Anda di halaman 1dari 47

Abstrak

Gangguan Panik (Panic Disorder) adalah perasaan cemas mendadak dan

terus menerus disertai perasaan-perasaan akan datangnya bahaya atau bencana,

ditandai dengan ketakutan yang hebat secara tiba-tiba. Gangguan panik cenderung

diturunkan dengan onset biasanya di bawah usia 25 tahun, mempengaruhi 3-5%

populasi, dan rasio wanita dibandingkan laki-laki sebesar 2:1. Serangan panik

ditandai dengan gejala ansietas yang berat seperti: berdebar-debar, nyeri dada,

sesak napas, tremor, pusing, merasa dingin atau panas, gejala mencapai

puncaknya dalam 10 menit. Karena adanya keluhan fisik berat pada waktu

serangan, pasien menjadi ketakutan mereka akan mendapat serangan jantung,

stroke dan lain-lain. Kadang pasien berfikir mereka akan kehilangan kontrol atau

menjadi gila. Gangguan Panik bisa disebabkan faktor biologik, genetik atau

psikososial. Golongan benzodiazepine digunakan secara luas untuk penanganan

keadaan cemas akut dan untuk kontrol cepat gangguan panik. Beberapa obat

golongan benzodiazepin yang sering digunakan dalam pengobatan keluhan cemas

adalah alprazolam, clonazepam, lorazepam, dan diazepam. Alprazolam dan

clonazepam telah lama dipakai sebagai obat untuk gangguan panik karena efektif

dan cepat mengatasi gejala serangan panik.

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan ansietas adalah keadaan tegang yang berlebihan atau

tidak pada tempatnya yang ditandai oleh rasa tidak nyaman pada tubuh,

rasa takut akan ancaman atau kematian yang akan terjadi. Gangguan

ansietas dibagi dalam enam kategori utama yaitu: fobia, gangguan panik,

gangguan ansietas menyeluruh, gangguan obsesif kompulsif, gangguan

stres pascatrauma, dan gangguan stres akut (Katona, Cooper, Robertson,

2012).

Generalized Anxiety Disorder (GAD) merupakan keadaan psikiatri

yang paling sering ditemukan di Amerika Serikat, dan di seluruh dunia

(Kaplan & Sadock, 2015). Di antara beberapa gangguan cemas yang

dikenal, gangguan panik merupakan gangguan yang lebih sering dijumpai

akhir-akhir ini. Dari penelitian diketahui bahwa di negara-negara Barat,

gangguan panik dialami oleh lebih kurang 1.7% dari populasi orang

dewasa. Angka kejadian sepanjang hidup gangguan panik dilaporkan 1.5%

sampai 5%, sedangkan serangan panik sebanyak 3% sampai 5.6%. Di

Indonesia belum dilakukan studi epidemiologi yang dapat

menggambarkan berapa jumlah individu yang mengalami gangguan panik,

namun para profesional merasakan adanya peningkatan jumlah kasus

(Elvira, 2014).

Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (2013) di Indonesia

prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukan dengan gejala-

2
gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke

atas atau sekitar 14 juta orang. Prevalensi sepanjang hidup gangguan panik

dilaporkan 1.5% sampai 5%, sedangkan serangan panik sebanyak 3%

sampai 5.6%. Suatu penelitian di Texas terhadap lebih dari 1600 sampel

yang diseleksi secara acak, didapatkan prevalensi sepanjang hidup 3.8%

untuk gangguan panik, 5.6% untuk serangan panik, serta 2.2% mengalami

serangan panik dengan gejala yang terbatas dan tidak memenuhi kriteria

diagnostik. Gangguan panik pada perempuan 2/3 dari laki-laki. Pada

umumnya terjadi pada usia berapapun, termasuk anak-anak dan remaja.

91% pasien dengan gangguan panik dan 84% yang dengan agorafobia

mengalami setidaknya satu gangguan psikiatrik lainnya. Gangguan cemas

panik ini juga merupakan salah satu kedaruratan psikiatrik yang perlu

dipahami terkait dengan pengelolaan manajemen kegawatdaruratan panik

(Elvira, 2014).

Gangguan panik merupakan serangan panik yang tidak diharapkan

yang diikuti oleh ketakutan yang menetap tentang kemungkinan

berulangnya serangan. Gangguan panik cenderung diturunkan dengan

onset biasanya di bawah usia 25 tahun, mempengaruhi 3-5% populasi.

Serangan panik ditandai dengan gejala ansietas yang berat seperti

berdebar-debar, nyeri dada, sesak napas, tremor, pusing, merasa dingin

atau panas, gejala mencapai puncaknya dalam 10 menit (Wiley, 2014).

Kadang-kadang sulit membedakan gangguan panik dengan

agorafobia, sejumlah pasien yang mengalami satu serangan panik di dalam

lingkungan tertentu misalnya di dalam lift menyebabkan pasien

3
menghindari tempat-tempat tersebut. Contoh lainnya takut berbicara

didepan umum karena takut serangan panik tiba-tiba muncul yang

membuat pasien berfikir mereka akan mendapatkan serangan jantung,

stroke dan kehilangan kontrol atau menjadi gila. Sehingga menyebabkan

keluarga dan teman-temannya khawatir akan perubahan perilaku pasien

yang tidak dapat dijelaskan (Kaplan & Sadock, 2015).

Gangguan panik merupakan standar kompetensi 3A yang bukan

gawat darurat, sehingga lulusan dokter harus mampu membuat diagnosis

klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan

gawat darurat untuk menentukan rujukan yang paling tepat bagi

penanganan pasien selanjutnya dan mampu menindaklanjuti sesudah

kembali dari rujukan (SKDI, 2012)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan penjelasan pada latar belakang di atas, maka

dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah itu gangguan panik?

2. Bagaimanakah penatalaksanaan kegawatdaruratan pasien dengan

gangguan panik?

3. Bagaimanakah edukasi pada pasien dengan gangguan panik?

4. Bagaimanakah prognosis pasien dengan gangguan panik?

1.3 Tujuan Penulisan

Mengkaji secara literatur tentang gangguan panik terhadap kehidupan

sehari-hari, mengetahui dan memahami penanganan pada pasien dengan

serangan gangguan panik serta upaya pencegahannya.

4
1.4 Manfaat Penulisan

1. Manfaat teoritis

Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah informasi

atau referensi bagi pendidikan di bidang psikiatri khususnya tentang

gangguan panik.

2. Manfaat praktis

1. Bagi penulis

Mampu mengaplikasikan ilmu yang telah didapat untuk

memberikan penatalaksanaan yang tepat dan cepat oleh penderita

gangguan panik dan memenuhi salah satu persyaratan kelulusan

untuk sarjana Kedokteran

2. Bagi institusi

Diharapkan dapat dijadikan tinjauan kepustakaan guna

pembelajaran yang efektif bagi Fakultas Kedokteran Universitas

Cenderawasih atau institusi terkait lainnya.

3. Bagi mahasiswa

Diharapkan dapat menjadi sarana untuk menambah ilmu

pengetahuan dan sebagai informasi bagi mahasiwa.

5
BAB II

ISI

2.1 Definisi

Menurut (DSM IV) Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorder, gangguan panik adalah gangguan yang sekurang-kurangnya

terdapat 3 serangan panik dalam waktu 3 minggu dan tidak dalam kondisi

stres berat atau dalam situasi yang mengancam kehidupan. Serangan panik

juga terjadi dalam konteks banyak kondisi kejiwaan, terutama gangguan

kecemasan. Misalnya, respon rasa takut akut bahwa individu dengan

pengalaman fobia spesifik dengan adanya objek atau situasi ditakuti

(misalnya, tanggapan spider phobics untuk laba-laba) kadang-kadang

memenuhi kriteria untuk serangan panik. Ketika serangan panik dipicu

oleh paparan atau antisipasi pada suatu objek atau situasi yang ditakuti, itu

dianggap sebagai serangan panik yang diharapkan. Serangan panik yang

diharapkan adalah yang paling umum di antara individu dengan gangguan

kecemasan lainnya, termasuk gangguan kecemasan sosial dan fobia

spesifik (Wiley, 2014).

Selain serangan panik yang diharapkan, ada juga serangan panik

yang tidak diharapkan atau diduga, serangan panik ini tidak terkait dengan

objek atau situasi tertentu. Siapapun, termasuk individu yang tidak di

diagnosis, dapat mengalami serangan panik yang diharapkan atau tidak

terduga. Serangan panik diharapkan tidak jarang di antara individu dengan

gangguan kecemasan sosial atau fobia spesifik, tetapi mereka juga terjadi

pada sejumlah besar pasien dengan gangguan panik (Wiley, 2014).

