Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH POTENSI SUMBERDAYA PERIKANAN

KELOMPOK 1V
1. Wa Ode Sartifa (A1L1 17 0 )
2. Ahmad Wirawan Andeku (A1L1 17 0 )
3. Anna Jumraj Purnama (A1L1 17 0 )
4. Asmi (A1L1 17 0 )
5. Ayu Sari Feronika P (A1L1 17 0 )
6. Endang Mardyanti S. (A1L1 17 0 )
7. Fina Rais (A1L1 17 0 )
8. Sabaruddin (A1C4 12 026)

JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
HALAMAN PERSETUJUAN

Proposal ini telah diperiksa secara teliti dan disetujui untuk

dipertahankan dihadapan Panitia Ujian Seminar Proposal pada Jurusan Pendidikan

Kimia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Halu Oleo

Kendari, Februari 2018

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. La Harimu, S.Pd., M.Si Drs. Aceng Haetami, M.Si


Nip. 197200714 200012 1 001 Nip. 19671019 199203 1 002

Mengetahui,
Ketua Jurusan Pendidikan Kimia
Esnawi, S.Pd.,M.Pd
Nip. 19720412 200112 1 002

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semakin meningkatnya kebutuhan energi untuk aktivitas manusia

menyebabkan cadangan bahan bakar fosil seperti Bahan Bakar Minyak (BBM),

batubara, dan gas elpiji sebagai sumber energi utama menurun drastis. Bahan

bakar fosil ini bakar fosil seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), batubara, dan gas

elpiji sebagai sumber energi utama menurun drastis. Bahan bakar fosil ini

merupakan sumber energi tak terbarukan dan akan habis pada suatu saat.

Kerugian penggunaan bahan bakar fosil ini selain merusak lingkungan, juga tidak

terbarukan (nonrenewable) dan tidak berkelanjutan (unsustainable). Salah satu

energi terbarukan yang murah dan melimpah adalah energi biomassa. Sumber

energi biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang rendah emisi gas SOx

dan NOx dibandingkan dengan bahan bakar fosil (batubara). Biomassa adalah

bahan organik yang berasal dari dedaunan, rerantingan, rumput-rumput kering,

limbah pertanian dan limbah kehutanan. Sampah biomassa tersebut dapat

dimanfaatkan sumber energinya dalam keperluan rumah tangga seharihari

khususnya memasak. Namun, pemanfaatan sampah biomassa itu sendiri kurang


efektif dikarenakan masih memiliki kandungan kadar air yang tinggi, densitas

rendah, kadar abu yang tinggi dan nilai kalor yang rendah. Sehingga perlu diolah

kembali untuk menghasilkan bahan bakar yang lebih efisien.

Salah satu sumber biomassa yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan

briket adalah pemanfaatan sampah. Briket dapat menggantikan penggunaan kayu

bakar yang mulai meningkat konsumsinya. Selain itu harga briket bioarang relatif

murah dan terjangkau oleh masyarakat (Hambali, 2007).

Pengolahan kakao banyak memberikan hasil samping yang dapat

dimanfaatkan menjadi produk-produk lain yang bermanfaat dan mempunyai nilai

ekonomis. Buah kakao terdiri dari ± 74% kulit buah, 2% plasenta, dan 24% biji.

Pada tahun 2008, produksi biji kakao sekitar 850.000 ton, 315.000 ton untuk

industri olahan dan 535.000 ton diekspor dalam bentuk biji kakao. Produksi biji

kakao 850.000 ton, diperkirakan menghasilkan limbah kulit buah sebanyak

2.620.833,33 ton. Kulit buah kakao merupakan bagian yang terbesar dari buah

kakao, yaitu 74%. Apabila kulit buah ini dibuang di sekitar kebun akan menjadi

masalah lingkungan dan harus segera ditangani. Usaha-usaha pemanfaatan kulit

buah kakao didasarkan pada komposisi kulit buah. Penggunaan kulit buah kakao

untuk pakan ternak harus dibatasi karena kandungan teobromin yang beracun bagi

ternak. Kulit buah kakao kering untuk lembu sampai 7 kg/hari tanpa efek beracun

dan untuk babi sampai 2 kg/hari tidak menunjukkan gejala beracun. Akan tetapi

hewan akan selalu urinasi karena efek dari teobromin. Selain itu kulit buah kakao

juga dapat digunakan untuk pembuatan pupuk atau kompos karena kandungan

Kalium relatif tinggi. Penggunaan kulit buah kakao untuk kompos (mulching)
tidak cocok karena kemungkinan menyebabkan penyakit buah. Akan tetapi kulit

buah dapat dibakar dan abunya sebagai sumber Kalium. Di Afrika Barat kulit

buah kakao dibakar dan abunya sebagai sumber kalium karbonat untuk pembuatan

sabun lunak (Sheperd and Ngan, 1984; Glossop, 1983).

Pemanfaatan limbah kulit buah kakao menjadi briket arang merupakan

sumber energi alternatif yang cukup besar dan perlu pengkajian untuk

mendapatkan data karakteristik dari energi biomassa yang merupakan energi

alternatif kebutuhan rumah tangga yang dapat diperbarui (Patabang, 2011).

Dibandingkan dengan bahan bakar dari fosil, limbah pertanian tidak cocok

langsung dibakar karena bermasalah dalam pembakaran dan penanganan. Oleh

karena itu perlu dikonversi menjadi briket arang yang akan memberikan solusi

penanganan limbah pertanian. Dengan penanganan tersebut akan meningkatkan

nilai kalori, mengurangi biaya transportasi, pengumpulan, dan penyimpanan

(Jamradloedluk dan Wiriyaumpaiwong, 2007; Sotannde et. al., 2010).

Energi alternatif dapat dihasilkan dari teknologi tepat guna yang sederhana

dan sesuai untuk daerah pedesaan seperti briket dengan memanfaatkan limbah

biomassa seperti tempurung kelapa, sekam padi, dan serbuk gergaji kayu

(Jamilatun, 2008). Sejalan dengan itu, berbagai pertimbangan untuk

memanfaatkan limbah pengolahan kakao yaitu kulit buah kakao menjadi briket

arang. Hal ini penting karena limbah tersebut belum dimanfaatkan secara

maksimal.

Briket arang adalah arang yang telah diproses pengarangan dan dipadatkan

dengan tekanan tertentu dengan bentuk yang kita inginkan (Nugraha, 2008).
Briket arang adalah bahan bakar alternatif terbuat dari bahan baku tempurung

kelapa dan bahan kayu lainnya yang telah diolah menjadi briket dan diharapkan

menjadi bahan bakar alternatif pilihan yang dibutuhkan masyarakat saat ini. Sifat-

sifat briket arang dipengaruhi beberapa parameter antara lain tekanan, ukuran

partikel arang, jenis dan jumlah perekat (Jamradloedluk dan Wiriyaumpaiwong,

2007; Sotannde et. al., 2010).

Terdapat beberapa jenis bahan bakar alternatif, antara lain teknologi

biogas, biodiesel, bioetanol, dan biobriket (Wahyusi dkk, 2012). Produk biobriket

yang berasal dari kulit buah kakao memiliki prospek yang dapat diandalkan

karena pemanfaatan kulit buah kakao menjadi briket yang sangat membantu

petani menjaga kebersihan kebun. Bahan baku pembuatan briket arang yang baik

adalah partikel arangnya yang mempunyai ukuran 40-60 mesh (Patabang, 2011).

Kualitas briket arang ditentukan berdasarkan sifat fisik dan kimianya, antara lain:

kadar air, kadar abu, kadar zat menguap, kadar karbon terikat, kerapatan,

keteguhan tekan, dan nilai kalor.

Arang yang bermutu baik harus mempunyai persyaratan berwarna hitam

dengan nyala kebiruan, mengkilap pada pecahannya, bersih kalau dipegang, tidak

memberi noda hitam, mengeluarkan sedikit asam dan tidak berbau, menyala terus

tanpa dikipas dan tidak memercikkan bara api, abu sisa pembakaran sekecil

mungkin tidak terlalu cepat terbakar, berdenting seperti logam, dan menghasilkan

kalor panas tinggi dan konstan (Triono, 2006).

Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan briket arang dari kulit buah

kakao dengan memformulasikan briket arang dari kulit buah kakao dan tepung
kanji sebagai perekat sehingga bisa diketahui sifat-sifat fisis dan kimia

(karakteristik) masing-masing formula briket arang dari kulit buah kakao. Dengan

harapan pemanfaatan kulit buah kakao menjadi briket arang akan mengatasi

masalah limbah kulit buah kakao yang cukup banyak, membantu petani menjaga

kebersihan kebun, dan menjadi energi alternatif yang cukup penting di

sentrasentra produksi kakao sebagai bahan bakar untuk memasak dan lain-lain.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi optimum tengangan dan waktu proses elektrolisis

terhadap hasil akhir limbah laundry ?

