Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

MANAJEMEN BELANJA DAERAH

Diajukan sebagai Syarat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Konsentrasi


Akuntansi Keuangan Daerah Program Studi Akuntansi
pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Banten
Dibimbing Oleh Dosen : H. Asep Saprudin, SE, MM, Ak. CA

OLEH :

Siti Samarotul Janiyyah


NPM : 15020048

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) BANTEN


2018

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa saya juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari semua pihak, baik secara
langsung maupun tidak langsung.

Dan harapan saya semoga makalah dengan judul Akuntansi Keuangan


Daerah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca pada
umumnya dan penulis pada khususnya. Untuk kedepannya dapat memperbaiki
bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu kritik maupun saran yang bersifat membangun sangat
saya harapkan demi menyempurnakan tugas makalah ini. Semoga tugas makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin .

Serang, 26 Juni 2018

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................


1

DAFTAR ISI ..............................................................................................................


2

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................


3

1.1 Latar Belakang


........................................................................................................................
3

1.2 Rumusan Masalah


........................................................................................................................
4

1.3 Maksud dan Tujuan


........................................................................................................................
4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................


5

2.1 Pengertian Belanja Daerah


........................................................................................................................
5

2.2 Kebijakan Belanja Daerah dan Manajemen Belanja Daerah


........................................................................................................................
7

2
2.3 Prinsip Manajemen Belanja Daerah
........................................................................................................................
11

BAB III PENUTUP ....................................................................................................


18

3.1 Kesimpulan
........................................................................................................................
18

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................
19

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Akuntansi keuangan daerah merupakan suatu proses


pengidentifikasian, pengukuran, pencatatan, dan pelaporan transaksi ekonomi
(keuangan) dari entitas pemerintah daerah – Pemda (kabupaten, kota, atau
provinsi) yang dijadikan sebagai informasi dalam ranka pengambilan
keputusan ekonomi yang diperlukan oleh pihak-pihak eksternal entitas
pemda.
Pihak-pihak eksternal entitas pemda yang memerlukan informasi yang
dihasilkan oleh akuntansi keuangan daerah tersebut antara lain adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); badan pengawas keuangan; investor,
kreditur, dan donatur; analisis ekonomi dan pemerhati pemda; rakyat; pemda
lain; dan pemerintah pusat yang seluruhnya berada dalam lingkungan
akuntansi keuangan daerah.
Akuntansi keuangan daerah menggunakan sistem pencatatan dan
dasar akuntansi tertentu pada era pra dan pasca reformasi. Selain itu, dasar
atau basis akuntansi merupakan salah satu asumsi dasar yang penting dalam
akuntansi. Hal ini disebabkan karena asumsi ini menentukan kapan
pencatatan suatu transaksi dilakukan, yang dikenal dalam tata buku keuangan
daerah selama era pra reformasi keuangan daerah.
Dari definisi menurut American Accounting Association yang
mendefinisikan akuntansi sebagai suatu proses pengidentifikasian,
pengukuran, pencatatan, dan pelaporan transaksi ekonomi, maka dapat
diketahui bahwa akuntansi terdiri atas beberapa tahap. Setelah tahap terakhir
selesai, maka selanjutnya akan berputar kembali ke tahap pertama, dan terus
seperti itu. dengan kata lain, akuntansi adalah suatu siklus atau urutan tahap-
tahap yang terus berulang. Tahap-tahap yang ada dalam siklus akuntansi lebih
rinci dari keempat tahap yang ada dalam definisi di atas, karena tahap-tahap

4
dalam definisi akuntansi merupakan garis besar dari tahap-tahap yang ada
dalam siklus akuntansi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Yang Dimaksud Dengan Belanja Daerah ?
2. Bagaimana Penerapan Kebijakan Belanja Daerah dan Manajemen
Belanja Daerah?
3. Apa Yang Dimaksud Dengan Prinsip Manajemen Belanja Daerah?
1.3 Maksud dan Tujuan

1. Untuk Mengetahui Apa Yang Di Maksud Dengan Belanja Daerah.


2. Untuk Mengetahui dan Memahami Bagaimana Kebijakan Belanja
Daerah Dan Manajemen Belanja Daerah
3. Untuk Mengetahui dan Memahami Prinsip Manajemen Belanja
Daerah.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Belanja Daerah


Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah pada pasal 1 (ayat 27) dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pada pasal 1 (nomor
51) menyebutkan bahwa Belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah daerah
yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004,
belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan.
Menurut Halim (2003), belanja daerah adalah pengeluaran yang
dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan
tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah diatasnya.
Menurut Sri Lesminingsih (Abdul Halim, 2001:199) bahwa
pengeluaran daerah adalah semua pengeluaran kas daerah selama periode
tahun anggaran bersangkutan yang mengurangi kekayaan pemerintah daerah.
Sedangkan menurut Abdul Halim (2002) yang mengemukakan bahwa Belanja
daerah merupakan penurunan dalam manfaat ekonomi selama periode
akuntansi dalam bentuk arus kas keluar atau deplesi asset, atau terjadinya
utang yang mengakibatkan berkurangnya ekuitas dana, selain yang berkaitan
dengan distribusi kepada para peserta ekiutas dana.
Kemudian menurut Indra Bastian dan Gatot Soepriyanto (2002) yang
mengemukakan bahwa Belanja daerah adalah penurunan manfaat ekonomis
masa depan atau jasa potensial selama periode pelaporan dalam bentuk arus
kas keluar, atau konsumsi aktiva/ ekuitas neto, selain dari yang berhubungan
dengan distribusi ke entitas ekonomi itu sendiri.
Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa belanja
daerah adalah semua pengeluaran pemerintah daerah pada satu periode

6
anggaran yang berupa arus aktiva keluar guna melaksanakan kewajiban,
wewenang, dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah pusat.

2.1.1 Elemen Pengeluaran/Belanja Daerah


Pengeluaran Daerah (Belanja Daerah) dirinci menurut organisasi,
fungsi, kelompok, dan jenis belanja.
a. Belanja Daerah menurut organisasi adalah suatu kesatuan pengguna
anggaran seperti Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan Lembaga
Teknis Daerah lainnya.
b. Fungsi Belanja misalnya pendidikan, kesehatan, dan fungsi – fungsi
lainnya.
c. Bagian Belanja misalnya Belanja Aparatur Daerah dan Belanja
Pelayanan Publik.
d. Kelompok Belanja misalnya Belanja Administrasi Umum, Belanja
Operasi dan Pemeliharaan, Belanja Modal atau pembangunan.
e. Jenis Belanja misalnya Belanja Pegawai atau Personalia, Belanja
Barang dan Jasa, Belanja Perjalanan Dinas, dan Belanja Pemeliharaan.
Berdasarkan struktur anggaran daerah tersebut, elemen – elemen yang
termasuk dalam belanja daerah terdiri dari : (1) Belanja Aparatur Daerah; (2)
Belanja Pelayanan Publik; (3) Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan;
dan (4) Belanja Tidak Tersangka.
 Belanja Aparatur Daerah
Bagian belanja yang berupa : Belanja Administrasi Umum, Belanja
Operasi dan Pemeliharaan, serta Belanja Modal atau Pembangunan
yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang
hasil, manfaat, dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh
masyarakat (publik).
 Belanja Pelayanan Publik
Bagian belanja yang berupa : Bagian belanja yang berupa : Belanja
Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan, serta
Belanja Modal atau Pembangunan yang dialokasikan atau digunakan
untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya
secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik).
 Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan
Pengeluaran uang dengan kriteria :

7
 Tidak menerima secara langsung imbal barang dan jasa seperti
yang layak terjadi dalam transaksi pembelian dan penjualan;
 Tidak mengharapkan dibayar kembali dimasa yang akan datang
seperti yang diharapkan pada suatu pinjaman;
 Tidak mengharapkan adanya hasil pendapatan seperti layaknya
yang diharapkan pada kegiatan investasi;
 Belanja Tidak Tersangka
Pengeluaran yang disediakan untuk :
 Kejadian – kejadian luar biasa seperti bencana alam, kejadian yang
membahayakan daerah;
 Utang (pinjaman) periode sebelumnya yang belum diselesaikan dan
atau yang tersedia anggarannya pada tahun yang bersangkutan;
 Pengembalian penerimaan yang bukan haknya atau penerimaan
yang dibebaskan (dibatalkan) dan atau kelebihan penerimaan.

