Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi DM Tipe II
Berikut ini adalah pengertian Deabetes Melitus Tipe II menurut beberapa ahli, diantaranya:
a. Diabetes mellitus Tipe 2 atau dikenal dengan istilah Non-insulin Dependent Millitus
(NIDDM) adalah keadaan dimana hormone insulin dalam tubuh tidak dapat berfungsi dengan
semestinya, hal ini dikarenakan berbagai kemungkinan seperti kecacatan dalam produksi insulin
atau berkurangnya sensitifitas (respon) sel dan jaringan tubuh terhadap insulin yang ditandai
dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. (Nurul Wahdah, 2011)
b. Diabetes Mellitus Tipe II adalah defek sekresi insulin, dimana pankreas tidak mampu
menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan glukosa plasma yang normal, sehingga
terjadi hiperglikemia yang disebabkan insensitifitas seluler akibat insulin. (Elizabeth J Corwin,
2009)
c. Diabetes Mellitus Tipe II adalah keadaan dimana kadar glukosa tinggi, kadar insulin tinggi
atau normal namun kualitasnya kurang baik, sehingga gagal membawa glukosa masuk dalam sel,
akibatnya terjadi gangguan transport glukosa yang dijadikan sebagai bahan bakar metabolisme
energi. (FKUI, 2011)

B. Etiologi DM Tipe II
Penyebab dari DM Tipe II antara lain:
a. Penurunan fungsi cell  pankreas
Penurunan fungsi cell  disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1) Glukotoksisitas
Kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebkan peningkatan stress
oksidatif, IL-1 DAN NF-B dengan akibat peningkatan apoptosis sel beta
2) Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam proses
lipolisis akan mengalami metabolism non oksidatif menjadi ceramide yang toksik
terhadap sel beta sehingga terjadi apoptosis
3) Penumpukan amiloid
Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat sehingga kadar glukosa
darah akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha mengkompensasinya dengan
meningkatkan sekresi insulin hingga terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin
juga diikuti dengan sekresi amylin dari sel beta yang akan ditumpuk disekitar sel beta
hingga menjadi jaringan amiloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri sehingga akirnya
jumlah sel beta dalam pulau Langerhans menjadi berkurang. Pada DM Tipe II jumlah sel
beta berkurang sampai 50-60%.
4) Efek inkretin
Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara meningkatkan
proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan mengurangi apoptosis sel beta.
5) Umur
Diabetes Tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin sering terjadi
setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut. Usia lanjut yang
mengalami gangguan toleransi glukosa mencapai 50 – 92%. Proses menua yang
berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan
biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan ahirnya
pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen tubuh yang
mengalami perubahan adalah sel beta pankreas yang mengahasilkan hormon insulin, sel-
sel jaringan terget yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang
mempengaruhi kadar glukosa.
6) Genetik
b. Retensi insulin
Penyebab retensi insulin pada DM Tipe II sebenarnya tidak begitu jelas, tapi
faktor-faktor berikut ini banyak berperan:
1) Obesitas terutama yang bersifat sentral ( bentuk apel )
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap glukosa darah
berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh termasuk di otot berkurang
jumlah dan keaktifannya kurang sensitif.
2) Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
3) Kurang gerak badan
4) Faktor keturunan ( herediter )
5) Stress
Reaksi pertama dari respon stress adalah terjadinya sekresi sistem saraf simpatis
yang diikuti oleh sekresi simpatis adrenal medular dan bila stress menetap maka sistem
hipotalamus pituitari akan diaktifkan. Hipotalamus mensekresi corticotropin releasing
factor yang menstimulasi pituitari anterior memproduksi kortisol, yang akan
mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah (FKUI, 2011)

C. Faktor Resiko DM Tipe II


Berikut ini adalah faktor resiko yang dapat terkena DM Tipe II, antara lain:
a. Usia ≥ 45 tahun
b. Usia lebih muda, terutama dengan indeks massa tubuh (IMT) >23 kg/m2 yang disertai
dengan faktor resiko:
1) Kebiasaan tidak aktif
2) Turunan pertama dari orang tua dengan DM
3) Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram, atau riwayat DM
gestasional
4) Hipertensi (≥140/90 mmHg)
5) Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl
6) Menderita polycyctic ovarial syndrome(PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait
dengan resistensi insulin
7) Adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT) sebelumnya
8) Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular
c. Obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)
d. Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
e. Kurang gerak badan
f. Faktor genetik
g. Konsumsi obat-obatan yang bisa menaikkan kadar glukosa darah
h. Stress (FKUI, 2011)
D. Manifestasi Klinis DM Tipe II
a. Tanda dan gejala spesifik DM Tipe II, antara lain:
1) Penurunan penglihatan
2) Poliuri ( peningkatan pengeluaran urine ) karena air mengikuti glukosa dan keluar
melalui urine.