2. Bagaimana pengaruh variasi tegangan dan waktu terhadap pH, total

suspended solid (TSS), kekeruhan, Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS)

dan massa endapan?


1.3 Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang ada, maka penelitian

ini mempunyai tujuan, antara lain :

1. Menentukan kondisi optimum tegangan dan waktu proses terhadap hasil

akhir limbah cair Laundry.

2. Menentukan pengaruh variasi tegangan dan waktu terhadap pH, total

suspended solid (TSS), kekeruhan, Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS)

dan massa endapan.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapatkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Mengembangkan ilmu pengetahuan serta menambah wawasan mengenai

pengolahan limbah cair Laundry dengan menggunakan proses elektrolisis.

2. Memberikan alternatif pengolahan limbah Laundry yang inovasi, murah

dan efektif tanpa menggunakan bahan kimia (koagulan).

3. Memberikan informasi kepada pembaca, masyarakat dan pemerintah

manfaat dari proses elektrokoagulasi terhadap pengolahan limbah cair

Laundry.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Air

Menurut Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 82 Tahun 2001, Air

merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga

perlu dilindungi agar dapat tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia

serta makhluk hidup lainnya. Air di bumi ini tidak pernah terdapat dalam keadaan

murni bersih, tetapi selalu ada senyawa atau mineral (unsur) lain yang terlarut di

dalamnya. Sebagai contoh, air hujan yang digunakan atau dimanfaatkan sebagai

aki/air baterai dan air yang diambil dari mata air di pegunungan yang dapat

langsung diminum (Wardhana, 1995).

2.2 Pencemaran Air

Limbah merupakan sampah cair dari lingkungan masyarakat dan terutama

terdiri dari air yang telah digunakan dengan hampir 0,1% berupa benda-benda

padat yang terdiri dari zat organik dan anorganik. Berdasarkan Peraturan

Pemerintah No. 82 Tahun 2001 Pasal 8 tentang Pengolahan Lingkungan Hidup,

klasifikasi dan kriteria mutu air ditetapkan menjadi empat (4) golongan yaitu:

1. Golongan I, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air murni secara

langsung tanpa diolah telebih dahulu.

2. Golongan II, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air baku untuk diolah

sebagai air minum dan keperluan rumah tangga dan lainnya.


3. Golongan III, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan

dan peternakan.

4. Golongan IV, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian,

untuk usaha perkotaan, industri dan listrik tenaga air.

Menurut definisi pencemaran air tersebut di atas bila suatu sumber air

yang termasuk dalam kategori golongan I, misalnya sebuah sumur penduduk

kemudian mengalami pencemaran dalam bentuk rembesan limbah cair dari suatu

industri maka kategori sumur tadi bukan golongan I lagi, tapi sudah turun menjadi

golongan II karena air tadi sudah tidak dapat digunakan langsung menjadi

air minum tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Dengan demikian air

sumur tersebut menjadi kurang/tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya

(Acmad, 2004). Masing-masing golongan air mempunyai kriteria sendiri, yaitu

parameter kualitas air untuk golongan I, II, III dan IV. Suatu badan air dapat

diketahui kualitas airnya (tercemar atau tidak) melalui analisis contoh air di

laboratorium dan membandingkannya dengan baku mutu air (Manik, 2004)

Menurut Suriawiria (2005), sumber pencemar yang terdapat pada suatu

badan air/air sungai berasal dari:

a. Sumber domestik (rumah-tangga, perhotelan, WC umum, pasar) dan

sebagainya.

b. Sumber nondomestik (industri, pertanian, peternakan, perikanan serta

sumber-sumber lainnya).

Secara langsung ataupun tidak langsung pencemar tersebut akan

berpengaruh terhadap kualitas air, baik untuk keperluan air minum, air industri
ataupun keperluan lainnya (Suriawiria, 2005). Pencemaran air dapat semakin luas,

tergantung dari kemampuan badan air penerima polutan untuk mengurangi kadar

polutan secara alami. Apabila kemampuan badan air tersebut rendah dalam

mereduksi kadar polutan, maka akan terjadi akumulasi polutan dalam air sehingga

badan air akan menjadi tercemar. (Fardiaz, 1992).

Menurut Gabriel (2001), akibat yang ditimbulkan oleh pencemaran air

yaitu :

a. Terganggunya kehidupan organisme air.

b. Pendangkalan dasar perairan.

c. Punahnya biota air seperti ikan.

d. Menjalarnya wabah penyakit seperti diare.

e. Banjir akibat tersumbatnya saluran air.

2.3 Limbah Cair

Limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh

suatu kegiatan/industri yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat

menurunkan kualitas lingkungan baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Limbah cair terdiri dari limbah industri (industri skala besar dan skala kecil) dan

limbah domestik. Air limbah atau limbah cair industri adalah limbah yang

dihasilkan pada setiap tahap produksi yang berupa air sisa, air bekas proses

produksi atau air bekas pencucian peralatan industri (Hadi, 2005).

Menurut Ricki (2005), Air limbah industri umumnya terjadi sebagai akibat

adanya pemakaian air dalam proses produksi. Dalam proses industri, air

digunakan sebagai :
a. Untuk mentransportasikan produk atau bahan baku.

b. Sebagai air pendingin. Berfungsi untuk memindahkan panas yang

terjadi dari proses industri.

c. Sebagai air proses, misalnya sebagai umpan boiler pada pabrik minuman.

d. Untuk mencuci dan membilas produk, gedung atau instalasi.

Limbah domestik adalah semua buangan yang berasal dari kamar mandi,

kakus, dapur, tempat cuci pakaian, cuci peralatan rumah tangga, apotek, rumah

sakit, rumah makan, dan sebagainya yang secara kuantitatif limbah tersebut terdiri

atas zat organik dan zat anorganik (Sastrawijaya, 1991). Limbah cair domestik

biasanya menghasilkan senyawa organik berupa protein, lemak, karbohidrat dan

asam nukleat (Ainul, 2004). Baku mutu limbah cair adalah batas kadar yang

diperkenankan bagi zat atau pencemar untuk dibuang dari sumber pencemar ke

dalam air pada sumber air sehingga tidak mengakibatkan dilampauinya baku mutu

air (Kristianto, 2002).


Tabel 1. Sifat-sifat Fisik, Biologi dan Kimia Air Limbah Serta Sumber
Asalnya (Sugiharto, 1987).
No. Sifat-sifat Air Sumber Asal Limbah
Limbah
1 Sifat fisik
a. Warna Air buangan rumah tangga dan industri serta bangkai
benda organik.

b. Bau Pembusukan air limbah dan limbah industri.


c. Endapan Penyediaan air minum, air limbah rumah tangga dan
industri, erosi tanah, aliran air rembesan.

d. Temperature Air limbah rumah tangga da industri.


2. Sifat biologi
a. Karbohidrat Air limbah rumah tangga, perdagangan, serta limbah
industri.
b. Minyak dan Air limbah rumah tangga, perdagangan serta limbah
Lemak industri.
c. Pestisida Air limbah pertanian
d. Protein Air limbah rumah tangga, perdagangan.
3. Sifat Kimia
a. Detergen Air limbah rumah tangga, industri.
b. Kesadahan Air limbah dan air minum rumah tangga serta
rembesan air tanah.
c. Klorida Air limbah dan air minum rumah tangga, rembesan
air dan pelunak air.
d. Fenol Air limbah industri.
e. Logam berat Air limbah industri.
f. Nitrogen Air limbah rumah tangga dan pertanian.
g. Fosfor Air limbah rumah tangga dan industri serta
pelimpahan air hujan.
h. Blerang Air limbah dan air minum rumah
tangga serta air limbah industri.
2.4 Limbah Laundry

Laundry merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan interaksi

antara beberapa faktor fisik dan kimiawi. Pada proses ini kotoran yang melekat

pada pakaian dibersihkan dengan mempergunakan air dan deterjen. Tahapan yang

terjadi pada proses ini adalah kotoran yang melekat pada pakaian akan dilepaskan

oleh larutan deterjen dan dilanjutkan dengan stabilisasi air yang berisi kotoran

supaya kotoran tersebut tidak menempel kembali pada permukaan pakaian.

Kemampuan membersihkan pakaian dalam proses Laundry sangatah tergantung

pada beberapa faktor seperti jenis bahan pakaian, jenis kotoran, kualitas air,

peralatan mencuci dan komposisi deterjen (Hudori, 2008).

