Anda di halaman 1dari 35

KONSEP COMPACT CITY SEBAGAI SALAH SATU KONSEP INOVATIF

PERENCANAAN TATA RUANG DALAM MEREDUKSI POLUSI UDARA DI KOTA


SURABAYA

DOSEN:
Dr. Agus Dharma

Disusun Oleh:
EKI NAKIA UTAMI
93217008

JURUSAN MANAJEMEN DAN REKAYASA INFRASTRUKTUR

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

UNIVERSITAS GUNADARMA

2018
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG .............................................................................. 1
1.2 TUJUAN PENULISAN .......................................................................... 2
1.3 METODE ............................................................................................ 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 PERKEMBANGAN URBAN SPRAWL ................................................. 3
2.2 MODEL COMPACT CITY ................................................................... 4
2.3 DESINISI COMPACT CITY ................................................................. 5
2.4 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KONSEP COMPACT CITY .............. 9
2.5 KOMPONEN-KOMPONEN COMPACT CITY ...................................... 10
2.6 KENDALA PENERAPAN COMPACT CITY........................................... 11
2.7 UPAYA-UPAYA UNTUKMENCAPAI COMPACT CITY ......................... 12

BAB 3 GAMBARAN UMUM KOTA SURABAYA


3.1 UMUM ............................................................................................ 14
3.2 KONDISI DEMOGRAFIS.................................................................... 15
3.3 INDEKS PEMBANGUNAN DAN PEMERATAAN EKONOMI ............... 16
3.4 PENATAAN RUANG ......................................................................... 17
2.5 LINGKUNGAN HIDUP ...................................................................... 18

BAB 4 KONDISI DAN PERMASALAHAN


4.1 PENDAHULUAN ............................................................................... 20
4.2 URBAN SPRAWL DI SURABAYA ....................................................... 20
4.3 URBAN SPRAWL SEBAGAI PENYEBAB UTAMA PENCEMARAN
DI SURABAYA ................................................................................. 20
4.4 POLUSI SEBAGAI DAMPAK URBAN SPRAWL YANG TERJADI
DI KOTA SURABAYA ....................................................................... 22

2
BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN
5.1 KONSEP COMPACT CITY SEBAGAI SOLUSI PENCEMARAN UDARA
KOTA SURABAYA ............................................................................ 23

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN


6.1 KESIMPULAN ................................................................................... 29
6.2 SARAN ............................................................................................. 29

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Jumlah penduduk Indonesia yang tinggi di perkotaan diperkirakan telah mencapai 54 persen.
Jika saat ini penduduk Indonesia sudah lebih dari 240 juta, artinya paling sedikit ada 129,6 juta orang
yag kini menyesaki perkotaan. Perpindahan orang ke kota ini membuat percampuran kegiatan dan
interksi yang semakin kuat antara kota dan desa ini mengakibatkan batas antara kawasan perkotaan
dan pedesaan menjadi tidak jelas lagi, proses ini dikenal dengan istilah urban sprawl.
Fenomena urban sprawl ini mengakibatkan berbagai dampak negatif, salah satunya adalah
meningkatnya mobilitas penduduk, terutama pekerja pulang-pergi. Salah satu fenomena urban sprawl
yang terjadi di Indonesai dapat dilihat di Kota Surabaya. Ekspansi kegiatan terus terjadi dari Kota
Surabaya sebagai kota inti menuju Kabupaten Sidoarjo, Bangkalan, dan Gresik sebagai wilayah
pinggirannya.
Secara sederhana tingkat urban sprawl dapat diindikasikan melalui “sprawl index”. Jadi
apabila nilai sprawl index suatu wilayah lebih besar dari pada wilayah yang lainnya, maka hal tersebut
merupakan indikasi bahwa perkembangan lahan di wilayah tersebut lebih cepat dibandingkan
pertumbuhan penduduknya.
Di Kota Surabaya sendiri, 90% lebih lahan yang ada sudah merupakan kawasan terbangun,
sedangkan kepadatan penduduk rata-rata tergolong dalam kategori rendah dengan jumlah 72,79
jiwa/Ha. Kepadatan penduduk yang rendah terdapat pada hampir seluruh bagian kota Surabaya. Fakta
empiris tersebut mengidentifikasikan bahwa fenomena urban sprawl telah terjadi pada hampir
seluruh bagian Kota Surabaya.
Dampak dari fenomena urban sprawl yang telah terjadi di Kota Surabaya dapat dilihat
melalui tingginya volume transportasi dari kawasan sub-urban menuju pusat kota Surabaya maupun
sebaliknya. Permasalahan ini menjadi semakin krusial memperhatikan bahwa jumlah pergerakan yang
terjadi di dalam Kota Surabaya sendiri. Tingginya volume transportasi ini membawa berbagai dampak
turunan yang buruk, salah satunya adalah meningkatnya angka pencemaran udara.
Solusi dari fenomena pembangunan urban sprawl development yang terjadi dihampir
seluruh kota di dunia, mendorong tercetusnya ide pembangunan kota kompak. Alasannya bentuk kota
yang compact akan mampu mereduksi jarak tempuh perjalanan sehingga dapat menurunkan tingkat
mobilisasi penduduk di sebuah kota. Tingkat kepadatannya yang tinggi sebenanrnya akan memberikan

4
keuntungan dalam penyediaan pelayanan, transportasi umum, pengelolaan sampah, pelayanan
kesehatan dan pendidikan.
Compact city menekankan pada dimensi kepadatan yang tinggi. Pendekatan compact city
adalah meningkatkan kawasan tebangun dan kepadatan penduduk permukiman, mengintensifkan
aktifitas ekonomi, sosial, dan budaya perkotaan dan memanipulasi ukuran kota, bentuk dan struktur
perkotaan serta sistem permukiman dalam rangka mencapai manfaat keberlanjutan lingkungan,
sosial, dan global, yang diperoleh dari pemusatan fungsi-fungsi perkotaan.

1.2 TUJUAN PENULISAN


1. Menjelaskan tentang urban sprawl dan dampak terhadap masyarakat dan pada lingkungan
2. Menjelaskan konsep Compact City sebagai strategi untuk mencegah desentralisasi kota-kota
3. Mengidentifikasi fenomena urban sprawl di Surabaya
4. Mengidentifikasi dampak dari urban sprawl yang terjadi di Kota Surabaya
5. Merumuskan inovasi konsep tata ruang kota yang dapat mereduksi permasalahan urban
sprawl.

1.3 METODE
Isi paper saya didasarkan pada berbagai literatur dalam bahasa inggris dan bahasa indonesia,
sebagian besar digunakan untuk bab teoritis. Paper ini berisi tentang strategi perkotaan untuk
pertumbuhan Kota Surabaya. Untuk melakukanya, saya menyajikan dahulu kerangka teoritis sebelum
saya mulai menganalisa urban planning strategy. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
melalui metode sekunder. Secara umum, survey data yang dulakukan adalah survey sekunder, melalui
studi literatur pada Pemerintah Kota Surabaya. Metode analisis yang dilakukan dengan studi pustaka.

5
BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 PERKEMBANGAN URBAN SPRAWL


Urban sprawl merupakan proses yang sangat kompleks, dan banyak faktor telah
mempengaruhi perkembangan dari kota-kota selama beberapa abad terakhir. Kekuatan pendorong
utama yang dimiliki menyebabkan desentralisasi kota adalah kemajuan transportasi, prioritas
ekonomi yang memungkian pertumbuhan green felds untuk memberi ruang pada new suburban
infrastruktur, the cultural traits, concerning the new trends of life styles in our society (Newman &
Kenworth, 1999). Setelah Perang Dunia Kedua, ketergantungan dengan kendaraan bermotor (mobil)
menjadi aspek utama kehidupan urban.
Sekitar empat puluh tahun yang lalu, mobil adalah sarana yang memberikan kemungkinan
bagi orang-orang untuk berpindah dari kota yang padat dan tercemar untuk menikmati waktu mereka
di pedesaan. Saat ini, kemajuan teknologi transportasi menyebabkan perluasan kota yang tidak
teratur, dengan memisahkan antara rumah dan tempat bekerja. Kendaraan bermotor (mobil) menjadi
kendaraan utama untuk masuk ke kota yang paling mudah, cepat, aman untuk memecahkan maslah
jarak antara rumah dan tempat perkerjaan, sekolah, pusat perbelanjaan, pusat ke hiburan dan semua
tempat yang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.
Tingginya tingkat polusi dan kemacetan di pusat kota disebabkan oleh terjadinya kendaraan
yang padat adalah konsekuensi dari penyebaran tak terkendali. Kebutuhan akan kenyamanan tempat
tinggal dan menghindari kebisingan kota telah meningkatkan jarak dari kota dan hadirnya jalan baru
yang dibangun untuk menghubungkan daerah pinggiran kota baru dengan kota-kota lainnya.
Pengembangan “ auto city” mengurangi kepadatan keseluruhan menjadi antara sepuluh dan dua
puluh orang per hekta (Newman & Kenworthy, 1999), membuat kepadatan rendah pada perumahan
dan meningkatkan jarak perjalanan perkotaan.
Aspek ekonomi juga menjadi peranan penting dalam penyebaran kota. Faktor utama yang
mempengaruhi urban sprawl adalah harga tanah dan relokasi perusahaan-perusahaan di luar pusat
kota. Harga tanah yang murah di daerah yang jauh dari pusat kota menyebabkan orang-orang
berpindah (Bernhardt, 2007). Dalam hubungannya banyak perusahaan berpindah dari kota ke kota
pinggiran, di mana mereka mendapat manfaat dari pajak yang rendah dan lebih banyak ruang
(Bernhardt,2007). Tumbuhnya pusat perbelanjaan dari kota-kota, seperti mall yang berisi semua
fasilitas, dan aksesibilitas yang baik dari tempat-tempat ini meningkat lebih banyak dan lebih banyak