3) Polidipsia (peningkatan kadar rasa haus)akibat volume urineyang sangat besar dan
keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti
ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien
konsentrasi keplasma yang hipertonik (konsentrasi tinggi) dehidrasi intrasel menstimulasi
pengeluaran hormon anti duretik (ADH, vasopresin)dan menimbulkan rasa haus
4) Rasa lelah dan kelemahan otot akibat kataboisme protein di otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi. Aliran
darah yang buruk pada pasien DM kronis menyebabkan kelelahan
5) Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pascaabsorptif yang kronis,
katabolisme protein dan lemak dan kelaparan relatif sel. Sering terjadi penurunan berat
badan tanpa terapi
6) Konfusi atau derajat delirium
7) Konstipasi atau kembung pada abdomen(akibat hipotonusitas lambung)
8) Retinopati atau pembentukan katarak
9) Perubahan kulit, khususnya pada tungkai dan kaki akibat kerusakan sirkulasi perifer,
kondisi kulit kronis seperti selulitis atau luka yang tidak kunjung sembuh, turgor kulit
buruk dan membran mukosa kering akibat dehidrasi
10) Penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan reflek, dan kemungkinan nyeri
perifer atau kebas
11) Hipotensi ortostatik (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer,2007)
b. Tanda dan gejala non spesifik DM Tipe II, antara lain:
1) Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa diskresi mukus,
gangguan fungsi imun dan penurunan aliran darah
2) Gangguan penglihatan yang berhubungan dengan keseimbangan air atau pada kasus
yang berat terjadi kerusakan retina
3) Paretesia atau abnormalitas sensasi
4) Kandidiasis vagina ( infeks ragi ), akibat peningkatan kadar glukosa disekret vagina
dan urine, serta gangguan fungsi imun . kandidiasis dapat menyebabkan rasa gatal dan
kadas di vagina
5) Pelisutan otot dapat terjadi kerena protein otot digunakan untuk memenuhi
kebutuhan energi tubuh
6) Efek Somogyi: Efek somogyi merupakan komplikasi akut yang ditandai penurunan
unik kadar glukosa darah di malam hari, kemudian di pagi hari kadar glukosa kembali
meningkat diikuti peningkatan rebound pada paginya. Penyebab hipoglikemia malam hari
kemungkinan besar berkaitan dengan penyuntikan insulin di sore harinya. Hipoglikemia
itu sendiri kemudian menyebabkan peningkatan glukagon, katekolamin, kortisol, dan
hormon pertumbuhan. Hormon ini menstimulasi glukoneogenesis sehingga pada pagi
harinya terjadi hiperglikemia. Pengobatan untuk efek somogyi ditujukan untuk
memanipulasi penyuntikan insulin sore hari sedemikian rupa sehingga tidak
menyebabkan hipoglikemia. Intervensi diet juga dapat mengurangi efek somogyi. Efek
somogyi banyak dijumpai pada anak-anak.
7) Fenomena fajar ( dawn phenomenon) adalah hiperglikemia pada pagi hari ( antara
jam 5 dan 9 pagi) yang tampaknya disebabkan oleh peningkatan sirkadian kadar glukosa
di pada pagi hari. Fenomena ini dapat dijumpai pada pengidap diabetes Tipe I atau Tipe
II. Hormone-hormon yang memperlihatkan variasi sirkadian pada pagi hari adalah
kortisol dan hormon pertumbuhan, dimana dan keduanya merangsang glukoneogenesis.
Pada pengidap diabetes Tipe II, juga dapat terjadi di pagi hari, baik sebagai variasi
sirkadian normal maupun atau sebagai respons terhadap hormone pertumbuhan atau
kortisol. (Elizabeth J Corwin, 2009)
E. Patofisiologi DM Tipe II
Patogenesis diabetes melitus Tipe II ditandai dengan adanya resistensi insulin
perifer, gangguan “hepatic glucose production (HGP)”, dan penurunan fungsi cell β, yang
akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. Mula-mula timbul resistensi insulin yang
kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin untuk mengkompensasi retensi insulin
itu agar kadar glukosa darah tetap normal. Lama kelamaan sel beta tidak akan sanggup
lagi mengkompensasi retensi insulin hingga kadar glukosa darah meningkat dan fungsi
sel beta makin menurun saat itulah diagnosis diabetes ditegakkan. Ternyata penurunan
fungsi sel beta itu berlangsung secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak
mampu lagi mengsekresi insulin.( FKUI,2011 )
Individu yang mengidap DM Tipe II tetap mengahasilkan insulin. Akan tetapi jarang
terjadi keterlambatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah total insulin yang di
lepaskan. Hal ini mendorong semakin parah kondisi seiring dengan bertambah usia
pasien. Selain itu, sel-sel tubuh terutama sel otot dan adiposa memperlihatkan resitensi
terhadap insulin yang bersirkulasi dalam darah. Akibatnya pembawa glukosa (transporter
glukosa glut-4) yang ada disel tidak adekuat. Karena sel kekurangan glukosa, hati
memulai proses glukoneogenesis, yang selanjutnya makin meningkatkan kadar glukosa
darah serta mestimulasai penguraian simpanan trigliserida, protein, dan glikogen untuk
mengahasilkan sumber bahan bakar alternative, sehingga meningkatkan zat- zat ini
didalam darah. Hanya sel-sel otak dan sel darah merah yang terus menggunakan glukosa
sebagai sumber energy yang efektif . Karena masih terdapa insulin , individu dengan DM
Tipe II jarang mengandalkan asam lemak untuk menghasilkan energi dan tidak rentang
terhadap ketosis. (Elizabeth J Corwin, 2009)
F. Komplikasi DM Tipe II
Beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat DM Tipe II, antara lain:
a. Hipoglikemia
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita diabetes yang di obati dengan insulin
atau obat-obatan antidiabetik oral. Hal ini mungkin di sebabkan oleh pemberian insulin
yang berlebihan, asupan kalori yang tidak adekuat, konsumsi alkohol, atau olahraga yang
berlebihan. Gejala hipoglikemi pada lansia dapat berkisar dari ringan sampai berat dan
tidak disadari sampai kondisinya mengancam jiwa.