Air pada proses Laundry berfungsi sebagai pelarut bagi deterjen dan

kotoran yang menempel di pakaian. Air juga berfungsi sebagai media perpindahan

untuk komponen tanah yang terlarut maupun terdispersi. Air limbah yang

dihasilkan dari proses Laundry mempunyai komposisi dan kandungan yang

bervariasi. Hal ini dapat disebabkan karena adanya variasi kandungan kotoran di

pakaian, komposisi dan jumlah deterjen yang digunakan serta teknologi yang

digunakan. Untuk jasa Laundry, kandungan air limbahnya mengandung deterjen

dengan jumlah sedikit dikarenakan pemakaian yang lebih ekonomis dan juga

penggunaan peralatan pelunakan air.


Tabel 1. Baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan industri sabun,
deterjen dan produk-produk minyak nabati.

Sumber : Peraturam Pemerintah Republik Indonesia No. 4 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air Limbah

Catatan :

1. Kadar paling tinggi untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan

dalam miligram parameter per liter air limbah.

2. Beban pencemaran paling tinggi untuk setiap parameter pada tabel di atas

dinyatakan dalam kg parameter per ton produk sabun minyak nabati dan

diterjen.

2.5 Detergen

Istilah deterjen digunakan untuk bahan atau produk yang mempunyai

fungsi meningkatkan kemampuan pemisahan suatu materi dari permukaan benda,

misalnya kotoran dari pakaian, sisa makanan dari piring atau buih sabun dari

permukaan benda serta mendispersi dan menstabilisasi dalam matriks seperti

suspensi butiran minyak dalam fase seperti air (Showell, 2006).

Penyusun deterjen dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu surfaktan,

builder, bleaching agent dan bahan aditif. Surfaktan berfungsi untuk mengangkat

kotoran pada pakaian baik yang larut dalam air maupun yang tak larut dalam air.

Kandungan lain yang penting dalam deterjen yaitu builder. Builder digunakan
untuk melunakkan air sadah dengan cara mengikat mineral-mineral yang terlarut,

sehingga surfaktan dapat berfungsi dengan lebih baik dan juga membantu

menciptakan kondisi keasaman yang tepat agar proses pembersihan dapat

berlangsung dengan lebih baik serta membantu mendispersikan dan

mensuspensikan kotoran yang telah lepas. Senyawa kompleks yang sering

digunakan dalam builder adalah fosfat, natrium sitrat, natrium karbonat dan

natrium silikat atau zeolit. Senyawa fosfat dapat mencegah menempelnya kembali

kotoran pada bahan yang sedang dicuci. Formulasi yang tepat antara kompleks

fosfat dengan surfaktan menjadi kunci utama kehebatan daya cuci deterjen. Filler

(pengisi) merupakan bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuan

meningkatkan daya cuci tetapi menambah kuantitas. Aditif merupakan bahan

tambahan untuk membuat produk yang lebih menarik, misalnya pewangi, pelarut,

pemutih dan pewarna (Hudori, 2008).

2.6 Detergen Sintesis

Deterjen sintetis mempunyai sifat pembersih yang baik dan tidak

membentuk endapan dengan ion-ion seperti kalsium dan magnesium di dalam air

sadah. Deterjen termasuk garam yang berasal dari asam kuat sehingga tidak akan

membentuk endapan di dalam larutan asam (Situmorang, 2007). Unsur kunci dari

deterjen adalah bahan surfaktan atau bahan aktif permukaan, yang beraksi dalam

menjadikan air menjadi lebih basah (wetter) dan sebagai bahan pencuci yang lebih

baik (Achmad, 2004).

Deterjen sintetis mempunyai bahan aktif yang disebut sebagai surfaktan

yang berfungsi untuk menurunkan kekerasan air. Bahan surfaktan yang paling
banyak digunakan adalah alkil benzene sulfonat (ABS) yang merupakan turunan

benzene (Situmorang, 2007).

Gambar 1. Rumus bangun dari Alkil Benzene Sulfonat (ABS)

Sifat surfaktan bergantung pada suatu molekul yang memiliki sifat ipofilik

dan hidrofilik. Pada batas antarfase (misalnya, lemak dan air), molekul surfaktan

bergabung menyebabkan turunnya tegangan permukaan. Pada batas antarfase ini,

keberadaan busa menyebabkan terbentuknya perluasan daerah antarfase dan

dengan demikian terjadi akumulasi surfaktan dalam air busa dan mengakibatkan

penurunan kepekatan surfaktan dalam massa air. Dengan surfaktan ABS, batas

ambang untuk pembentukan busa permanen adalah sekitar 0,3-0,4 mg/L. Suhu,

pH, adanya zat-zat lainnya semuanya dapat mempengaruhi kepekatan pada busa

permanen terjadi (Connell, 1995).

ABS sangat tidak menguntungkan karena ternyata sangat lambat terurai

oleh bakteri penngurai disebabkan oleh adanya rantai bercabang pada strukturnya.

Dengan tidak terurainya secara biologi deterjen ABS, lambat laun perairan yang

terkontaminasi oleh ABS akan dipenuhi oleh busa (Achmad, 2004). ABS sangat

sukar didegradasi oleh mikrorganisme karena ikatan dalam strukturnya, sehingga

mencemari air, surfaktan lain yang tergolong biogradable adalah alkil linear

sulfonat atau a-dodecanebenzene sulfonat (LAS) :


Gambar 2. Rumus bangun dari LAS (a-dodecanebenzene sulfonat)

LAS lebih mudah didegradasi oleh mikroorganisme dibanding dengan

ABS karena gugus alkil dalam LAS tidak bercabang dan tidak memiliki atom

karbon tersier. Penggunaan LAS dapat mengurangi pencemaran air (Situmorang,

2007). Sejak LAS menggantikan penggunaan ABS dalam deterjen, masalah-

masalah yang timbul seperti penutupan permukaan air oleh gumpalan busa dapa

dihilangkan dan toksisitasnya terhadap ikan di perairan telah banyak dikurang

(Achmad, 2004). Pada umumnya, deterjen mengandung bahan-bahan berikut :

a. Surfaktan (Surface active agent)

Zat aktif permukaan mempunyai ujung berbeda yaitu hydrophile (suka air)

dan hydrophobe (suka lemak). Bahan aktif ini berfungsi menurunkan

tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang

menempel pada permukaan bahan. Berupa anionik (Alkyl Benzene

Sulfonate/ABS, Linier Alkyl Benzene Sulfonate/LAS, Alpha Olein

Sulfonate/AOS), kationik (Garam Ammonium), Nonionik (Nonyl Phenol

Polyethoxyle), Amfoterik (Acyl Ethylenediamines).

b. Builder (Pembentuk)
Zat yang berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan

cara menon-aktifkan mineral penyebab kesadahan air. Berupa phosphate

(Sodium Tri Poly Phosphate/STTP). Asetat (Nitril Tri Acetate/NTA,

Ethylene Diamine Tertra Acetate/EDTA) dan Sitrat (asam sitrat).

c. Filler (Pengisi)

Bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuan

meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas atau dapat

memadatkan dan memantapkan sehingga dapat menurunkan harga.

Contoh: Sodium sulfate.

d. Additivies (Zat Tambahan)

Bahan suplemen/tambahan untuk membuat produk lebih menarik,

misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan sebagainya yang tidak

berhubungan langsung dengan daya cuci deterjen. Additivies ditambahkan

untuk maksud komersialisasi produk. Contoh : Enzyme, Borax, Sodium

chloride, Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dipakai agar kotoran yang

telah dibawa oleh deterjen ke dalam larutan tidak kembali ke bahan cucian

pada waktu mencuci. Wangi-wangian atau parfum dipakai agar cucian

berbau harum, sedangkan air sebagai bahan pelarut (Admin, 2010).

2.7 Toksitas Detergen

Kemampuan deterjen untuk menghilangkan berbagai kotoran yang

menempel pada kain atau objek lain, mengurangi keberadaan kuman dan bakteri

yang menyebabkan infeksi. Tanpa mengurangi makna manfaat deterjen dalam

memenuhi kebutuhan sehari-hari, harus diakui bahwa bahan kimia yang


digunakan pada deterjen dapat menimbulkan dampak negatif baik terhadap

kesehatan maupun lingkungan. Dua bahan terpenting dari pembentuk deterjen

yakni surfaktan dan builders, diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan

tidak langsung terhadap manusia dan lingkungannya (Admin, 2010).

Deterjen ada yang bersifat kationik, anionik maupun nonionik.

Kesemuanya membuat zat yang lipofilik mudah larut dan menyebar di perairan.

