Anda di halaman 1dari 31

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Retardasi Mental

The American Association on Mental Retardation (AAMR)

mendefinisikan retardasi mental sebagai pembatasan substantial pada fungsi yang

ada, yaitu kesulitan belajar dan keterampilan hidup sehari-hari (AAMR, 2002).

Karakteristik retardasi mental disini adalah fungsi intelektual dibawah rata-rata

(IQ<70-75) yang disertai dua atau lebih keterbatasan dalam keterampilan

penyesuaian seperti komunikasi, merawat diri, kehidupan dirumah, kecakapan

sosial, kecakapan memanfaatkan sumber yang ada di masyarakat, mengatur diri,

kecakapan akademik, bekerja, berkreasi, kesehatan, dan keselamatan, dimana

onset tersebut muncul sebelum umur 18 tahun (Kartika and Faradz, 2010).

2.2 Klasifikasi Retardasi Mental

Klasifikasi awal yang diusulkan oleh The American Association on

Mental Retardation (AAMR), ditujukan kepada individu dengan retardasi mental

sebagai lemah pikiran, yang berarti bahwa perkembangan mereka terhenti pada

usia dini atau ketidakmampuan mengalami perkembangan sesuai umur teman

sebaya dan mengatur kehidupan pribadi secara mandiri. Tiga level dari kelemahan

ini telah diidentifikasi: idiot, perkembangan individu terhenti pada usia dua tahun;

imbecile; individu yang perkembangannya sama dengan maturitas anak 2-7 tahun;
6

dan moron, dimana perkembangan mental setara dengan maturitas usia 7-12 tahun

(Biasini et al, 2007).

Diagnostic and statiscal manual of mental disorder (DSM-IV)

menyediakan sebuah kerangka untuk diagnosis multiaxial dengan axis II untuk

gangguan kepribadian dan retardasi mental. DSM IV mengklasifikasikan menjadi

tiga level berdasarkan derajat keparahan dari retardasi mental (Chelly et al, 2006):

A. Fungsi intelektual umum secara signifikan dibawah rata-rata

B. Pembatasan signifikan dalam fungsi adaptif pada paling sedikit dua diantara

fungsi berikut : komunikasi, perawatan diri, kehidupan di tempat tinggal,

keterampilan sosial/ interpersonal, penggunaan sumber-sumber komunitas,

keterampilan fungsi akademik, pekerjaan, pemanfaatan waktu luang,

kesehatan, keamanan.

C. Onset sebelum berusia 18 tahun.

Fungsi intelektual secara signifikan dibawah rata-rata didefinisikan

sebagai IQ yang berada sekitar 70 atau dibawahnya. Fungsi adaptif menunjukkan

bagaimana individu mengatasi kebutuhan hidup sehari-hari dan seberapa baik

individu mencapai standard kemandirian pribadi dirinya yang diharapkan tercapai

pada individu seusianya. Perilaku adaptif dipengaruhi oleh individu dan faktor

lingkungan termasuk ada atau tidaknya gangguan mental atau fisik.


7

Tabel 1: Tingkatan Retardasi Mental Berdasarkan IQ Pada Usia Prasekolah


dan Usia Sekolah (Le Fanu J, 2002).

Persentase
Derajat Usia prasekolah dari
mental Usia sekolah 6-12 tahun
keparahan lahir – 5 tahun
retardasi
Ringan 85%  Bisa membangun  Bisa mempelajari
( IQ 50-68) kemampuan sosial dan pelajaran kelas 6 pada
komunikasi akhir usia belasan tahun
 Koordinasi otot sedikit  Bisa dibimbing kearah
terganggu pergaulan sosial
 Sering tidak  Bisa dididik
terdiagnosis
Sedang 10%  Bisa berbicara dan  Bisa mempelajari
( IQ 35-40 belajar berkomunikasi beberapa kemampuan
sampai 50-  Kesadaran sosial sosial dan pekerjaan
55 )dapat kurang  Bisa belajar bepergian
dilatih  Koordinasi otot cukup sendiri di tempat-tempat
yang dikenalnya dengan
baik
Berat 3-4%  Bisa mengucap  Bisa berbicara atau belajar
( IQ 20-25 beberapa kata berkomunikasi
sampai 35-  Mampu mempelajari  Bisa mempelajari
40 ) kemampuan untuk kebiasaan hidup sehat
menolong diri sendiri yang sederhana
 Tidak memiliki
kemampuan ekspresif
atau hanya sedikit
 Koordinasi otot jelek
Sangat 1-2%  Sangat terbelakang  Memiliki beberapa
berat  Koordinasi ototnya koordinasi otot
(IQ < 20) sedikit sekali  Kemungkinan tidak dapat
 Mungkin memerlukan berjalan atau berbicara
perawatan khusus
8

2.3 Epidemiologi Retardasi Mental

Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak pada laki-laki

dibandingkan perempuan (Patterson MC, 2003). Insiden tertinggi pada masa anak

sekolah dengan puncak umur 5 sampai 17 tahun (Kay J et al, 2006). Pada

umumnya, anak dengan retardasi mental yang berusia kurang dari 5 tahun

seringkali tidak terdiagnosis. Prevalensi retardasi mental pada anak-anak di bawah

umur 18 tahun di negara maju diperkirakan mencapai 0,5-2,5%, di negara

berkembang berkisar 4,6% (Croen LA et al, 2001). Insidens retardasi mental di

negara maju berkisar 3-4 kasus baru per 1000 anak dalam 20 tahun terakhir.

