Anda di halaman 1dari 84

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.

Z DENGAN GANGGUAN SISTEM


PERNAFASAN : PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)
DENGAN PENERAPAN TERAPI BREATHING RETRAINING : PURSED
LIPS BREATHING (PLB), DIAPHRAGMA BREATHING DAN POSISI
CONDONG KE
DEPAN (CKD) DI RUANG RAWAT INAP PARU

OLEH: HERU ADITA PUTRA, S. Kep


Pembimbing I: Nur’aini, S.Kep, Ners
Pembimbing II: Ns. Andriyani, S. Kep

BAB II
TINJAUAN TEORI

1. DEFINISI

Penyakit Paru Obstruktif Kronis adalah gangguan progresif lambat kronis ditandai
oleh obstruksi saluran pernafasan yang menetap atau sedikit reversibel, tidak
seperti obstruksi saluran pernafasan reversibel pada asma (Davey, 2003).

Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah kelainan dengan klasifikasi yang luas,
termasuk bronkitis, brokiektasis, emfisema, dan asma. Ini merupakan kondisi
yang tidak dapat pulih yang berkaitan dengan dispnea pada aktivitas fisik dan
mengurangi aliran udara (Suzanne C. Smeltzer, 2001).

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan sekumpulan penyakit paru


yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran
udara sebagai gambaraan patofisiologi utamanya.Bronkitis kronis, emfisema paru,
dan asma bronkial membentuk satu kesatuan yang disebut Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) (Sylvia Anderson Price, 2005).

Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah sejumlah gangguan yang mempengaruhi


pergerakan udara dari dan ke luar paru. Gangguan yang penting adalah bronkitis
obstruktif, efisema, dan asma bronchial (Muttaqin, 2008).

PPOK atau PPOM adalah kalsifikasi luas dari gangguan yang mencakup
bronchitis kronis, bronkiektasis, emfisema dan asma (Bruner & Suddarth, 2002).

Gambar 2.1 PPOK

1. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari
gelembung-gelembung (gelembung hawa = alveoli). Gelembung-gelembung
alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas
permukaannya lebih kurang 90 m2 pada lapisan inilah terjadi pertukaran udara, O2
masuk ke dalam darah dan C02 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung
paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan).

Pembagian paru-paru; paru-paru dibagi 2 (dua) :

1. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), Lobus Pulmo dekstra
superior, Lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh
lobulus.

2. Paru-paru kiri, terdiri dari; Pulmo sinester lobus superior dan lobus
inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil
bernama segment.

Gambar 2.2 Bagian Paru-Paru

Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah segment pada lobus
superior, dan 5 (lima) buah segment pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10
segmen yaitu : 5 (lima) buah segmen pada lobus superior, 2 (dua) buah segmen
pada lobus medialis, dan 3 (tiga) buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap
segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus.

Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikal yang berisi
pembuluh-pembuluh darah getah bening dan saraf-saraf, dalam tiap-tiap lobulus
terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang
banyak sekali, cabang-cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus
alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2 – 0,3 mm.

Letak paru-paru.

Pada rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga dada/ kavum


mediastinum. Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada
mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang
bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 (dua):

1. Pleura viseral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang


langsung membungkus paru-paru.

2. Pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar

Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada
keadaan normal, kavum pleura ini vakum/ hampa udara sehingga paru-paru dapat
berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eskudat) yang berguna untuk
meminyaki permukaannya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan
dinding dada dimana sewaktu bernapas bergerak.

Pembuluh darah pada paru

Sirkulasi pulmonar berasal dari ventrikel kanan yang tebal dinding 1/3 dan tebal
ventrikel kiri, Perbedaan ini menyebabkan kekuatan kontraksi dan tekanan yang
ditimbulkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan tekanan yang ditimbulkan oleh
kontraksi ventrikel kiri. Selain aliran melalui arteri pulmonal ada darah yang
langsung mengalir ke paru-paru dad aorta melalui arteri bronkialis. Darah ini
adalah darah “kaya oksigen” (oxygen-nated) dibandingkan dengan darah
pulmonal yang relatif kekurangan oksigen.

Darah ini kembali melalui vena pulmonalis ke atrium kiri. Arteri pulmonalis
membawa darah yang sedikit mengandung 02 dari ventrikel kanan ke paru-paru.
Cabang-cabangnya menyentuh saluran-saluran bronkial sampai ke alveoli halus.
Alveoli itu membelah dan membentuk jaringan kapiler, dan jaringan kapiler itu
menyentuh dinding alveoli (gelembung udara). Jadi darah dan udara hanya
dipisahkan oleh dinding kapiler.

Dari epitel alveoli, akhirnya kapiler menjadi satu sampai menjadi vena pulmonalis
dan sejajar dengan cabang tenggorok yang keluar melalui tampuk paru-paru ke
serambi jantung kiri (darah mengandung 02), sisa dari vena pulmonalis ditentukan
dari setiap paru-paru oleh vena bronkialis dan ada yang mencapai vena kava
inferior, maka dengan demikian paru-paru mempunyai persediaan darah ganda.

Kapasitas paru-paru. Merupakan kesanggupan paru-paru dalam menampung udara


didalamnya. Kapasitas paru-paru dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Kapasitas total. Yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paru-paru pada
inspirasi sedalam-dalamnya. Dalam hal ini angka yang kita dapat
tergantung pada beberapa hal: Kondisi paru-paru, umur, sikap dan bentuk
seseorang.

2. Kapasitas vital. Yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan setelah


ekspirasi maksima.l Dalam keadaan yang normal kedua paru-paru dapat
menampung udara sebanyak ± 5 liter.

3. Waktu ekspirasi. Di dalam paru-paru masih tertinggal 3 liter udara. Pada


waktu kita bernapas biasa udara yang masuk ke dalam paru-paru 2.600
cm3 (2 1/2 liter).

4. Jumlah pernapasan. Dalam keadaan yang normal: Orang dewasa: 16 – 18


x/menit, Anak-anak kira-kira : 24 x/menit, Bayi kira-kira : 30 x/menit,
Dalam keadaan tertentu keadaan tersebut akan berubah, misalnya akibat
dari suatu penyakit, pernafasan bisa bertambah cepat dan sebaliknya.
Beberapa hal yang berhubungan dengan pernapasan; bentuk menghembuskan
napas dengan tiba-tiba yang kekuatannya luar biasa, akibat dari salah satu
rangsangan baik yang berasal dari luar bahan-bahan kimia yang merangsang
selaput lendir di jalan pernapasan. Bersin. Pengeluaran napas dengan tiba-tiba dari
terangsangnya selaput lendir hidung, dalam hal ini udara keluar dari hidung dan
mulut.

1. KLASIFIKASI

Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah
sebagai berikut:

1. Bronkitis kronik

1. Definisi

Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari disertai


pengeluaran dahak, sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi
paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut (Brumer & Sudadarth, Smellzer, 2001
– 2002).

Istilah bronchitis kronis menunjukkan kelainan pada bronchus yang sifatnya


menahun (berlangsung lama) dan disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang
berasal dari luar bronchus maupun dari bronchus itu sendiri, merupakan keadaan
yang berkaitan dengan produksi mukus trakeobronkial yang berlebihan sehingga
cukup untuk menimbulkan batuk dengan ekspektorasi sedikitnya 3 bulan dalam
setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut-turut.

Gambar 2.3 Bronkitis Kronis

1. Etiologi

Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis akut, yaitu :

 Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus


influenzae.

 Alergi

 Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok.

 Rokok : dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lender


bronchus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.

1. Patofisiologi
Asap mengiritasi jalan nafas mengakibatkan hipersekresi lendir dan inflamasi.
Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-
sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun dan lebih banyak lendir
yang dihasilkan. Sebagai akibat bronkiolus dapat menjadi menyempit dan
tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi rusak dan
membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar yang
berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri. Pasien
kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. Penyempitan
bronkial lebih lanjut terjadi sebagai akibat perubahan fibrotik yang terjadi dalam
jalan napas. Pada waktunya mungkin terjadi perubahan paru yang ireversibel,
kemungkinan mengakibatkan emfisema dan bronkiektasis.

Gambar 2.4 Perbandingan Normal Bronkus

1. Manifestasi Klinis

 Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin adalah tanda dini.

 Batuk diperburuk oleh cuaca dingin, lembab, dan iritan paru.

 Pasien mempunyai riwayat merokok dan infeksi pernafasan.

 Suara serak.

 Sesak nafas.

1. Komplikasi

 Hipertensi paru akibat vasokontriksi hipoksia paru yang kronik yang


akhirnya dapat menyebabkan kor pulmoner.

 Kanker paru akibat metaplasia dan displasia.

1. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan analisa gas darah : hipoksia dengan hiperkapnia.

 Rontgen dada : pembesaran jantung dengan diafragma normal/ mendatar.

 Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital (VC) dan volume


ekspirasi kuat (FEV), peningkatan volume residual (RV), kapasitas paru
total (TLC) normal atau sedikit meningkat.

 Pemeriksaan hemoglobin,leokosit dan hematokrit : sedikit meningkat

Gambar 2.5 Gambaran Rontgen Bronkitis Kronis

1. Penatalaksanaan

 Tujuan utama menjaga bronkiolus terbuka.

 Memudahkan pembuangan sekresi bronkeal.

 Mencegah infeksi.

 Bronkodilator untuk menghilangkan bronkospasme dan mengurangi


obstruksi jalan nafas sehingga lebih di distribusikan ke seluruh bagaian
paru dan ventilasi alveolar diperbaiki.

 Drainase postural dan perkusi dada.

 Hidrasi yang baik membantu mengencerkan sekresi sehingga dapat mudah


dikeluarkan untuk membatukkannya.

1. Pencegahan

 Menghindari iritan pernafasan (terutama asap tembakau).

 Individu yang rentan terhadap infeksi saluran pernafasan harus di


imunisasi terhadap agens virus yang umum dengan vaksin untuk influenza
dan untuk S Pneumonia.

 Pasien dengan infeksai traktus respiratorius atas akut harus mendapat


pengobatan yang sesuai trermasuk terapi antimikroba berdasarkan
pemeriksaan kultur dan sensitivitas pada tanda pertama sputum purulen.
2. Emfisema paru

1. Definisi

Emphysema (emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh


kerusakan pada jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya. Gejala
utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di
paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.

Definisi emfisema menurut Kus Irianto, Robbins, Corwin, dan The American
Thorack society:

 Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang


dan terus menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi (Kus Irianto,
2004).

 Emfisema merupakan morfologik didefisiensi sebagai pembesaran


abnormal ruang-ruang udara distal dari bronkiolus terminal dengan
desruksi dindingnya (Robbins, 1994).

 Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat kurangnya elastisitas


paru dan luas permukaan alveoli (Corwin, 2000).

 Suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara


abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai
kerusakan dinding alveolus (The American Thorack society, 1962).

Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh


pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan. Sesuai
dengan definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa, jika ditemukan kelainan
berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan.

Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu perubahan


anatomik paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara
bagian distal bronkus terminalis, yang disertai kerusakan dinding alveolus. Sesuai
dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang
udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini
sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai “overinflation”.

Gambar 2.6 Emfisema Paru

1. Tipe Emfisema
Terdapat tiga tipe dari emfisema :

 Emfisema Centriolobular. Merupakan tipe yang sering muncul,


menghasilkan kerusakan bronchiolus, biasanya pada region paru atas.
Inflamasi berkembang pada bronchiolus tetapi biasanya kantung alveolar
tetap bersisa.

 Emfisema Panlobular (Panacinar). Merusak ruang udara pada seluruh


asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian bawah. Bentuk ini bersama
disebut centriacinar emfisema, timbul sangat sering pada seorang perokok.

 Emfisema Paraseptal. Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang


mengakibatkan isolasi dari blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal
emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumothorax spontan. Panacinar
timbul pada orang tua dan klien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin.
Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi pulmoner,
seringkali Cor Pulmonal (CHF bagian kanan) timbul.

1. Etiologi

 Faktor Genetik

Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik


diataranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan
kadar imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat
penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.

 Hipotesis Elastase-Anti Elastase

Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti
elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan keseimbangan
menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul
emfisema.

 Rokok

Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok secara patologis
dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat
fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan.

 Infeksi

Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga
gejalanya lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia,
bronkiolitis akut dan asma bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas,
yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema. Infeksi pernapasan
bagian atas pasien bronkitis kronik selalu menyebabkan infeksi paru bagian
dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi
paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae.

 Polusi

Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka
kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat
industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan
gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor
penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah
merokok resiko akan lebih tinggi.

 Faktor Sosial Ekonomi

Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin
kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor lingkungan
dan ekonomi yang lebih jelek.

 Pengaruh usia

1. Patofisiologi

Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu : inflamasi
dan pembengkakan bronki; produksi lendir yang berlebihan; kehilangan rekoil
elastik jalan napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang
berfungsi.

Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang


kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan
peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat
terjadi) dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen
mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbondioksida
mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam
darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius.

Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring-jaring kapiler


pulmonal berkurang. darah yang tinggi dalam arteri pulmonal. Dengan demikian,
gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu komplikasai
emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai, distensi vena leher atau nyeri
pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung.

1. Manifestasi Klinis
 Dispnea

 Takipnea

 Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan

 Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh bidang paru

 Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan ekspirasi

 Hipoksemia

 Hiperkapnia

 Anoreksia

 Penurunan BB

 Kelemahan

1. Komplikasi

 Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan

 Daya tahan tubuh kurang sempurna

 Tingkat kerusakan paru semakin parah

 Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas

 Pneumonia

 Atelaktasis

 Pneumothoraks

 Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.

 Sering mengalami infeksi ulang pada saluran pernapasan

1. Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksan radiologis, pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam


menegakkan diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto
dada pada emfisema paru terdapat dua bentuk kelainan, yaitu:
1. Gambaran defisiensi arter

Overinflasi, terlihat diafragma yang rendah dan datar, kadang-kadang terlihat


konkaf. Oligoemia, penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan
corakan ke distal.

1. Corakan paru yang bertambah, sering terdapat pada kor pulmonal,


emfisema sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat.

 Pemeriksaan fungsi paru, pada emfisema paru kapasitas difusi menurun


karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.

 Analisis Gas Darah Ventilasi, yang hampir adekuat masih sering dapat
dipertahankan oleh pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau
normal. Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi.

 Pemeriksaan EKG, Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock
wise Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan
P-pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah. Di V1
rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang dari 1.

 Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya


diafragma, peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda
vaskularisasi/ bula (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler
(bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).

Gambar 2.7 Gambaran Rontgen Emfisema Paru

1. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan emfisema paru terbagi atas:

 Penyuluhan

Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal
yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.

 Pencegahan

1. Rokok, merokok harus dihentikan meskipun sukar.Penyuluhan dan


usaha yang optimal harus dilakukan.
2. Menghindari lingkungan polusi, sebaiknya dilakukan penyuluhan
secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada pabrik-pabrik
yang mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap
saluran nafas.

3. Vaksin, dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi,


terutama terhadap influenza dan infeksi pneumokokus.

 Terapi Farmakologi, tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi


jalan nafas yang masih mempunyai komponen reversible meskipun
sedikit. Hal ini dapat dilakukan dengan:

1. Pemberian Bronkodilator

Golongan teofilin, biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral
dengan memperhatikan kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang
baik antara 10-15mg/L. Golongan agonis B2, biasanya diberikan secara
aerosol/nebuliser. Efek samping utama adalah tremor, tetapi menghilang dengan
pemberian agak lama.

1. Pemberian Kortikosteroid

Pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan berhasil mengurangi


obstruksi saluran nafas. Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba
pemberian kortikosteroid selama 3-4 minggu. Kalau tidak ada respon baru
dihentikan.

1. Mengurangi sekresi mucus

Minum cukup, supaya tidak dehidrasi dan mukus lebih encer sehingga urine tetap
kuning pucat. Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril guaiakolat,
kalium yodida, dan amonium klorida. Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air
menurunkan viskositas dan mengencerkan sputum. Mukolitik dapat digunakan
asetilsistein atau bromheksin.

1. Fisioterapi dan Rehabilitasi

Tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas fungsional dan


kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari segi social, emosional dan
vokasional. Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk : Mengeluarkan
mukus dari saluran nafas, memperbaiki efisiensi ventilasi, dan emperbaiki dan
meningkatkan kekuatan fisis.
1. Pemberian O2 dalam jangka panjang

Pemberian O2 dalam jangka panjang akan memperbaiki emfisema disertai


kenaikan toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul
pada waktu tidur atau waktu latihan. Menurut Make, pemberian O2 selama 19
jam/hari akan mempunyai hasil lebih baik dari pada pemberian 12 jam/hari.

3. Bronkiektasis

4. Definisi

Bronkiektasis merupakan kelainan morfologis yang terdiri dari pelebaran bronkus


yang abnormal dan menetap disebabkan kerusakan komponen elastis dan
muscular dinding bronkus (Soeparman & Sarwono, 1990).

Bronkiektasis berarti suatu dilatasi yang tak dapat pulih lagi dari bronchial yang
disebabkan oleh episode pnemonitis berulang dan memanjang, aspirasi benda
asing, atau massa (misal : neoplasma) yang menghambat lumen bronchial dengan
obstruksi (Hudak & Gallo, 1997).

Bronkiektasis adalah dilatasi permanen abnormal dari salah satu atau lebih
cabang-cabang bronkus yang besar (Barbara E, 1998).

Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang mungkin


disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus,
aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas,
dan tekanan akibat tumor, pembuluh darah yang berdilatasi, dan pembesaran
nodus limfe (Bruner & Suddarth).

Gambar 2.8 Bronkiektasis

1. Klasifikasi Bronkiektasis

Berdasarkan atas bronkografi dan patologi bronkiektasis dapat dibagi menjadi 3


yaitu:

 Bronkiektasis silindris mengalami dilatasi yang simetris.

 Bronkiektasis fusiform terdapat deformitas bronkhiolus.

 Bronkiektasis kistik atau sakular bronkus yang besar dapat melebar dan
berbentuk seperti balon.

1. Etiologi
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor
risiko yang terdapat pada penderita antara lain:

 Merokok sigaret yang berlangsung lama

 Polusi udara

 Infeksi paru berulang

 Defisiensi alfa-1 antitripsin

 Defisiensi anti oksidan

Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah


saling memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan.

1. Patofisiologi

Infeksi merusak dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur


pendukungnya dan menghasilkan sputum yang kental yang akhirnya dapat
menyumbat bronki. Dinding bronkial menjadi teregang secara permanen akibat
batuk hebat. Infeksi meluas ke jaringan peribronkial sehingga dalam kasus
bronkiektasis sakular, setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru,
yang eksudatnya mengalir bebas melalui bronkus. Bronkiektasis biasanya
setempat, menyerang lobus atau segmen paru. Lobus yang paling bawah lebih
sering terkena.

Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya menyebabkan


alveoli di sebelah distal obstruksi mengalami kolaps (ateletaksis). Jaringan parut
atau fibrosis akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru yang berfungsi.
Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernapasan dengan penurunan
kapasitas vital, penurunan ventilasi dan peningkatan rasio volume residual
terhadap kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi
(ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksemia.

1. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok:

 Mempunyai gambaran klinik dominant kearah bronchitis kronis (blue


bloater).

 Mempunyai gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers).


Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:

 Kelemahan badan

 Batuk

 Sesak napas

 Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi

 Mengi atau wheeze

 Ekspirasi yang memanjang

 Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut

 Penggunaan otot bantu pernapasan

 Suara napas melemah

 Kadang ditemukan pernapasan paradoksal

 Edema kaki, asites dan jari tabuh

1. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:

 Pemeriksaan radiologist

Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang


parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah
bayangan bronkus yang menebal.

2. Corak paru yang bertambah.

3. Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan


bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink
puffer.

4. Corakan paru yang bertambah.

5. Pemeriksaan faal paru.


Gambar 2.9 Gambaran Rontgen Bronkiektasis

Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah
dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan
KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory
flow rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal.
Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini
perubahan hanya pada saluran napas kecil (small airways). Pada emfisema
kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.

 Analisa Gas Darah

Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi
vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik
merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada
kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja
lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.

 Pemeriksaan EKG

Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat
kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III,
dan aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S
kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.

 Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.

 Laboratorium darah lengkap.

1. Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan adalah memperbaiki drainage sekret dan pengobatan infeksi.

Penatalaksanaan meliputi :

 Pengendalian infeksi akut maupun kronik. Pemberian antibiotik dengan


spekrum luas (ampisillin, kotrimoksasol, atau amoxicilin) selama 5-7 hari
pemberian.
 Fisioterapi dada dan postural drainase dengan teknik ekspirasi paksa untuk
mengeluarkan secret.

 Aerosal dengan garam faali atau beta agonis.

 Hidrasi yang adekuat untuk mencegah sekret menjadi kental dan


dilengkapi dengan alat pelembab serta nebulizer untuk melembabkan
sekret.

 Cortikosteroid bila ada bronchospasme yang hebat.

4. Asthma Bronchiale

5. Definisi

Asthma adalah suatu gangguan pada saluran bronchial yang mempunyai ciri
bronchospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran nafas). Asthma
merupakan penyakit yang kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor
biochemical, endokrin, infeksi, otonomik dan psikologi.

1. Tipe Asthma

Asthma terbagi menjadi alergi, idiopatik, non alergik atau campuran (mixed) :

 Asthma Alergik/ Ekstrinsik

Merupakan suatu bentuk asthma dengan penyebab allergen (misal: bulu binatang,
debu, ketombe, tepung sari, makanan, dll). Alergen terbanyak adalah airborne dan
seasonal (musiman). Pasien dengan asthma alergik biasanya mempunyai riwayat
penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan exzema atau rhinitis
alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asthma. Bentuk
asthma ini biasanya dimulai saat kanak-kanak.

 Idiopathic atau Nonallergic Asthma/ Intrinsik

Tidak berhubungan secara langsung dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti


common cold, infeksi saluran nafas atas, kegiatan, emosi dan polusi lingkungan
akan mencetuskan serangan. Beberapa agent pharmakologi, beta-adrenergic
antagonist dan agent sulfite (penyedap makanan) juga dapat sebagai faktor.
Serangan dari asthma idiopatik atau nonalergik menjadi lebih berat dan seringkali
dengan berjalannya waktu dan dapat berkembang menjadi bronchitis dan
emfisema. Beberapa pasien berkembang menjadi asthma campuran. Bentuk
asthma ini biasanya dimulai pada saat dewasa (> 35 tahun).

 Asthma Campuran (Mixed Asthma)

Merupakan bentuk asthma yang paling sering. Dikarakteristikkan dengan bentuk


kedua jenis asthma alergi dan idiopatik atau nonalergi.

1. Etiologi

Sampai saat ini etiologi asthma belum diketahui dengan pasti, suatu hal yang
menonjol pada semua penderita asthma adalah fenomena hiperreaktivitas
bronchus.

Bronchus penderita asthma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun


non-imunologi. Karena sifat inilah maka serangan asthma mudah terjadi akibat
berbagai rangsangan baik fisis, metabolik, kimia, alergen, infeksi dan sebagainya.
Rangsangan atau pencetus yang sering menimbulkan asthma perlu diketahui dan
sedapat mungkin dihindarkan.

Faktor-faktor tersebut adalah :

 Alergen utama : debu rumah, spora jamur dan tepung sari rerumputan.

 Iritan seperti asap, bau-bauan, polutan.

 Infeksi saluran nafas terutama yang disebabkan oleh virus.

 Perubahan cuaca yang ekstrim.

 Kegiatan jasmani yang berlebihan.

 Lingkungan kerja.

 Obat-obatan.

 Lain-lain : seperti reflux gastro esofagus.

1. Gambaran Klinis
Gejala asthma terdiri dari triad : dispnea, batuk dan mengi, gejala yang disebutkan
terakhir sering dianggap sebagai gejala yang harus ada (“sine qua non”).

Objektif

 Sesak nafas yang berat dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing.

 Dapat disertai batuk dengan sputum kental, sulit dikeluarkan.

 Bernafas dengan menggunakan otot-otot nafas tambahan

 Cyanosis, tachicardia, gelisah, pulsus paradoksus.

 Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing (di apex dan hilus)

Subjektif

 Klien merasa sukar bernafas, sesak, anoreksia.

Psikososial

 Cemas, takut dan mudah tersinggung.

 Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi penyakitnya.

1. Patofisiologi

Asthma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang dikendalikan oleh
limfosit T dan B dan diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul IgE
yang berikatan dengan sel mast. Sebagian besar alergen yang mencetuskan asthma
bersifat airborne dan supaya dapat menginduksi keadaan sensitivitas, alergen
tersebut harus tersedia dalam jumlah banyak untuk periode waktu tertentu. Akan
tetapi sekali sensitisasi telah terjadi pasien akan memperlihatkan respon yang
sangat baik sehingga sejumlah kecil alergen yang mengganggu sudah dapat
menghasilkan eksaserbasi penyakit yang jelas.

Obat yang paling sering berhubungan dengan induksi episode akut asthma adalah
aspirin, bahan pewarna seperti tartazin, antagonis beta-adrenergik dan bahan
sulfat. Sindroma pernafasan sensitif-aspirin khusus terutama mengenai orang
dewasa, walaupun keadaan ini juga dapat dilihat pada masa kanak-kanak. Masalah
ini biasanya berawal dari rhinitis vasomotor perennial yang diikuti oleh
rhinosinusitis hiperplastik dengan polip nasal. Baru kemudian muncul asthma
progresif. Pasien yang sensitif terhadap aspirin dapat didesentisasi dengan
pemberian obat setiap hari. Setelah menjalani bentuk terapi ini, toleransi silang
juga akan terbentuk terhadap agen anti-inflamasi non-steroid lain.
Mekanisme dengan aspirin dan obat lain dapat menyebabkan bronkospasme tidak
diketahui tetapi mungkin berkaitan dengan pembentukan leukotrien yang
diinduksi secara khusus oleh aspirin. Antagonis beta-adrenergik biasanya
menyebabkan obstruksi jalan nafas pada pasien asthma demikian juga dengan
pasien lain dengan peningkatan reaktifitas jalan nafas dan harus dihindarkan pada
pasien ini. Obat sulfat, seperti kalium metabisulfit, kalium dan natrium bisulfit,
natrium sulfit dan sulfat klorida, yang secara luas digunakan dalam industri
makanan dan farmasi sebagai agen sanitasi dan pengawet juga dapat
menimbulkan obstruksi jalan nafas akut pada pasien yang sensitif. Pajanan
biasanya terjadi setelah menelan makanan atau cairan yang mengandung senyawa
ini, misal, salad, buah segar, kentang, kerang dan anggur.

Pencetus-pencetus serangan di atas ditambah cetusan lainnya dari internal pasien


akan mengakibatkan timbulnya reaksi antigen dan antibodi yang mengakibatan
dikeluarkan substansi pereda alergi yang sebetulnya merupakan mekanisme tubuh
dalam menghadapi serangan yang dapat berupa dikeluarkannya histamin,
bradikinin dan anafilatoksin. Hasil dari hal tersebut timbul 3 gejala yaitu
berkontraksinya otot polos, peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan
sekresi mukus.

1. PENATALAKSANAAN PPOK

Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:

 Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada


fase akut, tetapi juga fase kronik.

 Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.

 Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat


dideteksi lebih awal.

Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:

 Meniadakan faktor etiologi/ presipitasi, misalnya segera menghentikan


merokok, menghindari polusi udara.

 Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.

 Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi


antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat
sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas
atau pengobatan empirik.
 Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan
kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih
kontroversial.

 Pengobatan simtomatik.

 Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.

 Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan


dengan aliran lambat 1 – 2 liter/menit.

Tindakan rehabilitasi yang meliputi:

 Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret


bronkus.

 Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan


pernapasan yang paling efektif.

 Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan
kesegaran jasmani.

 Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat


kembali mengerjakan pekerjaan semula.

Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)

 Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara.

 Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :

1. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi


Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S.
Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau
eritromisin 4×0.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam
klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah
H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase
Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau
doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti
mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan
peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode
eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
2. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan
karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO

3. Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan


baik.

4. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di


dalamnya golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien
dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250
mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 –
0,56 IV secara perlahan.

 Terapi jangka panjang di lakukan :

1. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4×0,25-


0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.

2. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas


tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan
obyektif dari fungsi faal paru.

3.

4) Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.

 Mukolitik dan ekspektoran.

 Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas
tipe II dengan PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg).

 Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri


dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari
depresi.

1. PENGKAJIAN DIAGNOSTIK PPOK

2. Chest X-Ray

Dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan ruang


udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/ bulla (emfisema), peningkatan
bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi
(asthma).

2. Pemeriksaan Fungsi Paru


Dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan abnormalitas
fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat
disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal : bronchodilator.