Selain itu, ukuran zat lipofilik menjadi lebih halus sehingga mempertinggi

toksisitas racun. Deterjen juga mempermudah absorpsi racun melalui insang. Ada

pula yang persisten sehingga terjadi akumulasi (Slamet, 1994). Umumnya pada

deterjen anionik ditambahkan zat aditif lain (builder) seperti golongan ammonium

kuartener. Golongan ammonium kuartener ini dapat membentuk senyawa

nitrosamine. Senyawa nitrosamine diketahui bersifat karsinogenik, dapat

menyebabkan kanker (Admin, 2010).

Kadar surfaktan 1 mg/liter dapat mengakibatkan terbentuknya busa

diperairan. Meskipun tidak bersifat toksik, keberadaan surfaktan dapat

menimbulkan rasa pada air dan dapat menurunkan absorpsi oksigen di perairan

(Effendi, 2003). Pengaruh lingkungan yang paling jelas adalah adanya busa pada

aliran sungai. Hynes dan Roberts (1962), dalam studi aliran sungai di Inggris yang

menerima limbah air mengandung surfaktan (2-4 ppm) tidak dapat mendeteksi

perubahan apa pun dalam struktur komunitas biota air karena surfaktan

(Connell, 1995). Dalam laporan lain disebutkan deterjen dalam badan air dapat

merusak insang dan organ pernafasan ikan yang mengakibatkan toleransi ikan

terhadap badan air yang kandungan oksigennya rendah menjadi menurun.


Keberadaan busa-busa dipermukaan air menjadi salah satu penyebab kontak udara

dan air terbatas sehingga menurunkan oksigen terlarut. Dengan demikian akan

menyebabkan organisme air kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan

kematian (Admin, 2010).

Deterjen keras berbahaya bagi ikan biarpun konsentrasinya kecil, misalnya

natrium dodesil benzene sulfonat dapat merusak insang ikan, biarpun hanya 5

ppm. Tanaman air juga dapat menderita jika kadar deterjen tinggi. Kemampuan

fotosintetis dapat terhenti (Sastrawijaya, 1991). Menurut Wardhana (1995), Bahan

buangan berupa deterjen di dalam air lingkungan akan mengganggu karena alasan

berikut ini :

a. Deterjen yang menggunakan bahan non-fosfat akan menaikkan pH air

sampai sekitar 10,5-11.

b. Bahan antiseptik yang ditambahkan ke dalam deterjen juga mengganggu

kehidupan mikroorganisme di dalam air bahkan dapat mematikan.

c. Ada sebagian bahan deterjen yang tidak dapat dipecah (didegradasi) oleh

mikroorganisme yang ada di dalam air. Keadaan ini sudah tentu akan

merugikan lingkungan.

Permasalahan juga ditimbulkan oleh deterjen yang mengandung banyak

polifosfat yang merupakan penyusun deterjen yang masuk ke badan air. Poliposfat

dari deterjen ini diperkirakan memberikan kontribusi sekitar 50 % dari seluruh

fosfat yang terdapat diperairan. Keberadaan fosfat yang berlebihan menstimulir

terjadinya eutrofikasi (pengkayaan) perairan (Effendi, 2003). Fosfat tidak

memiliki daya racun, bahkan sebaliknya merupakan salah satu nutrisi penting
yang dibutuhkan makhluk hidup. Tetapi dalam jumlah yang terlalu banyak, fosfat

dapat menyebabkan pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan

air sehingga badan air kekurangan oksigen akibat dari pertumbuhan algae

(phytoplankton) yang berlebihan yang merupakan makanan bakteri (Admin,

2010).

Populasi bakteri yang berlebihan akan menggunakan oksigen yang terlarut

dalam air sampai suatu saat terjadi kekurangan oksigen di badan air dan pada

akhirnya justru membahayakan kehidupan makhluk air dan sekitarnya. Di

beberapa Negara penggunaan fosfat dalam deterjen telah dilarang. Sebagai

alternatif telah dikembangkan zeolite dan citrate sebagi builder dalam deterjen

(Admin, 2010).

2.8 Dampak Deterjen terhadap Lingkungan

Bahan kimia penyusun deterjen harus diperhatikan karena gugus fungsi ini

akan sangat mempengaruhi toksisitas terhadap kesehatan dan lingkungan.

Masalah yang timbul di masyarakat, apabila terjadi kontak langsung deterjen

dengan kulit maka kulit terasa kering, melepuh dan timbulnya eksim kulit seperti

bintik-bintik. Pada lingkungan, masalah yang terjadi ialah terjadinya eutrofikasi

diperairan karena penggunaan deterjen dengan kandungan fosfat yang tinggi.

Apabila kondisi badan air sudah menghitam atau terbentuk busa yang melimpah

dapat mempengaruhi kontak udara dengan deterjen di perairan terganggu sehingga

proses penguraian secara aerobik terhambat, akibatnya degradasi tidak berjalan

secara sempurna (Sopiah, 2008)


2.3 Elektrolisis

Elektrolisis adalah reaksi kimia yang terjadi dari suatu elektrolit akibat

adanya aliran elektron yang kontinu pada permukaan elektroda. Aliran elektron

yang kontinu ini, biasa disebut sebagai arus listrik DC. Elektroda adalah

konduktor (berupa logam) yang kontak langsung dengan elektrolit. Elektroda

dibagi menjadi 2 macam, yaitu katoda dan anoda. Katoda adalah tempat terjadinya

reaksi reduksi, sedangkan anoda adalah tempat terjadinya reaksi oksidasi.

Pemahaman mengenai dasar-dasar fisika listrik (Prianto, 2008).

Menurut Dogra (1990) elektrolisis adalah suatu proses dimana reaksi

kimia terjadi pada elektroda yang tercelup dalam elektrolit, ketika tegangan

diterapkan terhadap elektroda itu. Alat tempat berlangsungnya elektrolisis disebut

sel elektrolisis. Dalam sel ini elektroda penghantar tempat listrik masuk ke dalam

dan keluar dari zat- zat yang bereaksi, perpindahan elektron antara elektroda dan

zat- zat dalam sel menghasilkan reaksi terjadi pada permukaan elektroda. Zat- zat

yang dapat dielektrolisis adalah leburan ion dan larutan yang mengandung ion

terlarut.

2.4 Elektroda

Elektroda adalah konduktor yang digunakan untuk bersentuhan dengan

bagian atau media non-logam dari sebuah sirkuit (misal semikonduktor, elektrolit

atau vakum). Ungkapan kata ini diciptakan oleh ilmuwan Michael Faraday dari

bahasa Yunani elektron (berarti amber, dan hodos sebuah cara). Elektroda dalam

sel elektrokimia dapat disebut sebagai anoda atau katoda, kata-kata yang juga
diciptakan oleh Faraday. Anoda ini didefinisikan sebagai elektroda dimana

elektron datang dari sel elektrokimia dan oksidasi terjadi, dan katoda didefinisikan

sebagai elektroda di mana elektron memasuki sel elektrokimia dan reduksi

terjadi. Setiap elektroda dapat menjadi sebuah anoda atau katoda tergantung dari

tegangan listrik yang diberikan ke sel elektrokimia tersebut. Elektroda bipolar

adalah elektroda yang berfungsi sebagai anoda dari sebuah sel elektrokimia dan

katoda bagi sel elektrokimia lainnya (Hiskia, 1992).

2.4.1 Anoda

Pada sel galvanik, anoda adalah tempat terjadinya oksidasi, bermuatan

negatif disebabkan oleh reaksi kimia yang spontan, elektron akan bermuatan

negatif disebabkan oleh reaksi kimia yang spontan, elektron akan dilepaskan oleh

elektroda ini. Pada sel elektrolisis, sumber eksternal tegangan didapat dari luar,

sehingga anoda bermuatan positif apabila dihubungkan dengan katoda. Ion- ion

bermuatan negatif akan mengalir pada anoda untuk dioksidasi (Dogra,1990).

2.4.2 Katoda

Merupakan elektoda- elektroda tempat terjadinya reduksi berbagai zat

kimia. Katoda bermuatan positif bila dihubungkan dengan anoda yang terjadi pada

sel galvanik. Ion bermuatan positif mengalir ke elektroda ini untuk direduksi oleh

elektron-elektron yang datang dari anoda. Pada sel elektrolisis, katoda adalah

elektroda yang bermuatan negatif. Ion-ion bermuatan positif (kation) mengalir ke

elektroda ini untuk direduksi. Dengan demikian, di sel galvanik, elektron bergerak

dari anoda ke katoda dalam sirkuit eksternal. (Bird,1993).


