Ujian Plastik Fiki
Ujian Plastik Fiki
Oleh:
Muhammad Fiarry F G99162021
Pembimbing:
dr. Amru Sungkar.,SpB.,SpBP-RE
STATUS PASIEN
A. Anamnesa
I. Identitas pasien
Nama : An. AR
Umur : 3 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Boyolali
No RM : 0135xxx
MRS : 10 Juli 2018
Tanggal Periksa : 9 Agustus 2018
II. KeluhanUtama
Jari-jari tangan dan kaki menyatu sejak lahir
VII.Riwayat Kebiasaan
Pasien minum susu formula sejak lahir sampai sekarang dan makanan
pendamping berupa bubur 3x sehari. Namun setiap makan maupun minum,
sering keluar lagi lewat kedua lubang hidung.
B. Anamnesa sistemik
Mata : mata kuning (-), mata kemerahan (-)
Telinga : darah (-), lendir (-), cairan (-), pendengaran berkurang (-)
Bibir : mukosa basah (+), sianosis (-)
Rongga mulut : gusi berdarah (-), sariawan (-), mulut kering (-), gigi
goyah (-), celah pada langit-langit (+)
Hidung : penciuman menurun (-), darah (-), sekret (-)
Sistem Respirasi : sesak nafas (-), suara sengau (-), sering tersedak (-)
Sistem Kardiovaskuler : nyeri dada (-), sesak saat aktivitas (-)
Sistem Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), diare(-)
Sistem Muskuloskeletal : nyeri otot (-), nyeri sendi (-), jari tangan kaku (-)
Sistem Genitourinaria : nyeri BAK (-), kencing darah (-)
Integumen : nyeri (-),gatal (-)
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
a. Keadaan umum : Compos mentis, E4V5M6, tampak sakit sedang, kesan
gizi cukup
b. Vital sign :
N : 120x/menit, regular, simetris, isi dan tegangan cukup
RR : 24 x/menit
T : 36,8o C per aksilar
2. General Survey
a. Kepala : mesocephal, jejas (-)
b. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor
(3mm/3mm), reflek cahaya (+/+)
c. Telinga : sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid(-), nyeri tragus
(-)
d. Hidung : bentuk simetris, nafas cuping hidung (-), sekret (-), darah
(-)
e. Mulut : gusi berdarah (-), lidah kotor (-), jejas (-), mukosa basah
(+), maxilla goyang (-), mandibula goyang (-)
f. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-), nyeri
tekan (-), JVP tidak meningkat
g. Thoraks : bentuk normochest, simetris, gerak pernafasan simetris
h. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi :batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi :bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising(-)
i. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-)
j. Abdomen
Inspeksi : distended (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defance muscular (-)
k. Ekstremitas : akral dingin oedem
- - - -
- - - -
D. Status Lokalis
Regio palatum : fistel (+) post operasi palatoplasty ukuran 2x2 cm, tanda radang (-)
E. Assesment I
Fistula palatal post palatoplasty atas indikasi palatoschisis
F. Plan I
1. Cek laboratorium darah lengkap
2. Pro repair fistel
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (RSDM, 1 Agustus 2018)
H. Assesment II
Fistula palatal post palatoplasty atas indikasi palatoschisis
I. Plan II
1. Pro repair fistel
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
I. PALATOSCHISIS
A. Definisi
Cleft palate atau palatoschisis merupakan kelainan kongenital pada wajah
dimana atap/langitan dari mulut yaitu palatum tidak berkembang secara normal
selama masa kehamilan, mengakibatkan terbukanya (cleft) palatum yang tidak
menyatu sampai ke daerah cavitas nasalis, sehingga terdapat hubungan antara
rongga hidung dan mulut.