Angka kejadian anak retardasi mental berkisar 19 per 1000 kelahiran hidup

(Kartika and Faradz, 2010). Data terakhir estimasi jumlah penduduk Indonesia

pada tahun 2012. Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun

2011 sebanyak 244.775.797 jiwa (Depkes, 2012), artinya 3% dari 244.775.797

jiwa penduduk Indonesia tahun 2012 dapat diasumsikan 7.343.274 jiwa di

antaranya mengalami retardasi mental.

2.4 Etiologi Retardasi Mental

Retardasi mental memiliki etiologi yang luas, baik karena pengaruh

lingkungan atau non genetik seperti infeksi, trauma, radiasi, intoksikasi atau juga

pengaruh interinsik seperti gangguan biokimiawi, mendelian disorder, dan

kelainan genetik seperti kelainan kromosom dan kelainan gen tunggal ( Ahuja et

al, 2005).
9

2.4.1. Faktor Non Genetik

2.4.1.1. Infeksi

Koch menulis bahwa 15 – 20% dari anak retardasi mental disebabkan

karena prematuritas. Penelitian dengan 455 bayi dengan berat lahir 1250 g atau

kurang menunjukkan bahwa 85% dapat memperlihatkan perkembangan fisis rata

– rata, dan 90% memperlihatkan perkembangan mental rata – rata (Aylward GP,

2002). Infeksi maternal selama kehamilan: infeksi toxoplasma, rubella,

cytomegalovirus, herpes dan HIV/AIDS (TORCHA), terutama infeksi virus telah

diketahui menyebabkan kerusakan janin dan retardasi mental. Infeksi-infeksi ini

dapat menyebabkan cacat dan retardasi mental pada janin terutama bila terjadi

pada trimester pertama kehamilan (Bale and Murph, 1992).

2.4.1.2. Hipotiroid

Hipotiroid kongenital adalah defisiensi hormon tiroid bawaan yang

disebabkan oleh berbagai faktor (agenests kelenjar tiroid, defek pada sekresi TSH

atau TRH, defek pada produksi hormon tiroid). Gejala klasik hipotiroid kongenital

pada minggu pertama setelah lahir adalah miksedema, lidah yang tebal dan

menonjol, suara tangis yang serak karena edema pita suara, hipotoni, konstipasi,

bradikardi, hernia umbilikalis. Prevalens hipotiroid kongenital berkisar 1 : 4000

neonatus di seluruh dunia (Kahler and Fahey, 2003).

Defisiensi yodium secara bermakna dapat menyebabkan retarasi mental

baik di negara sedang berkembang maupun di negara maju. Akibat defisiensi


10

yodium pada masa perkembangan otak karena asupan yodium yang kurang pada

ibu hamil menyebabkan retardasi mental pada bayi yang dilahirkan. kelainan ini

timbul bila asupan yodium ibu hamil kurang dari 20 ug ( normal 80-150 ug) per

hari. Dalam bentuk yang berat kelainan ini disebut juga kretinisme, dengan

manisfestasi klinis adalah miksedema, kelemahan otot, letargi, gangguan

neurologis, dan retardasi mental herat. Di daerah endemis, 1 dari 10 neonatus

mengalami retardasi mental karena defisiensi yodium (Fisher DA, 1990).

2.4.1.3. Intoksikasi

Fetal alcohol syndrome (FAS) merupakan suatu sindrom yang diakibatkan

inroksikasi alkohol pada janin karena ibu hamil yang minum minuman yang

mengandung alkohol, terutama pada triwulan pertama (Thackray and Tifft, 2001).

Pada populasi wanita peminum minuman keras insidens EAS sangat meningkat

yaitu 21-83 kasus per 1000 kelahiran hidup, padahal di Eropa dan Amerika 8%

wanita merupakan peminum minuman keras (Regier DA et al, 1990).


11

2.4.2. Faktor Genetik

Penyebab dari retardasi mental sangat beragam, dimana faktor genetik

memiliki peran 25-50%. Faktor genetik yang dapat menyebabkan retardasi mental

yaitu kelainan jumlah kromosom, kelainan struktur kromosom dan kelainan gen

tunggal. Sindroma Down dan sindroma Fragile X adalah kelainan genetik yang

paling banyak dan tersering menyebabkan retardasi mental (Willemsen et al,

2004).