b. Ketoasidosis diabetic
Kondisi yang ditandai dengan hiperglikemia berat, merupakan kondisi yang mengancam
jiwa. Ketoasidosis diabetik biasanya terjadi pada lansia dengan diabetes Tipe 1, tetapi
kadang kala dapat terjadi pada individu yang menderita diabetes Tipe 2 yang mengalami
stress fisik dan emosional yang ekstrim.
c. Sindrom nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar (Hyperosomolar hyperglycemic syndrome,
HHNS) atau koma hiperosmolar
Komplikasi metabolik akut yang paling umum terlihat pada pasien yang menderita
diabetes. Sebagai suatu kedaruratan medis, HHNS di tandai dengan hiperglikemia
berat(kadar glukosa darah di atas 800 mg/dl), hiperosmolaritas (di atas 280 mOSm/L),
dan dehidrasi berat akibat deuresis osmotic. Tanda gejala mencakup kejang dan
hemiparasis (yang sering kali keliru diagnosis menjadi cidera serebrovaskular) dan
kerusakan pada tingkat kesadaran (biasanya koma atau hampir koma).
d. Neuropati perifer
Biasanya terjadi di tangan dan kaki serta dapat menyebabkan kebas atau nyeri dan
kemungkinan lesi kulit. Neuropati otonom juga bermanifestasi dalam berbagai cara, yang
mencakup gastroparesis (keterlambatan pengosongan lambung yang menyebabkan
perasaan mual dan penuh setelah makan), diare noktural, impotensi, dan hipotensi
ortostatik.
e. Penyakit kardiovaskuler
Pasien lansia yang menderita diabetes memiliki insidens hipertensi 10 kali lipat dari yang
di temukan pada lansia yang tidak menderita diabetes. Hasil ini lebih meningkatkan
resiko iskemik sementara dan penyakit serebrovaskular, penyakit arteri koroner dan
infark miokard, aterosklerosis serebral, terjadinya retinopati dan neuropati progresif,
kerusakan kognitif, serta depresi sistem saraf pusat.
f. Infeksi kulit
Hiperglikemia merusak resistansi lansia terhadap infeksi karena kandungan glukosa
epidermis dan urine mendorong pertumbuhan bakteri. Hal ini membuat lansia rentan
terhadap infeksi kulit dan saluran kemih serta vaginitis. (Jaime Stockslager L dan Liz
Schaeffer, 2007)
G. Pemeriksaan Penunjang DM Tipe II
Pemeriksaan penunjang DM Tipe II antara lain:
a. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa dapat diukur dari sample berupa darah biasa atau plasma. Pemeriksaan
kadar glukosa darah lebih akurat karena bersifat langsung dan dapat mendeteksi kondisi
hiperglikemia dan hipoglikemia. Pemeriksaan kadar glukosa darah menggunakan
glukometer lebih baik daripada kasat mata karena informasi yang diberikan lebih objektif
kuantitatif. (FKUI,2011)
b. Pemeriksaan Kadar Glukosa Urine
Pemeriksaan kadar glukosa urin menggambarkan kadar glukosa darah secara tidak
langsung dan tergantung pada ambang batas rangsang ginjal yang bagi kebanyakan orang
sekitar 180 mg/dl. Pemeriksaan ini tidak memberikan informasi tentang kadar glukosa
darah tersebut, sehingga tak dapat membedakan normoglikemia atau hipoglikemia.
(FKUI, 2011)
c. Kadar Glukosa Serum Puasa dan Pemeriksaan Toleransi Glukosa
Memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan tetapi, pada lansia, pemeriksaan glukosa
serum postprandial 2 jam dan pemeriksaan toleransi glukosa oral lebih membantu
menegakan diagnosis karena lansia mungkin memiliki kadar glukosa puasa hampir
normal tetapi mengalami hiperglikemia berkepanjangan setelah makan. Diagnosis
biasanya dibuat setelah satu dari tiga kriteria berikut ini terpenuhi:
1) Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg/dl atau lebih tinggi.
2) Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih tinggi.
3) Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per oral 200 mg/dl atau lebih.
(Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
d. Pemeriksaan Hemoglobin Terglikosilasi (hemoglobin A atau HbA1c)
Menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum dalam 3 bulan sebelumnya, biasanya
dilakukan untuk memantau keefektifan terapi antidiabetik. Pemeriksaan ini sangat
berguna, tetapi peningkatan hasil telah ditemukan pada lansia dengan toleransi glukosa
normal. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
e. Fruktosamina serum
Menggambarkan kadar glukosa serum rata-rata selama 2 sampai 3 minggu sebelumnya,
merupakan indicator yang lebih baik pada lansia karena kurang menimbulkan kesalahan.
Sayangnya pemeriksaan ini tidak stabil sehingga jarang dilakukan. Namun pemeriksaan
ini dapat bermanfaat pada keadaan dimana pengukuran AIC tidak dapat dipercaya,
misalnya pada keadaan anemia hemolitik. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
f. Pemeriksaan keton urine
Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi dan kurang hormone insulin menyebabkan tubuh
menggunakan lemak sebagai sumber energy. Keton urin dapat diperiksa dengan
menggunkan reaksi kolorimetrik antara benda keton dan nitroprusid yang menghasilkan
warna ungu. (FKUI,2011)
g. Pemeriksaan Hiperglikemia Kronik (Test AIC)
Pada penyandang DM, glikosilasi hemoglobin meningkat secara proporsional dengan
kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10 minggu terakhir. Bila kadar glukosa darah
dalam keadaan normal antara 70-140 mg/dl selama 8-10 minggu terakhir, maka test AIC
akan menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan AIC dipengaruhi oleh anemia berat,
kehamilan, gagal ginjal dan hemoglobinnopati. Pengukuran AIC dilakukan minimal
4bulan sekali dalam setahun. (FKUI, 2011)
h. Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)
PKGS memberikan informasi kepada penyandang DM mengenai kendali glikemik dari
hai kehari sehingga memungkinkan klien melakukan penyesuaian diet dan pengobatan
terutama saat sakit, latihan jasmani dan aktivitas lain. PKGS memberikan feedback cepat
kepada pasien terhadap kadar glukosa setiap hari. (FKUI,2011)
i. Pemantauan Glukosa Berkesinambungan (PGB)
Merupakan metode sample glukosa cairan intestinal ( yang berhubungan dengan glukosa
darah) telah banyak digunakan untuk mengetahui kendali glikemik. Caranya adalah
menggunakan sistem mikrodialisis yang dinsersi secara subkutan, konsentrasi glukosa
kemudian diukur dengan detector elektroda oksidasi glukosa. Sensor glukosa pada PGB
memiliki alaram untuk mendeteksi kondisi hipoglikemi dan hiperglikemi. (FKUI)

H. Penatalaksanaan DM Tipe II
a. Penatalaksanaan Medis
Sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa:
1) Obat Hipoglikemik Oral
a) Pemicu sekresi insulin
(1) Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas untuk melepaskan
insulin yang tersimpan. Efek ekstra pankreas yaitu memperbaiki sensitivitas insulin ada,
tapi tidak penting karena ternyata obat ini tidak bermanfaat pada pasien insulinopenik.
Mekanisme kerja golongan obat ini antara lain:
(a) Menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan ( Stored insulin)
(b) Menurunkan ambang sekresi insulin
(c) Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa (FKUI, 2011)
(2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea, dengan
meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu:
Repaglinid (derivate asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini
diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati.(FKUI, 2011)
b) Penambah sensitivitas terhadap insulin
(1) Biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah metformin. Etformin menurunkan
glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap insulin pada tingkat selular, distal dari
reseptor insulin serta juga pada efeknya menurunkan produksi glukosa hati. Metformin
meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan
menghambat absorbsi glukosa dari usus pada keadaan sesudah makan. (FKUI, 2011)
(2) Tiazolidindion
Tiazolidindion adalah golongan obat yang mempunyai efek farmakologis meningkatkan
sesitivitas insulin. Golongan obat ini bekerja meningkatkan glukosa disposal pada sel dan
mengurangi produksi glukosa dihati.( FKUI, 2011)
c) Penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa dalam
saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabakan
hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.(FKUI, 2011)
d) Incretin mimetic, penghambat DPP-4
Obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dan penekanan terhadap sekresi glukagon
dapat menjadi lama, dengan hasil kadar glukosa dapat diturunkan. (FKUI, 2011)
2) Insulin
Insulin adalah suatu hormone yang diproduksi oleh sel beta dari pulau Langerhanss
kelenjar pankreas. Insulin dibentuk dari proinsulin yang bila kemudian distimulasi,
terutama oleh peningkatan kadar glukosa darah akan terbelah untuk menghasilkan insulin
dan peptide penghubung (C-peptide)yang masuk kedalam aliran darah dalam jumlah
ekuimolar.
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM Tipe II akan memerlukan insulin untuk
mengendalikan kadar glukosa darahnya. Pada DM Tipe II tertentu akan butuh insulin bila:
a) Terapi jenis lain tida dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa darah
b) Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark miocard akut
atau stroke.