6
pengembang daerah pinggiran kota. Tetapi fenomena urban sprawl jauh lebih rumit, karena termasuk
juga berbagai keadaan sosial. Misalnya, sebuah keluarga muda dengan anak-anak,
mempertimbangkan kota sebagai tempat yang tidak menarik, tidak sehat, dan berbahaya untuk
membesarkan anak-anak mereka. Di sisi laian, pinggiran kota dianggap jauh lebih aman, denga lebih
sedikit kebisingan, lebih sedikit polusi da tingkat kejaharna yang lebih rendah. Urban sprawl adalah
hasil dari banyak kombinasi faktor pada saat yang sama, yang terjadi tidak hanya menyangkut
kendaraan, tetapi juga kemakmuran ekonomi, teknologi baru dan banyak aspek kehidupan sosial.
Konsekuensi bahwa penyebaran kota telah menyebabkan beberapa kekhawatiran tentang
lingkungan, kehidupan sosial dan dimensi ekonomi. Dampak terhadap linkungan dan ekosistem sangat
besat, dan kegiatan terkait dengan sprawl yang menyebabkan rendahnya tingkat sumber daya alam
berupa air permukaan dan tanah, habitat liar, kualitas udara, dan mempengaruhi iklim setempat
dengan adanya pengembangan lahan. Peningkatan penggunaan mobil mempengaruhi kualitas udara
yang kita hirup sehari-hari, dengan adanya urban sprawl maka jarak antara rumah dan tempat kerja,
sekolah,pusat perbelanjaan makin besar, secara otomatis pencemaran lingkungan telah meningkat
secara dramatis mengancam kesehatan warga dan kualitas hidup bagi generasi mendatang. Pada
kenyataan nya, kehidupan urban sprawl membutuhkan kebutuhan untuk mengendarai mobil
sebanyak tiga kali lebih dari pada high-density urban form. Industri tidak lagi mengambil peran utama
dalam pencemaran lingkungan, tetapi mobil (kendaraan) yang menjadi peran utama dalam masalah
pencemaran lingkungan. (Nystrom, 2001).
Jarak antara area yang luas mengimplikasikan lebih banyak investasi di bidang infrastruktur,
seperti untuk penyediaan air dan energi dan pembuangan limbah, diikuti oleh kebutuhan untuk
membangun lebih banyak jalan dan untuk mengimplementasikan angkutan umum, yang sebagian
besar waktu perjalanan dan waktu berhenti yang jarang (Madureira & Mollers,2006). Kesimpulan
urban sprawl merusak kualitas kehidupan kota-kota, meski banyak faktor-faktor yang merusak
lingkungan juga terkait dengan bentuk-bentuk pembangunan kota lainnya dan fenomena sosial.

2.2 MODEL COMPACT CITY


Model Compact city menjadi dikenal sebagai salah saatu solusi untuk menghadapi masalah
perkembangan pesat desentralisasi ke arah luar kota. Bentuk yang compact telah dipelajari dalam
literatur perencaan sebagian besar selama dua puluh tahun terakhir, untuk menerapkan
keberlanjutan dalam lingkungan perkotaan. The European Commission and National Governments di
banyak negara Barat yang diadopsi dalam kebijakan beberapa tahunterakhir untuk mempromosikan
pemekaran kota-kota untuk mengurangi polusi dan konsumsi energi (Breheny,1995). Bahkan, the
European Community and Agenda 21 mendorong high density development untuk pertumbuhan kota

7
(De Roo, 2000). Selain itu hipotesis bahwa Compact city adalah solusi berharga untuk urban sprawl
telah diklaim oleh Council of the Protection of Rural England (CPRE,1993) and Friends of the Earth
(Elkin et al, 1991), the British’s most influential enviromental campaigning organisation, yang memiliki
jaringan luas di dunia.

2.3 DEFINISI COMPACT CITY


Compact city memiliki berbagai definisi tetapi secara umum dianggap perencanaan
perkotaan yang terfokus terhadap pembangunan berkepadatan tinggi dengan penggunaan yang
beragam dan bercampur serta jadi satu dalam suatu lahan yang sama untuk mengefisienkan lahannya
semaksiman mungkin serta sistem transportasi umum yang efisien dan dimensi yang mendorong
masyarakat untuk berjalan dan bersepeda ( Burton,2002). Compact city pertama kali dicetuskan oleh
George Dantzig dan Thomas L Saaty yang merupakan matematikawan yang memberikan penjelasan
mengenai karakteristik densification dengan menghadirkan fitur-fitur bentuk perkotaan, ruang dan
fungsi sosial sebagai berikut:
1. Urban Form
a. High dense settlements
b. Less dependence on automobile
c. Clear boundary from surrounding areas
2. Spatial Characteristics
a. Mixed land use
b. Diversity of life
c. Clear identity
3. Social Functions
a. Social fairness
b. Self-suffviency of daily life
c. Independence of goverment (Bernhardt, 2007)
Jadi compact city sebagai proses memastikan bahwa pemanfaatan sepenuhnya lahan yang
sudah di urbanisasi, sebelum green felds. Selanjutnya, Elkin dkk. Mengklaim bahwa intensifikasi
perkotaan mengarah ke kota-kota yang lebih cocok untuk pergerakan pejalan kaki, penghematan
energi dalam transportasi umum (Goodchild,1991).
Breheny menegaskan bahwa pemadatan adalah solusi untuk memecahkan masalah
perkotaan didalam ruang yang telah ditentukan tanpa menyebar ke pedesaan (Madureira & Mollers,
2006). Cukup jelas bahwa pemadatan kota dianggap sebagai salah satu solusi untuk fenomena urban

8
sprawl. Kota melebar diluar peningkatan kepadatan penduduk, dan bagaimana, kapan dan dengan
faktor atau indikator yang memungkinkan untuk mengklaim bahwa kota itu Compact.
Kota kompak ini memang digagas tidak sekedar untuk menghemat konsumsi energi, tetapi juga
diyakini lebih menjamin keberlangsungan generasi yang akan datang. Jenis menyebutkan bahwa ada
suatu hubungan yang sangat kuat antara bentuk kota dengan pembangunan berkelanjutan, tetapi
sebenarnya tidaklah sesderhana itu atau bahkan langsung berbanding lurus. Ini seolah-olah telah
dikesankan bahwa kota yang berkelanjutan adalah “Mesti terdapat suatu ketepatan dalam bentuk dan
skala untuk berjalan kaki, bersepeda, efisien transportasi masal, dan dengankekompakan dan
ketersediaan interaksi sosial” (Elkin et.al., 1991, p.12). Berikut ini hipotesis Compact city, sebagai
berikut:
1. Pengembangan kepadatan tinggi
2. Mengurangi ketergantungan mobil
3. Peningkatan layananan transportasi umum dan dukungan untuk berjalan dan bersepeda
4. Pembangunan mixed-use dan akses yang lebih baik ke layanan dan fasilitas
5. Pelestarian kawasan hijau dan konservasi pedesaan
6. Regenerasi daerah perkotaan
7. Penggunaan infrastruktur yang efisien
Semua aspek dianggap sebagai strategi perkotaan yang paling efisien dari perspektif
pengembangan perencanaan yang berkelanjutan untuk dimensi sosial, ekonomi dan lingkungna dan
aspek-spek tersebut harus saling berinteraksi satu sama lain. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir
telah ada konsensus yang signifikan bahwa perencaan untuk mendapat bentuk urban yang lebih padat
adalah cara paling mahir untuk mengurangi enegi dan polusi (Breheny,1995).
Model Compact mempromosikan ketergantungan mobil yang lebih sedikit dan peningkatan
transportasi umum. Pengembangan kebijakan strategi untuk mengurangi perjalanan-perjalanan
dengan mobil, bertujuan untuk mengurnagi polusi udara dan emisi CO2 per kapita, dan kepadatan
tinggi bentuknya bertujuan untukmenigkatkan efisiensi angkutan umum dan mengurangi infrastruktur
jalan untuk menyelamatkan permasalahan limbah tanah.
Hubungan antara transportasi dan bentuk perkotaan merupakan aspek mendasar dari
Model Compact, karena beragam prinsip mengenai penggunaan lahan harus dipertimbangkan.
Misalnya, hipotesis meggunakan dimensi ketiga (udara dan ruang bawah tanah) adalah pilihan penting
untuk konsep kota yang kompak, karena kuantitas ruangnya terbatas (Nijamp& Rienstra, 1995). Karya
Newman dan Kenworthy memberikan bukti bahwa bentuk perkotaan yang ditandai dengan
kepadatan yang tinggi terkait dengan penggunaan transportasi umum yang tinggi dan lebih sedikit
konsumsi bahan bakar. Mereka mengukur konsumsi minyak bumi per kapita dan kepadatan