2.4.2.1..Kelainan Jumlah Kromosom

Kelainan jumlah kromosom ditandai dengan hilangnya atau bertambahnya

satu kromosom atau secara keseluruhan. Kelainan jumlah kromosom dapat terjadi

pada keadaan aneuploidy atau polyploidy. Aneuplody kromosom adalah penyebab

kelainan jumlah kromosom yang paling banyak ditemukan. Adanya kesalahan

dalam pemisahan kromosom homolog atau non disjunction pada fase meiosis I

dan II menyebabkan (Gersen and Martha, 2005) :

1) Monosomi : hilangnya satu kromosom pada sepasang kromosom

2) Trisomi : bertambahnya satu kromosom pada sepasang kromosom

3) Polyploidi : dalam satu sel terdapat banyak kromosom haploid, seperti

triploidi dimana kromosom berjumlah 69 dan tetraploidi, dimana kromosom

berjumlah 92.

4) Mosaik : adanya dua / lebih macam sel pada individu atau jaringan yang

berbeda aturan genetiknya namun tetap diturunkan dari zygote yang sama,

jadi memiliki asal genetik yang sama.


12

Trisomi yang berhasil lahir hidup pada umumnya adalah trisomi 13, 18, 21

dan X. Monosomi yang terjadi pada autosom akan mengalami abortus spontan

pada masa kehamilan, sedangkan monosomi yang berhasil lahir hidup adalah

monosomi X (sindroma Turner), dimana individunya memiliki IQ normal.

Polyploidi hanya ditemukan pada materi abortus (Mueller and Young, 2001).

2.4.2.1.1. Trisomi 21

Pada tahun 1866, Dr. John Langdon Down merupakan orang pertama yang

mendeskripsikan fenotip dari Sindroma Down. Karakteristik Sindroma Down

ditandai dengan penurunan intelektual, tubuh yang pendek, wajah yang khas, dan

berbagai kelainan kongenital (Sheets et al, 2011). Lejeune membuktikan bahwa

penyebab kelainan kromosom karena adanya trisomi 21 (Lejeune and Turpin,

1962).

Kelainan fenotip yang banyak dilaporkan pada Sindroma Down antara lain

depressed nasal bridge, slanting eyes with epicanthic folds, ocular hypotelorism,

dan strabismus. Penyimpangan bentuk oral antara lain incompetent lips,

macroglossia, fissured tongue, dan narrow high arched palate. Sedangkan hasil

radiologi bagian craniofacial Sindroma Down ditemukan brachycephaly, thinning

of the calvarium, defective ossification along the sutures, delayed closure of

sutures, absent or poorly developed air sinuses, decreased intraorbital distance,

dan small rudimentary nasal bones (Taybi and Lachman, 1996).


13

A
C

Gambar 1: Foto Klinis Dari Penderita Sindroma Down Laki-Laki (Shawaf and Faleh, 2011)
tanda panah menunjukkan (A) Upslanting palpebral fissure, epichantal fold (B)
macroglossia, (C) depressed nasal bridge.

Frekuensi yang terjadi pada Sindroma Down secara non disjunction atau

trisomi murni (trisomi 21) sebesar 95% dari kasus-kasus yang terjadi, dimana

adanya penambahan salinan kromosom 21 sebagai hasil dari meiosis non

disjunction yang menyebabkan jumlah kromosom menjadi 47. Disebabkan oleh

non disjunction maternal dengan 90% dari kasus yang terjadi dan non disjunction

paternal dengan 10% dari kasus keseluruhan (Sheets et al, 2011). Selain itu, non

disjunction merupakan kromosom yang gagal untuk berpasangan atau gagal

bertukar material genetik. Hal ini sering terjadi pada meiosis 1 walaupun dapat

terjadi pada meiosis 2 tetapi kemungkinan terjadinya sangat kecil (Cohen, 1999).

Resiko terjadinya non disjunction Sindroma Down pada ibu dengan umur kurang

dari 35 tahun meningkat 3.5 kali, sedangkan ibu dengan umur lebih dari 35 tahun

meningkat 1.7 kali (Sheets et al, 2011).


14

Gambar 2: Hasil Karyotyping Pada Pasien Perempuan dengan Sindroma Down (Society,
2004). Lingkaran merah menunjukan adanya 3 buah kromosom 21 yang dijumpai
pada pasien perempuan dengan Sindroma Down murni atau trisomi 21 yang
disebabkan adanya non disjunction pada kromosom 21.

Translokasi Sindroma Down dengan frekuensi 3% sampai 4%, dimana

adanya penataan ulang yang tidak seimbang dari struktur kromosom 21.

Disebabkan oleh Translokasi Robertsonian antara lengan 21q dan kromosom

akrosentrik lainnya (kromosom 13, 14, 15, 21, 22). Sekitar sepertiga kasus yang

ada disebabkan unbalance segmen kromosom yang diwariskan dari orang tua

karier translokasi balance. Resiko terjadinya translokasi adalah jika salah satu

orang tua bukan karier translokasi balance sehingga resikonya rendah seperti non

disjunction trisomi 21. Resiko translokasi tergantung dari tipe translokasi dan

kromosom seks pasien (Sheets et al, 2011).


15

Gambar 3: Translokasi Unbalanced (Umrigar et al, 2012). Tanda panah menunjukan adanya
kromosom 21, baik yang berpasangan atau menempel pada kromosom 14 (translokasi
robertsonian).

