Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN REFLEKSI KASUS

KRISIS HIPERGLIKEMIA

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:
Dwi Arif Wahyu Wibowo
20090310156

Diajukan Kepada:
dr Widhi P. S., Sp. PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD SETJONEGORO WONOSOBO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2013
Laporan Refleksi Kasus 4

1. Rangkuman Kasus

Identitas

Nama : Romini
Usia : 56 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Anggrunggondok 6/1, Reco, Kertek
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Anamnesis

Seorang wanita datang dengan keluhan nyeri ulu hati dan mual (+) sejak
kemarin. Nyeri dirasakan perih dan panas, muntah (-). Buang air besar (+) setiap 3
hari, konsistensi padat, warna kuning, lendir (-), darah (-). Buang air kecil (+),
nyeri saat BAK (+). Pasien mengeluh juga demam sejak kemarin, demam terus
menerus dan disertai mengigil. Nafsu makan pasien juga menurun.

Riwayat penyakit dahulu, sebelumnya pasien belum pernah mengalami


gejala yang sama. Riwayat penyakit DM tidak tahu karena belum pernah
memeriksakannya ke dokter atau puskesmas.

Riwayat penyakit keluarga, dalam keluarga tidak ada yang mengalami


gejala yang sama.

Pemeriksaan Fisik

Nadi : 106 kali/menit


RR : 20 kali/menit
Suhu : 36,6°C
TD : 82/32 mmHg
GDS : >600 mg/dl

1
Kesadaran : Compos Mentis

Pernapasan : Reguler

Kepala : CA (-/-), SI (-/-)

Leher : JVP tidak meningkat, pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax : Simetris, retraksi (-)

Taktil fremitus sama kedua lapang paru

Perkusi suara sonor

Cor : bunyi jantung 1 dan 2 reguler, bising sistolik (+)

Pulmo : suara dasar vesiculer, suara tambahan (-)

Abdomen : Datar, tidak ada tanda inflamasi

Bising usus (+) normal

Perkusi suara timpani

Supel, nyeri tekan (+) regio epigastrik

Ekstremitas : Akral hangat, udem (-)

Diagnosis : Diabetes Melitus Tipe II dengan Dispepsia

2. Perasaan Terhadap Pengalaman

Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di


Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%.
Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global terutama disebabkan
oleh karena peningkatan kemakmuran, maka dengan demikian dapat dimengerti
bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan

2
datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat drastis. Hal ini sesuai dengan
perkiraan WHO bahwa Indonesia akan menempati peringkat nomor 5 sedunia
dalam hal penderita DM terbanyak dengan jumlah pengidapnya sebanyak 12,4
juta orang pada tahun 2025.

3. Evaluasi

1) Apa sajakah akibat yang dapat terjadi dari gula darah yang sangat tinggi
(krisis hiperglikemi)?
2) Bagaimanakah penatalaksanannya?

4. Analisis

Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada


DM, baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan komplikasi serius
yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol dengan baik. Krisis
hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk Ketoasidosis Diabetik (KAD), Status
Hiperosmolar Hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai elemen kedua
keadaan diatas. Krisis hiperglikemia pada DM tipe 2 biasanya terjadi karena ada
keadaan yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara
lain infeksi penyakit vaskular akut, trauma, heat stroke, kelainan gastrointestinal
dan obat-obatan. Pada DM tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi karena yang
bersangkutan menghentikan suntikan insulin ataupun pengobatannya tidak
adekuat. KAD adalah keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat
pembentukan keton yang berlebihan, sedangkan SHH ditandai dengan
hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa serum yang biasanya lebih tinggi
dari KAD murni. Baik KAD maupun SHH berhubungan dengan defisiensi insulin
absolut maupun relatif, penurunan volume cairan tubuh, dan ketidaknormalan
asam-basa. Kedua kelainan ini dapat menumbulkan komplikasi yang serius jika
tidak didiagnosa dan mendapat terapi dengan cepat.

3
A. Ketoasidosis Diabetikum (KAD)
Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan keadaan dekompensasi atau
kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis.
Dalam KAD terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan
hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon
pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat
dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun. Keadaan hiperglikemia sangat
bervariasi dan tidak menentukan berat-ringannya KAD.

Penelitian epidemiologi terakhir menunjukkan bahwa terdapat peningkatan


pasien yang dirawat di Rumah Sakit akibat KAD di Amerika. Antara tahun 1996
sampai 2006 terdapat peningkatan 35% dengan total kasus pasien dengan KAD
sekitar 136.510 kasus. Kebanyakan pasien dengan KAD berusia antara 18 sampai
44 tahun (56%), antara 45 sampai 65 tahun (24%), dan hanya 18% pasien yang
berusia kurang dari 20 tahun. Sekitar 66% pasien dengan KAD mempunyai
diabetes tipe 1 dan 34% pasien memiliki diabetes tipe 2. KAD merupakan
penyebab kematian paling banyak pada anak-anak dan remaja dengan diabetes
tipe 1.