6
Gangguan panik bersifat rekuren (kambuh) dan akan

mengakibatkan terjadinya serangan panik yang tidak diduga-duga dan

mencapai puncaknya kurang dari 10 menit. Gangguan panik memiliki dua

kriteria diagnostik yaitu gangguan panik tanpa agorafobia dan gangguan

panik dengan agorafobia (Kaplan & Sadock, 2015).

2.2 Epidemiologi

Studi epidemiologis melaporkan angka prevalensi seumur hidup

1,5 sampai 5 persen untuk gangguan panik dan 3 hingga 5,6 persen untuk

serangan panik. Perempuan lebih mudah terkena dua hingga tiga kali

daripada laki-laki. Sebagai contoh, adalah mungkin bahwa perempuan

mudah melaporkan rasa takut, atau ada kemungkinan bahwa laki-laki lebih

mungkin dibandingkan perempuan untuk terlibat dalam pengobatan

sendiri untuk kegelisahan yang dialami mereka. Rata-rata usia onset untuk

gangguan panik adalah 26 tahun (kisaran 19-32 tahun). Gangguan panik

biasanya pertama kali muncul saat dewasa, meskipun juga muncul pada

anak-anak praremaja dan orang dewasa yang lebih tua (Wiley, 2014).

Prevalensi pada pasien dengan agorafobia dilaporkan berkisar

antara 0,6 persen sampai 6 persen. Sembilan puluh satu persen pasien

dengan gangguan panik dan 84 persen pasien dengan agorafobia memiliki

sedikitnya satu gangguan psikiatri lain. Menurut edisi revisi keempat

DSM-IV-TR, 10 hingga 15 persen orang dengan gangguan panik juga

memiliki gangguan depresi berat. Sekitar sepertiga orang dengan kedua

gangguan penyerta memiliki gangguan depresi berat sebelum awitan

gangguan panik; sekitar dua pertiga pertama kali mengalami gangguan

7
panik selama atau setelah awitan depresi berat. Lima belas hingga 30

persen orang dengan gangguan panik juga memiliki fobia sosial, 15

sampai 30 persen memiliki gangguan ansietas menyeluruh, dan 30 persen

memiliki gangguan obsesif kompulsif. Keadaan kepribadian, dan

gangguan terkait zat (Kaplan & Sadock, 2015).

2.3 Etiologi

Terdiri atas faktor biologis, faktor genetik, dan faktor psikososial.

1. Faktor biologik: Beberapa penelitian menemukan bahwa gangguan

panik berhubungan dengan abnormalitas struktur dan fungsi otak. Dari

penelitian juga diperoleh data bahwa pada otak pasien dengan gangguan

panik mengalami gangguan fungsi, yaitu serotonin (GABA) Gama

Amino Butiric Acid dan norepinefrin. Hal ini didukung oleh fakta

bahwa Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) efektif pada terapi

pasien-pasien dengan gangguan cemas, termasuk gangguan panik

(Elvira, 2014).

Berdasarkan hipotesis patofisiologi, terjadi disregulasi baik pada

sistem perifer maupun sistem saraf pusat. Pada beberapa kasus

ditemukan peningkatan tonus simpatetik dalam sistem otonomik.

Penelitian pada status neuroendokrin juga menemukan beberapa

abnormalitas, namun hasilnya belum konsisten. Serangan panik

merupakan respons terhadap rasa takut yang terkondisi yang

ditampilkan oleh fear network yang terlalu sensitif, yaitu amigdala,

korteks prefrontal dan hipokampus, yang berperan terhadap timbulnya

panik. Dalam model ini, seseorang dengan gangguan panik menjadi

8
takut akan terjadinya serangan panik. Zat panikogen juga berhubungan

dengan serangan panik yang digunakan terbatas pada penelitian, serta

perubahan pada tampilan pencitraan dengan (MRI) Magnetic

Resonance Imagine (Elvira, 2014).

2. Faktor genetik: Walaupun studi yang terkontrol baik mengenai dasar

genetik gangguan panik dan agorafobia jumlahnya sedikit, data saat ini

mendukung kesimpulan bahwa gangguan ini memiliki komponen

genetik yang khas. Sejumlah data menunjukkan bahwa gangguan panik

dengan agorafobia adalah bentuk parah gangguan panik sehingga lebih

mungkin diturunkan. Berbagai studi menemukan pada keturunan

pertama penderita gangguan panik dengan agorafobia mempunyai

risiko 4 sampai 8 kali mendapatkan serangan yang sama. Studi kembar

yang telah dilakukan hingga saat ini umumnya melaporkan bahwa

kedua kembar monozigot lebih mudah terkena bersamaan daripada

kembar dizigot. Saat ini, tidak ada data yang menunjukkan hubungan

antara lokasi kromosom spesifik atau cara transmisi dan gangguan ini

(Kaplan & Sadock, 2015).

3. Faktor psikososial terdiri dari :

a. Teori Kognitif Perilaku: Teori perilaku menyatakan bahwa cemas

adalah respons yang dipelajari baik dari menirukan perilaku orang

tua maupun melalui proses pembelajaran klasik. Di dalam metode

pembelajaran klasik pada gangguan panik dengan agorafobia,

adanya stimulus berbahaya seperti serangan panik yang timbul saat

naik bus dapat mengakibatkan seorang menghindari tempat tersebut

9
untuk melindungi dirinya dari bahaya yang akan datang. Teori

perilaku lain menyatakan hubungan antara sensasi gejala somatik

ringan seperti palpitasi dan timbulnya serangan panik. Walaupun

teori perilaku kognitif dapat membantu menerangkan timbulnya

agorafobia atau peningkatan keparahan serangan panik, teori ini

tidak menerangkan timbulnya serangan panik pertama yang dialami

pasien (Kaplan & Sadock, 2015).

b. Teori Psikoanalitik: Teori psikoanalitik mengkonsepkan serangan

panik sebagai serangan yang timbul dari pertahanan yang tidak

berhasil terhadap impuls yang mendatangkan kecemasan. Hal yang

sebelumnya merupakan sinyal cemas ringan menjadi perasaan

antisipasi cemas yang berlebihan, lengkap dengan gejala somatik

(Kaplan & Sadock, 2015).

Untuk menjelaskan agorafobia, teori psikoanalitik menjelaskan

kecemasan pada saat seorang merasa kehilangan orang tua di masa

kanak dan riwayat perpisahan, berada sendirian di tempat umum

mengingatkan kembali cemas saat diabaikan di masa kanak.

Mekanisme pertahanan diri yang digunakan yaitu represi (meredam

keinginan, hasrat dan perasaan yang ada dalam pikiran),

displacement (pemindahan pikiran), penghindaran, dan simbolisasi

(pertahanan ego yang digunakan pada benda atau tingkah laku

sebagai simbol pengganti keadaan atau hal yang sebenarnya.

Misalnya, seorang anak selalu mencuci tangan untuk menghilangkan

kecemasannya). Perpisahan traumatik pada masa kanak dapat

10
mempengaruhi sistem saraf anak yang sedang berkembang

sedemikian rupa sehingga mereka menjadi rentan terhadap cemas di

masa dewasa (Kaplan & Sadock, 2015).

Banyak pasien menggambarkan serangan panik seperti timbul

tiba-tiba, dengan tidak adanya faktor psikologis yang terlibat, tetapi

eksplorasi psikodinamik sering mengungkapkan penginduksi

serangan panik yang jelas. Walaupun serangan panik secara

neurologis berhubungan dengan locus ceruleus, awitan serangan

panik umumnya terkait dengan faktor lingkungan atau psikologis.

Pasien dengan gangguan panik memiliki insiden yang lebih tinggi

mengalami peristiwa hidup yang penuh tekanan khususnya

kehilangan (Kaplan & Sadock, 2015).

Hipotesis bahwa peristiwa psikologis yang penuh tekanan

menimbulkan perubahan neurofisiologis pada gangguan panik

didukung oleh penelitian pada kembar perempuan. Penelitian

tersebut menemukan bahwa gangguan panik sangat berhubungan

dengan perpisahan orang tua dan kematian orang tua sebelum anak

berusia 17 tahun. Perpisahan dari ibu di masa kehidupan awal

dengan jelas lebih menimbulkan gangguan panik daripada

perpisahan ayah. Faktor etiologis lain pada seorang perempuan

tampaknya adalah penyiksaan fisik dan seksual di masa kanak-

kanak. Sekitar 60 persen perempuan dengan gangguan panik

memiliki riwayat penyiksaan seksual masa kanak-kanak

dibandingkan 31 persen perempuan dengan gangguan cemas lain.

11
Dukungan lebih lanjut untuk mekanisme psikologis gangguan panik

dapat diduga dari suatu studi gangguan panik pada pasien yang

terapinya berhasil dengan terapi kognitif (Kaplan & Sadock, 2015).