Cleft lips and palate (CLP) adalah suatu kecacatan kongenital pada
kraniofasial yang paling sering ditemui. Permasalahan pada penderita celah bibir
dan langit-langit sudah muncul sejak penderita lahir. Derita psikis yang dialami
pula oleh penderita setelah menyadari dirinya berbeda dengan yang lain. Secara
fisik adanya celah akan membuat kesukaran minum karena adanya daya hisap
yang kurang dan banyak yang tumpah atau bocor ke hidung, Se1ain itu terjadi
permasalahan dalam segi estetik/kosmetik, perkembangan gigi yang tidak
sempuma serta gangguan pertumbuhan rahang dan gangguan bicara berupa suara
sengau. Penyulit yang juga mungkin terjadi pada penderita celah bibir adalah
infeksi pada telinga tengah hingga gangguan pendengaran
B. Etiologi
CLP merupakan cacat pada wajah yang paling sering, ditemukan satu
tiap 700 kelahiran hidup di seluruh dunia. Fogh Andersen di Denmark
melaporkan kasus bibir sumbing dan celah langit-langit 1,47/1000 kelahiran
hidup. Hasil yang hampir sama juga dilaporkan oleh Woolf dan Broadbent di
Amerika Serikat serta Wilson untuk daerah Inggris. Neel menemukan insiden
2,1/1000 penduduk di Jepang.
D. Patofisologi
Gejala patologis pada celah bibir mencakup kesulitan pemberian makanan
dan nutrisi, infeksi telinga yang rekuren, hilangnya pendengaran, perkembangan
pengucapan yang abnormal dan kelainan pada perkembangan wajah. Adanya
hubungan antara saluran mulut dan hidung menyebabkan berkurangnya
kemampuan untuk mengisap pada bayi.
Cacat terbentuk pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena tak
terbentuk mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu
(prosesus nasalis dan maksilaris) pecah kembali, Semua yang mengganggu
pembelahan sel dapat rnenyebabkan ini: defisiensi, bahan-bahan obat sitostatik,
radiasi.
Problem yang ditimbulkan akibat cacat ini adalah psikis, fungsi dan estetik
Ketiganya saling berhubungan, Problem psikis yang mengenai orang tua dapat
diatasi dengan penerangan yang baik. Bila cacat terbentuk lengkap sampai
langit-langit, bayi tak dapat mengisap. Karena sfingter muara tuba Eustachii
kurang normal lebih mudah terjadi infeksi ruang telinga tengah. Sering
ditemukan hipolplasia pertumbuhan maksilla sehingga gigi geligi depan
atas/rahang atas kurang maju pertumbuhannya.
Insersi yang abnormal dari tensor veli palatini menyebabkan tidak
sempurnanya pengosongan pada telinga tengah. Infeksi telinga rekuren
menyebabkan hilangnya pendengaran yang dapat rnernperburuk pengucapan
yang abnormal. Mekanisme veloparingeal yang utuh penting dalam
menghasilkan suara non nasal dan sebagai modulator aliran udara dalarn
produksi fonem lainnya yang membutuhkan nasal coupling, Maniputasi anatomi
yang kompleks dan sulit dari mekanisme veloparingeal, jika tidak sukses
dilakukan pada awal perkernbangan pengucapan, dapat menyebabkan
berkurangnya pengucapan normal yang dapat dicapai.
E. Diagnosa
Deteksi prenatal dapat dilakukan dengan beragam teknik. Fetoskopi telah
digunakan untuk memberikan gambaran wajah fetus. Akan tetapi teknik ini
bersifat invasif dan dapat menimbulkan resiko menginduksi aborsi. Namun
demikian, teknik ini mungkin tepat digunakan untuk konfirmasi pada beberapa
cacat/kelainan pada kehamilan yang kemungkinan besar akan diakhiri. Teknik
lain seperti ultrasonografi intrauterine, magnetic resonance imaging, deteksi
kelainan enzim pada cairan amnion dan transvaginal ultrasonografi
keseluruhannya dapat mendeteksi dengan sukses CLP secara antenatal. Tetapi,
pemeriksaan-pemeriksaan tersebut dibatasi pada biaya, invasifitas dan
persetujuan pasien. Ultrasound transabdominal merupakan alat yang paling
sering digunakan pada deteksi antenatal CLP, yang memberikan keamanan
dalam prosedur, ketersediaannya, dan digunakan secara luas pada skrining
anatomi antenatal.
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari kelainan palatoschisis antara lain :
1. Masalah asupan makanan
Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita
labiognatopalatochizis. Adanya labiognatopalatochizis memberikan
kesulitan pada bayi untuk melakukan hisapan pada payudara ibu atau
dot. Bayi yang hanya menderita labioschisis atau dengan celah kecil
pada palatum biasanya dapat menyusui, namun pada bayi dengan
labioplatoschisis biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus. Dot
khusus (cairan dalam dot ini dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini
dibuat untuk bayi dengan labiopalatoschisis dan bayi dengan masalah
pemberian makan/ asupan makanan tertentu.
