونَ ِإلَ ٰى‬ ُ ‫َّللاُ َع َملَ ُك ْم َو َر‬ َ َ‫َوقُ ِل ا ْع َملُوا ف‬
‫سيَ َرى ه‬
َ‫فَيُن َِبئ ُ ُك ْم ِب َما ُك ْنت ُ ْم تَ ْع َملُون‬

“Dan Katakanlah; “Bekerjalah kamu, maka Allah swt dan Rasulullah-Nya serta orang-
orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah)
Yang Mengetahui akan yang gaib dan nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah
kamu kerjakan.”(QS. At-Taubah’; 105)
Disisi lain, Rasulullah saw sangat menekankan kepada seluruh umatnya, agar tidak
menjadi orang yang pemalas dan orang yang suka meminta-minta. Pekerjaan apapun, walau
tampak hina dimata banyak orang, jauh lebih baik dan mulia daripada harta yang ia peroleh
dengan meminta-minta. Dalam sebuah riwayat disebutkan;
ْ ‫ وابْدأ‬،‫من يد السفلى‬
‫بمن‬ ْ ‫وعن حكيْم بن حزام رضى هللا عنهما عن النبي صلى هللا عليْه وسلم قال (اليد العليا خير‬
‫والفظ للبخارى‬, ‫ومن يسْت ْغن ي ْغنه هللا) متفق عليه‬
ْ ‫فف يعفه هللا‬ ْ ‫عن ظهر غنى‬
ْ ‫ومن يسْت ْع‬ ْ ‫تعول وخيْر الصدقة‬
“Dari Hakim putra Hizam, ra., dari Rasulullah saw., beliau bersabda; “Tangan yang
di atas lebih baik dari tangan yang di bawah, dahulukanlah orang yang menjadi
tanggunganmu. Dan sebaik-baiknya sedekah itu ialah lebihnya kebutuhan sendiri. Dan barang
siapa memelihara kehormatannya, maka Allah akan memeliharanya. Dan barang siapa
mencukupkan akan dirinya, maka Allah akan beri kecukupan padanya.” (H.R Bukhari)
Perbuatan suka memberi atau enggan meminta-minta dalam memenuhi kebutuhan
hidup, sangatlah dipuji oleh agama. Hal ini jelas dikatakan Nabi SAW dalam hadis di atas
bahwa Nabi mencela orang yang suka meminta-minta (mengemis) karena perbuatan tersebut
merendahkan martabat kehormatan manusia. Padahal Allah sendiri sudah memuliakan
manusia, seperti terungkap melalui firman-Nya :
ِ ‫ض ْلنَا ُه ْم َعلَى َك ِثي ٍْر ِم َم ْن َخلَ ْقنَا ت َ ْف‬
‫ض ْيلا‬ َ َ‫ت َوف‬ ‫فى اْل َب ِر َواْل َبحْ ِر َو َرزَ ْقنَا ُه ْم ِمنَ ال ه‬
ِ ‫ط ِي َبا‬ ِ ‫َولَقَدْ ك ََر ْمنَا َب ِنى اَدَم ََو َح ْملنَا ُه ْم‬

