Anda di halaman 1dari 19

No. ID dan Nama Peserta : Presenter : dr.

Gloria Sheila Ratna Utari


dr. Gloria Sheila Ratna Utari
No. ID dan Nama Wahana : Pendamping: 1. dr. Triyono
RSUD Muntilan, Magelang 2. dr. Ismy Dianti
TOPIK :Acute Coronary Syndrome
Tanggal (Kasus) : 9 Juni 2016
Nama Pasien : Ny. Sukinah No. RM : 263070
Tanggal Presentasi : 11 Juli 2016 Pendamping : 1. dr. Triyono
2. dr. Ismy Dianti
Tempat Presentasi : Ruang Komite Medik RSUD Muntilan, Magelang
OBJEKTIF PRESENTASI
 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka
 Diagnostik  Manajemen  Masalah  Istimewa
 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia  Bumil
 Deskripsi :
Ny S usia 90 Tahun, keluhan nyeri dada kiri, seperti ditindih, menjalar sampai ke lengan atas,
dan tembus ke belakang. Keluhan lain yang dirasakan yakni sesak nafas selama ±1 minggu,
dan semakin hari makin memberat.
 Tujuan :
Mengetahui segala aspek tentang penyakit pasien dan penanganannya
Bahan  Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit
Bahasan
Cara  Diskusi  Presentasi  E-mail  Pos
Membahas dan Diskusi
DATA PASIEN Nama : Ny. S No. Registrasi : 263070
Nama Klinik : IGD Telp : - Terdaftar sejak : 9 Juni 2016 (08.20)
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Gambaran Klinis (Riwayat Penyakit Sekarang) :
±30 menit SMRS pasien mengeluh nyeri dada kiri, seperti ditindih, menjalar
sampai ke lengan atas, dan tembus ke belakang. Pasien belum pernah mengalami
nyeri dada seperti ini sebelumnya. Nyeri tidak berkurang dengan istirahat.
Pasien sebelumnya juga mengeluh sesak nafas (+) selama ±1 minggu, dan
semakin hari makin memberat. Nyeri ulu hati (-), pingsan (-), keringat dingin (+),
mual (-), muntah (-).
2. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat nyeri dada kiri sebelumnya (-)
Riwayat sakit jantung (-)
Riwayat darah tinggi (+)
Riwayat sesak napas sebelumnya (+)
Riwayat kencing manis tidak diketahui
Riwayat kolesterol tidak diketahui
3. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat darah tinggi (+)

1
Riwayat Penyakit jantung (-)
Riwayat kencing manis (-)
4. Riwayat Sosio-Ekonomi : Pasien sudah tidak bekerja dan tinggal dengan anaknya.
Biaya pengobatan menggunakan KIS.
HASIL PEMBELAJARAN :
1. Mengetahui segala aspek tentang penyakit pasien
2. Mengetahui penanganan awal pasien
Acute Coronary Syndrome
SUBJECTIVE
A. Keluhan Utama :
Nyeri dada kiri
B. Keluhan Penyerta : Sesak nafas, keringat dingin
C. Riwayat Penyakit Sekarang :
±30 menit SMRS pasien mengeluh nyeri dada kiri, seperti ditindih, menjalar
sampai ke lengan atas, dan tembus ke belakang. Pasien belum pernah mengalami
nyeri dada seperti ini sebelumnya. Nyeri tidak berkurang dengan istirahat.
Pasien sebelumnya juga mengeluh sesak nafas (+) selama ±1 minggu, dan
semakin hari makin memberat. Nyeri ulu hati (-), pingsan (-), keringat dingin (+),
mual (-), muntah (-).
D. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat nyeri dada kiri sebelumnya (-)
Riwayat sakit jantung (-)
Riwayat darah tinggi (+)
Riwayat sesak napas sebelumnya (+)
Riwayat kencing manis tidak diketahui
Riwayat kolesterol tidak diketahui

E. Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat darah tinggi (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat kencing manis (-)
F. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien sudah tidak bekerja dan tinggal dengan anaknya. Biaya pengobatan
menggunakan KIS.