9
populasinya di berbagai kota di dunia, menemukan korelasi negatif antara keduanya, meskipun
temuan ini tidak dapat disamaratakan secara umum, karena manfaar lingkungan dari Compact city
juga bergantung pada banyak faktor pendorong sosial dan ekonomi lainnya. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah perlunya kebijakan abru yang lebih baik mengenai perkotaan dan lebih banyak
investasi dalam sistem transportasi masal (Breheny,2004).
Sebagai hipotesis Compact menegaskan pergeseran moda dari mobil pribadi ke angkutan
umum jauh lebih efisien mengenai emisi gas berbahaya dan peningkatan polusi. Bahkan, sebagian
besar angkutan kolektif didukung oleh listrik, dan saat ini produksi energi surya, angin atau bio fuel
adalah pengurangan emisi yang signifikan (Nijamp & Rienstra,1996).keuntungan lain dipaparkan
dalam artikel Nijamp & Rienstra (1995) bahwa perpindahan moda ke angkutan umum mempengaruhi
penggunaan ruang dengan memiliki kapasitas infrastruktur yang lebih besar, yang penting terutama
dalam kota dicirikan oleh ruang yang kecil. Dalam ketergantungan akan kendaraan juga jumlah limbah
padat berkurang karena waktu hidup yang panjang dari kendaraan, jaminan sosial, biaya sosial dan
lebih sedikit kebisingan di daerah perkotaan diseutkan serta keuntungan dari mode kolektif. Untuk
menerapkan penggunaan mode kolektif, kebijakan strategis bru harus diltakkan dalam praktek untuk
mencegah penggunaan mobil Nijamp & Rienstra (1995) menyarnakan peningkatan retribusi parkir
danpengurangan tempat parkir untuk membuat penggunaan mobil berkurang., juga penerapan harga
jalan dianggap sebagai strategi yang baik.
Strategi mixed-use, yang sejalan dengan pendekatan high-density, mengacu pada empat
dimensi utama, yaitu the social mix (perumahan, demografi, visitors, lifestyles), economic mix (
business activity, consumption, production), physical land use mix ( vertical and horizontal, amenity
and public space), temporal mix of social and physical issues (Evans& foord, 2007). Keempat dimensi
ini selalu diperlukan sebagai elemen dalam desain kebijakan dan strategi perkotaan, meskipun efek
interaksi mereka sangat penting untuk dipahami daripembangunan perkotaan dan perubahan
penguanan laahn (Evans& Foord, 2007). Evans& Foord mengmpulkan elemen lingkungan perkotaan
yang berkontribusi pada kualitas kehidupan lokasi high-density dan mixed-use dalam gambar 2.1

10
Gambar 2.1 Interaction of urban elements
Sumber : Evans & Foord, 2007

Bagaimanapun konsep kota kompak bukanlah konsep yang kaku dan sederhana yang
menggambarkan sebuah bentuk kota tertentu. Adanya perbedaan masing-masing karakteristik kota
dan hudaya masyarakat yang menghuninya harus dimaknai bahwa kota kompak juga perlu dilihat
dalam konteks kekhasan budaya, ekonomi dan identitas fisik kotanya saat ini untuk perubahan kota
(urban change) di masa datang yang lebih baik dan efisien. Namun ada hal yang sudah pasti yakni jika
kita melihat kota-kota besar di Indonesia saat ini seperti Jakarta dan Surabaya, adalah terjadinya
perkembangan kota yang padat dan semakin melebar secara horisontal tanpa batas yang jelas.
Dapat disimpulkan bahwa konsep dari compact city adalah :
• Digagas untuk menghemat konsumsi energi,
• Kepadatan lebih tinggi,
• Menyediakan suatu konsentrasi dari penggunaan campuran secara sosial berkelanjutan
(socially sustainable mixed use),
• mengkonsentrasikan pembangunan dan mereduksi kebutuhan jalan hingga mereduksi emisi
kendaraan-kendaraan (efisiensi transportasi),
• Promosi penggunaan Public Transport (transportasi public/masal), kenyamanan berlalu lintas,
dan
• Keadilan sosial

11
2.4 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KONSEP COMPACT CITY
Konsep compact city berupaya untuk mengefektifkan penggunaan lahan, sehingga dapat
mengatasi permasalahan kekurangan lahan dan penggunaan lahan yang tidak efektif. Dengan
dibangun nya gedung secara vertikal. Compact city juga bukan hanya terfokus pada aspek fisik saja
namun pada aspek ekonomi, sosial dan kependudukan. Pada aspek sosial compact city dapat
meningkatkan interaksi sosial serta penurunan tingkat kesenjangan sosial. karena konsep compact city
didesain agar kawasan permukiman, perdagangan dan jasa, perkantoran dan lain-lain menjadi
terpusat. Keunggulan lainnya dari konsep compact city yaitu dapat mengurangi ketergantungan akan
kendaraan pribadi, meminimalisir biaya transport, dan mengurangi waktu terbuang untuk perjalanan.
Seluruh keunggulan tersebut adalah dampak dari adanya konsep compact city karena compact city
mendesain agar fasilitas-fasilitas penunjang perekonomian dekat dengan kawasan permukiman
masyarakat.
Menurut Muhammad Sani Roychansyah, 2006, meskipun ide dasar kota kompak ini telah
menjadi sebuah model terpopuler untuk mewujudkan sebuah kota berkelanjutan dewasa ini berbagai
upaya penerapan modelnya tengah banyak diujicobakan, selain keuntungan yang telah banyak
disinggung, penerapan sebuah kota kompak secara alami juga mampu mengakibatkan beberapa
kerugian, seperti bertambah mahalnya lahan di dalam kota karena pembatasan ketersediaan tanah
untuk pembangunan, kekhawatiran kualitas hidup yang berkurang dengan adanya upaya menaikkan
kepadatan penduduk dalam kota, serta kemungkinan tergusurnya penduduk yang mempunyai akses
lemah, termasuk orang berusia lanjut dan para miskin. Namun dengan adanya kebijakan yang tepat
dan berasas pada keadilan bagi semua warga kota, akses merugikan tersebut dapat diminimalisir.
Kelemahan lainnya dari konsep ini yaitu dengan adanya gedung bertingkat atau pembangunan secara
vertikal maka dapat meningkatnya suhu panas, kemudian dapat menambah penggunaan energi
dengan adanya pembangunan gedung vertikal yang menggunakan lift, dan penurunan keterediaan air
bersih.

