BAB II
TINJAUAN TEORI
1. DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif Kronis adalah gangguan progresif lambat kronis ditandai
oleh obstruksi saluran pernafasan yang menetap atau sedikit reversibel, tidak
seperti obstruksi saluran pernafasan reversibel pada asma (Davey, 2003).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah kelainan dengan klasifikasi yang luas,
termasuk bronkitis, brokiektasis, emfisema, dan asma. Ini merupakan kondisi
yang tidak dapat pulih yang berkaitan dengan dispnea pada aktivitas fisik dan
mengurangi aliran udara (Suzanne C. Smeltzer, 2001).
PPOK atau PPOM adalah kalsifikasi luas dari gangguan yang mencakup
bronchitis kronis, bronkiektasis, emfisema dan asma (Bruner & Suddarth, 2002).
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari
gelembung-gelembung (gelembung hawa = alveoli). Gelembung-gelembung
alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas
permukaannya lebih kurang 90 m2 pada lapisan inilah terjadi pertukaran udara, O2
masuk ke dalam darah dan C02 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung
paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan).
1. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), Lobus Pulmo dekstra
superior, Lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh
lobulus.
2. Paru-paru kiri, terdiri dari; Pulmo sinester lobus superior dan lobus
inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil
bernama segment.
Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah segment pada lobus
superior, dan 5 (lima) buah segment pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10
segmen yaitu : 5 (lima) buah segmen pada lobus superior, 2 (dua) buah segmen
pada lobus medialis, dan 3 (tiga) buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap
segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus.
Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikal yang berisi
pembuluh-pembuluh darah getah bening dan saraf-saraf, dalam tiap-tiap lobulus
terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang
banyak sekali, cabang-cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus
alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2 – 0,3 mm.
Letak paru-paru.
2. Pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar
Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada
keadaan normal, kavum pleura ini vakum/ hampa udara sehingga paru-paru dapat
berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eskudat) yang berguna untuk
meminyaki permukaannya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan
dinding dada dimana sewaktu bernapas bergerak.
Sirkulasi pulmonar berasal dari ventrikel kanan yang tebal dinding 1/3 dan tebal
ventrikel kiri, Perbedaan ini menyebabkan kekuatan kontraksi dan tekanan yang
ditimbulkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan tekanan yang ditimbulkan oleh
kontraksi ventrikel kiri. Selain aliran melalui arteri pulmonal ada darah yang
langsung mengalir ke paru-paru dad aorta melalui arteri bronkialis. Darah ini
adalah darah “kaya oksigen” (oxygen-nated) dibandingkan dengan darah
pulmonal yang relatif kekurangan oksigen.
Darah ini kembali melalui vena pulmonalis ke atrium kiri. Arteri pulmonalis
membawa darah yang sedikit mengandung 02 dari ventrikel kanan ke paru-paru.
Cabang-cabangnya menyentuh saluran-saluran bronkial sampai ke alveoli halus.
Alveoli itu membelah dan membentuk jaringan kapiler, dan jaringan kapiler itu
menyentuh dinding alveoli (gelembung udara). Jadi darah dan udara hanya
dipisahkan oleh dinding kapiler.
Dari epitel alveoli, akhirnya kapiler menjadi satu sampai menjadi vena pulmonalis
dan sejajar dengan cabang tenggorok yang keluar melalui tampuk paru-paru ke
serambi jantung kiri (darah mengandung 02), sisa dari vena pulmonalis ditentukan
dari setiap paru-paru oleh vena bronkialis dan ada yang mencapai vena kava
inferior, maka dengan demikian paru-paru mempunyai persediaan darah ganda.
1. Kapasitas total. Yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paru-paru pada
inspirasi sedalam-dalamnya. Dalam hal ini angka yang kita dapat
tergantung pada beberapa hal: Kondisi paru-paru, umur, sikap dan bentuk
seseorang.
1. KLASIFIKASI
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah
sebagai berikut:
1. Bronkitis kronik
1. Definisi
1. Etiologi
Alergi
1. Patofisiologi
Asap mengiritasi jalan nafas mengakibatkan hipersekresi lendir dan inflamasi.
Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-
sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun dan lebih banyak lendir
yang dihasilkan. Sebagai akibat bronkiolus dapat menjadi menyempit dan
tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi rusak dan
membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar yang
berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri. Pasien
kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. Penyempitan
bronkial lebih lanjut terjadi sebagai akibat perubahan fibrotik yang terjadi dalam
jalan napas. Pada waktunya mungkin terjadi perubahan paru yang ireversibel,
kemungkinan mengakibatkan emfisema dan bronkiektasis.
1. Manifestasi Klinis
Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin adalah tanda dini.
Suara serak.
Sesak nafas.
1. Komplikasi
1. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan analisa gas darah : hipoksia dengan hiperkapnia.
1. Penatalaksanaan
Mencegah infeksi.
1. Pencegahan
1. Definisi
Definisi emfisema menurut Kus Irianto, Robbins, Corwin, dan The American
Thorack society:
1. Tipe Emfisema
Terdapat tiga tipe dari emfisema :
1. Etiologi
Faktor Genetik
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti
elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan keseimbangan
menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul
emfisema.
Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok secara patologis
dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat
fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan.
Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga
gejalanya lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia,
bronkiolitis akut dan asma bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas,
yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema. Infeksi pernapasan
bagian atas pasien bronkitis kronik selalu menyebabkan infeksi paru bagian
dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi
paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae.
Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka
kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat
industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan
gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor
penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah
merokok resiko akan lebih tinggi.
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin
kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor lingkungan
dan ekonomi yang lebih jelek.
Pengaruh usia
1. Patofisiologi
Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu : inflamasi
dan pembengkakan bronki; produksi lendir yang berlebihan; kehilangan rekoil
elastik jalan napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang
berfungsi.
1. Manifestasi Klinis
Dispnea
Takipnea
Hipoksemia
Hiperkapnia
Anoreksia
Penurunan BB
Kelemahan
1. Komplikasi
Pneumonia
Atelaktasis
Pneumothoraks
1. Pemeriksaan penunjang
Analisis Gas Darah Ventilasi, yang hampir adekuat masih sering dapat
dipertahankan oleh pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau
normal. Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi.
Pemeriksaan EKG, Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock
wise Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan
P-pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah. Di V1
rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang dari 1.
1. Penatalaksanaan
Penyuluhan
Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal
yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.
Pencegahan
1. Pemberian Bronkodilator
Golongan teofilin, biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral
dengan memperhatikan kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang
baik antara 10-15mg/L. Golongan agonis B2, biasanya diberikan secara
aerosol/nebuliser. Efek samping utama adalah tremor, tetapi menghilang dengan
pemberian agak lama.
1. Pemberian Kortikosteroid
Minum cukup, supaya tidak dehidrasi dan mukus lebih encer sehingga urine tetap
kuning pucat. Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril guaiakolat,
kalium yodida, dan amonium klorida. Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air
menurunkan viskositas dan mengencerkan sputum. Mukolitik dapat digunakan
asetilsistein atau bromheksin.
3. Bronkiektasis
4. Definisi
Bronkiektasis berarti suatu dilatasi yang tak dapat pulih lagi dari bronchial yang
disebabkan oleh episode pnemonitis berulang dan memanjang, aspirasi benda
asing, atau massa (misal : neoplasma) yang menghambat lumen bronchial dengan
obstruksi (Hudak & Gallo, 1997).
Bronkiektasis adalah dilatasi permanen abnormal dari salah satu atau lebih
cabang-cabang bronkus yang besar (Barbara E, 1998).
1. Klasifikasi Bronkiektasis
Bronkiektasis kistik atau sakular bronkus yang besar dapat melebar dan
berbentuk seperti balon.
1. Etiologi
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor
risiko yang terdapat pada penderita antara lain:
Polusi udara
1. Patofisiologi
1. Manifestasi Klinis
Kelemahan badan
Batuk
Sesak napas
1. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologist
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah
dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan
KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory
flow rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal.
Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini
perubahan hanya pada saluran napas kecil (small airways). Pada emfisema
kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi
vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik
merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada
kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja
lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat
kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III,
dan aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S
kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.
1. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan meliputi :
4. Asthma Bronchiale
5. Definisi
Asthma adalah suatu gangguan pada saluran bronchial yang mempunyai ciri
bronchospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran nafas). Asthma
merupakan penyakit yang kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor
biochemical, endokrin, infeksi, otonomik dan psikologi.
1. Tipe Asthma
Asthma terbagi menjadi alergi, idiopatik, non alergik atau campuran (mixed) :
Merupakan suatu bentuk asthma dengan penyebab allergen (misal: bulu binatang,
debu, ketombe, tepung sari, makanan, dll). Alergen terbanyak adalah airborne dan
seasonal (musiman). Pasien dengan asthma alergik biasanya mempunyai riwayat
penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan exzema atau rhinitis
alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asthma. Bentuk
asthma ini biasanya dimulai saat kanak-kanak.
1. Etiologi
Sampai saat ini etiologi asthma belum diketahui dengan pasti, suatu hal yang
menonjol pada semua penderita asthma adalah fenomena hiperreaktivitas
bronchus.
Alergen utama : debu rumah, spora jamur dan tepung sari rerumputan.
Lingkungan kerja.
Obat-obatan.
1. Gambaran Klinis
Gejala asthma terdiri dari triad : dispnea, batuk dan mengi, gejala yang disebutkan
terakhir sering dianggap sebagai gejala yang harus ada (“sine qua non”).
Objektif
Subjektif
Psikososial
1. Patofisiologi
Asthma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang dikendalikan oleh
limfosit T dan B dan diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul IgE
yang berikatan dengan sel mast. Sebagian besar alergen yang mencetuskan asthma
bersifat airborne dan supaya dapat menginduksi keadaan sensitivitas, alergen
tersebut harus tersedia dalam jumlah banyak untuk periode waktu tertentu. Akan
tetapi sekali sensitisasi telah terjadi pasien akan memperlihatkan respon yang
sangat baik sehingga sejumlah kecil alergen yang mengganggu sudah dapat
menghasilkan eksaserbasi penyakit yang jelas.
Obat yang paling sering berhubungan dengan induksi episode akut asthma adalah
aspirin, bahan pewarna seperti tartazin, antagonis beta-adrenergik dan bahan
sulfat. Sindroma pernafasan sensitif-aspirin khusus terutama mengenai orang
dewasa, walaupun keadaan ini juga dapat dilihat pada masa kanak-kanak. Masalah
ini biasanya berawal dari rhinitis vasomotor perennial yang diikuti oleh
rhinosinusitis hiperplastik dengan polip nasal. Baru kemudian muncul asthma
progresif. Pasien yang sensitif terhadap aspirin dapat didesentisasi dengan
pemberian obat setiap hari. Setelah menjalani bentuk terapi ini, toleransi silang
juga akan terbentuk terhadap agen anti-inflamasi non-steroid lain.
Mekanisme dengan aspirin dan obat lain dapat menyebabkan bronkospasme tidak
diketahui tetapi mungkin berkaitan dengan pembentukan leukotrien yang
diinduksi secara khusus oleh aspirin. Antagonis beta-adrenergik biasanya
menyebabkan obstruksi jalan nafas pada pasien asthma demikian juga dengan
pasien lain dengan peningkatan reaktifitas jalan nafas dan harus dihindarkan pada
pasien ini. Obat sulfat, seperti kalium metabisulfit, kalium dan natrium bisulfit,
natrium sulfit dan sulfat klorida, yang secara luas digunakan dalam industri
makanan dan farmasi sebagai agen sanitasi dan pengawet juga dapat
menimbulkan obstruksi jalan nafas akut pada pasien yang sensitif. Pajanan
biasanya terjadi setelah menelan makanan atau cairan yang mengandung senyawa
ini, misal, salad, buah segar, kentang, kerang dan anggur.
1. PENATALAKSANAAN PPOK
Pengobatan simtomatik.
Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan
kesegaran jasmani.
3.
Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas
tipe II dengan PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg).
2. Chest X-Ray
3. TLC
Meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun pada
emfisema.
4. Kapasitas Inspirasi
5. FEV1/FVC
Ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC)
menurun pada bronchitis dan asthma.
6. ABGs
7. Bronchogram
Dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps bronchial pada
tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronchitis).
8. Darah Komplit
9. Kimia Darah
11. ECG
1. KOMPLIKASI PPOK
2. Hipoxemia
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul
antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
4. Gagal jantung
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory.
6. Status Asmatikus
1. Pengkajian
2. Identitas klien
1. Riwayat penyakit
Batuk dan sesak nafas, sesak bertambah berat , Sesak nafas dan batuk tidak
berhubungan dengan aktivitas dan sesak nafas dan batuk pada waktu setelah
berbaring atau tiduran, duduk, berdiri maupun berjalan. Beberapa bulan yang lalu
batuk berdahak, kental berwarna putih kekuningan serta agak berbau.
Apakah ada keluarga yang mengindap penyakit yang sama dengan klien.
Kebersihan tempat tinggal, dan apakah ada sekitar tempat tinggal yang mengindap
TBC.
1. Pemeriksaan fisik
Kedaan umum : baik
Kesadaran : CM
Tekanan darah (terjadi peningkatan tekanan darah), pernafasan (sesak nafas), nadi,
dan suhu.
Body system
1. Sistem pernafasan
1. Sistem sirkulasi
2. Penciuman: Klien dapat membedakan rasa yang kurang sedap seperti rasa
bau dari dahak yang dikeluarkan pada saat batuk.
1. Aktivitas
1. Nutirsi/ hidrasi
Gejala : Mual, muntah, nafsu makan kurang, penurunan berat badan atau
peningkatan berat badan karena edema.
1. Hiegiene
DO:
DS:
Ketidakseimbangan
perfusi ventilasi.
DO: Gangguan
2.
pertukaran gas
a. Biasanya Fase ekspirasi
memanjang
DO:
a. Biasanya klien anoreksia
DS:
Tidak adekuatnya
4. imunitas, Resiko infeksi
DO: malnutrisi.
2. Diagnosa Keperawatan
Latar Belakang
Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, tidak hanya oleh
perorangan, tetapi juga oeh kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Sehat adalah
suatu keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Status kesehatan dipengruhi oleh
faktor biologik, lingkungan dan pelayanan kesehatan. Faktor biologik merupakan
faktor yang berasal dari dalam individu atau faktor keturunan misalnya pada
penyakit alergi (Mansjoer, 2000).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena
bronkitis kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif,
bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible. Bronkitis
kronis ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak,
sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit
selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai
dengan melebarnya secara abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000).
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pada tahun 2010
diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan keempat sebagai penyebab
kematian. Prevalensi terjadinya kematian akibat rokok pada penyakit penyakit
paru obstruksi kronis pada tahun 2010 sebanyak 80-90 % (Kasanah, 2011).
Data yang diperoleh di Rekam Medis Rumah Sakit Margono Purwokerto pada
bulan Januari sampai Maret 2014 didapatkan data sebanyak 30 % pasien
menderita penyakit paru obstruksi kronis (RS Margono Soekardjo, 2014).
Maka dari itu, penulis tertarik untuk mengangkat kasus ini dalam suatu asuhan
keperawatan yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Pada Tn. B Dengan Gangguan Sistem Pernafasan :
Penyakit Paru Obstruksi Kronis Di Ruang Asoka RS Prof. Dr. Margono Soekardjo
Purwokerto”. Alasan penulis tertarik untuk mengambil kasus ini adalah karena
penyakit ini memerlukan pengobatan dan perawatan yang optimal sehingga
perawat memerlukan ketelatenan untuk dapat memelihara, mengembalikan fungsi
paru dan kondisi pasien sebaik mungkin. Penyakit ini akan terus mengalami
perkembangan yang progresif dan belum ada penyembuhan secara total. Maka
dari itu, perawat terfokus untuk melakukan perawatan yang meliputi terapi obat,
perubahan gaya hidup, terapi pernafasan dan juga dukungan emosional bagi
penderita penyakit paru obstruksi kronis (Reeves, 2001).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada laporan kasus ini adalah “Bagaimana Asuhan
Keperawatan Pada Tn. B Dengan Gangguan Sistem Pernafasan : Penyakit Paru
Obstruksi Kronis Di Ruang Asoka RS Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto”.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran nyata tentang asuhan keperawatan pada pasien
dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis.
