Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, shalawat

serta salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para

sahabatnya. Syukur Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan referat dan

laporan kasus yang berjudul “Kejang Demam dan Bronkopneumonia”

Tiada gading yang tak retak, begitu pun referat ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan

mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga referat ini dapat

menambah wawasan dan bermanfaat bagi penulis dan pihak yang bersangkutan.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Malang, 9 April 2018

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu

tubuh (suhu rektal lebih dari, 38° C) akibat suatu proses ekstra kranial, biasanya

terjadi antara umur 6 bulan dan 5 tahun. Setiap kejang kemungkinan dapat

menimbulkan epilepsi dan trauma pada otak, sehingga mencemaskan orang tua.

Pada umumnya kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun.

Kejang demam adalah kejang yang terjadi karena proses ekstrakranium

tanpa adanya kecacatan neurologik yang dialami oleh anak-anak. Kejang demam

memerlukan penanganan pertama. Beberapa faktor yang mempengaruhi

penanganan pertama pada ibu yaitu Pengetahuan, pengalaman, dan perilaku dalam

penanganan pertama kejang demam.

Kondisi yang menyebabkan kejang demam antara lain : infeksi yang

mengenai jaringan ektrakranial seperti tonsilitis, ototis media akut, bronkitis.

Adapun menurut IDAI, 2013 penyebab terjadinya kejang demam, antara lain : obat-

obatan, ketidakseimbangan kimiawi seperti hiperkalemia, hipoglikemia dan

asidosis, demam, patologis otak, eklampsia (ibu yang mengalami hipertensi

prenatal, toksimea gravidarum). Selain penyebab kejang demam diantara infeksi

saluran pernapasan atas adapun penyakit yang menyertainya kejang demam

menurut data profil kesehatan Indonesia tahun 2012 yaitu didapatkan 10 penyakit-

penyakit yang sering rawat inap di rumah sakit diantaranya diare dan penyakit

gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu, demam berdarah dengue, demam

tifoid dan paratifoid, penyulit kehamilan, dispepsia, hipertensi esensial, cidera


intrakranial, infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), pneumonia. Biasanya penyakit

yang menyertai kejang demam memiliki manifestasi klinis demam.

Oleh sebab itu, penyusunan referat kasus ini bertujuan untuk menjelaskan

lebih dalam tentang Kejang Demam dan hubungannya dengan bronkopneumonia

dan ditujukan untuk praktisi klinis yang membaca referat kasus ini. Diharapkan

setelah membaca laporan kasus ini, pembaca dapat sedikit atau pun lebih banyak

mengerti tentang Kejang Demam dan hubungannya dengan bronkopneumonia dan

tatalaksananya

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang

Kejang Demam dan Bronkopenumonia mengenai definisi, etiologi, faktor resiko,

pathogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, dan penatalaksanaannya.

1.3 Manfaat

Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan

pemahaman penulis maupun pembaca mengenai Kejang Demam dan

Bronkopenumonia beserta patofisiologi dan penangananannya.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kejang demam (febris convulsion/stuip/step) yaitu kejang yang timbul pada

waktu demam yang tidak di sebabkan oleh proses di dalam kepala (otak: seperti

meningitis atau radang selaput otak, ensifilitis atau radang otak) tetapi diluar kepala

misalnya karena ada nya infeksi di saluran pernapasan, telinga atau infeksi di

saluran pencernaan. Biasanya dialami anak usia 6 bulan sampai 5 tahun. Bila anak

sering kejang, utamanya dibawah 6 bulan, kemungkinan besar mengalami epilepsy

( Airlangga Universty Press (AUP), 2015). Kejang demam adalah serangan kejang

yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 ).

Pneumonia adalah salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan yang

merupakan salah satu faktor resiko terjadinya kejang demam pada anak. Pneumonia

adalah peradangan pada parenkim paru atau bagian distal dari bronkiolus terminalis

yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, yang disebabkan oleh

mikroorganisme yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan

pertukaran gas setempat.

Bronkopneumonia adalah salah satu klasifikasi dari pneumonia, di mana

peradangan pada paru menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi

di alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus terminal secara difus.

Bronkopneumonia merupakan salah satu bentuk pneumonia yang terletak pada

alveoli paru, sering disebut sebagai pneumonia lobularis. Bronkopneumonia sering

terjadi pada anak-anak.


2.2 Etiologi dan Patofisiologi

Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang

kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal

ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu

derajat Celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10%-15%, sehingga

dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan

glukosa dan oksigen Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan

termasuk jaringan otak. Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap

perubahan letupan aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan

sitokin yang merupakan pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat seiring

kejadian demam dan respons inflamasi akut. Salah satu penyebab terjadinya kejang

adalah pada pneumonia karena manifestasinya yang memiliki gejala demam tinggi

akibat reaksi peradangan.