3. TLC

Meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun pada
emfisema.

4. Kapasitas Inspirasi

Menurun pada emfisema.

5. FEV1/FVC

Ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC)
menurun pada bronchitis dan asthma.

6. ABGs

Menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan PaCO2


normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali
menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan
sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).

7. Bronchogram

Dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps bronchial pada
tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronchitis).

8. Darah Komplit

Peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinofil (asthma).

9. Kimia Darah

Alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada emfisema primer.

10. Sputum Kultur


Untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan
sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.

11. ECG

Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia


(bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis, emfisema),
axis QRS vertikal (emfisema)

12. Exercise ECG, Stress Test

Menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat


bronchodilator, merencanakan/ evaluasi program.

1. KOMPLIKASI PPOK

2. Hipoxemia

Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,


dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami
perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul
cyanosis.

2. Asidosis Respiratory

Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul
antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.

3. Infeksi Respiratory

Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,


peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya
aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.

4. Gagal jantung

Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus


diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali
berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga
dapat mengalami masalah ini.

5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory.

6. Status Asmatikus

Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial.


Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak
berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu
pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.

1. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS PASIEN DENGAN PPOK

1. Pengkajian

2. Identitas klien

Nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, alamat, nama penanggung jawab,


hubungan dengan pasien.

1. Riwayat penyakit

 Riwayat penyakit sekarang

Batuk dan sesak nafas, sesak bertambah berat , Sesak nafas dan batuk tidak
berhubungan dengan aktivitas dan sesak nafas dan batuk pada waktu setelah
berbaring atau tiduran, duduk, berdiri maupun berjalan. Beberapa bulan yang lalu
batuk berdahak, kental berwarna putih kekuningan serta agak berbau.

 Riwayat penyakit dahulu

Sesak nafas sebelumnya, mempunyai riwayat Asthma Bronkiale. Klien


mempunyai riwayat perokok.

 Riwayat penyakit keluarga

Apakah ada keluarga yang mengindap penyakit yang sama dengan klien.

1. Keadaan kesehatan lingkungan.

Kebersihan tempat tinggal, dan apakah ada sekitar tempat tinggal yang mengindap
TBC.

1. Pemeriksaan fisik
 Kedaan umum : baik

 Kesadaran : CM

 Tanda tanda vital :

Tekanan darah (terjadi peningkatan tekanan darah), pernafasan (sesak nafas), nadi,
dan suhu.

 Body system

1. Sistem pernafasan

Gejala : Dispnea, rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas (asma),


batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari minimal 3 bulan berturut-turut
tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum banyak sekali (bronkitis kronis).
Episode batuk hilang timbul biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun
bisa menjadi produktif (emfisema).

Tanda : Fase ekspirasi memanjang, penggunaan otot bantu pernafasan, dada


bentuk barrel chest. Hiperesonan pada emfisema, krekels pada bronkitis kronis,
ronki dan wheezing pada asma, sianosis, clubbing finger pada emfisema.

1. Sistem sirkulasi

Tanda : Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung, takikardia,


distensi ven aleher, edema, sianosis, clubbing finger.

1. Sistem persepsi sensori

1. Pendengaran klien pada telinga kiri maupun kanan.

2. Penciuman: Klien dapat membedakan rasa yang kurang sedap seperti rasa
bau dari dahak yang dikeluarkan pada saat batuk.

 Pengecapan: Klien dapat membedakan rasa pahit, manis, serta asin.

1. Penglihatan: Mata kiri maupun kanan dalam batas normal. Apakah


ditemukan adanya katarak maupun gangguan mata lainnya.

2. Perabaan : Klien dapat membedakan rasa panas, dingin maupun tekanan.

1. Aktivitas

Gejala : Keletihan, kelelahan, malaise, ketidakmampuan melakukan aktifitas


sehari-hari, dispnea saat istirahat atau tidur, ketidakmampuan dalam tidur.
Tanda : Keletihan, kelemahan umum, gelisah, insomnia.

1. Nutirsi/ hidrasi

Gejala : Mual, muntah, nafsu makan kurang, penurunan berat badan atau
peningkatan berat badan karena edema.

Tanda : Turgor kulit jelek, edema, penurunan/ peningkatan BB.

1. Hiegiene

Gejala : Penurunan kemampuan.

Tanda : Kebersihan kurang, bau badan.

Analisa Data Teoritis

Tabel 2.1 Analisa data

No. Data Etiologi Masalah


1. DS: Infeksi, hyperplasia Bersihan jalan
dinding bronkus, nafas tidak
a. Biasanya klien mengatakan sekresi bronkus, efektif
bahwa dadanya rasa tertekan. adanya eksudat di
alveolus.
b. Biasanya klien mengatakan
bahwa ia tidak mampu untuk bernafas
(asma).

c. Biasanya klien mengatakan


batuknya menetap dengan produksi
sputum setiap hari minimal 3 bulan
berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2
tahun.

DO:

a. Biasanya produksi sputum


banyak sekali (bronkitis kronis).

b. Biasanya klien tampak sesak


nafas

c. Biasanya RR klien lebih dari


24x permenit

DS:

a. Biasanya klien mengatakan


bahwa dadanya rasa tertekan.

b. Biasanya klien mengatakan


sesak napas pada saat aktivitas.

c. Biasanya klien merasa sukar


bernafas dan sesak.

Ketidakseimbangan
perfusi ventilasi.
DO: Gangguan
2.
pertukaran gas
a. Biasanya Fase ekspirasi
memanjang

b. Biasanya terdapat penggunaan


otot bantu pernafasan

c. Biasanya terjadi peningkatan


tekanan darah

3. DS: Anoreksia, Perubahan


produksi sputum, nutrisi kurang
a. Biasanya klien mengatakan efek samping obat, dari kebutuhan
bahwa ia tidak nafsu makan. kelemahan dan tubuh
dispneu.
b. Biasanya klien mengatakan
mual.

DO:
a. Biasanya klien anoreksia

b. Biasanya turgor kulit jelek

c. Biasanya terjadi penurunan

DS:

a. Biasanya klien mengatakan


bahwa badannya terasa lemah.

b. Biasanya lien mengatakan nafsu


makan berkurang.

Tidak adekuatnya
4. imunitas, Resiko infeksi
DO: malnutrisi.

a. Biasanya klien tampak lemah

b. Biasanya Leukosit diatas normal


( lebih dari 10000)

2. Diagnosa Keperawatan

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan infeksi,


hyperplasia dinding bronkus, sekresi bronkus, adanya eksudat di
alveolus.

2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan


perfusi ventilasi.

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan anoreksia, produksi sputum, efek samping obat, kelemahan
dan dispneu.

4. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya imunitas,


malnutrisi.
Analisa Data
Pengkajian
yang dilakukan
penulis, penulis menganalisa data
yang ada sehingga muncul masalah
keperawatan yaitu: jalan napas
tidak efektif dengan keluhan pasien
mengatakan sesak napas dan sering
batuk
-
batuk di sertai dahak (sekret)
dan merasa sesak napas yang
kemudia
n di bawa ke RS oleh
keluarganya, dengan RR:
30x/menit, pasien tampak sesak
napas dan pernapasan pendek,
irama pernapasan dangkal, terlihat
memakai tarikan dada saat
bernapas, warna kulit
sianosis
dibagian akral, suara napas saat di
auskultasi ronchi.
Kem
udian
muncul masalah
keperawatan Intoleransi aktivitas
dengan etiologi Ketidak
8
seimbangan suplai & kebutuhan
oksigen dengan keluhan pasien
mengatakan mudah lelah dan
capek saat berjalan, selama di RS
hanya beraktifitaas di tempat tidur
dan kekamar mandi sa
ja harus di
bantu dan saat berjalan terasa
sesak. Dengan TD: 154/90 mmhg,
N:82x/menit, RR: 30x/menit, S:
36,60C, pasien di bantu oleh
anggota keluarganya saat ke kamar
mandi, pasien terlihat sesak napas
saat pulang dari kamar mandi.
Masalah keperawatan
sel
anjutnya yang muncul dari hasil
analisa data yang
di lakukan oleh
penulis adalah g
angguan poa tidur
dengan keluhan pasien mengatakan
sulit tidur karena terlalu bringsik
dan ramai, pasien mengatakan tidur
5 jam di malam hari dan sering
terbangun dengan dura
si 1 jam
terbangun 1 kali dan tidak pernah
tidur di siang hari, dengan TD :
154/90 mmhg, RR: 30 x/menit, N:
82x/
menit, S: 36,60C, pasien
terlihat lemas dan mata nya terihat
sayup karena kurang tidur.
C.
Diagnosa
Keperawatan Dan
Rencana
Keperawatan
Penulis
merum
u
skan
beberapa
diagnose
keperawatan
antara lain :
a)
Ketidakefekti
f
an
bersihan
jalan
napas
berhubungan
dengan
produksi
mu
k
us
berlebih
b)
Intoleransi
aktivitas
berhubungan
dengan
ket
i
dakseimbangan
kebutuhan
dan
suplai
o
k
sigen
c)
Gangguan
pola
tidur
berhubungan
dengan
factor
lingkungan (terlalu
ramai)
.
D. Implementasi
K
etidak
efektif
an
bersihan
jalan napas berhubungan dengan
produksi mukus berlebih
penu
l
is
melakukan implementasi yaitu
:
memonitoring TTV
, memberikan
posisi semi fowler, memonitoring
pemberian terapi
O2, meng
ajarkan
napas dalam dan
batuk efektif,
memotivasi minum air hangat,
memotivasi pasien untuk sering
melakukan napas dalam dan batuk
efektif, kolaborasi pemberian
terapi obat
ventolin
melalui
nebulizer
.
9
I
ntoleransi aktifitas
berhubungan dangan
keti
dakse
imbangan kebutuhan dan
suplai ok
sigen penulis melakukan
implementasi yaitu mengkaji
respons pasien taerhadap aktivitas
(memonitoring TTV, dispnea,
kelelahan sebelum, saat dan setelah
aktivitas), memdiskusikan aktivitas
yang sesuai, membantu memiih
akt
ivitas yang sesuai,
menganjurkan pasien untuk
melakukan aktivitas sesuai dengan
kesepakatan (jalan
-
jalan di
ruangan/di taman), monitoring
pemberian terapi O2, mengkaji
keadaan pasien setelah aktivitas.
Gangguan pola t
idur
berhubungan dengan faktor
lingkung
an (terlalu ramai), penulis
melakukan implementasi yaitu
m
engkaji pola tidur pasien
,
mendiskusi
kan dan menjelaskan
kembali tentang penting nya
istirahat (tidur
) yang adekuat yaitu
6
-
8 jam/hari, m
enganjurkan pasien
untuk tidur siang
,m
embicaran hal
-
hal yang
dilakukan
sebelum tidur
.

Latar Belakang
Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, tidak hanya oleh
perorangan, tetapi juga oeh kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Sehat adalah
suatu keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Status kesehatan dipengruhi oleh
faktor biologik, lingkungan dan pelayanan kesehatan. Faktor biologik merupakan
faktor yang berasal dari dalam individu atau faktor keturunan misalnya pada
penyakit alergi (Mansjoer, 2000).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena
bronkitis kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif,
bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible. Bronkitis
kronis ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak,
sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit
selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai
dengan melebarnya secara abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000).
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pada tahun 2010
diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan keempat sebagai penyebab
kematian. Prevalensi terjadinya kematian akibat rokok pada penyakit penyakit
paru obstruksi kronis pada tahun 2010 sebanyak 80-90 % (Kasanah, 2011).
Data yang diperoleh di Rekam Medis Rumah Sakit Margono Purwokerto pada
bulan Januari sampai Maret 2014 didapatkan data sebanyak 30 % pasien
menderita penyakit paru obstruksi kronis (RS Margono Soekardjo, 2014).

Maka dari itu, penulis tertarik untuk mengangkat kasus ini dalam suatu asuhan
keperawatan yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Pada Tn. B Dengan Gangguan Sistem Pernafasan :
Penyakit Paru Obstruksi Kronis Di Ruang Asoka RS Prof. Dr. Margono Soekardjo
Purwokerto”. Alasan penulis tertarik untuk mengambil kasus ini adalah karena
penyakit ini memerlukan pengobatan dan perawatan yang optimal sehingga
perawat memerlukan ketelatenan untuk dapat memelihara, mengembalikan fungsi
paru dan kondisi pasien sebaik mungkin. Penyakit ini akan terus mengalami
perkembangan yang progresif dan belum ada penyembuhan secara total. Maka
dari itu, perawat terfokus untuk melakukan perawatan yang meliputi terapi obat,
perubahan gaya hidup, terapi pernafasan dan juga dukungan emosional bagi
penderita penyakit paru obstruksi kronis (Reeves, 2001).

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada laporan kasus ini adalah “Bagaimana Asuhan
Keperawatan Pada Tn. B Dengan Gangguan Sistem Pernafasan : Penyakit Paru
Obstruksi Kronis Di Ruang Asoka RS Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto”.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran nyata tentang asuhan keperawatan pada pasien
dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis.
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis.
c. Mampu merencanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis.
d. Mampu melakukan rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis.
e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis.
f. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis.

D. Manfaat
1. Rumah Sakit
Laporan kasus ini dapat menjadi masukan dalam melakukan pelayanan
peningkatan asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK
2. Institusi Pendidikan
Laporan kasus ini di harapkan dapat menjadi bahan pustaka yang dapat
memberikan gambaran pengetahuan mengenai PPOK.
3. Profesi Perawat
Laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan bagi tenaga
kesehatan untuk mengadakan penyuluhan tentang kesehatan mengenai PPOK dan
bahayanya.
BAB II

KONSEP DASAR

A. Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena
bronkitis kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif,
bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible. Bronkitis
kronis ditandai dengan batuk-batuk hamper setiap hari disertai pengeluaran dahak,
sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit
selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai
dengan melebarnya secara abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000).

B. Etiologi
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Mansjoer (2000) adalah :
1. Kebiasaan merokok.
2. Polusi udara.
3. Paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
4. Riwayat infeksi saluran nafas.
5. Bersifat genetik yaitu defisiensi alfa satu antitripsin.
Brashers (2007) menambahkan faktor-faktor yang menyebabkan penyakit paru
obstruksi kronis adalah :
1. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok
menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan
fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan
dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi
pada anak.
2. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada
kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang
diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.
3. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan
rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko
terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan
klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
4. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko
morbiditas PPOK.

C. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis adalah :
1. Batuk.
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas.
Reeves (2001) menambahkan manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis adalah :
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi
kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-
batuk dan produksi dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas
pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi
dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten
yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan
berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan
mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang
menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan
secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan
yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi
dahak yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera
makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak
cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK
lebih membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga
dalam melakukan pernafasan.

D. Patofisiologi / pathway
Patofisiologi menurut Brashers (2007), Mansjoer (2000) dan Reeves (2001)
adalah :
Asap rokok, polusi udara dan terpapar alergen masuk ke jalan nafas dan
mengiritasi saluran nafas. Karena iritasi yang konstan ini , kelenjar-kelenjar yang
mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun,
dan lebih banyak lendir yang dihasilkan serta terjadi batuk, batuk dapat menetap
selama kurang lebih 3 bulan berturut-turut. Sebagai akibatnya bronkhiolus
menjadi menyempit, berkelok-kelok dan berobliterasi serta tersumbat karena
metaplasia sel goblet dan berkurangnya elastisitas paru. Alveoli yang berdekatan
dengan bronkhiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis mengakibatkan
fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel
asing termasuk bakteri, pasien kemudian menjadi rentan terkena infeksi.

Infeksi merusak dinding bronchial menyebabkan kehilangan struktur


pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat
bronki. Dinding bronkhial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat.
Sumbatan pada bronkhi atau obstruksi tersebut menyebabkan alveoli yang ada di
sebelah distal menjadi kolaps. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi
pernafasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi, dan
peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas total paru sehingga terjadi
kerusakan campuran gas yang diinspirasi atau ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi.
Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi sebagai akibat dari
berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara. Ketidakseimbangan
ventilasi–perfusi ini menyebabkan hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dalam
darah. Keseimbangan normal antara ventilasi alveolar dan perfusi aliran darah
kapiler pulmo menjadi terganggu. Dalam kondisi seperti ini, perfusi menurun dan
ventilasi tetap sama. Saluran pernafasan yang terhalang mukus kental atau
bronkospasma menyebabkan penurunan ventilasi, akan tetapi perfusi akan tetap
sama atau berkurang sedikit.
Berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara menyebabkan
perubahan pada pertukaran oksigen dan karbondioksida. Obstruksi jalan nafas
yang diakibatkan oleh semua perubahan patologis yang meningkatkan resisten
jalan nafas dapat merusak kemampuan paru-paru untuk melakukan pertukaran
oksigen atau karbondioksida. Akibatnya kadar oksigen menurun dan kadar
karbondioksida meningkat. Metabolisme menjadi terhambat karena kurangnya
pasokan oksigen ke jaringan tubuh, tubuh melakukan metabolisme anaerob yang
mengakibatkan produksi ATP menurun dan menyebabkan defisit energi.
Akibatnya pasien lemah dan energi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi juga menjadi berkurang yang dapat menyebabkan anoreksia.
Selain itu, jalan nafas yang terhambat dapat mengurangi daerah permukaan
yang tersedia untuk pernafasan, akibat dari perubahan patologis ini adalah
hiperkapnia, hipoksemia dan asidosis respiratori. Hiperkapnia dan hipoksemia
menyebabkan vasokontriksi vaskular pulmonari, peningkatan resistensi vaskular
pulmonary mengakibatkan hipertensi pembuluh pulmonary yang meningkatkan
tekanan vascular ventrikel kanan atau dekompensasi ventrikel kanan.
E. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Doenges (2000) antara lain :
1. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma,
peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi atau bula
(emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkhitis), hasil normal selama
periode remisi (asma).
2. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah
fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat
disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi misalnya bronkodilator.
3. Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma, penurunan
emfisema.
4. Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.
5. Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
6. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat dengan
kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma.
7. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis
misalnya paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat
(bronkhitis kronis dan emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH normal
atau asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder terhadap hiperventilasi
(emfisema sedang atau asma).
8. Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps
bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang
terlihat pada bronkus.
9. Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
10. Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan
defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
11. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen,
pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
12. Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma
berat), disritmia atrial (bronchitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF
(bronchitis, emfisema), aksis vertikal QRS (emfisema).
13. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji derajat
disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan atau
evaluasi program latihan.

F. Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah
infeksi nafas yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena keadaan
hipoksia kronik, gagal nafas dan kor pulmonal.
Reeves (2001) menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi
pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute
Respiratory Failure), pneumotoraks dan giant bullae serta ada satu komplikasi
kardiak yaitu penyakit cor-pulmonale.
1. Acute Respiratory Failure (ARF).
Acute Respiratory Failure (ARF) terjadi ketika ventilasi dan oksigenasi tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh saat istirahat. Analisa gas darah bagi
pasien penyakit paru obstruksi menahun menunjukkan tekanan oksigen arterial
PaO2 sebesar 55 mm Hg atau kurang dan tekanan karbondioksida arterial (PaCO 2)
sebesar 50 mm Hg atau lebih besar. Jika pasien atau keluarganya membutuhkan
alat-alat bantu kehidupan maka pasien tersebut dilakukan intubasi dan diberi
sebuah respirator untuk ventilasi secara mekanik.
2. Cor Pulmonale.
Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan merupakan pembesaran
ventrikel kanan yang disebabkan oleh overloading akibat dari penyakit pulmo.
Komplikasi jantung ini terjadi sebagai mekanisme kompensasi sekunder bagi
paru-paru yang rusak pada penderita penyakit paru obstruksi menahun.
Cor pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh secara
menyeluruh. Apabila terjadi malfungsi pada satu sistem organ maka hal ini akan
merembet ke sistem organ lainnya. Pada penderita dengan penyakit paru obstruksi
menahun, hipoksemia kronis menyebabkan vasokonstriksi kapiler paru-paru yang
kemudian akan meningkatkan resistensi vaskuler pulmonari. Efek domino dari
perubahan ini terjadi peningkatan tekanan dalam paru-paru mengakibatkan
ventrikel kanan lebih kuat dalam memompa sehingga lama-kelamaan otot
ventrikel kanan menjadi hipertrofi atau membesar.
Perawatan penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis rendah
dibatasi hingga 2 liter per menit, diuretik untuk menurunkan edema perifer dan
istirahat. Edema perifer merupakan efek domino yang lain karena darah balik ke
jantung dari perifer atau sistemik dipengaruhi oleh hipertrofi ventrikel kanan.
Digitalis hanya digunakan pada penyakit jantung paru yang juga menderita gagal
jantung kiri.
3. Pneumothoraks.
Pneumotoraks merupakan komplikasi PPOM serius lainnya. Pnemo berarti
udara sehingga pneumotoraks diartikan sebagai akumulasi udara dalam rongga
pleural. Rongga pleural sesungguhnya merupakan rongga yang khusus yakni
berupa lapisan cairan tipis antara lapisan viseral dan parietal paru-paru Fungsi
cairan pleural adalah untuk membantu gerakan paru-paru menjadi lancar dan
mulus selama pernafasan berlangsung. Ketika udara terakumulasi dalam rongga
pleural, maka kapasitas paru-paru untuk pertukaran udara secara normal, menjadi
melemah dan hal ini menyebabkan menurunnya kapasitas vital dan hipoksemia.
4. Giant Bullae.
Pneumotoraks seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOM lainnya yaitu
pembentukan giant bullae. Jika pneumotoraks adalah udara yang terakumulasi di
rongga pleura. Tetapi bullae adalah timbul karena udara terperangkap di parenkim
paru-paru. Sehingga alveoli yang menjadi tempat menangkapnya udara untuk
pertukaran gas menjadi benar-benar tidak efektif. Bullae dapat menyebabkan
perubahan fungsi pernafasan dengan cara 2 hal yaitu dengan menekan jaringan
paru-paru, mengganggu berlangsungnya pertukaran udara. Jika udara yang
terperangkap dalam alveoli semakin meluas maka semakin banyak pula kerusakan
yang terjadi di dinding alveolar.

G. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Mansjoer (2000) adalah :
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya
disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x
0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman
penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi
beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada
pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dam
membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari
selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia
dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik. Pada
pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250
mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv
secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-
0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien
maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi
faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan
PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan
terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah fisioterapi,
rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
1. Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab dan
edukasi atau penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan medis asma
adalah untuk meningkatkan fungsi normal individu, mencegah gejala
kekambuhan, mencegah serangan hebat, dan mencegah efek samping obat. Tujuan
utama dari berbagai medikasi yang diberikan untuk klien asma adalah untuk
membuat klien mencapai relaksasi bronkial dengan cepat, progresif dan
berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa inflamasi adalah merupakan proses
fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan preparat inhalasi beta
dua adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid memastikan
bahwa obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan efek
samping yang berkaitan dengan steroid oral. Direkomendasikan bahwa inhalasi
beta dua adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk membuka jalan nafas,
kemudian inhalasi steroid akan menjadi lebih berguna.
2. Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada pemeriksaan
fisik, radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas darah. Pemeriksaan
ini mencerminkan sifat progresif dari penyakit. Pengobatan terbaik untuk
bronkitis kronis adalah pencegahan, karena perubahan patologis yang terjadi pada
penyakit ini bersifat tidak dapat pulih (irreversible). Ketika individu mencari
bantuan medis untuk mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi
sedemikian besar.
Jika individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat ditahan. Jika merokok
dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan
pada akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok. Bronkodilator,
ekspektoran, dan terapi fisik dada diterapkan sesuai yang dibutuhkan. Penyuluhan
kesehatan untuk individu termasuk konseling nutrisi, hygiene respiratory,
pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan teknik yang meredakan dispnea, seperti
bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa individu mendapat terapi
antibiotik profilaktik, terutama selama musim dingin. Pemberian steroid sering
diberikan pada proses penyakit tahap lanjut.
3. Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk pemberian antibiotik, drainase
postural untuk membantu mengeluarkan sekresi dan mencegah batuk, dan
bronkoskopi untuk mengeluarkan sekresi yang mengental. Pemeriksaan CT Scan
dilakukan untuk menegakkan diagnosa. Terkadang diperlukan tindakan
pembedahan bagi klien yang terus mengalami tanda dan gejala meski telah
mendapat terapi medis. Tujuan utama dari pembedahan ini adalah untuk
memulihkan sebanyak mungkin fungsi paru. Biasanya dilakukan segmentektomi
atau lubektomi. Beberapa klien mengalami penyakit dikedua sisi parunya, dalam
kondisi seperti ini, tindakan pembedahan pertama-tama dilakukan pada bagian
paru yang banyak terkena untuk melihat seberapa jauh perbaikan yang terjadi
sebelum mengatasi sisi lainnya.
4. Penatalaksanaan medis emfisema adalah untuk memperbaiki kualitas hidup,
memperlambat progresi penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan nafas untuk
menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik menurut Asih (2003) mencakup
tindakan pengobatan dimaksudkan untuk mengobati ventilasi dan menurunkan
upaya bernafas, pencegahan dan pengobatan cepat infeksi, terapi fisik untuk
memelihara dan meningkatkan ventilasi pulmonal, memelihara kondisi
lingkungan yang sesuai untuk memudahkan pernafasan dan dukungan psikologis
serta penyuluhan rehabilitasi yang berkesinambungan.

H. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan Penyakit paru Obstruksi Kronis menurut
Doenges (2000) adalah :
a. Aktivitas dan istirahat
1) Gejala :
a) Keletihan, kelemahan, malaise.
b) Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas.
c) Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi.
d) Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.
2) Tanda :
a) Keletihan.
b) Gelisah, insomnia.
c) Kelemahan umum atau kehilangan masa otot.

b. Sirkulasi
1) Gejala
a) Pembengkakan pada ekstrimitas bawah.
2) Tanda :
a) Peningkatan tekanan darah.
b) Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia berat atau disritmia.
c) Distensi vena leher atau penyakit berat.
d) Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.
e) Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan diameter AP dada)
f) Warna kulit atau membrane mukosa normal atau abu-abu atau sianosis, kuku
tabuh dan sianosis perifer.
g) Pucat dapat menunjukkan anemia.
c. Integritas ego
1) Gejala :
a) Peningkatan faktor resiko.
b) Perubahan pola hidup.
2) Tanda :
a) Ansietas, ketakutan, peka rangsang.
d. Makanan atau cairan
1) Gejala :
a) Mual atau muntah.
b) Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).
c) Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.
d) Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan
menunjukkan edema (bronchitis).
2) Tanda :
a) Turgor kulit buruk.
b) Edema dependen.
c) Berkeringat.
d) Penurunan berat badan, penurunan masa otot atau lemak subkutan (emfisema).
e) Palpasi abdominal dapat menyatakan hepatomegali (bronchitis).
e. Hygiene
1) Gejala :
a) Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas
sehai-hari.
2) Tanda :
a) Kebersihan buruk, bau badan.
f. Pernafasan
1) Gejala :
a) Nafas pendek, umumnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol
pada emfisema , khususnya pada kerja, cuaca atau episode berulangnya sulit nafas
(asma), rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas (asma).
b) Lapar udara kronis.
c) Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari terutama saat bangun selama
minimal 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum
(hijau, putih atau kuning) dapat banyak sekali (bronkhitis kronis).
d) Episode batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun
dapat menjadi produktif (emfisema).
e) Riwayat pneumonia berulang, terpajan oleh polusi kimia atau iritan pernafasan
dalam jangka panjang misalnya rokok sigaret atau debu atau asap misalnya asbes,
debu batubara, rami katun, serbuk gergaji.
f) Faktor keluarga dan keturunan misalnya defisiensi alfa antritipsin (emfisema).
g) Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus.