2.2 Kebijakan Belanja Daerah dan Manajemen Belanja Daerah


Dalam kaitannya dengan belanja daerah, terdapat dua aspek yang
secara konseptual berbeda tetapi memiliki keterkaitan yang erat, yaitu
kebijakan belanja dan manajemen belanja. Kebijakan belanja terkait dengan
penentuan apa yang akan dilakukan yang berimplikasi pada kebutuhan
pengeluaran atau belanja. Sedangkan manajemen belanja terkait dengan
bagaimana melaksanakan anggaran untuk membiayai aktivitas secara
ekonomis, efisien dan efektif. Kebijakan belanja daerah ditentukan pada
tahap perencanaan anggaran, sedangkan manajemen belanja daerah dilakukan
pada tahap implementasi anggaran. Pada dasarnya manajemen belanja akan
menyesuaikan kebijakan belanja yang diambil pemda.

2.2.1 Kebijakan Belanja Daerah


Kebijakan belanja daerah biasanya dituangkan dalam dokumen
perancanaan daerah, yaitu pada Kebijakan Umum APBD, Prioritas dan
Plafon Anggaran, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dalam di dokumen
perencanaan daerah kebijakan belanja daerah merupakan salah satu aspek

8
penting yang selalu ditekankan. Berikut adalah garis besar dokumen
perencanaan daerah yang secara ekplisis di dalamnya memuat kebijakan
anggaran belanja daerah:
1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
a. Strategi Pemerintah Daerah
b. Kebijakan Umum
c. Arah Kebijakan Keuangan Daerah
d. Program SKPD, lintas SKPD, kewilayahan, lintas kewilayahan
yang memuat kegiatan dalam Kerangka regulasi dan Kerangka
Anggaran.
2. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) berisi:
a. Prioritas Pembangunan Daerah
b. Rancangan Kerangka Ekonomi Makro Daerah
c. Arah Kebijakan Keuangan Daerah
d. Program SKPD, lintas SKPD, kewilayahan dan lisntas kewilayahan
yang memuat kegiatan dalam Kerangka Regulasi dan Kerangka
Anggaran.
3. Kebijakan Umum APBD (KUA) berisi:
a. Target pencapaian kinerja yang terukur dari program-program yang
akan dilaksanakan oleh pemda untuk setiap urusan pemda
b. Proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan
penggunaan pembiayaan dengan asumsi yang mendasarinya
c. Asumsi yang mendasari kebijakan anggaran dengan
mempertimbangkan perkembangan ekonomi makro dan perubahan
pokok-pokok kebijakan fiskal yang ditetapkan pemerintah
d. Kerangka ekonomi makro dan implikasinya terhadap sumber
pendanaan, meliputi :
- Penjelasan tentang asumsi anggaran, kondisi yang telah terjadi
dan diperkirakan akan terjadi yang menjadi dasar penyusunan
KUA. Contoh asumsi dan kondisi makro: laju inflasi,
pertumbuhan ekonomi regional, tingkat penganggaran regional,

9
dan asumsi lainnya yang relevan dengan kondisi daerah
setempat;
- Dalam rangka implementasi asumsi dan kondisi yang menjadi
dasar pencapaian sasaran KUA harus mampu menjelaskan
kebijakan penganggaran sesuai kebijakan pemerintah. Kondisi
yang bebeda akan menghasilkan target/sasaran yang berbeda;
- Juga diuraikan tentang perkiraan penerimaan untuk menandai
seluruh pengeluaran pada tahun yang akan dating, baik dari
Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil,
Dana Alokasi Khusus , maupun dari pinjaman atau hibah.
4. Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) berisi:
a. Ringkasan kebijakan umum APBD;
b. Proyeksi Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan Daerah. Proyeksi
anggaran ini memuat penjelasan yang ditempuh dalam upaya
peningkatan pendapatan daerah, faktor-faktor yang mempengaruhi
tidak terjadinya atau terjadinya peningkatan belanja daerah dan
kebijakan pemerintah daerah di bidang pembiayaan daerah
c. Prioritas Program dan Plafon Anggaran
d. Plafon Anggaran Menurut Organisasi.