Patogenesis pneumonia mencakup interaksi antara mikroorganisme penyebab

yang masuk melalui berbagai jalan, dengan daya tahan tubuh pasien,

mikroorganisme penyebab pneumonia memiliki tiga bentuk transmisi primer :

 Aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi di

orofaring;

 Inhalasi aerosol yang infeksius;

 Penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonar

Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang

menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran secara hematogen lebih jarang

terjadi. Pada saluran nafas bagan bawah, kuman menghadapi daya tahan tubuh

berupa sistem pertahanan mukosilier, daya tahan selular makrofag alveolar, limfosit
bronkial, dan netrofil. Juga daya tahan humoral IgA dan IgG dari sekresi bronkial.

Terjadinya pneumonia tergantung kepada virulensi mikroorganisme,

tingkatan kemudahan dan luasnya daerah paru yang terkena serta penurunan daya

tahan tubuh. Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas

yang jelas.Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia

didapati adanya satu atau lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tahan tubuh.

2.3 Diagnosis

Pneumonia

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia, meliputi:

 Demam dan menggigil akibat proses peradangan

 Batuk yang sering produktif dan purulen

 Sputum berwarna merah karat atau kehijauan dengan bau khas

Rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila infeksinya serius.

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas

selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh

kadang-kadang melebihi 40ºC, sakit tenggorokan, nyeri otot dan sendi. Juga disertai

batuk, dengan sputum mukoid atau purulen, kadang-kadang berdarah.

Pada anak, riwayat klasik dingin menggigil yang disertai dengan demam tinggi,

batuk dan nyeri dada. Anak sangat gelisah, dispnu, pernapasan cepat dan dangkal

disertai pernapasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut. Kadang-

kadang disertai muntah dan diare.

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu

bernafas, pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi

terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang


melemah. Mungkin disertai ronkhi halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah

kasar pada stadium resolusi. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan

tanda pnuemonia lebih beragam dan tidak selalu terlihat jelas. Pada perkusi dan

auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.

Pemeriksaan laboratorium darah rutin

Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam batas

normal. Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara

15.000 – 40.000/mm3 dengan predominan PMN. Kadang-kadang terdapat anemia

ringan dan laju endap darah (LED) yang meningkat.

Pemeriksaan C-Reactive Protein (CRP) dan prokalsitonin

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan

antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri

superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus

dan infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang

digunakan untuk evaluasi respons terhadap terapi antibiotik.

Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin juga dapat menunjang pemeriksaan

radiologi untuk mengetahui spesifikasi pneumonia karena pneumokokus dengan

nilai CRP ≥ 120 mg/l dan prokalsitonin ≥ 5 ng/ml.

Pemeriksaan Mikrobiologis

Spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan

bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. Pemeriksaan sputum kurang

berguna. Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dalam darah,

cairan pleura, atau aspirasi paru, kecuali pada masa neonatus, di mana kejadian

bakteremia sangat rendah sehingga kultur darah jarang positif.


Pemeriksaan serologis

Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri

tipik mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis

infeksi Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi

seperti antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B.

Pemeriksaan radiologi

Secara umum pneumonia akan memberikan gambaran perselubungan atau

bercak kesuraman mengawan di lapang paru pada pemeriksaan foto toraks.

Pemeriksaan radiologi pneumonia akan dibahas secara terpisah pada bab

berikutnya. Akan dibahas pada bagian berikutnya.

Kejang Demam

Kejang demam terbagi menjadi dua, yakni kejang demam sederhana dan

kejang demam kompleks.2 Kejang demam sederhana berlangsung singkat

(kurang dari 15 menit), tonik-klonik. dan terjadi kurang dari 24 jam, tanpa

gambaran fokal dan pulih dengan spontan. Kejang demam sederhana merupakan

80% di antara seluruh kejang demam. Kejang demam kompleks biasanya

menunjukkan gambaran kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum yang

didahului kejang parsial. Durasinya lebih dari 15 menit dan berulang atau lebih

dari 1 kali kejang selama 24 jam. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung

lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali, dan di antara bangkitan

kejang kondisi anak tidak sadarkan diri. Kejang lama terjadi pada sekitar 8%

kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum

yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih
dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16%

kejang demam.

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak rutin pada kejang demam, dapat untuk

mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya

gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium antara lain

pemeriksaan darah perifer, elektrolit, dan gula darah.

b. Pungsi Lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau

menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko meningitis bakterialis adalah

0,6–6,7%. Pada bayi, sering sulit menegakkan atau menyingkirkan diagnosis

meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi

lumbal dianjurkan pada: 1. Bayi kurang dari 12 bulan – sangat dianjurkan 2. Bayi

antara 12-18 bulan – dianjurkan 3. Bayi >18 bulan – tidak rutin Bila klinis yakin

bukan meningitis, tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

c. Elektroensefalografi

Pemeriksaan elektroensefalografi (electroencephalography/EEG) tidak

direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau

memperkirakan kemungkinan epilepsi pada pasien kejang demam. Pemeriksaan

EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas,

misalnya pada kejang demam kompleks pada anak usia lebih.