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis.
c. Mampu merencanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis.
d. Mampu melakukan rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis.
e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis.
f. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis.
D. Manfaat
1. Rumah Sakit
Laporan kasus ini dapat menjadi masukan dalam melakukan pelayanan
peningkatan asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK
2. Institusi Pendidikan
Laporan kasus ini di harapkan dapat menjadi bahan pustaka yang dapat
memberikan gambaran pengetahuan mengenai PPOK.
3. Profesi Perawat
Laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan bagi tenaga
kesehatan untuk mengadakan penyuluhan tentang kesehatan mengenai PPOK dan
bahayanya.
BAB II
KONSEP DASAR
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena
bronkitis kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif,
bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible. Bronkitis
kronis ditandai dengan batuk-batuk hamper setiap hari disertai pengeluaran dahak,
sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit
selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai
dengan melebarnya secara abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000).
B. Etiologi
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Mansjoer (2000) adalah :
1. Kebiasaan merokok.
2. Polusi udara.
3. Paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
4. Riwayat infeksi saluran nafas.
5. Bersifat genetik yaitu defisiensi alfa satu antitripsin.
Brashers (2007) menambahkan faktor-faktor yang menyebabkan penyakit paru
obstruksi kronis adalah :
1. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok
menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan
fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan
dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi
pada anak.
2. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada
kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang
diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.
3. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan
rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko
terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan
klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
4. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko
morbiditas PPOK.
C. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis adalah :
1. Batuk.
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas.
Reeves (2001) menambahkan manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis adalah :
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi
kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-
batuk dan produksi dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas
pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi
dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten
yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan
berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan
mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang
menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan
secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan
yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi
dahak yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera
makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak
cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK
lebih membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga
dalam melakukan pernafasan.
D. Patofisiologi / pathway
Patofisiologi menurut Brashers (2007), Mansjoer (2000) dan Reeves (2001)
adalah :
Asap rokok, polusi udara dan terpapar alergen masuk ke jalan nafas dan
mengiritasi saluran nafas. Karena iritasi yang konstan ini , kelenjar-kelenjar yang
mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun,
dan lebih banyak lendir yang dihasilkan serta terjadi batuk, batuk dapat menetap
selama kurang lebih 3 bulan berturut-turut. Sebagai akibatnya bronkhiolus
menjadi menyempit, berkelok-kelok dan berobliterasi serta tersumbat karena
metaplasia sel goblet dan berkurangnya elastisitas paru. Alveoli yang berdekatan
dengan bronkhiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis mengakibatkan
fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel
asing termasuk bakteri, pasien kemudian menjadi rentan terkena infeksi.
F. Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah
infeksi nafas yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena keadaan
hipoksia kronik, gagal nafas dan kor pulmonal.
Reeves (2001) menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi
pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute
Respiratory Failure), pneumotoraks dan giant bullae serta ada satu komplikasi
kardiak yaitu penyakit cor-pulmonale.
1. Acute Respiratory Failure (ARF).
Acute Respiratory Failure (ARF) terjadi ketika ventilasi dan oksigenasi tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh saat istirahat. Analisa gas darah bagi
pasien penyakit paru obstruksi menahun menunjukkan tekanan oksigen arterial
PaO2 sebesar 55 mm Hg atau kurang dan tekanan karbondioksida arterial (PaCO 2)
sebesar 50 mm Hg atau lebih besar. Jika pasien atau keluarganya membutuhkan
alat-alat bantu kehidupan maka pasien tersebut dilakukan intubasi dan diberi
sebuah respirator untuk ventilasi secara mekanik.
2. Cor Pulmonale.
Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan merupakan pembesaran
ventrikel kanan yang disebabkan oleh overloading akibat dari penyakit pulmo.
Komplikasi jantung ini terjadi sebagai mekanisme kompensasi sekunder bagi
paru-paru yang rusak pada penderita penyakit paru obstruksi menahun.
Cor pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh secara
menyeluruh. Apabila terjadi malfungsi pada satu sistem organ maka hal ini akan
merembet ke sistem organ lainnya. Pada penderita dengan penyakit paru obstruksi
menahun, hipoksemia kronis menyebabkan vasokonstriksi kapiler paru-paru yang
kemudian akan meningkatkan resistensi vaskuler pulmonari. Efek domino dari
perubahan ini terjadi peningkatan tekanan dalam paru-paru mengakibatkan
ventrikel kanan lebih kuat dalam memompa sehingga lama-kelamaan otot
ventrikel kanan menjadi hipertrofi atau membesar.
Perawatan penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis rendah
dibatasi hingga 2 liter per menit, diuretik untuk menurunkan edema perifer dan
istirahat. Edema perifer merupakan efek domino yang lain karena darah balik ke
jantung dari perifer atau sistemik dipengaruhi oleh hipertrofi ventrikel kanan.
Digitalis hanya digunakan pada penyakit jantung paru yang juga menderita gagal
jantung kiri.
3. Pneumothoraks.
Pneumotoraks merupakan komplikasi PPOM serius lainnya. Pnemo berarti
udara sehingga pneumotoraks diartikan sebagai akumulasi udara dalam rongga
pleural. Rongga pleural sesungguhnya merupakan rongga yang khusus yakni
berupa lapisan cairan tipis antara lapisan viseral dan parietal paru-paru Fungsi
cairan pleural adalah untuk membantu gerakan paru-paru menjadi lancar dan
mulus selama pernafasan berlangsung. Ketika udara terakumulasi dalam rongga
pleural, maka kapasitas paru-paru untuk pertukaran udara secara normal, menjadi
melemah dan hal ini menyebabkan menurunnya kapasitas vital dan hipoksemia.
4. Giant Bullae.
Pneumotoraks seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOM lainnya yaitu
pembentukan giant bullae. Jika pneumotoraks adalah udara yang terakumulasi di
rongga pleura. Tetapi bullae adalah timbul karena udara terperangkap di parenkim
paru-paru. Sehingga alveoli yang menjadi tempat menangkapnya udara untuk
pertukaran gas menjadi benar-benar tidak efektif. Bullae dapat menyebabkan
perubahan fungsi pernafasan dengan cara 2 hal yaitu dengan menekan jaringan
paru-paru, mengganggu berlangsungnya pertukaran udara. Jika udara yang
terperangkap dalam alveoli semakin meluas maka semakin banyak pula kerusakan
yang terjadi di dinding alveolar.
G. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Mansjoer (2000) adalah :
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya
disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x
0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman
penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi
beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada
pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dam
membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari
selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia
dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik. Pada
pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250
mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv
secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-
0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien
maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi
faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan
PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan
terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah fisioterapi,
rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
1. Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab dan
edukasi atau penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan medis asma
adalah untuk meningkatkan fungsi normal individu, mencegah gejala
kekambuhan, mencegah serangan hebat, dan mencegah efek samping obat. Tujuan
utama dari berbagai medikasi yang diberikan untuk klien asma adalah untuk
membuat klien mencapai relaksasi bronkial dengan cepat, progresif dan
berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa inflamasi adalah merupakan proses
fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan preparat inhalasi beta
dua adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid memastikan
bahwa obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan efek
samping yang berkaitan dengan steroid oral. Direkomendasikan bahwa inhalasi
beta dua adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk membuka jalan nafas,
kemudian inhalasi steroid akan menjadi lebih berguna.
2. Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada pemeriksaan
fisik, radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas darah. Pemeriksaan
ini mencerminkan sifat progresif dari penyakit. Pengobatan terbaik untuk
bronkitis kronis adalah pencegahan, karena perubahan patologis yang terjadi pada
penyakit ini bersifat tidak dapat pulih (irreversible). Ketika individu mencari
bantuan medis untuk mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi
sedemikian besar.
Jika individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat ditahan. Jika merokok
dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan
pada akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok. Bronkodilator,
ekspektoran, dan terapi fisik dada diterapkan sesuai yang dibutuhkan. Penyuluhan
kesehatan untuk individu termasuk konseling nutrisi, hygiene respiratory,
pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan teknik yang meredakan dispnea, seperti
bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa individu mendapat terapi
antibiotik profilaktik, terutama selama musim dingin. Pemberian steroid sering
diberikan pada proses penyakit tahap lanjut.
3. Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk pemberian antibiotik, drainase
postural untuk membantu mengeluarkan sekresi dan mencegah batuk, dan
bronkoskopi untuk mengeluarkan sekresi yang mengental. Pemeriksaan CT Scan
dilakukan untuk menegakkan diagnosa. Terkadang diperlukan tindakan
pembedahan bagi klien yang terus mengalami tanda dan gejala meski telah
mendapat terapi medis. Tujuan utama dari pembedahan ini adalah untuk
memulihkan sebanyak mungkin fungsi paru. Biasanya dilakukan segmentektomi
atau lubektomi. Beberapa klien mengalami penyakit dikedua sisi parunya, dalam
kondisi seperti ini, tindakan pembedahan pertama-tama dilakukan pada bagian
paru yang banyak terkena untuk melihat seberapa jauh perbaikan yang terjadi
sebelum mengatasi sisi lainnya.
4. Penatalaksanaan medis emfisema adalah untuk memperbaiki kualitas hidup,
memperlambat progresi penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan nafas untuk
menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik menurut Asih (2003) mencakup
tindakan pengobatan dimaksudkan untuk mengobati ventilasi dan menurunkan
upaya bernafas, pencegahan dan pengobatan cepat infeksi, terapi fisik untuk
memelihara dan meningkatkan ventilasi pulmonal, memelihara kondisi
lingkungan yang sesuai untuk memudahkan pernafasan dan dukungan psikologis
serta penyuluhan rehabilitasi yang berkesinambungan.
H. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan Penyakit paru Obstruksi Kronis menurut
Doenges (2000) adalah :
a. Aktivitas dan istirahat
1) Gejala :
a) Keletihan, kelemahan, malaise.
b) Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas.
c) Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi.
d) Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.
2) Tanda :
a) Keletihan.
b) Gelisah, insomnia.
c) Kelemahan umum atau kehilangan masa otot.
b. Sirkulasi
1) Gejala
a) Pembengkakan pada ekstrimitas bawah.
2) Tanda :
a) Peningkatan tekanan darah.
b) Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia berat atau disritmia.
c) Distensi vena leher atau penyakit berat.
d) Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.
e) Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan diameter AP dada)
f) Warna kulit atau membrane mukosa normal atau abu-abu atau sianosis, kuku
tabuh dan sianosis perifer.
g) Pucat dapat menunjukkan anemia.
c. Integritas ego
1) Gejala :
a) Peningkatan faktor resiko.
b) Perubahan pola hidup.
2) Tanda :
a) Ansietas, ketakutan, peka rangsang.
d. Makanan atau cairan
1) Gejala :
a) Mual atau muntah.
b) Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).
c) Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.
d) Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan
menunjukkan edema (bronchitis).
2) Tanda :
a) Turgor kulit buruk.
b) Edema dependen.
c) Berkeringat.
d) Penurunan berat badan, penurunan masa otot atau lemak subkutan (emfisema).
e) Palpasi abdominal dapat menyatakan hepatomegali (bronchitis).
e. Hygiene
1) Gejala :
a) Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas
sehai-hari.
2) Tanda :
a) Kebersihan buruk, bau badan.
f. Pernafasan
1) Gejala :
a) Nafas pendek, umumnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol
pada emfisema , khususnya pada kerja, cuaca atau episode berulangnya sulit nafas
(asma), rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas (asma).
b) Lapar udara kronis.
c) Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari terutama saat bangun selama
minimal 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum
(hijau, putih atau kuning) dapat banyak sekali (bronkhitis kronis).
d) Episode batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun
dapat menjadi produktif (emfisema).
e) Riwayat pneumonia berulang, terpajan oleh polusi kimia atau iritan pernafasan
dalam jangka panjang misalnya rokok sigaret atau debu atau asap misalnya asbes,
debu batubara, rami katun, serbuk gergaji.
f) Faktor keluarga dan keturunan misalnya defisiensi alfa antritipsin (emfisema).
g) Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus.
2) Tanda :
a) Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi memanjang dengan
mendengkur, nafas bibir (emfisema).
b) Lebih memilih posisi 3 titik (tripot) untuk bernafas khususnya dengan eksasebrasi
akut (bronchitis kronis).
c) Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, retraksi fosa
supraklavikula, melebarkan hidung.
d) Dada dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (bentuk barrel
chest), gerakan diafragma minimal.
e) Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema), menyebar,
lembut, atau krekels lembab kasar (bronkhitis), ronki, mengi, sepanjang area paru
pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau
tak adanya bunyi nafas (asma).
f) Perkusi ditemukan hiperesonan pada area paru misalnya jebakan udara dengan
emfisema, bunyi pekak pada area paru misalnya konsolidasi, cairan, mukosa.
g) Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 sampai 5 kata sekaligus.
h) Warna pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku. Keabu-abuan keseluruhan,
warna merah (bronkhitis kronis, biru menggembung). Pasien dengan emfisema
sedang sering disebut pink puffer karena warna kulit normal meskipun pertukaran
gas tak normal dan frekuensi pernafasan cepat.
i) Tabuh pada jari-jari (emfisema).
g. Keamanan
1) Gejala :
a) Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat atau faktor lingkungan.
b) Adanya atau berulangnya infeksi.
c) Kemerahan atau berkeringan (asma).
h. Seksualitas
1) Gejala :
a) Penurunan libido.
i. Interaksi sosial
1) Gejala :
a) Hubungan ketergantungan.
b) Kurang sistem pendukung.
c) Kegagalan dukungan dari atau terhadap pasangan atau orang terdekat.
d) Penyakit lama atau kemampuan membaik.
2) Tanda :
a) Ketidakmampuan untuk membuat atau mempertahankan suara karena distress
pernafasan.
b) Keterbatasan mobilitas fisik.
c) Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.
j. Penyuluhan atau pembelajaran
1) Gejala :
a) Penggunaan atau penyalahgunaan obat pernafasan.
b) Kesulitan menghentikan merokok.
c) Penggunaan alkohol secara teratur.
d) Kegagalan untuk membaik.
2) Rencana pemulangan :
a) Bantuan dalam berbelanja, transportasi, kebutuhan perawatan diri, perawatan
rumah atau mempertahankan tugas rumah.
b) Perubahan pengobatan atau program terapeutik.
Engram (2000) menambahkan pengkajian data dasar pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
a. Riwayat atau adanya faktor-faktor penunjang :
1) Merokok produk tembakau (faktor-faktor penyebab utama).
2) Tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat.
3) Riwayat alergi pada keluarga.
4) Riwayat asma pada masa kanak-kanak.
b. Riwayat atau adanya faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi, seperti
alergen (serbuk, debu, kulit, serbuk sari, jamur) stress emosional, aktivitas fisik
berlebihan, polusi udara, infekasi saluran nafas, kegagalan program pengobatan
yang dianjurkan.
c. Pemeriksaan fisik yang berdasarkan pengkajian sistem pernafasan (Apendiks A)
yang meliputi :
1) Manifestasi klasik dari Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
a) Peningkatan dispnea (paling sering ditemukan).
b) Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi otot-otot abdominal,
mengangkat bahu saat inspirasi, nafas cuping hidung).
c) Penurunan bunyi nafas.
d) Takipnea.
e) Ortopnea.
2) Gejala – gejala menetap pada proses penyakit dasar :
a) Asma
(1) Batuk (mungkin produktif atau non produktif) dan
perasaan dada seperti terikat.
(2) Mengi saat inspirasi dan ekspirasi, yang sering terdengar
tanpa stetoskop.
(3) Pernafasan cuping hidung.
(4) Ketakutan dan diaforesis.
b) Bronkitis
(1) Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan, yang biasanya
terjadi pada pagi hari dan sering diabaikan oleh perokok (disebut batuk perokok).
(2) Inspirasi ronkhi kasar (crackles) dan mengi.
(3) Sesak nafas.
RESUME KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada tanggal 4 Februari 2014 pukul 08.00 di Ruang
Asoka RS Margono Soekardjo Purwokerto, sumber data berasal dari pasien,
keluarga pasien, perawat dan catatan medis. Data hasil pengkajian ditemukan
sebagai berikut :
Pasien bernama Tn. B berumur 50 tahun, jenis kelamin laki-laki, alamat
purwokerto, status sudah menikah, beragama islam, suku jawa, pendidikan
terakhir pasien SMP, pekerjaan buruh. Sedangkan penanggung jawab pasien
adalah adik pasien yang bernama Tn. R, umur 40 tahun, dan beralamat di
purwokerto.