12
2.5 KOMPONEN-KOMPONEN COMPACT CITY
Sebagaimana sebuah konsep model perancangan kota, juga memiliki beberapa komponen-
komponen pembentuk sebagai sebuah parameter solusi dari isu ekologi yang menjadi dasar pertama
pemikiran lahirnya konsep perancangan kota kompak ini (Cooper, Evans & Boyko, 2009), yaitu:
1. Penggunaan Campuran (Mixed-Use)
Penggunaan campuran pada tata guna lahan perkotaan menurut Lagendijk dan Wisserhof
(1999, di Cooper, Evans, & Boyko, h 194) dapat diartikan sebagai sebuah intensifikasi (efisiensi,
intensitas penggunaan), interwearing (area atau gedung yang multifungsi), dan beberapa
penggunaan lahan dalam waktu yang bersamaan (temporal mix). Pengembangan penggunaan
campuran dapat menciptakan vitalitas, keberagaman serta dapat mengurangi kebutuhan akan
perjalanan. Hal ini menurut DoE PPGI (1997, di Cooper, Evans &Boyko, 2009) h.192) akan lebih
menciptakan keberlanjutan dari pada pengembangan yang mengandalkan penggunaan tunggal.
Pengembangan penggunaan campuran dapat membawa kita kedalam kehidupan yang baru
dimana hal ini dapat meningkatkan kualitas kehidupan serta karakter dari suatu tempat
tersebut dan juga dapat menciptakan pola pengembangan yang berkelanjutan untuk masa yang
akan datang (English Partneship,1998). Akan tetapi perlu dicermati bahwa pengembangan
penggunaan campuran, jika hanya digunakan oleh pengguna yang homogen akan menghasilkan
solusi yang kurang efektif dan kurang berkelanjutan bagi lingkungan.
2. Keberagaman (Diversity)
Berbeda dengan penggunaan campuran yang lebih menitikberatkan pada bentuk perkotaan
yang didasari dari bentuk perkotaan yang didasari dari bentuk material fisik dan spasial saja,
keberagaman justru lebih menitikberatkan kepada bagaimanahubungan antara sosio-ekonomi
dan kebudayaan masyarakat kota dengan bentuk fisik dan spasial kota dalam konteks
kehidupan berkota sehari-hari. Oleh karena itu pengembangan keberagaman bentuk fisik
material dan sebuah bentuk perkotaan juga harus diimbangi dengan pengembangan
keberagaman bentuk fisik material dan spasial dari sebuah bentuk perkotaan juga harus
diimbangu dengan pengembangan keberagaman kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi
diperkotaan tersebut. Fungsi hadirnya keberagaman dalam kehidupan perkotaan adalah agar
dapat menawarkan perbedaan kesempatan bagi bentuk-bentuk kehidupan ekonomi, sosial dan
budaya. Selain itu juga dapat menciptakan spesies dari pengguna kehidupan ekonomi, sosial
dan budaya tersebut (Cooper, Evans& Boyko, 2009, h.237).

13
2.6 KENDALA PENERAPAN COMPACT CITY
1 Meningkatnya hunian liar (squatter)
Tidak dapat dihindari lagi, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan
kesejahteraan dari daerah asalnya mengakibatkan penduduk banyak yang bermigrasi ke daerah
perkotaan. Terjadinya ketimpangan antara jumlah penduduk dengan pemenuhan kebutuhan
hidupnya mengakibatkan muncul beberapa permasalahan di perkotaan yang cukup kompleks.
Misal semakin banyaknya penduduk yang melakukan urbanisasi di daerah perkotaan yang
hanya mempunyai pendidikan rendah maka mereka hanya akan mencari pekerjaan yang
serabutan. Kegiatan tersebut menimbulkan munculnya hunian liar dan tingkat kemiskinan di
kota-kota besar yang semakin merajalela. Hal itu menjadikan kendala dalam penerapan
compact city karena sulitnya untuk mengatasi hunian liar yang dijadikan solusi oleh penduduk
miskin untuk bertahan hidup diperkotaan.
2 Spekulasi tanah
Yang dimaksud spekulasi tanah itu apabila terdapat suatu wilayah yang digunakan sebagai pusat
kota, dan wilayah tersebut terdapat suatu kawasan yang dalam rencana tata kota akan dijadikan
sebuah permukiman maka harga tanah relative standart. Namun dalam hal lain, apabila
kawasan tersebut penggunaan lahannya dialih fungsikan sebagai kawasan perdagangan dan
jasa maka harga tersebut semakin meningkat. Karena kawasan tersebut mudah menjangkau
pusat-pusat perekonomian dan jika semakin dekat dengan pusat kegiatan dan tidak sesuai
dengan arahan rencana tata ruang maka harga lahan akan semakin mahal.
3 Sulitnya urban redevelopment melalui pembongkaran permukiman kumuh
Dalam menangani masalah diperkotaan salah satunya yaitu penertiban kawasan permukiman
kumuh tidaklah hal yang mudah. Karena membangun kota yang nyaman dibutuhkan solusi yang
baik untuk mengganti rugi terhadap masyarakat yang akan mengalami penggusuran tempat
tinggalnya. Merealisasikan pembongkaran permukiman kumuh tidak hanya semata-mata
langsung dapat diselesaikan. Namun, banyaknya penduduk yang menolak untuk direlokasi
disebabkan karena pekerjaan sehari-hari yang mereka lakukan berada disekitar lingkungan
tersebut. Kemudian, ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan harapan mereka juga
mempersulit penataan ulang kota yang indah.
4 Lemahnya sitem transportasi publik
Semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka semakin banyaknya permintaan untuk
memnuhi kebutuhannya. Misal dalam segi transportasi. Masyarakat saat ini kurang berpihak
untuk menggunakan transportasi umum melainkan mereka masing-masing sudah memiliki
transportasu pribadi yang dapat digunakan dalam kegiatan apapun. Untuk mendapatkan

14
sebuah transportasi pribadipun sekarang semakin dipermudah dengan adanya sistem kredit
motor yaitu dalam pembelian dapat diangsur secara bertahap. Kemudian dibandingkan dengan
transportasi umum mereka kurang tertarik dikarenakan banyak hal seperti fasilitas dan
keamanaan yang diberikan kurang memadai. Sehingga penggunaan sistem transportasi umum
saat ini semakin menurun yang disebabkan sudah banyaknya masyarakat yang mepunyai
kendaraan pribadi masing-masing.
5 Kurangnya kapasitas perencanaan kota
Dalam melakukan pembangunan seringkali masalah yang dihadapi adalah tidak sesuainya
antara rencana dengan implementasiannya. Hal tersebut dapat terjadi karena dalam
perencanaannya selalu berubah-ubah setiap 5 tahu sekali seiring dengan pergantian pemimpin
pemerintahnya. Sehingga untuk merealisasikan suatu pembangunan perlu pengkajian berulang
ulang agar terlaksana sesuai dengan perencanaanya.

2.7 UPAYA-UPAYA UNTUK MENCAPAI COMPACT CITY


1 Peningkatan kawasan terbangun
Peningkatan kawasan terbangun bertujuan untuk memadatkan kota dengan kawasan-kawasan
terbangun, sehingga penggunaan lahan di kota atau pun di suatu wilayah lebih efisien. Kawasan
perkotaan lebih diprioritaskan untuk dipadatkan dengan bangunan-bangunan yang mempunyai
berbagai macam fungsi dan tujuan, tetapi tetap memperhatikan aspek-aspek keserasian
lingkungan.
2 Intensifikasi aktivitas ekonomi
Intensifikasi aktifitas ekonomi ini termasuk di dalamnya adalah intensifikasi pusat-pusat
kegiatan penggerak kegiatan perekonomian. Intensifikasi aktivitas ekonomi bertujuan agar
meminimalkan angka pergerakan masyarakat agar tidak jauh dari pusat kota atau pergerakan
yang dilakukan masih dalam lingkup kawasan perkotaan. Intensifikasi aktivitas ekonomi juga
bertujuan untuk memfasilitasi masyarakat pada kawasan tersebut agar mudah menjangkau
pusat-pusat kegiatan ekonomi.
3 Sistem permukiman yang padat
Sistem permukiman yang padat dimaksudkan agar memusatkan kegiatan masyarakat kota
ataupun masyarakat di suatu kawasan tertentu. Sistem permukiman yang padat bukan berarti
permukiman yang padat, kumuh dan tidak layak huni, seperti yang dewasa ini ditemui di kota-
kota besar. Sistem permukiman yang padat ini tetap memperhatikan aspek-aspek kenyamanan,
lingkungan serta keamanan tempat tinggal.

15
4 Perbaikan sarana dan prasarana kota
Perbaikan sarana dan prasarana merupakan suatu usaha untuk meningkatkan kembali
pembangunan fisik suatu kota. Perbaikan ini diharapkan mampu memaksimalkan peran serta
fungsi dari sarana dan prasarana kota tersebut. Hal ini akan mendorong agar kota berfungsi
secara maksimal dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat.