2
OBJECTIVE
I. Pemeriksaan Fisik dilakukan tanggal 9 Juni 2016 pukul 08.30 WIB di IGD RSUD
Muntilan.
Keadaan umum : sakit berat, tampak sesak
Kesadaran : kompos mentis, GCS E4M6V5 = 15
Tanda Vital:
T : 180/100 mmHg RR : 28 x/menit
N : 115 x/menit, regular, t : 36,5 oC (axiler)
isi dan tegangan cukup
Kepala : mesosefal
Kulit : turgor kulit cukup
Mata : konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-/-)
Hidung : discharge (-), nafas cuping hidung (-), epistaksis (-), nyeri tekan (-)
Mulut : bibir pucat (+), bibir sianosis (-), atropi papil lidah (-)
Telinga : disharge (-)
Tenggorok : tidak diperiksa
Leher : trakhea di tengah, JVP R+0, pembesaran nnll (-), pembesaran thyroid (-)
Dada : simetris, atropi m.pectoralis (-)

Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di SIC VI 2 cm lateral LMCS, tidak kuat angkat, tidak
melebar, pulsasi parasternal (-), pulsasi epigastrial (-), sternal lift (-), thrill (-)
Perkusi : Batas atas : SIC II LPS sinistra
Batas kanan : LPS dextra
Batas kiri : SIC VI 2 cm lateral LMCS
Auskultasi : 115 HR x /menit, reguler
Bunyi jantung I-II murni, bising(-), gallop(-)

Pulmo :
Inspeksi : simetris saat statis dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : SD Vesikuler (+/+)
Wheezing (+/+)
3
RBK (-/-) SD Vesikuler,
Wheezing (+-+)

Abdomen:
Inspeksi : cembung, venektasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)

Ekstremitas SUPor INFor


Edema -/- +/+
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-

RESUME
1. Anamnesis
a. Keluhan utama : nyeri dada kiri
b. Keluhan tambahan :
Sesak nafas, keringat dingin
2. Pemeriksaan Fisik
a. KU/Kes : sakit berat, tampak sesak / kompos mentis
b. Vital sign :
 TD: 180/100
 Nadi: 115x/m, reguler
 RR: 28x/m
 S: 36,5° C
c. Mata : konjungtiva palpebra pucat (+/+)
d. Mulut : bibir pucat (+)
e. Thoraks :
Paru-paru : wheezing pada kedua lapang paru
f. Abdomen : ascites (-)
g. Ekstremitas inf : edema (+/+)
h. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah
HASIL SATUAN NILAI
(9/6/2016) NORMAL
HEMATOLOGI
Hemoglobin 7,5 gr/dl 12 – 15
Hematokrit 24,4 % 37 – 43
Eritrosit 3,00 jt/uL 4,0 - 5,0
MCH 25,0 Pg 26 – 34
MCV 81,5 fL 80 – 100
4
MCHC 30,7 g/dL 32 – 36
Leukosit 10,96 ribu / uL 4,2 – 9,3
Trombosit 295 ribu / uL 150 – 450
RDW 14,2 % 11,5 - 14,5
MPV 7,71 fL 7,2 - 11,1
DIFF COUNT
Netrofil 91,6 % 50 - 70
Limfosit 5,7 % 25 – 40
Monosit 1,8 % 2–8
Eosinofil 0,0 % 2–4
Basofil 0,8 % 0–1
HASIL SATUAN NILAI
(9/6/2016) NORMAL
KIMIA KLINIK
GDS 136 mg/dL 80-140
SGOT 82 U/l 14 – 38
SGPT 52 U/l 4 – 41
Ureum 159 mg/dl 15 – 45
Creatinin 7,10 mg/dl 0,60 – 1,13
Natrium 143,4 mmol/L 135 – 148
Kalium 6,64 mmol/L 3,5 – 5,3
Chlorida 117,7 mmol/L 98 – 106

Pemeriksaan EKG

Kesan: ST elevasi di V1-V3

ASSESSMENT
Acute coronary syndrome dan anemia sedang

TATALAKSANA IGD
1. O2 NRM 10 lpm
2. IVFD RL mikro
3. ISDN 5 mg sublingual
4. Aspilet 4 tablet
5. Clopidogrel 4 tablet
6. Morfin 1 ampul dilarutkan dalam 10 cc NaCl/RL diberikan 3 cc
7. Captopril tab 2 x 12,5 mg
8. Injeksi Furosemide 20 mg / 12 jam
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Sindroma koroner akut (SKA) adalah sekumpulan keluhan dan tanda klinis yang
sesuai dengan iskemia miokard akut. SKA merupakan suatu spektrum dalam perjalanan
penyakit jantung koroner (aterosklerosis koroner). SKA merupakan suatu kegawatan
kardiovaskular yang memiliki potensi komplikasi yang dapat berakibat fatal. Penyebab
utama kejadian henti jantung mendadak akibat dari aritmia maligna yang terjadi saat
serangan.