2) Tanda :
a) Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi memanjang dengan
mendengkur, nafas bibir (emfisema).
b) Lebih memilih posisi 3 titik (tripot) untuk bernafas khususnya dengan eksasebrasi
akut (bronchitis kronis).
c) Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, retraksi fosa
supraklavikula, melebarkan hidung.
d) Dada dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (bentuk barrel
chest), gerakan diafragma minimal.
e) Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema), menyebar,
lembut, atau krekels lembab kasar (bronkhitis), ronki, mengi, sepanjang area paru
pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau
tak adanya bunyi nafas (asma).
f) Perkusi ditemukan hiperesonan pada area paru misalnya jebakan udara dengan
emfisema, bunyi pekak pada area paru misalnya konsolidasi, cairan, mukosa.
g) Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 sampai 5 kata sekaligus.
h) Warna pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku. Keabu-abuan keseluruhan,
warna merah (bronkhitis kronis, biru menggembung). Pasien dengan emfisema
sedang sering disebut pink puffer karena warna kulit normal meskipun pertukaran
gas tak normal dan frekuensi pernafasan cepat.
i) Tabuh pada jari-jari (emfisema).
g. Keamanan
1) Gejala :
a) Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat atau faktor lingkungan.
b) Adanya atau berulangnya infeksi.
c) Kemerahan atau berkeringan (asma).
h. Seksualitas
1) Gejala :
a) Penurunan libido.
i. Interaksi sosial
1) Gejala :
a) Hubungan ketergantungan.
b) Kurang sistem pendukung.
c) Kegagalan dukungan dari atau terhadap pasangan atau orang terdekat.
d) Penyakit lama atau kemampuan membaik.
2) Tanda :
a) Ketidakmampuan untuk membuat atau mempertahankan suara karena distress
pernafasan.
b) Keterbatasan mobilitas fisik.
c) Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.
j. Penyuluhan atau pembelajaran
1) Gejala :
a) Penggunaan atau penyalahgunaan obat pernafasan.
b) Kesulitan menghentikan merokok.
c) Penggunaan alkohol secara teratur.
d) Kegagalan untuk membaik.
2) Rencana pemulangan :
a) Bantuan dalam berbelanja, transportasi, kebutuhan perawatan diri, perawatan
rumah atau mempertahankan tugas rumah.
b) Perubahan pengobatan atau program terapeutik.
Engram (2000) menambahkan pengkajian data dasar pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
a. Riwayat atau adanya faktor-faktor penunjang :
1) Merokok produk tembakau (faktor-faktor penyebab utama).
2) Tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat.
3) Riwayat alergi pada keluarga.
4) Riwayat asma pada masa kanak-kanak.
b. Riwayat atau adanya faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi, seperti
alergen (serbuk, debu, kulit, serbuk sari, jamur) stress emosional, aktivitas fisik
berlebihan, polusi udara, infekasi saluran nafas, kegagalan program pengobatan
yang dianjurkan.
c. Pemeriksaan fisik yang berdasarkan pengkajian sistem pernafasan (Apendiks A)
yang meliputi :
1) Manifestasi klasik dari Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
a) Peningkatan dispnea (paling sering ditemukan).
b) Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi otot-otot abdominal,
mengangkat bahu saat inspirasi, nafas cuping hidung).
c) Penurunan bunyi nafas.
d) Takipnea.
e) Ortopnea.
2) Gejala – gejala menetap pada proses penyakit dasar :
a) Asma
(1) Batuk (mungkin produktif atau non produktif) dan
perasaan dada seperti terikat.
(2) Mengi saat inspirasi dan ekspirasi, yang sering terdengar
tanpa stetoskop.
(3) Pernafasan cuping hidung.
(4) Ketakutan dan diaforesis.
b) Bronkitis
(1) Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan, yang biasanya
terjadi pada pagi hari dan sering diabaikan oleh perokok (disebut batuk perokok).
(2) Inspirasi ronkhi kasar (crackles) dan mengi.
(3) Sesak nafas.

c) Bronkitis (Tahap Lanjut)


(1) Penampilan sianosis (karena polisitemia yang terjadi akibat dari hipoksemia
kronis)
(2) Pembengkakan umum atau penampilan “puffy” (disebabkan oleh udema
asistemik yang terjadi sebagai akibat dari kor pulmonal), secara klinis, pasien ini
umumnya disebut “blue bloaters”.
d) Emfisema
(1) Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest” (diameter toraks anterior
posterior meningkat sebagai akibat hiperinflasi paru-paru).
(2) Fase ekspirasi memanjang.
e) Emfisema (Tahap Lanjut)
(1) Hipoksemia dan hiperkapnia tetapi tak ada sianosis pasien ini sering digambarkan
secara klinis sebagai “pink puffers“.
(2) Jari-jari tabuh.
d. Pemeriksaan diagnostik :
1) Gas darah arteri (GDA) menunjukkan PaO2 rendah dan PaCO2 tinggi.
2) Sinar x dada menunjukkan hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung dan
bendungan pada area paru-paru.
3) Pemeriksaan fungsi pru menunjukkan peningkatan kapasitas paru-paru total
(KPT) dan volume cadangan paru (VC), penurunan kapasitas vital (KV), dan
volume ekspirasi kuat (VEK).
4) Jumlah Darah Lengkap menunjukkan peningkatan hemoglobin, hematokrit, dan
jumlah darah merah (JDM).
5) Kultur sputum positif bila ada infeksi.
6) Esei imunoglobin menunjukkan adanya peningkatan IgE serum (Immunoglobulin
E) jika asma merupakan salah satu komponen dari penyakit tersebut.

e. Kaji persepsi diri sendiri tentang mengalami penyakit kronis.


f. Kaji berat badan dan rata-rata masukkan cairan dan diet harian.
2. Fokus Intervensi
Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Doenges (2000) adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma,
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan
energi atau kelemahan.
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen
(obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan
alveoli.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,
kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas
(kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit
kronis, malnutrisi.
Engram (2000) menambahkan diagnose keperawatan pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
a. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supply O2.
b. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk menetap.
Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Doenges (2000) adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma,
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan
energi atau kelemahan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
akan mempertahankan jalan nafas yang paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas
dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku untuk memperbaiki
bersihan jalan nafas misalnya batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi :
Mandiri :
1) Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels,
ronkhi.
2) Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau ekspirasi.
3) Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara, gelisah, ansietas,
distress pernafasan, penggunaan otot bantu.
4) Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur,
duduk pada sandaran tempat tidur.
5) Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
6) Observasi karakteristik batu, misalnya batuk menetap, batuk pendek, basah.
Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk.
7) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung.
Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan antara sebagai pengganti
makanan.
Kolaborasi :
1) Berikan obat sesuai indikasi.
a) Bronkodilator misalnya albuterol (ventolin).
b) Analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan.
c) Berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer ultranik, humidifier aerosol
ruangan.
d) Bantu pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada.
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen
(obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan
alveoli.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA
dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan dengan kriteria hasil
pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan
atau situasi.
Intervensi :
Mandiri :
1) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori, nafas
bibir, ketidakmampuan berbicara atau berbincang.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah
untuk bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan
atau toleransi individu.
3) Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa.
4) Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan.
5) Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau bunyi
tambahan.
6) Palpasi fremitus.
7) Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.
8) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan kalem. Batasi
aktivitas pasien atau dorong untuk tidur atau istirahat di kursi selama fase akut.
Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan tingkatkan sesuai
toleransi individu.
9) Awasi tanda vital dan irama jantung.
Kolaborasi :
1) Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
2) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi
pasien.
3) Berikan penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati.
4) Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan ke UPI
sesuai instruksi untuk pasien.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,
kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat dengan kriteria
hasil pasien akan menunjukkan perilaku atau perubahan pola hidup untuk
meningkatkan dan atau mempertahankan berat yang tepat.
Intervensi :
Mandiri :
1) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makanan.
Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
2) Auskultasi bunyi usus.
3) Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali
pakai dan tisu.
4) Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan
makan porsi kecil tapi sering.
5) Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.
6) Hindari makanan yang sangat panas atau yang sangat dingin.
7) Timbang berat badan sesuai indikasi.
Kolaborasi :
1) Konsul ahli gizi atau nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan yang
mudah dicerna, secara nutrisi seimbang, misalnya nutrisi tambahan oral atau
selang, nutrisi parenteral.
2) Kaji pemeriksaan laboratorium misalnya glukosa, elektrolit. Berikan vitamin atau
mineral atau elektrolit sesuai indikasi.
3) Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.

d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan


utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas
(kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit
kronis, malnutrisi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
menyatakan pemahaman penyebab atau faktor resiko individu dengan kriteria
hasil pasien akan mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan
resiko infeksi dan pasien akan menunjukkan teknik, perubahan pola hidup untuk
meningkatkan lingkungan yang aman.
Intervensi :
Mandiri :
1) Awasi suhu.
2) Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan
masukan cairan adekuat.
3) Observasi warna, karakter, bau sputum.
4) Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum. Tekankan cuci
tangan yang benar (perawat dan pasien) dan penggunaan sarung tangan bila
memegang atau membuang tisu, wadah sputum.
5) Awasi pengunjung, berikan masker sesuai indikasi.
6) Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
7) Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
Kolaborasi :
1) Dapatkan spesimen sputum dengan batuk atau penghisapan untuk pewarnaan
kuman gram, kultur atau sensitivitas.
2) Berikan antimikrobial sesuai indikasi.

Engram (2000) menambahkan intervensi keperawatan pada pasien dengan


Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
a. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supply O2.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas dengan kriteria hasil
menurunnya keluhan tentang nafas pendek dan lemah dalam melaksanakan
aktivitas.
Intervensi :
1) Pantau nadi dan frekuensi nafas sebelum dan sesudah beraktivitas.
2) Lakukan penghematan energi dalam melaksanakan prosedur berikut :
a) Berikan bantuan dalam melaksanakan AKS sesuai dengan yang diperlukan.
b) Sediakan interval waktu diantara kegiatan untuk memungkinkan istirahat diantara
kegiatan.
c) Tingkatkan aktivitas secara bertahap sejalan dengan peningkatan hasil gas darah
arteri dan dapat diantisipasinya tanda dan gejala dari penekanan pernafasan.
d) Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dengan makanan yang mudah
dikunyah.
b. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk menetap.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kebutuhan
tidur terpenuhi dengan kriteria hasil melaporkan perasaan dapat istirahat.
Intervensi :
1) Jika ada pengobatan untuk paru-paru aturlah pemberian obat tersebut untuk
diberikan sebelum waktu tidur. Berikan obat anntitusif yang diprogramkan.
2) Pastikan ventilasi ruangan baik. Atur pengadaan humidifier udara jika diperlukan.
Anjurkan penggunaan oksigen selama tidur jika diperlukan.
3) Pertahankan ruangan bebas dari bahan iritan seperti asap, serbuk bunga dan
pengharum ruangan.
4) Pada waktu tidur, ijinkan pasien mandi dengan pancuran air hangat atau mandi
biasa.
5) Bantu pasien untuk mnedapatkan posisi yang nyaman, biasanya dengan
meninggikan bagian kepala tempat tidur sekitar 30 derajat.
BAB III

RESUME KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada tanggal 4 Februari 2014 pukul 08.00 di Ruang
Asoka RS Margono Soekardjo Purwokerto, sumber data berasal dari pasien,
keluarga pasien, perawat dan catatan medis. Data hasil pengkajian ditemukan
sebagai berikut :
Pasien bernama Tn. B berumur 50 tahun, jenis kelamin laki-laki, alamat
purwokerto, status sudah menikah, beragama islam, suku jawa, pendidikan
terakhir pasien SMP, pekerjaan buruh. Sedangkan penanggung jawab pasien
adalah adik pasien yang bernama Tn. R, umur 40 tahun, dan beralamat di
purwokerto.
Keluhan utama pasien yaitu pasien mengeluh sesak nafas. Keluhan tambahan
yang dirasakan pasien adalah pasien merasakan dada yang tertekan dan kesulitan
bernafas, batuk yang disertai dengan sputum, warna sputum putih. Pasien
mengatakan riwayat merokok, serta bekerja di pabrik pemotongan kayu, pasien
mengatakan sering mengalami pilek dan batuk setelah terpapar serbuk kayu,
pasien terlihat kesulitan berbicara. Pasien mengatakan letih dan lemah setelah
melakukan aktivitas sehari-hari karena kesulitan bernafas, sesak nafas saat
istirahat setelah beraktivitas, pasien terlihat letih, pasien dibantu oleh anggota
keluarganya untuk melakukan aktivitas seperti untuk ambulasi atau berpindah
tempat, mandi dan toileting. Pasien mengatakan kesulitan untuk tidur karena
batuk yang bertambah di malam hari, pasien mengatakan tidak dapat beristirahat
dengan baik, pasien sering terbangun saat tidur di malam hari, pasien mengatakan
terbangun 4 kali di malam hari, pasien tidur selama 5 jam sehari.
Riwayat penyakit saat ini antara lain pasien dibawa ke IGD RSUD Margono
Soekardjo pada hari minggu tanggal 2 Februari 2014 dengan keluhan sesak nafas
dan lemas, di IGD mendapat therapy infuse RL 10 tpm, injeksi furosemid 2 x 10
mg, O2 3 liter permenit. Pasien dipindah ke ruang soka tanggal 3 februari 2014
dan diberi therapy oksigen 3 liter permenit, injeksi cefotaxime 1 gram, injeksi
ranitidine 30 mg, injeksi methylprednisolone 62,5 mg, nebulizer ventolin 2 x 2,5
mg, nebulizer flixotide 3 hari sekali 0,5 mg serta sirup dextromethorphan 3 x 5
ml. Riwayat penyakit dahulu, pasien mengatakan pernah menderita penyakit yang
sama, tetapi belum pernah dirawat dan hanya kontrol saja di RS daerah Karang
Jambu.
Pada pola pengkajian aktivitas dan latihan, sebelum sakit pasien mengatakan
aktivitas sehari-hari (Activity Daily Learning) dilakukan secara mandiri seperti
untuk berpindah, mandi dan toileting. Sedangkan saat sakit pasien mengatakan
letih dan lemah setelah melakukan aktivitas sehari-hari karena kesulitan bernafas,
sesak nafas saat istirahat setelah beraktivitas, pasien terlihat letih, pasien dibantu
oleh anggota keluarganya untuk melakukan aktivitas seperti untuk ambulasi atau
berpindah tempat, mandi dan toileting. Pada pola aktivitas dan latihan pasien
didapatkan hasil sebagai berikut untuk berpindah, mandi dan toileting pasien di
bantu oleh orang lain atau anggota keluarganya dengan skor penilaian 2.
Pada pola istirahat tidur, pasien mengatakan sebelum sakit pasien dapat tidur
dengan nyenyak, tidur selama ± 8 jam, pasien juga dapat tidur siang selama 1 jam.
Pasien mengatakan kesulitan untuk tidur karena batuk yang bertambah di malam
hari, pasien mengatakan tidak dapat beristirahat dengan baik, pasien sering
terbangun saat tidur di malam hari, pasien terbangun 4 kali di malam hari, pasien
tidur selama 5 jam sehari.
Dari pemeriksaan fisik pada Tn. B ditemukan hasil pemeriksaan tanda-tanda
vital meliputi keadaan umum pasien cukup, GCS 15 : E4M5V6, tekanan darah
110/60 mmHg, nadi 88 x/ menit, suhu badan 36,6oc, respirasi 28 x/menit.
Pada pemeriksaan head to toe diperoleh hasil, pemeriksaan kepala :
mesochepal, rambut hitam bersih, tidak ada ketombe. Pada memeriksaan mata
kedua mata sembab, kedua kelopak mata bawah terlihat hitam, kedua mata
simetris, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak menggunakan alat
bantu penglihatan. Pemeriksaan hidung : lubang hidung simetris, tidak ada polip,
bersih, tidak ada sekret, dan dapat mencim bau dengan baik. Pemeriksaan telinga :
simetris, bersih, tidak ada serumen, tidak menggunakan alat bantu pendengaran.
Pemeriksaan leher tidak ada pembesaran kelenjar thyroid.
Pada pemeriksaan paru : inspeksi : simetris, adanya bentuk dada seperti tong,
terlihat meninggikan bahu untuk bernafas, pengembangan dada kanan dan kiri
sama, palpasi : vokal fremitus sama kanan dan kiri, perkusi : bunyi pekak pada
paru-paru, auskultasi : bunyi nafas mengi, ronkhi pada paru bagian kanan dan
wheezing pada paru bagian kiri. Pada pemeriksaan jantung : inspeksi : simetris,
ictus kordis tidak tampak, palpasi : ictus cordis teraba, teratur dan tidak terlalu
kuat, perkusi : bunyi pekak, tidak ada pelebaran, auskultasi : bunyi jantung murni,
tidak ada suara tambahan.
Pada pemeriksaan abdomen, inspeksi : simetris, tidak ada luka bekas operasi,
auskultasi : peristalik usus 8 x/menit, perkusi : timpani, palpasi : tidak ada nyeri
tekan. Pada pemeriksaan genetalia : bersih, tidak terpasang kateter. Pada
pemeriksaan ekstrimitas, ekstrimitas atas kanan dapat bergerak bebas. Kiri :
terpasang infuse RL 20 tpm. Ektrimitas bawah tidak ada udema, pasien dapat
bergerak bebas.
Pada pemeriksaan penunjang, hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal
2 Februari untuk pemeriksaan laboratorium meliputi : leukosit 9120/UL, glukosa
sewaktu 196 mg/dL, natrium 139 mmol/L, kalium 3,8 mmol/L, klorida 97
mmol/L. Pada tanggal 3 Februari 2014 untuk pemeriksaan sputum meliputi : BTA
I negative, lekosit positif, epithel positif. Pemeriksaan tanggal 4 Februari 2014
dengan pewarnaan ZN 2 x BTA II negative, lekosit positif, epithel positif,
pewarnaan 3 x, BTA III negative, lekosit positif, epithel positif. Pada pemeriksaan
rontgen didapatkan kesan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).
Terapi yang diperoleh pasien pada tanggal 4-7 Februari 2014 antara lain O 2 3
liter permenit, Infus RL 20 tpm, Injeksi Cefotaxime 2 x 1 gr, Injeksi Ranitidine 2
x 30 mg, Injeksi Methylprednisolone 2 x 62,5 mg, Nebulizer ventolin 2 x 2,5 mg,
flixotide 3 hari sekali 0,5 mg, Sirup Dextromethorphan 3 x 5 ml.