2. Masalah Dental
Anak yang lahir dengan labiognatopalatochizis mungkin
mempunyai masalah tertentu yang berhubungan dengan kehilangan,
malformasi, dan malposisi dari gigi geligi pada arean dari celah bibir yang
terbentuk. Infeksi telinga Anak dengan labiognatopalatochizis lebih
mudah untuk menderita infeksi telinga karena terdapatnya abnormalitas
perkembangan dari otot-otot yang mengontrol pembukaan dan penutupan
tuba eustachius.
3. Gangguan berbicara
Pada bayi dengan labiopalatoschisis biasanya juga memiliki
abnormalitas pada perkembangan otot-otot yang mengurus palatum
mole. Saat palatum mole tidak dapat menutup ruang/ rongga nasal
pada saat bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas nada yang lebih
tinggi (hypernasal quality of speech). Meskipun telah dilakukan reparasi
palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup ruang/
rongga nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya
normal. Anak mungkin mempunyai kesulitan untuk menproduksi suara/ kata
"p, b, d, t, h, k, g, s, sh, and ch", dan terapi bicara (speech therapy) biasanya
sangat membantu.
G. Klasifikasi
Malformasi kraniofasial, dimana salah satunya adalah facial cleft telah
mengalami beberapa tahap klasifikasi. Dimulai dari tahun 1887 oleh Morian,
muncullah klasifikasi Morian yang mengklasifikasikan facial cleft menjadi dua
tipe yaitu tipe I yang merupakan oculonasal cleft dan tipe II, dari foramen
infraorbita hingga aspek luar wajah. Setelah itu, klasifikasi tersebut mengalami
beberapa penyesuaian dan pembaharuan seperti klasifikasi AACPR(American
Association of Cleft Palate Rehabilitation) pada tahun 1962, klasifikasi Boo-
Chai, klasifikasi Karfik, klasifikasi Tessier, dan klasifikasi van de Meulen.
Dua klasifikasi yang diterima secara luas adalah sistem
klasifikasiTessier dan van de Meulen.
Klasifikasi Tessier didasarkan pada posisi anatomi celah. Pada sistem
klasifikasi ini, cleft berdasarkan posisinya diberi nomor 0-14 dengan nomor 30
menunjukkan simfisis media dari mandibula. Penomoran ini memudahkan
nomenklatur cleft. Sistem ini murni bersifat deskriptif dan tidak berkaitan
dengan faktor-faktor embriologi maupun patologi.Berbeda dengan klasifikasi
Tessier, klasifikasi Van de Meulen didasarkan pada hubungan cleft dengan asal
embriogenesisnya. Klasifikasi Tessier merupakan cara paling mudah untuk
mendeskripsikan cleft dan nomenklaturnya, sehingga menjadi klasifikasi yang
paling sering digunakan hingga sekarang.
H. Penatalaksanaan
Rencana terapi dari celah wajah dibuat setelah diagnosis. Rencana ini
mencakup setiap operasi yang dibutuhkan dalam 18 tahun pertama kehidupan
pasien untuk merekonstruksi wajah sepenuhnya. Perlakuan terhadap cleft lip and
palate dapat dibagi di berbagai wilayah wajah: anomali tengkorak, anomali orbit
dan mata, anomaly hidung dan anomali midface mulut. Bayi yang baru lahir
dengan CLP segera dipertemukan dengan pekerja sosial untuk diberi penerangan
agar keluarga penderita tidak mengalami stress dan menerangkan harapan yang
bisa didapatkan dengan perawatan yang menyeluruh bagi anaknya, Selain itu
dijelaskan juga masalah yang akan dihadapi kelak pada anak. Menerangkan
bagaimana memberi minum bayi agar tidak banyak yang tumpah. Pekerja sosial
membuatkan suatu record psicososial pasien dari sini diambil sebagai bagian
record CLP pada umumnya. Pekerja sosial akan mengikuti perkembangan
psikososial anak serta keadaan keluarga dan lingkungannya. Adapun beberapa
perbaikan yang dapat dilakukan, diantaranya :
1. Operasi perbaikan terhadap bibir disebut Cheiloraphy atau Labioplasty.
Dilakukan pada usia 3 bulan. Sebe1um dilakukan observasi pada penderita
melihat kondisi bayi harus sehat, tindakan pembedahan mengikuti tata cara
""rule of ten": bayi berumur lebih 10 minggu, berat 10 pon atau 5 kg, dan
memiliki hemoglobin lebih dari 10 gr% dan lekosit di bawah 10.000.