2.4 Penegakan Diagnosis

2.4.1 Anamnesis,

Diagnosis dari gangguan panik didasarkan pada gejala dan

tanda klinis yaitu adanya episode kecemasan yang berlebihan,

durasinya pendek, berulang, dan tidak dapat diprediksi (Fahrul,

2012).

Pasien biasanya datang dengan keluhan jantung berdebar, atau

detak jantung cepat, palpitasi, berkeringat, gemetar, rasa sesak

napas atau menyesakkan, merasa tersedak, nyeri dada atau

ketidaknyamanan, mual atau distress abdominal, merasa pusing,

goyah, atau pingsan, derealization atau depersonalisasi (terus-

menerus atau berulang kali memiliki perasaan bahwa hal-hal di

sekitarnya adalah tidak nyata, takut kehilangan kontrol atau gila,

takut mati, mati rasa atau kesemutan, menggigil atau hot flashes

(Memon, 2015)

Gejala mental yang dirasakan adalah rasa takut yang hebat dan

ancaman kematian atau bencana. Pasien bisa merasa bingung dan

sulit berkonsentrasi. Tanda fisik yang menyertai adalah takikardi,

palpitasi, dispne dan berkeringat (Elvira, 2014).

12
2.4.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik antara lain keluhan hipertensi, kecepatan

denyut jantung yang tidak normal (tachycardia), pernapasan yang

sangat cepat (tachypnea), tremor ringan, kulit lembab dan dingin,

tekanan darah dan suhu masih dalam kisaran normal, dan beberapa

tanda somatik yang dapat muncul antara lain: (Memon, 2015).

1. Kognitif: berpikir lambat, gagap atau kesulitan berbicara, sulit

konsentrasi, bingung, sulit mengingat.

2. Psikologikal: rasa takut yang hebat, derealization atau

depersonalisasi (terus-menerus atau berulang kali memiliki

perasaan bahwa hal-hal di sekitarnya adalah tidak nyata,

kehilangan kontrol atau gila.

3. Gejala gastrointestinal: mulut kering, merasa tersedak, mual

atau distress abdominal, nyeri dada

4. Kardiovaskular: takikardi, palpitasi, nyeri dada

5. Respiratori: dispne, dapat terjadi hiperventilasi.

6. Neurological: merasa pusing, goyah, atau pingsan, gemetar,

vertigo.

7. Genitourinari: hilangnya kendali kandung kemih.

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada prosedur invasif yang diperlukan untuk

mendiagnosis gangguan panik, meskipun mereka mungkin berguna

dalam menghilangkan kondisi lain dalam diagnosis

diferensial. Kegunaan elektrokardiografi (EKG) untuk menilai

13
tanda-tanda preexcitation ventrikel (gambaran PR memendek dan

munculnya gelombang delta), pemeriksaan tersebut dapat juga

dilakukan untuk interval QT pendek atau panjang pada pasien

dengan palpitasi. Hal ini juga berguna untuk menilai adanya

iskemia, infark, atau pola perikarditis pada pasien dengan keluhan

nyeri dada. Pemantauan rawat jalan Holter atau perekam

transtelephonic jarang diperlukan tapi harus dipertimbangkan pada

pasien dengan keluhan palpitasi yang berhubungan dengan sinkop.

Pasien yang mungkin berisiko emboli paru memerlukan

pemeriksaan penunjang yang tepat (misalnya, penentuan level D-

dimer, CT scan spiral, scanning ventilasi-perfusi (V/Q),

ultrasonografi doppler, atau angiografi paru (Memon, 2015).

Pemeriksaan laboratorium yang dapat menyingkirkan

kemungkinan gangguan medis selain gangguan panik adalah

sebagai berikut:

1. Elektrolit serum untuk mengecualikan hipokalemia dan

asidosis.

2. Glukosa serum untuk mengecualikan hipoglikemia.

3. Enzim jantung pada pasien yang diduga sindrom koroner akut.

4. Hemoglobin serum pada pasien dengan keadaan mendekati

sinkop.

5. Thyroid-stimulating hormone (TSH) pada pasien yang diduga

hipertiroidisme.

14
6. Penapisan toksikologi urin untuk amfetamin, ganja, kokain,

dan phencyclidine pada pasien yang diduga mengalami

keracunan.

7. Uji D-dimer untuk mengecualikan emboli paru.

Nilai oksimetri nadi biasanya dalam rentang referensi atau

batas atas kisaran referensi. Nilai kapnografi pada akhir tidal

biasanya kurang dari 30 torr selama hiperventilasi. Analisis gas

darah berguna dalam mengkonfirmasi hiperventilasi (alkalosis

respiratorius) dan mengecualikan hipoksemia atau asidosis

metabolik. Adanya hipoksemia dengan hipokapnia atau gradien

alveolar-arterial (A-a) yang melebar meningkatkan kecurigaan

terhadap emboli paru (Memon, 2015).

Analisis elektrolit tidak perlu dilakukan, meskipun beberapa

kelainan mungkin dapat ditemukan pada hiperventilasi. Fosfor

serum dan kalsium terionisasi dapat berkurang pada pasien dengan

hiperventilasi dan spasme karpopedal, tanda Chvostek atau tanda

Trosseau. Kadar kalsium serum dapat berada dalam batas kisaran

referensi (Memon, 2015).

Pada manusia dengan gangguan cemas panik mengalami

peningkatan kadar orexin dalam cairan serebrospinal. Orexin, juga

dikenal sebagai hipokretin, diduga memiliki peran penting dalam

patogenesis serangan panik pada tikus percobaan. Hipokretin juga

merupakan gen yang berpotensi meningkatkan risiko gangguan

panik (Memon, 2015).

15
Pemeriksaan radiologis pada gangguan panik saat ini tidak

ada temuan pada studi pencitraan yang spesifik untuk gangguan

panik, meskipun studi ini dapat dilakukan untuk mengevaluasi

bukti anatomis dari kemungkinan diagnosis lainnya. Meskipun

demikian, adanya gejala atipikal (seperti vertigo, hilangnya kendali

kandung kemih, dan tidak sadar) atau awitan serangan panik

pertama yang lambat (di atas 45 tahun) harus membuat klinisi

mempertimbangkan adanya keadaan medis nonpsikiatri yang

mendasari (Kaplan & Sadock, 2015).

Pemeriksaan standar membantu klinisi dalam mengevaluasi

pasien akan adanya penyebab serangan panik dan tiroid, para tiroid,

adrenal, penyebab terkait zat. Gejala nyeri dada, terutama pada

pasien yang memiliki faktor risiko jantung (misalnya obesitas dan

hipertensi), dan memerlukan pemeriksaan jantung lebih lanjut,

termasuk elektrokardiogram 24 jam, uji stres, rontgen dada, dan

pengukuran enzim jantung. Adanya gejala neurologis atipikal

mungkin memerlukan Elektroensefalogram (EEG), atau

Magnetic Resonance Imagine (MRI) untuk menilai kemungkinan

pasien memiliki epilepsi lobus temporalis. Sklerosis multipel, atau

lesi desak ruang (space-occupying lesion) di otak. Kemungkinan

yang jarang bahwa pasien memiliki sindrom karsinoid atau

feokromatisoma paling baik diperiksa dengan mengukur sampel

urine 24 jam untuk metabolit serotonin atau katekolamin (Kaplan

& Sadock, 2015).

16
Walaupun hipoglikemia pernah dianggap berkaitan dengan

gangguan panik, terutama di literatur, data yang tersedia saat ini

menunjukkan bahwa hipoglikemia jarang menyebabkan serangan

panik tanpa adanya gejala lain yang menunjuk ke arah

hipoglikemia (Kaplan & Sadock, 2015).

2.4.2. Pemeriksaan status mental

Pemeriksaan status mental merupakan cara diagnosis utama

untuk gangguan panik. Pemeriksaan status mental adalah

kumpulan data yang sistematis berdasarkan pengamatan perilaku

pasien selama wawancara. Tujuan dari pemeriksaan status mental

adalah mendapatkan bukti gejala-gejala saat ini dan tanda-tanda

gangguan mental yang mungkin diderita oleh pasien. Selain itu,

didapatkan pula bukti mengenai wawancara pasien, nilai-nilai dan

kemampuan pemikiran abstrak, untuk memberitahukan keputusan

mengenai strategi terapi dan pilihan tempat terapi yang sesuai

(Gleadle, 2007).

Selama serangan panik, pemeriksaan status mental dapat

mengungkapkan adanya kecemasan yang ekstrim, ketakutan, dan

rasa kematian yang akan datang atau azab. Pasien mungkin

mengalami kesulitan berbicara serta muncul keringat dan bingung.