Mosaik Sindroma Down terjadi sekitar 1% sampai 2%, dimana

percampuran sel yang mengandung kromosom 46 dan sel yang mengandung

salinan kopi kromosom 21 (totalnya ada 47 kromosom). Disebabkan oleh

kesalahan non disjunction yang terlalu dini, hal ini sulit untuk memprediksi

fenotip Sindroma Down. Resiko terjadinya mosaik pada pasangan yang memiliki

anak dengan mosaik Sindroma Down yaitu adanya resiko berulang mirip dengan

non disjunction trisomi 21 walaupun mungkin terjadi pada beberapa keluarga

(Sheets et al, 2011).


16

Gambar 4: Mosaik Sindroma Down (Society, 2004). Skema terjadinya mosaik Sindroma Down.

Risiko untuk mendapat bayi dengan sindroma Down meningkat dengan

bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita yang hamil pada usia di

atas 35 tahun. Korelasi antara kelahiran anak dengan sindrom Down dengan umur

ibu dapat terlihat pada gambar berikut ini..

Gambar 5: Hubungan Pengaruh Usia Ibu dengan Prevalensi Kelahiran sindroma down.
(Marttala, 2011) DS = Sindroma Down.
17

2.4.2.1.2. Sindroma Triple X (47, XXX)

Sindroma Triple X terjadi dengan insidensi 1 dari 1000 wanita. Kelainan

jumlah kromosom X ini diakibatkan nondisjunction pada meiosis I. Wanita

penyandang sindroma ini memiliki fisik yang normal, tetapi memiliki perawakan

yang lebih tinggi dari rata-rata,. Kesulitan belajar cenderung lebih sering

ditemukan pada kelainan ini dibandingkan dengan kelainan kromosom seks yang

lain. Pengaruh terhadap perkembangan motorik dan bahasa cukup sering terjadi

dan gangguan bahasa baik reseptif maupun ekspresif terjadi hingga saat dewasa.

Rata-rata IQ 20 poin lebih rendah dari pada individu dengan jumlah kromosom X

normal (Harmon RJ et al, 1998).

Gambar 6: Karyotip dan Fenotif Sindroma Triple X (Kondandapani et al, 2011). Terdapat 3
kromosom X (trisomi) dalam gamet. Sindroma Triple-X terjadi terjadi akibat
abnormalitas pembelahan kromosom menjadi gamet semasa meiosis. Karyotip
penderita sindrom Triple-X mempunyai 47 kromosom.
18

2.4.2.2. Kelainan Struktur Kromosom

Kelainan struktur kromosom disebabkan patahnya kromosom atau

kesalahan ketika proses penyatuan yang terjadi pada crossing over pada meiosis I

(Amudha et al., 2005). Kelainan struktur kromosom terdiri dari:

2.4.2.2.1. Translokasi (t)

Translokasi adalah berpindahnya materi kromosom antara kromosom yang

satu dengan lainnya, yang homolog maupun yang non homolog. Pertukaran yang

tidak disertai dengan hilangnya materi kromosom disebut balanced translocation,

dimana secara klinis individu tersebut terlihat normal. Meskipun demikian,

pembawa kromosom balanced translocation memiliki resiko melahirkan

keturunan dengan unbalanced translocation (tidak seimbang) yang disertai

hilangnya segmen kromosom (Sutherland and Gardner, 2004). Contoh kelainan

yang disebabkan karena translokasi adalah Familial Mental Retardation

Syndrome ATR-16, yang disertai dengan gambaran fisik hypertelorism, jembatan

hidung yang lebar, dan fisura palpebra yang miring ke bawah (Mueller and

Young, 2001).
19

Gambar 7: Proses Translokasi (Passarge E, 2007). Berpindahnya materi kromosom antara


kromosom yang satu dengan lainnya.

Jembatan
hidung yang
lebar

Fisura
palpebra
yang miring
kebawah

Gambar 8: Karyotip dan Fenotip Anak dengan Kelainan Familial Mental Retardation
Syndrome ATR-16 (Mueller and Young, 2001). (A) Kelainan ini melibatkan
kromosom nomor 16p13.3, (B) Jembatan hidung yang lebar, dan fisura palpebra
yang miring ke bawah.

2.4.2.2.2. Delesi (del)

Delesi merupakan hilangnya suatu segmen pada kromosom. Delesi dapat

mengenai bagian terminal dimana semua materi kromosom mulai dari yang patah

akan hilang, atau bagian interstitial dimana segmen internal pada salah satu

lengan kromosom hilang. Delesi dapat terjadi pada 2 level, delesi kromosom yang

luas yang dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Sedangkan mikrodelesi

yang bersifat submikroskopik dapat diidentifikasi dengan menggunakan


20

pemeriksaan flurescent in situ hybridization (FISH) dan pemeriksaan molekuler

antara lain menggunakan analisis Multiplex Ligation Dependent – Probe

Amplification (MLPA) (Faradz MH, 2003). Delesi pada autosom ditemukan pada

sindroma Wolf-Hirscshorn (delesi 4p) dan sindroma Cri du Chat (delesi 5p).

