Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

Infertilitas pada pria merupakan masalah dari sistem reproduksi. Infertilitas pada pria
merupakan salah satu bidang yang berkembang paling pesat di dunia kedokteran1. Fertilitas dapat
dipengaruhi oleh interaksi kompleks dari dua individu dan melibatkan sistem organ multipel.
Pengetahuan dari reporduksi normal pada manusia sangat kritis untuk dapat memahami
infertilitas2.

Sebanyak 15% dari pasangan tidak dapat memiliki keturunan setelah satu tahun
melakukan hubungan suami-istri tanpa menggunakan pengaman1. Faktor pria sendiri memiliki
peranan pada 20% angka infertilitas dan berkontribusi 30-40% pada faktor pria dan wanita.
Insidensi infertilitas pada pria semakin meningkat belakangan ini. Dalam kasus infertilitas pada
pria, 50% kasus merupakan hampir seluruhnya menunjukkan abnormalitas pada pemeriksaan
semen, namun pada beberapa kasus pemeriksan semen yang normal dapat ditemukan. Sebanyak
8% anak di beberapa negara barat dilahirkan setelah proses assisted reproductive techniques
(ART). Di Denmark 20% pria muda sehat memiliki konsentrasi sperma dibawah nilai referensi
dari World Health Organization3.

Infertilitas pada pria dapat disebabkan oleh bermacam-macam penyebab. Penyebab


infertilitas pada pria dapat diidentifikasi dan reversibel, namun sebaliknya pada kasus lain
penyebab infertilitas pria dapat diidentifikasi namun ireversibel. Pada keadaan etiologi dari
infertilitas pada pria yang tidak diketahui, etiologi ini disebut idiopatik. Pada mayoritas kasus
penyebab yang mendasari infertilitas pada pria adalah idiopatik3.

Infertilitas pada pria dapat berampak pada peningkatan risiko penyakit kanker testis dan
prostat. Pria infertil memiliki tingkat komorbiditas yang lebih tinggi daripada pria fertil4. Pria yang
tidak memiliki anak juga memiliki risiko lebih tinggi untuk mortalitas akiibat penyakit
kardiovaskular pada usia lanjut. Pria dengan gangguan pada parameter semen bahkan memiliki
risiko lebih tinggi pada mortalitas secara keseluruhan. Diagnosis dan terapi dari infertilitas pada
pria yang tepat dapat menurunkan angka infertilitas. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui
bahwa evaluasi mengenai infertilitas pada pria sangat penting5.
BAB II
Infertilitas pada Pria

Definisi Infertilitas

Infertilitas didefinisikan sebagai suatu kegagalan untuk mencapai kehamilan setelah satu
tahun melakukan hubungan seksual secara regular tanpa menggunakan alat kontrasepsi2, 6. Definisi
infertilitas secara klinis bahwa infertilitas merupakan suatu penyakit sistem reproduksi yang
ditetapkan dengan adanya kegagalan mencapai kehamilan klinis setelah 12 bulan atau lebih
melakukan hubungan seksual secara regular tanpa menggunakan alat kontrasepsi1, 2, 6, 7.Definisi
klinis ini didesain sedemikian rupa untuk dapat mendeteksi sejak dini dan melakukan
penatalaksanaan yang tepat pada kejadian infertilitas8.

Tipe Infertilitas Pria Secara garis besar infertilitas dapat dibagi dua yaitu :

1. Infertilitas primer: merupakan suatu keadaan dimana pria (suami) tidak pernah menghamili
wanita (istri) meskipun telah melakukan hubungan seksual secara teratur selama >12 bulan secara
teratur tanpa kontrasepsi.

2. Infertilitas sekunder: merupakan suatu keadaan dimana pria (suami) pernah menghamili
wanita (istri) tetapi kemudian tidak mampu menghamili lagi wanita (istri) meskipun telah
melakukan hubungan seksual secara teratur selama >12 bulan secara teratur tanpa kontrasepsi.
Terdapat tiga faktor yang menjadi indikator penting dalam memberikan informasi tentang fertilitas
suatu pasangan di masa yang datang yaitu adanya hubungan seksual secara teratur, lamanya
berusaha, tidak menggunakan kontrasepsi. Jika durasi infertilitas kurang dari 3 tahun, maka
pasangan tersebut memiliki kesempatan yang lebih baik untuk hamil di waktu yang datang. Tetapi
jika durasinya sudah cukup lama artinya lebih dari 3 tahun, maka kemungkinan terdapat masalah
biologis yang berat pada pasangan tersebut.

Faktor Penyebab Infertilitas Pria

Penyebab yang mendasari infertilitas pria dikelompokkan menjadi 3 faktor yaitu level pre
testikular, testikular, dan post testikular6 :
1. Faktor pre testikular

Faktor pre testikular yaitu kondisi-kondisi di luar testis dan mempengaruhi proses
spermatogenesis. Kelainan endokrin (hormonal), kurang lebih 2% dari infertilitas pria disebabkan
karena adanya kelainan endokrin antara lain berupa:

a) Kelainan hipotalamus:

 Defisiensi gonadotropin (Sindroma Kallmann)


Terjadi pada 1:30.000 kasus. Sindroma ini ditandai oleh adanya hipogonadisme
sentral, pubertas yang tertunda, dan infertilitas. Manifestasi klinis lainnya adalah anosmia,
ukuran testis yang kecil dan pada terkadang didapatkan agenesis renal, bimanual
synkinesia, bibir sumbing, dan agenesis dental. Saat tidak didapatkan anosmia, kondisi ini
dsebut dengan idiopathic hypogonadotrophic hypogonadism (IHH). Diagnosis klinis dari
sindroma Kallman dikonfirmasi oleh penilaian hormonal yang menunjukkan kadar
testosteron rendah, LH rendah, FSH rendah, dan Prolaktin yang normal. Infertilitas dapat
ditangani dengan pemberian gonadotropin (LH dan FSH) selama 12-18 bulan, yang dapat
menhasilkan sperma di ejakulat pada 80% pria pada kasus ini. Kondisi ini diturunkan
secara genetik sebagai kelainan familial pada sepertiga kasus, dan pola penurunan baik X-
linked maupun autosomal dapat ditemukan. Pada bentuk X-linked resesif, delesi dari gen
KAL1 mencegah migrasi dari GnRH neuron menuju area preoptik dari hipotalamus selama
pertumbuhan embriologis6.
 Defisiensi Gonadotropin Terisolasi
Defisiensi ini jarang terjadi. Sebagai akibat defisit LH parsial, LH masih cukup
untuk menstimulasi produksi testosteron intratestikular dan spermatogenesis damun tidak
cukup untuk memulai virilisasi. Hasilnya adalah munculnya manifestasi habitus tubuh
eunuchoid, virilisasi bervariasi, dan ginekomastia. Pria ini biasanya memiliki ukuran testis
normal, namun memiliki konsentrasi sperma yang rendah. FSH plasma normal namun LH
dan testosteron rendah hingga normal6.
Dengan insufisiensi FSH yang diproduksi oleh pituitari, pasien normalnya
mengalami virilisasi, memiliki ukuran testis normal, dan kadar LH – testosteron yang
normal. Kadar FSH yang rendah tidak respon dengan stimulasi dari GnRH. Rentang sperm
counts berkisar antara azoospermia hingga oligospermia berat
 Sindrom Hipogonadotropik kongenital.
Beberapa sindrom mungkin terkait dengan hipogonadisme sekunder. Sindroma
prader-Willi ditandai dengan obesitas, retardasi mental, ekstremitas yang kecil, dan
hipogonadime yang disebabkan oleh defisiensi GnRH hipotalamik. Penyebab dari kondisi
ini adalah delesi gen tunggal pada kromosom 15. Sama seperti sindroma Kallman,
spermatogenesis dapat diinduksi dengan pemberian FSH dan LH. Sindroma Bardet-Biedl
adalah bentuk autosomal resesif dari hypogonadotrophic hypogonadism yang juga
berakibat pada defisiensi GnRH. Sindroma tersebut ditandai oleh retardasi mental, retinitis
pigmentosa, polydactyly, dan hipogonadisme. Penampakan penderita sindroma ini serupa
dengan sindroma Kallman namun didapatkan juga obesitas dan juga dapat diterapi dengan
pemberian gonadotropin. Ataxia cerebellar dapat dikaitkan dengan hypogonadothropic
hypogonadisme. Keterlibatan cerebellar termasuk abnormalitas bicara dan gait, pasien ini
dapat juga didapatkan penampilan eunuchoid dengan atrofi tetis. Disfungsi hipotalamik-
pituitari akibat perubahan patologis pada white matter cerebral di tengarai sebagai
penyebab yang mendasari terjadinya infertilitas6.

b) Kelainan hipofisis:
 Insufisiensi hipofisis
Pada anemia sel sabit, mikroinfark pituitari dan testikular merupakan akibat dari
sel darah merah yang berpotensi menyebabkan baik hipogonadisme maupun kegagalan
spermatogenik. Pria dengan anemia sel sabit memiliki penurunan testosteron dan kadar LH
dan FSH yang bervariasi. Beta-thalassemia terjadi secara primer pada pasien yang berasal
dari Timur tengah atau Afrika, dan disebabkan oleh mutasi pada beta-globulin yang
mengakibatkan komposisi hemoglobin yang abnormal dan lisis sel merah subsekuen.
Infertilitas merupakan akibat dari deposisi hemosiderin pada kelenjar pituitari dan testis.
Serupa dengan hal tersebut, hemokromatosis berakibat pada deposisi zat besi di liver, testis,
dan pituitari yang dikaitkan dengan disfungsi testikular pada 80% kasus6
 Hiperprolaktinemia,
Peningkatan sirkulasi prolaktin dapat menyebabkan hypogonadothropic
hypogonadism. Jika didapatkan hiperprolaktinemia, penyebab sekunder seperti stress saat
pengambilan darahm penyakit sistemik, atau pengobatan harus disingkirkan. Dengan
menyingkirkan kelainan tersebut, penyebab yang paling sering dan penting terjadi adalah
adenoma pituitari yang mensekresi prolactin, atau prolaktinoma. MRI dari sella turcica
selama ini telah digunakan untuk membedakan antara mikroadenoma (<10mm) dan
makroadenoma (>10mm)6.
Stratifikasi dari penyakit yang didasari oleh diagnosis radiologis dapat
menyesatkan, mengingat pembedahan pada hiperprolaktinemia hampir selalu
menunjukkan tumor pituitari. Peningkatan prolaktin biasanya merupakan akubat dari
supresi produksi gonadotropin dengan lanjutan penurunan dari kadar testosteron dan
spermatogenesis6.
Gejala dari hiperprolaktinemia adalah hilangnya libido, disfungsi ereksi,
ginekomastia, dan galaktorea. Tanda dan gejala dari kelainan hormon pituitari lain (hormon
adrenocorticotropic (ACTH), thyroid-stimulating hormon (TSH) harus diselidiki.
 Hormon eksogen (kelebihan estrogen-androgen, kelebihan glukokortikoid, hipertirod dan
hipotiroid)
1. Estrogen
Kelebihan sex steroid, baik estrogen atau androgen, dapat menyebabkan infertilitas
aakibat ketidakseimbangan rasio testosteron estrogen yang normalnya 10:1. Sirosis hati
meningkatkan estrogen endogen akibat augmentasi aktivitas aromatase dalam liver.
Serupa dengan hal itu, obesitas dikaitkan dengan ketidak seimbangan testosteron dan
estrogen akibat meningkatnya aktivitas aromatase perifer pada adiposit. Meskipun
jarang terjadi, tumor adrenokortikal, tumor sel sertoli, dan tumor testis interstitial dapat
memproduksi estrogen. Ekses dari estrogen menyebabkan kegagalan spermatogenic
dengan mengurangi sekresi gonadotropin pituitari, hal tersebut mengyebabkan
kegagalan testis sekunder6.
2. Androgen
Ekses dari androgen dapat mensupresi sekresi gonadotropin pituitari dan menyebabkan
kegagalan testus sekunder. Penggunaan steroid androgenik eksogen (anabolik steroid)
oleh 15% atlet SMA, 30% dari atlet universitas, dan 70% oleh atlet profesional dapat
menyebabkan sterilitas temporer akibat supresi dari HPG axis normal. Penatalaksanaan
yang diberikan adalah segera memberhentikan penggunaan steroid dan melakukan
reevalusi kualitas semen setiap 3-6 bulan hingga spermatogenesis kembali.Alasan yang
paling sering dari terjadinya ekses androgen endogen adalah hiperplasia adrenal
congenital yang disebabkan oleh defisiensi 21-hidroksilase. Akumulasi ketiadaan dari
sintesis kortisol dan produksi hormon ACTH yang eksesif menyebabkan peningkatan
steroid androgenik oleh korteks adrenal. Tingkat androgen yang tinggi pada anak laki-
laki prepubertas menyebabkan pubertas prekoks, dengan perkembangan prematur dari
tanda-tanda seks sekunder dan pembesaran abnormal dari phallus. Testis biasanya kecil
karena inhiisi gonadotropin sentral oleh androgen. Pada wanita muda, virilisasi terjadi
dengan pembesaran klitoris. Pada kasus hiperplasia adrenal kongenital klasik yang
terjadi pada masa anak-anak, didapatkan perhitungan sperma dan status fertilitas yang
normal, bahkan tanpa terapi glukokortikoid. Kelainan ini adalah satu diantara sedikit
kondisi interseks yang terkait dengan fertilitas yang berpotensi normal. Sumber lain
dari androgen endogen adalah tumor adrenokortikal yang aktif secara hormonal atau
tumor sel Leydig dari testis6.
 Hiper- dan hipotiroidisme
Abnormalitas tiroid jarang menjadi penyebab dari infertilitas pada pria (0,5%). Tingkat
serum tiroid hormon yang meningkat atau rendah secara abnormal berdampak pada
spermatogenesis di tingkat pituitari maupun testis. Eutiroidisme penting untuk sekresi
hormon hipotalamik normal dan untuk tingkat sex hormone-binding protein normal yang
mempengaruhi rasio testosteron-estrogen.

2. Faktor testikular

Infertilitas pada testikular dapat dipengaruhi oleh banyak kondisi. Tidak seperti faktor
pretestikular yang dapat diterapi dengan manipulasi hormonal, kelainan faktor testikular
kebanyakan bersifat ireversibel.

1) Kelainan Genetik yang Sering


a. Mikrodelesi kromosom Y

Salah satu penyebab genetik molekuler yang dapat diidentifikasi dari infertilitas pria adalah delesi
sub-mikroskopis dari kromosom Y9. Sekitar 7% dari pria dengan hitung analisis sperma rendah
dan 13% pria dengan azoospermia memiliki gangguan struktural pada pemanjangan lengan dari
kromosom Y (Yq). Gen testis-determining region yang mengendalikan diferesiasi testis intak,
namun dapat terjadi gross delesi pada region lain yang dapat menyebabkan defek spermatogenesis.
Saat ini tiga lokasi gen yang dicuriga sebagai AZF (azoospermia factor) yaitu : AZFa, b, dan c.
Lokasi yang paling menjanjikan adalah AZFc yang berisi region gen DAZ. Gen DAZ yang
mengkode ribonucleic acid (RNA)-binding protein yang meregulasi jalur meiosis selama produksi
sel germinal berjumlah paling sedikit 6 salinan pada region ini. Delesi pada daerah AZF dapat
berakibat pada kegagalan spermatogenik dan menyebabkan infertilitas. Mikrodelesi pada daerah
AZF terjadi pada 4% pria dengan oligozoospermia; 14% pada pria dengan oligozoospermia berat;
dan 18% pada pria azoospermia nonobstruktif9. Tes didalam analisis semen yang digunakan untuk
mengetahui delesi tersebut di atas adalah polymerase chain reaction-based assay secara kuantitatif.
DNA sperma juga dapat diperiksa pada analisis semen. Pria pada kelainan mikrodelesi ini masih
dapat berejakulasi, sehingga pada pria dengan kelainan ini dapat dibantu menggunakan ART
(Assisted Reproductive Technique)6.

b. Sindroma Klinefelter

Sindroma Klinefelter merupakan aneuploidi kromosomal yang paling sering terjadi dan
kelainan genetik yang paling sering menyebabkan azoospermia (14% kasus pada beberapa seri
(insidensi keseluruhan 1:500 pria)). Trias klasik dari sindroma ini adalah testis yang kecil dan
keras; ginekomastia; dan azoospermia. Beberapa pria dapat menunjukkan maturasi seksual yang
terlambat, peningkatan tinggi badan, penurunan intelegensia, varises, obesitas, diabetes, leukemia,
peningkatan kecenderungan dari tumor sel germinal extragonadal, dan kanker payudara (20 kali
lipat lebih tinggi dibanding pria normal). Diantara pria dengan sindroma Klinefelter, 90% memiliki
kromosom ekstra X (47,XXY) dan 10% mosaik, dengan kombinasi dari kromosom XXY/XY.
Testis biasanya memiliki panjang <2cm dan selalu <3,5 cm; biopsi menunjukkan sklerosis dan
hyalinisasi dari tubulus seminiferus dengan jumlah sel Leydig normal. Dari segi hormonal
biasanya terjadi penurunan testosteron dan peningkatan LH maupun FSH. Kadar serum estradiol
dapat juga meningkat. Seiring berjalannya waktu kadar testosteron menurun dan kebanyakan pria
dengan sindroma ini akan membutuhkan terapi penggantian androgen baik untuk virilisasi maupun
untuk fungsi seksual yang normal6.
2) Varikokel

Varikokel didefinisikan sebagai dilatasi dan inkompetensi vena dalam plexus


papminiformis dari spermatic cord6. Varikokel merupakan penyebab yang paling sering ditemukan
pada infertilitas pria dengan prevalensi 19-41% pria dengan infertilitas primer dan 45-81% pada
pria dengan infertilitas sekunder10. Varikokel adalah penyakit yang berkembang pada saat
pubertas. Pada penyakit ini fungsi endokrin maupun eksokrin pada testis meningkat secara
dramatis. Peningkatan juga didapatkan pada aliran darah testikular. Varikokel jarang ditemukan
pada anak laki-laki usia kurang dari sepuluh tahun. Varikokel di sisi kiri ditemukan pada 15%
kasus pria sehat. Sebaliknya, insidensi varikokel sisi kiri yang didapatkan pada pria dewasa
subfertil mencapai 40%. Varikokel bilateral jarang ditemukan pada pria sehat (<10%) namun dapat
ditemukan pada hampir 20% pria subfertil. Secara keseluruhan, varikokel tidak dapat regresi
secara spontan. Pemeriksaan fisik yang akurat masih menjadi alat diagnostik yang penting untuk
penegakkan diagnosis varikokel6.