“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di
daratan dan di lautan. Kami berikan mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.” (Q.S Al-Isra’ : 70)
Dalam sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Dari Abu Hurairah r.a berkata,
Rasulullah SAW telah bersabda : Orang mu’min yang memiliki keimanan yang kuat lebih Allah
cintai daripada yang lemah imannya. Bahwa keimanan yang kuat itu akan menerbitkan
kebaikan dalam segala hal. Kejarlah (sukailah) pekerjaan yang bermanfaat dan mintalah
pertolongan kepada Allah. Janganlah lemah berkemauan untuk bekerja. Jika suatu hal yang
jelek yang tidak disenangi menimpa engkau janganlah engkau ucapkan : Seandainya aku
kerjakan begitu, takkan jadi begini, tetapi katakanlah (pandanglah) sesungguhnya yang
demikian itu sudah ketentuan Allah. Dia berbuat apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya
ucapan “seandainya” itu adalah pembukaan pekerjaan setan.” (H.R Muslim) mengisyaratkan
bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan tentang tiga hal, yaitu : menguatkan keimanan,
melakukan hal yang bermanfaat, dan memohon pertolongan kepada Allah. Di samping itu
beliau melarang berbuat dua hal, yaitu: menjadi lemah, dan menyesali apa yang telah menimpa
diri dari sesuatu yang tidak disukai, sehingga mengatakan : “Seandainya aku lakukan begitu,
tak akan terjadi begini.”
Islam senantiasa mengajarkan kepada umatnya agar berusaha untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Tidak dibenarkan seorang muslim berpangku tangan saja atau berdoa
mengharap rezeki datang dari langit tanpa mengiringinya dengan usaha. Namun demikian,
tidak dibenarkan pula terlalu mengandalkan kemampuan diri sehingga melupakan pertolongan
Allah SWT dan tidak mau berdoa kepada-Nya

3. apa saja prinsip etos kerja


1. Kerja, Aktivitas, dan Amal
Kerja, aktivitas, amal dalam Islam adalah perwujudan rasa syukur kita kepada nikmat Allah SWT.

……‫اعملوا آل داود شكرا وقليل ّمن عبادي الشكور‬


“……Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari
hamba-hambaKu yang berterima kasih”, (QS. Saba’ : 13).

2. Berorientasi Pada Pencapaian


Seorang Muslim hendaknya berorientasi pada pencapaian hasil: hasanah fi ad-dunyaa dan
hasanah fi al-Akhirah

‫ِومنهم َّمن يقول ربّنا آتنا في ال ّدنيا حسنة وفي اآلخرة حسنة‬
‫وقنا عذاب النّار‬
“Dan di antara mereka ada orang yang bendo'a: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka’”, (QS. Al-Baqarah : 201).

3. Berkarakter al-Qawiyy dan al-Amiin


Dua karakter utama yang hendaknya kita miliki, yaitu: al-Qawiyy dan al-Amiin.

‫ي‬ ّ ‫قالت إحدا ُهما يا أبت استأجره‬


ّ ‫إن خير من استأجرت القو‬
‫أاْلمين‬
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya", (QS. Al-Qashash:
26).

Al-Qawiyy merujuk kepada: reliability, dapat diandalkan. Juga berarti, memiliki kekuatan
fisik dan mental (emosional, intelektual, spiritual). Sementara al-Amiin, merujuk kepada
integrity, satunya kata dengan perbuatan alias jujur, dapat memegang amanah.

4. Kerja Keras
Ciri pekerja keras adalah sikap pantang menyerah; terus mencoba hingga berhasil. Kita
dapat meneladani ibunda Ismail AS Sehingga seorang pekerja keras tidak mengenal
kata gagal (atau memandang kegagalan sebagai sebuah kesuksesan yang tertunda).

5. Kerja Cerdas
Cirinya memiliki pengetahuan dan keterampilan; terencana; memanfaatkan segenap
sumberdaya yang ada. Seperti yang tergambar dalam kisah Nabi Sulaeman AS (Alaihi
Salam) jika etos kerja dimaknai dengan semangat kerja, maka etos kerja seorang Muslim
bersumber dari visinya: meraih hasanah fiddunya dan hasanah fi al-Akhirah. Jika etos
kerja difahami sebagai etika kerja; sekumpulan karakter, sikap, mentalitas kerja, maka
dalam bekerja, seorang Muslim senantiasa menunjukkan kesungguhan.

Bekerja merupakan keniscayaan dalam hidup. Dalam suasana zaman yang semakin
sulit, kaum beriman dituntut mampu survive dan bangkit membangun peradaban
seperti sedia kala. Syarat untuk itu tidak cukup lagi ditempuh dengan kerja keras,
tetapi harus kerja cerdas.