Gejala dan temuan dari pemeriksaan fisik dari KAD terdapat pada tabel 1
dan biasanya terjadi dalam waktu lebih dari 24 jam. Mual dan muntah biasanya
yang paling menonjol. Rasa sakit di perut mungkin bisa parah dan merupakan
tanda pankreatitis akut atau ruptur viscus. Hiperglikemia menyebabkan
glukosuria, penurunan volume cairan dan takikardi. Hipotensi dapat terjadi karena
penurunan volume cairan ditambah dengan vasodilatasi pembuluh darah perifer.
Napas Kussmaul dan bau keton pada napas pasien merupakan tanda yang klasik.
Edema cerebri merupakan komplikasi yang sangat serius dari KAD dan paling
banyak terjadi pada anak-anak. Tanda dari infeksi yang mungkin memicu KAD
harus dicari di pemeriksaan fisik, bahkan jika tidak ada demam. Iskemia jaringan
(jantung dan otak) juga dapat menjadi faktor yang menimbulkan KAD

4
Tabel 1 Manifestasi dari KAD
Manifestasi dari Ketoasidosis Diabetik
Gejala Temuan fisik
1. Mual atau muntah 1. Takikardi
2. Haus dan poliuria 2. Dehidrasi
3. Sakit perut 3. Hipotensi
4. Napas cepat 4. Takipneu atau napas Kussmaul
Faktor pencetus atau distres pernapasan
1. Pemberian insulin yang tidak 5. Abdominal tenderness (seperti
adekuat pankreatitis akut atau operasi
2. Infeksi (pneumonia, ISK, GEA, abdomen)
sepsis) 6. Letargi
3. Infark (serebral, koroner, 7. Edema serebri
mesenteric, perifer) 8. Mungkin bisa koma
4. Obat (kokain)
5. Kehamilan

KAD merupakan hasil dari defisiensi insulin relatif maupun absolut yang
dikombinasikan dengan kelebihan hormon kontra regulator (glukagon,
katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan). Defisiensi insulin dan kelebihan
glukagon khususnya, harus ada untuk terjadinya KAD. Penurunan rasio insulin
dengan glukagon memicu glukoneogenesis, glikogenolisis dan pembentukan
badan keton di hati serta peningkatan pengiriman asam lemak bebas dan asam
amino dari otot dan lemak ke hati.

Peningkatan kadar glukagon dan katekolamin disertai defisiensi insulin


memicu glikogenolisis. Defisiensi insulin juga mengurangi kadar transporter
glukosa GLUT4, yang mengganggu pemasukan glukosa ke otot rangka dan lemak
dan mengurangi metabolisme glukosa intraseluler.

Ketosis dihasilkan dari peningkatan pelepasan asam lemak bebas dari


adiposa yang membentuk benda keton di hepar. Penurunan kadar insulin yang

5
bersamaan dengan kenaikan katekolamin dan hormon pertumbuhan meningkatkan
lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas.

Bagan 1 Patofisiologi KAD dan HHS

B. Status Hiperosmolar Hiperglikemik (SHH)


SHH lebih jarang ditemukan dibanding dengan KAD. SHH sebelumnya
disebut dengan Hyperosmolar Hyperglycemic Nonketotic Coma (HHNC), tetapi
terminologi ini kemudian diganti karena koma hanya ditemukan pada kurang dari
20% pasien dengan SHH. SHH kebanyakan terjadi pada pasien Diabetes Melitus
tipe 2 yang mempunyai penyakit penyerta yang mengakibatkan berkurangnya
asupan cairan. Infeksi merupakan penyakit yang paling sering, tetapi ada banyak
kondisi lain yang dapat menyebabkan dehidrasi. SHH biasanya muncul pada
pasien yang sudah tua dengan DM tipe 2 dan mempunyai angka kematian yang
lebih tinggi daripada KAD. SHH mempunyai ciri hiperglikemia, hiperosmolaritas
dan dehidrasi tanpa ketoasidosis yang signifikan. Hiperglikemia pada SHH
biasanya lebih berat dibanding dengan KAD. Kebanyakan pasien datang dengan
dehidrasi berat dan defisit neurologis fokal maupun global. Perjalanan klinis SHH

6
biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai
minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi
dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan dehidrasi dan
hiperosmolalitas yang berat serta menunjukkan adanya hipotensi, takikardi dan
perubahan status mental. Pada SHH tidak ditemukan gejala mual, muntah, nyeri
perut serta pernapasan Kussmaul yang khas pada KAD. Ditinjau dari sudut
patofisiologi, SHH dan KAD merupakan suatu spektrum dekompensasi metabolik
pada pasien diabetes, yang berbeda adalah onset, derajat dehidrasi dan beratnya
ketosis.