Beberapa kelainan anatomi dapat menyebabkan predominasi dari varikokel sisi kiri. Vena
spermatika interna kiri lebih panjang daripada sebelah kanan dan bergabung dengan vena renalis
pada sudut yang baik. Pada vena spermatika kanan, vena tersebut bergabung dengan vena cava
inferior dengan sudut insersi oblik. Karakteristik tersebut menyebabkan tekanan yang lebih tinggi
pada vena spermatic cord kiri dan berakibat pada refluks darah retrograde6.

Varikokel dikaitkan dengan atrofi testis, koreksi varikokel dapat mengembalikan atrofi
pada pasien dewasa muda. Terdapat bukti yang kuat yang menyebutkan varikokel dapat
mempengaruhi kualitas semen. Varikokel dapat menyebabkan abnormalitas pada konsentrasi,
morfologi, dan terutama motilitas yang merupakan penurunan yang paling menonjol. Temuan dari
abnormalitas semen merupakan indikasi yang biasa digunakan untuk melakukan pembedahan
varikokel pada pria yang infertil6.

Mekanisme mengenai efek varikokel terhadap testis masih belum jelas. Beberapa teori
telah dipostulasikan dan masih tidak dapat menyimpulkan bagaimana efeknya terhadap infertilitas.
Varikokel diduga mempengaruhi disfungsi hormon pituitari-gonadal, refluks vena spermatika
interna dari metabolit renal atau adrenal, dan peningkatan tekanan hidrostatik yang dikaitkan
dengan refluks vena. Teori yang paling menarik adalah bagaimana varikokel mempengaruhi fungsi
testis menyebabkan inhibisi dari spermatogenesis melalui refluks dari darah corporeal yang
hangat. Hal tersebut mengakibatkan terganggunya keseimbangan pertukaran panas normal dan
peningkatan temperatur intratestikuler. Pengumpulan vena pada varikokel menghasilkan suhu
intraskrotal yang tinggi sehingga mengakibatkan penurunan sintesis testosteron oleh sel Leydig,
cedera membran sel germinal, perubahan metabolisme protein, dan menurunkan fungsi sel
Sertoli6.

3) Gonadotoksin

a. Radiasi

Efek dari radioterapi pada produksi sperma telah diketahui dengan baik. Efek dari ionizing
irradiation terhadap kualitas semen dan spermatogenesis diantara populasi dari narapidana yang
sehat pada tahun 60-an. Sebelum vasektomi, tiap sukarelawan terpapar oleh macam-macam tingkat
radiasi dan dosis, hubungan terbalik antara iradiasi dan hitung sperma yang berbeda. Hitung
sperma secara signifikan menurun pada 15cGy, dan azoospermia terjadi secara temporer pada
dosis 50 cGy11. Azoospermia persisten terjadi pada paparan 400 cGy tanpa bukti dari adanya
pemulihan selama minimal 40 minggu. Pada kebanyakan subjek, hitung sperma kembali kepada
keadaan sebelum paparan dengan hilangnya paparan dari iradiasi6.

Pemeriksaan histologis dari jaringan testis setelah irradiasi menunjukkan spermatogonia


merupakan bagian yang paling sensitif terhadap irradiasi, sementara massa sel Leydig relatif tidak
terpengaruh oleh radiasi. Jika melihat sensitivitas sel germinal terhadap radiasi, beberapa
penelitian telah dikembangkan kepada paparan radiasi terhadap testis pada saat radioterapi untuk
kanker. Saat radiasi abdominal dengan pelindung gonadal, perkiraan rata-rata paparan gonadal
yang tidak diinginkan adalah 75 cGy. Jumlah ini tidak meningkatkan angka defek kongenital saat
lahir pada keturunan maupun pada orang yang terkena radiasi. Penelitian baru telah dilakukan dan
menunjukkan bahwa paparan dari lingkungan radiasi elektromagnetik dapat menurunkan kualitas
semen6.

b. Obat-obatan

Daftar dari obat obatan terdapat pada tabel. Mekanisme obat-obatan tersebut dalam
menyebabkan infertilitas dapat melalui bermacam mekanisme. Ketoconazole, spironolakton, dan
alkohol menghambat sintesis testosteron, sedangkan cimetidine merupakan antagonis androgen.
Obat-obatan rekreasional seperti marijuana, heroin, dan metadon juga dikaitkan sebagai penyebab
kadar testosteron yang rendah. Beberapa pestisida seperti dibromochloropropane ditengarai
memiliki aktivitas menyerupai estrogen. Yang harus diperhatikan, potensi gonadotropik dari
banyak obat tidak diketahui dengan jelas. Maka setiap pasangan yang ingin mendapatkan
kehamilan harus mempertimbangkan untuk menghentikan pengobatan atau suplemen yang tidak
diperlukan6.

Kemoterapi yang dibutuhkan karena efek sitotoksik obat kemoterapi terhadap sel kanker
yang membelah dengan cepat juga diketahui berdampak pada sel germinal yang pada normalnya
membelah dengan kecepatan tinggi. Spermatogonia adalah sel germinal yang paling sensitif
terhadap kemoterapi sitotoksik. Agen Alkilasi seperti cyclophosphamide, chlorambucil, dan
nitrogen mustard adalah agen yang paling toksik11. Efek kemoterapeutik obat obatan ini
bermacam-macam tergantung dosis dan durasi dari pengobatan, tipe dan stadium dari penyakit,
usia, status kesehatan dari pasien, dan fungsi testis basal. Walapupun dengan sifat toksisitas ini,
efek mutagenik dari agen kemoterapi tidak dapat meningkatkan peluang terjadinya kelainan
kongenital atau genetik pada keturunan maupun orang yang di terapi. Pasien harus menunggu
paling cepat 6 bulan setelah kemoterapi berakhir sebelum mencoba untuk hamil6.

4) Testis Injury

a) Orchitis
Inflamasi dari jaringan testis paling sering disebabkan infeksi bakterial, disebut dengan
epididymo-orchitis. Infeksi virus juga dapat terjadi pada testis dalam bentuk mumps
orchitis. Orchitis didapatkan pada kira-kira 30% pria post pubertas dengan mumps
parotitis. Atrofi testis adalah akibat yang sering terjadi pada orchitis viral namun lebih
jarang dibandingkan dengan infeksi bakterial6.
b) Torsio
Jejas iskemik pada testis sekunder akibat terpelintirnya tstis pada pedikel spermatic cord
sering terjadi pada laki laki prepubertas dan postpubertas dini. Saat didiagnosa dan
dikoreksi secara pembedahan selama 6 jam setelah kejadian, testis biasanya dapat
diselamatkan. Torsion merupakan akibat dari inokulasi dari sistem imun dengan antigen
testis yang dapat menjadi predisposisi terjadinya infertilitas imunologis. Hal tersebut
dikenal dengan pasangan kontralateral “normal” dari testis yang terpelintir yang dapat juga
menunjukkan abnormalitas secara histologis6
c) Trauma
Trauma dari testis dapat menyebabkan infertilitas. Status imunologis yang unik pada testis
dapat menyebabkan respons imunitas abnormal dalam bentuk atrofi akibat suatu jejas.
Trauma dari testis yang berakibat pada fraktur tunika albuginea testis harus dieksplorasi
secara surgikal dan diperbaiki dengan paparan seminimal mungkin pada jaringan testis6.

5) Penyakit sistemik

a. Gagal ginjal

Uremia dikaitkan dengan infertilitas, penurunan libido, disfungsi ereksi, dan ginekomastia.
Penyebab dari hipogonadisme masih kontroversial dan multifaktorial. Kadar testosteron menurun,
sedangkan LH dan FSH meningkat. Kadar serum prolaktin meningkat pada 25% pasien.
Hiperestrogenemia mungkit memiliki peranan dalam perubahan axis hormon dan kelumpuhan
spermatogenesis. Pengobatan dan neuropati uremik dapat menyebabkan impotensi uremic-related
dan penurunan libido. Transplantasi renal merupakan terapi yang dapat memperbaiki
hipogonadisme pada kasus ini6.

b. Sirosis Hati

Hipogonadisme yang berhubungan dengan gagal hati mungkin berkontribusi pada


beberapa faktor. Penyebab dari kegagalan organ adalah penting. Hepatitis yang disebabkan
viremia dan terkait demam dapat mempengaruhi spermatogenesis. Konsumsi alkohol yang
berlebihan menghambat sintesis testosteron testikular, tanpa berhubungan dengan kelainan pada
liver itu sendiri. Gagal hati dan sirosis terkait dengan atrofi testis, impotensi, dan
ginekomastia.Kadar testosteron dan klirens metabolik testosteron mengalami penurunan; kadar
estrogen meningkat karena adanya peningkatan konversi androgen menjadi estrogen oleh
aromatase. Penurunan kadar testosteron tidak diikuti oleh peningkatan proporsional dari LH dan
FSH yang menujukkan hambatan sentral dari HPG axis yang mengikuti kegagalan hati6.

c. Diabetes Mellitus
Diabetes yang lama diderita dapat berakibat pada kelainan kardiovaskular yang signifikan
dan neuropati perifer. Dampak dari kelainan tersebut adalah fungsi ereksi dan ejakulasi yang
menurun. Neuropati melibatkan jalur parasimpatis dan simpatis yang diatur plexus pelvikus dapat
mengakibatkan kontraktilitas yang buruk dari leher buli dan organ ejakulatorius, hal ini
menyebabkan terjadinya ejakulasi retrograde atau anejakulasi6.

Sel-sel testis memiliki mekanisme untuk mengenali kontrol hormonal dan mekanisme
spesifik untuk merespon keadaan hiperglikemia maupun hipoglikemia. Metabolisme glukosa yang
ada diatur sel Sertoli memegang peranan penting dalam mengatur substrat glikosis dan
nonglikosis. Pada Diabetes Mellitus keadaan metabolisme karbohidrat yang terganggu akan
menyebabkan terganggunya produksi laktat yang dihasilkan oleh sel Sertoli sehingga akan
mempengaruhi spermatogenesis12.

d. Obesitas

Obesitas dapat menyebabkan gangguan pada parameter semen. Terutama pada konsentrasi
sperma, jumlah sperma totall, jumlah sperma motil total, jumlah sperma motil progresif total,
morfologi sperma, dan fragmentasi DNA13.

Pada pria dengan Indeks Massa Tubuh yang meningkat konsentrasi plasma dari sex
hormone binding globulin (SHBG) dan testosteron mengalami penurunan. Sebaliknya pada
konsentrasi plasma dari estrogen, kadarnya justru meningkat. Mekanisme tersebut mempengaruhi
umpan balik negatif dari hipothalamic pituitary gonadal (HPG) axis. Keadaan inii dapat
menyebabkan gangguan dari fungsi sel Sertoli sehingga dapat menyebabkan berkurangnya jumlah
sperma dan infertiilitas13.

6) Tumor

7) Kriptorkismus.

Undesensus testis merupakan masalah urologi yang umum dijumpai pada 0,8% anak laki
laki usia 1 tahun. Kelainan ini merupakan defek pada masa pertumbuhan dan posisi yang dapat
meningkatkan risiko berkembang menjadi kanker sel germinal. Penurunan jumlah sel germinal
sering terlihat pada umur 2 tahun pada kelainan ini, walaupun secara morfologis normal. Testis
kontralateral yang turun secara normal juga mengalami peningkatan risiko mengalami kelainan sel
germinal, maka baik pria dengan kelainan undesensus testis unilateral maupun bilateral keduanya
lebih berisiko untuk mengalami kelainan sel germinal pada hidupnya. Orkidopeksi dahulu
dilakukan hanya untuk tujuan mempermudah palpasi testis yang dapat mempermudah deteksi
terjadinya kanker. Data paling akhir menunjukkan bahwa jika dilakukan sebelum masa pubertas,
orkidopeksi dapat mengurangi risiko perkembangan kanker. Data lai menunjukkan orkidopeksi
dini dapat memperbaiki spermatogenesis pada anak laki-laki kriptorkid6.

8) Idiopatik

Penyebab idiopatik diketahui merupakan penyebab pada hampir separuh dari kasus
infertilitas pada pria. Etiologi pada infertilitas pada pria sangat mungkin merupakan multifaktorial
yan melibatkan faktor kelainan genetik, endokrin, dan lingkungan. Perubahan karakteristik gaya
hidup yang dapat diubah memberikan kontribusi signifikan terhadap perbaikan penyakit ini. Efek
dari aktivitas fisik, dan penggunaan telepon seluler terkait infertilitas pada pria telah diteliti, namun
hasil yang ada masih belum jelas akibat limitasi dari desain studi pada penelitian6.

3. Faktor post testikular

Merupakan kelainan pada jalur reproduksi termasuk epididimis, vas deferens, dan duktus
ejakulatorius6.

1) Obstruksi traktus ejakulatorius: disebabkan karena adanya blokade kongenital, ketiadaan


vas deferens kongenital (CAVD), obstruksi epididimis idiopatik, penyakit ginjal polikistik,
blokade yang didapat (vasektomi, infeksi), blokade fungsional (perlukaan saraf simpatis, efek
farmakologis)

2) Gangguan fungsi sperma atau motilitas: sindrom immotil silia, defek maturasi, infertilitas
imunologik, infeksi).

3) Gangguan koitus: impotensi, hipospadia, waktu dan frekuensi koitus.


Diagnosis Infertilitas Pria

Anamnesis

Evaluasi diawali dengan anamnesis menyeluruh dari riwayat reproduksi, medis dan
pembedahan. Komponen penting dari riwayat ini termasuk (1) durasi dari infertilitas, waktu dan
frekuensi dari coitus, dan kesehatan seksual; (2) pengobatan fertilitas sebelumnya; (3) penyakit
dan riwayat tumbuh kembang saat anak-anak; (4) Penyakit medis seperti infeksi dan terapi yang
pernah diberikan; (5) pembedahan atau trauma sebelumnya; (6) paparan dari gonadal toxin yang
potensial seperti, panas, radiasi, bahan kimia, atau pestisida2.

Riwayat seksual sangat penting karena banyak pasangan tidak tahu kapan waktu yang tepat
hubungan seksual dilakukan agar terjadi kehamilan. Setelah hubungan seksual, sperma berahan
didalam mukus dari cervix dan kripta selama 1-2 hari dan mungkin bertahan lebih lama; maka
daripada hal tersebut, hubungan seksual yang tepat dilakukan setiap 2 hari. Lubrikan dengan water-
based seperti K-Y jelly, kebanyakan pelembap kulit, dan air liur(saliva) dapat mengurangi
motilitas sperma in vitro dan harus dihindari. Jika dibutuhkan, lubrikan yang dapat digunakan
adalah sayuran, safflower, dan minyak kacang maupun putih telur2.

Riwayat medis secara umum dan pembedahan juga penting. Demam atau infeksi akut dapat
mengurangi fungsi testis dan kualitas semen. Spematogenesis pada umumnya membutuhkan
waktu paling sedikit 60 hari, dampak dari suatu paparan mungkin tidak dapat dilihat pada semen
hingga 2 bulan setelah kejadian2.

Prosedur pembedahan pada kandung kemih, retroperitoneum, atau pelvis dapat


menyebakan infertilitas dengan menyebabkan disfungsi ejakulatori akibat kerusakan pada bladder
neck, nervus simpatis, atau plexus nervus pelvikus. Pembedahan hernia dapat berakibat obstuksi
dari vas deferens pada 1% kasus; insidensi ini dapat meningkat karena meningkatnya penggunaan
mesh patch yang bersifat inflamatorik akhir-akhir ini2.

Penyakit saat masa anak-anak dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap
infertilitas. Severe unilateral orchiti terjadi pada kira-kira sepertiga dari infeksi mumps
postpubertal dan bilateral orchitis terjadi pada 10% kasus. Mumps orchitis ditengarai
menyebabkan nekrosis akibat tekanan dari jaringan testis akibat edema hebat yang selanjutnya
mengakibatkan atrofi testis2.
Kriptorkidismus dikaitkan dengan penurunan produksi sperma. Hal ini benar pada kasus
baik unilateral maupun bilateral. Studi longitudinal dari anak laki-laki yang terkena
kriptorkidismus menunjukkan rendahnya sperm counts yang abnormal dapat ditemukan pada 30%
laki-laki dengan kriptorkidismus unilateral dan 50% laki-laki dengan bilateral undescended testis.
Kriptorkidismus tampaknya meningkatkan risiko dari infertilitas, meski sulit untuk dipelajari dari
sisi epidemiologi. Hal ini juga berlaku pada risiko kanker testis, orchidopexy dini dapat
mengurangi risiko kegagalan spematogenik2.