Tidak ada lain bagi kaum beriman kecuali harus mengkaji pandangan Islam
tentang etos kerja. Meski makhluk hidup di bumi sudah mendapat jaminan rezeki
dari Allah, namun kemalasan tidak punya tempat dalam Islam. Fatalisme atau
paham nasib tidak dikenal dalam Islam. Firman Allah, "...maka carilah rezeki di
sisi Allah, kemudian beribadah dan bersyukurlah kepada Allah. Hanya kepada
Allah kamu akan dikembalikan” (Qs Al-Ankabut: 17).

Menurut ayat itu, rezeki harus diusahakan. Dan seakan mengonfirmasi ayat di atas,
firman Allah di ayat lain tegas menyatakan, cara mendapat rezeki adalah dengan
bekerja. “Jika shalat telah ditunaikan, maka menyebarlah kalian di muka bumi,
carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung”
(Qs Al-Jumu’ah: 10).

Ayat lain bahkan menyatakan, dijadikannya siang terang agar manusia mencari
rezeki dari Allah (Qs Al-Isra: 12), terlihatnya bahtera berlayar di lautan agar
manusia mencari karunia Allah (Qs An-Nahl: 14), adanya malam dan siang agar
manusia beristirahat pada waktu malam dan bekerja pada waktu siang (Qs Al-
Qashash: 73).

Masih banyak ayat serupa. Intinya, rezeki Allah hanya akan diperoleh dengan etos
kerja tinggi. Bagaimana teknis pelaksanaan etos kerja sebagaimana perintah Allah
di atas?

Menurut riwayat Al-Baihaqi dalam ‘Syu’bul Iman’ ada empat prinsip etos kerja
yang diajarkan Rasulullah. Keempat prinsip itu harus dimiliki kaum beriman jika
ingin menghadap Allah dengan wajah berseri bak bulan purnama.

Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan). Halal dari segi jenis
pekerjaan sekaligus cara menjalankannya. Antitesa dari halal adalah haram, yang
dalam terminologi fiqih terbagi menjadi ‘haram lighairihi’ dan ‘haram lidzatihi’.

Analoginya, menjadi anggota DPR adalah halal. Tetapi jika jabatan DPR
digunakan mengkorupsi uang rakyat, status hukumnya jelas menjadi haram.
Jabatan yang semula halal menjadi haram karena ada faktor penyebabnya. Itulah
‘haram lighairihi’. Berbeda dengan preman. Dimodifikasi bagaimanapun ia tetap
haram. Keharamannya bukan karena faktor dari luar, melainkan jenis pekerjaan itu
memang ‘haram lidzatihi’.

Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain
(ta’affufan an al-mas’alah). Kaum beriman dilarang menjadi benalu bagi orang
lain. Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi
pekerjaannya mengemis. Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang yang mau
membawa tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di
atas punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, diberi atau
ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, setiap pekerjaan asal halal adalah mulia dan terhormat dalam
Islam. Lucu jika masih ada orang yang merendahkan jenis pekerjaan tertentu
karena dipandang remeh dan hina. Padahal pekerjaan demikian justru lebih mulia
dan terhormat di mata Allah ketimbang meminta-minta.

Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi).


Mencukupi kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat diwakilkan, dan
menunaikannya termasuk kategori jihad. Hadis Rasulullah yang cukup populer,
“Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan
tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri,
keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu
Majah).

Tegasnya, seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi


keluarga akan dicintai Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat tangan dengan Muadz
bin Jabal, Rasulullah bertanya soal tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab
bahwa itu akibat setiap hari dipakai bekerja untuk keluarga, Rasulullah memuji
tangan Muadz seraya bersabda, “Tangan seperti inilah yang dicintai Allah dan
Rasul-Nya”.

Keempat, bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala


jarihi). Penting dicatat, Islam mendorong kerja keras untuk kebutuhan diri dan
keluarga, tetapi Islam melarang kaum beriman bersikap egois. Islam menganjurkan
solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap tutup mata dan telinga dari jerit tangis
lingkungan sekitar. “Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
nafkahkanlah sebagian harta yang Allah telah menjadikanmu berkuasa atasnya.”
(Qs Al-Hadid: 7).