B. EPIDEMIOLOGI
Kematian terbanyak dari kasus SKA terjadi di luar rumah sakit. Kematian yang terjadi
sebelum pasien sampai ke rumah sakit berhubungan dengan aritmia maligna (VT/VF).
Banyak kejadian terjadi dalam empat jam pertama setelah awal serangan. Kematian di
rumah sakit lebih banyak berhubungan dengan menurunnya curah jantung termasuk gagal
jantung kongestif dan syok kardiogenik. Kematian berhubungan dengan luasnya miokard
yang terkena. Upaya membatasi luas infark akan menurunkan mortalitas.

C. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni faktor risiko yang dapat diubah
dan yang tidak dapat diubah. Berikut adalah faktor risiko yang tidak dapat diubah.
 Umur; hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya
mencerminkan lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor-faktor aterogenik.
 Jenis kelamin; pria lebih berisiko dibandingkan wanita
 Ras
 Riwayat adanya penyakit jantung dalam keluarga
Sedangkan faktor risiko yang dapat diubah meliputi:
 Diabetes
 Makanan berlemak tinggi dan karbohidrat tinggi
 Hiperlipoproteinemia

6
 Hipertensi
 Obesitas
 Status postmenopausal; wanita relatif lebih sulit mengidap penyakit jantung
koroner sampai masa menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti
pria. Hal ini diduga karena adanya efek perlindungan estrogen.
 Banyak duduk dan tidak bergerak
 Rokok
 Stres

D. PATOFISIOLOGI
Penyebab terjadinya SKA adalah akibat trombosis koroner dan robekan plak (plaque
fissure). Pada penelitian angiografi dan studi post-mortem yang dilakukan pada psien
SKA segera setelah timbulnya keluhan tampak bahwa pada lebih dari 85% kasus terdapat
oklusi trombus pada arteri penyebab (culprit artery). Trombus yang terbentuk merupakan
campuran trombus putih (white thrombus) dan trombus merah (red thrombus). Trombosis
koroner yang terjadi umumnya dihubungkan dengan robekan plak. Perubahan yang tiba-
tiba dari angina stabil menjadi tidak stabil atau infark miokard umumnya berhubungan
dengan robekan plak pada titik di mana shear stress nya tinggi dan dapat terjadi pada plak
aterosklerosis yang besar maupun kecil (minor). Plak yang mengalami robekan kemudian
merangsang agregasi trombosit yang selanjutnya akan membentuk trombus. Spasme
arteri koroner juga berperan penting dalam patofisiologi SKA. Perubahan tonus
pembuluh darah koroner melalui Nitric Oxide (NO) endogen dapat membuat variasi
ambang rangsang angina antara satu pasien dengan yang lain dan antara satu waktu
dengan waktu yang lain. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tonus arteri yaitu
hipoksia, katekolamin endogen, dan zat vasoaktif (serotonin, adenosin diphospat).
Pasien dengan aterosklerosis koroner bisa mengalami gejala klinis yang bervariasi
tergantung dari tingkat sumbatan arteri koroner. Gejala-gejala klinis ini meliputi angina
tidak stabil, non ST segment elevation myocardial infarction (NSTEMI), dan ST segment
elevation myocardial infarction (STEMI).
1. Plak tidak stabil
Penyebab utama terjadinya SKA adalah rupturnya plak yang kaya lipid dengan
cangkang yang tipis. Umumnya plak yang mengalami ruptur secara hemodinamik
tidak signifikan besar lesinya. Adanya komponen sel inflamasi yang berada di bawah
subendotel merupakan titik lemah dan merupakan predisposisi terjadinya ruptur plak.
Kecepatan aliran darah, turbulensi, dan anatomi pembuluh darah juga memberikan
kontribusi terhadap hal tersebut.