Riwayat paparan dan pengobatan sangat relevan dengan fertilitas. Penurunan sperm counts
telah ditemukan pada pekerja yang terpapar oleh pestisida yang dapat mengaggu kesemimbangan
testosteron/estrogen normal. Paparan dari radiasi terionisasi dapat menyebabkan reduksi temporer
pada produksi sperma pada paparan 10cGy dan lebih permanen atau terreduksi berat dengan dosis
yang lebih tinggi. Beberapa obat-obatan dan makanan seperti tembakau, kokain, dan marijuana
telah diimplikasikan sebagai gonadotoksin. Efek dari agen ini mungkin dapat reversibel jika
penggunaan bahan-bahan tersebut dihentikan. Steroid anabolik yang sering dikonsumsi untuk
meningkatkan massaa otot, beraksi sebagai kontrasepsi dengan menginhibisi pituitari-gonadal
axis. Paparan rutin dari panas yang lembap akibat penggunaan bak mandi panas atau sauna harus
dikurangi karena aktivitas ini dapat meningkatkan temperatur intratestikular dan melumpuhkan
produksi sperma. Karakteristik lain yang terkait dengan kegagalan fertilitas adalah obesitas,
paparan radiasi elektromagnetik (misal paparan signifikan dari Saluran Tenaga Tegangan Tinggi,
telepon seluler dalam keadaan menyala), status pekerjaan (pegawai laundry, tukang cat, petani),
dan stres psikologis lain2.

Riwayat keluarga dan tumbuh kembang dapat memberikan petunjuk etiologi penyebab
infertilitas. Riwayat keluarga dengan kistik fibrosis, kondisi yang dikaitkan dengan congenital
absence of the vas deferens (CAVD), atau kondisi intersex juga penting untuk digali. Adanya
saudara dengan masalah fertilitas dapat mengarahkan mikrodelesi kromosom Y atau abnormalitas
sitogenetik (karyotipe)2.

Riwayat onset pubertas yang tertunda dapat mengarahkan kepada sindroma Kallman atau
Klinefelter. Riwayat infeksi traktus respiratori rekuren dapat mengarahkan kepada defek siliari
sebagai karakteristik dari sindroma silia imotil2.
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan status generalis

Status fertilitas dapat digambarkan oleh status kesehatan secara umum, pemeriksaan fisik
harus dilakukan secara menyeluruh dengan perhatian utama pada pemeriksaan genitalia. Habitus
tubuh dapat memberikan petunjuk adanya defisiensi androgen yang dicirikan dengan
berkurangnya rambut pada tubuh, tidak adanya pola kebotakan di sisi temporal, ginekomastia, dan
proporsi tubuh eunuchoid2

Kelainan di daerah tersebut dapat menunjukkan kemungkinan endokrinopati termasuk


kadar testosteron yang rendah, hiperprolaktinemia, abnormalitas dari rasio estrogen – testosteron,
disfungsi adrenal, dan sindroma genetik yang berhubungan dengan subvirilisasi seperti Sindroma
Klinefelter. Tingkat androgen yang rendah pada saat pubertas dapat menyebabkan pemanjangan
ekstremitas yang tidak proporsional karena penundaan tertutupnya lapisan epifiseal. Palpasi dari
kelenjar tiroid akan dapat menunjukkan adanya hiperfungsi atau hipofungsi yang mempengaruhi
fertilitas. Hepatomegali pada pemeriksaan fisik meningkatkan kecurigaan terhadap disfungsi hepar
yang dapat menginduksi gangguan metabolisme sex steroid2.

Pemeriksaan Genitalia

Pemeriksaan genitalia dimulai dengan pemeriksaan yang teliti pada phallus. Curvatura
penis, chordee, atau hipospadia dapat menyebabkan gangguan pada deposisi semen di dalam
rongga vagina. Pemeriksaan yang seksama pada isi dari skrotum adalah bagian yang paling kritikal
dari pemeriksaan genitalia2.

Testis harus diperiksa baik saat pasien dalam posisi supine maupun berdiri dalam ruangan
yang hangat untuk membantu relaksasi dari otot kremaster. Seluruh permukaan testis harus
dipalpasi secara seksama untuk menilai konsistensi dan menyingkirkan kemungkinan adanya
massa, karena infertilitas selama ini diketahui sebagai faktor risiko dari karsinoma testis1, 2,

14
.Ukuran testis dapat diukur dengan menggunakan orkidometer, kaliper, atau pengukuran secara
sonografi. Ukuran testis yang normal adalah 4-3 cm atau 20 ml. Produksi sperma mengisi 85%
Volume testis, penurunan ukuran testis menunjukkan penurunan potensi spermatogenic2.
Palpasi epididimis dilakukan untuk mengetahui pembesaran atau indurasi dari epididimis
yang dapat menunjukkan obstruksi atau inflamasi seperti epididimitis. Perubahan granulomatus
dari epididimitis dihubungkan dengan tuberkulosis, terapi bacle Calmette-Guerin (BCG), dan
sarcoidosis. Lesi kistik berukuran kecil lumrah terjadi dan biasanya merupakan spermatokel yang
bersifat non-obstruktif. Kistadenoma Papiler jarang didapatkan dan dapat muncul bersama
penyakit von Hippel-Lindau (VHL)2.

Pemeriksaan spermatic cord saat posisi supine dan berdiri dapat mengarahkan pada deteksi
varikokel yang didefinisikan sebagai dilatasi abnormal dari vena skrotalis. Varikokel dapat
terdeteksi melalui palpasi yang asimetris dari spermatic cord, atau sebagai impuls pada saat
manuver valsava. Tarikan lembut pada testis selama pemeriksaan ini dapat membantu dalam
keadaan pasien yang sulit seperti pasien dengan high riding testis atau respons berlebihan otot
kremaster terhadap Valsava.

Varikokel dikategorikan sesuai ukuran dengan klasifikasi grade I, dapat dideteksi hanya
pada saat valsava manuver; grade II bila dapat dipalpasi tanpa valsava manuver; grade III bila
dapat dilihat dengan mata dan biasanya disebut dengan “kantong cacing”1.

Varikokel berukuran besar unilateral pada sisi kanan dan varikokel yang gagal untuk
terdekompresi pada keadaan supine menunjukkan kemungkinan kelainan di retroperitoneal atau
vena cava seperti neoplasma renal dan dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan imaging1, 2.

Palpasi dari vas deferens juga merupakan komponen penting pada pemeriksaan spermatic
cord. Ketiadaan vas deferens pada palpasi bauk unilateral maupun bilateral menunjukkan adanya
agenesis dari vasa dan dapat merupakan kelainan genetik atau disertai kelainan renal. Nodul pada
vas juga dapat diperhatikan untuk menilai infeksi yang terjadi sebelumnya akibat riwayat infeksi
tuberkulosis. Penebalan pada vasa dihubungkan dengan riwayat pembedahan sebelumnya atau
obstruksi dari bawah seperti obstruksi vasa inguinal, kemungkinan besar akibat pembedahan
sebelumnya atau obstruksi duktus ejakulatorius2.

Pemeriksaan rektal harus dilakukan untuk mengevaluasi anatomi prostat untuk kista pada
midline seperti kista duktus mullerian yang dapat menyebabkan obstruksi duktus ejakulatorius.
Indurasi prostat atau rasa nyeri dapat ditemukan pada prostatitis akut atau kronis. Pada kondisi
normal, vesikula seminalis dapat tidak teraba namun sebaliknya dapat juga menonjol akibat
obstruksi duktus ejakulatorius.

Pemeriksaan Penunjang

Setelah mendapatkan anamnesis lanjut dan pemeriksaan fisik yang komprehensif, ada
beberapa modalitas yang dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi infertilitas pada pria, mulai
dari analisis semen dasar hingga biopsi testis dan juga pencitraan.

Analisis Semen

Hal – hal yang perlu diperiksa atau diamati dalam analisa semen adalah faktor keadaan
makroskopis meliputi warna, volume, bau, pH, viskositas dan likuefaksi. Sedangkan faktor
mikroskopis meliputi jumlah spermatozoa per ml, motilitas spermatozoa dan morfologi
spermatozoa.

Pemeriksaan Laboratorium Infertilitas pada Pria


Analisis Semen
Analisis semen merupakan prediktor paling penting dalam menentukan potensi fertilitas
seorang pria. Pemeriksaan laboratorium yang tepat dari semen merupakan kunci dalam menangani
keluhan pria yang datang dengan infertilitas. Pemeriksaan analisis semen sendiri tidak dapat
mengkategorikan secara pasti pasien yang fertil dan steril pada kasus azoospermia. Sangat penting
untuk mengetahui bahwa walaupunkemungkinan terjadinya konsepsi menurun sesuai dengan
penurunan kualitas semen seseorang, namun kemungkinannya tidak mungkin nol. Pemeriksaan
semen dasar murah dan dapat menentukan kualitas dan kuantitas dari spermatozoa. Pemeriksaan
yang lebih lanjut dapaat dilakukan untuk pasen yang mengalami infertilitas idiopatik untuk tujuan
menentukan penyebab yang spesifik. Analisis dari semen mengevaluasi bermacam parameter,
yaitu karakteristik spermatozoa, seminal plasma, dan sel non-sperma2.

Cara dan Waktu Pengambilan


Seluruh dokter harus dapat memberikan pelayanan sesuai panduan untuk pengambilan
semen, karena pengambilan sperma yang tidak optimal merupakan penyebab paling sering dari
terjadinya kesalahan pada analisis semen2. Berikut merupakan tata cara dalam waktu dan cara
pengambilan semen :
 Sebelum pengambilan pasien harus tidak berhubungan sex selama 3-5 hari15.
 Dua sampel berbeda yang berjarak 7 hari merupakan sampel yang dapat dianalisis.
 Durasi dari abstinens harus konstan, jika memungkinkan, karena setiap penambahan hari
dapat meningkatkan konsentrasi sperma sebanyak 25%.
 Lubrikan harus dihindari karena dapat mengganggu hasil motilitas.
 Coitus interuptus tidak boleh dilakukan karena dapat menyebabakan hasil yang inakurat
(misal bagian pertama dari ejakulat yang mengandung banyak sperma dapat hilang).
Masturbasi di klinik infertilitas sangat dianjurkan.
 Pengambilan dilakukan di ruang privat dengan fasilitas yang sama dengan tempat analisis
semen dilakukan.
 Glans dan penis harus dibersihkan dengan handuk basah (sabun harus dihindari)
 Pemberian lubrikan tidak boleh dilakukan, namun jika dibutuhkan dapat diberikan pada
glans.
 Pengambilan sperma harus menggunakan wadah yang bersih dan steril.
 Wadah harus disediakan oleh laboratorium pemeriksa untuk menghindari kontaminasi atau
efek spermisidal.
 Sampel harus disimpan dalam inkubator yang bergetar lembut dengan suhu 37˚C untuk
menciptakan liquefaksi dan pencampuran;
 Sampel harus diperiksa selama 1 jam dari produksi dan penerimaan di laboratorium.
Keuntungan utama dari cara pengambilan tersebut adalah kesederhanaan, murah, dan non
invasif. Beberapa pria akan kesulitan mengalami ereksi dan ejakulasi yang adekuat. Bantuan
berupa pemberian obat-obatan oral seperti inhibitor phosphodiesterase tipe 5 dapat diberikan 30-
60 menit sebelum pengambilan. Injeksi cavernosal dan subkutan dari prostaglandin merupakan
pilihan yang jarang ditawarkan namun dapat diberikan sebagai alternatif bagi pasien dengan
disfungsi ereksi. Alat vakum ereksi juga dapat digunakan untuk menciptakan ereksi dengan
membuat tekanan negatif melingkari penis yang menimbulkan perbedaan tekanan sehingga
mengakibatkan pengisian corpora oleh darah. Stimulasi vibratorik dapat digunakan pada pasien
yang menderita cedera saraf spinal jika lesi yang terjadi lebih tinggi dari level T8. Induksi elektro
stimulasi rectal probe dapat menstimulasi serat eferen dari plexus hipogastrikus yang dapat
menyebabkan ejakulasi. Perhatian khusus harus diberikan pada kasus autonomic dysreflexia
kaerna pada pasien dengan lesi saraf spinal setinggi T6 ke atas dapat menyebabkan hipertensi yang
mengancam nyawa.
Beberapa parameter penilaian dapat dipengaruhi oleh penundaan dari pemeriksaan.
Motilitas dapat berkurang secara signifikan setelah 2 jam akibat adanya peningkatan aktivitas
radikal bebas. Karakteristik analisis semen dapat diklasifikasikan menjadi dua grup, yaitu
makroskopik dan mikroskopik.

Pemeriksaan Makroskopis Semen


Pemeriksaan Makroskopis semen meliputi:
a. Warna
Warna normal adalah putih / agak keruh. Kadang – kadang ditemukan juga warna
kekuning-kuningan atau merah. Warna kekuning-kuningan mungkin disebabkan karena radang
saluran kencing, ikterus atau abstinensi terlalu lama. Warna merah/pink biasanya oleh karena
tercemar sel eritrosit (hemospermi)2
b. Volume
Cairan semen yang ditampung diukur dengan gelas ukur, dan dikatakan normospermi bila
volumenya normal yaitu dengan batas bawah 1,5 ml. Aspermi bila tidak keluar sperma pada waktu
ejakulasi7.
Secara kasar volume semen terdiri dari sekret kelenjar bulbouretral (3%), sekret kelenjar
prostat (20%), spermatozoa dengan cairan dari epididimis (7%), dan sisanya yang merupakan
bagian terbesar dari vesica seminalis (70%). Mengenai cara pengeluarannya, pada waktu terjadi
ejakulasi mula-mula sekret kelenjar prostat, baru spermatozoa dengan cairan dari epididimis dan
ampula, lalu yang terakhir cairan seminalis.
Volume semen sangat bervariasi antara tiap – tiap pria, bahkan pada seorang pria pada
setiap ejakulasi. Faktor – faktor yang mempengaruhi sangat banyak, antara lain lamanya
abstinensia, keadaan emosi ataupun rangsangan pada waktu terjadinya ejakulasi.
c. Bau
Spermatozoa mempunyai bau khas. Bau ini mungkin disebabkan oleh proses oksidasi dari
spermia yang diproduksi oleh prostat. Semen dapat berbau busuk atau amis bila terjadi infeksi.
d. pH
Cara untuk mengetahui keasaman semen digunakan kertas pH atau lakmus, biasanya sifatnya
sedikit alkalis. Semen yang terlalu lama akan berubah pH nya.
Pada infeksi akut kelenjar prostat, pHnya berubah menjadi di atas 8, atau menjadi 7,2 misalnya
pada infeksi kronis organ-organ tadi. WHO memakai kriteria normal yang lazim yaitu 7,2 – 7,87.
Sekresi dari vesikula seminalis adalah alkali, sehingga pH yang asam menunjukkan tidak adanya
vas congenital yang diasosiasikan dengan hipoplasia vesika seminalis yang terlihat pada pasien
azoospermi.
e. Viskositas
Spesimen biasanya mengalami likuifaksi dalam 30 menit2. Viskositas semen diukur setelah
mengalami likuifaksi sempurna. Viskositas dan nonlikuefaksi adalah dua hal berbeda yang sering
membingungkan. Viskositas berkaitan dengan fluida alami dari sampel. Viskositas dapat diukur
dengan meneteskan sampel semen ke suatu wadah menggunakan pipet dan diamati panjang dari
juluran benang yang terbentuk. Peningkatan viskositas seingkali diasosiasikan denan infertilitas
karena penurunan gerakan sperma. Sampel dengan viskositas tinggi dapat diobati dengan enzim
seperti tripsin sebelum diproses dengan tujuan terapeutik.
Pengukuran dapat dilakukan dengan 2 cara:
a. Dengan pipet pasteur : semen diisap ke dalam pipet tersebut, pada waktu pipet diangkat maka akan
tertinggal semen berbentuk benang pada ujung pipet. Panjang benang diukur, normal panjangnya
3 – 5 cm.
b. Menggunakan pipet yang sudah distandardisasi (Elliason). Pipet dalam posisi tegak, lalu diukur
waktu yang diperlukan setetes semen untuk lepas dari ujung pipet tadi, angka yang normal adalah
1 – 2 detik.
c. Likuefaksi. Likuefaksi dibantu oleh enzim proteolitik fibrinolisin yang disekresi prostat
d. Semen normal pada suhu ruangan akan mengalami likuefaksi dalam 60 menit, walau pada
umumnya sudah terjadi dalam 15 menit. Pada beberapa kasus, likuefaksi lengkap tidak terjadi
dalam 60 menit. Hal ini bisa terjadi bila mengandung granula seperti jelly (badan gelatin yang
tidak mencair), tetapi tidak memiliki makna secara klinis. Bila hal ini ditemukan akan sangat
mengganggu dalam analisis semen, sehingga perlu dibantu dengan pencampuran enzimatis7
Pemeriksaan Mikroskopis Semen
Pemeriksaan Mikroskopis semen meliputi:
a. Aglutinasi Sperma
Pemeriksaan mikroskopik dimulai dari pembuatan hapusan basah dengan meletakkan
semen pada slide yang ditutup oleh cover slip dan diamati dibawah pembesaran 1000x. Aglutinasi
sperma, adanya sperma dan motilitas subjektif dapat dinilai dengan menggunakan metode ini,
Adhesi sperma dengan elemen non sperma (aglutinasi nonspesifik) dapat merukan akibat dari
antibodi antisperma; namun harus diingat bahwa aglutinasi dalam derajat kecil adalah normal. Saat
aglutinasi ditemukan, kultur semen dan pemeriksaan antibodi harus dilakukan.
b. Jumlah spermatozoa per ml
Perlu diketahui yang dimaksud dengan konsentrasi sperma adalah jumlah spermatozoa per
ml semen. Jumlah spermatozoa total ialah jumlah seluruh spermatozoa dalam ejakulat. Nilai batas
bawah konsentrasi sperma adalah 15 x 106 spermatozoa per ml. sedangkan untuk nilai batas bawah
jumlah spermatozoa total adalah 39 x 106 spermatozoa per ejakulat7
c. Motilitas
Motilitas spermatozoa dikelompokkan menjadi:
1. Motilitas Progresif (PR): spermatozoa bergerak aktif, baik secara linier maupun dalam lingkaran
besar, tanpa memperhatikan kecepatan.
2. Motilitas Non-Progresif (NP) : semua pola motilitas lainnya tanpa progresifitas, seperti berenang
dalam lingkaran kecil, kekuatan flagel tak mampu menggerakkan kepala spermatozoa, atau hanya
detak flagel yang dapat diamati.
3. Imotilitas (IM): tidak ada gerakan
Nilai batas bawah untuk motilitas total (PR + NP) adalah 40%. Sedangkan nilai batas bawah untuk
motilitas progresif (PR) adalah 32%7.
d. Morfologi spermatozoa
Morfologi spermatozoa yang normal ditentukan oleh bentuk kepala, leher, tanpa adanya
sitoplasmik “droplets” dan bentuk ekor. Semen yang normal mengandung setidaknya 4%
spermatozoa normal7.
e. Viabilitas
Standar nilai viabilitas normal dalah ≥ 58%. Bila sperma yang motil ditemukan kurang dari
58% sperma yang viabel, maka kemungkinan motilitas sperma akan menurun karena terdapat
sperma yang mati (nekrospermia). Perlu dilakukan pemeriksaan viabilitas pada analisa sperma
ini7.

f. Sel non sperma


Sel germinal yang immatur, sel epitel dan leukosit. Leukosit merupakan elemen sel non
sperma yang sangat signifikan dan sering dijumpai pada pasien dengan infertilitas. Level leukosit
diatas 1 x 106 WBC/mL maka disebut dengan leukositospermia. Nilai normalnya adalah ≤
1juta/mL2.