2.4.3 Potensial Elektroda Standar (E0)

Potensial elektroda standar suatu elektroda adalah daya gerak listrik yang

timbul karena pelepasan elektron dari reaksi reduksi. Karena itu, potensial

elektroda standar sering juga disebut potensial reduksi standar. Potensial ini relatif

karena dibandingkan dengan elektroda hidrogen sebagai standar. Nilai potensial

elektroda standar dinyatakan dalam satuan Volt (V). Untuk elektroda hidrogen, E0

nya adalah 0,00V. 1. Bila E0> 0 → cenderung mengalami reduksi (bersifat

oksidator) 2. Bila E0< 0 → cenderung mengalami oksidasi (bersifat reduktor)

(Hiskia, 1992).
Tabel 2. Potensial reduksi standar pada 25o C (Chang, 2005)
Setengah-Reaksi Eo (V)
F2(g) + 2e- 2 F-(aq) +2,87
O3(g) + 2H (aq) + 2e-
+
O2(g) + H2O +2,07
3+ - 2+
Co (aq) + e Co (aq) +1,82
H2O2(aq) + 2H+(aq) + 2e- 2H2O +1,77
PbO2(s) + 4H (aq) + SO4 (aq) + 2e-
+ 2-
PbSO4(s) + 2H2O +1,70
4+ - 3+
Ce (aq) + e Ce (aq) +1,61
MnO4-(aq) + 8H+(aq) + 5e- Mn2+(aq) + 4H2O +1,51
Au3+(aq) + 3e- Au(s) +1,50
Cl2(g) + 2e- 2Cl-(aq) +1,36
Cr2O72-(aq) + 14H+(aq) + 6e- 2Cr3+ (aq) + 7H2O +1,33
+ 2+
MnO2(s) + 4H (aq) + 2e Mn (aq) + 2H2O +1,23
+ -
O2(g) + 4H (aq) + 4e 2H2O +1,23
- -
Br2(l) + 2e 2Br (aq) +1,07
NO3-(aq) + 4H+(aq) + 3e- NO(g) + 2H2O +0,96
2+ - 2+
2Hg (aq) + 2e Hg 2(aq) +0,92
Hg22+(aq) + 2e- 2Hg(l) +0,85
Ag+(aq) + e- Ag(s) +0,80
Fe3+(aq) + e- Fe2+(aq) +0,77
O2(aq) + 2H+ + 2e- H2O2(aq) +0,68
- -
MnO4 (aq) + 2H2O + 3e MnO2(s) + 4OH-(aq) +0,59
I2(s) + 2e- 2I-(aq) +0.53
O2(g) + 2H2O + 4H+ 4OH-(aq) +0,40
2+ -
Cu (aq) + 2e Cu(s) +0,34
-
AgCl(s) + e Ag(s) + Cl-(aq) +0,22
SO4 (aq) + 4H (aq) + 2e-
2- +
SO2(g) + 2H2O +0,20
Cu2+(aq) + e- Cu+(aq) +0,15
Sn4+(aq) + 2e- Sn2+(aq) +0,13
+ -
2H (aq) + 2e H2(g) 0,00
2+ -
Pb (aq) + 2e Pb(s) - 0,13
Sn2+(aq) + 2e- Sn(s) -0,14
Ni2+(aq) + 2e- Ni(s) -0,25
2+ -
Co (aq) + 2e Co(s) -0,28
PbSO4(s) + 2e- Pb(s) + SO42-(aq) -0,31
Cd2+(aq) + 2e- Cd(s) -0,40
Fe2+(aq) + 2e- Fe(s) -0,44
Cr3+(aq) + 3e- Cr(s) -0,74
Zn2+(aq) + 2e- Zn(s) -0,76
-
2H2O + 2e H2(g) + 2OH-(aq) -0,83
2+ -
Mn (aq ) + 2e Mn(s) -1,18
Al3+(aq) + 3e-Al(s) -1,66
Be2+(aq) + 2e- Be(s) -1,85
Mg2+(aq) + 2e- Mg(s) -2,37
+ -
Na (aq) + e Na(s) -2,71
Setengah-Reaksi Eo (V)
Ca2+(aq) + 2e- Ca(s) -2,87
2+ -
Sr (aq) + 2e Sr(s) -2,89
2+ -
Ba (aq) + 2e Ba(s) -2,90
K+(aq) + e-K(s) -2,93
Li+(aq) + e- Li(s) -3,03

Salah satu elektroda yang digunakan adalah Aluminium. Penggunaan

aluminium (Al) sebagai elektroda dikarenakan Al merupakan logam aktif yang

memiliki potensial elektroda lebih negatif dari pada air (E0 Al = -1,66 dan E0 H2O

= - 0,83) dengan demikian air yang akan bereaksi.

2.5 Elektrolit

Elektrolit merupakan gabungan antara air dan katalis. Katalis merupakan

suatu zat yang dapat mempercepat suatu laju reaksi, namun ia sendiri secara

kimiawi, tidak berubah pada akhir reaksi. Katalis digunakan untuk mempercepat

laju reaksi menghasilkan gas HHO pada proses elektrolisa. Katalis yang

digunakan adalah natrium klorida (NaCl). NaCl sebanyak 6 gram dilarutkan

kedalam 500 mL air. Penggunaan natrium klorida dikarenakan natrium memiliki

potensial elektrode standar yang lebih negatif dari pada air dengan demikian

natrium tidak akan bereaksi namun air yang akan bereaksi. Laju reaksi elektrolisis

dipengaruhi oleh faktor proses adsorpsi perekasi ke permukaan dan faktor posisi

perekasi yang teradsorpsi pada permukaan (Prianto, 2008). Selain itu, natrium

klorida juga mudah didapat. Potensial elektrode standar Natrium (Na) adalah -

2,71 dan air (H2O) adalah -0,83 (Tjatur. 2009).


2.6 Spektofotometer Menggunakan Metode MBAS (Methylene Blue

AnionicSurfaktan)

Analisis spektrofotometri UV/Vis merupakan salah satu teknik analisis

spetroskopi yang telah lama dikenal dan banyak digunakan di berbagai

laboratorium. Spektrofotometer UV-Visible adalah pengukuran panjang

gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi

oleh sampel. Sinar Ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm,

sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm. Elektron

pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektrum ini sangat berguna

untuk pengukuran secara kuantitatif (Dachriyanus, 2004).

Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan

(larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur

besarnya.Radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan

intensitas sinar yang diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap jika tidak ada

spesies penyerap lainnya. Intensitas atau kekuatan radiasi cahaya sebanding

dengan jumlah foton yang melalui satu satuan luas penampang perdetik

(Rohman, 2007).

Prinsip yang digunakan adalah suatu molekul zat yang dapat menyerap

ultraviolet dan cahaya tampak dengan kemungkinan bahwa elektron molekul zat

akan terkesitasi ke tingkat energi yang tinggi. Bertujuan untuk menentukan kadar

zat secara spektrofotometri serapan pada daerah ultraviolet dan cahaya tampak.

Methylene Blue digunakan untuk uji coba bahan pewarna organik. Bahan pewarna

organik yang berwarna biru tua ini, akan menjadi tidak berwarna apabila oksigen
pada sampel (air yang tercemar yang sedang dianalisis) telah habis dipergunakan

(Mahida, 1981). Surfaktan anionik bereaksi dengan warna biru metilen

membentuk pasangan ion baru yang terlarut dalam pelarut organik, intensitas

warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer dengan panjang

gelombang 652 nm. Serapan yang diukur setara dengan kadar surfaktan anionik.

2.7 Total Suspended Solid (TSS)

TSS merupakan bahan-bahan yang melayang dan tidak larut dalam air.

Padatan tersuspensi sangat berhubungan erat dengan tingkat kekeruhan air.

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan

banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat

di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik

yang tersuspensi dan terlarut. Semakin tinggi kandungan bahan tersuspensi

tersebut, maka air semakin keruh (Effendi, 2003).