Pengaruh insulin tehadap jaringan tubuh antara lain insulin menstimulasi pemasukan
asam amino ke dalam sel dan kemudian meningkatkan sintesa protein. Insulin
meningkatkan penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai bahan
energi. Insulin menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel untuk di gunakan sebagai
sumber energi dan membantu penyimpanan glikogen di dalam sel otot dan
hati.(FKUI,2011)
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada kasus DM Tipe II antara lain:
1) Memberikan penyuluhan tentang keadaaan penyakit, symptom, hasil yang ditemukan dan
alternative tindakan yang akan diambil pada pasien maupun keluarga pasien.
2) Memberikan motivasi pada klien dan keluarga agar dapat memanfaatkan potensi atau sumber
yang ada guna menyembuhkan anggota keluarga yang sakit dan menyelesaikan masalah
penyakit diabetes dan resikonya.
3) Konseling untuk hidup sehat yang juga dimengerti keluarga dalam pengobatan dan
pencegahan resiko komplikasi lebih lanjut
4) Memberikan penyuluhan untuk perawatan diri, budaya bersih, menghindari alkohol,
penggunaaan waktu luang yang positif untuk kesehatan, menghilangkan stress dalam rutinitas
kehidupan atau pekerjaan, pola makan yang baik
5) Memotivasi penanggung jawab keluarga untuk memperhatikan keluhan dan meluangkan
waktu bagi anggota keluarga yang terkena DM atau yang memiliki resiko
6) Mengawasi diit klien DM Tipe II, bila perlu berikan jadwal latihan jasmani atau kebugaran
yang sesuai.
c. Penatalaksanaan Diet
Tujuan umum terapi gizi adalah membantu orang dengan diabetes memperbaiki kebiasaan
gizi dan olahraga untuk mendapatakan control metabolic yang lebih baik, dan beberapa
tambahan tujuan khusus yaitu:
1) Mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal dengan keseimbangan asupan
makanan dengan insulin(endogen/eksogen) atau obat hipoglikemik oral dan tingkat aktifitas
2) Mencapai kadar serum lipid yang optimal.
3) Memberikan energy yang cukup untuk mencapai atau mempertahankan berat badan yang
memadai pada orang dewasa mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang normal pada
anak dan remaja, untuk peningkatan kebutuhan metabolic selama kehamilan dan laktasi atau
penyambuhan dari penyakit metabolic
4) Dapat mempertahankan berat badan yang memadai
5) Menghindari dan menangani komplikasi akut orang dengan diabetes yang menggunakan
insulin seperti hipoglikemia, penyakit jangka pendek, komplikasi kronik diabetes seperti
penyakit ginjal, hipertensi, neuropati autonomic dan penyakit jantung
6) Meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal.
Kebutuhan zat gizi penderita DM Tipe II
1) Protein
Menurut consensus pengelolaan diabetes di Indonesia tahun 2006, Kebutuhan protein untuk
penyandang diabetes sebesar 10-20% energi dari protein total.
2) Total lemak
Asupan lemak di anjurkan <7% energy dari lemak jenuh dan tidak lebih 10% energy dari lemak
titk jenuh ganda, sedangkan selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. Anjuran asupan lemak di
Indonesia adalah 20-25% energi.
3) Lemak jenuh dan kolesterol
Tujuan utama pengurangan konsumsi lemak jenuh dan kolesterol adalah untuk menurunkan
resiko penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu <7% asupan energy sehari seharusnya dari lemak
jenuh dan asupan kolesterol makanan tidak lebih dari 300mg per hari.
4) Karbohidrat dan pemanis
Anjuran konsumsi karbohidrat untuk penderita diabetes di Indonesia adalah 45-65% energy.
a) Sukrosa
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan sukrosa bagian dari perencanaan makan tidak
memperburuk control glukosa darah pada individu dengan diabetes.
b) Pemanis
Fruktosa menaikkan glikosa plasma lebih kecil daripada sukrosa dan kebanyakan karbohidrat
jenis tepung-tepungan. Sakarin, aspartame, acesulfame K adalah pemanis tak bergizi yang dapat
di terima sebagai pemanis pada semua penderita DM.
5) Serat
Rekomendasi asupan serat untuk orang dengan diabetessama dengan untuk orang yang tidak
diabetes yaitu dianjurkan mengkonnsumsi 20-35 gr serat makanan dari berbagai sumber
makanan. Di Indonesia anjurannya adalah kira-kira 25gr /1000 kalori perhari dengan
mengutamakan serat larut
6) Natrium
Asupan untuk orang diabetes sama dengan orang biasa yaitu tidak lebih dari 3000 mg, sedangkan
bagi penderita hipertensi ringan sampai sedang di anjurkan 2400 mg natrium perhari.
7) Alkohol
Asupan kalori dari alkohol di perhitungkan sebagai bagian dari asupan kalori total dan sebagai
penukar lemak ( 1 minuman alkohol = 2 penukar lemak)
8) Mikronutrien: vitamin dan mineral
Apabila asupan gizi cukup, biasanya tidak perlu menambah suplemen vitamin dan mineral.