Parameter Pemeriksaan Nilai Batas Bawah

Volume semen (ml) 1,5 (1,4 – 1,7)

Total jumlah sperma (106 per ejakulat) 39 (33 – 46)

Konsentrasi sperma (106 per ml) 15 (12 – 16)

Total motilitas (PR + NP, %) 40 (38 – 42)

Motilitas progresif (PR, %) 32 (31 – 34)

Morfologi sperma (bentuk normal, %) 4 (3 – 4)

Ph ≥ 7,2

Tabel 1. Nilai batas bawah dari karakteristik semen7

Nomenklatur untuk beberapa variabel semen


Karena kadang – kadang sulit untuk menguraikan semua penyimpangan variabel semen
normal dengan kata dan angka, maka telah disusun suatu nomenklatur untuk menjelaskan
perubahan yang dibicarakan. Perlu diingat bahwa nomenklatur ini hanya menguraikan beberapa
variabel semen dan tidak menyatakan suatu hubungan sebab – akibat. Dengan catatan tersebut,
maka nomenklatur ini dapat digunakan sebagai berikut 7
Nomenklatur Penjelasan

Aspermia Tidak ada semen (tidak ada atau ejakulasi retrograde )

Asthenozoospermia Persentase motil progresif (PR) spermatozoa di bawah


nilai batas bawah

Asthenoteratozoospermia Persentase dari kedua motil progresif (PR) dan


spermatozoa dengan morfologi normal di bawah nilai
batas bawah

Azoospermia Tidak ada spermatozoa saat ejakulasi

Cryptozoospermia Spermatozoa tidak terlihat dalam sediaan segar, tapi


terdapat dalam sediaan pelet disentrifugasi

Haemospermia Adanya eritrosit ejakulasi


(haematospermia)

Leukospermia Adanya leukosit dalam ejakulasi di atas nilai ambang batas


(leukocytospermia,

pyospermia)

Necrozoospermia Rendahnya persentase hidup spermatozoa dan persentase


yang tinggi dari immotil spermatozoa saat ejakulasi

Normozoospermia Jumlah (atau konsentrasi, tergantung pada hasil yang


dilaporkan) spermatozoa, dan persentase progresif motil
(PR) dan spermatozoa dengan morfologi normal , sama
dengan atau di atas nilai batas bawah

Oligoasthenozoospermia Jumlah (atau konsentrasi, tergantung pada hasil yang


dilaporkan) spermatozoa, dan persentase progresif motil
(PR) spermatozoa, di bawah nilai batas bawah
Oligoasthenoteratozoospermia Jumlah (atau konsentrasi, tergantung pada hasil yang
dilaporkan) spermatozoa, dan persentase dari kedua
semakin motil (PR) dan spermatozoa dengan morfologi
normal, di bawah nilai batas bawah

Oligoteratozoospermia Jumlah (atau konsentrasi, tergantung pada hasil yang


dilaporkan) spermatozoa, dan persentase spermatozoa
dengan morfologi normal, di bawah nilai batas bawah

Oligozoospermia Jumlah (atau konsentrasi, tergantung pada hasil yang


dilaporkan) spermatozoa di bawah nilai batas bawah

Teratozoospermia Persentase spermatozoa dengan morfologi normal di


bawah nilai batas bawah

Tabel 2.7 Nomenklatur karakteristik semen7.

Computer-Assisted Sperm Analysis

Computer-Assisted Sperm Analysis merupakan teknik semiatomatik yang memberikan


data densitas sperma, motilitas, kelurusan, dan velositas kurvilinear, dan hiperaktivasi.
Pemeriksaaan ini memiliki dua keuntungan dibandingkan dengan analisis manual tradisional, yaitu
pemeriksaan kinematika sperma yang memiliki presisi tinggi dan kuantitatif. Peran yang paling
penting dari CASA adalah memberikan bantuan terstandarisasi dalam mengendalikan kualitas dan
penjaminan mutu pada laboratorium andrologi, seiring meningkatnya penggunaan ICSSI telah
menghilangkan peran dari pemilihan pemeriksaan motilitas sperma2.

Limitasi dari Analisis Semen

Penelitian klinis menunjukkan analisis semen normal tidak dapat menunjukkan defek pada
fungsi sperma (infertilitas idiopatik), dan pria dengan parameter semen yang buruk masih dapat
mengakibatkan kehamilan spontan. Hanya 50% dari pria infertil memiliki penyebab yang
diketahui melalui analisis semen dasar. Adanya beberapa kriteria yang terus berubah
memunculkan opini bahwa standar pada saat ini tidak menggambarkan status fertilitas secara pasti
pada suatu subjek. Suatu variabel tidak dapat berdiri sendiri sebagai penentu maupun prediktor
dari status fertilitas, dan harus dipertimbangkan dalam konteks parameter dan keadaan klinis. Studi
lebih lanjut masih dilakukan pada populasi yang lebih besar dengan demografi berbeda sebelum
tercapainya konsensus dalam mengubah nilai yangberlaku saat ini untuk meningkatkan nilai
prediktif dan kemampuan dari analisis semen2.

Penilaian Fungsi Sperma

Tes Interaksi Sperma-Mucus Postcoital

Mukus servikal adalah cairan heterogen yang 90% terdiri dari air. Untuk dapat mencapai
tempat untuk fertilisasi, spermatozoon harus dapat melewati serviks dan mukus servikal.
Peningkatan penetrabilitas seringkali didapatkan satu hari sebelum renjatan LH. Mukus servikal
dapat melindungi spermatozoa dari lingkungan yang tidak baik di dalam vagina. Penetrabilitas dari
spermatozoa melalui mukus servikalis dapat dideteksi pada post coital test (PCT). Pemeriksaan ini
dapat menilai keadaan lingkungan servikal yang dapat menyebabkan infertilitas. Waktu
pemeriksaan yang akurat sangat krusial untuk diperhatikan. Mukus servikal dapat sangat tipis dan
jernih tepat saat sebelum ovulasi. Pada tes ini, mukus servikal diperiksa 2-8 jam setelah
berhubungan. Motilitas sperma progresif diatas 10 sampai 20 per lapang pandang merupakan nilai
yang dianggap normal2.

PCT pada keadaan semen yang hiperviskus, infertilitaas yang tidak dapat dijelaskan, atau
volume semen rendah dengan hitung sperma yang rendah. Riwayat medis dan analisis semen dapat
memprediksi hasil PCT pada setengah pasangan infertil. Kualitas semen yang buruk hampir pasti
menghasilkan PCT yang buruk, maka pemeriksaan ini tidak disarankan utuk dilakukan rutin pada
pria dengan analisis semen yang abnormal. Pasangan yang menunjukkan defek interaksi mukus
dengan sperma dapat disarankan untuk melakukan IUI karena pemeriksaan tambahan tidak
berpengaruh terhadap penatalaksanaan2.

Abnormalitas PCT dapat diakibatkan oleh waktu pemeriksaan yang tidak tepat. Peyebab
lain dari PCT abnormal adalah abnormalitas anatomi, antibodi antisperma pada mukus semen atau
servikal, hubungan seksual yang tidak tepat, dan semen abnormal. Abnormalitas persisten pada
PCT pada parameter semen yang baik mengindikasikan kualitas mukus servikal yang buruk.
Temuan dari mukus berkualitas baik dengan spermatozoa non motil atau sperma yang imobil
dapat mengarahkan evaluasi terhadap status seksual dari pasangan untuk mengetahui adanya
antibodi antisperma2.

Reaksi Akrosom

Akrosom merupakan organel terikat dengan membran yang menutupi 2/3 anterior dari
kepala sperma. Reaksi akrosom adalah syarat yang penting untuk kesuksesan fertilisasi. Reaksi ini
adalah kejadian eksositotik yang melibatkan fusi dari membran akrosomal luar dengan membran
plasma sperma yang menyebabkan masuknya kandungan akrosomal ke dalam vesikel. Dua enzim
akrosomal yang penting untuk mencerna sel kumulus oosit dan zona pellucida adalah akrosin dan
hyaluronidase. Tes akrosom jarang dilakukan, namun tes ini dianjurkan pada kasus dengan
abnormalita dari morfologi kepala sperma atau pada latar fertilitas yang tidak dapat dijelaskan
pada pasien dengan rasio kelahiran IVF yang rendah. Sampel semen normal menunjukkan rasio
reaksi akrosom spontan kurang dari 5% dan rasio reaksi akrosom terinduksi 15%-40%. Populasi
infertil menunjukkan rasio reaksi akrosom spontan yang tinggi dan rasio rendah pada reaksi
akrosom terinduksi2.

Pemeriksaan Penetrasi Sperma

Tes Zona Binding

Tes Penetrasi Sperma menunjukkan kapasitas fungsional yang dibutuhkan spermatozoa


untuk memfertilisasi oosit. Tes ini berdasarkan pada prinsip bahwa spermatozoa normal dapat
berikatan dan melakukan penetrasi ke membran oosit yang menjadi syarat untuk fusi sperma
dengan oosit. Zona Pellusida merupakan lapisan paling luar yang melindungi sitoplasma dari oosit.
Lapisan ini memiliki peran penting dalam proses fertilisasi dan diketahui sebagai satu-satunya
inducer fisiologis dari reaksi akrosom. Sperma berikatan dengan reseptor species-spesifik, ZP3,
yang ditemukan pada zona pellucida dari oosit. Pemeriksaan penetrasi sperma dilakukan dengan
memeriksa droplet sperma yang diteteskan kepada oosit bebas zona dari hamster secara
mikroskopis. Penetrasi ditunjukkan dengan adanya pembengkakan kepala sperma didalam
sitoplasma oosit. Normalnya 10-30% ova dapat dipenetrasi. Pria dengan oligosperpia dan
teratospermia berat memiliki jumlah defek interaksi sperma-zona pellucida yang lebih tinggi. Hal
tersebut yang menyebabkan rendahnya potensi fertilitas baik pada kehamilan spontan maupun
IVF. Tes ini memiliki nilai prediktif yang rendah, namun berkorelasi positif dengan keberhasilan
kehamilan spontan. Indeks Kapasitasi Sperma adalah varian dari tes yang menilai rata-rata jumlah
penetrasi per ovum. ICSI direkomendasikan kepada pasangan dengan Indeks Kapasitasi Sperma
kurang dari 5 dibandingkan dengan prosedur standar IVF2.

Pemeriksaan Semen Lanjut

Tes Antibodi Antisperma

Sertoli-cell junction yang rapat memberikan pembatas yang berfungsi mencegah sistem
imun kontak dengan sel germinal post-meiotik. Pada beberapa kondisi seperti torsio testis,
vasektomi, dan trauma testis pembatas tersebut dapat rusak yang berakibat timbulnya respon imun
terhadap sperma berupa antibodi antisperma. Antibodi antisperma ini dapat berupa beberapa tipe-
sperm agglutinating, sperm immobilizing, atau spermotoxic. Tipe sperm agglutinating dapat
menyebabkan aglutinasi spermatozoa yang mengurangi jumlah spermatozoa motil dalam
melakukan penetrasi mukus dari cervix. Antibodi Sperm immobilizing menyebabkan hilangnya
motilitas sperma yang dapat diidentifikasi dengan pola karakteristik motilitas “shaking” pada tes
postkoital. Tipe spermotoxic dari Antibodi Antisperma menyebabkan hilangnya viabilitas
spermatozoa yang bersifat komplemen-dependen. Diperkirakan 10% dari pria infertil datang
dengan adanya Antibodi Antisperma berbanding 2% pada pria fertil. Parameter sperma seringkali
normal pada pria dengan Antibodi Antisperma. Aglutinasi sperma yang berlebihan atau tes post
koital abnormal dapat mengarahkan kepada adanya Antibodi Antisperma. Tes Antibodi
Antisperma direk mendeteksi immunoglobulin yang berikatan dengan sperma. Tes Antibodi
Antisperma indirek mendeteksi aktivitas biologis yang mengelilingi Antibodi Antisperma. Nilai
positif palsu dapat diakibatkan faktor nonimunologis. Kebanyakan pemeriksa lebih suka
melakukan pemeriksaan direk dalam menentukan antibodi yang berikatan dengan sperma
dibanding dengan indirek, hal ini karena antibodi yang signifikan secara klinis adalah antibodi
yang ada pada permukaan sperma. IgG-MAR (mixed antiglobulin reaction) dan Sperm MAR
merupakan tes skrining yang direkomendasikan karena ekonomis dan ketersediaannya.
Immunobead Test (IBT) yang mengukur IgG, IgA, dan IgM dapat dilakukan sebagai tambahan
saat tes didapatkan hasil tes positif pada pemeriksaan pendahuluan untuk menentukan apakah IgA
terikat dengan permukaan sperma. Nilai normal yang sesuai standar WHO (1992) adalah kurang
dari 10% (IgG MAR) atau 20% (IBT) spermatozoa dengan partikel adheren. Implikasi klinis dari
Antibodi Antisperma pada pria infertil dapat bervariasi. Kadar IgG MAR/IBT positif rendah pada
pria dengan sperma motil rendah menyingkirkan kemungkinan faktor imunologis dan pemeriksaan
lebih lanjut tidak diperlukan. Antibodi Antisperma muncul pada 34% hingga 74% pria yang
dilakukan vasektomi dan bertahan sebanyak 38-60% setelah pengembalian vasektomi2.
Pemeriksaan Antibodi Antisperma rutin tidak direkomendasikan karena tidak memiliki
signifikansi yang jelas dan biasanya tidak mempengaruhi keputusan untuk melakukan
pengembalian vasektomi. Pada infeksi genitourinarius, antibodi antisperma diketahui timbul
akibat proses inflamasi bukan akibat reaksi silang dengan mikroorganisme yang menginfeksi.
Keputusan untuk pemilihan metode IUI atau ICSI pada infertilitas imunologis dapat dibantu
dengan pemeriksaan zona pellucida (ZP). Jika sperma menunjukkan ketidakmampuan untuk
mengikat ZP, maka ICSI adalah prosedur yang dapat dipilih2.

Miksroskop Elektron

Spermatozoa dapat menunjukkan hasil pemeriksaan viabilitas yang positif bahkan pada
keadaan defek ultrastruktural. Detil ultrastruktural dari sperma hanya dapat dilihat dibawah
mikroskop elektron (EM). Pasien yang memiliki motilitas sperma rendah (<5-10%) dengan
viabilitas dan densitas tinggi (seperti yang diperlihatkan oleh HOST atau Eosin-Nigrosin staining)
dapat menjadi kandidat yang pantas untuk pemeriksaan dengan mikroskop elektron. Pria subfertil
dapat menunjukkan sulkus yang bergaris dengan lingkaran yang buram, membran akrosom yang
kurang intak, proporsi kepala sperma yang besar, dan droplet yang lebih melekat pada membran
akrosom. Defek mitokondrial dan mikrotubular tidak dapat dilihat dibawah hapusan Papanicolaou
biasa2.