Lebih tegas, Allah bahkan menyebut orang yang rajin beribadah tetapi
mengabaikan nasib kaum miskin dan yatim sebagai pendusta-pendusta agama (Qs
Al-Ma’un: 1-3). Itu karena tidak dikenal istilah kepemilikan harta secara mutlak
dalam Islam. Dari setiap harta yang Allah titipkan kepada manusia, selalu
menyisakan hak kaum lemah dan papa.
Demikianlah, dan sekali lagi, kemuliaan pekerjaan sungguh tidak bisa dilihat dari
jenisnya. Setelah memenuhi empat prinsip di atas, nilai sebuah pekerjaan akan
diukur dari kualitas niat (shahihatun fi an-niyat) dan pelaksanaannya (shahihatun fi
at-tahshil). Itulah pekerjaan yang bernilai ibadah dan kelak akan mengantarkan
pelakunya ke pintu surga.

4. contoh etos kerja

1. Dalam hal melakukan pekerjaan tidak melupakan shalat 5 waktu


2. Bertanggung jawab dalam hal pekerjaan yang diembang
3. Melakukan pekerjaan dengan niat yang ikhlas
4. Tidak menjual barang/benda yang dilarang.
5. Tidak menunda-nunda suatu pekerjaan
6. Bekerja dengan teliti serta tepat waktu
7. Bekerja dengan jujur/tidak curang
8. Tidak mudah putus asa
9. Memulai suatu pekerjaan dengan basmallah dan diakhiri dengan hamdalah
5. cara menumbuhkan ek
1. Menumbuhkan sikap optimis :
- Mengembangkan semangat dalam diri
- Peliharalah sikap optimis yang telah dipunyai
- Motivasi diri untuk bekerja lebih maju
2. Jadilah diri anda sendiri :
- Lepaskan impian
- Raihlah cita-cita yang anda harapkan
3. Keberanian untuk memulai :
- Jangan buang waktu dengan bermimpi
- Jangan takut untuk gagal
- Merubah kegagalan menjadi sukses
4. Kerja dan waktu :
- Menghargai waktu (tidak akan pernah ada ulangan waktu)
- Jangan cepat merasa puas
5. Kosentrasikan diri pada pekerjaan :
- Latihan berkonsentrasi
- Perlunya beristirahat
6. Bekerja adalah sebuah panggilan Tuhan(Khasanah, 2004)

Aspek Kecerdasan yang Perlu Dibina dalam Diri, untuk Meningkatkan Etos Kerja :
1. Kesadaran : keadaan mengerti akan pekerjaanya.
2. Semangat : keinginan untuk bekerja.
3. Kemauan : apa yang diinginkan atau keinginan, kehendak dalam bekerja.
4. Komitmen : perjanjian untuk melaksanakan pekerjaan (janji dalam bekerja).
5. Inisiatif : usaha mula-mula, prakarsa dalam bekerja.
6. Produktif : banyak menghasilkan sesuatu bagi perusahaan.
7. Peningkatan : proses, cara atau perbuatan meningkatkan usaha, kegiatan dan sebagainya
dalam bekerja.
8. Wawasan : konsepsi atau cara pandang tentang bekerja.(Siregar, 2000, p.24)

Cara Menumbuhkan Etos Kerja :

1. Menumbuhkan sikap optimis :


- Mengembangkan semangat dalam diri
- Peliharalah sikap optimis yang telah dipunyai
- Motivasi diri untuk bekerja lebih maju
2. Jadilah diri anda sendiri :
- Lepaskan impian
- Raihlah cita-cita yang anda harapkan
3. Keberanian untuk memulai :
- Jangan buang waktu dengan bermimpi
- Jangan takut untuk gagal
- Merubah kegagalan menjadi sukses
4. Kerja dan waktu :
- Menghargai waktu (tidak akan pernah ada ulangan waktu)
- Jangan cepat merasa puas
5. Kosentrasikan diri pada pekerjaan :
- Latihan berkonsentrasi
- Perlunya beristirahat
6. Bekerja adalah sebuah panggilan Tuhan(Khasanah, 2004)

Anda mungkin juga menyukai