I. IDENTITAS PASIEN
DATA PASIEN AYAH IBU
Nama An. A Tn. D Ny. S
Umur 10 bulan 30 tahun 28 tahun
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Perempuan
Alamat Debong tengah RT 01 RW 06
Agama Islam Islam Islam
Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa
Pendidikan - SMA SMA
Pekerjaan - Swasta Ibu Rumah Tangga
Penghasilan - Rp.1.500.000,-/bulan Rp.-
Keterangan Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung
Asuransi Umum
No. RM 797867
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu kandung pasien pada hari
Jumat, tanggal 22 September 2015, pukul 14.30 WIB, di bangsal Wijaya Kusuma RSU
Kardinah.
a. Keluhan Utama
Kejang
b. Keluhan tambahan
Demam, batuk, sesak nafas
Keadaan rumah :
e. Riwayat kelahiran
Tempat kelahiran : Bidan
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan : Pervaginam
HPHT/ TP : Lupa
Masa gestasi : Cukup bulan (9 bulan)
Air ketuban : Jernih
Berat badan lahir : 2500 gram
Panjang badan lahir : 49 cm
Lingkar kepala : lupa
Langsung menangis : Ya
Nilai APGAR : tidak tahu
Plasenta : tidak tahu
Kelainan bawaan : Tidak ada
Kesan: neonatus aterm, lahir spontan, bayi dalam keadaan sehat.
k. Riwayat imunisasi
Tanda Vital
Status Internus
Depan Belakang
Kiri Simetris saat statis dan dinamis, Simetris saat statis dan dinamis
retraksi minimal
Inspeksi
Kanan Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis
Retraksi minimal
Cor :
Palpasi Teraba ictus cordis 1 cm medial linea midklavikula kiri sela iga V
Abdomen
Inspeksi Datar, simetris, tampak sedikit buncit
V. PEMERIKSAAN KHUSUS
LK : 47 cm
Kesan : mesocephali
Infeksi - Meningitis
intrakranial - Ensefalitis
- Meningoensefalitis
- SOL
- Perdarahan
- Metabolik
2. Batuk Intrapulmonal: Ekstrapulmonal
Sesak - Efusi Pleura - Aspirasi benda asing
- Edema Paru - Penyakit jantung
- ISPA
3. Status - Normal
gizi - Kurang
- Buruk
X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
Quo ad functionam :dubia ad bonam
Tanda-Tanda vital
Chart Title
T RR HR
160
140 140 140
134
124 128
120 120
100
80
70
60 60
48
40 38.2 38.2 38.7 39.2 36.7 36
32 32 32
20
0
17-Sep 18-Sep 19-Sep 20-Sep 21-Sep 22-Sep 23-Sep
Follow Up Pasien
O Ku : tss, kejang (-), sesak (-) Ku : tss, kejang (-), Ku : tss, kejang (-). Sesak
sesak (-) (-)
S Demam h-5, batuk (+), pilek Demam h-6, batuk, pilek Demam h-7, batuk <<,
(+), bersin-bersin (-), sesak pilek<<, BAB menceret (-)
O Ku : tss, kejang (-), sesak (-) Ku : tss, kejang (-), sesak Ku : tss, kejang (-). Sesak (+)
(+)
Abd : hepatomegali 1/3-1/3 Thoraks: RH +/+
Thoraks: RH +/+
Abd : hepatomegali 1/3-1/3
Abd : hepatomegali 1/3-
1/3
Dd/ ISPA
DEFINISI
Infeksi virus dengue pada manusia merupakan suatu spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi antara penyakit yang paling ringan (mild undifferentiated febrile illness),
demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) sampai demam berdarah dengue disertai
syok (dengue shock syndrome/DSS). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini
memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat
di RS sebagai puncak gunung
EPIDEMIOLOGI
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan
oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue
menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse
koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut
demikian karena demam yang terjadimenghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri
pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia
Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian.
Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi
klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke
negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968
penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat
tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD
sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak
terencana & tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di
daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan mortalitas
infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain status imunitas pejamu,
kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue,
dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus
dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran
penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh
propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa.
Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi
berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue
dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan
kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu
lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat,
maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada
umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga
kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.
ETIOLOGI
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan ukuran 50 nm
dan mengandung RNA rantai tunggal. jHingga saat ini dikenal empat serotipe yaitu
DEN-1,DEN-2,DEN-3, dan DEN-4. Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes dari
subgenus Stegomya. Aedes aegypty merupakan vektor epidemik yang paling penting
disamping spesies lainnya seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis yang merupakan
vektor sekunder dan epidemi yang ditimbulkannya tidak seberat yang diakibatkan Aedes
aegypty.
Gambar 1 Profil Nyamuk Aedes jika dibandingkan dengan culex
PATOGENESIS
Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya perembesan
plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai peningkatan
hematokrit dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini membedakan demam
dengue dan demam berdarah dengue.
Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas.Beberapa teori dan hipotesis yang
dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah :
1. Teori virulensi virus
2. Teori imunopatologi
3. Teori antigen antibodi
4. Teori infection enchancing antibody
5. Teori mediator
6. Teori endotoksi
7. Teori limfosit
8. Teori trombosit endotel
9. Trombosit apoptosis
Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori enhancing antibody
dan teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting untuk dipahami.
Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe berbeda dapat
memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil laboratorium hanya berlaku
pada anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan uji HI, DBD berat pada anak
dibawah 1 tahun ternyata merupakan infeksi primer. Gejala klinis terjadi akibat adanya Ig
G anti dengue dari ibu. Dari observasi ini, diduga kuat adanya antibodi virus dengue dan
sel T memori berperan penting dalam patofisiologi DBD.
Teori enhancing antibody/ the immune enhancement theory
Teori ini dikembangkan Halstead tahun 1970an. Belaiau mengajukan dasar
imunopatologi DBD/DSS akibat adanya antibodi non-neutralisasi heterotrpik selama
perjalanan infeksi sekunder yang menyebabkan peningkatan jumlah sel mononuklear
yang terinfeksi virus dengue. Berdasarkan data epuidemiologi dan studi in vitro, teorui
ini saat ini dikenal sebagai ”antibody dependent enhancement” (ADE) yang dianut untuk
menjelaskan patogenesis DBD/DSS. Hipotesisi ini juga mendukung bahwa pasien yang
menderita infeksi sekunder dengan serotipe virus dengue heterolog memiliki risiko lebih
tinggi mengalami DBD dan DSS.
Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus DEN akan
masuk dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu :
- Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor Fc
dan masuk dalam monosit
- Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan
sumsum tulang (terjadi viremia).
- Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan berbagai
sistem humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi (sistem komplemen),
sitokin dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan
mengaktivasi faktor koagulasi.
Antibodi Ig G yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari:
- Antibodi yang menghambat replikasi virus (antibodi netralisasi)
- Antibodi yang memacu replikasi virus dalam monosit (infection enhancing
antibody).
Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan kompleks
imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari
bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan akan cenderung lebih berat. Penelitian
in vitro menunjukkan jika kompleks antibodi non netralisasi dan dengue ditambahkan
dalam monosit akan terjadi opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel terinfeksi sedangkan
virus tetap hidup dan berkembang. Artinya antibodi non netralisasi mempermudah
monosit terinfeksi sehingga penyakit cenderung lebih berat.
Hipotesis ADE ini telah mengalami beberapa modifikasi yang mencakup respon imun
meliputi limfosit T dan kaskade sitokin. Rothman dan Ennis (1999) menjelaskan bahwa
kebocoran plasma (plasma leakage) pada infeksi sekunder dengue terjadi akibat efek
sinergistik dari IFN-γ, TNF-α dan protein kompleman teraktivasi pada sel endotelial di
seluruh tubuh.
Hipotesis ADE dijelaskan sebagai berikut; antibodi dengue mengikat virus membentuk
kompleks antibodi non netralisasi-virus dan berikatan pada reseptor Fc monosit
(makrofag). Antigen virus dipresentasikan oleh sel terinfeksi ini melalui antigen MHC
memicu limfosit T (CD4 dan CD 8) sehingga terjadi pelepasan sitokin (IFN-γ) yang
mengaktivasi sel lain termasuk makrofag sehingga terjadi up-regulation pada reseptor Fc
dan ekspresi MHC. Rangkaian reaksi ini memicu imunopatologi sehingga faktor lain
seperti aktivasi komplemen, aktivasi platelet, produksi sitokin (TNFα, IL-1,IL-6) akan
menyebabkan eksaserbasi kaskade inflamasi.
PERJALANAN PENYAKIT
Virus dengue menyebabkan infeksi simtomatik maupun yang simtomatik. Bentuk infeksi
yang simtomatik memiliki spektrum klinis yang luas, baik yang parah atau tidak parah.
Setelah periode inkubasi, progresivitas penyakit akan mulai dengan mendadak, diikuti
dengan tiga fase berikut – demam (febrile), kritis, dan penyembuhan (recovery).
Meskipun perkembangan penyakit ini sangat kompleks dalam hal manifestasi klinis-nya,
penatalaksanaannya relatif sederhana, tidak mahal, dan sangat berguna dalam
penyelamatan hidup, selama intervensi yang dilakukan cepat dan tepat. Kunci menuju
prognosis yang baik ialah pemahaman dan waspada akan masalah klinis yang muncul
selama fase yang berbeda. Manajemen yang baik pada lini pertama pelayanan kesehatan
diharapkan dapat menurunkan angka lama rawat inap di rumah sakit rujukan, serta dapat
menyelamatkan hidup pasien dengan infeksi virus dengue. Berikut merupakan fase
infeksi virus dengue:
1. Fase febris
Secara khas, individu akan mengalami demam tinggi yang mendadak selama 2 –
7 hari dan sering disertai dengan kemerahan pada wajah, eritema kulit, nyeri pada
badan yang sifatnya umum, mialgia, artralgia, nyeri retro-orbita, fotofobia,
eksantem yang mirip dengan rubella, serta nyeri kepala. Beberapa pasien
menunjukkan manifestasi berupa nyeri tenggorok, kemerahan pada faring, injeksi
konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah lazim dijumpai. Sulit untuk
membedakan secara klinis penyakit dengue dengan non-dengue saat-saat awal
demam, namun hasil tes torniquet yang positif lebih mengindikasikan ke arah
dengue. Bagaimana pun juga manifestasi klinis yang ditunjukkan tidak
menggambarkan tingkat keparahan penyakit. Maka dari itu sangat penting untuk
mengawasi tanda-tanda bahaya dan parameter klinis yang lain dalam rangka
memahami proses ke arah fase kritis.
Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran mukosa
dapat dijumpai. Memar dan perdarahan yang mudah terjadi (spontan) pada lokasi
injeksi vena juga ditemui pada beberapa kasus. Perdarahan gastrointestinal juga
terjadi pada fase ini meskipun tidak lazim. Hepar dapat membesar dan kenyal
setelah beberapa hari demam. Prediksi yang tepat pada pemeriksaan hitung darah
lengkap yaitu menurunnya kadar leukosit darah yang progresif. Selain itu, pasien
akan menunjukkan kehilangan kemampuan untuk beraktivitas sehari-hari, seperti
masuk sekolah, belajar, bermain, maupun berinteraksi sosial.
2. Fase Kritis
Selama transisi dari fase febris ke fase yang non-febris, pasien tanpa adanya
peningkatan permeabiltas kapiler akan membaik tanpa mengalami fase kritis ini.
Jika tidak, disertai dengan demam tinggi, pasien dengan peningkatan
permeabilitas kapiler, dapat memunculkan manifestasi dengan tanda bahaya,
kebanyakan merupakan akibat dari kebocoran plasma.
Tanda-tanda bahaya (warning signs) merupakan pertanda mulainya fase kritis.
Keadaan umum menjadi lebih buruk dengan teperatur turun menjadi 37.5 – 38 C
atau kurang dan tetap dibawah, biasanya terjadi pada hari 3 – 8. Leukopenia
progresif diikuti dengan penurunan trombosit biasanya mendahului kebocoran
plasma. Peningkatan hematokrit diatas nilai normal dapat menjadi tanda
tambahan. Periode kebocoran plasma secara klinis biasanya terjadi dalam 24 – 48
jam. Tingkat kebocoran sangat bervariasi. Peningkatan hematokrit mendahului
perubahan pada tekanan darah dan volume nadi.
Derajat hemokonsentrasi diatas normal ini mencerminkan keparahan akan
kebocoran plasma; bagaimana pun hal ini dapat diturunkan dengan terapi cairan
intravena secara dini. Efusi pleura dan asites biasanya secara klinis dapat
dideteksi seteah terapi cairan intravena, kecuali pada kebocoran plasma yang
berat. Foto toraks posisi lateral dekubitus atau USG yang memperlihatkan air
fluid level pada toraks dan abdomen, maupun edema pada dinding vesika fellea
dapat menjadi deteksi dini. Disamping kebocoran plasma, manifestasi perdarahan
seperti mudah memar, dan hematom pada daerah injeksi juga sering terjadi.
Jika syok terjadi akibat volume kritis plasma ikut hilang lewat kebocoran, maka
sering didahului dengan tanda bahaya. Suhu tubuh menjadi subnormal ketika
syok terjadi. Jika terjadi syok berkepanjangan (prolonged shock), hipoperfusi
akan mengakibatkan asidosis metabolik, kegagalan fungsi organ, dan DIC
(disseminated Intravascular Coagulation). Hal ini kemudian akan menyebabkan
perdarahan berat, yang mengakibatkan hematokrit turun (pada syok yang berat).
Leukosit dapat meningkat sebagai tanda stres adanya perdarahan berat.
Tanda bahaya. Tanda bahaya mendahului manifestasi syok dan muncul setelah
fase demam, biasanya pada hari 3 – 7. Muntah persisten dan nyeri perut berat
adalah indikasi dini dari kebocoran plasma dan terus memburuk ketika memasuki
keadaan syok. Pasien akan menjadi letargi, lemah, pusing, dan mengalami
hipotensi postural selama keadaan syok. Perdarahan spontan pada membran
mukosa atau pada daerah suntikan menjadi gejala yang penting. Hepar yang
membesar dan kenyal biasanya dijumpai. Bagaimanapun akumulasi cairan dapat
dideteksi jika kehilangan plasma signifikan atau setelah penanganan dengan
cairan intravena. Penurunan yang cepat dan progresif pada hitung trombosit
hingga 100.000 sel/mm kubik dan peningkatan hematokrit diatas normal mungkin
menjadi tanda paling awal dari kebocoran plasma. Hal ini biasanya mendahului
kejadian leukopenia (≤5000 sel/mm kubik).
3. Fase Penyembuhan
Ketika pasien bertahan hidup 24 – 48 jam pada fase kritis, reabsorpsi lambat dari
cairan pada ruang ekstravaskuler terjadi pada 48 – 72 jam berikutnya. Keadaan
umum membaik, nafsu makan meningkat, status hemodinamik dan diuresis
menjadi stabil. Beberapa pasen dapat memiliki ruam yang disebut ‘Pulau Putih
diatas Laut Merah’. Beberapa pasien juga akan mengalami pruritus. Hitung
hematokrit akan normal atau rendah karena efek dilusional dari cairan yang
tereabsorpsi. Sel darah putih biasanya mulai meningkat. Hitung trombosit
biasanya secara khas lebih akhir daripada sel darah putih. Distres respirasi dari
efusi pleura masif dan asites akan terjadi kapan pun jika terapi intravena
diberikan secara berlebihan. Selama fase kritis dan atau penyembuhan, terapi
cairan yang berlebihan berhubungan dengan edema pulmonal atau gagal jantung
kongestif.