B. Analisa Data
1. Analisa Data
Tabel 3.1 Analisa Data
Tangg Data Penyebab Masalah
al
4DS : pasien mengeluh sesak nafas, Peningkatan Bersihan
Februa pasien merasakan dada yang produksi jalan nafas
ri 2014 tertekan, pasien mengatakan sekret tidak efektif
riwayat merokok, serta
bekerja di pabrik
pemotongan kayu, pasien
mengatakan sering
mengalami pilek dan batuk
setelah terpapar serbuk
kayu,
DO : pasien terlihat kesulitan
bernafas, batuk yang disertai
dengan sputum, warna
sputum putih, pasien terlihat
kesulitan berbicara, adanya
bentuk dada seperti tong,
terlihat meninggikan bahu
untuk bernafas, pada perkusi
ditemukan bunyi pekak pada
paru, auskultasi : bunyi
nafas mengi, ronkhi pada
paru bagian kanan dan
wheezing pada paru bagian
kiri, terpasang O2 3 liter
permenit, respirasi 28
x/menit.
4 DS : pasien mengatakan letih dan Ketidakseimb Intoleransi
Februa lemah setelah melakukan angan supply aktivitas
ri 2014 aktivitas sehari-hari karena O2
kesulitan bernafas, sesak
nafas saat istirahat setelah
beraktivitas.
DO : pasien terlihat letih, pasien
dibantu oleh anggota
keluarganya untuk
melakukan aktivitas seperti
untuk ambulasi atau
berpindah tempat, mandi
dan toileting.
4 DS : pasien mengatakan kesulitan Batuk Gangguan
Februa untuk tidur karena batuk pola tidur
ri 2014 yang bertambah d malam
hari, pasien mengatakan
tidak dapat beristirahat
dengan baik.
DO : pasien sering terbangun saat
tidur di malam hari, pasien
terbangun 4 kali di malam
hari, pasien tidur selama 5
jam sehari.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Diagnosa keperawatan yang muncul adalah :
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
sekret ditandai dengan :
DS : pasien mengeluh sesak nafas, pasien merasakan dada yang tertekan, pasien
mengatakan riwayat merokok, serta bekerja di pabrik pemotongan kayu, pasien
mengatakan sering mengalami pilek dan batuk setelah terpapar serbuk kayu.
DO : pasien terlihat kesulitan bernafas, batuk yang disertai
dengan sputum, warna sputum putih, pasien terlihat kesulitan berbicara, adanya
bentuk dada seperti tong, terlihat meninggikan bahu untuk bernafas, pada perkusi
ditemukan bunyi pekak pada paru, auskultasi : bunyi nafas mengi, ronkhi pada
paru bagian kanan dan wheezing pada paru bagian kiri, terpasang O 2 3 liter
permenit, respirasi 28 x/menit.
2) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supply O2 ditandai
dengan :
DS : pasien mengatakan letih dan lemah setelah melakukan
aktivitas sehari-hari karena kesulitan bernafas, sesak nafas saat istirahat setelah
beraktivitas.
DO : pasien terlihat letih, pasien dibantu oleh anggota
keluarganya untuk melakukan aktivitas seperti untuk ambulasi atau berpindah
tempat, mandi dan toileting.
3) Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk ditandai dengan :
DS : pasien mengatakan kesulitan untuk tidur karena batuk yang
bertambah di malam hari, pasien mengatakan tidak dapat beristirahat dengan baik.
DO : pasien sering terbangun saat tidur di malam hari, pasien
terbangun 4 kali di malam hari, pasien tidur selama 5 jam sehari.
b. Diagnosa keperawatan prioritas
1) Diagnosa keperawatan prioritas hari pertama tanggal 4 Februari 2014 adalah
diagnosa 1, 2, 3.
2) Diagnosa keperawatan prioritas hari kedua tanggal 5 Februari 2014 adalah
diagnosa 1, 2, 3.
3) Diagnosa keperawatan prioritas hari ketiga tanggal 7 Februari 2014 adalah
diagnosa 1.

C. Intervensi, Implementasi dan Evaluasi Keperawatan.


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
sekret.
Tujuan dari diagnosa keperawatan ini adalah setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien akan mempertahankan jalan
nafas yang paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas dengan kriteria hasil pasien
akan menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas misalnya
batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi dari diagnosa keperawatan ini yaitu auskultasi bunyi nafas, catat
adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels, ronkhi. Kaji atau pantau frekuensi
pernafasan. Catat adanya penggunaan otot bantu pernafasan. Kaji pasien untuk
posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk pada
sandaran tempat tidur. Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
Observasi karakteristik batuk, misalnya batuk menetap, batuk pendek, basah.
Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk. Tingkatkan masukan
cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung. Memberikan air hangat.
Berikan obat sesuai indikasi : bronkodilator misalnya albuterol (ventolin),
analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan, berikan
humidifikasi tambahan misalnya nebulizer, bantu pengobatan pernafasan misalnya
fisioterapi dada.
Implementasi yang dilakukan pada diagnosa keperawatan bersihan jalan nafas
tak efektif pada tanggal 4-7 Februari 2014 adalah mengobservasi keadaan pasien,
evaluasi respon yang diperoleh adalah pasien mengatakan sesak nafas berkurang.
Mengkaji frekuensi pernafasan, evaluasi respon yang diperoleh adalah respirasi 24
x/menit. Memberikan posisi semifowler pada pasien, evaluasi respon yang
diperoleh adalah pasien merasa nyaman dengan posisi semifowler. Mencatat
adanya penggunaan otot bantu pernafasan, evaluasi respon yang diperoleh adalah
pasien terlihat meninggikan bahu untuk bernafas. Melakukan auskultasi suara
nafas tambahan pada pasien, evaluasi respon yang diperoleh adalah suara nafas
mengi, suara paru ronkhi pada bagian paru kanan. Memberikan terapi nebulizer
ventolin 2,5 mg, evaluasi respon yang diperoleh adalah pasien merasa lega setelah
dilakukan nebulizer, nebulizer ventolin masuk 2,5 mg via inhalasi. Mengoservasi
karakteristik batuk, evaluasi respon yang didapat adalah pasien mengalami batuk
basah. Memberikan terapi analgesik dan penekan batuk yaitu sirup
dextrometorfan 5 ml, evaluasi respon yang diperoleh adalah pasien berharap batuk
bisa berkurang, pasien minum obat dextrometorfan 5 ml. Mengajarkan kepada
pasien untuk latihan nafas dengan bibir di monyongkan, evaluasi respon yang
diperoleh adalah pasien dapat mempraktekkan latihan nafas dengan bibir yang
dimonyongkan. Memberikan terapi nebulizer flixotide 0,5 mg, evaluasi respon
yang diperoleh adalah pasien mengatakan lega setelah dilakukan nebulizer,
nebulizer flixotide 0,5 mg masuk via inhalasi. Mengajurkan untuk minum air
matang hangat saat pagi hari agar dahak dapat keluar, evaluasi respon yang
diperoleh adalah pasien mengerti tentang anjuran yang diberikan. Melakukan
fisioterapi dada, evaluasi respon yang diperoleh adalah pasien berkenan dilakukan
fisioterapi dada. Mengajarkan batuk efektif untuk mengeluarkan dahak, evaluasi
respon yang diperoleh adalah pasien mengatakan lega, pasien dapat
mempraktekkan batuk efektif, dahak dapat keluar, warna dahak putih purulen.
Evaluasi untuk diagnosa keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan peningkatan produksi sekret pada hari Jumat, tanggal 7
Februari 2014 pukul 21.00 adalah :
S : Pasien mengatakan sesak nafas berkurang, pasien mengatakan lega
setelah dilakukan nebulizer karena pasien dapat mengeluarkan dahak, pasien
mengatakan batuk berkurang setelah minum obat dextrometorfan sirup, respirasi
24 x/menit.
O : Nebulizer ventolin 2,5 masuk via inhalasi, sekret keluar berwarna
putih purulen, suara nafas mengi dan ronkhi pada paru kanan masih ada, wheezing
sudah menghilang, pasien dapat mempraktekkan batuk efektif.
A : Diagnosa keparawatan bersihan jalan nafas tidak efektif belum teratasi.
P : Lanjutkan intervensi :
a. Auskultasi suara nafas tambahan
b. Berikan terapi nebulizer
c. Anjurkan untuk meningkatkan intake cairan dengan minum air matang hangat
agar sekret dapat keluar.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supply O2.
Tujuan dari diagnosa keperawatan ini adalah setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam diharapan pasien menunjukkan peningkatan
toleransi terhadap aktivitas dengan kriteria hasil menurunnya keluhan tentang
nafas pendek dan lemah dalam melaksanakan aktivitas.
Intervensi untuk diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan
dengan kerusakan pertukaran gas adalah pantau frekuensi nafas sebelum dan
sesudah beraktivitas, berikan bantuan dalam melaksanakan aktivitas sesuai yang
diperlukan, sediakan waktu untuk istirahat, tingkatkan aktivitas secara bertahap,
berikan makan dalam porsi kecil tapi sering.
Implementasi yang dilakukan untuk diagnosa keperawatan intoleransi
aktivitas pada tanggal 4-7 Februari 2014 adalah memantau frekuensi nafas
sebelum dan sesudah pasien beraktivitas, evaluasi respon yang diperoleh adalah
respirasi sebelum beraktivitas 26 x/menit, sesudah beraktivitas 24 x/menit.
Membantu pasien untuk berpindah dan untuk toileting dengan kursi roda, evaluasi
respon yang diperoleh adalah pasien mengatakan sesak nafas berkurang apabila
beraktivitas menggunakan kursi roda. Menganjurkan pasien untuk istirahat setelah
beraktivitas, evaluasi respon yang diperoleh adalah pasien mengerti tentang
anjuran yang diberikan. Menganjurkan pada pasien untuk meningkatkan aktivitas
secara bertahap dari duduk, berdiri dan berjalan, evaluasi respon yang diperoleh
adalah pasien mengerti tentang anjuran yang diberikan. Menganjurkan pada
pasien dan pihak keluarga untuk memberikan makanan dalam porsi sedikit tetapi
sering, evaluasi respon yang diperoleh adalah pasien dan keluarga mengerti
tentang anjuran yang diberikan.
Evaluasi untuk diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan
dengan kerusakan pertukaran gas pada hari Jumat tanggal 7 Februari 2014
adalah :
S : Pasien mengatakan dapat melakukan aktivitas secara mandiri, pasien
mengatakan sesak nafas berkurang setelah melakukan aktivitas.
O : Pasien dapat melakukan ambulasi, mandi dan toileting secara mandiri,
respirasi setelah beraktivitas 24 x/menit, sesak nafas berkurang, pasien mengerti
tentang anjuran untuk melakukan aktivitas secara bertahap dan makan dengan
porsi sedikit tapi sering.
A : Diagnosa keperawatan intoleran aktivitas teratasi
P : Hentikan intervensi.

3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk.