Pidato pasien mungkin mencerminkan kecemasan atau urgensi,

atau mungkin terdengar normal, dan suasana hati individu dapat

digambarkan sebagai mirip dengan “cemas”. Proses berpikir pasien

harus logis, linear, dan tujuan diarahkan. Pemikiran sangat penting

17
untuk secara khusus menilai dalam rangka untuk memastikan

bahwa pasien tidak memiliki pikiran untuk bunuh diri atau

membunuh. Kecemasan akut sebagai bentuk penderitaan mental

akut, dapat menyebabkan perilaku yang tidak aman atau merugikan

diri sendiri. Kelainan pada proses berpikir atau isi pikiran (selain

dari pikiran untuk bunuh diri) harus meminta pertimbangan ulang

dari penyebab lainnya (Memon, 2015)

18
Tabel 02. Pemeriksaan Status Mental (Gleadle, 2007).
No Pemeriksaan Status Mental
1. Penampilan dan perilaku umum pasien
Nilailah:
a. Tingkah laku,
b. Kontak mata,
c. Ekspresi wajah,
d. Pakaian,
e. Kebersihan,
f. Perawatan diri (misalnya kerapian, tata rias),
g. Postur tubuh,
h. Aktivitas motorik (agitasi atau keterbelakangan?),
i. Gerak abnormal (tremor, stereotipi, tik, korea),
j. Kelainan cara berjalan,
k. Kelainan fisik yang terlihat jelas (misalnya bukti membahayakan diri,
penggunaan obat).
2. Ciri bicara dan bahasa pasien (misalnya kecepatan irama, struktur, aliran
gagasan, ketidakjelasan, inkoherensi, penekanan pikiran, blok pikiran, atau
neologisme).
3. Mood
a. mood apa yang mendominasi?
b. apakah pasien tampak tertekan, sangat gembira, euforia, cemas, takut,
curiga, marah?
c. Adakah peningkatan variabilitas mood (labilitas) atau penurunan
(reaktivitas berkurang)?
d. Apakah mood yang tampak sesuai dengan isi bicara?
e. Apa interpretasi subjektif pasien terhadap moodnya? Tanyakan
“Bagaimana perasaan anda saat ini?”, “Bagaimana semangat anda?”
4. Pikiran dan persepsi pasien saat ini, termasuk hal-hal berikut:
a. Preokupasi, kekhawatiran, ketakutan, pikiran, impuls, dan pengalaman
perseptual.
b. Gejala kognitif dan perseptual dari gangguan mental tertentu, biasanya
terungkap dengan pertanyaan tertentu seperti halusinasi, delusi, ide
rujukan (ideas of reference), obsesi, dan kompulsi.
c. Pikiran, perasaan, dan impuls untuk bunuh diri, melakukan pembunuhan,
melakukan kekerasan, atau mencederai diri sendiri. Jika terdapat pikiran
semacam ini, cari tahu intensitas dan spesifisitasnya, kapan terjadi dan apa
yang mencegah pasien melakukannya.
d. Keyakinan yang salah, delusi, rasa dikendalikan oleh pihak luar,
depersonalisasi, dan derealisasi.
5. Wawancara pasien mengenai situasinya sekarang dan keinginan mendapat
terapi.
6. Status kognitif pasien, termasuk:
a. Tingkat kesadaran
b. Orientasi (hari, tanggal, waktu)
c. Perhatian dan konsentrasi
d. Fungsi bahasa (menyebut nama benda, kelancaran bicara, pemahaman,
pengulangan, membaca, menulis).
e. Ingatan (jangka panjang dan pendek, ingatan segera).
f. Tingkat pengetahuan (sesuai usia, latar belakang pendidikan, dan sosial)
g. Berhitung
h. Menggambar (misalnya menyalin gambar atau menggambar jam)
e. Pemikiran abstrak (misalnya menjelaskan kesamaan atau mengartikan
peribahasa).
f. Fungsi eksekutif (sistem frontal) (misalnya membuat daftar, mencegah
jawaban impulsif, menahan gangguan, mengenali kontraindikasi).
g. Kualitas penilaian.

19
2.4.5 Pedoman Diagnosis berdasarkan PPDGJ-III

1. F.40. Gangguan Anxietas Fobik

Anxietas dicetuskan oleh adanya situasi atau objek yang

(dari luar individu itu sendiri), yang sebenarnya pada saat

kejadian ini tidak membahayakan. Kondisi lain (dari individu

itu sendiri) seperti perasaan takut akan adanya penyakit

(nosofobia) dan ketakutan akan perubahan bentuk badan

(dismorfobia) yang tak realistik dimasukkan dalam F45.2

(gangguan hipokondrik). Sebagai akibatnya, objek atau situasi

tersebut dihindari atau dihadapi dengan rasa terancam

(Maslim, 2013).

Secara subjektif, fisiologik dan tampilan perilaku, anxietas

fobik tidak berbeda dari anxietas yang lain dapat dalam bentuk

yang ringan sampai yang berat (serangan panik). Anxietas

fobik seringkali berbarengan (coexist) dengan depresi. Suatu

episode depresif seringkali memperburuk keadaan anxietas

fobik yang sudah ada sebelumnya. Beberapa episode depresif

dapat disertai anxietas fobik yang temporer, sebaliknya afek

depresi seringkali menyertai berbagai fobia, khususnya

agorafobia. Pembuatan diagnosis tergantung darimana yang

jelas-jelas timbul lebih dahulu dan mana yang lebih dominan

pada saat pemeriksaan (Maslim, 2013).

20
a. F40.0 Agorafobia

1. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul

harus merupakan manifestasi primer dari anxietasnya

dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti

misalnya waham atau pikiran obsesif,

2. Anxietas yang timbul harus terbatas pada (terutama

terjadi dalam hubungan dengan) setidaknya dua hari

pada situasi berikut yaitu banyak orang/ keramaian,

tempat umum, bepergian keluar rumah, dan bepergian

sendiri

3. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan

gejala yang menonjol (penderita menjadi “house

bound”) (Maslim, 2013).

Karakter kelima: F40.00 = Tanpa gangguan panik

F40.01 = Dengan gangguan panik

21
Tabel 02. Perbedaan Kriteria Diagnostik Gangguan Panik dengan atau
tanpa Agorafobia (Kaplan & Sadock 2015)

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan


Kriteria untuk Agorafobia
panik Tanpa Agorafobia
Catatan: Agorafobia bukan merupakan
gangguan yang dapat dituliskan. Diagnosis
spesifik dimana agorafobia panik terjadi
(misalnya, gangguan panik dengan
agorafobia tanpa riwayat gangguan panik).
A. Kecemasan berada didalam suatu tempat A. Baik (1) dan (2)
atau situasi darimana kemungkinan sulit 1) Serangan panik rekuren yang
meloloskan diri (atau merasa malu) atau tidak diharapkan
dimana mungkin tidak terdapat 2) Sekurangnya satu serangan telah
pertolongan jika mendapatkan serangan diikuti oleh sekurangnya 1 bulan
panik atau gejala mirip panik yang tidak (atau lebih) berikut ini:
diharapkan atau disebabkan oleh situasi. a) Kekhawatiran yang menetap
Rasa takut agorafobik biasanya akan mengalami serangan
mengenai kumpulan situasi karakteristik tambahan
seperti di luar rumah sendirian; berada di b) Ketakutan tentang arti
atas jembatan; atau bepergian dengan serangan atau akibatnya
bis, kereta, atau mobil. (misalnya, kehilangan kendali,
Catatan: pertimbangkan diagnosis fobia menderita serangan jantung,
spesifik jika penghindaran adalah “menjadi gila”)
terbatas pada satu atau hanya beberapa c) Perubahan perilaku bermakna
situasi spesifik, atau fobia sosial jika berhubungan dengan serangan
penghindaran terbatas pada situasi
sosial.
B. Situasi dihindari (misalnya, jarang B. Tidak terdapat agorafobia
bepergian) atau jika dilakukan dengan
penderitaan yang jelas atau dengan
kecemasan akan mendapatkan serangan
panik atau gejala mirip panik, atau perlu
didampingi teman.
C. Kecemasan atau penghindaran fobik C. Serangan panik bukan karena efek
tidak lebih baik diterangkan oleh fisiologis langsung dari zat
gangguan mental lain, seperti fobia (misalnya, obat yang disalahgunakan,
sosial (misalnya, penghindaran terbatas medikasi) atau suatu kondisi medis
pada situasi tertentu seperti di elevator), umum (misalnya, hipertiroidisme).
gangguan obsesif-kompulsif (misalnya, D. Serangan panik tidak lebih baik
menghindari kotoran pada seseorang diterangkan oleh gangguan mental
dengan obsesi tentang kontaminasi), lain, seperti fobia sosial (misalnya,
gangguan stres pascatraumatik terjadi saat mengalami situasi sosial
(misalnya, menghindari stimuli yang yang ditakuti), fobia spesifik
berhubungan dengan stresor yang berat), (misalnya, mengalami situasi fobik
atau gangguan cemas perpisahan tertentu), gangguan obsesif-
(misalnya, menghindari meninggalkan kompulsif (misalnya, terpapar
rumah atau sanak saudara). kotoran pada seseorang dengan
obsesi tentang kontaminasi),
gangguan stres pascatraumatik
(misalnya, menghindari stimuli yang
berhubungan dengan stresor parah,
atau gangguan cemas perpisahan
(misalnya, sebagai respon jauh dari
rumah atau sanak saudara dekat).