Tabel 2 Faktor Pencetus SHH


Faktor Pencetus SHH
Penyakit Penyerta Pengobatan
1) Infark Miokard Akut 1) Antagonis kalsium
2) Sindrom Cushing 2) Obat kemoterapi
3) Hipertermia 3) Klorpromazin, simetidin
4) Hipotermia 4) Diazoxid
5) Trombosis Mesenterika 5) Glukokortikoid
6) Pankreatitis 6) Diuretic Loop
7) Emboli paru 7) Olanzapin
8) Gagal Ginjal 8) Fenitoin
9) Luka bakar berat 9) Propanolol
10) Tirotoksikosis 10) Diuretik tiazid
11) Nutrisi parenteral total
Infeksi
1) Selulitis Noncompliance
2) Infeksi gigi Penyalahgunaan obat
3) Pneumonia 1) Alkohol
4) Infeksi gigi 2) Kokain
5) Sepsis DM tidak terdiagnosa
6) ISK

Di Amerika SHH mempengaruhi sekitar 1 dari 500 pasien dengan


diabetes melitus. Secara keseluruhan insiden dari SHH kurang dari 1 kasus per
1000 orang tiap taun. Hal ini membuat SHH lebih jarang ditemukan dibanding
KAD. SHH mempunyai rata-rata onset usia pada awal dekade ketujuh dari

7
kehidupan. Rata-rata usia dari pasien dengan SHH adalah 60 tahun. SHH juga
lebih sering ditemukan pada wanita dibanding laki-laki.

Defisiensi insulin relatif dan asupan cairan yang tidak adekuat merupakan
penyebab yang mendasari terjadinya SHH. Kemudian terdapat glukosuria yang
mengakibatkan kegagalan kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin,
yang akan semakin memperberat derajat kehilangan cairan. Pada keadaan normal,
ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa diatas ambang batas tertentu. Namun
demikian, penurunan volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada
sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan konsentrasi
glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium
menyebabkan keadaan hiperosmolar. Pasien SHH tidak mengalami ketoasidosis
seperti pada KAD, namun tidak diketahui secara pasti alasannya. Tidak
tercukupinya kebutuhan insulin, penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan
perifer, ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai glikogen pada otot dan hati,
dan stimulasi glukagon pada sel hati untuk glukoneogenesis, mengakibatkan
hiperglikemia. Hiperglikemia mengakibatkan timbulnya diuresis osmotik dan
menurunkan cairan tubuh total. Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar
ini jika kehilangan cairan tidak dikompensasi dengan masukan cairan oral maka
akan timbul dehidrasi dan kemudian hipovolemia. Hipovolemia akan
mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebabkan gangguan pada perfusi
jaringan. Keadaan koma merupakan suatu stadium akhir dari proses ini, dimana
telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan hipotensi.

C. Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah

1. Penggantian cairan tubuh dan garam yang hilang.


2. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan
pemberian insulin.
3. Mengatasi stres sebagai pencetus KAD.

8
4. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya
pemantauan serta penyesuaian pengobatan.

1. Cairan
Cairan yang digunakan adalah garam fisiologis berdasarkan perkiraan
hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 mL/kgBB maka pada jam pertama
diberi 1 sampai 2 liter, jam kedua diberikan 1 liter. Ada dua keuntungan rehidrasi
pada pasien KAD, yaitu memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormon
kontraregulator insulin. Bila kadar glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu
diberikan larutan mengandung glukosa.

2. Insulin
Tujuannya bukan hanya untuk mencapai kadar glukosa normal, tetapi juga
untuk mengatasi keadaan ketonemia. Oleh karena itu jika kadar glukosa <200
mg%, insulin diteruskan dan untuk mencegah hipoglikemi diberi cairan
mengandung glukosa sampai asupan kalori oral pulih kembali. Sebuah penelitian
menyatakan pemberian insulin yang optimal adalah dengan pemberian awal
dengan jalur IV dan digabungkan dengan jalur subkutan atau intramuskular.

3. Kalium
Pada keadaan KAD ion K bergerak ke luar sel dan selanjutnya dikeluarkan
melalui urin. Total defisit kaslium yang terjadi selama KAD diperkirakan
mencapai 3-5 mEq/kgBB. Selama terapi KAD ion K kembali ke dalam sel dan
untuk mengantisipasi masuknya ion K ke dalam sel serta mempertahankan kadar
K serum dalam batas normal, perlu pemberian kalium.

4. Glukosa
Setelah rehidrasi 2 jam pertama biasanya kadar glukosa darah akan turun.
Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan terjadi penurunan kadar
glukosa sekitar 60 mg%/jam. Bila kadar glukosa mencapai < 200 mg% maka
dapat dimulai infus mengandung glukosa.