2. Perbaikan langit-langit disebut Palatoraphy
Dilakukan pada usia 10 - 12 bulan, usia tersebut akan memberikan hasil fungsi
bicara yang optimal karena memberikan kesempatan jaringan pasca operasi
sampai matang pada proses penyembuhan luka sehingga sebelum penderita
mulai bicara dengan demikian soft palate dapat berfungsi dengan baik. Jika
operasi dilakukan terlambat sering hasil operasi dalam hal kemampuan
mengeluarkan suara normal, tak sengau, sulit dicapai
3. Speech therapy
Setelah operasi, pada usia anak dapat belajar dari orang lain, speech therapy
dapat diperlukan setelah operasi palatoraphy yang akan meminimalkan suara
sengau. Namun apabila masih saja didapatkan suara sengau, maka dapat
dilakukan phayngoplasty. Operasi ini akan membuat “bendungan" pada faring
untuk memperbaiki fonasi, biasanya dilakukan pada usia 5-6 tahun ke atas.
4. Alveolar Bone Graft
Pada usia 8-9 tahun dilakukan operasi penambalan tulang pada celah
alveolar/maxilla untuk tindakan bone graft dimana ahli orthodonti yang akan
mengatur pertumbuhan gigi caninus kanan-kiri celah agar normal. Bone graft
ini diambil dari bagian spongius crista iliaca.
5. Advancement Osteotomy Le Fort I
Evaluasi pada perkembangan selanjutnya pada penderita CLP sering didapatkan
hipoplasia pertumbuhan maxilla sehingga terjadi dish face muka cekung.
Keadaan ini dapat dikoreksi dengan cara operasi advancement ostetomi Le Fort
I pada usia 17 tahun dimana tulang-tulang muka telah berhenti pertumbuhannya.
Hal ini dilakukan oleh bedah ortognatik, memotong bagian tulang yang
tertinggal pertumbuhannya dan merubah posisinya maju ke depan.
Ahli THT untuk mencegah dan menangani timbulnya otitis media dan
kontrol pendengaran. Penderita CLP mengalami gangguan pada tuba eustachia
dimana akan tetjadi kelumpuhan otot levator palatine dan tensor vili palatine
yang terinsersi dengan daerah tepi pada langit-langit keras. Dengan
bertambahnya usia maka insiden terjadi kegagalan fungsi tuba eustachia
semakin tinggi pula. Evaluasi dilakukan setiap 3-4 bulan hingga ada perbaikan.
Indikasi untuk dilakukan miringotomi dan insersi pada tuba sangat konduktif
untuk mengatasi kehilangan pendengaran dan otitis media yang tidak kunjung
sembuh.
I. Komplikasi
Komplikasi dari celah bibir dan langit-langit bila tidak di operasi adalah secara
fisik membuat kesulitan dalam makan dan minum karena daya hisap yang
kurang maksimal dan banyak yang tumpah atau bocor ke hidung, gangguan
kosmetik, gangguan bicara berupa suara sengau, retardasi mental, infeksi telinga
tengah, gangguan pendengaran dan gangguan pertumbuhan gigi.
Komplikasi yang dapat timbul pada operasi adalah perdarahan, obstruksi saluran
pernapasan, infeksi, deviasi septim nasi dan terjadinya fistula. Perdarahan yang
banyak jarang terjadi, tapi mungkin memerlukan operasi kembali untuk
mengontrol perdarahan. Penyumbatan pernapasan juga jarang terjadi jika tidak
ada perdarahan yang berlebihan tetapi dapat mengancam jiwa. Saluran harus
dipantau secara hati-hati. Monitor saturasi O2 bisa digunakan di ruang
perawatan atau pasien dapat di pantau dalam ruang ICU. Fistula palatum bisa
ada karena celah asimptomatik atau menyebabkan gejala-gejala seperti masalah
pengucapan dan kesulitan kebersihan gigi.