Tes Biokimia

Akrosin merupakan enzim menyerupai serine protease yang menunjukkan aktivitas


mengikat karbohidrat menyerupai lectin pada glikoprotein zona pellucida. Aktivitas akrosin yang
rendah dikaitkan dengan densitas sperma rendah, motilitas dan morfologi yang normal rendah.
Zinc dibutuhkan untuk stabilitas kromatin dan dekondensasi, begitu juga dengan pelepasan kepala-
ekor pada saat fertilisasi. Kadarnya diukur menggunakan metode colorimetric dengan nilai acuan
13 mmol per ejakulasi. Kadar zinc pada seminal plasma berkurang, namun kadar zinc
spermatozoal meningkat pada pria asthenozoospermik dan oligoasthenozoospermik. Rasio zinc-
kalsium yang rendah menunjukkan motilitas yang lebih baik dibandingkan dengan rasio tinggi.
Diet suplementasi zink tidak dapat memperbaiki variabel pemeriksaan semen. Vesikula seminalis
berkontribusi pada penggumpalan cairan seminal yang berfungsi sebagai media transport bagi
sperma dan berkontribusi sebagai nutrisi dalam bentuk fruktosa. Terdapat korelasi positif antara
motilitas sperma dan kadar fruktosa seminal. Ketiadaan fruktosa atau kadarnya yang rendah dapat
dilihat pada obstruksi duktal dan kondisi kongenital seperti CBAVD. Tes fruktosa semen dapat
diminta pada keadaan vesika seminalis yang hipo-fungsional, namun analisis morfometri dari
vesikula seminalis dengan pemeriksaan transrectal ultrasound (TRUS) saat ini merupakan
rekomendasi yang utama. L-carnitin disekresi oleh epididimis dan menumpuk di plasma seminalis
10 kali lipat dibanding dengan kadar pada serum. L-carnitine berperan pada maturasi sperma.
Kadar L-carnitine yang rendah ditemukan pada pria oligoasthenozoospermi. Kadar dari carnitine
dapat menjadi indikator dari tingkat obstruksi pada sistem duktal. Konsentrasi L-carnitine yang
secara ekstrem rendah dapat ditemukan pada pria azoospermia dengan obstruksi postepididimal
dimana kadar normal ditemukan pada pria azoospermia dengan obstruksi intratestikular.
Pemberian suplemen L-carnitine tidak dapat memperbaiki desitas sperma, namun hasil yang
kontras dilaporkan pada perubahan motilitas sperma. Alfa glukosidase yang dites dengan metode
fluorimetri, dilakukan untuk membedakan azoospermia nonobstuktif dan obstruktif. Pemeriksaan
tersebut dilakukan dengan penanda spesifik untuk fungsi epididimis dan diyakini memiliki peran
dalam maturasi sperma di epididimis. Nilai batas 12mIU/mL membedakan obstruksi duktal dari
kegagalan testikular primer. Tes ini dapat memprediksi respon IUI (tingkat kehamilan lebih tinggi
>78 U per ejakulat) karena kadar yang tinggi mengindikasikan kapasitas pengikat zona yang lebih
baik2.

Reactive Oxygen Species

Stres oksidatif seluler akan bermanifestasi saat oksidan melebihi sistem pertahanan
antioksidan di dalam sel. Keadaan oksidan yang berlebihan akan memicu reaksi di sekitar
komponen selular seperti lipida jenuh, protein dan DNA, yang dapat mengganggu proses selular
normal16. Beberapa studi yang menunjukkan bermacam-macam oksidan yang dihasilkan oleh
macam-macam sel yang berbeda, seperti reactive oxygen species (ROS) dan termasuk radikal
hidroksil (OH), anion superoxide (O2-) dan hidrogen peroksida (H2O2). ROS dapat berkontribusi
pada kerusakan DNA dan peroksidasi lipid. Kerusakan DNA dari spermatozoa akan menyebabkan
defek pada fertilisasi, gangguan perkembangan embrionik, keguguran, cacat lahir, dan
bermanifestasi pada morbiditas yang dapat diturunkan seperti autisme dan kanker pada usia anak-
anak16.

Keterlibatan ROS pada infertilitas pria adalah pada kapasitasnya memicu perusakan secara
kimia dan modifikasi struktur dari DNA inti sperma dan protein maupun lipida di dalam plasma
sperma dan membran mitokondria. Sumber dari ROS endogen pada semen adalah leukosit dan
spermatozoa abnormal16. Produksi berlebihan dari reactive oxygen species (ROS) dapat
mengakibatkan abnormalitas parameter semen dan kerusakan sperma2, 16, 17. Saat ini pemeriksaan
kadar dan sumber dari ROS yang berlebihan pada semen tidak dilakukan secara rutin pada pria
yang subfertil, namun kemampuan diagnostik dan prognostik dari tes stres oksidatif melampaui
kemampuan tes kualitas sperma konvensional. Tes stres oksidatif dapat membedakan secara akurat
antara pria fertil dan infertil. Tes ini juga dapat membantu memilah kelompok pasien infertil yang
dapat diterapi dengan suplementasi antioksidan.

Kadar yang tinggi dari ROS adalah penanda independen dari infertilitas faktor pria pada
sampel leukositospermia setelah dilakukan penyesuaian terhadap karakteristik semen. Temuan ini
menunjukkan ROS dapat berperan penting sebagai etiologi dari infertilitas faktor pria dan
mendorong pemeriksaan kadar ROS sebagai alat diagnostik pada praktik klinis khususnya pada
kasus infertilitas idiopatik2. Kadar ROS dari donor sehat dengan parameter semen standard dan
normal adalah 1.5 x 104 cpm/20 juta sperma/mL. Pria infertil dapat diklasifikasikan sebagai stres
oksidatif positif (>1.5 x 104 cpm/ 20 juta sperma/mL) atau negatif (<1.5 x 104 cpm/ 20 juta
sperma/mL) dengan menggunakan nilai batas ini, apapun diagnosis klinis atau hasil dari analisis
semen standard yang sudah ada2.

Kerusakan DNA Sperma

Kromatin spermatozoa adalah struktur yang tersusun rapat yang dibentuk oleh hubungan
silang disulfida antara protamin-protamin. Susunan tersebut merupakan pelindung DNA fragmen
dari stes dan kerusakan. Kerusakan DNA bersifat multifaktorial dan teori dari etiologinya termasuk
defisiensi protamin dan mutasi protamin yang dapat mempengaruhi susunan DNA atau kepadatan
DNA slema spermiogenesis. Peningkatan kerusakan DNA antara lain dapat disebabkan oleh
konsumsi tembakau, kemoterapi, karsinoma testis, dan kanker sistemik lainnya. Kerusakan DNA
berkorelasi positif dengan penurunan parameter semen, khususnya penurunan konsentrasi sperma
dan penurunan motilitas sperma, leukositospermia, dan stres oksidatif16. Diperkirakan sekitar 8%
dari pria subfertil dengan parameter semen normal akan memiliki DNA abnormal yang tinggi.

Nilai batas DNA fragmentasi index (DFI) diatas 30% dihubungkan dengan penurunan yang
signifikan pada fertilisasi in-vivo. DFI diatas 30% memiliki sensitivitas 15% dan spesifisitas 96%.
Pasangan dengan DFI kurang dari 30% memiliki kemungkinan dua kali lipat untuk mengalami
keberhasilan dengan metode IVF reguler. Terdapat kerusakan DNA yang lebih tinggi pada sperma
yang diejakulasikan atau epididimal dibandingkan dengan pada spermatozoa intratestikular.
Sehubungan dengan hal tersebut spermatozoa dengan DFI tinggi direkomendasikan untuk
dilakukan ICSI. ICSI disarankan saat DFI berada di atas nilai batas. Tes fragmentasi DNA dapat
membantu pasangan dalam menentukan modalitas fertilisasi dan modifikasi gaya hidup yang dapat
diubah untuk meningkatkan kesempatan untuk keberhasilan dari konsepsi2.

Endokrin

Endokrinopati merupakan 3% dari penyebab infertilitas pada pria. Konsensus


menunjukkan keadaan yang perlu dilakukan pemeriksaan endokrin adalah pada pria dengan (1)
konsentrasi sperma yang rendah, khususnya jika kurang dari 10 juta/mL; (2) kelumpuhan fungsi
seksual; atau (3) kelainan klinis lain yang menunjukkan endokrinopati seperti penurunan ukuran
testis atau ginekomastia2.

Evaluasi endokrin awal pada kondisi di atas termasuk pengukuran kadar follicle-
stimulating hormone (FSH) dan serum testosteron pagi hari. Gonadotropin dan testosteron
disekresi secara pulsatil, dan spesimen yang dikumpulkan diambil pada interval 15 menit untuk
meningkatkan akurasi, namun skrining yang paling direkomendasikan adalah pengambilan
spesimen tunggal pada pagi hari. Spesimen pagi hari lebih dianjurkan karena penurunan kadar
testosteron fisiologis normal selama satu hari. Pada kondisi normal sekresi FSH dikendalikan oleh
umpan balik negatif melalui inhibin B yang diproduksi oleh sel Sertoli. Peningkatan serum
merupakan indikasi dari gangguan spermatogenesis seperti kegagalan testikular primer
(hipergonadotropik hipogonadisme), namun perlu diperhatikan bahwa nilai FSH yang normal
tidak menyingkirkan kemungkinan kegagalan spermatogenik. Azoospermia obstruktif biasanya
memiliki kadar gonadotropin dan testosteron yang normal. Kadar testosteron serum yang rendah
dapat mengindikasikan hipogonadisme yang berasal dari pituitari atau hipotalamik, begitu juga
dengan kegagalan testikular primer. Jika didapatkan kelainan pada pemeriksaan endokrin awal,
pemeriksaan lebih lanjut harus dilakukan untuk memeriksa testosteron secara berulang termausk
kadar testosteron bebas dan total, serum luteinizing hormone (LH), dan serum prolaktin. Kadar
FSH dan LH yang rendah menunjukan hipogonadropik hipogonadisme seperti Kallman Syndrome
mengharuskan pemeriksaan lanjut seperti thyroid stimulating hormone (TSH), adrenal
corticotropic hormone (ACTH), dan growth hormone. Pengukuran langsung dari kadar serum
inhibin dapat memberikan penilaian yang lebih akurat dari kesehatan spermatositik dibandingkan
dengan kadar FSH2.

Hiperprolaktimenia biasanya dihubungkan dengan kadar testosteron serum yang rendah


seringkali tanpa disertai peningkatan kadar LH. Hal tersebut menunjukkan Hipotalamik-pituitari
aksis yang tidak responsif pada keadaan peningkatan kadar prolaktin serum. Tes prolaktin harus
diulang karena variabilitas fisiologis dari kadar prolaktin serum. Peningkatan prolaktin serum yang
ringan (>50 ng/mL) dapat terlihat pada pengaruh obat obatan, stres, dan insufisiensi renal atau juga
dapat idiopatik2. Jika kadar prolaktin meningkat secara persisten, perlu dicurigai adanya tumor
pituitari seperti prolaktinoma sebelum dibuktikan sebaliknya dengan pemeriksaan neurologis
termasuk pemeriksaan tes lapang pandang dan MRI dari fossa pituitari2.

Kelebihan estrogen dapat bermanifestasi sebagai ginekomasti, penurunan libido, disfungsi


ereksi, dan penurunan kadar testosteron serum. Peningkatan kadar estradiol mungkin diperoleh
melalui asupan eksogen, namun biasanya hal tersebut lebih umum disebabkan oleh obesitas
sehingga terjadi aromatisasi perifer dari testosteron menjadi estradiol di sel adiposit. Estradiol
menstimulasi sex steroid hornmone binding globulin (SHBG) di liver yang menurunkan kadar
bioavailabilitas testosteron.

Pada kondisi yang lebih jarang, endokrinopati yang melibatkan kelenjar adrenal atau fungsi
tiroid dapat terjadi pada pria subfertil. Pasien dengan congenital adrenal hiperplasia (CAH) datang
dengan riwayat pubertas precox dan postur tubuh pendek akibat penutupan prematur dari epifisis.
Variasi yang sering terjadi melibatkan defisiensi 21-hidroksi akan meningkatkan kadar 17-
hidroksiprogesteron dan pregnanetriol urin. Pasien CAH dapat juga fertil, namun kebanyakan
mengalami penurunan fungsi testikuler akibat supresi dari gonadotropin dari umpanbalik langsung
yang menginhibisi pituitari dari androgen adrenal yang berlebihan2.
Pemeriksaan Genetik

Pemeriksaan genetik penting untuk menegakkan etiologi dari infertilitas, identifikasi dari
tindakan medis yang akan dilakukan oleh pasien, prediksi dari efikasi terapeutik dari intervensi
fertilitas yang akan dilakukan (misal : repair varicocele dan pengambilan sperma), dan konseling
informasi kepada pasangan terkait risiko transmisi kepada keturunannya. Pemeriksaan genetik
yang secara klinis relevan untuk pria infertil termasuk pemeriksaan karyotipe dan penilaian
mikrodelesi y-linked yang digunakan untuk evaluasi baik pada azoospremia nonobstruktif (NOA)
dan oligospermia, seperti pada gen fibrosis kistik transmembran regulator (CFTR) yang dinilai
pada pria dengan azoospermia obstruktif akibat CBAVD. Hampir 7% pria infertil akan mengalami
abnormalitas kromosom struktural atau numerik. Insidensi dari anomali karyotipe terbalik secara
proporsional dengan konsentrasi sperma dengan prevalensi 10-15% pada azoospermia, 5% pada
oligospermia, dan kurang dari 1% pada pasien dengan penghitungan sperma normal2.

PEMERIKSAAN LAIN

Studi Pencitraan

Evaluasi Radiografis dari pria infertil berfokus kepada identifikasi dari obstruksi traktus
genitalia pada vas deferens atau duktus ejakulatorius, sekaligus menyingkirkan keadaan patologis
yang terkait seperti massa testikular atau anomali renal. Setiap pemeriksaan yang akan dilakukan
harus disesuaikan secara individual mengenai kebutuhan dari kelainan setiap pasien.

Transrectal Ultrasonography

TRUS dapat menggambarkan prostat, vesikula seminalis, ampulla vas deferens, dan duktus
ejakulatorius secara sangat baik. TRUS dilakukan pada hakikatnya bagi pasien dengan kecurigaan
obstruksi duktus ejakulatorius (EDO). Pasien dengan kelainan ini biasanya memiliki ciri-ciri
azoospermia dengan volume rendah (volume <1 mL) dengan pH asam dan fruktosa semen negatif.
Pemeriksaan secara seksama dari veromontanum dapat mengidentifikasi kista prostatik midline
seperti kista mullerian atau wolffian atau batu yang mengobstruksi duktus ejakulatorius. Duktus
ejakulatorius seringkali tidak tergambar dengan jelas, namun dilatasi dari vesikula seminalis
berlaku sebagai tanda pasti dari obstruksi duktus ejakulatorius. Pelebaran tidak selalu didapatkan
pada obstruksi duktus ejakulatorius, pelebaran vesikula seminalis paling sedikit 12-15 mm atau
diameter duktus ejakulatorius lebih dari 2.3 mm di sepakati mengarahkan kepada obstruksi2.
Aspirasi vesikula seminalis menggunakan jarum 20 gauge saat TRUS digunakan sebagai
pemeriksaan tambahan untuk menentukan obstruksi. Temuan tiga atau lebih sperma per lapang
pandang pada aspirat vesikula seminalis memperkuat diagnosis dari EDO. Akurasi dari tes
meningkat dengan melakukan aspirasi dalam 24 jam dari ejakulasi2.

Seminovesikulografi menggunakan injeksi transrectal dari kontras radioopaque (50%


renograffin) ke dalam vesikula seminalis di bawah arahan TRUS dengan radiografi postinjeksi
dapat memberikan detil anatomis yang sangat baik dari vesikula seminalis dan duktus
ejakulatorius. Kromotubasi vesikula seminalis merupakan vaiasi dari seminovesikulografi dengan
menggunakan injeksi indigo carmine atau methylene blue (larutan 1:5 dengan Normal Saline) ke
dalam vesika seminalis melalui panduan TRUS diikuti oleh inspeksi cystoscopis dari duktus
ejakulatorius di uretra prostatika untuk memastikan patensi. Tes dinamik dari kromotubasi dan
vesikulografi seminal menawarkan spesifisitas yang lebih ringgi untuk mendeteksi EDO dibanding
dengan pencitraan TRUS tunggal. Kriteria untuk diagnosis dari EDO komplit masih belum jelas
dan pada EDO parsial masih bersifat kontroversial2.

Ultrasonografi Skrotal

Ultrasonografi skrotal pada pria infertil pada dasarnya digunakan untuk menentukan
adanya varikokel yang bermakna klinis, walaupun USG skrotal juga memberikan pencitraan
kualitas tinggi untuk mengetahui isi skrotum yang memberikan keuntungan terhadap kemungkinan
meluasnya kemungkinan tanpa adanya paparan terhadap radiasi ion. Varikokel yang bermakna
secara klinis sebetulnya tidak membutuhkan konfirmasi dengan menggunakan USG, USG color
doppler mungkin diperlukan saat pemeriksaan klinis sulit dilakukan akibat habitus tubuh atau saat
pemeriksaan bersifat equivocal. Tampilan dari aliran darah vena balik dengan manuver Valsava
atau vena spermatika dengan diameter 3 mm atau lebih dapat mendukunng diagnosis dari
varikokel. USG skrotal tidak direkomendasikan untuk skrining dari varikokel subklinis karena
perbaikan dari keadaan ini tidak menunjukkan keuntungan secara klinis2.

Ultrasonografi Abdominal

Pencitraan USG abdominal pada pria infertil pada dasarnya diindikasikan untuk
menyingkirkan adanya anomali renal pada pasien dengan agenesis vasal. Agenesis vasal secara
teori timbul akibat satu atau dua mekanisme, baik mutasi dari gen CFTR atau morfogenesis yang
tidak semestinya dari duktus mesonefrik sebelum masa gestasi minggu ke 7 yang menyebabkan
agenesis vasal dan agenesi renal unilateral2.