2. Ruptur plak
7
Setelah plak ruptur, sel-sel platelet akan menutupi atau menempel pada plak yang
ruptur. Ruptur akan merangsang dan mengaktifkan agregasi platelet. Fibrinogen akan
menyelimuti platelet yang kemudian akan merangsang pembentukan trombin.

3. Angina tidak stabil


Sumbatan trombus yang parsial akan menimbulkan gejala iskemia yang progresif
(lebih lama atau pada aktivitas yang lebih ringan dari biasanya), gejala iskemia yang
baru pertama terjadi, atau terjadi saat istirahat. Pada fase ini trombus kaya akan
platelet sehingga terapi aspirin, clopidogrel, dan GP Iib/IIIa inhibitor paling efektif.
Pemberian trombolisis pada fase ini tidak efektif dan malah sebaliknya dapat
mengakselerasi oklusi dengan melepaskan bekuan yang berikatan dengan trombin
yang dapat mempromosi terjadinya koagulasi. Oklusi trombus yang bersifat intermiten
dapat menyebabkan nekrosis miokard sehingga menimbulkan NSTEMI.

4. Mikroemboli
Mikroemboli dapat berasal dari trombus yang emboli ke distal dan bersarang di dalam
mikrovaskular koroner yang menyebabkan troponin jantung meningkat (penanda
adanya nekrosis di jantung). Kondisi ini merupakan risiko tinggi terjadinya infark
miokard yang lebih luas.

5. Oklusif trombus
Jika trombus menyumbat total pembuluh darah koroner dalam jangka waktu yang
lama, maka akan menyebabkan STEMI. Bekuan ini kaya akan trombin, oleh karena
itu, pemberian fibrinolisis yang cepat dan tepat atau langsung dillakukan PCI dapat
membatasi perluasan infark miokard.

E. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Diagnosis SKA berdasarkan keluhan khas angina. Terkadang pasien tidak ada keluhan
angina namun sesak nafas atau keluhan lain yang tidak khas seperti nyeri epigastrik atau
sinkope yang disebut equivalent angina. Hal ini diikuti dengan perubahan EKG dan atau
perubahan enzim jantung. Pada beberapa kasus, keluhan pasien, gambaran awal EKG dan
pemeriksaan laboratorium enzim jantung awal tidak bisa menyingkirkan adanya SKA,
oleh karena perubahan EKG yang dinamis dan peningkatan enzim baru terjadi beberapa
jam kemudian. Pada kondisi ini diperlukan pengamatan secara serial sebelum
menyingkirkan diagnosis SKA.
Gejala
Gejala-gejala umum iskemia dan infark miokard adalah nyeri dada retrosternal. Yang
perlu diperhatikan dalam evaluasi keluhan nyeri dada iskemik SKA adalah:
1. Lokasi nyeri di daerah retrosternal dan pasien sulit melokalisasi rasa nyeri
8
2. Deskripsi nyeri; pasie mengeluh rasa berat seperti dihimpit, ditekan, diremas,
panas, atau dada terasa penuh. Keluhan tersebut lebih dominan dibandingkan rasa
nyeri yang sifatnya tajam. Perlu diwaspadai juga bila pasien mengeluh nyeri
epigastrik, sinkope atau sesak nafas (equivalent angina).
3. Penjalaran nyeri; penjalaran ke lengan kiti, bahu, punggung, epigastrium, leher
rasa tercekik atau rahang bawah (rasa ngilu) kadang penjalaran ke lengan kanan
atau kedua lengan.
4. Lama nyeri; nyeri pada SKA dapat berlangsung lama, lebih dari 20 menit. Pada
STEMI, nyeri lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan istirahat atau nitrat
sublingual.
5. Gejala sistemik; disertai keluhan seperti mual, muntah atau keringat dingin.
Perlu diperhatikan ada hal-hal yang dapat menyerupai dada iskemia:
 Diseksi aorta
 Emboli paru akut
 Efusi perikardial akut dengan tamponade jantung
 Tension pneumothorax
 Pericarditis
 GERD (Gastro Esophageal Reflux Disease)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada SKA umumnya normal. Terkadang pasien terlihat cemas, keringat
dingin atau didapat tanda komplikasi berupa takipnea, takikardia-bradikardia, adanya
galop S3, ronki basah halus di paru, atau terdengar bising jantung (murmur). Bila tidak
ada komplikasi hampir tidak ditemukan kelainan yang berarti.
Elektrokardiogram
Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) merupakan pemeriksaan penunjang penting
dalam diagnosis SKA untuk menentukan tata laksana selanjutnya. Berdasarkan gambaran
EKG pasien SKA dapat diklasifikasikan dalam 3 kelompok:
1. Elevasi segmen ST atau LBBB (left bundle branch block yang baru atau dianggap
baru). Didapatkan gambaran elevasi segmen ST minimal di dua lead yang
berhubungan.
2. Depresi segmen ST atau inversi gelombang T yang dinamis pada saat pasien
mengeluh nyeri dada.
3. EKG non diagnostik baik normal ataupun hanya ada perubahan minimal.
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk menilai adanya tanda nekrosis miokard seperti CK-
MB, Troponin T dan I, serta Mioglobin dipakai untuk menegakkan diagnosis SKA.
Troponin lebih dipilih karena lebih sensitif daripada CKMB. Troponin juga berguna
untuk diagnosis, stratifikasi risiko, dan menentukan prognosis. Troponin yang meningkat
9
dihubungkan dengan peningkatan risiko kematian. Pada pasien dengan STEMI, reperfusi
tidak boleh ditunda hanya untuk menunggu enzim jantung.
Mioglobin merupakan suatu protein yang dilepaskan dari sel miokard yang mengalami
kerusakan, dapat meningkat setelah jam-jam awal terjadinya infark dan mencapai puncak
pada jam 1 s/d ke-4 dan tetap tinggi sampai 24 jam.
CKMB merupakan isoenzim dari creatinin kinase, yang merupakan konsentrasi
terbesar dari miokard. Dalam jumlah kecil CKMB juga dapat dijumpai di otot rangka,
usus kecil, atau diafragma. Mulai meningkat 3 jam setelah infark dan mencapai puncak
12-14 jam. CKMB akan mulai menghilang dalam darah 48-72 jam setelah infark.
Troponin mengatur interaksi kerja aktin dan myosin dalam otot jantung dan lebih
spesifik dari CKMB. Mempunyai dua bentuk Troponin T dan I, enzim ini mulai
meningkat pada jam 3 s/d 12 jam setelah onset iskemik. Mencapai puncak pada 12-24
jam dan masih tetap tinggi sampai hari ke 8-21 (Trop T) dan 7-14 (Trop I). Peningkatan
enzim ini berhubungan dengan bukti adanya nekrosis miokard dan menunjukkan
prognosis yang buruk pada SKA.

F. PENATALAKSANAAN

10
Secara umum tatalaksana STEMI dan NSTEMI hampir sama, baik prehospital
maupun saat di rumah sakit. Hanya berbeda dalam strategi reperfusi terapi, di mana
STEMI lebih ditekankan untuk segera melakukan reperfusi, baik dengan medikamentosa
(trombolisis) atau intervensi (percutaneus coronary intervention-PCI). Berdasarkan
AHA/ACC tahun 2010, sangat ditekankan waktu efektif reperfusi terapi. Bila
memungkinkan trombolisis dilakukan saat prehospital untuk menghemat waktu.
1. Prehospital
Tindakan-tindakan prehospital dilakukan oleh Emergency Medical Service sebelum
pasien tiba di rumah sakit, biasanya di dalam ambulans.
 Monitoring, dan amankan ABC. Persiapkan diri untuk melakukan RJP dan
defibrilasi
 Berikan aspirin, dan pertimbangkan oksigen, nitrogliserin, dan morfin jika
diperlukan
 Pemeriksaan EKG 12 sandapan dan interpretasi. Jika ada ST elevasi,
informasikan rumah sakit, catat waktu onset dan kontak pertama dengan tim
medis
 Lakukan pemberitahuan ke RS untuk melakukan persiapan penerimaan pasien
dengan STEMI
 Bila akan diberikan fibrinolitik prehospital, lakukan check-list terapi fibrinolitik.
2. Di Rumah Sakit