Masalah klinis yang bervariasi selama fase-fase yang berbeda dapat disimpulkan
ke dalam tabel berikut.
4. Severe Dengue
Didefinisikan sebagai satu atau lebih dari yang berikut ini: 1) kebocoran plasma
yang mengakibatkan syok (syok dengue) dan atau akumulasi cairan, dengan atau
tanpa distres respirasi, dan atau 2) perdarahan berat, dan atau 3) gangguan organ
berat.
Selama tahap awal dari syok, mekanisme kompensasi yang mempertahankan
tekanan darah sistolik normal juga menyebabkan takikardia dan vasokonstriksi
perifer disertai perfusi kulit yang menurun, yang ditandai sebagai akral dingin dan
CRT yang menurun. Uniknya, tekanan diastolik meningkat terhadap tekanan
sistolik dan tekanan nadi menyempit oleh karena adanya peningkatan resistensi
perifer. Syok hipotensif yang berkepanjangan (prolonged) dan hipoksia dapat
megakibatkan kegagalan multi-organ.
Seorang pasien dianggap memiliki syok jika tekanan nadi (selisih antara tekanan
sistolik dengan diastolik) ≤ 20 mmHg pada anak-anak atau memiliki tanda dari
perfusi kapiler yang parah (akral dingin, CRT yang menurun, atau frekuensi nadi
yang meningkat). Hipotensi berhubungan dengan syok berkepanjangan yang
sering berkomplikasi pada perdarahan besar.
Pasien dengan severe dengue dapat memiliki abnormalitas fungsi koagulasi,
namun hal ini kurang efisien dalam menyebabkan perdarahan besar. Ketika
perdarahan besar terjadi, hampir selalu berhubungan dengan syok berat, dengan
kombinasi trombositopenia, hipoksia, dan asidosis, menyebabkan kegagalan
organ multipel dan DIC lanjut. Perdarahan masif dapat terjadi tanpa harus syok
berkepanjangan pada pemberian aspirin (asam asetilsalisilat), ibuprofen, atau
kortikosteroid.
Severe Dengue sebaiknya dipertimbangkan jika pasien dari daerah yang beresiko
infeksi dengue, memperlihatkan demam 2 – 7 hari ditambah berapapun dari
tanda-tanda dibawah ini:
- Ada bukti kebocoran plasma (plasma leakage), seperti nilai hematokrit
yang tinggi atau secaraprogresif meningkat, asites atau efusi pleura, syok
atau gangguan sirkulasi (takikardia, akral dingin , CRT lebih dari 3 detik,
denyut nadi lemah atau tak terukur, tekanan nadi menyempit, atau pada
syok lanjut, tekanan darah yang tak terukur).
- Ada perdarahan yang bermakna
- Ada perubahan kesadaran (letargi atau restlessness, koma, konvulsi)
- Keterlibatan sistem gastrointestinal (muntah persisten, nyeri perut
bertambah hebat, ikterik)
- Adanya gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut,
ensefalopati atau ensefalitis, atau manifestasi lainnya yang tak lazim,
kardiomiopati)
MANIFESTASI KLINIS
Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yang dianut Depkes, yaitu:
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis yang akurat dan efisien adalah kepentingan utama dalam pelayanan klinis.
Metode diagnosis laboratoris untuk menentukan infeksi virus dengue meliputi deteksi
adanya virus, asam nukleat virus, antigen dan antibodi, atau kombinasi dari ketiga teknik
ini. Setelah onset penyakit, virus dapat dideteksi di dalam serum, plasma, dan sel-sel
darah yang berirkulasi, serta pada jaringan lain, selama 4 – 5 hari. Selama tahap pertama
dari penyakit, isolasi virus, asam nukleat atau deteksi antigen dapat digunakan untuk
mendiagnosis infeksi. Di akhir fase akut infeksi, serologi adaah metode pilihan untuk
diagnosis.
Respon antibodi terhadap infeksi berbeda-beda tergantung dari status imun pejamu.
Ketika infeksi dengue terjadi pada individu yang belum pernah terinfeksi sebelumnya
dengan flavivirus atau terimunisasi dengan vaksin flavivirus, tubuh pasien akan
mengalami respon antibodi primer yang ditandai dengan peningkatan lambat dari
antibodi spesifik. IgM merupakan isotipe imunogloulin pertama yang muncul. Antibodi
ini terdteksi 50% pada hari 3 -5 setelah onset, meningkat 80% pada hari ke-5 dan 99%
pada hari ke-10 (Gambar 3). Kadar IgM memuncak kira-kira 2 minggu setelah onset
gejala dan umumnya menurun hingga tak terdeteksi pada 2 -3 bulan. IgG umunya dapat
dideteksi pada kadar rendah di akhir minggu pertama sakit, kemudian meningkat
perlahan, dapat tetap berada di serum beberapa bulan, bahkan mungkin seumur hidup.