Penentuan TSS ini dilakukan berdasarkan SNI 06-6989.3-2004 dengan

menggunakan perhitungan sebagai berikut:

(𝐴−𝐵)𝑋 100
mg TSS = 𝑣𝑜𝑙𝑖𝑚𝑒 𝑢𝑗𝑖 𝑐𝑜𝑏𝑎 (𝑚𝐿)

dimana: A = berat kertas saring + residu kering, (mg)

B = berat kertas saring, (mg)


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Pendidikan

Kimia Universitas Halu Oleo Kendari, pada bulan januari 2018.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas kimia 200 mL

dan 500 mL, elektroda grafit, deksikator, oven, pompa vakum, stopwach,

voltmeter, buret, spatula, statip, klem, jiregen air, pH meter, pipet volume 25 mL,

pipet ukur 10 mL, labu takar 100 mL,250 mL, 500 mL, dan 1000 mL, corong

pisah 250 mL, stirrer, plat aluminium (99,7 %) 5 × 10 cm, pipa air 20 cm, filler,

batang pengaduk, timbangan analitik, alat pengukur TDS, tabung reaksi,

spektrofotometer UV-Vis, botol timbang dan corong.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah, kertas saring, serbuk

Alkil Sulfunal Linear (C12H25OSO3Na) 0,2500 gram, indikator Phenoftalin 0,5 %,

alkohol 95 %, aquades, larutan NaOH 0,02 N, larutan NaOH 1N, larutan H2SO4

1N, larutan H2SO4 6N, metilen blue, Natrium Fosfat Monohidrat (NaH2PO4.H2O),

kloroform, H2O2 30 % dan limbah cair laundry.


3.3 Desain Penelitian

Tahapan penelitian akan dijelaskan pada gambar berikut untuk

memperjelas alur penelitian yang akan dilakukan:

Persiapan alat dan bahan

Pengambilan sampel limbah cair laundry

Merangkai alat elekktrolisis Preparasi limbah air laundry

Variasi tegangan dan waktu


elektrolisis

Variasi beda potensial elektrolisis Variasi waktu elektrolisis


3, 6, 9 dan 12 Volt 75, 90, 105,120 dan 135 menit

Elektrolisis limbah
air laundry dengan
beda potensial dan
Parameter waktu elektrolisis
utama
Kekeruhan,
Massa Endapan,
pH, LAS dan Pengambilan Data
TSS pada
limbah air
laundry Analisis data
3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Preparasi limbah air Laundry

Pengambilan sampel limbah air laundry diambil pada rumah industri

laundry meidina di Kelurahan Kambu, Kota Kendari. Sampel sebanyak 6 liter

dibawah menggunakan wadah jergen plastik ke Laboratorium Jurusan Pendidikan

Kimia FKIP Universitas Halu Oleo, kemudian dilakukan penyaringan sampel

limbah laundry untuk memisahkan sampel dengan padatan atau kotoran lain yang

mungkin terikut dalam sampel yang akan digunakan.

3.4.2 Pembuatan Larutan NaOH 1N

Sebanyak 4,0 g NaOH dilarutkan dengan 50 mL aquades di dalam labu

ukur 100 mL, ditambahkan air suling sampai tanda tera dan dihomogenkan.

3.4.3 Pembuatan Larutan H2SO4 1N

Sebanyak 2,8 mL H2SO4 pekat, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur

100 mL yang berisi 50 mL aquades. ditambahkan aquades sampai tanda tera dan

dihomogenkan.

3.4.4 Pembuatan Larutan H2SO4 6N

Sebanyak 20 mL H2SO4 pekat, dimasukkan ke dalam gelas piala 200 mL

yang berisi 120 mL air suling dan dihomogenkan.


3.4.5 Pembuatan Indikator Penoftalin 0,5%

Sebanyak 0,5 g fenoftalin dilarutkan dengan 50 mL alkohol 95% di dalam

gelas piala 250 mL. ditambahkan 50 mL aquades dan beberapa tetes larutan

NaOH 0,02 N sampai warna merah muda.

3.4.6 Pembuatan Larutan Metilen Blue

Sebanyak 100 mg metilen blue dilarutkan dengan 100 mL aquades dan

dihomogenkan. diambil 30 mL larutan tersebut dan masukkan ke dalam labu ukur

1000 mL, ditambahkan 500 mL air suling, 41 mL H2SO4 6N dan 50 g natrium

fosfat monohidrat (NaH2PO4H2O), dikocok hingga larut sempurna kemudian

ditambahkan aquades hingga tanda tera dan dihomogenkan.

3.4.7 Pembuatan larutan pencuci

Sebanyak 41 mL H2SO4 6N dan dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 mL

yang berisi 500 mL aquades. Ditambahkan 50 g natrium dihidrogen fosfat

monohidrat (NaH2PO4H2O), dikocok hingga larut sempurna kemudian tambahkan

aquades hingga tepat tanda tera dan dihomogenkan

3.4.8 Pembuatan Larutan Induk Surfaktan Anionik 1000 mg/L

Sebanyak 0,2500 gram LAS 100% aktif atau natrium lauril sulfat

(C12H25OSONa) dilarutkan dalam labu ukur 250 mL kemudian ditambahkan

aquades hingga tanda tera dan dihomogenkan.


3.4.9 Pembuatan Larutan standar Surfaktan Anionik 100 mg/L

Sebanyak 10 mL larutan induk surfaktan anionik 1000 mg/L dipipet dan

masukkan ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian ditambahkan aquades hingga

tanda tera dan dihomogenkan.

3.4.10 Pembuatan larutan Baku Surfaktan Anionik 50 mg/L

Sebanyak 50 mL larutan induk surfaktan anionik 100 mg/L dipipet dan

masukkan ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian ditambahkan aquades hingga

tanda tera dan dihomogenkan.

3.4.11 Pembuatan Larutan Kerja Surfaktan Anionik

Larutan baku surfaktan anionik 50 mg/L dipipet dengan volume 2 mL, 4

mL, 6 mL dan 10 mL dan dimasukkan masing-masing ke dalam labu ukur 250

mL. Ditambahkan aquades sampai tanda tera sehingga diperoleh kadar surfaktan

anionik 0,4, 0,8, 1,2 dan 2,0 mg/L.

3.4.12 Larutan standar surfaktan 0,4 mg/L

Dipipet 2 mL larutan standar LAS 50 mg/L dan dimasukkan ke dalam labu

ukur 250 mL, kemudian ditambahkan aquades hingga tanda tera.

3.4.13 Larutan standar surfaktan 0,8 mg/L

Dipipet 4 mL larutan standar LAS 50 mg/L dan dimasukkan ke dalam labu

ukur 250 mL, kemudian ditambahkan aquades hingga tanda tera.


3.4.14 Larutan standar surfaktan 1,2 mg/L

Dipipet 6 mL larutan standar LAS 50 mg/L dan dimasukkan ke dalam labu

ukur 250 mL, kemudian ditambahkan aquades hingga tanda tera.

3.4.15 Lartuan standar surfaktan 2 mg/L

Dipipet 10 mL larutan standar LAS 50 mg/L dan dimasukkan ke dalam labu

ukur 250 mL, kemudian ditambahkan aquades hingga tanda tera.

3.5 Rangkaian Alat

Desain rangkaian alat elektrolisis yang akan digunakan dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Rangkaian peralatan elektrolisis

Keterangan :

1. Catu Daya

2. Voltmeter

3. Gelas elektolisis 15 × 15 cm

4. Plat Aluminium
5. Elektroda Grafit

Elektroda yang digunakan adalah plat aluminium (99,7 %) dengan ukuran

5 × 10 cm sebanyak satu buah yang dikaitkan dalam pipa air (Hudori, 2009).

3.6 Prosedur Analisa

3.6.1 Analisis pH sampel

Sebanyak 300 mL limbah cair loundry yang telah dielektrolisis kemudian

diukur pH menggunakan pH meter. Penentuan kadar pH dalam sampel limbah

laundry berdasarkan Peraturam Pemerintah Republik IndonesiaNo. 4 Tahun 2014

Tentang Baku Mutu Air Limbah yaitu pH 6,0 sampai 9,0 menggunakan pH meter.

3.6.2 Analisis Massa endapan

Sebanyak 300 mL limbah cair loundry yang telah di elektrolisis, kemudian

disaring menggunakan kertas saring dan dikeringkan pada suhu 103ºC sampai

dengan 105ºC. Ditimbang kertas saring yang telah dikeringkan menggunakan

timbangan analitik.

3.6.3 Analisis Kadar Total Suspended Solid (TSS) Limbah Loundry

Sebanyak 300 mL limbah cair loundry yang telah di elektrolisis ,

kemudian disaring menggunakan kertas saring. Residu yang tertahan pada

saringan dikeringkan sampai mencapai berat konstan pada suhu 103ºC sampai

dengan 105ºC. Dihitung perbedaan antara padatan terlarut total dan padatan total

(SNI 06-6989.3-2004).

(𝐴−𝐵)𝑋 100
mg TSS = 𝑣𝑜𝑙𝑖𝑚𝑒 𝑢𝑗𝑖 𝑐𝑜𝑏𝑎 (𝐿)
dimana: A = berat kertas saring + residu kering, (mg)

B = berat kertas saring kering, (mg)

3.6.4 Analisis kadar surfaktan

Sebanyak 100 mL larutan uji yang telah dipreparasi, kemudian dianalisis

kadar surfaktan menggunakan spektofometer UV-Vis. Penentuan kadar surfaktan

menggunakan metode MBAS dengan spektrofotometer secara melilen blue (SNI

06-6989.51-2005).