Keluhan utama pasien yaitu pasien mengeluh sesak nafas. Keluhan tambahan
yang dirasakan pasien adalah pasien merasakan dada yang tertekan dan kesulitan
bernafas, batuk yang disertai dengan sputum, warna sputum putih. Pasien
mengatakan riwayat merokok, serta bekerja di pabrik pemotongan kayu, pasien
mengatakan sering mengalami pilek dan batuk setelah terpapar serbuk kayu,
pasien terlihat kesulitan berbicara. Pasien mengatakan letih dan lemah setelah
melakukan aktivitas sehari-hari karena kesulitan bernafas, sesak nafas saat
istirahat setelah beraktivitas, pasien terlihat letih, pasien dibantu oleh anggota
keluarganya untuk melakukan aktivitas seperti untuk ambulasi atau berpindah
tempat, mandi dan toileting. Pasien mengatakan kesulitan untuk tidur karena
batuk yang bertambah di malam hari, pasien mengatakan tidak dapat beristirahat
dengan baik, pasien sering terbangun saat tidur di malam hari, pasien mengatakan
terbangun 4 kali di malam hari, pasien tidur selama 5 jam sehari.
Riwayat penyakit saat ini antara lain pasien dibawa ke IGD RSUD Margono
Soekardjo pada hari minggu tanggal 2 Februari 2014 dengan keluhan sesak nafas
dan lemas, di IGD mendapat therapy infuse RL 10 tpm, injeksi furosemid 2 x 10
mg, O2 3 liter permenit. Pasien dipindah ke ruang soka tanggal 3 februari 2014
dan diberi therapy oksigen 3 liter permenit, injeksi cefotaxime 1 gram, injeksi
ranitidine 30 mg, injeksi methylprednisolone 62,5 mg, nebulizer ventolin 2 x 2,5
mg, nebulizer flixotide 3 hari sekali 0,5 mg serta sirup dextromethorphan 3 x 5
ml. Riwayat penyakit dahulu, pasien mengatakan pernah menderita penyakit yang
sama, tetapi belum pernah dirawat dan hanya kontrol saja di RS daerah Karang
Jambu.
Pada pola pengkajian aktivitas dan latihan, sebelum sakit pasien mengatakan
aktivitas sehari-hari (Activity Daily Learning) dilakukan secara mandiri seperti
untuk berpindah, mandi dan toileting. Sedangkan saat sakit pasien mengatakan
letih dan lemah setelah melakukan aktivitas sehari-hari karena kesulitan bernafas,
sesak nafas saat istirahat setelah beraktivitas, pasien terlihat letih, pasien dibantu
oleh anggota keluarganya untuk melakukan aktivitas seperti untuk ambulasi atau
berpindah tempat, mandi dan toileting. Pada pola aktivitas dan latihan pasien
didapatkan hasil sebagai berikut untuk berpindah, mandi dan toileting pasien di
bantu oleh orang lain atau anggota keluarganya dengan skor penilaian 2.
Pada pola istirahat tidur, pasien mengatakan sebelum sakit pasien dapat tidur
dengan nyenyak, tidur selama ± 8 jam, pasien juga dapat tidur siang selama 1 jam.
Pasien mengatakan kesulitan untuk tidur karena batuk yang bertambah di malam
hari, pasien mengatakan tidak dapat beristirahat dengan baik, pasien sering
terbangun saat tidur di malam hari, pasien terbangun 4 kali di malam hari, pasien
tidur selama 5 jam sehari.
Dari pemeriksaan fisik pada Tn. B ditemukan hasil pemeriksaan tanda-tanda
vital meliputi keadaan umum pasien cukup, GCS 15 : E4M5V6, tekanan darah
110/60 mmHg, nadi 88 x/ menit, suhu badan 36,6oc, respirasi 28 x/menit.
Pada pemeriksaan head to toe diperoleh hasil, pemeriksaan kepala :
mesochepal, rambut hitam bersih, tidak ada ketombe. Pada memeriksaan mata
kedua mata sembab, kedua kelopak mata bawah terlihat hitam, kedua mata
simetris, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak menggunakan alat
bantu penglihatan. Pemeriksaan hidung : lubang hidung simetris, tidak ada polip,
bersih, tidak ada sekret, dan dapat mencim bau dengan baik. Pemeriksaan telinga :
simetris, bersih, tidak ada serumen, tidak menggunakan alat bantu pendengaran.
Pemeriksaan leher tidak ada pembesaran kelenjar thyroid.
Pada pemeriksaan paru : inspeksi : simetris, adanya bentuk dada seperti tong,
terlihat meninggikan bahu untuk bernafas, pengembangan dada kanan dan kiri
sama, palpasi : vokal fremitus sama kanan dan kiri, perkusi : bunyi pekak pada
paru-paru, auskultasi : bunyi nafas mengi, ronkhi pada paru bagian kanan dan
wheezing pada paru bagian kiri. Pada pemeriksaan jantung : inspeksi : simetris,
ictus kordis tidak tampak, palpasi : ictus cordis teraba, teratur dan tidak terlalu
kuat, perkusi : bunyi pekak, tidak ada pelebaran, auskultasi : bunyi jantung murni,
tidak ada suara tambahan.
Pada pemeriksaan abdomen, inspeksi : simetris, tidak ada luka bekas operasi,
auskultasi : peristalik usus 8 x/menit, perkusi : timpani, palpasi : tidak ada nyeri
tekan. Pada pemeriksaan genetalia : bersih, tidak terpasang kateter. Pada
pemeriksaan ekstrimitas, ekstrimitas atas kanan dapat bergerak bebas. Kiri :
terpasang infuse RL 20 tpm. Ektrimitas bawah tidak ada udema, pasien dapat
bergerak bebas.
Pada pemeriksaan penunjang, hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal
2 Februari untuk pemeriksaan laboratorium meliputi : leukosit 9120/UL, glukosa
sewaktu 196 mg/dL, natrium 139 mmol/L, kalium 3,8 mmol/L, klorida 97
mmol/L. Pada tanggal 3 Februari 2014 untuk pemeriksaan sputum meliputi : BTA
I negative, lekosit positif, epithel positif. Pemeriksaan tanggal 4 Februari 2014
dengan pewarnaan ZN 2 x BTA II negative, lekosit positif, epithel positif,
pewarnaan 3 x, BTA III negative, lekosit positif, epithel positif. Pada pemeriksaan
rontgen didapatkan kesan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).
Terapi yang diperoleh pasien pada tanggal 4-7 Februari 2014 antara lain O 2 3
liter permenit, Infus RL 20 tpm, Injeksi Cefotaxime 2 x 1 gr, Injeksi Ranitidine 2
x 30 mg, Injeksi Methylprednisolone 2 x 62,5 mg, Nebulizer ventolin 2 x 2,5 mg,
flixotide 3 hari sekali 0,5 mg, Sirup Dextromethorphan 3 x 5 ml.
B. Analisa Data
1. Analisa Data
Tabel 3.1 Analisa Data
Tangg Data Penyebab Masalah
al
4DS : pasien mengeluh sesak nafas, Peningkatan Bersihan
Februa pasien merasakan dada yang produksi jalan nafas
ri 2014 tertekan, pasien mengatakan sekret tidak efektif
riwayat merokok, serta
bekerja di pabrik
pemotongan kayu, pasien
mengatakan sering
mengalami pilek dan batuk
setelah terpapar serbuk
kayu,
DO : pasien terlihat kesulitan
bernafas, batuk yang disertai
dengan sputum, warna
sputum putih, pasien terlihat
kesulitan berbicara, adanya
bentuk dada seperti tong,
terlihat meninggikan bahu
untuk bernafas, pada perkusi
ditemukan bunyi pekak pada
paru, auskultasi : bunyi
nafas mengi, ronkhi pada
paru bagian kanan dan
wheezing pada paru bagian
kiri, terpasang O2 3 liter
permenit, respirasi 28
x/menit.
4 DS : pasien mengatakan letih dan Ketidakseimb Intoleransi
Februa lemah setelah melakukan angan supply aktivitas
ri 2014 aktivitas sehari-hari karena O2
kesulitan bernafas, sesak
nafas saat istirahat setelah
beraktivitas.