Selama infeksi dengue sekunder (infeksi dengue pada pejamu yang telah terinfeksi
sebelumnya oleh virus dengue, atau kadang setelah vaksinasi atau infeksi flavivirus non-
dengue), titer antibodi meningkat dengan cepat dan bereaksi secara luas terhadap
berbagai macam flavivirus. Isotipe imunogloulin yang dominan ialah IgG yang terdeteksi
pada kadar yang tinggi, bahkan pada fase akut, dan bertahan hingga 10 bulan bahkan
seumur hidup. Pada tahap penyembuhan dini, kadar IgM secara signifikan lebih rendah
pada infeksi sekunder dan mungkin tak terdeteksi di beberapa kasus. Untuk membedakan
infeksi primer atau sekunder dengue, rasio IgM/IgG sekarang digunakan secara umum
daripada uji hemoaglutinin-inhibisi (uji HI).
Gambar 3 Garis waktu infeksi virus dengue primer dan sekunder dan metode diagnostik yang digunakan untuk
mendeteksi adanya infeksi
Infeksi dengue menghasilkan spekrum gejala yang luas, banyak diantaranya adalah tidak
spesifik. Maka dari itu, diagnosis berdasarkan gejala klinis tak dapat dipercaya. Sebelum
hari-5 sakitm selama periode demam, infeksi dengue dapat didiagnosis oleh isolasi virus
pada kultur sel, oleh deteksi RNA virus, oleh nucleic acid amplification test (NAAT),
atau oleh deteksi antigen virus menggunakan ELISA atau rapid test. Isolasi virus dengan
kultur sel membutuhkan infrastruktur lengkap dan waktu yang lama. NAAT selalu dapat
mendeteksi RNA virus dalam 24 – 48 jam, namun uji ini tetap membutuhkan peralatan
dan reagen yang mahal, prosedur yang berkualitas, dan pekerja yang ahli. Peralatan untuk
mendeteksi antigen NS-1 kini tersedia dan dapat digunakan di laboratorium dengan
peralatan yang terbatas dan mengeluarkan hasil laboratoris dalam beberapa jam. Deteksi
antigen dengue cepat (rapid) dapat juga dilakukan di lapangan dengan hasil kurang dari
satu jam. Saat ini, metode ini kurang spesifik, mahal dan sedang dalam tahap evaluasi
mengenai biaya dan keakuratannya. Tabel berikut ini memperlihatkan kesimpulan sifat
dari metode diagnostik untuk infeksi dengue.
Setelah hari-5 sakit, virus dengue dan antigen hilang dari darah, bersamaan dengan
munculnya antibodi-antibodi spesifik. Antigen NS1 dapat dideteksi pada beberapa pasien
selama beberapa hari setelah demam reda. Uji serologi dengue lebih banyak tersedia di
negara-negara endemis, daripada uji virologi. Transportasi spesimen bukanlah masalah
karena imunoglobulin stabil pada suhu tropis.
Untuk serologi, waktu pengumpulan spesimen lebih fleksibel daripada isolasi virus atau
deteksi RNA karena suatu respon antibodi dapat diukur dengan membandingkan sampel
yang dikumpul selama keadaan akut dengan sampel yang dikumpul saat berminggu-
minggu atau berbulan-bulan kemudian. Kadar yang rendah terhadap respon IgM yang
terdeteksi – atau sama sekali tidak ada – pada beberapa infeksi sekunder, menurukan
keakuratan uji IgM ELISA. Peningkatan empat kali lipat atau lebih kadar antibodi yang
diukur oleh IgG ELISA atau dari uji HI mengindikasikan infeksi flavivirus akut.
Bagaimana pun, menunggu serum saat penyembuhan atau saat pasien dipulangkan sangat
tidak berguna untuk diagnosis dan penatalaksanaan.
1. Isolasi virus. Spesimen dikumpulkan hanya pada saat sedang terjadi infeksi,
selaa periode viremia (sebelum hari-5). Virus dapat dijumpai di serum, plasma,
dan sel-sel mononuklear perifer, atau jaringan (hepar, paru, kelenjar getah bening,
timus, dan sumsum tulang). Karena dengue merupakan heat-labile, pengiriman
sampel harus dengan referigerator atau di dalam es. Kultur sel merupakan metode
yang luas dipakai untuk mengisolasi virus.
2. Deteksi Asam Nukleat. RNAbersifat heat-labile, maka untuk penyimpanannya
harus di dalam freezer. RT-PCR (Reverse Transcriptase-polymerase Chain
Reaction) lebih sensitif daripada isolasi virus, yaitu 80 – 100%. Positif palsu
dapat terjadi jika kontaminasi saat proses amplifikasi.
3. Deteksi antigen. Sampai sekarang, deteksi antigen dengue pada serum fase akut
jarang pada pasien dengan infeksi sekunder karena sudah memiliki antibodi IgG-
virus sebelumnya. Perkembangan baru dari ELISA dan dot blot assays yang
fokus pada antigen bagian membran atau envelop (E/M) dan protein non-
struktural -1 (NS-1) menunjukkan bahwa konsentrasi yang tinggi antigen-antigen
ini dalam pembentukan kompleks imun dapat terdeteksi pada pasien dengan
infeksi primer maupun sekunder dengue hingga sembilan hari setelah onset sakit.