Vasografi

Vasografi merupakan pemeriksaan baku emas untuk menilai patensi dari sistem duktal
pria. Prosedur seperti TRUS, aspirasi vesikula seminalis, dan vesikulografi seminalis sebetulnya
menawarkan pencitraan yang minimal invasive, namun vasografi yang dilakukan dengan baik
memberikan detil anatomis yang paling baik untuk vas deferen, vesikula seminalis, dan duktus
ejakulatorius. Vasografi diindikasikan untuk menentukan lokasi obstruksi pada pasien
azoospermia dengan spermatogenesis normal yang dikonfirmasi oleh biopsi testis. Vasografi juga
dapat dilakukan untuk menyingkirkan obstruksi duktus ejakulatorius dalam keadaan nyeri saat
ejakulasi2.

Venografi

Venografi dari vena spermatika interna telah digunakan untuk mendiagnosis dan menerapi
varikokel. Sebagai alat diagnostik, venografi merupakan modalitas pencitraan yang paling sensitif
namun spesifisitasnya masih menjadi batasan. Hampir 100% dari pasien varikokel yang
terdiagnosis klinis menunjukkan reflux pada pemeriksaan venografik, namun reflux vena
spermatika interna kiri dilaporkan pada hampir 70% pada pasien tanpa varikokel yang teraba .
Karena nilai false positif yang tinggi akibat faktor kesalahan teknik yang sering terjadi (instilasi
kontras tekanan tinggi atau penempatan dari ujung kateter melalui katup dari porsi proximal dari
vena spermatika interna), venografi tidak diindikasikan untuk skrining rutin pada pria subfertil2.

Embolisasi perkutaneus dari varikokel dilakukan dengan memasukkan koil, balon, dan
skleroterapi. Modalitas tersebut digunakan sebagai terapi awal, namun tingkat rekurensi yang lebih
tinggi dari perbaikan secara surgikal dan tingkat kegagalan dari prosedur tersebut membuat
embolisasi menjadi terapi lini kedua. Embolisasi memiliki peranan pada manajemen pasien dengan
varikokel yang persisten atau rekuren setelah ligasi varikokel. Skleroterapi skrotal antegrade juga
menjadi terapi varikokel lini pertama dengan tingkat keberhasilan 95%, namun teknik ini
membutuhkan validasi dengan serial lebih besar dan waktu follow-up lebih lama2.
Biopsi testis

Biopsi testis memiliki dua peran dalam manajemen dari infertilitas pada pria : diagnostik
untuk membedakan patologi obstruksi dengan nonobstruksi testikular dan terapeutik untuk
memanen sperma dengan tujuan penggunaan ICSI.

Biopsi testis diagnostik pada dasarnya diindikasikan untuk evaluasi dari pasien
azoospermia yang datang dengan gambaran klinis yang mengarah kepada obstruksi dengan ukuran
testis normal dan konsistensi maupun kadar FSH yang normal. Beberapa ahli menganjurkan biopsi
testis untuk oligospermia moderat (<5-10 juta/mL), namun kebanyakkan klinisi tidak menemukan
prognosis dan informasi terapeutik yang berguna untuk pasien2. Pada beberapa kesempatan, biopsi
diagnostik dapat dilakukan pada pasien dengan bukti klinis dari kegagalan testis (volume testis
kecil, kadar FSH tinggi) untuk menilai kemampuan untuk melakukan panen sperma untuk
keperluan ICSI pada masa yang akan datang2.

Interpretasi dari biopsi testis memerlukan patologis yang berpengalaman karena analisis
yang diberikan lebih bersifat deskriptif daripada kuantitatif. Saat ini pemeriksaan yang dilakukan
pada umumnya menggunakan sistem dengan klasifikasi histologis dengan rentang pola standard
dari normal hinggal aplasia sel germinal dengan hipospermatogenesis dan maturation arrest.

Hasil biopsi normal

Lebih dari 85% volume testis berisi sel germinal yang sedang mengalami maturasi secara
progresif dan sel sertoli yang mendukungnya. Pembuluh darah dan sel Leydig di area interstitial
melengkapi sisa lainnya. Spermatogenesis terjadi secara berurutan dari spermatogonia sepanjang
membrana basalis hingga spermatosit dan akhirnya spermatozoa matur yang menempel pada
lumen tubular. Spermatogonia tipe A menghasilkan komplemen stem sel dan memiliki komplemen
kromosom diploid (2N). Sel sel ini mengalami pembelahan mitosis untuk melengkapi komplemen
stem sel dan menghasilkan spermatogonia tipe B (2N). Spermatogonia tipe B mengalami sintesis
DNA, lalu menghasilkan spermatosit yang memiliki kromosom komplemen tetraploid (4N). Dua
pembelahan meiosis terjadi secara berurutan yang menghasilkan spermatid dengan jumlah haploid
akhir kromosom (1N). Maturasi lebih lanjut menghasilkan progresi dari spermatid berbentuk bulat
menjadi memanjang dan lalu menjadi produk akhir, spermatozoa matur. Testis manusia memiliki
beberapa tahapan dari spermatogenesis pada bagian tubular tunggal (pola patchwork) yang
menghasilkan spermatogenesis yang berjalan sepanjang tubulus2.

Pada keadaan azoospermia, biopsi testis normal merupakan pemeriksaan patognomonis


untuk obstruksi duktal. Area fokal dari hipospermatogenesis dan maturation arrest telah ditemukan
pada keadaan obstruksi, terutama pada keadaan setelah vasektomi, namun temuan ini bukan
merupakan tanda klasik obstruksi melainkan dilatasi dari tubulus dengan debris intraluminal.

Hipospermatogenesis

Hipospermatogenesis dihubungkan dengan penurunan jumlah dari seluruh sel-sel


germinal, namun semua fase spermatogenesis masih ada pada potongan histologis. Derajat dari
penurunan menunjukkan apakah pasien merupakan oligospermia atau azoospermia. Tingkat kritis
dari proudksi sperma dibutuhkan sebelum sperma dapat dideteksi pada ejakulat2.

Maturation Arrest

Maturation arrest melibatkan blokade maturasi sperma pada fase spesifik dimanapun
sepanjang jalan spermatogenesis. Maturation arrest paling sering terjadi pada spermatosit primer
atau fase spermatid lambat. Maturation arrest lambat dapat sulit dibedakan dengan biopsi normal,
namun adanya sperma matur pada sediaan sentuhan testikular mendukung diagnosis dari
spermatogenesis normal. Maturation arrest komplit akan menghasilkan azoospermia, sedangkan
pasien dengan maturation arrest parsial akan datang dengan oligospermia berat. Sisa bagian lain
dari testis seperti Sel Sertoli dan Leydig, begitu juga dengan membrana basalis biasanya normal.
Maturation arrest seringkali dihubungkan dengan profil endokrin normal seperti kadar FSH dan
inhibin karena sistem umpan balik negatif dari hipotalamik-pituitari-gonadal yang masih intak.
Hal tersebut menyebabkan gambaran klinis dari maturation arrest dan obstruksi duktal dapat
serupa karena keduanya dikaitkan dengan volume testis normal dan profil endokrin yang serupa2.

Germinal Aplasia

Germina aplasia disebut juga sindroma sel Sertoli-only, memiliki tubulus seminiferus kecil
yang sama sekali tidak memiliki sel-sel germinal. Komponen interstitial seperti sel Sertoli dan
membrana basalis normal. Diagnosis dari germinal aplasia ditunjukkan oleh keadaan azoospermia
pada pasien dengan volume testis kecil dan peningkatan kadar FSH konsisten dengan kegagalan
testikular primer. Tidak didapatkan terapi pengobatan untuk mengisi kembali testis dengan sel
germinal, namun pada bagian lain dari testis masih mungkin didapatkan spermatogenesis yang
dapat berguna untuk kepentingan ICSI2.

End-stage Testes

Membrana basalis yang menebal, sklerosis dari tubular dan peritubulanr, dan ketiadaan
baik sel sel germinal dan sel Sertoli adalah karakteristik histologis pada end-stage testes. Pasien
dengan kelainan ini akan memiliki azoospermia dengan testis yang kecil, lembek (volume 2-3
mL)2.

Spermatogenesis, Semen dan Kelainan pada Sperma

Spermatogenesis
Proses pembentukan dan pemasakan spermatozoa disebut spermatogenesis.
Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus. Spermatogenesis mencakup pematangan sel epitel
germinal melalui proses pembelahan dan diferensiasi sel, yang bertujuan untuk membentuk
sperma fungsional. Pematangan sel terjadi di tubulus seminiferus yang kemudian disimpan di
epididimis. Dinding tubulus seminiferus tersusun dari jaringan ikat dan jaringan epitelium
germinal (jaringan epitelium benih) yang berfungsi pada saat spermatogenesis. Pintalan-pintalan
tubulus seminiferus terdapat di dalam ruang-ruang testis (lobulus testis). Satu testis umumnya
mengandung sekitar 250 lobulus testis. Tubulus seminiferus terdiri dari sejumlah besar sel epitel
germinal (sel epitel benih) yang disebut spermatogonia (spermatogonium = tunggal).
Spermatogonia terletak di dua sampai tiga lapisan luar sel-sel epitel tubulus seminiferus.
Spermatogonia terus-menerus membelah untuk memperbanyak diri, sebagian dari spermatogonia
berdiferensiasi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu untuk membentuk sperma.
Pada tubulus seminiferus terdapat sel-sel induk spermatozoa atau spermatogonium, sel
Sertoli, dan sel Leydig. Sel Sertoli berfungsi memberi makan spermatozoa sedangkan sel
Leydig yang terdapat di antara tubulus seminiferus berfungsi menghasilkan testosteron. Proses
pembentukan spermatozoa dipengaruhi oleh kerja hormon yang dihasilkan kelenjar hipofisis yaitu
yang pertama adalah LH (Luteinizing Hormone) merangsang sel Leydig untuk menghasilkan
hormon testosteron. Pada masa pubertas, androgen/testosteron memacu tumbuhnya sifat kelamin
sekunder; yang kedua adalah FSH (Folicle Stimulating Hormone) merangsang sel Sertoli untuk
menghasilkan ABP (Androgen Binding Protein) yang akan memacu spermatogonium untuk
memulai proses spermatogenesis. Proses pemasakan spermatosit menjadi spermatozoa disebut
spermiogenesis. Spermiogenesis terjadi di dalam epididimis dan membutuhkan waktu selama 2
hari.
Tahap pembentukan spermatozoa seperti yang terlihat pada gambar 1, dibagi atas tiga tahap
yaitu:
1. Spermatocytogenesis
Merupakan spermatogonia yang mengalami mitosis berkali-kali yang akan menjadi
spermatosit primer. Spermatogonia merupakan struktur primitif dan dapat melakukan reproduksi
(membelah) dengan cara mitosis. Spermatogonia ini mendapatkan nutrisi dari sel-sel sertoli dan
berkembang menjadi spermatosit primer. Spermatogonia yang bersifat diploid (2n atau
mengandung 23 kromosom berpasangan), berkumpul di tepi membran epitel germinal yang
disebut spermatogonia tipe A. Spermatogonia tipe A membelah secara mitosis menjadi
spermatogonia tipe B. Kemudian, setelah beberapa kali membelah, sel-sel ini akhirnya menjadi
spermatosit primer yang masih bersifat diploid. Spermatosit primer mengandung kromosom
diploid (2n) pada inti selnya dan mengalami meiosis. Satu spermatosit akan menghasilkan dua sel
anak, yaitu spermatosit sekunder.

2. Tahapan Meiois
Spermatosit primer menjauh dari lamina basalis, sitoplasma makin banyak dan segera
mengalami meiosis I menghasilkan spermatosit sekunder yang n kromosom (haploid).
Spermatosit sekunder kemudian membelah lagi secara meiosis II membentuk empat buah
spermatid yang haploid juga. Sitokenesis pada meiosis I dan II ternyata tidak membagi sel benih
yang lengkap terpisah, tapi masih berhubungan lewat suatu jembatan (Interceluler bridge).
Dibandingkan dengan spermatosit I, spermatosit II memiliki inti yang gelap.
Translokasi dan inversi kromosom dapat menyebabkan infertilitass, aberasi spontan dan
cacat lahir. Saat Meiosis kromosom membentuk struktur spesial (inversion loops) untuk
memudahkan kromosom homolog untuk bersatu. Pada fase ini loop dapat mempengaruhi fertilitas
akibat kelainan mekanik dan waktu pada saat pembentukan inversion loop9.
3. Tahapan Spermiogenesis
Merupakan transformasi spermatid menjadi spermatozoa yang meliputi 4 fase yaitu fase
golgi, fase tutup, fase akrosom dan fase pematangan. Hasil akhir berupa empat spermatozoa
(sperma) masak. Ketika spermatid dibentuk pertama kali, spermatid memiliki bentuk seperti sel-
sel epitel. Namun, setelah spermatid mulai memanjang menjadi sperma, akan terlihat bentuk yang
terdiri dari kepala dan ekor. Bila spermatogenesis sudah selesai, maka ABP testosteron (Androgen
Binding Protein Testosteron) tidak diperlukan lagi, sel Sertoli akan menghasilkan hormon
inhibin untuk memberi umpan balik kepada hipofisis agar menghentikan sekresi FSH dan LH.
Spermatozoa akan keluar melalui uretra bersama-sama dengan cairan yang dihasilkan oleh
kelenjar vesikula seminalis, kelenjar prostat dan kelenjar cowper. Spermatozoa bersama cairan
dari kelenjar-kelenjar tersebut dikenal sebagai semen atau air mani. Pada waktu ejakulasi, seorang
laki-laki dapat mengeluarkan 300 – 400 juta sel spermatozoa.
Spermatogenesis merupakan proses pembentukan spermatozoa. Spermatozoa merupakan
sel hasil maturasi dari sel germinal primordial yang disebut dengan spermatogonia.
Spermatogonia berada pada dua atau tiga lapisan permukaan dalam tubulus seminiferus.

Gambar 1. Diferensiasi Spermatogonia18

Spermatogonia mulai mengalami pembelahan mitosis, yang dimulai saat pubertas, dan
terus berproliferasi dan berdiferensiasi melalui berbagai tahap perkembangan untuk membentuk
sperma18.
Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus selama masa seksual aktif akibat stimulasi
oleh hormon gonadotropin yang dihasilkan di hipofisis anterior, yang dimulai rata-rata pada
umur 13 tahun dan terus berlanjut hampir di seluruh sisa kehidupan, namun sangat menurun pada
usia tua18. Pada tahap pertama spermatogenesis, spermatogonia bermigrasi di antara sel- sel
sertoli menuju lumen sentral tubulus seminiferus. Sel-sel sertoli ini sangat besar, dengan
pembungkus sitoplasma yang berlebihan yang mengelilingi spermatogonia yang sedang
berkembang sampai menuju bagian tengah lumen tubulus18.

Proses berikutnya adalah pembelahan secara meiosis. Pada tahap ini spermatogonia yang
melewati lapisan pertahanan masuk ke dalam lapisan sel Sertoli akan dimodifikasi secara
berangsur-angsur dan membesar untuk membentuk spermatosit primer yang besar. Setiap
spermatosit tersebut, selanjutnya mengalami pembelahan mitosis untuk membentuk dua
spermatosit sekunder. Setelah beberapa hari, spermatosit sekunder ini juga membelah menjadi
spermatid yang akhirnya dimodifikasi menjadi spermatozoa (sperma)18.

Selama masa pergantian dari tahap spermatosit ke tahap spermatid, 46 kromosom


spermatozoa (23 pasang kromosom) dibagi sehingga 23 kromosom diberikan ke satu spermatid
dan 23 lainnya ke spermatid yang kedua. Keadaaan ini juga membagi gen kromosom sehingga
hanya setengah karakteristik genetik bayi yang berasal dari ayah, sedangkan setengah sisanya
diturunkan dari oosit yang berasal dari ibu. Keseluruhan proses spermatogenesis, dari
spermatogonia menjadi spermatozoa, membutuhkan waktu sekitar 74 hari18.

Proses selanjutnya adalah pembentukan sperma. Ketika spermatid dibentuk pertama kali,
spermatid tetap memiliki sifat-sifat yang lazim dari sel-sel epiteloid, tetapi spermatid tersebut
segera berdiferensiasi dan memanjang menjadi spermatozoa. Masing-masing spermatozoa terdiri
atas kepala dan ekor. Kepala terdiri atas inti sel yang padat dengan hanya sedikit sitoplasma dan
lapisan membran sel di sekeliling permukaannya. Di bagian luar, dua pertiga anterior kepala
terdapat selubung tebal yang disebut akrosom yang terutama dibentuk oleh apparatus Golgi.
Selubung ini mengandung sejumlah enzim yang serupa dengan enzim yang ditemukan pada
lisosom dari sel-sel yang khas, meliputi hialuronidase (yang dapat mencerna filamen
proteoglikan jaringan) dan enzim proteolitik yang sangat kuat (yang dapat mencerna protein).
Enzim ini memainkan peranan penting sehingga memungkinkan sperma untuk memasuki ovum
dan membuahinya18.
Ekor sperma, yang disebut flagellum, memiliki tiga komponen utama yaitu (1) kerangka
pusat yang secara keseluruhan disebut aksonema, yang memiliki struktur yang serupa dengan
struktur silia yang terdapat pada permukaan sel tipe lain; (2) membran sel tipis yang menutupi
aksonema; dan (3) sekelompok mitokondria yang mengelilngi aksonema di bagian proksimal
ekor ( badan ekor)18. Gerakan maju-mundur ekor (gerakan flagella) memberikan motilitas
sperma. Gerakan ini disebabkan oleh gerakan meluncur longitudinal secara ritmis di antara
tubulus posterior dan anterior yang membentuk aksonema. Sperma yang normal bergerak dalam
medium cair dengan kecepatan 1 sampai 4 mm/menit. Kecepatan ini akan memungkinkan
sperma untuk bergerak melalui traktus genitalia wanita untuk mencapai ovum18.