DO : pasien terlihat letih, pasien
dibantu oleh anggota
keluarganya untuk
melakukan aktivitas seperti
untuk ambulasi atau
berpindah tempat, mandi
dan toileting.
4 DS : pasien mengatakan kesulitan Batuk Gangguan
Februa untuk tidur karena batuk pola tidur
ri 2014 yang bertambah d malam
hari, pasien mengatakan
tidak dapat beristirahat
dengan baik.
DO : pasien sering terbangun saat
tidur di malam hari, pasien
terbangun 4 kali di malam
hari, pasien tidur selama 5
jam sehari.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Diagnosa keperawatan yang muncul adalah :
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
sekret ditandai dengan :
DS : pasien mengeluh sesak nafas, pasien merasakan dada yang tertekan, pasien
mengatakan riwayat merokok, serta bekerja di pabrik pemotongan kayu, pasien
mengatakan sering mengalami pilek dan batuk setelah terpapar serbuk kayu.
DO : pasien terlihat kesulitan bernafas, batuk yang disertai
dengan sputum, warna sputum putih, pasien terlihat kesulitan berbicara, adanya
bentuk dada seperti tong, terlihat meninggikan bahu untuk bernafas, pada perkusi
ditemukan bunyi pekak pada paru, auskultasi : bunyi nafas mengi, ronkhi pada
paru bagian kanan dan wheezing pada paru bagian kiri, terpasang O 2 3 liter
permenit, respirasi 28 x/menit.
2) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supply O2 ditandai
dengan :
DS : pasien mengatakan letih dan lemah setelah melakukan
aktivitas sehari-hari karena kesulitan bernafas, sesak nafas saat istirahat setelah
beraktivitas.
DO : pasien terlihat letih, pasien dibantu oleh anggota
keluarganya untuk melakukan aktivitas seperti untuk ambulasi atau berpindah
tempat, mandi dan toileting.
3) Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk ditandai dengan :
DS : pasien mengatakan kesulitan untuk tidur karena batuk yang
bertambah di malam hari, pasien mengatakan tidak dapat beristirahat dengan baik.
DO : pasien sering terbangun saat tidur di malam hari, pasien
terbangun 4 kali di malam hari, pasien tidur selama 5 jam sehari.
b. Diagnosa keperawatan prioritas
1) Diagnosa keperawatan prioritas hari pertama tanggal 4 Februari 2014 adalah
diagnosa 1, 2, 3.
2) Diagnosa keperawatan prioritas hari kedua tanggal 5 Februari 2014 adalah
diagnosa 1, 2, 3.
3) Diagnosa keperawatan prioritas hari ketiga tanggal 7 Februari 2014 adalah
diagnosa 1.
2. Observasi
Pengertian observasi menurut Nursalam (2001) adalah mengamati perilaku
dan keadaan pasien untuk memperoleh data tentang masalah kesehatan dan
keperawatan pasien. Kegiatan masalah kesehatan dan keperawatan pasien,
kegiatan tersebut mencangkup aspek fisik mental, sosial dan spiritual. Pedoman
observasi ini penulis mengembangkan dari pola fungsional Gordon.
Dari hasil observasi pada tanggal 4 Februari 2014 penulis mendapatkan data
yaitu pasien terlihat kesulitan bernafas, batuk yang disertai dengan sputum, warna
sputum putih, pasien terlihat kesulitan berbicara. Pasien juga terlihat letih, pasien
dibantu oleh anggota keluarganya untuk melakukan aktivitas seperti untuk
ambulasi atau berpindah tempat, mandi dan toileting.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan kasus. Menurut
teori Doenges (2000) pada pengkajian pernafasan pasien mengalami batuk dengan
produksi sputum (putih, hijau, kuning), kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4
atau 5 kata sekaligus, pada pengkajian aktivitas atau istirahat pasien mengalami
keletihan dan kelemahan umum.
Dari hasil observasi yang penulis lakukan penulis menemukan pasien sering
terbangun saat tidur di malam hari, pasien terbangun 4 kali di malam hari, pasien
tidur selama 5 jam sehari. Berdasarkan data tersebut terdapat kesamaan antara
teori dengan kasus. Menurut teori Engram (2000) pasien mengalami batuk yang
menetap selama waktu tidur.
Dari hasil observasi pada tanggal 4 Februari 2014 penulis juga mendapatkan
data yaitu tidak ditemukannya tanda-tanda anoreksia seperti mual muntah, , nafsu
makan buruk, penurunan berat badan menetap dan turgor kulit buruk.
Berdasarkan data diatas terdapat kesenjangan antara teori dengan kasus.
Menurut teori Doenges (2000) pasien dapat mengalami penurunan berat badan,
mengeluh gangguan sensasi pengecap dan keengganan untuk makan atau kurang
tertarik pada makanan. Pada saat dilakukan pengkajian penulis tidak mendapatkan
tanda-tanda tersebut karena pasien mengatakan nafsu makan baik, makan 3 kali
sehari, habis 1 porsi, dan tidak mengalami mual dan muntah, pasien juga
diberikan injeksi ranitidine 30 mg untuk mencegah terjadinya anoreksia.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menurut Nursalam (2001) adalah melakukan pemeriksaan
fisik pasien untuk menentukan masalah kesehatan pasien. Pemeriksaan fisik dapat
dilakukan dengan menggunakan 4 teknik yaitu :
a. Inspeksi yaitu suatu proses observasi yang dilaksanakan secara sistematik
dilaksanakan dengan menggunakan indera penglihatan, pendengaran dan
penciuman.
Dari hasil pengkajian pada tanggal 4 Februari 2014 dengan teknik inspeksi
penulis mendapatkan data yaitu adanya bentuk dada seperti tong, terlihat
meninggikan bahu untuk bernafas Berdasarkan data tersebut terdapat kesamaan
antara teori dengan kasus. Menurut teori Doenges (2000) pada inspeksi ditemukan
penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, dada dapat
terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (barrel chest) atau bentuk
seperti tong.
b. Palpasi yaitu suatu teknik yang menggunakan indera peraba, tangan dan jari-jari
yang merupakan instrumen sensitif. Dari hasil pengkajian pada tanggal 4 Februari
2014 dengan teknik palpasi penulis mendapatkan data yaitu tidak ada nyeri tekan
pada daerah dada.
c. Perkusi yaitu pemeriksaan fisik dengan jalan mengetuk untuk membandingkan
kiri kanan pada setiap daerah permukaan tubuh dengan tujuan menghasilkan
suara. Dari hasil pengkajian pada tanggal 4 Februari 2014 dengan teknik perkusi
penulis mendapatkan data yaitu pada perkusi ditemukan bunyi pekak pada paru.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan kasus yaitu pada
teori Doenges (2000) pada pemeriksaan perkusi : bunyi pekak pada area paru
misalnya cairan, mukosa.
d. Auskultasi adalah pemeriksaan dengan jalan mendengarkan suara yang dihasilkan
oleh tubuh dengan menggunakan stetoskop. Dari hasil pengkajian pada tanggal 4
Februari 2014 dengan teknik auskultasi penulis mendapatkan data yaitu terdengar
auskultasi : bunyi nafas mengi, ronkhi pada paru bagian kanan dan wheezing pada
paru bagian kiri.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan kasus. Menurut
teori Doenges (2000) bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi,
menyebar, lembut atau krekels lembab kasar, ronkhi, mengi sepanjang area paru
pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau
tak adanya bunyi nafas.
4. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi menurut Arikunto (2002) adalah mencari data mengenai
hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkrip, buku dan sebagainya, sebagai
data penunjang.
Pada studi dokumentasi diperoleh identitas pasien, pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan sputum. Hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 2
Februari untuk pemeriksaan laboratorium meliputi : leukosit 9120/UL, glukosa
sewaktu 196 mg/dL, natrium 139 mmol/L, kalium 3,8 mmol/L, klorida 97
mmol/L. Hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 3 februari 2014 untuk
pemeriksaan sputum meliputi : BTA I negative, lekosit positif, epithel positif.
Pemeriksaan tanggal 4 Februari 2014 dengan pewarnaan ZN 2 x BTA II negative,
lekosit positif, epithel positif, pewarnaan 3 x, BTA III negative, lekosit positif,
epithel positif. Pada pemeriksaan rontgen didapatkan kesan penyakit paru
obstruksi kronis (PPOK).