22
b. F.40.1 Fobia sosial

1. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul

harus merupakan manifestasi primer dari anxietasnya

dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti

misalnya waham atau pikiran obsesif,

2. Ansietas harus mendominasi atau terbatas pada situasi

sosial tetentu (outside the family circle)

3. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan

gejala yang menonjol.

Bila terlalu sulit membedakan antara fobia sosial dengan

agorafobia, hendaknya diutamakan diagnosis agorafobia

(F40.0) (Maslim, 2013).

c. F40.2 Fobia Khas (Terisolasi)

1. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul

harus merupakan manifestasi primer dari anxietasnya

dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti

misalnya waham atau pikiran obsesif,

2. Anxietas harus terbatas pada adanya objek atau situasi

fobik tertentu (highly spesific situations)

3. Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya.

Pada fobia khas ini umumnya tidak ada gejala psikiatrik

lain, tidak seperti halnya agorafobia dan fobia sosial

(Maslim, 2013).

23
2. F41. Gangguan Anxietas Lainnya

Manifestasi anxietas merupakan gejala utama dan tidak

terbatas (not restricted) pada situasi lingkungan tertentu saja.

Dapat disertai gejala-gejala depresif dan obsesif, bahkan juga

beberapa unsur dari anxietas fobik, asal saja jelas bersifat

sekunder atau ringan (Maslim, 2013).

a. F41.0 Gangguan Panik (Anxietas Paroksismal Episodik)

Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis

utama bila tidak ditemukan adanya gangguan anxietas

fobik. Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya

beberapa kali serangan anxietas berat (severe attacks of

autonomic anxiety) dalam masa kira-kira satu bulan:

1. Pada keadaan-keadaan di mana sebenarnya secara

objektif tidak ada bahaya,

2. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau

yang dapat diduga sebelumnya (unpredictable

situations),

3. Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala

anxietas pada periode di antara serangan-serangan panik

(meskipun demikian, umumnya dapat terjadi juga

“anxietas antisipatorik”, yaitu anxietas yang terjadi

setelah membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan

akan terjadi) (Maslim, 2013).

24
b. F41.1 Gangguan Cemas Menyeluruh

Penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala

primer yang berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa

minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas atau

hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja

(sifatnya “free floating” atau mengambang). Gejala-gejala

tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:

1. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti

di ujung tanduk, sulit konsentrasi)

2. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran,

tidak dapat santai),

3. Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan,

berkeringat, jantung berdebar-debar, sesak napas,

keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering) (Maslim,

2013).

Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan

berlebihan untuk ditenangkan (reassurance) serta keluhan-

keluhan somatik berulang yang menonjol. Adanya gejala-

gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari),

khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama

gangguan anxietas menyeluruh, selama hal tersebut tidak

memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif (F32.-),

gangguan anxietas fobik (F40.-), gangguan panik (F41.0),

atau gangguan obsesif-kompulsif (F42.-) (Maslim, 2013).

25
c. F41.2 Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi

Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, di mana

masing-masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang

cukup berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk

anxietas, beberapa gejala otonomik harus ditemukan

walaupun tidak terus menerus, disamping rasa cemas atau

kekhawatiran berlebihan.Bila ditemukan anxietas berat

disertai depresi yang lebih ringan, maka harus

dipertimbangkan kategori gangguan anxietas lainnya atau

gangguan anxietas fobik (Maslim, 2013).

d. F41.3 Gangguan Anxietas Campuran Lainnya

Memenuhi gangguan anxietas menyeluruh (F41.1) dan

juga menunjukkan (meskipun hanya dalam jangka pendek)

ciri-ciri yang menonjol dari kategori gangguan F40-F49,

akan tetapi tidak memenuhi kriterianya secara lengkap

(Maslim, 2013).

3. F42 Gangguan Obsesif-Kompulsif

Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif

kompulsif, atau kedua-duanya, harus ada hampir setiap hari

selama sedikitnya dua minggu berturut-turut. Hal tersebut

merupakan sumber penderitaan (distress) atau mengganggu

aktivitas penderita (Maslim, 2013).

26
Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut:

a. Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri

b. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak

berhasil dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi di

lawan oleh penderita,

c. Pikiran untuk melakukan tidakan tersebut diatas bukan

merupakan hal yang memberi kepuasan atau kesenangan

(sekedar perasaan lega dari ketegangan atau anxietas, tidak

dianggap sebagai kesenanagan seperti dimaksud di atas),

d. Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus

merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan

(unpleasantly repetitive) (Maslim, 2013).

4. F43 Reaksi Terhadap Stres Berat dan Gangguan Penyesuaian

Gangguan ini merupakan stres akut yang berat atau trauma

yang berkelanjutan. Stres yang terjadi atau keadaan tidak

nyaman yang berkelanjutan merupakan faktor penyebab

utama, dan tanpa itu hal tersebut tidak akan terjadi (Maslim,

2013).

2.5 Diagnosis Banding

Diagnosis banding psikiatri gangguan panik mencakup gangguan

buatan, hipokondriasis, gangguan depersonalisasi, fobia sosial, dan

spesifik, gangguan stres pascatrauma, gangguan depresif, dan skizofrenia.

(Kaplan & Sadock, 2015).

27
2.6 Terapi

2.6.1 Farmakoterapi

Walaupun keluhan somatik pasien dengan gangguan

somatisasi dan hipokondrik paling baik diterapi dengan psikoterapi,

pada praktiknya sering ditemukan dasar dari keluhan somatik

tersebut adalah gangguan cemas dan depresi. Gangguan cemas

yang paling sering dialami oleh pasien dengan keluhan somatik

adalah gangguan panik dan gangguan cemas menyeluruh. Hal

tersebut yang membuat dokter berpikir untuk memberikan obat anti

cemas golongan benzodiazepin ketika menemukan kasus keluhan

somatik di tempat praktiknya. Obat golongan benzodiazepin sangat

efektif mengatasi cemas (Andri, 2011).

Beberapa obat golongan benzodiazepin yang sering

digunakan dalam pengobatan keluhan cemas adalah alprazolam,

clonazepam, lorazepam, dan diazepam. Alprazolam dan

clonazepam telah lama dipakai sebagai obat untuk gangguan panik

karena efektif dan cepat mengatasi gejala serangan panik. Dosis

alprazolam yang digunakan untuk pengobatan gangguan cemas

panik lebih besar daripada pengobatan gangguan cemas

menyeluruh. Rentang dosis yang biasa digunakan dalam praktik

sehari-hari adalah 0,5 mg sampai 1,5 mg untuk kondisi gangguan

panik dengan dosis terbagi. Walaupun demikian, obat tersebut

harus digunakan dengan dosis efektif terendah agar tidak

menimbulkan ketergantungan dan reaksi putus zat (Andri, 2011).

28
Menurut pedoman pengobatan terkini American Psychiatric

Association (APA) dan Food Drug Administration (FDA),

gangguan panik yang sering menjadi dasar keluhan psikosomatik

diobati dengan antidepresan golongan serotonin selective reuptake

inhibitor (SSRIs) yaitu sertralin dan paroxetin. Walaupun

demikian, terdapat juga obat golongan trisiklik yang efektif untuk

mengobati gangguan cemas panik. Imipramin adalah salah satu

obat dari golongan trisiklik yang merupakan pilihan utama. Namun,

obat tersebut sulit ditemukan selain harganya yang agak tinggi.

Selain imipramin, terdapat beberapa obat golongan trisiklik lain

yang dapat dipakai untuk kondisi gangguan panik, salah satunya

adalah amitriptilin. Amitriptilin dapat digunakan dengan dosis

antara 12,5-50 mg. Obat tersebut merupakan antidepresan trisiklik

yang sangat murah dan banyak terdapat di pusat pelayanan primer

di Indonesia (Andri, 2011).