Gambaran klinis sindroma Cri du Chat pada saat lahir adalah mikrosefali,

keterlambatan pertumbuhan, suara tangisan yang seperti kucing (high pitched cat-

cry), penyakit jantung kongenital dan hipotonia (Overhauser J et al, 1994).

Sindroma Wolf-Hirscshorn disertai gambaran klinis antara lain, hipertelorisme,

tampilan wajah yang khas dengan luas hidung datar dan dahi yang tinggi, mulut

cenderung menurun, perawakan pendek (Wilson MG et al, 1981).

Gambar 9: Proses Delesi (Passarge E, 2007). Hilangnya bagian dari sebuah kromosom.
21

Pipi yang
besar

Gambar 10: Karyotip dan Fenotip Anak Sindroma Cri Du Chat (Church DM et al, 1995). (A)
Pada sindroma Cri du Chat kromosom nomor 5 mengalami delesi, (B) Gambaran fisik
yang khas pada sindroma Cri du Chat yaitu wajah yg bulat dengan pipi besar.

Dahi yang
tinggi

Gambar 11: Karyotip dan Fenotipe Anak dengan Sindroma Wolf-Hirscshorn (Johnson VP et
al, 1976). (A) Pada sindroma Wolf- Hirscshorn kromosom nomor 4 mengalami
delesi, (B) Dahi yang tinggi.

2.4.2.2.3. Duplikasi (dup)

Proses mutasi kromosom akibat adanya segment kromosom yang

mengalami penggandaan, sehingga terdapat salinan tambahan pada segment

tersebut, Contoh kelainannya yaitu duplikasi pada lengan 16p (Gersen and

Martha, 2005). Gambaran khas pada kelainan ini yaitu mikrocepaly, letak telinga
22

yang rendah, wajah bulat dan lonjong, dan jarak mata yang jauh (Christina et al,

2009)

Gambar 12: Proses Duplikasi (Passarge E, 2007). Proses Duplikasi mengakibatkan jumlah
segmen kromosom lebih banyak dari kromosom aslinya.

Jarak mata
yang jauh

Letak telinga
yang rendah

Gambar 13: Karyotip dan Fenotip Anak dengan Kelainan Duplikasi 16p (Christina et al,
2009). (A) Pada kelainan ini melibatkan kromosom nomor 16 lengan p, (B) letak
telinga yang rendah dan jarak mata yang jauh.

2.4.2.2.4. Inversi (inv)

Inversi terjadi akibat adanya dua patahan pada satu kromosom yang

kemudian patahan tersebut memutar balik 180 derajat atau bertukar posisi. Inversi

parasentrik bila patahan ini pada salah satu lengan dan tak termasuk

sentromernya. Inversi perisentrik bila patahan pada salah satu tepi dari sentromer

(Faradz MH, 2003). Contoh kelainan yang disebabkan adanya inversi yang

melibatkan kromosom Y adalah Sindroma Cornelia de Lange. Gambaran fisik


23

dari sindroma ini yaitu ukuran kepala kecil, alis tebal yang biasanya bertemu di

garis tengah (synophrys), bulu mata panjang, dan garis bibir yang tipis (Usa &

Dhanlaxmi, 2010)

Gambar 14: Proses Inversi (Passarge E, 2007). Adanya dua patahan pada satu kromosom yang
kemudian patahan tersebut memutar 180o dan melekat kembali pada kromosom
semula.

Alis tebal
(synophrys)

Bulu mata
panjang

Garis bibir
tipis

Gambar 15: Karyotip dan Fenotip Anak dengan Kelainan Sindroma Cornelia De Lange
(Usa & Dhanlaxmi, 2010). (A) Pada Tampak kromosom Y mengalami proses
inversi, (B) alis tebal yang biasanya bertemu di garis tengah (synophrys), bulu mata
panjang, dan garis bibir yang tipis.

2.4.2.2.5. Isokromosom (i)

Isokromosom terjadinya delesi pada salah satu lengan digantikan oleh

duplikasi lengan yang lain, sehingga biasanya lengan panjang atau lengan pendek

menjadi identik (Faradz MH, 2003). Hal ini dapat terjadi ketika kromosom normal
24

terbagi secara transversal dan bukan longitudinal, sehingga isokromosom terdiri

dari dua lengan panjang atau dengan dua lengan pendek. Pada setiap kasus, lengan

yang lain akan menghilang (Turnpenny and Sian, 2007). ) Contoh kelainan yang

disebabkan adanya isokromosom yang melibatkan isokromosom mosaik pada

lengan kromosom X, salah satu contoh kelainannya adalah Sindroma Kabuki.

Kelainan ini memiliki ciri wajah yang khas yaitu seperti make-up para aktor teater

tradisional kabuki di Jepang, seperti garis kelopak mata yang panjang, alis mata

melengkung tinggi, dan bagian setengah lateral jarang, dan kelopak mata tertarik

keluar ( Kumar et al, 2011).

Gambar 16: Proses Isokromosom (Passarge E, 2007). Terjadinya delesi pada salah satu lengan
digantikan oleh duplikasi dari lengan yang lain.