J. Pencegahan
1. Menghindari merokok
Ibu yang merokok mungkin merupakan faktor risiko lingkungan terbaik
yang telah dipelajari untuk terjadinya celah orofacial.Ibu yang menggunakan
tembakau selama kehamilan secara konsisten terkait dengan peningkatan
resiko terjadinya celah-celah orofacial. Mengingat frekuensi kebiasaan
kalangan perempuan di Amerika Serikat, merokok dapat menjelaskan
sebanyak 20% dari celah orofacial yang terjadi pada populasi negara itu.
2. Menghindari alkohol
Peminum alkohol berat selama kehamilan diketahui dapat
mempengaruhi tumbuh kembang embrio, dan langit-langit mulut sumbing
telah dijelaskan memiliki hubungan dengan terjadinya defek sebanyak 10%
kasus pada sindrom alkohol fetal (fetal alcohol syndrome). Dalam banyak
penelitian tentang merokok, alkohol diketemukan juga sebagai pendamping,
namun tidak ada hasil yang benar-benar disebabkan murni karena alcohol.
3. Memperbaiki Nutrisi Ibu
Nutrisi yang adekuat dari ibu hamil saat konsepsi dan trimester I
kehamilan sangat penting bagi tumbuh kembang bibir, palatum dan struktur
kraniofasial yang normal dari fetus.
a. Asam Folat
Peran asupan folat pada ibu dalam kaitannya dengan celah orofasial
sulit untuk ditentukan dalam studi kasus-kontrol manusia karena folat
dari sumber makanan memiliki bioavaibilitas yang luas dan suplemen
asam folat biasanya diambil dengan vitamin, mineral dan elemen-elemen
lainnya yang juga mungkin memiliki efek protektif terhadap terjadinya
celah orofasial.Folat merupakan bentuk poliglutamat alami dan asam
folat ialah bentuk monoglutamat sintetis.Pemberian asam folat pada ibu
hamil sangat penting pada setiap tahap kehamilan sejak konsepsi sampai
persalinan. Asam folat memiliki dua peran dalam menentukan hasil
kehamilan. Satu, ialah dalam proses maturasi janin jangka panjang untuk
mencegah anemia pada kehamilan lanjut. Kedua, ialah dalam mencegah
defek kongenital selama tumbuh kembang embrionik.Telah disarankan
bahwa suplemen asam folat pada ibu hamil memiliki peran dalam
mencegah celah orofasial yang non sindromik seperti bibir dan/atau
langit-langit sumbing.
b. Vitamin B-6
Vitamin B-6 diketahui dapat melindungi terhadap induksi
terjadinya celah orofasial secara laboratorium pada binatang oleh sifat
teratogennya, demikian juga kortikosteroid, kelebihan vitamin A, dan
siklofosfamid.Deoksipiridin, atau antagonis vitamin B-6, diketahui
menginduksi celah orofasial dan defisiensi vitamin B-6 sendiri cukup
untuk membuktikan terjadinya langit-langit mulut sumbing dan defek
lahir lainnya pada binatang percoban.Namun penelitian pada manusia
masih kurang untuk membuktikan peran vitamin B-6 dalam terjadinya
vitamin B-6.
c. Vitamin A
Asupan vitamn A yang kurang atau berlebih dikaitkan dengan
peningkatan resiko terjadinya celah orofasial dan kelainan kraniofasial
lainnya. Hale adalah peneliti pertama yang menemukan bahwa defisiensi
vitamin A pada ibu menyebabkan defek pada mata, celah orofasial, dan
defek kelahiran lainya pada babi. Penelitian klinis manusia menyatakan
bahwa paparan fetus terhadap retinoid dan diet tinggi vitamin A
jugadapat menghasilkan kelainan kraniofasial yang gawat.Pada penelitian
prospektif lebih dari 22.000 kelahiran pada wanita di Amerika Serikat,
kelainan kraniofasial dan malformasi lainnya umum terjadi pada wanita
yang mengkonsumsi lebih dari 10.000 IU vitamin A pada masa
perikonsepsional.
4. Modifikasi Pekerjaan
Dari data-data yang ada dan penelitian skala besar menyarankan bahwa
ada hubungan antara celah orofasial dengan pekerjaan ibu hamil (pegawai
kesehatan, industri reparasi, pegawai agrikulutur).Teratogenesis karena
trichloroethylene dan tetrachloroethylene pada air yang diketahui
berhubungan dengan pekerjaan bertani mengindikasikan adanya peran dari
pestisida, hal ini diketahui dari beberapa penelitian.namun tidak semua.Maka
sebaiknya pada wanita hamil lebih baik mengurangi jenis pekerjaan yang
terkait. Pekerjaan ayah dalam industri cetak, seperti pabrik cat, operator
motor, pemadam kebakaran atau bertani telah diketahui meningkatkan resiko
terjadinya celah orofasial.