Tabel 03. Obat Anti panik (Maslim, 2014)


No Obat Anti Panik
1. Trisiklik
Imipramine
Clomipramine
2. Benzodiazepine
Alprazolam
3. Reversible Inhibitors of Monoamine oxydase-A (RIMA)
Moclobemide
4. Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI)
Sentraline
Paroxetine
Fluvoxetine
Fluoxetine
Citalopram

29
Tabel 04. Sediaan Obat Anti-Anxietas dan Dosis Anjuran (Maslim, 2014)
N Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran
o.
1. Diazepam DIAZEPAM Tab. 2-5 mg Oral 2,5-40 mg/hari
(indofarma) Ampal 10 mg/2 cc
VALISANBE Tab. 2-5 mg
(sanbe) Ampal 10 mg/2cc
STESOLID Tab. 2-5 mg
(Actavis) Ampul 10 mg/2cc Rectaltube= anak<10
Rectal tube 5-10 mg/2,5cc kg/bb= 5mg dan anak >
Tab. 5 mg 10kg/bb = 10 mg
VALDIMEX Ampul 10 mg/2cc
(mersifarma) Rectal tube 5 mg/2,5 cc
TRAZEP
(Fahrenheit) Tab. 1 mg
VALIUM Ampul 10 mg/2cc
(roche)
2. Lorazepam RENAQUIL Tab. 1 mg 2-6 mg/hari
(Fahrenheit)
MERLOPAM Tab. 0,5-2 mg
(mersifarma)
3. Clobazam FRISIUM Tab. 10 mg 20-30 mg/hari
(sanofi aventis)
CLOBAZAM Tab. 10 mg
OGB DEXA
(Dexa Medica)
ANXIBLOC Tab. 10 mg
(Dexa Medica)
CLOFRITIS Tab.10 mg
(Mersifarma)
PROCLOZAM Tab. 10 mg
(Memprofarm)
4. Bromazepam LEXZEPAM-3 Tab. 3 mg 3-18 mg/hari
(mersifarma)
5. Alprazolam ALPRAZOLAM Tab. 0,5-1 mg 0,25-4 mg/hari
(Dexa Medica)
ACTAZOLAM Tab.0,5-1 mg
(Actavis)
APAZOL Tab. 0,5-1 mg
(Dexa Medic)
ALPRAZOLAM Tab. 0,5-1 mg
OGM MERSI
(mersifarma)
XANAX Tab.XR 0,50-1 mg 1×0,5-1 mg/hari
Pfizer-Pharmaci Tab. 0,25-0,5-1 mg 3×0,25-0,5 mg/hari
FEPRAX Tab. 0,25-0,5-1 mg
(Ferron)
ATARAX Tab.0,5 mg
(Mersifarma)
ALVIZ Tab.0,5-1 mg
(Pharos)
ZYPRAX Cap.0,25-0,5-1 mg
(kalbe farma)
ZOLASTIN Tab.0,5-1 mg
Gracia Pharmindo
FRIXITAS Tab.0,25-0,5-1 mg
(Novell Pharma)
6. Sulpride DOGMATIL Cap. 50 mg 2-3×50-100 mg/hari
(Soho)
7. Buspirone XIETY Tab. 10 mg 10-60 mg/hari
(Lapi)

30
A. Penggolongan

1. Benzodiazepin contohnya: Diazepam, Chlordiazepoxide,

Lorazepam, Clobazam, Bromazepam, Alprazolam.

2. Non-Benzodiazepine contohnya: Sulpride, Buspirone.

B. Indikasi penggunaan

1. Adanya perasaan cemas atau khawatir yang tidak realistik

terhadap 2 atau lebih hal yang dipersepsi sebagai ancaman,

perasaan ini menyebabkan individu tidak mampu istirahat dengan

tenang (inability to relax) (Maslim, 2014).

2. Terdapat paling sedikit 6 dari 18 gejala-gejala berikut.

Tabel 01. Indikasi penggunaan obat (Maslim, 2014).

Ketegangan Motorik 1. Kedutan otot atau rasa gemetar


2. Otot tegang/kaku/pegal linu
3. Tidak bisa diam
4. Mudah menjadi lelah
Hiperaktivitas otonomik 5. Nafas pendek/terasa berat
6. Jantung berdebar-debar
7. Telapak tangan basah-dingin
8. Mulut kering
9. Kepala pusing/ rasa melayang
10. Mual, mencret, perut tak enak
11. Muka panas/badan menggigil
12. Buang air kecil lebih sering
13. Sukar menelan/rasa tersumbat
Kewaspadaan berlebihan dan 14. Perasaan jadi peka/ mudah ngilu
penangkapan berkurang 15. Mudah terkejut/kaget
16. Sulit berkonsentrasi
17. Sukar tidur
18. Mudah tersinggung
3. Dalam kehidupan sehari-hari terjadi penurunan kemampuan

bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.

31
C. Mekanisme kerja

Sindrom anxietas disebabkan hiperaktivitas dari sistem limbik

SSP yang terdiri dari “dopaminergic, noradrenergic, serotoninergic

neurons” yang dikendalikan oleh GABA-ergic neurons (Gamma

Amino Butiric Acid, suatu inhibitory neurotransmitter). Obat Anti-

anxietas benzodiazepine bereaksi dengan reseptornya (benzodiazepine

receptors) akan meng-reinforce “the inhibitory action of GABA-ergic

neuron” (GABA re-uptake inhibitor) sehingga hiperaktivitas tersebut

terhenti (Maslim, 2014).

D. Efek Samping

Efek samping obat anti-anxietas dapat berupa:

1. Sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja

psikomotor menurun, kemampuan kognitif melemah)

2. Relaksasi otot (rasa lemas dan cepat lelah)

Penghentian secara mendadak, akan menimbulkan gejala putus

obat yaitu pasien menjadi iritable, bingung, gelisah, insomnia, tremor,

palpitasi, keringat dingin, dan konvulsi. Hal ini berkaitan dengan

penurunan benzodiazepin dalam plasma. Untuk obat benzodiazepin

dengan waktu paruh pendek lebih cepat dan hebat gejala putus

obatnya dibandingkan dengan obat benzodiazepin dengan waktu

paruh panjang (misalnya, clobazam sangat minimal dalam

menimbulkan gejala putus obat). Ketergantungan relatif lebih sering

terjadi pada individu dengan riwayat peminum alkohol dan

penyalahguna obat. Oleh karena itu obat benzodiazepin tidak

32
dianjurkan diberikan pada pasien-pasien tersebut. Untuk mengurangi

risiko ketergantungan obat, maksimum lama pemberian 3 bulan (100

hari) dalam rentang dosis terapeutik (Maslim, 2014).

E. Cara penggunaan

1. Golongan benzodiazepin sebagai obat anti-anxietas mempunyai

ratio terapeutik lebih tinggi dan lebih kurang menimbulkan adiksi

dengan toksisitas yang rendah, dibandingkan dengan meprobamate

atau phenobarbital. Disamping itu phenobarbital menginduksi

enzim mikrosomal di hepar, sedangkan golongan benzodiazepin

tidak.

2. Golongan benzodiazepin “drug of choice” dari semua obat yang

mempunyai efek anti-anxietas, disebabkan spesifisitas, potensi, dan

keamanannya.

3. Spektrum klinis benzodiazepin meliputi efek anti-anxietas,

antikonvulsan, anti-insomnia, premedikasi tindakan operatif.

a. Diazepam/Chlordiazepoxide: “broadspectrum”.

b. Nitrazepam/Flurazepam: dosis anti-anxietas dan anti-insomnia

berdekatan (non dose-related), lebih efektif sebagai anti-

insomnia.

c. Midazolam: onset cepat dan kerja singkat, sesuai kebutuhan

untuk premedikasi tindakan operatif.

33
d. Bromazepam, lorazepam, clobazam: dosis anti-anxietas dan

anti-insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai

anti-anxietas (Maslim, 2014).

e. Beberapa spesifikasi:

1. Clobazam, 1,5 benzodiazepin “psychomotor performance”

paling kurang terpengaruh, untuk pasien dewasa dan usia

lanjut yang ingin tetap aktif.

2. Lorazepam, “short half life benzodiazepin & no significant

drug accumulation at clinical dose”, untuk pasien-pasien

dengan kelainan fungsi hati atau ginjal.

3. Alprazolam, efektif untuk anxietas antisipatorik, “onset of

action” lebih cepat dan mempunyai komponen efek anti-

depresi.

4. Sulpiride-50, efektif untuk meredakan gejala somatik dari

sindrom anxietas dan paling kecil risiko ketergantungan obat

(Maslim, 2014).

F. Pengaturan dosis

Mulai dengan dosis awal (dosis anjuran) yaitu naikkan dosis setiap

3-5 hari sampai mencapai dosis optimal, dipertahankan 2-3 minggu

lalu diturunkan 1/8 × setiap 2-4 minggu, dosis minimal yang masih

efektif (maintenance dose), bila kambuh dinaikan lagi dan bila tetap

efektif pertahankan 4-8 minggu (Maslim, 2014).

34
G. Lama pemberian

1. Pada sindrom anxietas yang disebabkan faktor situasi eksternal,

pemberian obat tidak lebih dari 1-3 bulan.