Kadar surfaktan anionik (mg/L) = C x fp

dengan pengertian:

C = nilai absorbansi yang diperoleh dari hasil pengukuran panjang

gelombang maksimum (mg/L);

Fp = Kosentrasi yang digunakan pada sampel (ppm)

3.7 Tahapan Pengaplikasian

3.7.1 Penentuan Awal Pada Parameter Penelitian

Sebanyak 300 mL limbah laundry yang telah dipreparasi dimasukkan ke

dalam gelas kimia, kemudian dianalisis kadar pH, Kekeruhan dan massa endapan.

Tabel 3. Penentuan Awal Parameter Penelitian


Parameter Penelitian
Sampel
LAS
Limbah pH Kekeruhan Massa Endapan
(Surfaktan)
Laundry
300 mL

3.7.1.1 Penetuan Tegangan Optimum


Sebanyak 300 mL limbah cair loundry yang telah diprepasrasi dimasukan

ke dalam gelas kimia telah dirangkai dengan elektroda yang telah dijepit dengan

penjepit buaya yang dihubungan dengan power supply untuk mengalirkan arus

listrik menggunakan kabel listrik (Nurajijah et al, 2014). Variasi beda potensial

yang digunakan dalam proses elektrolisis ini adalah 3 V, 6 V, 9 V dan 12 V

(Hamidi, et al., 2017).

Table 4. Desain Penentuan Beda Potensial Terhadap Parameter Penelitan


Parameter Penelitian
Variasi
No.
tegangan Ph Kekeruhan Massa Endapan TSS LAS
1. 3V
2. 6V
3. 9V
4. 12 V

3.7.1.2 Penentuan Waktu Optimum

Sebanyak 300 mL limbah cair laundry yang telah diprepasrasi dimasukan

ke dalam gelas kimia telah dirangkai dengan elektroda yang telah dijepit dengan

penjepit buaya yang dihubungan dengan power supply untuk mengalirkan arus

listrik menggunakan kabel listrik (Nurajijah et al, 2014). Variasi waktu yang

digunakan pada elektrolisis ini yaitu 75 menit, 90 menit, 105 menit, 120 menit dan

135 menit (Hamid et all, 2017).

Table 4. Desain Penentuan Waktu Optimum Terhadap Parameter Penelitian


Variasi Parameter Penelitian
No. Waktu
Optimum pH Kekeruhan Massa Endapan TSS LAS
1. 75 Menit
2. 90 Menit
3. 105 menit
4. 120 menit
5. 135 Menit

3.8 Pembuatan Kurva Kalibrasi

Penentuan kadar surfaktan dalam air limbah secara biru metilen dan diukur

menggunakan spektrofotometer dengan kisaran kadar 0,025 mg/L sampai 2,0

mg/L pada panjang gelombang maksimum 400-700 nm (SNI 06-6989.51-2005).

Langkah-langkah pembuatan kurva kalibrasi sebagai berikut;

1. Dipipet masing-masing 100 mL larutan standar surfaktan dengan berbagai

kosentrasi (0,4 mg/L, 0,8 mg/L, 1,2 mg/L dan 2,0 mg/L). Kemudian

masing-masing dimasukkan ke dalam corong pemisah 250 mL.

2. Ditambahkan masing-masing larutan metilen blue sebanyak 25 mL.

3. Ditambahkan masing-masing 10 mL kloroform, dikocok kuat-kuat selama

30 detik dan sekali-kali dibuka tutup corong untuk mengeluarkan gas.

4. Dibiarkan hingga terjadi pemisahan fasa, digoyangkan corong pemisah

perlahan-lahan, jika terbentuk emulsi ditambahkan sedikit isopropil alkohol

sampai emulsinya hilang.

5. Dipisahkan lapisan bawah (fasa kloroform) dan ditampung dalam corong

pemisah yang lain.

6. Diekstraksi kembali fasa air dalam corong pisah dengan mengulangi

langkah 3 sampai 5, sebanyak 2 kali dan disatukan semua fasa kloroform.


7. Ditambahkan 50 mL larutan pencuci ke dalam fasa kloroform gabungan dan

dikocok kuat-kuat selama 30 detik.

8. Dibiarkan terjadi pemisahan fasa, digoyangkan perlahan-lahan.

9. Dikeluarkan lapisan bawah (kloroform) melalui glass wool, dan ditampung

ke dalam labu ukur.

10. Ditambahkan 10 mL kloroform ke dalam fasa air hasil pengerjaan pada

langkah 9, dikocok kuat-kuat selama 30 detik.

11. Biarkan terjadi pemisahan fasa, goyangkan perlahan-lahan.

12. Dikeluarkan lapisan bawah (kloroform) melalui glass wool, dan ditampung

ke dalam labu pada langkah 9.

13. Diekstraksi kembali fasa air dalam corong pisah dengan mengulangi

langkah 10 sampai l2, dan disatukan semua fasa kloroform ke dalam labu

ukur pada langkah 9.

14. Dicuci glass wool dengan kloroform sebanyak 10 mL dan digabungkan

dengan fasa kloroform dalam labu ukur pada langkah 9.

15. Ditambahkan kloroform pada langkah 9 hingga tanda tera.

16. Diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum 400-

700 nm dan catat serapannya.

17. Dibuat kurva kalibrasi hubungan antara kosentrasi dengan absorben.

3.9 Prosedur Uji

Prosedur uji kadar surfaktan dalam air limbah secara biru metilen dan

diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang


maksimum 400-700 nm (SNI 06-6989.51-2005). Langkah- langkah prosedur uji

sebagai berikut;

1. Sebanyak 100 mL larutan uji dan dimasukkan ke dalam corong pemisah 250

mL.

2. Ditambahkan 3 tetes sampai dengan 5 tetes indikator fenoltalin dan larutan

NaOH 1N tetes demi tetes ke dalam larutan uji sampai timbul warna merah

muda. Dihilangkan dengan menambahkan H2SO4 1N tetes demi tetes.

3. Ditambahkan masing-masing larutan biru metilen sebanyak 25 mL.

4. Ditambahkan masing-masing 10 mL kloroform, dikocok kuat-kuat selama

30 detik dan sekali-kali dibuka tutup corong untuk mengeluarkan gas.

5. Dibiarkan hingga terjadi pemisahan fasa, digoyangkan corong pemisah

perlahan-lahan, jika terbentuk emulsi ditambahkan sedikit isopropil alkohol

sampai emulsinya hilang.

6. Dipisahkan lapisan bawah (fasa kloroform) dan ditampung dalam corong

pemisah yang lain.

7. Diekstraksi kembali fasa air dalam corong pisah dengan mengulangi

langkah c sampai e, sebanyak 2 kali dan disatukan semua fasa kloroform.

8. Ditambahkan 50 mL larutan pencuci ke dalam fasa kloroform gabungan dan

dikocok kuat-kuat selama 30 detik

9. Dibiarkan terjadi pemisahan fasa, digoyangkan perlahan-lahan.

10. Dikeluarkan lapisan bawah (kloroform) melalui glass wool, dan ditampung

ke dalam labu ukur.


11. Ditambahkan 10 mL kloroform ke dalam fasa air hasil pengerjaan pada

langkah 10, dikocok kuat-kuat selama 30 detik

12. Dibiarkan terjadi pemisahan fasa, goyangkan perlahan-lahan;

13. Keluarkan lapisan bawah (kloroform) melalui glass wool, dan ditampung ke

dalam labu pada langkah 10.

14. Diekstraksi kembali fasa air dalam corong pisah dengan mengulangi

langkah 10 sampai 12, dan disatukan semua fasa kloroform ke dalam labu

ukur pada langkah 10.

15. Dicuci glass wool dengan kloroform sebanyak 10 mL dan digabungkan

dengan fasa kloroform dalam labu ukur pada langkah 10.

16. Ditambahkan kloroform pada langkah 10, hingga tanda tera.

17. Diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum 400-

700 nm dan catat serapannya.

18. Dibuat kurva kalibrasi hubungan antara kosentrasi dengan absorben.


DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Dr. Rukaesih M.Si. (2004). Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Andi


Offsett. Hal 92, 93, 110-113.

Aygun, A., dan Yilmaz,T., 2010, Improvement of Coagulation-Flocculation


Process for Treatment of Detergent Wastewaters Using Coagulant Aids,
InternationalJournal of Chemical and Environmental Engineering, Volume
1, No.2, 97-101.