Walaupun ada alasan teoritis untuk memberikan suplemen antioksidan pada saat ini hanya
sedikit bukti yang menunjang bahwa terapi tersebut menguntungkan.( FKUI, 2011 )
TEORI ASUHAN KEPERAWATAN

A. Teoritis DM TIPE II
1. Identitas penderita
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, status
perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai bawah, rasa raba yang menurun, adanya luka
yang tidak sembuh – sembuh dan berbau, adanya nyeri pada luka.
3. Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta upaya yang telah
dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
4. Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain yang ada kaitannya dengan
defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya riwayat penyakit jantung, obesitas,
maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa
digunakan oleh penderita.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang juga
menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan terjadinya defisiensi insulin
misal hipertensi, jantung.
6. Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami penderita
sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit penderita.
7. Pola aktivitas sehari hari
a. Pola persepsi management kesehatan
Menjelaskan tentang persepsi atau pandangan klien terhadap sakit yang
dideritanya, tindakan atau usaha apa yang dilakukan klien sebelum dating kerumah sakit,
obat apa yang telah dikonsumsi pada saat akan datang kerumah sakit.
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Menggambarkan asupan nutrisi, keseimbangan cairan dan elektrolit, kondisi
rambut, kuku dan kulit, kebiasaan makan, frekuensi makan, nafsu makan, makanan
pantangan, makanan yang disukai dan banyaknya minum yang dikaji sebelum dan sesudah
masuk RS.
c. Pola eliminasi
Menggambarkan pola eliminasi klien yang terdiri dari frekuensi, volume, adakah
disertai rasa nyeri, warna dan bau.
d. Pola tidur dan istirahat
Menggambarkan penggunaan waktu istirahat atau waktu senggang, kesulitan dan
hambatan dalam tidur, pada pasien dengan kasusu DM Adanya poliuri, nyeri pada kaki
yang luka dan situasi rumah sakit yang ramai akan mempengaruhi waktu tidur dan istirahat
penderita, sehingga pola tidur dan waktu tidur penderita mengalami perubahan.
e. Pola aktivitas dan latihan
Menggambarkan kemampuan beraktivitas sehari-hari, fungsi pernapasan dan
fungsi sirkulasi. Pada kasus DM adanya luka gangren dan kelemahan otot – otot pada
tungkai bawah menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari
secara maksimal, penderita mudah mengalami kelelahan.
f. Pola tata nilai dan kepercayaan
Menggambarkan sejauh mana keyakinan pasien terhadap kepercayaan yang dianut
dan bagaimana dia menjalankannya. Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan
fungsi tubuh serta luka pada kaki tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah
tetapi mempengaruhi pola ibadah penderita.
g. Pemeriksaan fisik
· Status kesehatan umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat badan dan tanda – tanda
vital.
· Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga kadang-kadang
berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah sering terasa tebal, ludah menjadi lebih kental,
gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah, apakah penglihatan kabur / ganda,
diplopia, lensa mata keruh.
· Sistem integumen
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka, kelembaban dan shu kulit
di daerah sekitar ulkus dan gangren, kemerahan pada kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.
· Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita DM mudah terjadi infeksi.
· Sistem kardiovaskuler
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang, takikardi/bradikardi, hipertensi/
hipotensi, aritmia, kardiomegalis.
· Sistem gastrointestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrase, perubahan berat badan,
peningkatan lingkar abdomen, obesitas.
· Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat berkemih.
· Sistem muskuloskeletal
Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi badan, cepat lelah, lemah dan nyeri,
adanya gangren di ekstrimitas.
· Sistem neurologis
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi, mengantuk, reflek lambat, kacau
mental, disorientasi.
h. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
· Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa >120 mg/dl dan dua jam post
prandial > 200 mg/dl.
· Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine : hijau ( + ), kuning
( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ ).
· Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis kuman.
B. ANALISA DATA
Data yang sudah terkumpul selanjutnya dikelompokan dan dilakukan analisa serta
sintesa data. Dalam mengelompokan data dibedakan atas data subyektif dan data obyektif dan
berpedoman pada teori Abraham Maslow yang terdiri dari :
1. Kebutuhan dasar atau fisiologis
2. Kebutuhan rasa aman
3. Kebutuhan cinta dan kasih sayang
4. Kebutuhan harga diri
5. Kebutuhan aktualisasi diri
Data yang telah dikelompokkan tadi di analisa sehingga dapat diambil kesimpulan
tentang masalah keperawatan dan kemungkinan penyebab, yang dapat dirumuskan dalam bentuk
diagnosa keperawatan meliputi aktual, potensial, dan kemungkinan.

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan pengkajian data keperawatan yang sering terjadi berdasarkan teori, maka
diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien diabetes mellitus yaitu :
a. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik.
b. Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan
insulin, penurunan masukan oral.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia.
d.Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakseimbangan
glukosa/insulin dan atau elektrolit.
e.Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik.
f. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif yang tidak dapat
diobati, ketergantungan pada orang lain.
g. Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan kurangnya pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi.