2. Pemberian yang sewaktu-waktu dapat dilakukan apabila sindrom

anxietas dapat diramalkan waktu datangnya dan hanya pada situasi

tertentu (anticipatory anxiety), serta terjadinya tidak sering.

3. Penghentian selalu secara bertahap (stepwise) agar tidak

menimbulkan gejala lepas obat (withdrawal symptoms) (Maslim,

2014).

H. Kontraindikasi

1. Pasien dengan hipersensitif terhadap benzodiazepin, gluacoma,

myasthenia gravis, chronic pulmonary insufficiency, chronic renal

or hepatic disease.

2. Gejala overdosis / intoksikasi

a. Kesadaran menurun, lemas, jarang yang sampai dengan koma

b. Pernapasan, tekanan darah, denyut nadi menurun sedikit

c. Ataksia, disertai, “confusion”, refleks fisiologis menurun

(Maslim, 2014).

2.6.2 Non Farmakoterapi

CBT atau Cognitive Behavior Therapy merupakan terapi

yang digunakan untuk membantu individu mengenal dan

memperbaiki cara yang salah dalam berpikir dan berperilaku yang

terdapat dalam gangguan panik. CBT bervariasi penggunaannya

35
mulai dari pencegahan primer hingga intervensi pada individu yang

telah resisten terhadap pengobatan lain. CBT dapat pula digunakan

bersamaan dengan farmakoterapi, dan teknik-teknik yang dapat

digunakan adalah psikoedukasi, teknik coping terhadap anxietas

(relaksasi otot-otot, latihan pernapasan), restrukturisasi kognitif,

interoceptive dan pemaparan in-vivo (Limoa, 2010)

1. Psikoedukasi

Psikoedukasi untuk serangan panik bermaksud

mengistirahatkan dengan cepat gejala-gejala kecemasan dan

kepanikan menjadi lebih ringan sehingga dapat dilakukan

intervensi pengobatan. Penekanan pada tahap ini difokuskan

pada definisi dan penjelasan dari sumber gejala ansietas dan

panik, pada tahap ini juga dijelaskan peran dari pikiran dalam

mempertahankan ketakutan dan kecemasan, dan peran dari

perilaku menghindar dan melarikan diri yang menyebabkan

ketakutan menetap dari gangguan tersebut. Psikoedukasi

dilakukan pada sesi awal dari terapi dan dapat diulangi setiap

saat dalam terapi. Dalam sesi psikoedukasi ini sangat penting

untuk memotivasi pasien mengenai latihan pemaparan yang

walaupun bagaimana dapat meningkatkan tingkat anxietas

(Limoa, 2010)

2. Teknik coping ansietas

Aplikasi relaksasi (contohnya pelatihan relaksasi Hebert

Benson) tujuannya adalah memberikan pasien rasa kendali

36
mengenai tingkat ansietas dan relaksasi. Melalui penggunaan

teknik standar relaksasi otot dan membayangkan situasi yang

membuat santai, pasien mempelajari teknik yang dapat

membantu mereka melewati sebuah serangan panik. Dan

pelatihan pernapasan karena hiperventilasi yang berhubungan

dengan serangan panik mungkin berkaitan dengan jumlah

gejala seperti pusing dan pingsan, satu pendekatan langsung

untuk mengendalikan dorongan untuk melakukan

hiperventilasi. Setelah pelatihan seperti itu, pasien dapat

menggunakan teknik untuk membantu mengendalikan

hiperventilasi selama serangan panik (Kaplan & Sadock,

2015).

3. Teknik kognitif

Dua fokus utama terapi kognitif gangguan panik adalah

instruksi mengenai keyakinan pasien dan informasi mengenai

serangan panik. Instruksi mengenai keyakinan yang salah

berpusat pada kecenderungan pasien untuk salah mengartikan

sensasi tubuh ringan sebagai tanda khas akan terjadinya

serangan panik, ajal, atau kematian. Informasi megenai

serangan panik mencakup penjelasan bahwa, ketika serangan

panik terjadi, serangan ini terbatas waktu dan tidak mengancam

nyawa (Kaplan & Sadock, 2015).

4. Teknik-teknik pemaparan

37
Pemaparan interoceptive bertujuan untuk mengoreksi

interpretasi berlebihan dari gejala-gejala fisik yang dirasakan

oleh pasien sebagai bagian dari ansietas antisipatorik atau

serangan panik. Dengan adanya pemaparan interoceptive

pasien dipersiapkan untuk memiliki pengalaman secara

bertahap untuk bisa merasa nyaman dengan sensasi-sensasi

yang terjadi. Dan pajanan in vivo dahulu merupakan terapi

perilaku yang lazim untuk gangguan panik. Teknik ini meliputi

pemajanan pasien terhadap stimulus yang ditakuti yang

semakin lama semakin berat; dari waktu ke waktu pasien

berusaha mengurangi terhadap pengalaman tersebut (Limoa,

2010)

Dahulu, fokusnya adalah pada stimulus eksternal; baru-baru

ini, teknik ini telah mencakup pajanan sensasi internal yang

ditakuti pasien (contohnya, tachypnea dan rasa takut

mengalami serangan panik). Selain itu juga ada terapi lainya

yaitu terapi keluarga, keluarga pasien dengan gangguan panik

dan agorafobia juga mungkin telah dipengaruhi oleh gangguan

anggota keluarga. Terapi keluarga yang ditujukan pada edukasi

dan dukungan sering bermanfaat (Kaplan & Sadock, 2015).

2.7 Komplikasi

Bila serangan panik dan gangguan panik tidak diobati dapat

mengakibatkan komplikasi yang dapat mempengaruhi hampir setiap

bidang kehidupan seorang yaitu masalah dalam rumah tangga, kehilangan

38
pekerjaan, kesulitan finansial bisa merupakan konsekuensi dari gangguan

panik, demikian juga penyalahgunaan zat atau alkohol (Elvira, 2013)

2.8 Rehabilitasi

Behavior therapy merupakan salah satu teknik rehabilitasi yang

dapat dilakukan pada pasien gangguan panik. Menurut guideline

penanganan panik yang dikeluarkan APA, CBT dan SSRIs

direkomendasikan sebagai terapi lini pertama yang aman dan efektif. CBT

merupakan bentuk psikoterapi yang efektifitasnya teruji melalui sejumlah

uji klinis. Tujuan dari terapi ini adalah membantu individu untuk mengenal

dan memperbaiki cara yang salah dalam berpikir dan berperilaku yang

terdapat dalam gangguan panik. CBT terdiri atas psikoedukasi, teknik

coping terhadap anxietas (relaksasi otot-otot, latihan pernapasan),

restrukturisasi kognitif, interoceptive dan pemaparan in-vivo. Sesi terapi

CBT dapat dijalankan secara individual ataupun berkelompok, dimana tiap

sesi berlangsung antara satu hingga dua jam. Terapi biasanya dilaksanakan

perminggu. Konsensus dari para ahli merekomendasikan 12-20 sesi terapi

mingguan untuk kebanyakan pasien (Kaplan & Sadock, 2015).

2.9 Prognosis

Gangguan panik adalah gangguan kronis dan bervariasi tiap

individu. Terapi farmakologis yang tepat dan terapi kognitif-perilaku

(CBT), secara individu atau dalam kombinasi, efektif lebih dari 85%

kasus. Pasien dengan fungsi premorbid yang baik dan dengan durasi gejala

39
yang singkat cenderung memiliki prognosis yang baik. Sekitar 10-20%

pasien terus memiliki gejala yang signifikan (Memon, 2015).

Secara keseluruhan, prognosis jangka panjang biasanya baik,

dengan hampir 65% pada pasien dengan gangguan panik, biasanya dalam

waktu 6 bulan. Namun, faktor pemicu dapat menyebabkan serangan

panik. Beberapa pemicu ini berhubungan dengan hasil yang buruk,

termasuk penyakit berat pada saat penilaian awal, sensitivitas interpersonal

yang tinggi, kelas sosial rendah, pemisahan dari orang tua dengan

kematian selama awal kehidupan, perceraian, dan status belum

menikah (Memon, 2015).

Risiko penyakit arteri koroner pada pasien dengan gangguan panik

hampir dua kali lipat. Pada pasien dengan penyakit koroner, panik dapat

menginduksi iskemia miokard. Risiko kematian mendadak mungkin juga

secara teoritis akan meningkat karena tingkat variabilitas jantung

berkurang dan peningkatan interval QT variabilitas. Tingkat bunuh diri

pada individu dengan gangguan panik juga berkali-kali lebih tinggi

daripada populasi umum (Memon, 2015).