Proses selanjutnya setelah pembentukan sperma adalah pematangan sperma di


epididimis. Setelah terbentuk di tubulus seminiferus, sperma membutuhkan waktu beberapa hari
untuk melewati tubulus epididimis yang panjangnya 6 meter. Sperma yang bergerak dari tubulus
seminiferus dan dari bagian awal epididimis adalah sperma yang belum motil, dan tidak dapat
membuahi ovum. Akan tetapi, setelah sperma berada dalam epididimis selama 18-24 jam,
sperma akan memiliki kemampuan motilitas18. Kemampuan bergerak maju (motilitas progresif)
yang diperoleh di epididimis, melibatkan aktivasi suatu protein unik yang disebut CatSper, yang
berada di bagian utama ekor sperma. Protein ini tampaknya adalah suatu kanal Ca2+ yang
memungkinkan influx Ca2+ generalisata c-AMP. Selain itu, spermatozoa mengekspresikan
reseptor olfaktorius, dan ovarium menghasilkan molekul mirip odoran.

Semen

Cairan yang diejakulasikan pada saat orgasme, yakni semen (air mani), mengandung
sperma dan sekret vesikula seminalis, prostat, kelenjar Cowper, dan mungkin kelenjar uretra.
Volume rerata per ejakulat adalah 2,5-3,5 mL setelah beberapa hari tidak dikeluarkan. Volume
semen dan hitung sperma menurun cepat bila ejakulasi berkurang. Walaupun hanya diperlukan
satu sperma untuk membuahi ovum, setiap milliliter semen normalnya mengandung 100 juta
sperma. Lima puluh persen pria dengan hitung sperma 2040 juta/mL dan pada dasarnya, semua
pria dengan nilai hitung yang kurang dari 20 juta/mL dianggap mandul. Adanya banyak
spermatozoa yang immotil atau cacat juga berkorelasi dengan infertilitas.
Leukosit

Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan imun tubuh. Imunitas adalah
kemampuan tubuh menahan atau menyingkirkan benda asing yang berpotensi merugikan atau sel
yang abnormal. Leukosit ini sebagian besar diproduksi di sumsum tulang (granulosit, monosit
dan sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan selsel plasma). Setelah
dibentuk, sel-sel ini diangkut dalam darah menuju berbagai bagian tubuh untuk digunakan.
Manfaat sesungguhnya dari sel darah putih ialah sebagian besar diangkut secara khusus ke
daerah yang terinfeksi dan mengalami peradangan serius. Jadi, sel-sel tersebut dapat
menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap agen-agen infeksius18. Terdapat enam
macam sel darah putih yang secara normal ditemukan di dalam darah. Keenam sel tersebut
adalah netrofil polimorfonuklear, basofil polimorfonuklear, eosinofil polimorfonuklear, monosit,
limfosit dan kadangkadang, sel plasma. Ketiga tipe pertama dari sel yaitu sel-sel
polimorfonuklear, seluruhnya memiliki gambaran granular, sehingga sel-sel tersebut disebut
granulosit18. Pada manusia dewasa, leukosit dapat dijumpai sekitar 7000 sel per mikroliter darah.
Presentasi normal dari sel darah putih kira-kira sebagai berikut18:

Pembentukan sel darah putih dimulai dari diferensiasi dini dari sel stem hemopoietik
pluripoten menjadi berbagai tipe sel stem committed. Sel-sel committed ini selain membentuk
sel darah merah, juga membentuk sel darah putih. Dalam pembentukan leukosit terdapat dua
tipe yaitu mielositik dan limfositik. Pembentukan leukosit tipe mielositik dimulai dengan sel
muda yang berupa mieloblas sedangkan pembentukan leukosit tipe limfositik dimulai dengan sel
muda yang berupa limfoblas18.

Granulosit dan monosit hanya dibentuk di dalam sumsum tulang. Limfosit dan sel plasma
diproduksi di berbagai jaringan limfogen, khususnya kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil dan
berbagai kantong jaringan limfoid dalam sumsum tulang dan plak Peyer di bawah epitel dinding
usus18. Leukosit yang dibentuk di dalam sumsum tulang, terutama granulosit, disimpan dalam
sumsum sampai sel-sel tersebut diperlukan dalam sirkulasi. Kemudian, bila kebutuhannya
meningkat, beberapa faktor seperti sitokin-sitokin akan dilepaskan. Dalam keadaan normal,
granulosit yang bersirkulasi dalam seluruh darah kira-kira tiga kali jumlah yang disimpan dalam
sumsum. Jumlah ini sesuai dengan persediaan granulosit selama enam hari. Sedangkan limfosit
sebagian besar akan disimpan dalam berbagai area jaringan limfoid kecuali pada sedikit limfosit
yang secara temporer diangkut dalam darah18. Masa hidup granulosit setelah dilepaskan dari
sumsum tulang normalnya 4-8 jam dalam sirkulasi darah, dan 4-5 jam berikutnya dalam jaringan.
Pada keadaan infeksi jaringan yang berat, masa hidup keseluruhan sering kali berkurang. Hal ini
dikarenakan granulosit dengan cepat menuju jaringan yang terinfeksi, melakukan fungsinya, dan
masuk dalam proses dimana sel-sel itu sendiri harus dimusnahkan18.

Peningkatan leukosit pada sperma biasanya dikaitkan dengan keadaan6

1. Infeksi saluran genitalia subklinis


2. Peningkatan reactive oxygen species
3. Fungsi sperma yang buruk dan infertilitas.

Monosit memiliki masa edar yang singkat, yaitu 10-20 jam, berada di dalam darah sebelum
berada dalam jaringan. Begitu masuk ke dalam jaringan, selsel ini membengkak sampai ukurannya
yang sangat besar untuk menjadi makrofag jaringan. Dalam bentuk ini, sel-sel tersebut dapat hidup
hingga berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Makrofag jaringan ini akan menjadi dasar bagi
sistem makrofag jaringan yang merupakan sistem pertahanan lanjutan dalam jaringan untuk
melawan infeksi18. Limfosit memasuki sistem sirkulasi secara kontinu, bersama dengan aliran
limfe dari nodus limfe dan jaringan limfoid lainnya. Kemudian, setelah beberapa jam, limfosit
keluar dari darah dan kembali ke jaringan dengan cara diapedesis. Dan selanjutnya memasuki
limfe dan kembali ke darah lagi demikian seterusnya. Limfosit memiliki masa hidup berminggu-
minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun, tetapi hal ini tergantung pada kebutuhan
tubuh akan sel-sel tersebut18.

Hubungan antara Leukosit dengan Motilitas Sperma

Leukosit terdapat dalam saluran reproduktif pria dan hampir selalu ditemukan pada
pemeriksaan cairan sperma. Secara fisiologis, kebanyakan dari leukosit terebut berkumpul pada
epididimis dan berfungsi untuk sistem imunitas dan proses fagositosis dari spermatozoa
abnormal. Kadar jenis leukosit yaitu granulosit (50%-60%), makrofag (20%-30%) dan limfosit
(2%-5%). Pengamatan akurat jumlah leukosit adalah penting karena jika jumlahnya berlebihan
(leucocytospermia) merupakan indikasi adanya infeksi saluran reproduksi, yang memerlukan
terapi antibiotika. Selanjutnya, leukositospermia mungkin berkaitan dengan kelainan profil
semen termasuk berkurangnya volume ejakulat, jumlah sperma, termasuk yang terpenting adalah
menurunnya motilitas sperma sehingga fungsi sperma terganggu akibat pengaruh oksidasi atau
adanya sitokin tertentu yang bersifat sitotoksik.

TERAPI PADA INFETILITAS PRIA

Peran dari pembedahan sebagai terapi dari beberapa penyebab dari infertilitas pada pria
telah terbukti baik dan efektif dibandingkan dengan pendekatan teknologi tinggi. Pembedahan,
yang bertujuan mengembalikan kelainan anatomi dan patofisiologi, dapat mengembalikan atau
memperbaiki kualitas semen. Pembedahan lain bertujuan untuk mengambil sperma secara
langsung dari testis atau epididimis sebagai penyerta dari tindakan Assisted Reproduction
Technique (ART)6.

Varicocele

Hubungan antara varikokel dan infertilitas pada pria telah terbukti. Beberapa modalitas
terapi, baik surgikal maupun nonsurgikal, dapat digunakan dalam terapi varikokel. Ligasi dari vena
dengan pendekatan retroperitoneal, inguinal atau subinguinal dapat digunakan sebagai pilihan.
Pendekatan yang lain adalah skleroterapi dan laparoskopik19. Tujuan dari terapi tersebut adalah
menghentikan aliran retrograde dari darah vena melalui vena spermatika interna. Terapi dapat
dibandingkan dalam segi tingkat keberhasilan (perbaikan semen dan kehamilan), biaya, dan hasil
akhir (konsumsi obat penghilang nyeri, kecepatan untuk kembali bekerja atau aktivitas lainnya)6.

Varikokelektomi merupakan modalitas yang lebih superior daripada observasi. Angka


kehamilan setelah varikokelektomi dapat mencapai angka 32,9% berbanding dengan 13,9% pada
pasien yang hanya dilakukan observasi10. Selalu ingat bahwa watchful waiting merupakan pilihan.
Jika terapi IVF merupakan pilihan, didapatkan peluang terjadinya kehamilan sebesar 35%.
Komplikasi yang terjadi pasca tindakan secara keseluruhan sebesar 1% pada pendekatan
insisional, berbanding 4% pada laparoskopik, dan 10-15% pada radio-invasif6.

Secara keseluruhan perbaikan varikokel akan menghasilkan perbaikan pada parameter


sperma. Konsentrasi sperma total dan motilitas sperma progresif merupakan parameter yang
meningkat signifikan. Perbaikan varikokel juga akan mengurangi stress oksidatif seminal dan
kerusakan DNA dari sperma juga memperbaiki ultramorfologi sperma19.
Vasectomy Reversal

Beberapa metode dapat dilakukan untuk tindakan vasovasostomi, namun tidak ada satu
teknik yang terbukti lebih baik daripada teknik lainnya. Secara umum baik anastomosis dengan
single-layer maupun double-layer dapat dilakukan. Walaupun prosedur tersebut berbeda secara
teknis, pengalaman dari ahli bedah merupakan faktor yang paling penting dalam kesuksesan dari
tindakan ini. Bergantung dari faktor tersebut, 95% dari pasien dapat memiliki sperma kembali
setelah vasovasostomi. Jika cairan vasal yang berada lebih bawah dari tingkat vasektomi tidak
mengandung sperma, berarti perlu dipertimbangkan adanya obstruksi sekunder dari epididimis.
Obstruksi tersebut dapat berasal dari ruptur tubulus epididimis akibat dari peningkatan tekanan
intraluminal. Rentang waktu yang lebih lama dari vasektomi atau jaraknya dari epididimis
meningkatkan risiko terjadinya blokade epididimis. Pada kasus ini vas deferens harus disambung
dengan epididimis diatas dari area yang ruptur, sehingga prosedur ini disebut
epididymovasostomy. Setelah prosedur tersebut 60-65% pasien akan memiliki sperma dalam
ejakulatnya6.

Sebelum melakukan tindakan vasovasostomy perlu diperhatikan potensi fertilitas dari


pasangan pasien. Alasan lain mengenai gagalnya pembedahan mikro dari traktus reproduksi adalah
(1) kualitas dari semen sebelum terblokade tidak normal (2) Antibodi Antisperma meningkat pada
30% dari pria yang mendapat vasektomi (kadar antibodi tinggi dapat melumpuhkan infertilitas (3)
Jaringan parut pasca pembedahan dapat timbul pada situs anastomosis yang menyebabkan blokade
sekunder; (4) Epididymis dapat berubah akibat lamanya blokade, sehingga dapat menimbulkan
gangguan pada maturasi sperma6.

Ejaculatory Duct Obstruction

EDO harus dipertimbangkan saat volume ejakulat <1,5 mL dan tidak adanya ejakulasi
retrograde atau defisit hormonal.

EDO dapat berupa beberapa bentuk6 :

 EDO klasik atau komplit adalah obstruksi pada kedua duktus ejakulatorius
maupun adanya azoospermia volume rendah.
 EDO inkomplit atau “parsial” adalah obstruksi pada salah satu duktus atau
obstruksi parsial dari kedua duktus. Kondisi ini mengakibatkan volume ejakulat yang
rendah dan konsentrasi sperma yang rendah serta motilitas yang menurun parah.
 EDO fungsional adalah disfungsi ejakulatorik yang ditandai EDO klasik
tanpa adanya bukti anatomis dari obstruksi.

Kecurigaan klinis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan TRUS dari vesika seminalis
yang terdilatasi atau duktus ejakulatorius yang terdilatasi. Pasien dengan EDO yang menyebabkan
ketidaknyamanan saat koitus, hematospermia rekuren, atau infertilitas harus dipertimbangkan
untuk dilakukan terapi6.

Transurethral resection of the ejaculatory ducts (TURED) dilakukan secara kistoskopi.


Enam puluh lima sampai tujuh puluh persen dari pria menunjukkan peningkatan signifikan pada
kualitas semen setelah TURED dengan angka kehamilan mencapai 30%. Komplikasi dari TURED
kurang lebih 20%. Kebanyakan komplikasi seperti hematospermia, hematuria, infeksi saluran
kemih, epididymitis, dan ejakulat yang cair dapat sembuh sendiri. Komplikasi yang jarang
dilaporkan adalah ejakulasi retrograde, perforasi rektal, dan inkontinensia urin6.
Electroejaculation

Probe electroejakulasi rektal dapat mengkontrol stimulasi saraf simpatetik pelvis.


Stimulasi tersebut menginduksi ejakulasi dengan menstimulasi kontraksi vas deferens, vesika
seminalis, dan prostat. Pada prosedur ini sering terjadi ejakulasi retrograde, sehingga semen
biasanya diambil melalui penis dan buli-buli. Pada pria dengan anejakulasi setelah pembedahan
retroperitoneal atau trauma spinal, mayoritas dapat pulih dengan elektroejakulasi. Motilitas sperma
biasanya menurun saat menggunakan metode ini, hal ini disebabkan efek panas atau elektrikal
yang diakibatkan metode ini6.
Sperm Retrieval

Indikasi untuk dilakukan teknik sperm retrieval cukup luas, akibatnya teknik sperm
retrieval telah berkembang menjadi aspirasi minimal invasif sampai dengan diseksi menggunakan
bantuan mikroskop.

Indikasi untuk teknik sperm retrieval6 :


 Pasien dengan anejakulasi akibat tidak adanya sistem duktal yang tidak
dapat direkonstruksi secara surgikal
 Pasien memilih untuk menggunakan ART dibandingkan dengan
pengembalian vasektomi
 Pria dengan Azoospermia Non Obstruktif dengan penurunan
spermatogenesis yang menurun namun terdapat area yang dapat dipanen

Sperma biasanya diaspirasi melalui vas deferens, epididimis, atau testis. Pada kasus
aspirasi sperma dari testis dan epididimis, dibutuhkan IVF dan ICSI. Persyaratan yang diperlukan
untuk prosedur ini adalah adanya produksi sperma. Walaupun di evaluasi secara tidak langsung
dengan kadar hormon dan volume testis, biopsi testis merupakan pemeriksaan yang paling direk
untuk mengetahui produksi sperma6.
A. Aspirasi Vasal

Setelah melakukan insisi skrotal dengan bantuan mikroskop, dibuat hemivasostomy


kemudian dilakukan aspirasi sperma untu dimasukkan ke dalam media kultur. Sperma diambil
hingga > 10-20 juta spermatozoa. Kemudian vasostomi ditutup dengan jahitan mikroskopis.
Aspirasi vasal menghasilkan sperma yang paling matur6.

B. Epididymal Sperm Aspiration

Aspirasi sperma dari epididimis dapat dilaukan dengan dua teknik berbeda :

1. Microscopic Epididymal Sperm Aspiration (MESA), sperma secara


langsung diambil melalui tubulus epididimis tunggal dan terisolasi. Setelah sperma
diambil, tubulus epididimis ditutup dengan jahitan mikroskopis yang halus.
2. Percutaneous Epididymal Sperm Aspiration (PESA), teknik ini dilakukan
apabila epididimis dapat teraba. Teknik ini lebih minimal invasif namun insersi jarum ke
epididimis memungkinkan untuk melukai tubulus epididimis. Keadaan ini menyebabkan
penurunan peluang untuk mengembalikan vasektomi lebih kecil.