5. Arah kebijakan anggaran banyak dipengaruhi kebijakan ekonomi yang


diambil pemerintah daerah. Pada prinsipnya kunci kebijakan ekonomi
secara klasik bertujuan pada tiga hal, yaitu:
a. Pertumbuhan ekonomi
b. Pemerataan ekonomi
c. Stabilitas ekonomi.
Ketiga hal tersebut dalam kenyataannya sulit terjadi dalam waktu
bersamaan. Oleh karena itu diperlukan prioritas kebijakan ekonomi yang
tentunya setiap pilihan kebijakan ekonomi tersebut akan berpengaruh secara
langsung terhadap kebijakan anggaran.

10
2.2.2 Manajemen Biaya Strategik untuk mengendalikan Pengeluaran
Daerah
Penggunaan anggaran daerah yang berorientasi pada kinerja
memberikan implikasi bagi pemerintah daerah untuk melakukan efisiensi
dalam pengeluaran daerah. Untuk itu Pemerintah Daerah dituntut menerapkan
manajemen Biaya Strategik dengan memfokuskan pengurangan biaya secara
signifikan. Pengurangan Biaya Pelayanan Publik merupakan hasil dari
perbaikan kinerja Pemerintah Daerah. Kegagalan Pemeritah Daerah dalam
program efisiensi pengeluaran daerah di masa lalu disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain :
a. Pengeluaran belum berorientasi pada kinerja dan kepentingan publik
b. Pengeluran daerah yang dilakukan berorientasi jangka pendek
c. Pemerintah Daerah bersifat reaktif, tidak proaktif untuk
mengeliminasi sumber pemborosan keuangan daerah
d. Tidak adanya pengetahuan yang memadai mengenai sifat biaya
Pendekatan strategik dalam pengurusan biaya (manajemen biaya
strategik) memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Berjangka Panjang. Manajemen biaya strategik merupakan usaha
jangka panjang yang berbentuk kultur organisasi agar penurunan biaya
menjadi budaya yang mampu bertahan lama.
2. Berdasarkan kultur perbaikan berkelajutan (continuous improvement)
dan berfokus pada pelayanan masyarakat. Manajemen biaya strategik
harus dilandasi oleh semangat untuk melakukan perbaikan secara
berkelanjutan atas kinerja pemerintah daerah dalam melakukan
pelayanan publik.
3. Pemerintah Daerah harus bersifat proaktif
4. Keseriusan manajemen puncak (kepala daerah) merupakan penentu
efektifitas program pengurangan biaya karena pada dasarnya
manajemen biaya strategik merupakan tone from the top.

2.3 Prinsip Manajemen Belanja Daerah


Terdapat beberapa prinsip manajemen belanja daerah yang perlu
diperhatikan, yaitu:
1. Perencanaan belanja
2. Pengendalian belanja
3. Akuntabilitas belanja

11
4. Auditabilitas belanja

2.3.1 Perencanaan Belanja Daerah


Belanja daerah yang tercermin dalam APBD harus terencana dengan
baik. Perencanaan belanja yang baik ditandai dengan:
a. adanya koherensi antara perencanaanaan belanja dalam APBD dengan
dokumen perencanaan daerah
b. adanya standar satuan harga (SSH) yang merupakan standar biaya per
unit.
c. Perlunya Standar Analisa Belanja (SAB)
Sebagai dasar penentuan alokasi dana untuk tiap Kegiatan Pemerintah
Daerah yaitu perkiraan jumlah pengeluaran (alokasi dana) untuk setiap
unit kerja Pemerintah Daerah, dengan SAB dimungkinkan munculnya
idetifikasi kebutuhan dana yang lebih akurat, baik untuk kegiatan rutin
maupun pembangunan.
d. rendahnya tingkat senjangan belanja (budgetary slack).
Pengeluaran daerah yang direncanakan harus memiliki keterkaitan
logis dengan dokumen perencanaan yang dituangkan dalam Renja
SKPD. Renja Pemda. RPJMD dan RPJPD. Azas penting dalam
manajemen belanja daerah adalah dipenuhinya konsep value for
money yaitu pengeluaran belanja harus 3E yaitu ekonomis, efisien dan
efektif. Untuk menjamin dilakukannya anggaran belanja yang
memenuhi unsur 3E, pada tahap belanja perlu ditetapkan standar
satuan harga (SSH), sebagai standar biaya per unit input yang wajib
digunakan sebagai dasar penganggaran oleh satker.penetapan standar
satuan harga ini penting untuk menghindari terjadinya mark up
anggaran. Selain standar satuan harga, juga perlu dimiliki analisis
standar belanja. Analisis standar belanja lebih tepat digunakan untuk
menilai kewajaran belanja khususnya belanja nonmodal, sedangkan
untuk katagori belanja modal diperlukan Harga Perkiraan Sendiri
(HPS) untuk menemukan kewajarannya.