Alis melengkung
tinggi

Garis kelopak
mata yang
panjang

Gambar 17: Karyotip dan Fenotip Anak dengan Kelainan Sindroma Kabuki (Kumar et al,
2011). (A). analisis kromosom menunjukkan salah satu karyotip isokromosom
mosaik pada lengan kromosom X. (B). garis kelopak mata yang panjang, alis
melengkung tinggi.
25

2.4.2.3 Kelainan Gen Tunggal

Salah satu penyebab retardasi mental adalah kelainan genetika yang terjadi

akbibat abnormalitas gen tunggal. Kelainan gen tunggal biasa disebut juga

Mendelian. Pada kelainan ini terjadi perubahan pada nukleutida DNA yang

membawa suatu gen tertentu (Chaidar, 2011).

2.4.2.3.1 . Sindroma Prader Willi dan Sindroma Angelman

Sindroma Prader Willi dan Sindroma Angelman adalah contoh kelainan

genetik yang disbabkan delesi satu dari sepasang gen, sedangkan gen

pasangannya mengalami imprinting. Pada Prader Willi delesi berasal dari

paternal, Sedangkan delesi pada Angelman berasal dari maternal kromosom

15q11.2 - Q13 (Clayton-Smith J et al, 1993). Sedangkan delesi pada Angelman

berasal dari maternal kromosom. Gambaran klinis sindroma Prader Willi adalah

obesitas, hipotonia, tangan dan kaki kecil, fissura palpebra miring keatas,

hipogonadisme, penis kecil, keterlambatan tumbuh kembang (Goldstone AP et al,

2005). Pada sindroma Angelman, gambaran klinis adalah keterlambatan

perkembangan, gangguan bicara, sering tertawa, dan kejang (Watson B et al,

2001).
26

Gambaran
fisik :
obesitas

Gambar 18: Fenotip Sindroma Prader Willi (Cassidy and Driscoll, 2009). Salah satu
gambaran fisik yang khas pada penderita dengan sindroma Prader Willi adalah
obesitas.

Tampilan wajah
yang
gembira(happy)

Gambar 19: Fenotip Anak dengan Sindroma Angelman (Clayton and Laan, 2003). Anak
dengan sindroma Angelman memiliki ciri khas yaitu tampilan wajah terlihat
gembira (happy), sehingga kelainan ini juga disebut Happy puppet syndrome.

2.4.2.3.2 . Sindroma Fragile X

Sindroma Fragile X, dikenal juga dengan sebutan Sindroma Martin-Bell

atau Sindroma Penanda X, adalah penyebab paling sering terjadi pada kasus

keterbelakangan mental yang diwariskan, serta merupakan kelainan genetik

kedua yang paling banyak menyebabkan retardasi mental setelah trisomi 21 atau

Sindroma Down (Sutton, 1988). Pada tahun 1969, Lubs menemukan materi
27

genetik yang berlebihan yang melebihi panjang lengan kromosom X yang terjadi

pada laki-laki dan mempengaruhi kondisi gambaran fisik (fenotip) dan kondisi

psikologisnya, namun tidak memberikan pengaruh yang nyata pada saudara

perempuan mereka (Lubs, 1969).

Gambar 20: Fragile Site Nampak Pada Lengan Kromosom X. (Lubs, 1969). Bagian yang ada
tanda panah merah merupakan fragile site yang terjadi pada ujung lengan kromosom
x.

Analisis molekuler ditujukan untuk mendeteksi banyaknya

pengulangan CGG. Pengukuran dari pengulangan trinukleotida CGG dapat

dilakukan dengan metode Polymerse Chain Reaction (PCR) dan metode Southern

Blot. Berdasarkan jumlah pengulangan trinukleotida CGG, dapat diklasifikasikan

tiga kategori yaitu orang normal : dengan jumlah pengulangan trinukleotida CGG

sebanyak 5-55, premutasi dengan pengulangan trinukleotida CGG sebanyak 55-

200, dan pada mutasi penuh pengulangan trinukleotida CGG lebih dari 200

(Oostra and Willemsen, 2002).


28

Gambar 21: Pengulangan Trinukleotida CGG Pada Rantai DNA Sindroma Fragile X
(Bailey et al, 2003). Pada gambar pertama yang di atas adalah rantai gen dengan
pengulangan trinukleotida CGG yang normal. Pada gambar rantai gen di bawahnya
adalah rantai gen yang mengalami pengulangan trinukleotida CGG berlebihan yang
dinamakan FMR-1 gene.

Pada kasus-kasus retardasi mental yang terjadi di seluruh dunia, kasus

Sindroma Fragile X yang diderita oleh laki-laki, memiliki prevalensi 1: 4000 dan

pada perempuan 1 : 6000 (Firth and Jane, 2005). Di Indonesia, prevalensi

sindroma Fragile X kurang lebih 2% dari total kasus retardasi mental yang ada

(Gozali, 2009). Pada Tahun 2012 diasumsikan sebanyak 7.343.274 jiwa penduduk

Indonesia mengalami retardasi mental, maka 2% dari 7.343.274 jiwa dengan

retardasi mental, yaitu sebanyak 146.865 jiwa diantaranya menderita Sindroma

Fragile X.