11
Di ruang gawat darurat dilakukan dua kelompok tindakan secara simultan, yaitu penilaian
awal dan tata laksana umum awal.
Penilaian awal di IGD (<10 menit)
 Cek tanda vital, evaluasi saturasi oksigen
 Pasang akses intravena
 Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang singkat dan terarah
 Lengkapi check list fibrinolitik, cek kontraindikasi
 Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit, dan pembekuan darah
 Pemeriksaan foto thorax portabel (<30 menit setelah pasien sampai di IGD)
Tata laksana awal di IGD
 Segera berikan Oksigen 4 L/menit kanul nasal bila saturasi O2<94%
 Berikan Aspirin 160-325 mg dikunyah (bila belum diberikan prehospital)
 Nitrogliserin/nitrat sublingual atau semprot
 Morfin IV jika nyeri dada tidak berkurang dengan nitrogliserin/nitrat
Oksigen
Oksigen diberikan pada semua pasien dengan sesak nafas, tanda gagal jantung, syok, atau
saturasi oksigen <94%. Monitoring non invasif tentang kadar oksigen darah akan sangat
bermanfaat untuk mengetahui apakah perlu diberikan oksigen pada pasien. Berdasarkan
konsensus terbaru 2010 tentang RJP oleh AHA/ACC, tidak ada bukti manfaat pemberian
oksigen aliran tinggi (high flow) pada pasien SKA yang masuk emergensi bila tidak ada
komplikasi kardiovaskular atau bila saturasi oksigen masih dalam batas normal. Begitu
pula pemberian oksigen aliran rendah (low flow) bila saturasi oksigen dalam batas
normal. Penelitian menunjukkan pemberian oksigen mampu mengurangi ST elevasi pada
infark anterior. Berdasarkan konsensus, dianjurkan pemberian oksigen lebih dari 6 jam
pertama terapi. Pemberian oksigen lebih dari 6 jam secara klinis tidak bermanfaat,
kecuali pada keadaan di bawah ini:
 Pasien dengan nyeri dada menetap atau berulang atau hemodinamik yang tidak
stabil
 Pasien dengan tanda bendungan paru
 Pasien dengan saturasi oksigen <90%
Aspirin
Aspirin direkomendasikan kepada semua pasien SKA, kecuali terdapat kontraindikasi.
Aspirin diberikan 160-325 mg dikunyah untuk pasien yang belum mendapat aspirin dan
tidak ada riwayat alergi serta tidak ada bukti perdarahan lambung saat pemeriksaan.
Aspirin dapat menurunkan reoklusi koroner dan berulangnya kejadian iskemik setelah
terapi fibrinolitik. Penggunaan aspirin supositoria dapat dilakukan pada pasien dengan

12
mual, muntah atau ulkus peptik, atau gangguan pada saluran cerna atas. Dosis
pemeliharaan 75-100 mg/hari.
Analgetik
Analgetik terpilih pada pasien SKA adalah morfin. Pemberian morfin dilakukan jika
pemberian nitrogliserin sublingual atau semprot tidak respon. Morfin merupakan
pengobatan yang cukup penting pada SKA oleh karena:
 Menimbulkan efek analgesik pada SSP yang dapat mengurangi aktivasi
neurohumoral dan menyebabkan pelepasan katekolamin
 Menghasilkan venodilatasi yang akan mengurangi beban ventrikel kiri dan
mengurangi kebutuhan oksigen
 Menurunkan tahanan vaskular sistemik, sehingga mengurangi afterload ventrikel
kiri
 Membantu redistribusi volume darah pada edema paru akut
Clopidogrel dan antiplatelet lain
Clopidogrel (antiagregasi platelet) terutama bermanfaat pada pasien STEMI dan
NSTEMI risiko sedang sampai tinggi, dengan dosis pertama (loading dose) 300 mg yang
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg. Untuk pasien yang dipersiapkan untuk
invasif terapi diberikan dosis 600 mg.
3. Kaji EKG 12 sandapan
EKG 12 sandapan harus sudah diperoleh hasilnya dan diinterpretasikan dalam 10 menit
pertama pasien datang di ruang gawat darurat. Berdasarkan hasil EKG, SKA dibagi
menjadi:
 SKA dengan ST elevasi/STEMI bila terdapat gambaran ST elevasi atau LBBB
baru
 Angina Pektoris Tidak Stabil risiko tinggi atau infark miokard Non ST elevasi
(UA/NSTEMI) bila pada EKG ditemukan ST depresi atau inversi gelombang T
dinamis
 Angina Pektoris Tidak Stabil risiko rendah/intermediatte, bila EKG normal atau
perubahan ST segmen/gelombang T tidak diagnostik