D. RENCANA KEPERAWATAN
a. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik.
Tujuan :
Mendemonstrasikan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba,
turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urine tepat secara individu, dan kadar elektrolit
dalam batas normal.
Intervensi :
1. Pantau tanda-tanda vital.
Rasional : Hypovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia.
2. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membran mukosa.
Rasional : Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi, atau volume sirkulasi yang adekuat.
3. Pantau masukan dan keluaran, catat berat jenis urine.
Rasional : Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan
keefektifan dari terapi yang diberikan.
4. Timbang berat badan setiap hari.
Rasional : Memberikan hasil pengkajian yang terbaik dari status cairan yang sedang berlangsung
dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
5. Berikan terapi cairan sesuai indikasi.
Rasional : Tipe dan jumlah dari cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respons
pasien secara individual.
b. Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral.
Tujuan :
Mencerna jumlah kalori/nutrien yang tepat
Menunjukkan tingkat energi biasanya
Berat badan stabil atau bertambah.
Intervensi :
1. Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat
dihabiskan oleh pasien.
Rasional : Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik.
2. Timbang berat badan setiap hari atau sesuai indikasi.
Rasional : Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat (termasuk absorbsi dan utilisasinya).
3. Identifikasi makanan yang disukai/dikehendaki termasuk kebutuhan etnik/kultural.
Rasional : Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan,
kerjasama ini dapat diupayakan setelah pulang.
4. Libatkan keluarga pasien pada perencanaan makan sesuai indikasi.
Rasional : Meningkatkan rasa keterlibatannya; memberikan informasi pada keluarga untuk
memahami nutrisi pasien.
5. Berikan pengobatan insulin secara teratur sesuai indikasi.
Rasional : Insulin reguler memiliki awitan cepat dan karenanya dengan cepat pula dapat
membantu memindahkan glukosa ke dalam sel.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia.
Tujuan :
Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko infeksi.
Mendemonstrasikan teknik, perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya infeksi.
Intervensi :
1).Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan.
Rasional : Pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan
ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi nosokomial.
2).Tingkatkan upaya untuk pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik pada semua
orang yang berhubungan dengan pasien termasuk pasiennya sendiri.
Rasional : Mencegah timbulnya infeksi silang.
3).Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif.
Rasional : Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media terbaik bagi pertumbuhan
kuman.
4).Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh.
Rasional : Sirkulasi perifer bisa terganggu yang menempatkan pasien pada peningkatan resiko
terjadinya kerusakan pada kulit/iritasi kulit dan infeksi.
5).Lakukan perubahan posisi, anjurkan batuk efektif dan nafas dalam.
Rasional : Membantu dalam memventilasi semua daerah paru dan memobilisasi sekret.
d. Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan
ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit.
Tujuan :
Mempertahankan tingkat kesadaran/orientasi.
Mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori.
Intervensi :
1.)Pantau tanda-tanda vital dan status mental.
Rasional : Sebagai dasar untuk membandingkan temuan abnormal
2.)Panggil pasien dengan nama, orientasikan kembali sesuai dengan kebutuhannya.
Rasional : Menurunkan kebingungan dan membantu untuk mempertahankan kontak dengan
realitas.
3.)Pelihara aktivitas rutin pasien sekonsisten mungkin, dorong untuk melakukan kegiatan sehari-
hari sesuai kemampuannya.
Rasional : Membantu memelihara pasien tetap berhubungan dengan realitas dan
mempertahankan orientasi pada lingkungannya.
4.)Selidiki adanya keluhan parestesia, nyeri atau kehilangan sensori pada paha/kaki.
Rasional : Neuropati perifer dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman yang berat, kehilangan
sensasi sentuhan/distorsi yang mempunyai resiko tinggi terhadap kerusakan kulit dan gangguan
keseimbangan.
e. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik.
Tujuan :
Mengungkapkan peningkatan tingkat energi.
Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan.
Intervensi :
1.)Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas.
Rasional : Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas
meskipun pasien mungkin sangat lemah.
2.)Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup.
Rasional : Mencegah kelelahan yang berlebihan.
3.)Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan tekanan darah sebelum/sesudah melakukan aktivitas.
Rasional : Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis.
4.)Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai toleransi.
Rasional : Meningkatkan kepercayaan diri/harga diri yang positif sesuai tingkat aktivitas yang
dapat ditoleransi.
f. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif yang tidak
dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
Tujuan :
Mengakui perasaan putus asa
Mengidentifikasi cara-cara sehat untuk menghadapi perasaan.
Membantu dalam merencanakan perawatannya sendiri dan secara mandiri mengambil tanggung
jawab untuk aktivitas perawatan diri.
Intervensi :
1.)Anjurkan pasien/keluarga untuk mengekspresikan perasaannya tentang perawatan di rumah
sakit dan penyakitnya secara keseluruhan.
Rasional : Mengidentifikasi area perhatiannya dan memudahkan cara pemecahan masalah.