Gambaran fisik (fenotip) yang sering tampak pada penderita Sindroma

Fragile X antara lain adalah : pada wajah dijumpai wajah yang lonjong, telinga

menonjol ringan dengan tepi atas yang meninggi, ada juga gambaran fisik

(fenotip) yang menampilkan telinga lebar dengan jaringan tulang rawan telinga

yang lunak, macrocephaly (ukuran lingkar kepala lebih dari normal) pada usia

anak-anak, penebalan nassal bridge (jembatan hidung), pale blue iridis (iris yang

biru dan pucat), serta macroorchidism (pembesaran testis saat pubertas).

Kelainan-kelainan lain yang jarang di jumpai adalah nystagmus (bola mata yang
29

bergerak-gerak), strabismus (juling), epilepsi, miopia, hypotoni (kelemahan tonus

otot), jemari hiperekstensi, tortikolis, pektus exsavatum (gambaran dada yang

cekung ke dalam), kiphoscoliosis, flat foot (telapak kaki datar), terdapat cleft

palate (celah pada langit-langit rongga mulut), prolap katup mitral dan

cerebral gigantism (Firth and Jane, 2005).

Mata strabismus dan


silinder sehingga
memakai kacamata

Ekstrimitas panjang.

Gambar 22: Gambaran Fisik (fenotip) Anak dengan Sindroma Fragile-X (Hagerman, 1997) .
Ketiga anak menunjukkan gambaran fisik yang sama, yakni : memiliki ekstrimitas
atas yang panjang, bentuk wajah yang lonjong, salah satu di antara mereka memiliki
mata yang strabismus dan silinder, sehingga dibantu dengan kaca mata untuk
melihat.

Telinga lebar dan


menonjol ke atas

Gambar 23: Gambaran Fisik (fenotip) Pada Telinga Menunjukkan Telinga Lebar dan
Menonjol ke Atas (Felix and Monterio, 1998). Ukuran telinga lebih besar dari
ukuran telinga pada umumnya, kemudian batas atas telinga (menonjol) jauh lebih
tinggi dari alis mata.

Pola pewarisan sindroma Fragile X unik sebab Sindroma Fragile X

diwariskan secara X- linked namun tidak dapat digolongkan sebagai dominan


30

atau resesif, karena perempuan pembawa sifat (carrier) dapat menderita maupun

tidak menderita retardasi mental dan dapat dengan atau tanpa menunjukkan

kelainan kromosom (Gozali, 2009). Pada suatu keluarga dengan riwayat Sindroma

Fragile X, kemungkinan kurang lebih 30% perempuan carrier menderita

Sindroma Fragile X, sedangkan pada laki-laki kemungkinan 100% akan

menderita Sindroma Fragile X, namun pada laki-laki carrier, kurang lebih 20 %

biasanya tidak menunjukkan gejala, yang disebut sebagai NTM (Normal

Transmitting Males) (Gozali, 2009).

Gambar 24: Diagram di Atas Menggambarkan Pola Pewarisan Sindroma Fragile X


(Terracciano et al, 2005). pada ibu yang carrier .

2.5. Diagnosis Retardasi Mental

Diagnosis retardasi mental tidak hanya didasarkan atas tes intelegenisia

saja, melainkan juga dari riwayat penyakit, laporan dari orangtua, laporan dari

sekolah, pemeriksaan fisis, laboratorium, pemeriksaan penunjang. Yang perlu

dinilai tidak hanya intelegensia, aja melainkan juga adaptasi sosialnya. Dari
31

anamnesis dapat diketahui beberapa faktor risiko terjadinya retardasi mental

(Battaglia and Carey, 2003).

Pemeriksaan fisis pada anak retardasi mental biasanya lebih sulit

dibandingkan pada anak normal, karena anak retardasi mental kurang kooperatif.

Selain pemeriksaan fisis secara umum (adanya tanda – tanda dismorfik dari

sindrom – sindrom tertentu) perlu dilakukan pemeriksaan neurologis, serta

penilaian tingkat perkembangan. Pada anak yang berumur diatas 3 tahun

dilakukan tes intelegensia (Rittey CD, 2003).

Pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi, pemeriksaan asam

amino urine dapat dilakukan sebagai screening PKU (Poplawski et al, 2002).

Pemeriksaan analisis kromosom dilakukan bila dicurigai adanya kelainan

kromosom yang mendasari retardasi mental tersebut (Xu J and Chen, 2003).

Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) kepala dapat membantu menilai adanya

klasifikasi serebral, perdarahan intra kranial pada bayi dengan ubun – ubun masih

terbuka. Beberapa pemeriksaan penunjang lain dapat dilakukan untuk membantu

seperti pemeriksaan BERA, CT-Scan, dan MRI ( Battaglia A, 2003).

Kesulitan yang dihadapi adalah kalau penderita masih dibawah umur 2-3

tahun, karena kebanyakan tes psikologis ditujukan pada anak yang lebih besar.

Pada bayi dapat dinilai perkembangan motorik halus maupun kasar, serta

perkembangan bicara dan bahasa. Biasanya penderita retardasi mental juga

mengalami keterlambatan motor dan bahasa.