3.1.2.1 Anggaran Kinerja dan Standar Analisa Belanja (SAB)

12
Anggaran dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran
yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil kerja atau output dari
perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan.
Dengan demikian, anggaran yang disusun memuat keterangan antara
lain:
1. Sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja;
2. Standar pelayanan yang diharapkann dan perkiraan biaya satuan
komponen kegiatan yang bersangkutan;
3. Presentase dari jumlah pendapatan APBD yang membiayai belanja
administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja
modal/pembangunan.

3.1.2.2 Standar Analisa Belanja (SAB)


Analisis Standar Belanja (ASB) merupakan salah satu komponen yang
harus dikembangkan sebagai dasar pengukuran kinerja keuangan dalam
penyusunan APBD dengan pendekatan kinerja. ASB adalah instrumen untuk
mengukur kewajaran antara beban kerja dan belanja dan sebuah aktifitas atau
kegiatan. ASB memberikan kepastian terjaganya hubungan antara input
(dana) dan output (target kinerja).

3.1.2.3 Tujuan SAB


Tujuan penusunan SAB yang dilakukan pada saat perencanaan
anggaran daerah, antara lain untuk:
1. Meningkatkan kemampuan unit kerja dalam menyusun anggaran
berdasarkan skala prioritas anggaran daerah, tugas pokok dan fungsi,
tujuan, sasaran, serta indikator kinerja pada setiap program dan
kegiatan yang direncanakan;
2. Mencegah terjadinya duplikasi dan atau tumpang tindih kegiatan dan
anggaran belanjanya pada masing masing dan antar unit kerja;
3. Menjamin kesesuain antara kegiatan dan anggaran dengan arah,
kebijakan, strategi, dan prioritas penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan publik, mengurangi tumpang tindih belanja dalam kegiatan
investasi dan noninvestasi;dan

13
4. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan keuangan
daerah.

3.1.2.4 Manfaat SAB


Manfaat diterapkannya SAB antara lain:
1. Pemerintah daerah dapat menentukan kewajaran biaya untuk
melaksanakan suatu kegiatan sesuai dengan tupoksinya.
2. Pemerintah daerah dapat meminimaisir terjadinya pengeluaran yang
kurang jelas yang menyebabkan inefisiensi anggaran.
3. Menghindari tumpang tindih (overlapping) antara pengeluaran rutin
dan pembangunan.
4. Penentuan anggaran berdasarkan pada tolak ukur kinerja yang jelas.
5. Unit kerja mendapat keleluasaan yang lebih besar untuk menentukan
anggarannya sendiri.

3.1.2.5 Persyaratan dan Asumsi Penggunaan SAB


Persyaratan dan asumsi agar SAB dapatdisusun adalah:
1. Peranan DPRD dalam penyusunan anggaran policy yaitu:
 Arah dan kebijakan umum APBD, stategi dan prioritas
 Reformasi kelembagaan
 Penentuan target kinerja keseluruhan pemerintah daerah
2. Desentralisasi penyusunan anggaran diunit kerja (unit umum
pemerintahan dan unit pelayanan publik)
 Penentuan target kinerja untuk masing-masing unit kerja
 Penentuan belanja untuk setiap unit kerja