5. Suplemen Nutrisi
Beberapa usaha telah dilakukan untuk merangsang percobaan pada
manusia untuk mengevaluasi suplementasi vitamin pada ibu selama
kehamilan yang dimaksudkan sebagai tindakan pencegahan.Hal ini
dimotivasi oleh hasil baik yang dilakukan pada percobaan pada binatang.
Usaha pertama dilakukan tahun 1958 di Amerika Serikat namun
penelitiannya kecil, metodenya sedikit dan tidak ada analisis statistik yang
dilaporkan.Penelitian lainnya dalam usaha memberikan suplemen
multivitamin dalam mencegah celah orofasial dilakukan di Eropa dan
penelitinya mengklaim bahwa hasil pemberian suplemen nutrisi adalah
efektif, namun penelitian tersebut memiliki data yang tidak mencukupi untuk
mengevaluasi hasilnya.Salah satu tantangan terbesar dalam penelitian
pencegahan terjadinya celah orofasial adalah mengikutsertakan banyak
wanita dengan resiko tinggi pada masa produktifnya.
II. FISTULA PALATAL
A. Definisi
Fistula palatal adalah keadaan dimana terdapatnya hubungan abnormal
antara hidung dan mulut melalui palatum. Kondisi ini merupakan komplikasi
tersering dan paling umum terjadi pada tindakan palatoplasty pada kondisi
palatoschisis atau cleft palate.
B. Insiden
Fistula palatal adalah komplikasi operasi palatoplasty yang cukup sering
terjadi. Insidensi terjadinya fistula palatal setelah operasi palatoplasty bervariasi
dari 0-68%. Terdapat laporan yang menyebutkan bahwa pada lebih dari setengah
anak yang menjalani operasi palatoplasty ditemukan adanya fistula palatal. Data
dari RS Cipto Mangunkusumo menunjukkan angka kejadian fistula palatal
pasien yang menjalani one stage-palatoplasty mencapai 20,4%, dengan proporsi
laki-laki 53,8% dan wanita 46,2%.
Fistula palatal lebih sering ditemukan setelah perbaikan awal palatum.
Resiko bentuk fistula terlihat sangat berhubungan dengan ukuran dari celah yang
asli. Metode perbaikan yang digunakan oleh ahli bedah dapat mempengaruhi
perjalanan fistula. Laporan terbaru menunjukkan bahwa palatoplasty dengan 2
flap dihubungkan dengan tingkat yang rendah (3,4%) pada pembentukan fistula
palatal. Daerah yang paling umum untuk perkembangan residu palatal yaitu pada
pertemuan palatum keras dan lunak diikuti oleh anterior palatum keras dan
region foramen insisivus.
Hampir semua fistula yang terlihat dini pada periode pasca operasi, setelah
perbaikan dan merupakan hasil langsung dari luka lokal sebagai akibat gangguan
tekanan atau vascular. Periode waktu lainnya ketika fistula palatal kemungkinan
ditemukan selama tahap I perawatan ortodontik (pre bone graft), khususnya
ketika ekspansi maksila telah dilakukan.