Tujuan untuk diagnosa keperawatan ini adalah setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam kebutuhan tidur terpenuhi dengan kriteria hasil
melaporkan perasaan dapat istirahat.
Intervensi untuk diagnosa keperawatan gangguan pola tidur adalah berikan
obat antitusif yang diprogramkan, anjurkan penggunaan oksigen selama tidur,
anjurkan pada pasien untuk menghindari iritan atau allergen seperti asap rokok,
anjurkan untuk mandi dengan air hangat, bantu pasien untuk mendapatkan posisi
yang nyaman.
Implementasi untuk diagnosa keperawatan gangguan pola tidur pada tanggal
4-7 Februari 2014 adalah memberikan obat antitusif dextromethorfan, evaluasi
respon yang diperoleh pasien berharap batuk dapat berkurang sehingga pasien
dapat tidur. Menganjurkan penggunaan oksigen selama tidur, evaluasi respon yang
diperoleh pasien mengerti tentang anjuran yang diberikan. Menganjurkan untuk
mandi dengan air hangat, evaluasi respon yang diperoleh adalah pasien mengerti
tentang anjuran yang diberikan. Membantu pasien untuk mendapatkan posisi yang
nyaman, evaluasi respon yang diperoeh pasien nyaman dengan posisi tidur
semifowler. Menganjurkan pada pasien untuk menghindari iritan atau alergen
seperti asap rokok, evaluasi respon yang diperoleh adalah pasien mengerti tentang
anjuran yang diberikan. Menanyakan pada pasien berapa jam tidur, evaluasi
respon yang diperoleh adalah pasien mengatakan tidur selama 7 jam, terbangun
sekali saat akan ke kamar mandi.
Evaluasi pada hari Jumat tanggal 7 Februari 2014 pukul 21.00 untuk diagnosa
keperawatan gangguan pola tidur adalah
S : Pasien mengatakan sudah dapat tidur dengan nyenyak karena batuk
sudah berkurang, pasien mengatakan merasa lebih segar setelah tidur.
O : Tidur semalam 7 jam, dan terbangun sebanyak 1 kali saat toileting.
A : Diagnosa keperawatan gangguan pola tidur teratasi.
P : Hentikan intervensi.
A. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses yang sistematis dalam
mengumpulkan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001).
Dalam pengkajian ini penulis menggunakan beberapa cara untuk memperoleh
data menurut, yang digunakan sebagai berikut :
1. Wawancara
Pengertian wawancara menurut Nazir (2000) adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka
antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan
menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).
Dari hasil pengkajian pada tanggal 4 Februari 2014 dengan metode
wawancara penulis mendapatkan kesulitan karena pasien sulit bicara, sulit
mengeluarkan kata atau kalimat, sehingga penulis tidak hanya melakukan
wawancara terhadap pasien, tetapi juga ke anggota keluarga pasien seperti ke adik
dan kakaknya, dan anggota keluarga kooperatif. Saat ditanya diperoleh data yaitu
keluhan utama saat dilakukan pengkajian adalah pasien mengeluh sesak nafas.
Keluhan tambahan yang dikeluhkan pasien adalah pasien merasakan dada yang
tertekan, pasien mengatakan riwayat merokok, serta bekerja di pabrik pemotongan
kayu, pasien mengatakan sering mengalami pilek dan batuk setelah terpapar
serbuk kayu.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan kasus. Menurut
teori Doenges (2000) pada pengkajian pernafasan pasien mengalami rasa dada
tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas, batuk yang menetap, adanya produksi
sputum (hijau, putih, kuning), adanya penggunaan otot bantu pernafasan seperti
meninggikan bahu. Engram (2000) juga menambahkan pengkajian pada pasien
dengan penderita dengan penyakit paru obstruksi kronis meliputi riwayat merokok
produk tembakau, riwayat atau adanya faktor-faktor yang dapat mencetuskan
eksasebrasi seperti alergen (serbuk).
Pada pola fungsional Gordon pada pola akivitas-latihan pasien mengatakan
letih dan lemah setelah melakukan aktivitas sehari-hari karena kesulitan bernafas,
sesak nafas saat istirahat setelah beraktivitas. Menurut teori Doenges (2000) pada
pengkajian aktivitas atau latihan pasien mengalami keletihan, kelemahan,
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas.
Pada pola fungsional Gordon pada pola istirahat-tidur pasien mengatakan
kesulitan untuk tidur karena batuk yang bertambah di malam hari, pasien
mengatakan tidak dapat beristirahat dengan baik.
Dari pengkajian pada pola istirahat-tidur terdapat kesamaan antara teori
dengan kasus. Menurut teori Engram (2000) pasien mengalami batuk yang
menetap dan bertambah saat malam hari, batuk selama waktu tidur, keluhan
ketidakmampuan untuk tidur karena batuk.

2. Observasi
Pengertian observasi menurut Nursalam (2001) adalah mengamati perilaku
dan keadaan pasien untuk memperoleh data tentang masalah kesehatan dan
keperawatan pasien. Kegiatan masalah kesehatan dan keperawatan pasien,
kegiatan tersebut mencangkup aspek fisik mental, sosial dan spiritual. Pedoman
observasi ini penulis mengembangkan dari pola fungsional Gordon.
Dari hasil observasi pada tanggal 4 Februari 2014 penulis mendapatkan data
yaitu pasien terlihat kesulitan bernafas, batuk yang disertai dengan sputum, warna
sputum putih, pasien terlihat kesulitan berbicara. Pasien juga terlihat letih, pasien
dibantu oleh anggota keluarganya untuk melakukan aktivitas seperti untuk
ambulasi atau berpindah tempat, mandi dan toileting.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan kasus. Menurut
teori Doenges (2000) pada pengkajian pernafasan pasien mengalami batuk dengan
produksi sputum (putih, hijau, kuning), kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4
atau 5 kata sekaligus, pada pengkajian aktivitas atau istirahat pasien mengalami
keletihan dan kelemahan umum.
Dari hasil observasi yang penulis lakukan penulis menemukan pasien sering
terbangun saat tidur di malam hari, pasien terbangun 4 kali di malam hari, pasien
tidur selama 5 jam sehari. Berdasarkan data tersebut terdapat kesamaan antara
teori dengan kasus. Menurut teori Engram (2000) pasien mengalami batuk yang
menetap selama waktu tidur.
Dari hasil observasi pada tanggal 4 Februari 2014 penulis juga mendapatkan
data yaitu tidak ditemukannya tanda-tanda anoreksia seperti mual muntah, , nafsu
makan buruk, penurunan berat badan menetap dan turgor kulit buruk.
Berdasarkan data diatas terdapat kesenjangan antara teori dengan kasus.
Menurut teori Doenges (2000) pasien dapat mengalami penurunan berat badan,
mengeluh gangguan sensasi pengecap dan keengganan untuk makan atau kurang
tertarik pada makanan. Pada saat dilakukan pengkajian penulis tidak mendapatkan
tanda-tanda tersebut karena pasien mengatakan nafsu makan baik, makan 3 kali
sehari, habis 1 porsi, dan tidak mengalami mual dan muntah, pasien juga
diberikan injeksi ranitidine 30 mg untuk mencegah terjadinya anoreksia.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menurut Nursalam (2001) adalah melakukan pemeriksaan
fisik pasien untuk menentukan masalah kesehatan pasien. Pemeriksaan fisik dapat
dilakukan dengan menggunakan 4 teknik yaitu :
a. Inspeksi yaitu suatu proses observasi yang dilaksanakan secara sistematik
dilaksanakan dengan menggunakan indera penglihatan, pendengaran dan
penciuman.
Dari hasil pengkajian pada tanggal 4 Februari 2014 dengan teknik inspeksi
penulis mendapatkan data yaitu adanya bentuk dada seperti tong, terlihat
meninggikan bahu untuk bernafas Berdasarkan data tersebut terdapat kesamaan
antara teori dengan kasus. Menurut teori Doenges (2000) pada inspeksi ditemukan
penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, dada dapat
terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (barrel chest) atau bentuk
seperti tong.
b. Palpasi yaitu suatu teknik yang menggunakan indera peraba, tangan dan jari-jari
yang merupakan instrumen sensitif. Dari hasil pengkajian pada tanggal 4 Februari
2014 dengan teknik palpasi penulis mendapatkan data yaitu tidak ada nyeri tekan
pada daerah dada.
c. Perkusi yaitu pemeriksaan fisik dengan jalan mengetuk untuk membandingkan
kiri kanan pada setiap daerah permukaan tubuh dengan tujuan menghasilkan
suara. Dari hasil pengkajian pada tanggal 4 Februari 2014 dengan teknik perkusi
penulis mendapatkan data yaitu pada perkusi ditemukan bunyi pekak pada paru.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan kasus yaitu pada
teori Doenges (2000) pada pemeriksaan perkusi : bunyi pekak pada area paru
misalnya cairan, mukosa.
d. Auskultasi adalah pemeriksaan dengan jalan mendengarkan suara yang dihasilkan
oleh tubuh dengan menggunakan stetoskop. Dari hasil pengkajian pada tanggal 4
Februari 2014 dengan teknik auskultasi penulis mendapatkan data yaitu terdengar
auskultasi : bunyi nafas mengi, ronkhi pada paru bagian kanan dan wheezing pada
paru bagian kiri.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan kasus. Menurut
teori Doenges (2000) bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi,
menyebar, lembut atau krekels lembab kasar, ronkhi, mengi sepanjang area paru
pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau
tak adanya bunyi nafas.
4. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi menurut Arikunto (2002) adalah mencari data mengenai
hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkrip, buku dan sebagainya, sebagai
data penunjang.
Pada studi dokumentasi diperoleh identitas pasien, pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan sputum. Hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 2
Februari untuk pemeriksaan laboratorium meliputi : leukosit 9120/UL, glukosa
sewaktu 196 mg/dL, natrium 139 mmol/L, kalium 3,8 mmol/L, klorida 97
mmol/L. Hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 3 februari 2014 untuk
pemeriksaan sputum meliputi : BTA I negative, lekosit positif, epithel positif.
Pemeriksaan tanggal 4 Februari 2014 dengan pewarnaan ZN 2 x BTA II negative,
lekosit positif, epithel positif, pewarnaan 3 x, BTA III negative, lekosit positif,
epithel positif. Pada pemeriksaan rontgen didapatkan kesan penyakit paru
obstruksi kronis (PPOK).
Terapi yang diperoleh pasien pada tanggal 4-7 Februari 2014 selama dirawat
di RS Margono antara lain O2 3 liter permenit, Infus RL 20 tpm, Cefotaxime 2 x 1
gram, Ranitidine 2 x 30 mg, Methylprednisolone 2 x 62,5 mg, Nebulizer ventolin
2 x 2,5 mg, flixotide 3 hari sekali 0,5 mg, Dextromethorphan syrup 3 x 5 ml.
Dalam melakukan pengkajian penulis memperoleh faktor pendukung dalam
melakukan pengkajian yaitu pasien dan keluarga kooperatif dan bersedia
menjawab semua pertanyaan penulis, adanya rekam medis atau status klien yang
membantu penulis dalam melengkapi data dan perawat ruangan yang membantu
dalam proses pengumpulan data.
Sedangkan faktor penghambat dalam melakukan pengkajian karena pasien
sulit bicara, sulit mengeluarkan kata atau kalimat, sehingga penulis tidak hanya
melakukan wawancara terhadap pasien, tetapi juga ke anggota keluarga pasien
seperti ke adik dan kakaknya.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut Doenges (2000) yaitu cara
mengidentifikasikan, memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta
respon terhadap masalah aktual dan resiko tinggi serta untuk mengekspresikan
bagian identifikasi masalah dari proses keperawatan.
Diagnosa keperawatan menurut teori Doenges (2000) untuk kasus penyakit
paru obstruksi kronis ada 4 diagnosa keperawatan yaitu bersihan jalan nafas tidak
efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret, kerusakan pertukaran
gas berhubungan dengan gangguan suplly oksigen, perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah, resiko tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama. Dan teori Engram
(2000) ada 2 diagnosa keperawatan yaitu intoleransi aktivitas berhubungan
dengan ketidakseimbangan supply O2 dan gangguan pola tidur berhubungan
dengan batuk menetap. Untuk itu penulis menjelaskan mengapa hal ini terjadi dan
diagnosa keperawatan tersebut diidentfikasi sebagai masalah yang perlu
dipecahkan.
1. Diagnosa keperawatan yang tercantum pada teori dan ditemukan pada
kasus, yaitu:
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
sekret.
Bersihan jalan nafas tidak efektif adalah ketidakmampuan untuk
membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran pernafasan untuk
mempertahankan kebersihan jalan nafas (Amin, 2013). Batasan karakteristiknya
antara lain pernyataan kesulitan bernafas, perubahan kedalaman atau kecepatan
pernafasan, pengunaan otot aksesori, bunyi nafas tak normal misalnya mengi,
ronkhi, krekels, batuk (menetap) dengan atau tanpa produksi sputum (Doenges,
2000).
Diagnosa ini muncul karena adanya data pendukung yaitu pasien mengeluh
sesak nafas, pasien merasakan dada yang tertekan, pasien mengatakan riwayat
merokok, serta bekerja di pabrik pemotongan kayu, pasien mengatakan sering
mengalami pilek dan batuk setelah terpapar serbuk kayu, pasien terlihat kesulitan
bernafas, batuk yang disertai dengan sputum, warna sputum putih, pasien terlihat
kesulitan berbicara, adanya bentuk dada seperti tong, terlihat meninggikan bahu
untuk bernafas, pada perkusi ditemukan bunyi pekak pada paru, auskultasi : bunyi
nafas mengi, ronkhi pada paru bagian kanan dan wheezing pada paru bagian kiri,
terpasang O2 3 liter permenit, respirasi 28 x/menit.
Penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan bersihan jalan nafas tidak
efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret pada diagnosa pertama
karena pasien membutuhkan oksigen dan salah satu kebutuhan fisiologis manusia
menurut Hidayat (2008) adalah oksigen atau bernafas. Dan apabila diagnosa ini
tidak diatasi maka dapat mengancam nyawa pasien.
Tujuan dari rencana tindakan keperawatan menurut Doenges (2000) adalah
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan
mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas dengan
kriteria hasil menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan misalnya
batuk efektif dan mengeluarkan sekret
Intervensi yang di implementasikan oleh penulis pada tanggal 4-7 Februari
2014 antara lain melakukan auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas
misalnya mengi, krekels, ronkhi, rasional : obstruksi jalan nafas ditandai dengan
bunyi nafas krekels, bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi. Mengkaji
frekuensi nafas, rasional : takipnea biasanya ada pada beberapa derajat obstruksi
jalan nafas, pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang
dibanding inspirasi. Mencatat adanya penggunaan otot bantu pernafasan, rasional
menandakan adanya infeksi atau reaksi alergi. Memberikan posisi semifowler,
rasional pasien merasa nyaman dan memudahkan pengembangan paru untuk
bernafas. Membantu latihan nafas dengan bibir dimonyongkan, rasional mengatasi
sesak nafas. Mengobservasi karakteristik batuk dan mengajarkan batuk efektif,
rasional membantu mengeluarkan sekret. Memberikan air matang hangat, rasional
mengencerkan sekret dan mempermudah pengeluaran sekret. Memberikan terapi
nebulizer ventolin dan flixotide, rasional melonggarkan jalan nafas dan
menurunkan produksi mukosa. Memberikan sirup dextrometorfan, rasional
menekan batuk yang terjadi untuk menghemat energi dan pasien dapat istirahat.
Melakukan fisioterapi dada, rasional membuang banyaknya sekret.
Kekuatan dalam pelaksanaan tindakan adalah pasien dan keluarga sangat
kooperatif terhadap semua tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi
sesak nafasnya. Kelemahannya adalah penulis membutuhkan ketelatenan,
ketelitian dan kesabaran untuk mengatasi sesak nafas yang dialami pasien.
Evaluasi untuk diagnosa keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan peningkatan produksi sekret pada hari Jumat, tanggal 7
Februari 2014 pukul 21.00 adalah :
S : Pasien mengatakan sesak nafas berkurang, pasien mengatakan
lega setelah dilakukan nebulizer karena pasien dapat mengeluarkan dahak, pasien
mengatakan batuk berkurang setelah minum obat dextrometorfan sirup, respirasi
24 x/menit.
O : Nebulizer ventolin 2,5 masuk via inhalasi, sekret keluar
berwarna putih purulen, suara nafas mengi dan ronkhi pada paru kanan masih ada,
wheezing sudah menghilang, pasien dapat mempraktekkan batuk efektif.
A : Diagnosa keparawatan bersihan jalan nafas tidak efektif belum
teratasi.
P : Lanjutkan intervensi :
1) Auskultasi suara nafas tambahan
2) Berikan terapi nebulizer
3) Anjurkan untuk meningkatkan intake cairan dengan minum air matang hangat
agar sekret dapat keluar.
b. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan supply O2.
Intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis
untuk melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus
atau yang ingin dilakukan (Amin, 2013). Batasan karakteristik menurut Engram
(2000) antara lain nafas pendek, lemah, kelelahan dengan aktivitas fisik minimal
untuk aktivitas sehari-hari dan takipnea dengan aktivitas fisik minimal.
Diagnosa keperawatan ini muncul karena adanya data pendukung antara lain
pasien mengatakan letih dan lemah setelah melakukan aktivitas sehari-hari karena
kesulitan bernafas, sesak nafas saat istirahat setelah beraktivitas, pasien terlihat
letih, pasien dibantu oleh anggota keluarganya untuk melakukan aktivitas seperti
untuk ambulasi atau berpindah tempat, mandi dan toileting.
Penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan ini pada urutan kedua karena
kebutuhan bergerak sangat dibutuhkan karena pergerakan dapat memenuhi
kebutuhan dasar manusia dan melindungi diri dari kecelakaan seperti jatuh. Dan
apabila diagnosa keperawatan ini tidak diatasi maka dapat menyebabkan
berkurangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Hidayat, 2008).
Tujuan dari rencana tindakan keperawatan menurut Engram (2000) yaitu
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan pasien
menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas dengan kriteria hasil
menurunnya keluhan tentang nafas pendek dan lemah dalam melaksanakan
aktivitas.
Intervensi yang diimplementasikan antara lain memantau frekuensi nafas
sebelum dan sesudah pasien melakukan aktivitas, rasional untuk mengidentifikasi
kemajuan atau penyimpangan dari sasaran yang diharapkan. Melakukan
penghematan energi meliputi memberikan bantuan dalam melakukan aktivitas,
menyediakan waktu untuk istirahat, meningkatkan aktivitas secara bertahap dan
menganjurkan kepada keluarga untuk memberikan makanan dalam porsi sedikit
tetapi sering, rasional istirahat berguna untuk mengumpulkan energi, makanan
dalam porsi besar dan susah dikunyah memerlukan lebih banyak energi.
Kekuatan selama pelaksanaan rencana keperawatan ini adalah pasien memiliki
motivasi yang besar untuk melakukan aktivitas secara mandiri, anggota keluarga
juga membantu untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari pasien di rumah
sakit. Sedangkan kelemahannya apabila pasien sedang sendiri di rumah sakit
(anggota keluarga tidak ada yang menunggu) pasien menggunakan kursi roda
secara mandiri yang dapat menimbulkan masalah keperawatan resiko jatuh karena
kondisi pasien yang lemah.
Evaluasi untuk diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan
dengan kerusakan pertukaran gas pada hari Jumat tanggal 7 Februari 2014
adalah :
S : Pasien mengatakan dapat melakukan aktivitas secara mandiri,
pasien mengatakan sesak nafas berkurang setelah melakukan aktivitas.
O : Pasien dapat melakukan ambulasi, mandi dan toileting secara
mandiri, respirasi setelah beraktivitas 24 x/menit, sesak nafas berkurang, pasien
mengerti tentang anjuran untuk melakukan aktivitas secara bertahap dan makan
dengan porsi sedikit tapi sering.
A : Diagnosa keperawatan intoleran aktivitas teratasi
P : Hentikan intervensi.
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan faktor fisiologis (batuk).
Gangguan pola tidur menurut Amin (2013) adalah gangguan kualitas dan
kuantitas waktu tidur akibat faktor eksternal. Batasan karakteristik menurut
Engram (2000) adalah batuk menetap selama waktu tidur, keluhan
ketidakmampuan untuk tidur karena batuk atau nyeri menetap.
Diagnosa ini muncul karena adanya data pendukung antara lain pasien
mengatakan kesulitan untuk tidur karena batuk yang bertambah di malam hari,
pasien mengatakan tidak dapat beristirahat dengan baik, pasien sering terbangun
saat tidur di malam hari, pasien terbangun 4 kali di malam hari, pasien tidur
selama 5 jam sehari.
Penulis memprioritaskan diagnosa ini pada urutan ketiga karena pada saat
istirahat atau tidur, tubuh melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan
stamina tubuh sehingga berada dalam kondisi yang optimal. Dan apabila
kebutuhan istirahat dan tidur pasien tidak terpenuhi maka dapat berpengaruh pada
tubuh, tubuh tidak dapat berfungsi secara normal (Asmadi, 2008).
Tujuan dari rencana tindakan keperawatan menurut Engram (2000) adalah
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kebutuhan
tidur pasien terpenuhi dengan kriteria hasil melaporkan perasaan dapat istirahat.
Intervensi yang diimplementasikan antara lain memberikan obat antitusif,
rasional menekan batuk dan memudahkan pengeluaran sekresi dari paru.
Menganjurkan penggunaan oksigen selama tidur, rasional memberikan tambahan
supply oksigen ke jaringan tubuh. Menganjurkan untuk menghidari asap rokok,
rasional asap rokok dapat mencetuskan batuk. Menganjurkan pasien mandi
dengan air hangat, rasional meningkatkan relaksasi. Membantu mendapatkan
posisi yang nyaman, rasional pasien dapat tidur dengan nyaman.
Kekuatan selama pelaksanaan perencanaan keperawatan ini adalah pasien dan
anggota keluarga pasien kooperatif. Sedangkan kelemahannya antara lain apabila
perencanaan keperawatan ini tidak dilakukan maka dapat mempengaruhi tanda-
tanda vital pasien.
Evaluasi pada hari Jumat tanggal 7 Februari 2014 pukul 21.00 untuk diagnosa
keperawatan gangguan pola tidur adalah
S : Pasien mengatakan sudah dapat tidur dengan nyenyak karena
batuk sudah berkurang, pasien mengatakan merasa lebih segar setelah tidur.
O : Tidur semalam 7 jam, dan terbangun sebanyak 1 kali saat
toileting.
A : Diagnosa keperawatan gangguan pola tidur teratasi.
P : Hentikan intervensi.