2.)Tentukan tujuan/harapan dari pasien atau keluarga.
Rasional : Harapan yang tidak realistis atau adanya tekanan dari orang lain atau diri sendiri dapat
mengakibatkan perasaan frustasi.kehilangan kontrol diri dan mungkin mengganggu kemampuan
koping.
3.)Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam perawatan diri sendiri dan
berikan umpan balik positif sesuai dengan usaha yang dilakukannya.
Rasional : Meningkatkan perasaan kontrol terhadap situasi.
4.)Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam perawatan diri sendiri.
Rasional : Meningkatkan perasaan kontrol terhadap situasi.
g. Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, keselahan interpretasi informasi.
Tujuan :
Mengungkapkan pemahaman tentang penyakit.
Mengidentifikasi hubungan tanda/gejala dengan proses penyakit dan menghubungkan gejala
dengan faktor penyebab.
Dengan benar melakukan prosedur yang perlu dan menjelaskan rasional tindakan.
Intervensi :
1.)Ciptakan lingkungan saling percaya
Rasional : Menanggapai dan memperhatikan perlu diciptakan sebelum pasien bersedia
mengambil bagian dalam proses belajar.
2.)Diskusikan dengan klien tentang penyakitnya.
Rasional : Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pertimbangan dalam
memilih gaya hidup.
3.)Diskusikan tentang rencana diet, penggunaan makanan tinggi serat.
Rasional : Kesadaran tentang pentingnya kontrol diet akan membantu pasien dalam
merencanakan makan/mentaati program.
4.)Diskusikan pentingnya untuk melakukan evaluasi secara teratur dan jawab pertanyaan
pasien/orang terdekat.
Rasional : Membantu untuk mengontrol proses penyakit dengan lebih ketat.

E. IMPLEMENTASI
1) Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik.
Intervensi :
1.)Pantau tanda-tanda vital.
2.)Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membran mukosa.
3.)Pantau masukan dan keluaran, catat berat jenis urine.
4.)Timbang berat badan setiap hari.
5.)Berikan terapi cairan sesuai indikasi.
2) Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan
insulin, penurunan masukan oral.
Intervensi :
1.)Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat
dihabiskan oleh pasien.
2.)Timbang berat badan setiap hari atau sesuai indikasi.
3.)Identifikasi makanan yang disukai/dikehendaki termasuk kebutuhan etnik/kultural.
4.)Libatkan keluarga pasien pada perencanaan makan sesuai indikasi.
5.)Berikan pengobatan insulin secara teratur sesuai indikasi.
3) Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia.
Intervensi :
1).Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan.
mencetuskan keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi nosokomial.
2).Tingkatkan upaya untuk pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik pada semua
orang yang berhubungan dengan pasien termasuk pasiennya sendiri.
3).Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif.
4).Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh.
5).Lakukan perubahan posisi, anjurkan batuk efektif dan nafas dalam.
4) Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakseimbangan
glukosa/insulin dan atau elektrolit.
Intervensi :
1.)Pantau tanda-tanda vital dan status mental.
2.)Panggil pasien dengan nama, orientasikan kembali sesuai dengan kebutuhannya.
3.)Pelihara aktivitas rutin pasien sekonsisten mungkin, dorong untuk melakukan kegiatan sehari-
hari sesuai kemampuannya.
4.)Selidiki adanya keluhan parestesia, nyeri atau kehilangan sensori pada paha/kaki.
5) Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik.
Intervensi :
1.)Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas.
2.)Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup.
3.)Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan tekanan darah sebelum/sesudah melakukan aktivitas.
4.)Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai toleransi.
6) Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif yang tidak dapat
diobati, ketergantungan pada orang lain.
Intervensi :
1.)Anjurkan pasien/keluarga untuk mengekspresikan perasaannya tentang perawatan di rumah
sakit dan penyakitnya secara keseluruhan.

2.)Tentukan tujuan/harapan dari pasien atau keluarga.


3.)Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam perawatan diri sendiri dan
berikan umpan balik positif sesuai dengan usaha yang dilakukannya.
4.)Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam perawatan diri sendiri.
7) Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan kurangnya pemajanan/mengingat, keselahan interpretasi informasi
Intervensi :
1.)Ciptakan lingkungan saling percaya
2.)Diskusikan dengan klien tentang penyakitnya.
3.)Diskusikan tentang rencana diet, penggunaan makanan tinggi serat.
4.)Diskusikan pentingnya untuk melakukan evaluasi secara teratur dan jawab pertanyaan
pasien/orang terdekat.

F. EVALUASI
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan evaluasi ini adalah
membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi keperawatan dengan tujuan yang
diharapkan dalam perencanaan. Perawat mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh
mana tujuan tercapai:
1. Berhasil : prilaku pasien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau tanggal yang ditetapkan
di tujuan.
2. Tercapai sebagian : pasien menunujukan prilaku tetapi tidak sebaik yang ditentukan dalam
pernyataan tujuan.
3. Belum tercapai. : pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku yang diharapakan
sesuai dengan pernyataan tujuan.

Anda mungkin juga menyukai