KRISIS HIPERGLIKEMIA
Disusun Oleh:
Dwi Arif Wahyu Wibowo
20090310156
Diajukan Kepada:
dr Widhi P. S., Sp. PD
1. Rangkuman Kasus
Identitas
Nama : Romini
Usia : 56 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Anggrunggondok 6/1, Reco, Kertek
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Anamnesis
Seorang wanita datang dengan keluhan nyeri ulu hati dan mual (+) sejak
kemarin. Nyeri dirasakan perih dan panas, muntah (-). Buang air besar (+) setiap 3
hari, konsistensi padat, warna kuning, lendir (-), darah (-). Buang air kecil (+),
nyeri saat BAK (+). Pasien mengeluh juga demam sejak kemarin, demam terus
menerus dan disertai mengigil. Nafsu makan pasien juga menurun.
Pemeriksaan Fisik
1
Kesadaran : Compos Mentis
Pernapasan : Reguler
2
datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat drastis. Hal ini sesuai dengan
perkiraan WHO bahwa Indonesia akan menempati peringkat nomor 5 sedunia
dalam hal penderita DM terbanyak dengan jumlah pengidapnya sebanyak 12,4
juta orang pada tahun 2025.
3. Evaluasi
1) Apa sajakah akibat yang dapat terjadi dari gula darah yang sangat tinggi
(krisis hiperglikemi)?
2) Bagaimanakah penatalaksanannya?
4. Analisis
3
A. Ketoasidosis Diabetikum (KAD)
Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan keadaan dekompensasi atau
kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis.
Dalam KAD terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan
hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon
pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat
dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun. Keadaan hiperglikemia sangat
bervariasi dan tidak menentukan berat-ringannya KAD.
Gejala dan temuan dari pemeriksaan fisik dari KAD terdapat pada tabel 1
dan biasanya terjadi dalam waktu lebih dari 24 jam. Mual dan muntah biasanya
yang paling menonjol. Rasa sakit di perut mungkin bisa parah dan merupakan
tanda pankreatitis akut atau ruptur viscus. Hiperglikemia menyebabkan
glukosuria, penurunan volume cairan dan takikardi. Hipotensi dapat terjadi karena
penurunan volume cairan ditambah dengan vasodilatasi pembuluh darah perifer.
Napas Kussmaul dan bau keton pada napas pasien merupakan tanda yang klasik.
Edema cerebri merupakan komplikasi yang sangat serius dari KAD dan paling
banyak terjadi pada anak-anak. Tanda dari infeksi yang mungkin memicu KAD
harus dicari di pemeriksaan fisik, bahkan jika tidak ada demam. Iskemia jaringan
(jantung dan otak) juga dapat menjadi faktor yang menimbulkan KAD
4
Tabel 1 Manifestasi dari KAD
Manifestasi dari Ketoasidosis Diabetik
Gejala Temuan fisik
1. Mual atau muntah 1. Takikardi
2. Haus dan poliuria 2. Dehidrasi
3. Sakit perut 3. Hipotensi
4. Napas cepat 4. Takipneu atau napas Kussmaul
Faktor pencetus atau distres pernapasan
1. Pemberian insulin yang tidak 5. Abdominal tenderness (seperti
adekuat pankreatitis akut atau operasi
2. Infeksi (pneumonia, ISK, GEA, abdomen)
sepsis) 6. Letargi
3. Infark (serebral, koroner, 7. Edema serebri
mesenteric, perifer) 8. Mungkin bisa koma
4. Obat (kokain)
5. Kehamilan
KAD merupakan hasil dari defisiensi insulin relatif maupun absolut yang
dikombinasikan dengan kelebihan hormon kontra regulator (glukagon,
katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan). Defisiensi insulin dan kelebihan
glukagon khususnya, harus ada untuk terjadinya KAD. Penurunan rasio insulin
dengan glukagon memicu glukoneogenesis, glikogenolisis dan pembentukan
badan keton di hati serta peningkatan pengiriman asam lemak bebas dan asam
amino dari otot dan lemak ke hati.
5
bersamaan dengan kenaikan katekolamin dan hormon pertumbuhan meningkatkan
lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas.
6
biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai
minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi
dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan dehidrasi dan
hiperosmolalitas yang berat serta menunjukkan adanya hipotensi, takikardi dan
perubahan status mental. Pada SHH tidak ditemukan gejala mual, muntah, nyeri
perut serta pernapasan Kussmaul yang khas pada KAD. Ditinjau dari sudut
patofisiologi, SHH dan KAD merupakan suatu spektrum dekompensasi metabolik
pada pasien diabetes, yang berbeda adalah onset, derajat dehidrasi dan beratnya
ketosis.
7
kehidupan. Rata-rata usia dari pasien dengan SHH adalah 60 tahun. SHH juga
lebih sering ditemukan pada wanita dibanding laki-laki.
Defisiensi insulin relatif dan asupan cairan yang tidak adekuat merupakan
penyebab yang mendasari terjadinya SHH. Kemudian terdapat glukosuria yang
mengakibatkan kegagalan kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin,
yang akan semakin memperberat derajat kehilangan cairan. Pada keadaan normal,
ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa diatas ambang batas tertentu. Namun
demikian, penurunan volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada
sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan konsentrasi
glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium
menyebabkan keadaan hiperosmolar. Pasien SHH tidak mengalami ketoasidosis
seperti pada KAD, namun tidak diketahui secara pasti alasannya. Tidak
tercukupinya kebutuhan insulin, penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan
perifer, ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai glikogen pada otot dan hati,
dan stimulasi glukagon pada sel hati untuk glukoneogenesis, mengakibatkan
hiperglikemia. Hiperglikemia mengakibatkan timbulnya diuresis osmotik dan
menurunkan cairan tubuh total. Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar
ini jika kehilangan cairan tidak dikompensasi dengan masukan cairan oral maka
akan timbul dehidrasi dan kemudian hipovolemia. Hipovolemia akan
mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebabkan gangguan pada perfusi
jaringan. Keadaan koma merupakan suatu stadium akhir dari proses ini, dimana
telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan hipotensi.
C. Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah
8
4. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya
pemantauan serta penyesuaian pengobatan.
1. Cairan
Cairan yang digunakan adalah garam fisiologis berdasarkan perkiraan
hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 mL/kgBB maka pada jam pertama
diberi 1 sampai 2 liter, jam kedua diberikan 1 liter. Ada dua keuntungan rehidrasi
pada pasien KAD, yaitu memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormon
kontraregulator insulin. Bila kadar glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu
diberikan larutan mengandung glukosa.
2. Insulin
Tujuannya bukan hanya untuk mencapai kadar glukosa normal, tetapi juga
untuk mengatasi keadaan ketonemia. Oleh karena itu jika kadar glukosa <200
mg%, insulin diteruskan dan untuk mencegah hipoglikemi diberi cairan
mengandung glukosa sampai asupan kalori oral pulih kembali. Sebuah penelitian
menyatakan pemberian insulin yang optimal adalah dengan pemberian awal
dengan jalur IV dan digabungkan dengan jalur subkutan atau intramuskular.
3. Kalium
Pada keadaan KAD ion K bergerak ke luar sel dan selanjutnya dikeluarkan
melalui urin. Total defisit kaslium yang terjadi selama KAD diperkirakan
mencapai 3-5 mEq/kgBB. Selama terapi KAD ion K kembali ke dalam sel dan
untuk mengantisipasi masuknya ion K ke dalam sel serta mempertahankan kadar
K serum dalam batas normal, perlu pemberian kalium.
4. Glukosa
Setelah rehidrasi 2 jam pertama biasanya kadar glukosa darah akan turun.
Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan terjadi penurunan kadar
glukosa sekitar 60 mg%/jam. Bila kadar glukosa mencapai < 200 mg% maka
dapat dimulai infus mengandung glukosa.
9
5. Bikarbonat
Pemberian bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang berat. Pemberian
bikarbonat harus hati-hati dengan alasan: menurunkan pH intraseluler akibat
difusi CO2 yang dilepas bikarbonat, efek negatif pada disosiasi oksigen jaringan,
hipertonis dan kelebihan natrium, meningkatkan insidens hipokalemia, gangguan
fungsi serebral, terjadi alkalemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keto. Saat ini
bikarbonat hanya diberikan pada pH < 7,1walaupun demikian komplikasi asidosis
laktat dan hiperkalemia yang mengancam tetap merupakan indikasi pemberian
bikarbonat.
10
Bagan 2 Manajemen Pasien dengan KAD
1. Cairan
Merupakan terapi utama yang ditujukan untuk memperluas volume
intravaskular dan memperbaiki perfusi ginjal serta jaringan, kekurangan cairan
pada pasien dapat dihitung dan diberikan terapi pengganti cairan. Kehilangan
cairan umumnya sekitar 20-25% dari total cairan tubuh atau 12-15% berat badan.
Untuk memudahkan, kehilangan cairan yang terjadi sekitar 150mL/kgBB. Tujuan
11
utama terapi penggantian cairan dalam 12 jam pertama adalah dapat mengganti
satu setengah kkali total kehilangan cairan.
2. Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena
kadar kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Kadar kalium yang
sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan
kalium serum masuk ke dalam sel. Kadar elektrolit harus dipantau terus-menerus
dan irama jantung pasien juga harus dimonitor.
Jika kadar kalium awal <3,3 mEq/L (3,3 mmol/L), pemberian insulin
ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai
tercapai kadar kalium setidaknya 3,3 mEq/L). Jika kadar kalium > 5,0 mEq/L,
kadar kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq/L, namun sebaiknya
kadar kalium ini perlu dimonitor setiap 2 jam. Jika kadar nya 3,3 - 5,0 mEq/L,
maka 20-30 mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan IV yang diberikan
untuk mempertahankan kadar kalium antara 4,0 - 5,0 mEq/L.
3. Insulin
Dalam penatalaksanaan SHH, insulin bukan merupakan prioritas. Insulin
akan menyebabkan glukosa masuk ke dalam sel, sehingga cairan akan berpindah
ke dalam sel. Hal ini berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps
vaskuler, atau kematian. Pemberian insulin dosis rendah, diberikan bila kondisi
hemodinamik pasien dan perfusi pasien sudah baik dan stabil.
Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15 U/kgBB secara IV dan
diikuti dengan drip 0,1 U/kgBB per jam sampai kadar glukosa darah turun antara
250 sampai 300 mg/dL. Ketika kadar glukosa darah < 300 mg/dL sebaiknya
12
diberikan dekstrosa secara IV dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale
sampai pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar.
13
5. Kesimpulan
6. Daftar Pustaka
Arifin, A. L., Natalia, N., & Hartini, S. (2010). Krisis Hiperglikemia Pada
DIabetes Melitus. Bandung: Bagian Ilmu penyakit Dalam FK Unpad.
14
Soewondo, P. (2009). Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik. Dalam A.
W. Sudoyo, B. Setiyohadi, S. Setiati, M. Simadibrata, & I. Alwi, Buku Ajar
Penyakit Dalam Jilid III Edisi V (hal. 1912-1916). Jakarta: Internapublishing.
15