C. Klasifikasi
Abdollahi S, Moghaddam YJ, Reza R, et al. (2008). Results of Difficult Large Palatal
Fistula Repair by Tongue Flap. Rawal Med J 2008;33:56-58
Aslam M, Ishaq I, Malik S, et al. (2015). Frequency of Oronasal Fistulae in Complete
Cleft Palate Repair. Journal of the College of Physicians and Surgeons Pakistan
2015, Vol. 25 (1): 46-49
Atthahirah AI, Pamungkas KA, Mursali LB (2015). Angka Kejadian Fistula Palatum
Pada Pasien Post-Palatoplasty Di Rs Awal Bros Sudirman Pekanbaru Periode
Januari 2011-Desember 2013. JOM FK Volume 2 No. 2 Oktober 2015
Bykowski et al (2015). The Rate of Oronasal Fistula Following Primary Cleft Palate
Surgery: A Meta-Analysis. Cleft Palate–Craniofacial Journal. 52(4). pp: 81-87
Coronella M, Foti PV, Vasta G, et al (2009). Oroantral fistulas: CT evaluation with
Dentascan software. European Society of Radiology
Diah E, Lo L, Yun C, et al. (2007). Cleft Oronasal Fistula: A Review of Treatment
Results and A Surgical Management Algorithm Proposal. Chang Gung Med J
2007;30:529-37
Eberlinc A, Kozˇel V (2012). Incidence of Residual Oronasal Fistulas: A 20-Year
Experience. The Cleft Palate-Craniofacial Journal 49(6) pp. 643–648
El-Leathy MM, Attia MF (2009). Closure of Palatal Fistula with Bucco-labial
Myomucosal Pedicled Flap. Annals of Pediatric Surgery, Vol 5, No 2, April 2009,
PP 104-108
Engelbrecht H, Butow KW (2013). Hard palate cleft and oro-nasal fistula reconstruction
utilising a resorbable sheet. SADJ February 2013, Vol 68 no 1 p24 - p28
Kale TP, Urolagin S, Khurana V et al. (2010). Treatment of Oroantral Fistula using
Palatal Flap – A Case Report and Technical Note. J. Int Oral Healt 2010 Vol 2
(Issue 3)
Khanna S, Dagum AB (2012). Waltzing a Facial Artery Musculomucosal Flap to
Salvage a Recurrent Palatal Fistula. The Cleft Palate-Craniofacial Journal 49(6)
pp. 750–752 November 2012
Klima LJ (2010). Modern Techniques in Oronasal Fistula Repair
Landheer JA, Breugem CC, Mink van der Molen AB (2010). Fistula Incidence and
Predictors of Fistula Occurrence After Cleft Palate Repair: Two-Stage Closure
Versus One-Stage Closure. Cleft Palate–Craniofacial Journal, November 2010,
Vol. 47 No. 6
Lithovius et al (2014). Incidence of palatal fistula formation after primary palatoplasty
in northern Finland. Journal of Oral and Maxillofacial Surgery.
Maine RG, Hoffman WY, Palacios-Martinez JH, et al. (2012). Comparison of Fistula
Rates after Palatoplasty for International and Local Surgeons on Surgical
Missions in Ecuador with Rates at a Craniofacial Center in the United States.
Plastic and Reconstructive Surgery 2012 Volume 129, Number 2
Martelli, et al (2015). Association between maternal smoking, gender, and cleft lip and
palate. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology
Moghe S, Gupta MK, Pillai A, et al. (2014). Repair of Oronasal fistula with Split-
thickness Palatal graft. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences Volume 13,
Issue 5 Ver. IV. (May. 2014), PP 89-92
Murthy J (2011). Descriptive study of management of palatal fistula in one hundred and
ninety-four cleft individuals. Indian Journal of Plastic Surgery January-April 2011
Vol 44 Issue 1
Passos et al (2014). Prevalence, Cause, and Location of Palatal Fistula in Operated
Complete Unilateral Cleft Lip and Palate: Retrospective Study. Cleft Palate–
Craniofacial Journal. 51(2). pp: 158-164.
Rohleder NH, Loeffelbein DJ, Feistl W, et al. (2013). Repair of Oronasal Fistulae by
Interposition of Multilayered Amniotic Membrane Allograft. Plastic and
Reconstructive Surgery 2013, Volume 132, Number 1
Seim H (2013). Oronasal Fistula Repair. Western Veterinary Conference 2013
Shah SA, Khan F, Bilal M (2011). Frequency of Fistula Formation After Two Stage
Repair of Cleft Palate. JKCD December 2011, Vol. 2, No. 1
Smith DM, Vecchione L, Jiang S, et al. (2007). The Pittsburgh Fistula Classification
System: A Standardized Scheme for the Description of Palatal Fistulas. Cleft
Palate–Craniofacial Journal, November 2007, Vol. 44 No. 6
Utama D, Buchari F, Sudjatmiko (2013). The Incidence of Palatal Fistula
Postpalatoplasty in Children with Dental Caries: A Multi Centre Study. Jurnal
Plastik Rekonstruksi - April - June 2013, Volume 2 - Number 2
Vityadewi N, Bangun K (2013). Incidence of Palatal Fistula after One-Stage
Palatoplasty and Factors Influencing the Fistula Occurrence. Jurnal Plastik
Rekonstruksi - April - June 2013, Volume 2 - Number 4