Terapi yang diperoleh pasien pada tanggal 4-7 Februari 2014 selama dirawat
di RS Margono antara lain O2 3 liter permenit, Infus RL 20 tpm, Cefotaxime 2 x 1
gram, Ranitidine 2 x 30 mg, Methylprednisolone 2 x 62,5 mg, Nebulizer ventolin
2 x 2,5 mg, flixotide 3 hari sekali 0,5 mg, Dextromethorphan syrup 3 x 5 ml.
Dalam melakukan pengkajian penulis memperoleh faktor pendukung dalam
melakukan pengkajian yaitu pasien dan keluarga kooperatif dan bersedia
menjawab semua pertanyaan penulis, adanya rekam medis atau status klien yang
membantu penulis dalam melengkapi data dan perawat ruangan yang membantu
dalam proses pengumpulan data.
Sedangkan faktor penghambat dalam melakukan pengkajian karena pasien
sulit bicara, sulit mengeluarkan kata atau kalimat, sehingga penulis tidak hanya
melakukan wawancara terhadap pasien, tetapi juga ke anggota keluarga pasien
seperti ke adik dan kakaknya.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut Doenges (2000) yaitu cara
mengidentifikasikan, memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta
respon terhadap masalah aktual dan resiko tinggi serta untuk mengekspresikan
bagian identifikasi masalah dari proses keperawatan.
Diagnosa keperawatan menurut teori Doenges (2000) untuk kasus penyakit
paru obstruksi kronis ada 4 diagnosa keperawatan yaitu bersihan jalan nafas tidak
efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret, kerusakan pertukaran
gas berhubungan dengan gangguan suplly oksigen, perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah, resiko tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama. Dan teori Engram
(2000) ada 2 diagnosa keperawatan yaitu intoleransi aktivitas berhubungan
dengan ketidakseimbangan supply O2 dan gangguan pola tidur berhubungan
dengan batuk menetap. Untuk itu penulis menjelaskan mengapa hal ini terjadi dan
diagnosa keperawatan tersebut diidentfikasi sebagai masalah yang perlu
dipecahkan.
1. Diagnosa keperawatan yang tercantum pada teori dan ditemukan pada
kasus, yaitu:
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
sekret.
Bersihan jalan nafas tidak efektif adalah ketidakmampuan untuk
membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran pernafasan untuk
mempertahankan kebersihan jalan nafas (Amin, 2013). Batasan karakteristiknya
antara lain pernyataan kesulitan bernafas, perubahan kedalaman atau kecepatan
pernafasan, pengunaan otot aksesori, bunyi nafas tak normal misalnya mengi,
ronkhi, krekels, batuk (menetap) dengan atau tanpa produksi sputum (Doenges,
2000).
Diagnosa ini muncul karena adanya data pendukung yaitu pasien mengeluh
sesak nafas, pasien merasakan dada yang tertekan, pasien mengatakan riwayat
merokok, serta bekerja di pabrik pemotongan kayu, pasien mengatakan sering
mengalami pilek dan batuk setelah terpapar serbuk kayu, pasien terlihat kesulitan
bernafas, batuk yang disertai dengan sputum, warna sputum putih, pasien terlihat
kesulitan berbicara, adanya bentuk dada seperti tong, terlihat meninggikan bahu
untuk bernafas, pada perkusi ditemukan bunyi pekak pada paru, auskultasi : bunyi
nafas mengi, ronkhi pada paru bagian kanan dan wheezing pada paru bagian kiri,
terpasang O2 3 liter permenit, respirasi 28 x/menit.
Penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan bersihan jalan nafas tidak
efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret pada diagnosa pertama
karena pasien membutuhkan oksigen dan salah satu kebutuhan fisiologis manusia
menurut Hidayat (2008) adalah oksigen atau bernafas. Dan apabila diagnosa ini
tidak diatasi maka dapat mengancam nyawa pasien.
Tujuan dari rencana tindakan keperawatan menurut Doenges (2000) adalah
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan
mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas dengan
kriteria hasil menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan misalnya
batuk efektif dan mengeluarkan sekret
Intervensi yang di implementasikan oleh penulis pada tanggal 4-7 Februari
2014 antara lain melakukan auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas
misalnya mengi, krekels, ronkhi, rasional : obstruksi jalan nafas ditandai dengan
bunyi nafas krekels, bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi. Mengkaji
frekuensi nafas, rasional : takipnea biasanya ada pada beberapa derajat obstruksi
jalan nafas, pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang
dibanding inspirasi. Mencatat adanya penggunaan otot bantu pernafasan, rasional
menandakan adanya infeksi atau reaksi alergi. Memberikan posisi semifowler,
rasional pasien merasa nyaman dan memudahkan pengembangan paru untuk
bernafas. Membantu latihan nafas dengan bibir dimonyongkan, rasional mengatasi
sesak nafas. Mengobservasi karakteristik batuk dan mengajarkan batuk efektif,
rasional membantu mengeluarkan sekret. Memberikan air matang hangat, rasional
mengencerkan sekret dan mempermudah pengeluaran sekret. Memberikan terapi
nebulizer ventolin dan flixotide, rasional melonggarkan jalan nafas dan
menurunkan produksi mukosa. Memberikan sirup dextrometorfan, rasional
menekan batuk yang terjadi untuk menghemat energi dan pasien dapat istirahat.
Melakukan fisioterapi dada, rasional membuang banyaknya sekret.
Kekuatan dalam pelaksanaan tindakan adalah pasien dan keluarga sangat
kooperatif terhadap semua tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi
sesak nafasnya. Kelemahannya adalah penulis membutuhkan ketelatenan,
ketelitian dan kesabaran untuk mengatasi sesak nafas yang dialami pasien.
Evaluasi untuk diagnosa keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan peningkatan produksi sekret pada hari Jumat, tanggal 7
Februari 2014 pukul 21.00 adalah :
S : Pasien mengatakan sesak nafas berkurang, pasien mengatakan
lega setelah dilakukan nebulizer karena pasien dapat mengeluarkan dahak, pasien
mengatakan batuk berkurang setelah minum obat dextrometorfan sirup, respirasi
24 x/menit.
O : Nebulizer ventolin 2,5 masuk via inhalasi, sekret keluar
berwarna putih purulen, suara nafas mengi dan ronkhi pada paru kanan masih ada,
wheezing sudah menghilang, pasien dapat mempraktekkan batuk efektif.
A : Diagnosa keparawatan bersihan jalan nafas tidak efektif belum
teratasi.
P : Lanjutkan intervensi :
1) Auskultasi suara nafas tambahan
2) Berikan terapi nebulizer
3) Anjurkan untuk meningkatkan intake cairan dengan minum air matang hangat
agar sekret dapat keluar.
b. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan supply O2.
Intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis
untuk melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus
atau yang ingin dilakukan (Amin, 2013). Batasan karakteristik menurut Engram
(2000) antara lain nafas pendek, lemah, kelelahan dengan aktivitas fisik minimal
untuk aktivitas sehari-hari dan takipnea dengan aktivitas fisik minimal.
Diagnosa keperawatan ini muncul karena adanya data pendukung antara lain
pasien mengatakan letih dan lemah setelah melakukan aktivitas sehari-hari karena
kesulitan bernafas, sesak nafas saat istirahat setelah beraktivitas, pasien terlihat
letih, pasien dibantu oleh anggota keluarganya untuk melakukan aktivitas seperti
untuk ambulasi atau berpindah tempat, mandi dan toileting.
Penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan ini pada urutan kedua karena
kebutuhan bergerak sangat dibutuhkan karena pergerakan dapat memenuhi
kebutuhan dasar manusia dan melindungi diri dari kecelakaan seperti jatuh. Dan
apabila diagnosa keperawatan ini tidak diatasi maka dapat menyebabkan
berkurangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Hidayat, 2008).
Tujuan dari rencana tindakan keperawatan menurut Engram (2000) yaitu
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan pasien
menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas dengan kriteria hasil
menurunnya keluhan tentang nafas pendek dan lemah dalam melaksanakan
aktivitas.