2.10 Edukasi

Menginformasikan pasien bahwa penyebab gangguan panik

cenderung biologis dan psikososial, dan bahwa gejala panik tidak

mengancam jiwa atau jarang. Mendidik pasien tentang diagnosis dan

pengobatan yang mereka pilih, serta tentang potensi efek samping dari

tidak hanya obat pengobatan mereka, tetapi juga penggunaan zat penyerta

seperti konsumsi alkohol dan penggunaan narkoba. Zat-zat psikoaktif

40
dapat mempengaruhi jalannya gangguan panik. Meskipun beberapa zat

mungkin tampak untuk menghindari penderitaan serangan akut, mereka

sering kompromi rencana pengobatan jangka panjang (Memon, 2015).

Pertimbangkan mendidik pasien yang didiagnosis dengan gangguan panik

tentang perilaku kognitif yang dapat membantu untuk memperkuat

kecemasan. Ajarkan pasien untuk mengenali rangsangan pemicu sehingga

mereka dapat berkontribusi untuk pendekatan pengobatan psikologis

mereka (Memon, 2015).

Mendapatkan lisan persetujuan untuk obat psikotropika, dan

mendokumentasikan diskusi tentang risiko dan manfaat dari obat

pengobatan. Mempromosikan perilaku sehat, termasuk olahraga dan

kesehatan tidur yang baik. Menyarankan pasien untuk menghindari zat

anxiogenic, seperti kafein, minuman energi, dan stimulan lainnya OTC

(Memon, 2015).

Berbicara dengan keluarga pasien tentang pentingnya

meminimalisasi perilaku menghindar oleh pasien dan memastikan

kepatuhan farmakologis dan kepatuhan terhadap janji terapi. Membantu

keluarga untuk memahami sifat dari gejala kecemasan dan untuk

menyediakan akomodasi yang wajar (tanpa mengaktifkan perilaku

disfungsional atau penggunaan narkoba alkohol / resep). Anggota keluarga

dapat menjadi sangat penting dalam membantu pasien untuk mengatasi

ketakutan yang tidak beralasan dan perilaku menghindar, dalam konteks

terapi kognitif-perilaku yang sedang berlangsung (CBT) di mana pasien

belajar keterampilan mengatasi untuk mengelola kecemasan (Memon,

41
2015). Meskipun modifikasi diet (misalnya, 5-hydroxytryptophan atau

inositol suplemen) mungkin efektif dalam mencegah kekambuhan, ada

lebih banyak bukti untuk efektivitas CBT dan obat-obatan. Suplemen

herbal harus ditunda sampai pasien ditangani dengan psikiater atau

penyedia perawatan primer (Memon, 2015).

42
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Menurut DSM IV, gangguan panik adalah gangguan yang sekurang-

kurangnya terdapat 3 serangan panik dalam waktu 3 minggu dan tidak

dalam kondisi stres berat atau dalam situasi yang mengancam

kehidupan.

2. Perempuan lebih mudah terkena dua hingga tiga kali daripada laki-

laki. Gangguan panik timbul pada usia sekitar 25 tahun.

3. Gangguan panik terdiri atas faktor biologis, faktor genetik, dan faktor

psikososial.

4. Gangguan panik ditunjukkan oleh adanya episode kecemasan yang

berlebihan, durasinya pendek, berulang, dan tidak dapat diprediksi,

yang diikuti oleh manifestasi klinis yang khas.

5. Gangguan panik mencakup gangguan buatan, hipokondriasis,

gangguan depersonalisasi, fobia sosial, spesifik gangguan stres

pascatrauma, gangguan depresif, dan skizofrenia.

6. Obat golongan benzodiazepin sangat efektif mengatasi gangguan

cemas. Beberapa obat golongan benzodiazepin yang sering digunakan

dalam pengobatan keluhan cemas adalah alprazolam, clonazepam,

lorazepam, dan diazepam. Gangguan panik juga dapat diobati dengan

antidepresan golongan serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI)

43
yaitu sertralin dan paroxetin. Terdapat juga obat golongan trisiklik

yaitu salah satu obatnya imipramin.

7. Komplikasi yang disebabkan atau berkaitan dengan serangan

panik meliputi: yaitu masalah dalam rumah tangga, kehilangan

pekerjaan, kesulitan finansial bisa merupakan konsekuensi dari

gangguan panik, demikian juga penyalahgunaan zat atau alkohol

8. Secara keseluruhan, prognosis jangka panjang biasanya baik, dengan

hampir 65% pada pasien dengan gangguan panik, biasanya dalam

waktu 6 bulan.

9. Menginformasikan pasien bahwa penyebab gangguan panik

cenderung biologis dan psikososial, dan bahwa gejala panik tidak

mengancam jiwa atau jarang.

3.2 Saran

1. Masyarakat

Kepada masyarakat secara umum agar sebaiknya mengetahui

gejala gangguan panik, sadari akan efek samping dari gangguan panik,

dan segera berobat ke psikiater untuk secepatnya ditangani jika

mengalami serangan panik secara mendadak sehingga dapat di berikan

obat atau terapi untuk menurunkan gangguan panik yang di alami.

2. Instansi kesehatan

Kepada instansi kesehatan khususnya dinas kesehatan di wilayah

Jayapura agar dapat memperkenalkan kepada masyarakat mengenai

pentingnya mengetahui gangguan panik sehingga mereka dapat

44
mengetahui bahwa gangguan panik dapat di obati dan tidak

membahayakan.

3. Institusi pendidikan

Kepada institusi pendidikan khususnya Fakultas Kedokteran

Universitas Cenderawasih, agar dapat menambahkan buku-buku atau

literatur jurnal di perpustakan mengenai ilmu kesehatan jiwa atau

psikiatri untuk menambah wawasan bagi mahasiswa mengenai

pentingnya mempelajari ilmu kesehatan jiwa.

3.3 Ringkasan

Gangguan panik ditunjukkan oleh adanya episode kecemasan yang

berlebihan, durasinya pendek, berulang, dan tidak dapat diprediksi, yang

diikuti oleh manifestasi klinis yang khas. Pemeriksaan Fisik didapatkan

hipertensi, palpasi, tachycardia, tachypnea, berkeringat. Pemeriksaan

Penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium yaitu elektrolit, glukosa

serum, enzim jantung, hemoglobin serum TSH, penapisan toksikologi

urin, uji d-dimer dan pemeriksaan radiologis yaitu EKG, EEG, MRI, uji

stres, foto thorax, pengukuran enzim jantung. Obat golongan

benzodiazepin contohnya alprazolam, clonazepam, lorazepam, dan

diazepam. Alprazolam dan clonazepam telah lama dipakai sebagai obat

untuk gangguan panik karena efektif dan cepat mengatasi gejala serangan

panik dan terapi CBT digunakan bersamaan dengan farmakoterapi.

45
DAFTAR PUSTAKA

Amri, Fahrul. 2012. “Farmakologi Alprazolam Dalam Mengatasi Gangguan

Panik”. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Vol.12 No.3.

http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JKS/article/view/3519 diakses pada 06

juni 2016

Andri. 2007. “Konsep Biopsikososial pada Keluhan Psikosomatik”.

http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/104

5/1047 diakses pada 13 juni 2016

Elvira, D Sylvia. 2014. “Buku Ajar PSIKIATRI “. Badan penerbit FKUI, Jakarta.

Gleadle, Jonathan. 2007. “At a Glance ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN

FISIK. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Katona, Cooper & Robertson Mary. 2012. Psychiatry At a Glance. Edisi 4.

Diterjemahkan oleh: Willey-Blackwell. Erlangga, Jakarta.

Limoa Erlyn. 2010. “Cognitive Behavior Therapy Pada Gangguan Panik.

http://repository.unhas.ac.id:4001/digilib/files/disk1/50/--drerlynlim-2485-

1-cognitiv-).pdf diakses pada 6 juni 2016

Lumbantobing. 2013. “Neurologi Klinik” Pemeriksaan Fisik Dan Mental. Penerbit

FKUI, Jakarta.

46
Maslim, Rusdi. 2013. “Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III”

dan DSM-5. Penerbit Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya,

Jakarta.

Maslim, Rusdi. 2014. “Penggunaan Klinis Obat Psikotropik”. Penerbit Bagian

Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya, Jakarta.

Memon, A Muhammad & Ahmed Iqbal. 2015. “Panic Disorder. Medscape New

and Perspective”. http://emedicine.medscape.com/article/287913-

overview#a4 diakses pada 5 januari 2015

Sadock, J Benjamin. 2015. Kaplan & Sadock’s Concise Textbook of Clinical

Psychiatry. Edisi 2. Diterjemahkan oleh: dr. Husni Muttaqin & dr. Retna

N.E Sihombing. EGC, Jakarta.

Sukarya, W Setiawan. 2012. “Standar Kompetensi Dokter Indonesia”. Edisi 2.

Penerbit Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta.

Trihono. 2013. “Riset Kesehatan Dasar”.

www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%2020

13.pdf diakses pada 26 april 2016

47

Anda mungkin juga menyukai