STEMI
Pasien dengan SKA STEMI biasanya terjadi penyumbatan yang lengkap (complete) pada
arteri koroner epikardial.
Pengobatan utama pada SKA STEMI adalah terapi reperfusi segera yang dapat dilakukan
dengan fibrinolitik atau PCI primer. Terapi fibrinolitik segera atau PCI sudah merupakan
standard pengobatan pasien STEMI yang onset serangan masih dalam 12 jam dan tidak

13
terdapat kontraindikasi. Terapi reperfusi mengurangi mortalitas dan menyelamatkan
jantung. Makin pendek waktu reperfusi manfaatnya makin besar.

Terapi Reperfusi pada STEMI


Reperfusi pada pasien SKA mengembalikan aliran koroner pada arteri yang berhubungan
dengan area infark, dan menurunkan mortalitas jangka panjang. Fibrinolitik berhasil
mengembalikan aliran normal koroner pada 50-60% kasus, sedangkan PCI dapat
mengembalikan aliran normal sampai 90% kasus, dan manfaat ini lebih besar didapatkan
pada pasien dengan syok kardiogenik. PCI juga menurunkan risiko perdarahan
intrakranial dan stroke.
Pada SKA STEMI dan LBBB baru atau dugaan baru, sebelum melakukan terapi reperfusi
harus dilakukan evaluasi sebagai berikut:
 Langkah I
o Nilai waktu onset serangan
o Risiko STEMI
o Risiko fibrinolisis
o Waktu yang diperlukan dari transportasi kepada ahli intervensi
(kateterisasi/PCI) yang tersedia
 Langkah II
 Strategi terapi reperfusi (fibrinolisis atau invasif)

Terapi Fibrinolitik

14
Pengobatan fibrinolisis lebih awal (door-drug <30 menit) dapat membatasi luasnya
infark, fungsi ventrikel normal, dan mengurangi angka kematian. Beberapa jenis obat
fibrinolitik misalnya Alteplase recombinant (Activase), Reteplase, Tenecplase, dan
Streptokinase (Streptase). Di Indonesia umumnya tersedia Streptokinase, dengan dosis
pemberian sebesar 1,5 juta U, dilarutkan dalam 100 cc NaCl 0,9% atau Dextrose 5%,
diberikan secara infus selama 30-60 menit.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:
 Fibrinolisis bermanfaat diberikan pada pasien:
o ST elevasi atau perkiraan LBBB baru
o Infark miokard yang luas
o Pada usia muda dengan risiko perdarahan intraserebral yang lebih rendah
 Fibrinolisis kurang bermanfaat pada:
o Onset serangan setelah 12-24 jam atau infark kecil
o Pasien usia >75 tahun
 Fibrinolisis mungkin berbahaya pada:
o Depresi segmen ST
o Onset lebih dari 24 jam
o Pada TD tinggi (TD sistolik >175 mmHg)
Kontraindikasi absolut terapi fibrinolitik adalah:
 Perdarahan intracranial kapanpun
 Stroke iskemik kurang dari 3 bulan dan lebih dari 3 jam
 Tumor intrakranial
 Adanya kelainan struktur vaskular serebral (AVM)
 Kecurigaan diseksi aorta
 Perdarahan internal aktif atau gangguan sisem pembekuan darah
 Cedera kepala tertutup atau cedera wajah dalam 3 bulan terahir
Kontraindikasi relatif terapi fibrinolitik adalah:
 TD yang tidak terkontrol
 TD sistolik >180 mmHg, TD diastolik >110 mmHg
 Riwayat stroke iskemik >3 bulan , demensia
 Trauma atau RJP lama (>10 menit) atau operasi besar < 3 bulan
 Perdarahan internal dalam 2-4 minggu
 Penusukan pembuluh darah yang sulit dilakukan penekanan
 Pernah mendapat streptokinase/anistreplase 5 hari yang lalu atau lebih, atau
riwayat alergi terhadap obat tersebut
 Hamil
 Ulkus peptikum aktif
 Sedang menggunakan antikoagulan dengan hasil INR tinggi