Intervensi yang diimplementasikan antara lain memantau frekuensi nafas
sebelum dan sesudah pasien melakukan aktivitas, rasional untuk mengidentifikasi
kemajuan atau penyimpangan dari sasaran yang diharapkan. Melakukan
penghematan energi meliputi memberikan bantuan dalam melakukan aktivitas,
menyediakan waktu untuk istirahat, meningkatkan aktivitas secara bertahap dan
menganjurkan kepada keluarga untuk memberikan makanan dalam porsi sedikit
tetapi sering, rasional istirahat berguna untuk mengumpulkan energi, makanan
dalam porsi besar dan susah dikunyah memerlukan lebih banyak energi.
Kekuatan selama pelaksanaan rencana keperawatan ini adalah pasien memiliki
motivasi yang besar untuk melakukan aktivitas secara mandiri, anggota keluarga
juga membantu untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari pasien di rumah
sakit. Sedangkan kelemahannya apabila pasien sedang sendiri di rumah sakit
(anggota keluarga tidak ada yang menunggu) pasien menggunakan kursi roda
secara mandiri yang dapat menimbulkan masalah keperawatan resiko jatuh karena
kondisi pasien yang lemah.
Evaluasi untuk diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan
dengan kerusakan pertukaran gas pada hari Jumat tanggal 7 Februari 2014
adalah :
S : Pasien mengatakan dapat melakukan aktivitas secara mandiri,
pasien mengatakan sesak nafas berkurang setelah melakukan aktivitas.
O : Pasien dapat melakukan ambulasi, mandi dan toileting secara
mandiri, respirasi setelah beraktivitas 24 x/menit, sesak nafas berkurang, pasien
mengerti tentang anjuran untuk melakukan aktivitas secara bertahap dan makan
dengan porsi sedikit tapi sering.
A : Diagnosa keperawatan intoleran aktivitas teratasi
P : Hentikan intervensi.
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan faktor fisiologis (batuk).
Gangguan pola tidur menurut Amin (2013) adalah gangguan kualitas dan
kuantitas waktu tidur akibat faktor eksternal. Batasan karakteristik menurut
Engram (2000) adalah batuk menetap selama waktu tidur, keluhan
ketidakmampuan untuk tidur karena batuk atau nyeri menetap.
Diagnosa ini muncul karena adanya data pendukung antara lain pasien
mengatakan kesulitan untuk tidur karena batuk yang bertambah di malam hari,
pasien mengatakan tidak dapat beristirahat dengan baik, pasien sering terbangun
saat tidur di malam hari, pasien terbangun 4 kali di malam hari, pasien tidur
selama 5 jam sehari.
Penulis memprioritaskan diagnosa ini pada urutan ketiga karena pada saat
istirahat atau tidur, tubuh melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan
stamina tubuh sehingga berada dalam kondisi yang optimal. Dan apabila
kebutuhan istirahat dan tidur pasien tidak terpenuhi maka dapat berpengaruh pada
tubuh, tubuh tidak dapat berfungsi secara normal (Asmadi, 2008).
Tujuan dari rencana tindakan keperawatan menurut Engram (2000) adalah
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kebutuhan
tidur pasien terpenuhi dengan kriteria hasil melaporkan perasaan dapat istirahat.
Intervensi yang diimplementasikan antara lain memberikan obat antitusif,
rasional menekan batuk dan memudahkan pengeluaran sekresi dari paru.
Menganjurkan penggunaan oksigen selama tidur, rasional memberikan tambahan
supply oksigen ke jaringan tubuh. Menganjurkan untuk menghidari asap rokok,
rasional asap rokok dapat mencetuskan batuk. Menganjurkan pasien mandi
dengan air hangat, rasional meningkatkan relaksasi. Membantu mendapatkan
posisi yang nyaman, rasional pasien dapat tidur dengan nyaman.
Kekuatan selama pelaksanaan perencanaan keperawatan ini adalah pasien dan
anggota keluarga pasien kooperatif. Sedangkan kelemahannya antara lain apabila
perencanaan keperawatan ini tidak dilakukan maka dapat mempengaruhi tanda-
tanda vital pasien.
Evaluasi pada hari Jumat tanggal 7 Februari 2014 pukul 21.00 untuk diagnosa
keperawatan gangguan pola tidur adalah
S : Pasien mengatakan sudah dapat tidur dengan nyenyak karena
batuk sudah berkurang, pasien mengatakan merasa lebih segar setelah tidur.
O : Tidur semalam 7 jam, dan terbangun sebanyak 1 kali saat
toileting.
A : Diagnosa keperawatan gangguan pola tidur teratasi.
P : Hentikan intervensi.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil asuhan keperawatan pada Tn. B dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Melakukan pengkajian pada Tn. B terkait dengan penyakit paru obstruksi kronis.
Dalam melakukan pengkajian dengan Tn. B, penulis mengalami kesulitan
dalam melakukan komunikasi dengan Tn. B karena Tn. B kesulitan berbicara.
Maka dari itu, penulis tidak hanya melakukan wawancara pada pasien saja, tetapi
juga pada anggota keluarga Tn. B.
2. Merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. B.
Dari hasil pengkajian yang dilakukan oleh penulis, penulis memprioritaskan 3
diagnosa yaitu bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret, intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan pertukaran
gas dan gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk.
3. Melakukan perencanaan keperawatan pada Tn. B.
Perencanaan yang dibuat disesuaikan dengan kondisi pasien. Sehingga
intervensi yang dilakukan dapat terlaksana dengan baik berkat dukungan dan
kerjasama dari Tn. B dan anggota keluarga Tn. B dalam mengatasi penyakit yang
dideritanya. Saat penulis melakukan kontrak waktu untuk pemberian asuhan
keperawatan yang akan dilakukan selanjutnya, pasien berkenan dan anggota
keluarga pasien juga kooperatif.
4. Melakukan tindakan keperawatan pada Tn. B terkait penyakit paru obstruksi
kronis yang dialami Tn. B.
Saat dilakukan tindakan keperawatan, Tn. B sangat kooperatif saat dilakukan
injeksi, fisioterapi dada, diajarkan teknik mengeluarkan sekret dengan batuk
efektif dan pasien juga memperhatikan saran yang diberikan oleh penulis antara
lain minum air hangat matang untuk memudahkan keluarnya sekret.
5. Melakukan evaluasi keperawatan pada keluarga Tn. B.
Evaluasi setelah memberikan tindakan keperawatan selama 3 hari, untuk
diagnosa pertama belum teratasi, sedangkan untuk diagnosa kedua dan ketiga
sudah teratasi.
6. Melakukan dokumentasi keperawatan pada keluarga Tn. B.
Setelah melakukan tindakan keperawatan, penulis mendokumentasikan
tindakan tersebut dalam catatan keperawatan yang penulis buat.
B. Saran
1. Rumah Sakit
Penulis memberikan saran kepada rumah sakit agar dapat meningkatkan dan
mempertahankan standar asuhan keperawatan sehingga mutu pelayanan rumah
sakit dapat terjaga.
2. Institusi Pendidikan
Penulis berharap akademik dapat menyediakan sumber buku dengan tahun
dan penerbit terbaru sebagai bahan informasi yang penting dalam pembuatan
karya tulis ilmiah ini dan dapat meningkatkan kualitas pendidikan terutama
dengan pembuatan asuhan keperawatan dalam praktek maupun teori.
3. Profesi Perawat
Penulis berharap agar perawat ruangan dapat meningkatkan mutu pelayanan,
lebih ramah lagi terhadap pasien dan dapat memberikan asuhan keperawatan
dengan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar
Klien. Jakarta : Salemba Medika.
Hidayat, Azis Alimul. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Kasanah. 2011. Analisis Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit Paru Obstruksi Kronis
Eksasebrasi Akut Berdasarkan ICD 10 Pada Dokumen Rekam Medis Pasien
Rawat Inap Di RSUD SRAGEN. Sragen : Jurnal Keperawatan.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Nursalam. 2001. Proses dan Prinsip Keperawatan : Konsep dan Praktik. Jakarta :
Salemba Medika.
Reeves, Charlene J. 2001. Buku Satu Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba
Medika.
Rumah Sakit Margono Soekardjo Purwokerto. 2014. Data Rekam Medik. Rumah Sakit
Margono Soekardjo Purwokerto : tidak dipublikasikan.