16
BAB 3
GAMBARAN UMUM KOTA SURABAYA

3.1 UMUM
Kota Surabaya adalah Ibukota Prosinsi Jawa Timur. Secara geografis Kota Surabaya terletak
pada 7°9´-7°21´ lintang selatan, dan 112°36´-112°57´ Bujur Timur. Luas wilayah Kota Surabaya
seluruhnya kurang lebih 326,26 km2 yang terbagi dalam 31 Kecamatan dan 154 Desa/kelurahan.
Adapun batas-batas wilayah Kota Surabaya adalah sebagai berikut:
Sebelah utara : Selat Madura
Sebelah Timur : Selat Madura
Sebelah Selatan : Kabupaten Sidoarjo
Sebelah Barat : Kabupaten Gresik
Secara topografi, sebagian besar wilayah Kota Surabaya merupakan dataran rendah dengan
ketinggian 3-6 meter di atas permukaan laut pada kemiringan kurang dari 3 persen. Wilayah barat
Kota Surabaya memiliki kemiringan sebesar 12,77 persen dan sebelah selatan sebesar 6,52 persen.
Kedua wilayah tersebut merupakan daerah perbukitan landai dengan ketinggian 25-50 meter di atas
permukaan laut dan pada kemiringan 5-15 persen. Jenis batuan yang ada terdiri dari 4 jenis yang pada
dasarnya merupakan tanah liat atau unit-unit pasir. Sedangkan jenis tanah, sebagian besar berupa
tanah alluvial, selebihnya tanah dengan kadar kapur yang tinggi (daerah perbukitan). Sebagaimana
daerah tropis lainnya, Surabaya mengenal 2 musim yaitu musim hujan dan kemarau. Curah hujan rata
rata 172 mm, dengan temperatur berkisar maksimum 30°C dan minimum 25°C.
Secara geografis, Kota Surabaya terletak di hilir sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas
yang bermuara di Selat Madura. Beberapa sungai besar yang berasal dari hulu mengalir melintasi Kota
Surabaya, yaitu Kali Surabaya, Kali Mas, Kali Jagir, dan Kali Lamong. Sebagai daerah hilir, Kota Surabaya
sehingga dengan sendirinya Kota Surabaya merupakan daerah limpahan debit air dari sungai yang
melintas sehingga rawan banjir pada musim penghujan.
Secara administrasi pemerintahan Kota Surabaya terdiri dari 31 kecamatan,
154 kelurahan, 1368 Rukun Warga (RW) dan 9118 Rukun Tetangga (RT). Kota Surabaya adalah kota
metropolitan kedua setelah Jakarta, Surabaya secara pola ruang perkembagannya terbagi menjadi:
1. Area permukiman vertikal baik berupa rumah susun (sederhana) maupun apartemen atau
kondominium tersebar di hampir seluruh penjuru Kota Surabaya, sedangkan area permukiman
diarahkan berkembang ke arah barat, timur dan selatan kota.

17
2. Area untuk kegiatan jasa dan perdagangan yang terpusat di kawasan pusat kota dan pusat-pusat
sub kota dan unit pengembangan serta di kawasan yang ditetapkan menjadi kawasan strategis
ekonomi antara lain di kawasan kaki Jembatan Suramadu dan kawasan Teluk Lamongan.
3. Area untuk kegiatan industri dan pergudangan terkonsentrasi di kawasan pesisit utara di
kawasan sekitar Pelabuhan Tanjung Perak dan Terminal Multipurpose Teluk Lamong, dan
kawasan selatan kota yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Gresik dan Sidoarjo.
4. Wilayah pesisir khususnya ruang darat dimanfaatkan untuk berbagai fungsi antara lain
permukiman nelayan, tambak garam dan ikan, pergudangan, militer, industri kapal, pelabuhan,
wisata pesisir sampai dengan fungsi kawasan lindung di Pantai Timur Surabaya dan Pulau
Madura (Jembatan Suramadu) dan Jembatan Sukolilo Lor-THP Kenjeran yang membuka akses
di kawaan sisi timur laut Kota Surabaya
5. Wilayah Ruang laut Surabaya selain dimanfaatkan untuk kegiatan pelayaran baik interinsulair
maupun internasional, juga dikembangkan untuk kegiatan penagnkapan ikan tradisional, wisata
pantai di Kenjeran dan sekitarnya dan kawasan lindung laut di sekitar pantai Timur Surabaya.

3.2 KONDISI DEMOGRAFIS


Keberadaan penduduk sangat penting di dalam proses pembangunan, oleh karena itu
penduduk akan menjadi beban bagi daerah apabila tidak dikelola dengan baik dan sebaliknya akan
menjadi modal potensial apabila mampu dikelola dengan baik. Bedasarkan data Dinas kependudukan
dan Pencatatan Sipil, Kota Surabaya memiliki penduduk yang ber-NIK hingga tahun 2015 sebesar
2.943.528 jiwa. Rincian kepadatan penduduk per kecamatan ditunjukkan pada Tabel 3.1
Pekembangan penduduk di pengaruhi oleh faktor kelahiran, kematian dan migrasi. Tabel 3.1
menunjukan bahwa terdapat beberapa kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan lebih dari 20.000
jiwa/km2 dan umumnya wilayah kecamatan tersebut berada di wilayah Surabaya pusat dan utara.
Tabel 3.1 Kepadatan Penduduk yang ber-NIK per Kecamatan

Sumber: Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, 2016

18
3.3 INDEKS PEMBANGUNAN DAN PEMERATAAN EKONOMI
1. Indeks Pembagnunan Manusia (IPM)
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI)
merupakan indeks komposit yang meliputi aspek kesehatan melalui pengukuran
angka harapan hidup saat lahir, pendidikan melalui pengukuran angka harapan
sekolah dan rata-rata lama sekolah, serta aspek kesejahteraan melalui pengukuran
daya beli atau pengeluaran per kapita. Tren IPM Kota Surabaya yang menggunakan
metode baru ditunjukkan pada Tabel 3.2
Tabel 3.2 Tren IPM Kota Surabaya Tahun 2011-2014
Uraian 2011 2012 2013 2014
IPM 77,62 78,05 78,51 78,87
Sumber: BPS Kota Surabaya
2. PDRB
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan gambaran nilai tambah barang dan jasa
yang diproduksi oleh suatu wilayah dalam satu tahun. PDRB umumnya digunakan sebagai indikator
kinerja perekonomian suatu negara. Berbeda dengan perhitungan PDRB sebelumnya, dasar
perhitungan PDRB saat ini tidak lagi menggunakan angka tahun dasar 2000 melainkan menggunakan
angka tahun dasar 2010. Perubahan tahun dasar PDRB dilakukan seiring dengan mengadopsi
rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang tertuang dalam 2008 System of National
Accounts (SNA 2008) melalui penyusunan kerangka Supply and Use Tables (SUT). Salah satu implikasi
perubahan ini adalah meningkatnya nominal PDRB dan perubahan struktur ekonomi yang mulanya 9
sektor ekonomi menjadi 17 kategori lapangan usaha.
Untuk mengetahui perkembangan PDRB Kota Surabaya Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) Seri
Tahun Dasar 2010 selama 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel II. 11 Selanjutnya dalam Tabel II.
12 dapat dilihat bahwa PDRB Kota Surabaya Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) menunjukkan tren yang
semakin meningkat meskipun peningkatannya mengalami sedikit perlambatan dibanding tahun-tahun
sebelumnya. Berdasarkan strukturnya, pada tahun 2015 kategori Perdagangan Besar dan Eceran,
Reparasi Mobil dan Sepeda Motor masih menjadi leading sector dalam pembentukan PDRB Kota
Surabaya, dengan kontribusi sekitar 28,39 persen. Pada urutan kedua, kategori dengan kontribusi
terbesar terhadap PDRB yaitu kategori industri pengolahan dengan kontribusi sebesar 19,57 persen,
diikuti kategori penyediaan akomodasi makan dan minum dengan kontribusi sebesar 14,16 persen.