Bird. T. 1993. Kimia Fisik Untuk Universitas. PT Gramedia Pustaka Utama.


Jakarta.

Chang, Raymond. 2005. Kimia Dasar Konsep-Konsep Inti Edisi Ketiga Jilid 2.
Penerbit Erlengga. Jakarta.

Ciabatti,et al., 2010. Demonstration of a treatment system for purification and


reuse of Laundry wastewater,Desalination 245:451-459,USA.

Clauwaert, P., R. Toledo, D. van der Ha, R. Crab, W. Verstraete, H. Hu, K. M.


Udert and K. Rabaey. 2008. Combining Biocatalyzed Electrolysis with
Anaerobic Digestion. Journal Water Science and Technology.

Connell, Des W and Gregory J. Miller. 1995. Kimia dan (Eko)Toksikologi


Pencemaran. Jakarta: UI-PRESS. Hal 330-332, 336.

Dachriyanus. (2004). Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi,


Cetakan Pertama. Padang: Andalas Universitas Press. Hal 1-8.

Dogra. S. 1990. Kimia Fisik dan Soal – Soal. Universitas Indonesia. Jakarta.

Effendi, H. 2003, Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius Yogyakarta.

Fardiaz, S. (1992). Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius. Hal 19-28.

Gabriel, J.F. (2001). Fisika Lingkungan, Cetakan Pertama. Jakarta: Hipokrates.


Hal: 79-87.

Ge, J., Qu, J., Lei, P., dan Liu, H. (2004). New bipolar electrocoagulation–
electroflotation process for the treatment of laundry wastewater,
Separation and Purification Technology, 36, 33–39.

Hadi, Anwar. (2005). Prinsip Pengelolaan Sampel Lingkungan. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama. Hal 81.
Hamid, et all. 2017. Penggunaan Metode Elektrolisis Menggunakan Elektroda
Karbon dengan Variasi Tegangan Listrik dan Waktu Elektrolisis Dalam
Penurunan Konsentrasi TSS dan COD pada Pengolahan Air Limbah
Domestik. Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 1 (2017)

Hamid, Ruslan, Abdul., Purwono, dan Wiharyanto Oktiawan. 2017. Penggunaan


Metode Elektrolisis Menggunakan Elektroda Karbon dengan Variasi
Tegangan Listrik dan Waktu Elektrolisis Dalam Penurunan Konsentrasi
TSS dan Cod pada Pengolahan Air Limbah Domestik. Jurnal Teknik
Lingkungan, Vol. 6, No. 1 (2017).

Handoko, et al., 2014. Degradationof Laundrywastewater by Electrolysis Method


Using Carbon Electrode. Indonesian Journal of Chemical Research –
Indo.J.Chem.Res. Volume 2 No 1 Agustus 2014.

Hiskia. A.1992. Elektrokimia dan Kinetika Kimia. PT Citra Aditya Bakti,


Bandung.

Hudori. (2008). “Pengolahan Limbah Laundry dengan Menggunakan


Elektrokoagulasi”. Tugas Akhir, Institut Teknologi Bandung.

Kohler, Jonathan. (2006). Detergent Phosphates: an EU Policy Assessment.


Journal of Business Chemistry, Vol. 3, Issue 2.

Kristianto, P. (2002). Ekologi Industri. Yogyakarta: Andi Offset. Hal 71-76.

Mahida, U.N. (1981). Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri.


Jakarta: C.V. Rajawali. Hal 27-28.

Manik, K.E.S. (2004). Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Djambatan. Hal


113 dan 143.

Nouri. 2010. Application of Electrocoagulation Process in Removal of Copper


from Aqueous Solution by Aluminum Electrodes. International Journal of
Environment, vol 2, p.201-208.

Nugroho, Rifqi Paksi. 2015. Hubungan Waktu Tinggal (Detention Time) dan
Kualitas Fosfat pada Proses Pengolahan Limbah Cair Sistem Biofilter
Anaerob di RS Hermina dan Mogot Tahun 2004-2014 (Skripsi). Jakarta:
Universitas Esa Unggul.

Nurajijah et al. 2014. Pengaruh Variasi Tegangan pada Pengolahan Limbah Cair
Laundry Menggunakan Proses Elektrolisis.
Jurnal Materi dan Pembelajaran Fisika (JMPF). Volume 4 Nomor 1 2014
ISSN : 2089-6158.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Baku


Mutu Air Limbah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang
pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Prianto, Bayu. 2008. Katalisis Heterogen Dengan Mekanisme Langmur-


Heinshelwood Sebagai Model Reaksi Elektrolisis NaCl. [Berita
Dirgantara]. Vol. 9 No.3. (1).

Priyanto, B., 2006. Uji Toksisitas Dua Jenis Surfaktan dan Detergen Komersial
menggunakan Metode Pengahmbatan Pertumbuhan Lemma sp. Vol 3 Hal
251-257. Jakarta

Ricki, M. (2005). Kesehatan Lingkungkan, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Graha


Ilmu. Hal 46-71.

Riyanto. (2013). Penemuan Teknik Baru untuk Pengolahan Limbah Batik. Hlm. 9.
Universitas Islam Indonesia.

Rochili, F. 2006. Limbah Domestik, Pencemaran Air dan Eksploitasi Air Tanah.
Tekno Limbah, Vol.1 tahun 2006. Hal. 13-15. ISSN; 1412-5009. Pusat
Penembangan Teknologi Limbah Cair.Yogyakarta.

Rohman, Abdul M.Si., Apt. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Hal 240.

Sastrawijaya, A.Tresna M.Sc. (1991). Pencemar Lingkungan. Jakarta: Rineka


Cipta. Hal 103-105.

Sawyer, Clair N, et all. (1967). Chemsitry For Environmental Engineering and


Science, Fifth Edition. Singapore: Mc. Graw Hill. Hal 275.

Seo T. G., T.S. Lee, B.H. Moon, J.H. Lim. 2001. Ultrafiltration Combined With
Ozone For Domestic Laundry Wastewater Reclamation and Reuse. Water
Supply. (Online) Vol. 1 No. 5-6 pp 387-392.

Situmorang, Manihar. (2007). Kimia Lingkungan. Medan: Fakultas Matematika


dan Ilmu Pengetahuan Alam UNIMED. Hal 114-115.

Siu, T. dan Yudin, A.K.2002. Practical olefin aziridination with a broad substrate
scope. J Am. Chem. Soc. 24: 530–531.

Slamet, Juli Soemirat. (1994). Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Universitas


Gajah Mada. Hal 119.

SNI 06-6989.3-2004. Air dan Air Limbah-Bagian 3 : Cara Uji Padatan


Tersuspensi Total (Total Suspended Solid, TSS) Secara Gravimetri.

SNI 06-6989.51-2005. Air dan air limbah – Bagian 51 : Cara uji kadar surfaktan
anionik dengan spektrofotometer secara biru metilen.
Soemargono, Ismiati, E. dan Lazuardi. 2006. Pengolahan Limbah Rumah Tangga
dengan Proses Elektroflokulator Secara Batch. Jawa Timur : Jurusan
Teknik Kimia UPN Veteran.

Sopiah, R. Nida. 2008. Pengelolaan Limbah Deterjen sebagai Upaya


Minimalisasi Polutan di Badan Air dalam Rangka Pembangunan
Berkelanjutan. Serpong: Balai Teknologi Lingkungan.

Sostar-Turk, S., Petrini, I., Simoni, M. 2005. Laundry wastewater treatment using
coagulation and membrane filtration, Resources, Conservation and
Recycling, 44; 185-196.

Sugiharto. (1987). Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta: UI-PRESS. Hal


20.

Suriwiria, Prof. Drs. Unus. (2005). Air Dalam Kehidupan dan Lingkungan yang
Sehat. Bandung: PT ALUMNI. Hal 40.

Tarbizi, G.B., Mehvar, M. 2006. Pilot-plant study for the photochemical


treatment of aqueous linear alkylbenzene sulfonate, Separation and
Purification Technology, 49, 115-121.

Tjatur Rusmibto, Supaat Nurhayati. (2012). Proses Elektrolisa Pada Prototipe


“kompor air” dengan Pengaturan Arus dan Temperature. Jurnal dari
Politeknik Elektronika ITS.

Van Der Leeden, F., F. L. Troise, and D. K. Todd, editors. 1990. The water
encyclopedia. 2nd edition. Lewis Publishers, Chelsea, Mich. 808 pp.

Wardhana, Wisnu Arya. (1995). Dampak Pencemaran Lingkungan, Cetakan


Pertama. Yogyakarta: Andi Offsett. Hal 71-85.

Anda mungkin juga menyukai