Glikoprotein NS-1 dihasilkan oleh flavivirus dan disekresikan dari sel-sel
mamalia. NS1 menghasilkan respon imun humoral yang kuat. Banyak penelitian
yang telah fokus menggunakan deteksi NS1 untuk diagnosis dini infeksi virus
dengue.
4. Tes serologi. MAC-ELISA (IgM antibody-capture enzyme-linked
immunosorbent assay. IgM total pada serum pasien ditangkap oleh antibodi
spesifik anti rantai-u yang dilapisi diatas mikroplate. Antigen spesifik dengue
(DEN-1 hingga 4) terikat dengan IgM anti-dengue yang ‘terperangkap’ tadi.
Kemudian, terdeteksi oleh antibodi dengue monoklonal atau poliklonal yang
terkonjugasi dengan suatu enzim yang akan mengubah substat tak berwarna
menjadi produk berwarna, yang diukur melalui spektrometer. Serum, darah, dan
saliva dapat dijadikan sampel yang diambil 5 hari atau lebih setelah onset demam.
MAC-ELISA memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik namun hanya jika
digunakan saat lebih atau sama dengan 5 hari setelah onset demam. Banyak
penelitian yang menerangkan bahwa ELISA pada umumnya lebih baik
performanya daripada rapid test. Positif palsu dapat terjadi di serum pada pasien
dengan malaria, leptospirosis, dan pasca infeksi dengue.
IgG ELISA digunaka untuk mendeteksi infeksi dengue masa lampau atau
sekarang. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi IgG di serum atau
plasma dan sampel darah filter dan bisa mengidentifikasi kasus infeksi primer
atau sekunder.
Uji HI didasarkan atas kemampuan antigen dengue untuk menggumpalkan
(aglutinasi) sel darah merah. Antibodi anti-dengue di dalam serum dapat
menghambat terjadinya aglutinasi dan potensi inhibisi ini dapat diukur lewat uji
HI. Sampel seru diberikan aseton atau kaolin untuk menghilangkan inhibitor non-
spesifik, dan kemudian di-adsorpsi dengan sel darah merah golongan 0 untuk
menghilangkan aglutinin yang tidak spesifik. Secara optimal, uji HI
membutuhkan serum yang diambil saat masuk RS (akut) an keluar rumah sakit
(sudah sembuh), atau dengan serum yang berbeda selama lebih atau sama dengan
tujuh hari. Respon terhadap infeksi primer ditandai oleh kadar rendah antibodi
pada serum fase akut (sebelum hari-5) dan peningkatan yang lambat dari titer
KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk spektrum infeksi dengue
yang lain. WHO membuat panduan diagnosis DBD karena DBD adalah masalah
kesehatan masyarakat dengan angka kematian yang tinggi. Kriteria diagnosis DBD ialah
dua atau lebih tanda klinis ditambah tanda laboratoris, yaitu trombositopenia dan
hemokonsentrasi (kedua hasil laboratorium tersebut harus ada) dan dikonfirmasi lagi
dengan pemeriksaan serologi. Kriteria diagnosis DBD berdasarkan WHO tahun 1997
ialah:
Kriteria Klinis : demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas terus menerus selama 2
– 7 hari, terdapat manifestasi perdarahan termasuk tes torniket positif, petekie, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, serta melena; pembesaran hati, dan nadi cepat
dan lemah serta penurunan tekanan nadi. Kriteria laboratoris: trombositopenia
(100.000/ul atau kurang), hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit >20%).
PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan
plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dansebagai akibat perdarahan.
Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa.
Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat
merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter danperawat yang terampil, sarana
laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dankoloid, serta bank darah yang
senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini danmemberikan nasehat untuk segera
dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka
kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada
waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan
tidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para
dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu
(fase kritis, fase syok) dengan baik.
Demam dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien
dianjurkanTirah baring, selama masih demam.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan.
Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat
terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan
kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak
jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD
terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada
DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila
terasa nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta
mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal
tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah
sakit. Penerangan untuk orang tua tertera pada Lampiran 1. Pada pasien yang tidak
mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi.
Tatalaksana DD tertera pada Bagan 2 (Tatalaksana tersangka DBD).
Ketentuan Umum
Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simtomatik
dansuportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral
tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang
berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang
diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama
demam pada 7BD. Parasetamoi direkomendasikan untuk pemberian atau dapat di
sederhanakan seperti tertera pada Tabel 5.
Rasa haus dankeadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia
dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu,
serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam pertama.
Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg BB
dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus diberikan disamping
larutan oiarit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan antikonvulsif
selama demam.
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis
adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam.
Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang
terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat
kebocoran plasma danpedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada
umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dantekanan nadi.
Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal
kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin
dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas
yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb.
Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan
suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian
volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan
dengan bijaksana danberhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam
pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit).
Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar
hematokrit, danjumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat,
seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang
dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan,
apabila (1) Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak
rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga
mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada
pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi
dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%.
Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus
perlahan-lahan. Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis
cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang
diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan
rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 6 dibawah ini.
Tabel 6 Kebutuhan cairan pada dehidrasi sedang
Pemilihan jenis danvolume cairan yang diperlukan tergantung dari umur danberat badan
pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi.
Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak
umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungan dari tabel 3 berikut.
Tabel 7 Kebutuhan Cairan Rumatan
Misalnya untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500+(20x20)
=1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan
plasma tidak konstan (perembesam plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun),
maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dankehilangan
plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume
yang bedebihan danterus menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian.
Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi
cairan ekstravaskular kembali kedalam intravaskuler. Apabila pada saat itucairan tidak
dikurangi, akan menyebabkan edema paru dandistres pernafasan. Pasien harus dirawat
dansegera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas
dingin, bibir sianosis, oliguri, dannadi lemah, tekanan nadi menyempit (20mmHg atau
kurang) atau hipotensi, danpeningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau kadar
hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena. Jenis Cairan
(rekomendasi WHO) adalah sebagai berikut:
Kristaloid.
Koloid.
Dkstran 40
Plasma
Albumin
Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama
yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat
mengalami syok dansembuh kembali bila diobatisegera dalam 48 jam. Pada penderita
SSD dengan tensi tak terukur dantekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan
kristaloid sebanyak 20ml/kg BB/jam selama 15 menit, bila syok teratasi turunkan
menjadi 10 ml/kg BB.
Penggantian Volume Plasma Segera. Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer
laktat > 20 ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak
dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal danumur 10 mm/kg
BB/jam, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid.
Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan
10 ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid danberi cairan
koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid
tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak
diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dankoloid
syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan;
maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap >
tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai
30 ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap
sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit.
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar
hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam
dankemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48
jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak
dianjurkan lagi. Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,
dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan
indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan
lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang
berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan
penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan
menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dangagal jantung. Penurunan
hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan,
tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis
cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan
koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak
akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.
Pemberian Oksigen. Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua
pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus
diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker
oksigen.
Monitoring. Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara
teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring
adalah
Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit
atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien
stabil.
setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
Jumlah dan frekuensi diuresis.
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskuler
telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB,
sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara
lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat
diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dankreatinin tetap harus dilakukan.
Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat
terkoreksi dengan baik, maka pemberian dopamin perlu dipertimbangkan.
Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya
dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan.
Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk
memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit yang tersedia selama 24 jam.
Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis
dapat didantu oleh orang tua pasien untuk mencatatjumlah cairan baik yang diminum
maupun yang diberikan secara intravena, serta menampung urin serta
mencatatjumlahnya.
Pada ensefalopati cenderung terjadi udem otak danalkalosis, maka bila syok telah teratasi
cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03- dan jumlah cairan harus
segera dikurangi. Larutan laktat ringer dektrosa segera ditukar dengan larutan NaCl
(0,9%) : glukosa (5%) = 1:3. Untuk mengurangi udem otak diberikan dexametason 0,5
mg/kg BB/kali tiap 8 jam, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya
kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K
intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan > 80 mg. Mencegah
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu
diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan
pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan
neomisin dan laktulosa. Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan
(misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila perlu
dilakukan tranfusi tukar. Pada masa penyembuhandapat diberikan asam amino rantai
pendek.
Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan diagnosis
DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalakasana awal dapat dibagi dalam 3
bagan yaitu
Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan DBD
derajat II tanpa peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 2 dan 3)
Tatalaksana kasus DBD, temasuk kasus DBD derajat II dengan peningkatankadar
hematokrit (Bagan 4)
Tatalaksana kasus sindrom syok dengue, termasuk DBD derajat III dan IV(Bagan
5)
Keterangan Bagan 2
Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/gejalanya tidak spesifik, oleh karena itu orang