Sperma epididymal tidak sematur sperma vasal; sehingga sperma epididimal


membutuhkan ICSI untuk memfertilisasi sel telur. Tingkat fertilisasi sel telur mencapai 65% dan
tingkat kehamilan sbesar 50% dapat dicapai dengan sperma epididimal6.
C. Testis Sperm Retrieval

Testicular sperm extraction (TESE) diindikasikan pada keadaan:

 Pasien dengan blokade epididimis yang tidak dapat direkonstruksi


 Kegagalan testis parah

Prosedur TESE sangat bervariasi dalam hal keinvasif-an teknik operasi. Pada TESE
tradisional, sedikit jaringan testis diambil sama seperti biopsi testis reguler. Apabila
spermatogenesis diperkirakan normal, atau menurun namun terdistribusi seragam di seluruh testis
maka testicular sperm aspiration (TESA) harus dipertimbangkan. Pada kasus spermatogenesis
berkurang dan pada banyak kasus Azoospermia Non Obstruktif, perbedaan untuk keberhasilan
pengambilan dapat dilakukan dengan diseksi seluruh jaringan testis dengan bantuan microskop
surgikal (micro-TESE). Jaringan testis kemudian akan di pisahkan dari sel-sel lain di
laboratorium.Tingkat fertilisasi sel telur sebesar 60-75% dan tingkat kehamilan 40-50% dapat
dicapai walaupun motilitas dari sperma yang diambil biasanya rendah6.
Orchidopexy

Undescended testis terjadi pada 0,8% anak laki-laki usia 1 tahun dan insidensinya dapat
semakin bertambah. Pemeriksaan histologis menunjukkan pada kasus undescended testis
menunjukkan penurunan yang signifikan pada jumlah spermatogonia antara kelahiran dan usia 2
tahun. Orkidopeksi dianjurkan untuk dilakukan sebelum usia 2 tahum untuk mencegah degenerasi
sel germinal6.

Torsio testis merupakan kegawatdaruratan di bidang urologi. Data dari studi pada hewan
coba menunjukkan testis kontralateral yang tidak terpengaruh dapat mengalami kegagalan
spermatogenesis yang disebut orkidopati simpatetik. Fenomena ini disebabkan oleh reaksi
imunologis dan merupakan dasar mengapa testis non-viabel yang terpeluntir harus diambil6.

Ablasi Pituitari

Hiperprolaktinemia dari adenoma pituitari dapat diobati dengan medikamentosa maupun


surgikal. Jika adenoma dapat terlihat secara radiologis (makroadenoma), maka ablasi lesi
transsphenoidal dapat dilakukan. Bila adenoma non-visibel (mikroadenoma) maka terapi yang
dipilih adalah dengan dopamin agonis bromokriptin atau derivatnya yang lebih tepat. Studi
menunjukkan hiperprolaktinemia sendiri dapat mensupresi testis tidak bergantung pada defisiensi
gonadotropin6.

TERAPI NONSURGIKAL

Terapi Spesifik

Terapi spesifik bertujuan untuk mengembalikan patofisiologi seperti keadaan normal untuk
memperbaiki spermatogenesis dan fertilitas. Terapi ini harus berbeda dengan terapi empirik yang
bertujuan mengatasi kondisi patologis. Terapi spesifik harus diutamakan dibandingkan dengan
terapi empiris6.
A. Leukositospermia

Terapi leukospermia masih kontroversial karena tidak adanya infeksi bakteriologis.


Penyakit menular sexual, penile discharge, prostatitis, atau epididimitis penting untuk dievaluasi.
Pemeriksaan yang harus dipertimbangkan meliputi expresi sekresi prostat; urine untuk
pemeriksaan infeksi chlamydia, gonococcal, dan mikoplasma. Penggunaan antibiotik
broadspectrum seperti doxycycline atau trimethoprim-sulfamethoxazole dapat mengurangi
konsentrasi leukosit seminal atau memperbaiki fungsi sperma;.

Secara keseluruhan, pasangan wanita juga harus diterapi. Penampilan histologis dari sel
germinal imatur dapat serupa dengan leukosit pada sampel semen. Pewarnaan spesifik untuk
leukosit esterase dengan konsentrasi dari sel yang lebih besar dari 1 juta per milimeter dapat
menegakkan diagnosis.

Pada kasus leukositospermia, ejakulasi yang sering (lebih dari 3 kali sehari) dan
doxycycline dapat memberikan hasil yang lebih tahan lama daripada pemberian antibiotik saja.
Pemberian vitamin antioxidan (A, C, dan E) seperti glutathione dan asam lemak Omega-3 (minyak
ikan) dapat membantu mengurangi reactive oxygen spesies di dalam semen dan meningkatkan
motilitas sperma pada kasus leukositospermia.

B. Terapi Koital

Konseling pada isu waktu koital, frekuensi, dan penghindaran gonadotoxin dapat
memperbaiki fertilitas. Peninjauan suhu basal atau mendeteksi LH surge di urine sebelum ovulasi
penting untuk dilakukan. Sperma dapat bertahan di mukus servikal selama 48 jam dan lepas secara
kontinyu, sehingga waktu koital dan obulasi yang sama setiap harinya tidak dibutuhkan. Pada
umumnya koitus setiap hari pada saat ovulasi adalah rekomendasi yang tepat.

Ejakulasi retrograde adalah akibat dari kegagalan leher buli-buli untuk menutup pada saat
ejakulasi. Diagnosis dapat ditemukan dengan temuan sperma pada urin buli-buli post ejakulasi.
Ejakulasi retrograde dapat diterapi dengan obat-obatan simpatomimetik.

Pada kasus ejakulasi antegrade 30% pasien akan respon terhadap terapi. Beberapa hari
sebelum ejakulasi pemberian imipramin (25-50 mg dua kali sehari) atau Sudafed Plus (60 mg tiga
kali sehari) dapat memberikan perbaikan gejala. Apabila pengobatan mengalami kegagalan, teknik
pengambilan sperma dapat menggunakan IUI untuk mencapai kehamilan. Ejakulasi prematur
terjadi bila pria mengalami ejakulasi sebelum pasangannya siap. Konseling seksual dikombinasi
dengan tricyclic antidepressant atau inhibitor uptake serotoninergik akan memberikan efek yang
baik.

C. Infertilitas Imunologis

Antibodi antisperma merupakan masalah kompleks yang mendasari infertilitas pada pria.
Terapi yang dapat dipilih adalah supresi dengan pemberian kortikosteroid, sperm washing, IUI,
IVF, dan ICSI. Modalitas terapi pemberian kortikosteroid jarang digunakan karena memiliki efek
samping yang signifikan pada pemakaian jangka panjang. Tingkat kehamilan dengan IUI adalah
10-15%/siklus. Secara keseluruhan jika >50% sperma berikatan dengan antibodi, maka terapi ART
harus ditawarkan.

D. Medical Therapies

Terapi hormonal efektif digunakan secara spesifik dan bukan sebagai terapi empirik.
Terapi pergantian spesifik bertuujuan mengembalikan status fisiologis normal. Terapi empiris
bertujuan mengatasi keadaan patologis tanpa terapi yang telah terbukti.

1. Hyperprolactinemia-Kadar prolaktin normal dapat mempertahankan kadar testosteron


intratestikular yang tinggi dan mempengaruhi pertumbuhan dan sekresi kelenjar seks aksesoris.
Lesi yang terlihat diterapi dengan pembedahan transsphenoidal, dan lesi nonvisibel diterapi
dengan bromokriptin, 5-10 mg sehari untuk mengembalikan keseimbangan pituitari normal.
2. Hypothyroidism—Baik kadar thyroid yang tinggi maupun rendah dapat melumpuhkan
spermatogenesis. Maka terapi hormon tiroid hingga kondisi euthyroid efektif sebagai terapi
infertilitas.

3. Congenital adrenal hyperplasia—Most Defisiensi kortisol dan ekses produksi androgen


akibat defisiensi enzim 21-hydroxylase seringkali terjadi. Diagnosis jarang ditemukan dan
biasanya memiliki tampilan klinis yang klasi dengan penampakan pubertas prekoks. Pada pria
maupun wanita infertilitas yang berkaitan kondisi ini di terapi dengan kortikosteroid.

4. Testosterone excess/deficiency—Pasien dengan Sindroma Kallmann memiliki kadar


GnRH yang sedikit. Infertilitas yang berkaitan dengan keadaan ini dapat di terrapi dengan
pemberian hCG 1000-2000 U tiga kali setiap minggu, dan rekombinan FSH 75 IU dua kali tiap
minggu, untuk mengganti FSH dan LH. Pemberian pengganti GnRH juga dapat diberikan secara
pulsatil 25-50 ng/kg tiap 2 jam dengan syringe pump. Pasien dengan sindroma eunuch fertil atau
defisiensi LH terisolasi dapat merespon pemberian terapi hCG saja. Sperma biasanya mulai keluar
9-12 bulan setelah terapi dimulai.

TERAPI OBAT OBATAN EMPIRIS

Satu dari empat pasien dengan infertilitas memiliki penyebab yang tidak diketahui. Akibat
patofisiologi yang belum jelas, keadaan ini disebut infertilitas idiopatik. Sebanyak 70% Ahli
urologi pada umumnya akan melakukan terapi empiris pada kasus infertilitas yang idiopatik20.
Pada keadaan lainnya abnormalitas dari analisis semen dapat tidak memiliki target spesifik untuk
terapi. Kedua keadaan ini merupakan indikasi dari pemberian terapi empirik. Pada 60% ahli
urologi pada umumnya akan memberikan terapi selama 3-6 bulan20. Sebagai prinsip, setiap
pengobatan empirik perlu diperhatikan waktu pemberiannya dan harus ditentukan kapan terapi
empirik harus dihentikan.
A. Clomiphene Citrate

Clomiphene sitrat adalah antiestrogen nonsteroid sintetik yang memblok peningkatan


sekresi GnRH, FSH, dan LH. Clomiphene sitrat juga dapat meningkatkan produksi testosteron dan
memperbaiki spermatogenesis6, 21. Penggunaan pada kasus infertilitas pria adalah “di luar dari
label obat”, namun pemakaian clomiphene sitrat merupakan obat yang paling sering diberikan
untuk menangani infertilitas pada pria dan diresepkan lebih dari 90% dari kasus21. Terapi
clomiphene sitrat diberikan pada jumlah sperma rendah idiopatik dengan kadar LH, FSH, dan
testosteron rendah21. Dosis yang digunakan 12,5-50 mg/hari dapat diberikan kontinyu maupun
dengan jeda istirahat 5 hari setiap bulannya. Monitoring gonadotropin dan testosteron dilakukan
tiap 3 minggu dan dosis dapat dissesuaikan untuk menjaga kadar testosteron normal. Terapi harus
dihentikan jika tidak ada respon pada perbaikan kualitas semen setelah 6 bulan terapi 6.
B. Antioxidant Therapy

Didapatkan bukti 40% dari pria infertil mengalami peningkatan kadar reactive oxygen
species pada traktus reproduksi. Spesies tersebut dapat merusak lipid peroksidase pada membran
sperma. Terapi dengan glutation, vitamin E dan minyak ikan disarankan sebagai scavenger dari
spesies tersebut16. Namun studi yang menunjukkan efektivitas dari suplemen ini sangat sedikit
atau bahkan tidak ada.

ASSISTED REPRODUCTIVE TECHNOLOGIES

Jika terapi surgikal atau medikamentosa tidak dapat mengobati infertilitas pria, modalitas
assisted reproductive techniques (ART) dapat digunakan untuk mencapai kehamilan. Secara
umum, ART merupakan implementasi dari terapi empirik.
Intrauterine Insemination (IUI)

IUI merupakan ART yang paling sederhana dan secara umum diklasifikasikan secara
terpisah dari fertilisasi in vitro. Pada IUI ejakulat sperma akan ditaruh di dalam media washed
pellet di atas serviks di dalam uterus. Indikasi untuk melakukan prosedur IUI adalah
menghilangkan faktor servikal; bila serviks dapat dilewati, maka kehamilan dapat terjadi. IUI juga
digunakan pada keadaan kualitas sperma yang rendah, infertilitas imunologis, dan pada pria
dengan masalah mekanis dalam penyampaian sperma (mis. Hipospadia). IUI sering digunakan
pada infertilitas idiopatik. Prosedur ini bermakna jika ejakulat yang dimasukkan berjumlah 5-40
juta sperma motil. Tingkat kehamilan pada prosedur ini berkisar 8-16% tiap siklus. Tingkat
keberhasilan dapat meningkat bila pasangan wanita dilakukan stimulasi ovulasi dengan
medikamentosa.
Fertilisasi In Vitro dan ICSI

Fertilisasi in vitro melibatkan stimulasi ovarium terkontrol dan pengambilan sel telur
transvaginal dengan panduan ultrasound sebelum ovulasi normal terjadi. Sel-sel telur tersebut lalu
dikombinasikan dengan sperma yang sudah dicuci di dalam cawan petri sehingga fertilisasi dapat
terjadi. Jumlah sperma motil pasca pencucian sebanyak 500.000 sampai 5 juta sperma dibutuhkan
untuk prosedur IVF tradisional6.

ICSI merupakan prosedur injeksi mikroskopis dari sperma tunggal ke dalam rongga
subzonal dari sel telur untuk mencapai kehamilan. Kebutuhan sperma untuk melakukan fertilisasi
sel telur menurun dari ratusan ribu menjadi 1 sel sperma untuk melakukan IVF6, 14.

Diagnosis Genetik Preimplantasi

Diagnosis genetik preimplantasi merupakan teknik yang digunakan untuk menentukan


normalitas genetik dari embrio. Pada pasien yang memiliki penyakit keturunan maka kelainan
tersebut dapat diturunkan melalui IVF dan ICSI14. Teknik ini dilakukan dengan pengeluaran sel
tunggal dari embryo awal saat masih dikembangkan di dalam cawan petri sebelum ditransfer ke
uterus. Materi genetik dari sel yang di “biopsi” ini dapat diperiksa mengenai informasi genetik
yang membawa kelainan kromosom atau gen. Melalui diagnosis genetik preimplantasi, keputusan
untuk dilakukannya transfer embryo dapat dilakukan dalam 24 jam dan membantu meyakinkan
bahwa penyakit menurun yang berbahaya dapat disingkirkan6.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kolettis PN. Evaluation of the Subfertile Man. American Family Physician. 2003;67(10).
2. Wein AJ. Campbell-Walsh Urology. In: Wein AJ, editor. Campbell-Walsh Urology. 10 ed:
Saunders Elsevier; 2012. p. 616-47.
3. Bashamboo A, Ferraz-de-Souza B, Lourenco D, Lin L, Sebire NJ, Montjean D, et al. Human
male infertility associated with mutations in NR5A1 encoding steroidogenic factor 1.
American journal of human genetics. 2010;87(4):505-12.
4. Salonia A, Matloob R, Gallina A, Abdollah F, Sacca A, Briganti A, et al. Are infertile men
less healthy than fertile men? Results of a prospective case-control survey. European
urology. 2009;56(6):1025-31.
5. Eisenberg ML, Lathi RB, Baker VL, Westphal LM, Milki AA, Nangia AK. Frequency of the
male infertility evaluation: data from the national survey of family growth. The Journal of
urology. 2013;189(3):1030-4.
6. Smith & Tanagho’s General Urology. In: McAnnich J, ; Lue, T. F., editor. Smith &
Tanagho’s General Urology. Male Infertility. 18 ed. New York: McGraw - Hill; 2013. p.
687-719.
7. Cooper TG, Noonan E, von Eckardstein S, Auger J, Baker HW, Behre HM, et al. World
Health Organization reference values for human semen characteristics. Human reproduction
update. 2010;16(3):231-45.
8. Mascarenhas MN, Flaxman SR, Boerma T, Vanderpoel S, Stevens GA. National, regional,
and global trends in infertility prevalence since 1990: a systematic analysis of 277 health
surveys. PLoS medicine. 2012;9(12):e1001356.
9. Harton GL, Tempest HG. Chromosomal disorders and male infertility. Asian journal of
andrology. 2012;14(1):32-9.
10. Abdel-Meguid TA, Al-Sayyad A, Tayib A, Farsi HM. Does varicocele repair improve male
infertility? An evidence-based perspective from a randomized, controlled trial. European
urology. 2011;59(3):455-61.
11. Trottmann M, Becker AJ, Stadler T, Straub J, Soljanik I, Schlenker B, et al. Semen quality
in men with malignant diseases before and after therapy and the role of cryopreservation.
European urology. 2007;52(2):355-67.
12. Alves MG, Martins AD, Rato L, Moreira PI, Socorro S, Oliveira PF. Molecular mechanisms
beyond glucose transport in diabetes-related male infertility. Biochimica et biophysica acta.
2013;1832(5):626-35.
13. Katib A. Mechanisms linking obesity to male infertility. Central European journal of
urology. 2015;68(1):79-85.
14. Kolettis PNESS. Significant Medical Pathology Discovered During A Male Infertility
Evaluation. The Journal of Urology. 2001;166:178-80.
15. Lee HD, Lee HS, Park SH, Jo DG, Choe JH, Lee JS, et al. Causes and classification of male
infertility in Korea. Clinical and experimental reproductive medicine. 2012;39(4):172-5.
16. Gharagozloo P, Aitken RJ. The role of sperm oxidative stress in male infertility and the
significance of oral antioxidant therapy. Human reproduction. 2011;26(7):1628-40.
17. Lombardo F, Sansone A, Romanelli F, Paoli D, Gandini L, Lenzi A. The role of antioxidant
therapy in the treatment of male infertility: an overview. Asian journal of andrology.
2011;13(5):690-7.
18. Guyton AC HJE. Textbook of Medical Physiology 11th edition. 2006(Saunders Elevier).
19. Baazeem A, Belzile E, Ciampi A, Dohle G, Jarvi K, Salonia A, et al. Varicocele and male
factor infertility treatment: a new meta-analysis and review of the role of varicocele repair.
European urology. 2011;60(4):796-808.
20. Ko EY, Siddiqi K, Brannigan RE, Sabanegh ES, Jr. Empirical medical therapy for idiopathic
male infertility: a survey of the American Urological Association. The Journal of urology.
2012;187(3):973-8.
21. Bridges N, Trofimenko V, Fields S, Carrell D, Aston K, Hotaling J. Male Factor Infertility
and Clomiphene Citrate: A Meta-Analysis—The Effect of Clomiphene Citrate on
Oligospermia. Urology Practice. 2015;2(4):199-205.

Anda mungkin juga menyukai