3.1.2.6 Model SAB


Model yang perlu dikembangkan dalam perumusan SAB adalah:
1. Model mekanisme perencanaan anggaran daerah yang berorientasi
pada kepentingan publik. (model penyusunan arah dan kebijakan
umum APBD serta strategi dan prioritas APBD).
2. Model Standar Analisa Belanja Non-Investasi dan Investasi (modal)
Dalam rangka perhitungan SAB, anggaran belanja unit kerja
dikelompokkan menjadi Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung.
 Belanja Langsung
Belanja yang dipengaruhi secara langsung oleh adanya program atau
kegiatan yang direncanakan. Jenis Belanja Langsung dapat berupa
belanja pegawai/personalia, belanja barang/jasa, belanja pemeliharaan
dan belanja perjalanan dinas.

14
Keberadaan anggaran Belanja Langsung merupakan konsekuensi
adanya program atau kegiatan. Karakteristik Belanja Langsung adalah
input (alokasi belanja) yang ditetapkan dapat diukur dan
dipertimbangkan dengan output yang dihasilkan.
Variabilitas jumlah komponen Belanja Langsung sebagian besar
dipengaruhi oleh target kinerja (tingkat pencapaian program atau
kegiatan) yang diharapkan.
 Belanja Tidak Langsung
Belanja yang tidak dipengaruhi secara langsung oleh adanya program
atau kegiatan. Jenis Belanja Tidak Langsung dapat berupa belanja
pegawai/personalia, belanja barang/jasa, belanja pemeliharaan dan
belanja perjalanan dinas.
Keberadaan anggaran Belanja Tidak Langsung bukan merupakan
konsekuensi ada atau tidaknya suatu program atau kegiatan. Belanja
Tidak Langsung digunakan secara periodik (umumnya bulanan) dalam
rangka koordinasi penyelenggaraan kewenangan Pemerintah Daerah
yang bersifat umum.

2.3.2 Pengendalian Belanja Daerah


Sistem anggaran harus menjamin dilakukannya pengendalian belanja
secara memadai. Untuk itu, pada setiap tahap dalam siklus pengeluaran harus
dikendalikan dan dimonitor dengan baik. Setiap pengeluaran harus dapat
dilacak prosesnya mulai dari adanya kelengkapan dokumen anggaran,
otorisasi dari pejabat berwenang, dan adanya bukti transaksi yang valid.
Anggaran belanja seharusnya dilaksanakan tepat waktu.

2.3.3 Akuntabilitas Belanja Daerah


Belanja daerah harus memenuhi prinsip akuntabilitas publik, yaitu
setiap belanja harus dapat dipertanggungjawabkan dan dilaporkan kepada
publik baik langsung maupun melalui DPRD. (Dr. Tona Aurora Lubis, Modul
Manajemen Keuangan Publik, 2014)
Menurut Ellwood (1993) dalam Putra (2013) terdapat empat dimensi
akuntabilitas publik yang harus dipenuhi organisasi sektor publik, yaitu:
1. Akuntabilitas Kejujuran dan Akuntabilitas Hukum. Akuntabilitas
kejujuran (accountability for probity) terkait dengan penghindaran

15
penyalahgunaan jabatan (abuse of power), sedangkan akuntabilitas
hukum (legal accountability) terkait dengan jaminan adanya
kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam
penggunaan sumber dana publik.
2. Akuntabilitas Proses. Akuntabilitas proses terkait dengan apakah
prosedur yang digunakan dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik
dalam hal kecukupan sistem informasi akuntansi, sistem informasi
manajemen, dan prosedur administrasi. Akuntabilitas proses
termanifestasikan melalui pemberian pelayanan publik yang cepat,
responsif, dan murah biaya. Pengawasan dan pemeriksaan terhadap
pelaksanaan akuntabilitas proses dapat dilakukan, misalnya dengan
memeriksa ada tidaknya mark up dan pungutan-pungutan lain di luar
yang ditetapkan, serta sumber-sumber inefisiensi dan pemborosan
yang menyebabkan mahalnya biaya pelayanan publik dan kelambanan
dalam pelayanan.
3. Akuntabilitas Program. Akuntabilitas program terkait dengan
pertimbangan apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak,
dan apakah telah mempertimbangkan alternatif program yang
memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal.
4. Akuntabilitas Kebijakan. Akuntabilitas kebijakan terkait dengan
pertanggungjawaban pemerintah, baik pusat maupun daerah, atas
kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah terhadap DPR/DPRD
dan masyarakat luas