19
3.4 PENATAAN RUANG
Kota Surabaya merupakan kota yang berkembang secara pesat dan dinamis, sehingga
membutuhkan dasar terkait arah dan pedoman pemanfaatan ruang yang tertuang dalam rencana tata
ruang wilayah dan rencana rincinya. Kota Surabaya telah memiliki RTRW yang berupa Perda No. 12
tahun 2014 tentang RTRW Kota Surabaya tahun 2014-2034 dan perlu didetailkan dalam rencana rinci.
Dengan pesatnya perkembangan kota, maka kualitas perencanaan ruang perlu ditingkatkan yang
terintegrasi dengan rencana-rencana sektoral lainnya. Dalam rangka peningkatan kualitas
perencanaan ruang, upaya yang telah dilakukan antara lain adalah dengan melakukan integrasi
rencana tata ruang dengan rencana sektoral lainnya dan meningkatkan koordinasi penataan ruang
melalui optimalisasi peran Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Kota Surabaya.
Sedangkan dalam rangka peningkatan kesesuaian pemanfaatan ruang kota, upaya yang telah
dilakukan antara lain menggunakan referensi tunggal dalam penyusunan peta rencana tata ruang yang
kemudian menjadi dasar bagi perizinan pemanfaatan ruang kota. Peta rencana tata ruang kota
tersebut berbasis GIS dan dapat diakses langsung oleh masyarakat dalam aplikasi perizinan Surabaya
Single Window (SSW).
Pertumbuhan penduduk secara pesat terutama di perkotaan umumnya merupakan akibat dari
urbanisasi, sehingga menimbulkan ancaman meluasnya lingkungan hunian atau permukiman kumuh
di perkotaan.Permasalahan di kawasan perumahan dan permukiman, yaitu masih terdapat kawasan
yang kondisi lingkungan, kualitas dan kelayakan bangunan rumah tempat tinggal dan fasilitas sarana
prasarananya kurang memadai antara lain kelayakan jalan lingkungan, ketersediaan sanitasi
lingkungan (sampah, IPAL Komunal dan MCK ) dan sistem drainase lingkungan yang perlu ditingkatkan
Berdasarkan SK Walikota No. 188.45/143/436.1.2/2015 tentang Kawasan Prioritas Peningkatan
Kualitas Perumahan dan Permukiman Kota Surabaya ditetapkan 26 Kelurahan dengan luas 145,89 Ha
sebagai kawasan prioritas peningkatan kualitas perumahan dan permukiman. Upaya yang telah
dilakukan Pemerintah Kota Surabaya dalam penanganan permukiman kumuh antara lain melalui
peningkatan sarana prasarana dasar permukiman antara lain jalan lingkungan, sanitasi, drainase
lingkungan dan perbaikan kualitas kawasan permukiman dilakukan dalam rangka mendukung
program nasional 100-0-100. Daftar kawasan prioritas penataan dan peningkatan kualitas perumahan
dan permukiman dapat dilihat pada Tabel 3.3

20
Tabel 3.3 Daftar Kawasan Prioritas Penataan dan Peningkatan Kualitas Perumahan dan
Permukiman di Kota Surabaya

3.5 LINGKUNGAN HIDUP


Dalam konsep pembangunan berkelanjutan untuk mewujudkan kehidupan yang seimbang
baik secara fisik, ekologis, maupun sosial bagi warga kota maka keberadaan RTH terutama RTH Publik
diperkotaan sangat diperlukan. Luasan RTH publik Kota Surabaya sampai dengan tahun 2015
mencapai 20,74 persen dari luas kota Suabaya atau sebesar 6.853,09 Ha yang meliputi RTH makam,
RTH lapangan, RTH telaga/waduk/boezem, RTH dari penyerahan fasum dan fasos, RTH kawasan
lindung, RTH hutan kota, RTH taman dan jalur hijau. Secara rinci luas RTH publik dapat dilihat pada
tabel berikut 3.24.

21
Tabel 3.4 Luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Publik Tahun 2015
No JENIS RTH PUBLIK LUASAN (Ha)
1 RTH makam 281,55
2 RTH lapangan 346,55
3 RTH ltelaga/waduk/boezem 176,42
4 RTH dari fasum dan fasom permukiman 160,43
5 RTH kawasan lindung 4.198,54
6 RTH hutan 41,89
7 RTH taman dan jalur hijau (JH) 1.647,71
Jumlah Luasan RTH Publik total 6.853,09
Luas Kota Surabaya 33,048
Persentase luas RTH terhadap luas kota (persen) 20,74
Sumber: Dinas Kebersihan dan Pertanaman, Dinas Pertanian, Dinas Pemuda dan Olahraga

22
BAB 4
KONDISI DAN PERMASALAHAN

4.1 PENDAHULUAN
Tingginya angka pertumbuhan penduduk mengakibatkan kebutuhan akan permukiman,
tempat bekerja, tempat berbelanja, rekreasi, serta sarana dan prasarana lainnya ikut meningkat.
Pembangunan yang dilakukan dalam upaya pemenuhan kebutuhan penduduk ini jika tidak
dikendalikan akan membuat perkembangan suatu kota menjadi semakin meluas sampai kedaerah
sub-urbannya. Perkembangan kota yang semakin meluas dan tumbuh secara acak ini sering dikenal
dengan istilah urban sprawl.
Fenomena urban sprawl di kawasan perkotaan ini mengakibatkan tingginya mobilisasi
penduduk dengan jarak yang jauh dari kawasan sub-urban menuju pusat kegiatan penduduk yang
sering terdapat pada kawasan pusat kota. Tingginya angka mobilisasi inilah yang akhirnya dapat
menyebabkan semakin menurunnya kualitas udara perkotaan.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut maka perlu adanya suatu konsep tata ruang kota
yang dapat diterapkan sebagai solusi dari permasalahan urban sprawl yang terjadi di kawasan
perkotaan. Dalam tulisan ini akan dipaparkan fenomena urban sprawl yang terjadi di salah satu kota
besar di Indonesia, yaitu di Kota Surabaya.

4.2 URBAN SPRAWL DI SURABAYA


Fenomena urban sprawl telah terjadi di banyak kota di dunia, dinegara-negara maju, dan
juga di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Surabaya memiliki tingkat pertumbuhan
yang relatif tinggi. Pada tahun 2016 , 2.943.528 jiwa juta orang sudah tinggal di Kota Surabaya. Secara
keseluruhan, surabaya memiliki tren pertumbuhan penduduk yang linier. Namun sebenarnya,
peningkatan populasi terutama terjadi di daerah-daerah yang tertutup bagi sub-urban, sementara
penduduk di pusat kota surabaya yang memiliki laut sebagai

4.3 URBAN SPRAWL SEBAGAI PENYEBAB UTAMA PENCEMARAN UDARA DI SURABAYA


Kota Surabaya memiliki angka pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi untuk kawasan
perkotaan di Indonesia, yaitu sekitar 1% pertahun. Pertumbuhan penduduk ini mengakibatkan
kebutuhan penduduk akan lahan di perkotaan turut meningkat. Padahal di Kota Surabaya saat ini 90%
lebih sudah merupakan lingkungan terbangun dengan persentase 50% permukiman, 20% industri,

23
20% fasilitas umum, dan hanya 10% sisanya yang merupakan kawasan belum terbangun (Pemkot
Surabaya, 2003).
Kebutuhan penduduk akan lahan Kota Surabaya ini membuat perkembangan Kota Surabaya
semakin meluas. Semakin meningkatnya angka pertumbuhan penduduk menimbulkan kebutuhan
tempat pemukiman, tempat bekerja, tempat berbelanja, sarana hiburan dan kebutuhan lainnya ikut
meningkat. Pada akhirnya pertumbuhan kota menjadi sangat meluas dan tidak terkendali, fenomena
ini sering dikenal dengan istilah urban sprawl. Gambaran pertumbuhan Kota Surabaya dapat dilihat di
Gambar 4.1

Gambar 4.1 Gambaran Pertumbuhan Kota Surabaya


Sumber: Pemerintah Kota Surabaya, 2003

24
Dari Gambar 4.1 jelas terlihat fenomena urban sprawl di Kota Surabaya. Semakin tingginya
jumlah penduduk menimbulkan persebaran ke daerah-daerah pinggiran kota, tetapi pusat kegiatan
penduduk yang utama hanya terdapat di pusat Kota Surabaya saja. Penduduk-penduduk ini banyak
yang bekerja di Kota Surabaya namun bermukim di daerah-daerah pinggiran kota, keadaan ini
membuat batasan antara Kota Surabaya dan kabupaten yang membatasinya jadi tidak terlihat. Hal ini
dapat diindikasikan dari pembangunan pinggiran kota yang menjadi batas Kota Surabaya dengan
Kabupaten Sidoarjo. Angka pertumbuhan penduduk daerah sub-urban Kota Surabaya dalam persen
dapat dilihat di Tabel 4.1
Tabel 4.1 Pertumbuhan Penduduk Kota Surabaya
WILAYAH 1971-1980 1980-1990 1990-1999
Surabaya pusat 0.0089 -0.0129 -0.0336
Surabaya utara 0.0489 0.0062 -0.0064
Surabaya timur 0.0502 0.0423 0.0454
Surabaya selatan 0.0191 0.0194 0.0049
Surabaya barat 0.1455 0.0704 0.0516
SURABAYA 0.0333 0.0206 0.0164
Sumber: Pemerintah Kota Surabaya,2003
Dari data Tabel 4.1 terlihat bahwa penduduk di pusat Kota Surabaya mengalami penurunan
sebesar 3,36%, begitu pula dengan daerah Surabaya Utara yang mengalami penurunan sebesar 0,64%.
Jumlah penduduk yang meningkat adalah daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan sub-
urban, hal ini mengindikasikan terjadinya urban sprawl di Kota Surabaya.