tua/anggota keluarga diharapkan untuk waspada jika meiihat tanda/gejala yang mungkin
merupakan gejala awal penyakit DBD. Tanda/gejala awal penyakit DBD ialah demam
tinggi 2-7 hari mendadak tanpa sebab yang jelas, terus menerus, badan terasa lemah/anak
tampak lesu.Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu (1) Adakah tanda kedaruratan yaitu
tanda syok (gelisah, nafas cepat, bibir biru, tangan dankaki dingin, kulit lembab), muntah
terus menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, berak darah, maka pasien
perlu dirawat (tatalaksana disesuaikan dengan bagan 3,4,5) (2) Apabila tidak dijumpai
tanda kedaruratan, periksa uji tourniquet/uji Rumple Leede/uji bendung dan hitung
trombosit;
a. Bila uji tourniquet positif dan/ atau trombosit <_ 100.000/pl, pasien di observasi
(tatalaksana kasus tersangka DBD ) Bagan 3
b. Bila uji tourniquet negatif dengan trombosit >_ 100.000/pl atau normal , pasien boleh
pulang dengan pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu turun. Pasien
dianjurkan minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah dll serta diberikan
obat antipiretik golongan parasetamol jangan golongan salisilat. Apabila selama di rumah
demam tidak turun pada hari sakit ketiga, evaluasi tanda klinis adakah tanda-tanda syok
yaitu anak menjadi gelisah, ujung kaki/tangan dingin, sakit perut, berak hitam, kencing
berkurang; bila perlu periksa Hb, Ht, dantrombosit. Apabila terdapat tanda syok atau
terdapat peningkatan Hb/Ht danatau penurunan trombosit, segera kembali ke rumah sakit
(lihat Lampiran 1 formulir untuk orang tua)
Keterangan Bagan 3
Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet positif (DBD derajat I)
atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit (DBD derajat II) dapat
dikelola seperti tertera pada Bagan 2
Apabila pasien masih dapat minum, berikan minum sebanyak 1-2 liter/hari atau 1 sendok
makan setiap 5 menit. Jenis minuman yang dapat diberikan adalah air putih, teh manis,
sirop, jus buah, susu atau oralit. Obat antipiretik (parasetamol) diberikan bila suhu
>38.5°C. Pada anak dengan riwayat kejang dapat diberikan obat anti konvulsif.Apabila
pasien tidak dapat minum atau muntah terus menerus, sebaiknya diberikan infus NaCL
0,45% : dekstrosa 5% dipasang dengan tetesan rumatan sesuai berat badan. Disamping
itu perlu dilakukan pemeriksaaan Ht, Hb 6 jam dan trombosit setiap 2 jam.Apabila pada
tindak lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan laboratorium anak dapat dipulangkan;
tetapi bila kadar Ht cenderung naik dan trombosit menurun, maka infus cairan diganti
dengan ringer laktat dan tetesan disesuaikan seperti pada Bagan 3.
Keterangan Bagan 4
Pasien DBD apabila dijumpai demam tinggi mendadak terus menerus selama <_ 7 hari
tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan (tersering perdarahan kulit
danmukosa yaitu petekie atau *mimisan) disertai penurunan jumlah trombosit
!_100.000/pl, danpeningkatan kadar hematokrit.
Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid ringer laktat/NaCI 0,9 % atau dekstrosa
5% dalam ringer laktat/NaCl 0,9 % 6-7 ml/kg BB/jam. Monitor tanda vital dankadar
hematokrit serta trombosit tiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24 jam
1. Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak nampak tenang, tekanan
nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dankadar Ht cenderung turun minimal
dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam.
Apabila dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi
3ml/kgBB/jam danakhirnya cairan dihentikan setelah 24-48 jam.
2. Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh ke dalam syok. Maka apabila keadaan
klinis pasien tidak ada perbaikan, anak tampak gelisah, nafas cepat (distres pernafasan),
frekuensi, nadi meningkat, diuresis kurang, tekanan nadi < 20 mmHg memburuk, disertai
peningkatan Ht, maka tetesan dinaikkan menjadi 10 ml/kgBB/jam, setelah 1 jam tidak
ada perbaikan tetesan dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam. Apabila terjadi distres
pernafasan dan Ht naik maka berikan cairan koloid 20-30 ml/kgBB/jam; tetapi apabila Ht
turun berarti terdapat perdarahan, berikan tranfusi darah segar 10 ml/kgBB/jam. Bila
keadaan klinis membaik, maka cairan disesuaikan seperti ad 1.
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiabudi D. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue
Haemorrhagic Fever. Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam A, penyunting.
Proceedings Book 13th National Congress of Child Health. KONIKA XIII.
Bandung, July 4-7, 2005. h. 329- 333
2. Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana Demam
Berdarah Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N,
penyunting. Current Management of Pediatrics Problems. Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVI. Jakarta 5-6 September 2004.h. 63-
3. Halstead SB. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam : Behrman
RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelphia : WB Saunders.2004.h.1092-4
4. Soedarmo SSP. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Jakarta : UI Press 1988
5. Halstead CB. Dengue hemorrhagic fever: two infections and antibody dependent
enhancement, a brief history and personal memoir . Rev Cubana Med Trop 2002;
54(3):h.171-79
6. Soewondo ES. Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue Pengelolaan pada
Penderita Dewasa. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XIII. Surabaya 12-13
September 1998.h.
7. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era
2003. Surabaya : Airlangga University Press 2004.h.1-9
8. World Health Organization Regional Office for South East Asia. Prevention and
Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Comprehensive
Guidelines. New Delhi : WHO.1999
9. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam :
Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue: Naskah
Lengkap Pelatihan bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit
Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h.32-
43
10. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Akib
Aap, Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Pendekatan Imunologis
Berbagai Penyakit Alergi dan Infeksi. Jakarta 30-31 Juli 2001. h. 41-55
11. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam
Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap Pelatihan bagi
Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana
Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h. 80-135
12. Soedarmo SSP.Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H,
Hadinegoro SRS, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi &
Penyakit Tropis. Edisi pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2002.h.176-208
13. Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras.
Cermin Dunia Kedokteran 2000; 126 : 5-13
14. Panbio. Dengue. Didapatkan dari : URL: http://www.panbio.com.au/
modules.php? name= ontent&pa=showpage&pid=33. Diunduh pada tanggal 27
Juni 2006.
15. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulan Penyakit DBD.
Edisi 1 Volume 2. Jakarta :Dinas Kesehatan 2002.