Tindakan PCI primer

15
Angioplasti koroner dengan atau tanpa pemasangan stent adalah terapi terpilih pada tata
laksana STEMI bila dapat dilakukan kontak doctor-balloon atau door-balloon <90 menit
pada pusat kesehatan yang mempunyai fasilitas PCI terlatih.
Pilihan untuk PCI primer efektif dilaksanakan pada pasien:
 Syok kardiogenik
 STEMI usia >75 tahun dan syok kardiogenik
 Pasien kontraindikasi fibrinolisis

TERAPI FIBRINOLISIS TERAPI INVASIF (PCI)


 Onset < 3 jam  Onset > 3 jam
 Terapi invasif bukan pilihan (tidak  Tersedia ahli PCI
o Kontak medik-balloon atau
ada akses ke fasilitas PCI atau akses
vaskular sulit) atau akan door-baloon < 90 menit
o (Door-balloon) minus (door-
menimbulkan penundaan:
o Kontak medik-balloon atau needle) < 1 jam
 KI fibrinolisis, termasuk risiko
door-balloon > 90 menit
o (Door-balloon) minus (door- perdaahan dan perdarahan
intraserebral
needle) > 1 jam
 STEMI risiko tinggi (CHF, Killip ≥ 3)
 Tidak terdapat KI fibrinolisis
 Diagnosis STEMI diragukan

G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering adalah gangguan irama dan gangguan pompa jantung.
Gangguan irama dapat bersifat fatal bila menyebabkan henti jantung, misalnya pada VF
atau VT tanpa nadi. Komplikasi gangguan pompa jantung dapat menyebabkan gagal
jantung akut. Komplikasi gagal jantung pada ACS STEMI diklasifikasikan dalam
Klasifikasi Kilip. Berikut ini klasifikasi Killip dan kaitan dengan mortalitas di RS.
Kelas Killip Mortalitas RS (%)
I Tidak ada komplikasi 6
II Gagal jantung: ronki, S3, tanda bendungan paru 17
III Edema paru, ditandai dengan ronki basah di 38
seluruh lapangan paru
IV Syok kardiogenik, ditandai TD sistolik < 90 81
mmHg dan tanda hipoperfusi jaringan

H. PROGNOSIS
Prognosis pada kasus SKA ditentukan dari pertanda klinis dan pertanda EKG. Petanda
klinis yang umum seperti usia lanjut, adanya diabetes, gagal ginjal dan penyakit
komorbid lain, dapat menentukan prognosis pasien. Adanya gejala saat istirahat

16
memberikan prognosis yang buruk. Selain itu, nyeri yang berkelanjutan atau sering serta
adanya takikardia, hipotensi dan gagal jantung juga pertanda peningkatan risiko dan
memerlukan diagnosis dan penanganan segera.
Hasil EKG awal dapat memperkirakan risiko awal. Pasien dengan EKG yang normal
saat tiba di RS memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien dengan inversi
gelombang T. Selain itu, adanya depresi segmen ST saat tiba, inversi gelombang T yang
dalam di sandapan anterior, depresi segmen ST ≥ 0,1 mV atau ≥ 0,05 mV di dua atau
lebih sadapan yang berselebahan, dan elevasi ST ≥ 0,1 mV di sadapan aVR memberikan
prognosis yang lebih buruk.

DAFTAR PUSTAKA

1. Irmalita, dkk. 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Edisi 3. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI).
2. Putranto, Bondan H. dan Adrianus Kosasih. 2015. Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup
Jantung Lanjut. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
(PERKI).
3. Steg, Gabriel, et al. 2012. “ESC Guidelines for the management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation.” European Heart Journal.
Oxford: Oxford University Press.

17
LAPORAN PORTFOLIO RUMAH SAKIT
KASUS IGD

SEORANG WANITA 90 TAHUN DENGAN


CORONARY HEPATO RENAL SYNDROME

Disusun Oleh :
dr. Gloria Sheila Ratna Utari

Pendamping :
dr. Triyono
dr. Ismy Dianti
18
PROGRAM DOKTER INTERNSHIP
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MUNTILAN
MAGELANG
2016

19

Anda mungkin juga menyukai