32

Menurut Kingston (2002), analisis untuk mendiagnosa anak dengan

retardasi mental adalah:

1. Riwayat : pedigree, kehamilan, proses kelahiran, problem-problem

perinatal, pertumbuhan dan perkembangan.

2. Pemeriksaan fisik : pengukuran anomali kongenital mayor dan minor,

dan fotograf.

3. Pemeriksaan tambahan : laboratorium, radiologi, konsultasi.

Kriteria diagnostik untuk retardasi mental (Sadock and Kaplan, 2003):

1. Fungsi intelektual yang dibawah rata-rata. IQ anak retardasi mental

berkisar 70 poin atau kurang pada tes IQ yang dilakukan secara

individual.

2. Adanya defisit atau gangguan yang menyertai dalam fungsi adaptif (yaitu

efektivitas orang tersebut untuk memenuhi standar-standar yang dituntut

menurut usianya dalam kelompok kulturalnya) pada sekurang-kurangnya

dua bidang ketrampilan berikut : komunikasi, merawat diri sendiri di

rumah, ketrampilan sosial/interpersonal, menggunakan sarana

masyarakat, mengarahkan diri sendiri, ketrampilan akademik fungsional,

pekerjaan, liburan, kesehatan dan keamanan.


33

2.6. Terapi

2.6.1. Medikamentosa

Obat – obat yang sering digunakan dalam pengobatan retardasi mental

adalah terutama untuk menekan gejala – gejala hiperkinetik. Metifenidat (ritalin)

dapat memperbaiki keseimbangan emosi dan fungsi kognitif Imipramin,

dekstroamfetamin, klorpromazin, flufenazin, fluoksetin kadang – kadang

dipergunakan oleh psikiatri anak. Untuk menaikkan kemampuan belajar pada

umumnya diberikan trioridazin (melleril), metilfenidat, amfetamin, asam

glutamat, gamma aminobutyric acid (GABA). (Simons JQ et al, 1974).

Psikoterapi dan obat-obatan tidak dapat menyembuhkan retardasi mental tetapi

dapat diusahakan dalam hal merubah sikap, tingkah laku, dan adaptasi sosialnya (

Sularyo TS, 1992).

2.6.2. Non medikamentosa

A. Rumah Sakit / Panti Khusus

Penempatan di panti – panti khusus perlu dipertimbangkan atas dasar :

kedudukan sosial keluarga, sikap dan perasaan orang tua terhadap anak, derajat

retardasi mental. Pandangan orang tua mengenai prognosis anak, fasilitas

perawatan dalam masyarakat dan fasilitas untuk membimbing orang tua dan

sosialisasi anak.( Sularyo TS, 1992)

Kerugian penempatan di panti khusus bagi anak retardasi mental adalah

kurangnya stimulasi mental karena kurangnya kontak dengan orang lain dan

kurangnya variasi lingkungan yang memberikan kebutuhan dasar bagi anak.


34

B. Pendidikan

Pendidikan yang penting disini bukan hanya asal sekolah, namun

bagaimana mendapatkan pendidikan yang cocok bagi anak yang terbelakang ini.

Terdapat tiga macam tipe pendidikan untuk retardasi mental. (Sularyo TS, 1992)

 Kelas khusus sebagai tambahan dari sekolah biasa

 Sekolah luar biasa C

 Pusat Latihan Kerja (sheltered workshop)

2.7. Konseling

Menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008), konseling berarti pemberian

bimbingan oleh orang yang ahli kepada seseorang. Bantuan yang diberikan

kepada individu yang sedang mengalami hambatan, memecahkan sesuatu melalui

pemahaman terhadap fakta, harapan, kebutuhan dan perasaan-perasaan klien.

Konseling genetik merupakan proses komunikasi yang berkaitan dengan

masalah-masalah manusia yang berhubungan dengan kejadian atau resiko

terjadinya kelainan genetik dalam keluarga (Schmerler, 2008). Prinsip dasar dari

konseling genetik adalah seorang konselor hendaknya memberikan informasi

kepada pasien yang membutuhkan, bukan nasehat. Secara universal telah

disepakati bahwa konseling genetik sifatnya tidak memaksa dan tidak

mengarahkan pasien terhadap tindakan khusus tertentu. Selain itu, konselor

genetik hendaknya dapat melakukan pendekatan yang sifatnya bukan mengajukan

pendapat (Hull and Johnston, 2008).


35

Tujuan konseling genetik adalah memberikan infromasi dan dukungan

(support) kepada keluarga yang memiliki risiko atau memiliki anggota keluarga

dengan kelainan genetik. Proses ini melibatkan upaya konselor dalam membantu

sebuah keluarga untuk: (i) memahami fakta medis, termasuk diagnosis (ii)

memahami pola pewarisan pada keturunan dan risiko terulangnya kelainan

genetik pada keluarga, (iii) memahami pilihan-pilihan dalam mencegah

terulangnya kelainan serta manajemen yang tersedia (Behrman et al, 2004).

Anda mungkin juga menyukai