4.4 POLUSI UDARA SEBAGAI DAMPAK DARI URBAN SPRAWL YANG TERJADI DI KOTA
SURABAYA
Dampak dari urban sprawl yang terjadi di Kota Surabaya dapat menimbulkan semakin
meningkatnya penggunaan alat transportasi karena tingginya angka mobilisasi penduduk. Data
tingginya angka transportasi di Kota Surabaya dapat dilihat di Gambar 4.2

25
Kendaraan/Jam

60,000

Volume ( kend/Jam )
50,000
40,000
30,000 A. Yani
20,000 Dharmahusada
10,000 Darmawangsa
- Kertajaya
i Kusuma Bangsa
an da a ya sa n o ut
sa gs ja ng ko gk
.Y an rta ng un
Mayjen Sungkono
A ah
u
aw Ba
Ke a Su R Rungkut
rm ar
m um n
ha s je
D D
Ku ay
M Ket: = Kota--Sub-Urban
Jalan
= Kota

Gambar 4.2 Volume kendaraan/ jam di jalan-jalan utama Kota Surabaya.


Sumber: Pemerintah Kota Surabaya,2005
Dari data di Gambar 4.2 terlihat bahwa tingginya angka transportasi terjadi di jalan-jalan
yang menghubungkan daerah Surabaya dengan daerah sub-urban, sehingga dapat diidentifikasi
mobilisasi yang paling sering terjadi adalah dari kawasan perumahan dan permukiman yang berada
jauh di daerah sub-urban menuju ke pusat kegiatan yang terdapat di tengah Kota Surabaya.
Tingginya penggunaan alat transportasi dengan jarak yang jauh ini menimbulkan pencemaran
udara yang dapat berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat. Berdasarkan Tabel 4.2, sumber
emisi pencemar di udara terbesar berasal dari sektor transportasi dengan jenis emisi karbon
monoksida (CO) yang menyumbang sebesar 5.480.000 ton/tahun atau sekitar 96% total emisi udara.
Tabel 4.2. Komposisi emisi pencemar udara di Kota Surabaya
Jenis Besar Emisi (ton/tahun) Sumber
CO 5.480.000 Transportasi
Partikulat (Pb, Zn, Cu, Cd) 622.560 Industri,
Hidrokarbon 310.000 transportasi
Hox dan Sox 10.000 Transportasi
Industri
Sumber: Rismanda, Erik, 2001
Menurut laporan World Bank Report yang berjudul “Indonesia : Energy and Environment”
yang terbaru, pencemaran udara akan melonjak dua kali lipat pada tahun 2000 dari jumlah yang ada
pada 1990, meningkat lima kali lipat pada tahun 2010 dan sembilan kali lipat pada tahun 2020. Prediksi
ini menuntut adanya kebijakan yang kongkret untuk membirukan langit Surabaya, jika tidak suatu
saat masyarakat Kota Surabaya yang akan keluar rumah terpaksa harus menggunakan masker
pengaman karena banyaknya emisi yang dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan (Dewi Myrna,
2006)

26
BAB 5
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

5.1 KONSEP COMPACT CITY SEBAGAI SOLUSI PENCEMARAN UDARA KOTA SURABAYA
Penerapan konsep compact city sebagai solusi pencemaran udara di Kota Surabaya adalah
sebuah solusi yang berbasis kepada perencanaan dan perancangan bentuk kota. Konsep compact city
ini dapat mereduksi angka mobilisasi penduduk dari suatu kawasan menuju kawasan lain yang
berjauhan, hal ini sesuai dengan keadaan mobilisasi penduduk yang terjadi sebagai akibat dari urban
sprawl di Kota Surabaya.
Konsep compact city ini menggunakan metode tata guna lahan yang mix use dimana pada
suatu kawasan dikonstruksikan berbagai jenis bangunan fungsional yang dapat memenuhi kebutuhan
penduduk tanpa penduduk tersebut harus keluar dari kawasan tersebut, sehingga pada akhirnya
dapat menekan angka penggunaan alat transportasi yang ada di jalan. Gambar 5.1 menggambarkan
perencanaan Kota Surabaya dengan pola yang menyebar dan gambar 5.2 menggambarkan Kota
Surabaya dengan pola konsep compact city.
Dari gambar 5.1 kita dapat melihat bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam
menyusun rencana tata ruang Kota Surabaya mengadopsi pola yang tersebar sehingga bukannya
dapat mereduksi angka mobilisasi tetapi justru semakin memperparah dampak dari urban sprawl yang
terjadi di Kota Surabaya . Pada akhirnya pola yang tersebar diatas dapat memunculkan berbagai
kerugian bagi masyarakat terutama masalah kesehatan yang diakibatkan pencemaran udara oleh
sektor transportasi perkotaan.
Dalam penerapan konsep compact city sebagai responsi dari perkembangan Kota yang
semakin tersebar diatas perlu diidentifikasi kawasan yang berpotensi baik dari kondisionalnya maupun
karakteristik kawasannya. Berdasarkan hasil kajian pada rencana tata ruang Kota Surabaya tahun
2003-2013 dipilih beberapa kawasan di Kota Surabaya yang memiliki potensi dalam penerapan konsep
compact city ini.

27
Gambar 5.1 Gambaran Perencanaan Kota Surabaya Pada Saat Ini
Sumber: Pemerintah Kota Surabaya, 2003

Pada Rencana Tata Ruang Kota Surabaya tahun 2003-2013 digunakan sistem SCC (sub city
center). Konsep compact city sangat potensial untuk diwujudkan pada daerah-daerah yang akan
menggunakan sistem SCC ini, dimana menurut RTRW Kota Surabaya pada suatu daerah sub city center
ini haruslah memiliki minimal tiga pusat kegiatan utama yaitu perkantoran, perdagangan, rekreasi,
dan budaya, dengan pengaplikasian konsep compact city ditambah lagi satu pusat kegiatan yaitu
perumahan.
Rencana tata ruang Kota Surabaya juga memiliki daerah prioritas pembangunan yang terdiri
dari unit pengembangan inti, unit pengembangan transisi, dan unit pengembangan pinggiran. Pada
unit pembangunan inti ini terdapat pusat kegiatan yang bersifat regional sehingga sangat potensial
dalam penerapan konsep compact city. Unit pengembangan transisi memiliki karakteristik yang sama
dengan daerah sistem SCC, jadi daerah ini juga berpotensial untuk diterapkannya konsep compact city.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan daerah potensial untuk penerapan konsep
compact city ini meliputi dua daerah SCC, tiga daerah unit pengembangan inti, dan satu daerah unit
pengembangan transisi. Daerah-daerah potensial tersebut adalah sebagai berikut:
1. SCC barat berada di wilayah Kandangan (Benowo) atau di kawasan oktagon (Unit
pengembangan XI), dan SCC timur yang berada di wilayah Klampis (Unit pengembangan II).
2. Unit pengembangan inti yang terdiri atas tiga daerah pengembangan, yaitu:
a. Unit pengembangan IV; meliputi Kecamatan Tambaksari dan Gubeng.
b. Unit pengembangan VI; meliputi Kecamatan Simokerto, Bubutan, Genteng dan
Tegalsari.
c. Unit pengembangan VII; meliputi Kecamatan Sawahan dan Wonokromo.

28
3. Unit pengembangan transisi; meliputi Kecamatan Dukuh Pakis dan Sukomanunggal (Unit
pengembangan VIII).
Gambaran daerah potensial dalam penerapan konsep compact city yang telah diidentifikasi
di Kota Surabaya dapat dilihat di Gambar 5.2

Gambar 5.2 Gambaran Penerapan Konsep Compact City di Kota Surabaya


Sumber: Pemerintah Kota Surabaya, 2003

Dari gambaran di atas terlihat potensi penerapan konsep compact city di Kota Surabaya di
bagi menjadi enam sub pusat kota. Di dalam sub pusat ini dibangun semua kebutuhan penduduk
sehingga mobilisasi penduduk dapat ditekan dan masalah pencemaran udara dari sektor transportasi
dapat direduksi. Seandainya ada pergerakan dari satu compact city ke yang lainnya diutamakan
penggunaan kendaraan umum seperti busway, railway, dan yang lainnya. Hal ini dapat menekan
jumlah transportasi pribadi yang membuat banyaknya sumber pencemaran dari sektor transportasi.
Dengan menekan jumlah kendaraan di jalan berkurang pula jumlah bahan bakar yang digunakan dan
berkurang pula emisi polutan yang ditimbulkan.
Perealisasian konsep compact city di lapangan dapat dilakukan melalui empat cara, yaitu:
1. Pengaplikasian konsep compact city dalam rencana tata ruang Kota Surabaya ( masterplan
Surabaya ).
Konsep compact city ini dapat diaplikasikan dalam RTRW Kota Surabaya, penerapan konsep
compact city ini dapat digunakan dalam pengembangan daerah SCC ( sub city center ) dan unit
pengembangan inti serta unit pengembangan transisi yang merupakan sasaran pembangunan dalam
RTRW Kota Surabaya 2013.