2. Diagnosa keperawatan yang tercantum dalam teori tetapi tidak muncul


dalam kasus adalah :
a. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan supply oksigen
(obstruksi jalan nafas oeh sekresi, spasme bronkus, jebakan udara), kerusakan
alveoli.
Kerusakan pertukaran gas adalah kelebihan atau deficit pada oksigenasi dan
atau eliminasi karbondioksida pada membran alveolar-kapiler (Amin, 2013).
Batasan karakteristik menurut Doenges (2000) antara lain dispnea, bingung,
gelisah, ketidakmampuan membuang sekret, nilai GDA tak normal, perubahan
tanda vital, penurunan tolernasi terhadap aktivitas
Diagnosa keperawatan ini tidak muncul dalam kasus karena didalam kasus
tidak diperoleh data-data pendukung untuk menegakkan diagnosa ini antara lain
pada pasien tidak mengalami bingung dan gelisah, pasien mampu membuang
sekret walaupun dengan usaha minimal, tidak ada perubahan pada tanda-tanda
vital pasien.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,
kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual muntah.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh menurut Amin (2013) adalah
asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik. Batasan
karakteristik menurut Doenges (2000) adalah penurunan berat badan, kehilangan
masa otot, tonus otot buruk, kelemahan, mengeluh gangguan sensasi pengecap,
keengganan untuk makan, kurang tertarik pada makanan.
Diagnosa keperawatan ini tidak muncul dalam kasus karena tidak ada data
pendukung untuk diagnosa keperawatan ini. Pengkajian yang penulis lakukan
diperoleh hasil dalam kasus didapatkan data pasien mengatakan nafsu makan baik,
makan 3 kali sehari, habis 1 porsi, dan tidak mengalami mual dan muntah, pasien
juga diberikan injeksi ranitidine 30 mg untuk mencegah terjadinya anoreksia, pada
pemeriksaan laboratorium juga nilai glukosa dan elektrolit normal, glukosa
sewaktu 196 mg/dL, natrium 139 mmol/L, kalium 3,8 mmol/L, klorida 97
mmol/L.
c. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas
(kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit
kronis, malnutrisi.
Resiko tinggi terhadap infeksi menurut Amin (2013) adalah mengalami
peningkatan resiko terserang organisme patogenik. Batasan karakteristik menurut
Doenges (2000) adalah tidak ada tanda-tanda dan gejala-gejala resiko infeksi.
Diagnosa keperawatan ini tidak muncul dalam kasus karena tidak diperoleh
data pendukung untuk diagnosa keperawatan ini. Pengkajian yang dilakukan
penulis yaitu pasien tidak mengalami tanda dan gejala infeksi, leukosit 9120/UL,
suhu tubuh selama 3 hari dalam batas normal (36,5-37,5o c).
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil asuhan keperawatan pada Tn. B dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Melakukan pengkajian pada Tn. B terkait dengan penyakit paru obstruksi kronis.
Dalam melakukan pengkajian dengan Tn. B, penulis mengalami kesulitan
dalam melakukan komunikasi dengan Tn. B karena Tn. B kesulitan berbicara.
Maka dari itu, penulis tidak hanya melakukan wawancara pada pasien saja, tetapi
juga pada anggota keluarga Tn. B.
2. Merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. B.
Dari hasil pengkajian yang dilakukan oleh penulis, penulis memprioritaskan 3
diagnosa yaitu bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret, intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan pertukaran
gas dan gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk.
3. Melakukan perencanaan keperawatan pada Tn. B.
Perencanaan yang dibuat disesuaikan dengan kondisi pasien. Sehingga
intervensi yang dilakukan dapat terlaksana dengan baik berkat dukungan dan
kerjasama dari Tn. B dan anggota keluarga Tn. B dalam mengatasi penyakit yang
dideritanya. Saat penulis melakukan kontrak waktu untuk pemberian asuhan
keperawatan yang akan dilakukan selanjutnya, pasien berkenan dan anggota
keluarga pasien juga kooperatif.
4. Melakukan tindakan keperawatan pada Tn. B terkait penyakit paru obstruksi
kronis yang dialami Tn. B.
Saat dilakukan tindakan keperawatan, Tn. B sangat kooperatif saat dilakukan
injeksi, fisioterapi dada, diajarkan teknik mengeluarkan sekret dengan batuk
efektif dan pasien juga memperhatikan saran yang diberikan oleh penulis antara
lain minum air hangat matang untuk memudahkan keluarnya sekret.
5. Melakukan evaluasi keperawatan pada keluarga Tn. B.
Evaluasi setelah memberikan tindakan keperawatan selama 3 hari, untuk
diagnosa pertama belum teratasi, sedangkan untuk diagnosa kedua dan ketiga
sudah teratasi.
6. Melakukan dokumentasi keperawatan pada keluarga Tn. B.
Setelah melakukan tindakan keperawatan, penulis mendokumentasikan
tindakan tersebut dalam catatan keperawatan yang penulis buat.

B. Saran
1. Rumah Sakit
Penulis memberikan saran kepada rumah sakit agar dapat meningkatkan dan
mempertahankan standar asuhan keperawatan sehingga mutu pelayanan rumah
sakit dapat terjaga.
2. Institusi Pendidikan
Penulis berharap akademik dapat menyediakan sumber buku dengan tahun
dan penerbit terbaru sebagai bahan informasi yang penting dalam pembuatan
karya tulis ilmiah ini dan dapat meningkatkan kualitas pendidikan terutama
dengan pembuatan asuhan keperawatan dalam praktek maupun teori.
3. Profesi Perawat
Penulis berharap agar perawat ruangan dapat meningkatkan mutu pelayanan,
lebih ramah lagi terhadap pasien dan dapat memberikan asuhan keperawatan
dengan sebaik-baiknya.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis


NANDA NIC NOC. Yogyakarta : Media Action.
Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta : FIP. IKIP.

Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar
Klien. Jakarta : Salemba Medika.

Brashers, Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan Manajemen


Edisi 2. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC Buku
Kedokteran.

Engram, Barbara. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 1.


Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Hidayat, Azis Alimul. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Kasanah. 2011. Analisis Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit Paru Obstruksi Kronis
Eksasebrasi Akut Berdasarkan ICD 10 Pada Dokumen Rekam Medis Pasien
Rawat Inap Di RSUD SRAGEN. Sragen : Jurnal Keperawatan.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Nazir. 2000. Metode Penelitian. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Nursalam. 2001. Proses dan Prinsip Keperawatan : Konsep dan Praktik. Jakarta :
Salemba Medika.

Reeves, Charlene J. 2001. Buku Satu Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba
Medika.
Rumah Sakit Margono Soekardjo Purwokerto. 2014. Data Rekam Medik. Rumah Sakit
Margono Soekardjo Purwokerto : tidak dipublikasikan.

Anda mungkin juga menyukai