Pada kejang demam sederhana, anak 18 bulan tidak harus observasi di

rumah sakit jika kondisi stabil, keluarga perlu diberitahu jika terjadi kejang
berulang maka harus dibawa ke rumah sakit. Pada kejang demam sederhana,

pemeriksaan darah rutin, elektroensefalografi, dan neuroimaging tidak selalu

dilakukan. Pemeriksaan pungsi lumbal dilakukan pada pasien umur

2.4 Tatalaksana

Penatalaksanaan saat kejang Biasanya kejang demam berlangsung singkat

dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam

keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah

diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-

0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5

menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh

orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi

B). Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk

anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari

10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun

atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan penatalaksanaan

kejang demam).

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi

dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali

pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di

rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila

kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal

10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit.

Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam
setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus

dirawat di ruang rawat intensif.

Pengelolahan pneumonia harus berimbang dan memadai, mencakup :

A. Pemberian antibiotika berdasarkan derajat penyakit

 Pneumonia ringan

 Amoksisilin 25 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis sehari selama 3 hari.

Diwilayah resistensi penisilin yang tinggi dosis dapat dinaikan sampai 80-

90 mg/kgBB.

 Kotrimoksazol (trimetoprim 4 mg/kgBB – sulfametoksazol 20 mg/kgBB)

dibagi dalam 2 dosis sehari selama 5 hari

 Pneumonia berat

 Kloramfenikol 25 mg/kgBB setiap 8 jam

 Seftriakson 50 mg/kgBB i.v setiap 12 jam

 Ampisilin 50 mg/kgBB i.m sehari empat kali, dan gentamisin 7,5

mg/kgBB sehari sekali

 Benzilpenisilin 50.000 U/kgBB setiap 6 jam, dan gentamisin 7,5

mg/kgBB sehari sekali

 Pemberian antibiotik diberikan selama 10 hari pada pneumonia tanpa

komplikasi, sampai saat ini tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi

antibiotik yang optimal

B. Pemberian antibiotik berdasarkan umur

 Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :

 ampicillin + aminoglikosid

 amoksisillin-asam klavulanat
 amoksisillin + aminoglikosid

 sefalosporin generasi ke-3

 Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bulan - 5 tahun)

 beta laktam amoksisillin

 amoksisillin-amoksisillin klavulanat

 golongan sefalosporin

 kotrimoksazol

 makrolid (eritromisin)

 Anak usia sekolah (> 5 tahun)

 amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

 tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

C. Penatalaksaan suportif

 Pemberian oksigen 2-4 L/menit  sampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada

analisis gas darah ≥ 60 torr;

 Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit;

 Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena dengan dosis awal

0,5 x 0,3 x defisit basa x BB (kg). Selanjutnya periksa ulang analisis gas darah

setiap 4-6 jam. Bila analisis gas darah tidak bisa dilakukan maka dosis awal

bikarbonat 0,5 x 2-3 mEq x BB (kg);

 Obat penurun panas dan pereda batuk sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam

pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibiotik awal. Obat

penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi,

atau penderita kelainan jantung.


Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang

nyata dalam 24-72 jam  ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai

dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada

tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah

pemberian antibiotik tidak efektif).

\
BAB III

KESIMPULAN

Kejang demam merupakan jenis kejang yang sering terjadi, terbagi atas

kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam merupakan

suatu kondisi yang patut diperhatikan, dan tatalaksana yang tepat dapat mengatasi

kondisi kejang dan mengatasi kausanya. Sebagian besar kejang demam tidak

menyebabkan penurunan IQ, epilepsi, ataupun kematian. Kejang demam dapat

berulang yang kadang menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada keluarga.

Diperlukan pemeriksaan sesuai indikasi dan tatalaksana menyeluruh. Edukasi

orang tua penting karena merupakan pilar pertama penanganan kejang demam

sebelum dirujuk ke rumah sakit.

Selain penyebab kejang demam diantara infeksi saluran pernapasan atas

adapun penyakit yang menyertainya kejang demam diantaranya diare dan penyakit

gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu, demam berdarah dengue, demam

tifoid dan paratifoid, penyulit kehamilan, dispepsia, hipertensi esensial, cidera

intrakranial, infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), pneumonia. Biasanya penyakit

yang menyertai kejang demam memiliki manifestasi klinis demam.


DAFTAR PUSTAKA

Fadly Rifqi Arief. 2015. Penatalaksanaan Kejang Demam. CDK-232/ vol. 42 no.

9. 658-661.

Marwan Roly. 2017. Faktor Yang Berhubungan Dengan Penanganan Pertama

Kejadian Kejang Demam Pada Anak Usia 6 Bulan – 5 Tahun Di Puskesmas.

journal.umbjm.ac.id/index.php/caring-nursing. ISSN : 2580-0078. Vol. 1

No. 1. 32-40

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang

Demam. 1-25.

Fuadi, dkk. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri, Vol.

12, No. 3. 142-150.

Anda mungkin juga menyukai