Mardiasmo (2002:12) menambahkan dimensi akuntabilitas financial,


yaitu dimensi yang mengharuskan lembaga-lembaga publik untuk membuat
laporan keuangan untuk menggambarkan kinerja finansial organisasi kepada
pihak luar.

2.3.4 Auditabilitas Belanja Daerah


Menurut Dr. Tona Aurora Lubis dalam Modul Manajemen Keuangan
Publik (2014) menerangkan:

16
Auditabilitas belanja daerah mengandung arti bahwa setiap
pengeluaran belanja yang mengakibatkan beban APBD harus dapat
diverifikasi atau diaudit. Verifikasi atau audit belanja daerah mencakup:
 Kelengkapan dokumen anggaran, seperti Dokumen Pelaksanaan
Anggaran (DPA), Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD), Surat
Penyedian Dana (SPD), Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Surat
Perintah Membayar (SPM), Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) dan
dokumen pendukung lainnya yang diperlukan.
 Adanya dokumen transaksi yang valid
 Dilakukannya pencatatan yang memadai
 Dapat diuji silang antara catatan dengan keberadaan.

Aspek audit belanja daerah antara lain untuk memeriksa:


 Ada/tidak ada mark up dalam pengadaan barang/jasa
 Ada/tidak ada bukti belanja yang tidak sah (fiktif)
 Ada/tidak ada penitipan anggaran ke satuan kerja lain
 Ada/tidak ada kesalahan pembebanan belanja ke rekening yang tidak
sesuai
 Ada/tidak ada ketidakwajaran dalam belanja modal, belanja pegawai,
belanja barang dan jasa
 Ada/tidak ada ketidakwajaran dalam proses pengadaan barang/jasa.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Manajemen belanja daerah harus menjadi fokus pemerintah daerah


agar optimalisasi manajemen keuangan daerah dapat tercapai.
2. Terdapat dua aspek penting terkait dengan belanja daerah,yaitu
kebijakan belanja dan manajemen belanja. Kebijakan belanja dan
manajemen belanja merupakan dua hal yang saling terkait sehingga
perlu harmonisasi dan sinkronisasi.
3. Kebijakan belanja daerah perlu secara eksplisit dituangkan dalam
dokumen perencanaan daerah, yaitu pada Kebijakan Umum APBD,
Prioritas dan Plafon Anggaran, Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD), dan rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD).
4. Manajemen belanja daerah memiliki tiga tujuan pokok yang hendak
dicapai, yaitu menjamin dilakukannya disiplin fiskal melalui
pengendalian belanja, dilakukannya alokasi anggaran sesuai dengan
kebijakan dan prioritas anggaran, dan menjamin efisiensi dan
efektivitas alokasi anggaran.
5. Manajemen belanja daerah harus mencakup empat aspek, yaitu
adanya perencanaan belanja yang baik, dilakukannya pengendalian
belanja secara memadai, adanya akuntabilitas belanja,dan
dilakukannya audit atas belanja daerah.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Mardiasmo (2002), Otonomi Dan Manajemen Keuangan Daerah,


Yogyakarta;Andi.
2. Dr. Tona Aurora Lubis, SE., M.M, Modul Manajemen Keuangan
Publik, 2014
3. http://zoel66.blogspot.co.id/2012/10/modul-manajemen-keuangan-
daerah.html (diakses tanggal 23 Mei, pukul 13.00 WIB)
4. https://id.scribd.com/document/362376112/MAKALAH-BELANJA-
DAERAH (diakses tanggal 24 Mei, Pukul 11.00 WIB)
5. http://jelitapunya.blogspot.com/2015/01/analisis-standar-belanja.html
(diakses tanggal 31 Mei, Pukul 22.00 WIB)
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
7. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan
8. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

19

Anda mungkin juga menyukai