29
Dalam penerapannya di RTRW Kota Surabaya metode konsep compact city dimasukkan secara
sistematis melalui:
a. RUTR = Rencana Umum Tata Ruang
b. RDTRK = Rencana Detail Tata Ruang kota
c. RTRK = Rencana Teknik Ruang kota
Dengan demikian penerapan konsep compact city ini dapat lebih terfokus dan potensial
keberhasilan penerapannya dapat menjadi lebih tinggi.
2. Urban renewal.
Urban renewal adalah upaya untuk menata kembali suatu atau beberapa bagian wilayah kota
atau kawasan fungsional kota secara menyeluruh dengan maksud meningkatkan kembali kualitas
kawasan tersebut.
3. Konsolidasi lahan.
Konsolidasi lahan adalah model pembangunan yang berkaitan dengan pengadaan dan penataan
tanah untuk kepentingan sarana dan prasarana.
4. Metode win-win solution.
Metode kerjasama ( pemerintah dengan swasta ataupun masyarakat )
Gambar 5 menunjukkan gambaran potensi penggunaan metode Urban renewal ,konsolidasi
lahan, dan metode win-win solution untuk realisasi konsep compact city di Surabaya.

Gambar 5. Aplikasi Urban Renewal , Konsolidasi Lahan dan Win-Win Solution


Sumber: Pemerintah Kota Surabaya, 2003

30
Ket: UR = Urban renewal
KL = konsolidasi lahan
WWS = Win-win solution
Dengan menggunakan metode-metode ini masalah pembebasan lahan dapat terselesaikan
oleh pemerintah. Pengaplikasian konsep compact city dalam rencana tata ruang juga akan lebih
memfokuskan pembangunan Kota Surabaya dari bentuk yang tersebar ke bentuk yang compact. Pada
akhirnya apabila keempat cara ini dapat dilaksanakan Surabaya yang compact dapat diwujudkan,
tingginya angka penggunaan alat transportasi dapat direduksi, dan pencemaran udara di kota
Surabaya dapat dihentikan. Dengan terselesaikannya masalah pencemaran udara ini berarti
pembangunan Kota Surabaya yang berkelanjutan dapat terwujudkan.

31
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KESIMPULAN

Berdasarkan keseluruhan penulisan, dapat diambil beberapa simpulan yaitu:


1. Perkembangan Kota Surabaya semakin meluas akibat dari tingginya angka pertumbuhan
penduduk di Kota Surabaya. Kebutuhan penduduk akan lahan diperkotaan terus menigkat
sedangkan pada tahun 2000 penggunaan lahan daerah terbangun sudah mencapai 90% dengan
50% pemukiman, 20% kawasan industri, dan 20% fasilitaas umum, hanya tinggal 10% yang
merupakan kawasan belum terbangun. Pemenuhan kebutuhan penduduk akan lahan
perkotaan ini telah mengakibatkan ekspansi kawasan perkotaan sampai kedaerah sub-urban,
hal ini merupakan suatu indikator bahwa fenomena urban sprawl telah terjadi di Kota Surabaya.
2. Identifikasi dampak dari urban sprawl yang terjadi di Kota Surabaya adalah munculnya
mobilisasi penduduk yang tinggi dengan jarak yang jauh. Mobilisasi penduduk ini
mengakibatkan peningkatan penggunaan alat transportasi yang memicu terjadinya
pencemaran udara di Kota Surabaya. Pencemaran udara ini berdampak buruk terhadap
kesehatan masyarakat perkotaan dan menjadikan pembangunan Kota Surabaya tidak
berkelanjutan.
3. Konsep compact city merupakan sebuah inovasi konsep tata ruang kota yang dapat diterapkan
dalam rencana tata ruang Kota Surabaya sebagai upaya mewujudkan Kota Surabaya yang
berkelanjutan. Dengan menggunakan metode mix use konsep compact city ini dapat menekan
angka mobilisasi dari suatu kawasan menuju kawasan lainnya sehingga permasalahan urban
sprawl yang terjadi di Kota Surabaya dapat diselesaikan.

6.2 SARAN
Berdasarkan keseluruhan pembahasan dalam tulisan ini dapat diambil beberapa rekomendasi yaitu :
1. Metode konsep compact city dapat diaplikasikan dalam RTRW Kota Surabaya, yang kemudian
lebih difokuskan lagi melalui RDTRK dan terakhir pada RTRK sehingga potensi penerapannya di
Kota Surabaya menjadi lebih jelas.
2. Kebijakan- kebijakan pemerintah untuk menjamin setiap masyarakat dapat menikmati fasilitas
compact city , perlindungan terhadap kaum miskin dan lanjut usia, sosialisasi compact city yang

32
baik kepada masyarakat dan langkah-langkah lainnya perlu untuk ditingkatkan dalam rangka
perealisasian compact city di Surabaya.
3. Jika diharuskan adanya mobilisasi dari satu sub pusat kota compact city maka penggunaan
transportasi adalah berupa transportasi umum. Hal ini dapat menekan jumlah transportasi di
jalan dengan signifikan mengingat banyaknya alat transportasi yang beroperasi adalah
kendaraan pribadi.
4. Konsistensi pemerintah, masyarakat dan swasta dalam mewujudkan pembangunan Kota
Surabaya dengan konsep compact city merupakan suatu upaya Kota Surabaya dalam
pencapaian kota berkelanjutan yang harus kita dukung bersama.

33
DAFTAR PUSTAKA

Benhardt, J, 2007, Urban sprawl: origins and enviromental consequence, Master Tesis, Blekinge
Tekniska Hogskola
Breheny, M, 1992, The Contradiction of the Compact City: a Review, Sustainable Development and
Urban Form, edited by M.B. Breheny, Pion, London.
Breheny,M, 1994, The compact city and transport energy consumption, Department of geography,
Great Britain.
Breheny, M, 1996, Centrists, Decentrists and Compromisers: view on the future of urban form, The
Compact City - a Sustainable Urban Form? - Edited by Mike Jenks, Elizabeth Burton and Katie
Williams, E & FN Spoon, London.
Breheny, M, 1997, Urban Compaction: feasible and acceptable?, Cities, vol. 14, Great Britain.
Burton, E, 2001, The Compact City and Social Justice, a paper presented to the Housing Studies
Association Spring Conference, Housing, Environment and Sustainability, University of York.
Cedera, F, 2009, Compact City and Densification Strategis The Case of Gethenburg, Master European
Spatial Planning and Regional Development.
De Roo, G, 1996, Environmental Policies in the Netherlands: Too Good to be true, Ashgate, London.
De Roo, G, Miller, D, 2000, Compact cities and sustainable urban development, Ashgate Publishing,
London.
Dewi, Myrna. 2006. Penataan ruang berbasis ekologi: konsep roof garden dan urban farming dalam
memperbaiki kualitas udara di surabaya. Planologi ITS.
Evans, G, Foord, J, 2007, The generation of diversity: mixed use and urban sustainability, Urban
sustainability through environmental design, edited by Kevin Thwaites, Sergio Porta, Ombretta
Romice, Taylor & Francis Group.
Goodchild, B, 1991, Housing and the Compact City: Principles and Practice in Britain, Arch. & Comport.
I Arch. Behav., Vol. 7, no. 4, p. 423-430.
Kenworthy, J, Newman, P, 1999, Sustainability and City. Overcoming Automobile Dependence, Island
press, Washington D.C.
Madureira, A, Möllers, A, 2007, Urban Sprawl in the Öresund Region, Master Thesis, Blekinge Tekniska
Högskola.
Mahriyar. Muhd Zia, 2007, Impelementasi Konsep Compact City dalam Mereduksi Permasalahan
Pencemaran Udara sebagai Effect dari Urban Sprawl. The 1st Winner Paper in National

34
Environmental Scientific Writing Competition. Indonesian Directorate General of Higher
Education, Bogor.
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. 2003. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Surabaya tahun
2003-2013. Pemkot Surabaya. Surabaya.
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. 2005. Laporan Fakta dan Analisa Perencanaan Awal Penyusunan
Masterplan Transportasi di Kota Surabaya. Pemkot Surabaya. Surabaya.
Rismanda, Erik. 2001. Hasil Laporan Monitoring Hutan Kota Surabaya. Program Divisi Kampanye
ECOTON.

35

Anda mungkin juga menyukai