9
5. Bikarbonat
Pemberian bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang berat. Pemberian
bikarbonat harus hati-hati dengan alasan: menurunkan pH intraseluler akibat
difusi CO2 yang dilepas bikarbonat, efek negatif pada disosiasi oksigen jaringan,
hipertonis dan kelebihan natrium, meningkatkan insidens hipokalemia, gangguan
fungsi serebral, terjadi alkalemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keto. Saat ini
bikarbonat hanya diberikan pada pH < 7,1walaupun demikian komplikasi asidosis
laktat dan hiperkalemia yang mengancam tetap merupakan indikasi pemberian
bikarbonat.

10
Bagan 2 Manajemen Pasien dengan KAD

Penatalaksanaan SHH meliputi lima pendekatan:

1. Rehidrasi intrvena agresif.


2. Penggantian elektrolit.
3. Pemberian insulin intravena.
4. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta.
5. Pencegahan.

1. Cairan
Merupakan terapi utama yang ditujukan untuk memperluas volume
intravaskular dan memperbaiki perfusi ginjal serta jaringan, kekurangan cairan
pada pasien dapat dihitung dan diberikan terapi pengganti cairan. Kehilangan
cairan umumnya sekitar 20-25% dari total cairan tubuh atau 12-15% berat badan.
Untuk memudahkan, kehilangan cairan yang terjadi sekitar 150mL/kgBB. Tujuan

11
utama terapi penggantian cairan dalam 12 jam pertama adalah dapat mengganti
satu setengah kkali total kehilangan cairan.

Penggunaan cairan isotonik menyebabkan overload cairan dan cairan


hipotonik mungkin dapat mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan potensial
menyebabkan kematian dan lisis mielin difus. Sehingga pada awal sebaiknya
diberikan 1 liter cairan normal saline per jam. Jika pasien mengalami syok
hipovolemik, mungkin dibutuhkan plasma expanders.

2. Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena
kadar kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Kadar kalium yang
sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan
kalium serum masuk ke dalam sel. Kadar elektrolit harus dipantau terus-menerus
dan irama jantung pasien juga harus dimonitor.

Jika kadar kalium awal <3,3 mEq/L (3,3 mmol/L), pemberian insulin
ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai
tercapai kadar kalium setidaknya 3,3 mEq/L). Jika kadar kalium > 5,0 mEq/L,
kadar kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq/L, namun sebaiknya
kadar kalium ini perlu dimonitor setiap 2 jam. Jika kadar nya 3,3 - 5,0 mEq/L,
maka 20-30 mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan IV yang diberikan
untuk mempertahankan kadar kalium antara 4,0 - 5,0 mEq/L.

3. Insulin
Dalam penatalaksanaan SHH, insulin bukan merupakan prioritas. Insulin
akan menyebabkan glukosa masuk ke dalam sel, sehingga cairan akan berpindah
ke dalam sel. Hal ini berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps
vaskuler, atau kematian. Pemberian insulin dosis rendah, diberikan bila kondisi
hemodinamik pasien dan perfusi pasien sudah baik dan stabil.

Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15 U/kgBB secara IV dan
diikuti dengan drip 0,1 U/kgBB per jam sampai kadar glukosa darah turun antara
250 sampai 300 mg/dL. Ketika kadar glukosa darah < 300 mg/dL sebaiknya

12
diberikan dekstrosa secara IV dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale
sampai pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar.

4. Indetifikasi masalah dan mengatasi faktor penyebab


Walaupun tidak direkomendasikan untuk memberikan antibiotik kepada
semua pasien yang dicurigai mengalami infeksi, namun terapi antibiotik
dianjurkan sambil menunggu hasil kultur pada pasien usia lanjut dan hipotensi.
Peningkatan kadar CRP dan IL-6 merupakan indikator awal sepsis pada pasien
dengan SHH.

Bagan 3 Manajemen pada Pasien dengan SHH

13
5. Kesimpulan

1) Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada


pasien dengan DM tipe 1 maupun 2. Krisis hiperglikemia terjadi dalam
bentuk KAD yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan
keton berlebihan dan SSH yang ditandai dengan hiperosmolalitas berat
dengan kadar glukosa serum lebih tinggi dari KAD.
2) Penatalaksanaan pada KAD dan SSH sebenarnya hampir sama. Pada KAD
lebih ditekankan untuk menurunkan gula darah dan pembentukan benda
keton, sedangkan pada SHH lebih dititiberatkan pada penggantian cairan
yang hilang atau rehidrasi.

6. Daftar Pustaka

Arifin, A. L., Natalia, N., & Hartini, S. (2010). Krisis Hiperglikemia Pada
DIabetes Melitus. Bandung: Bagian Ilmu penyakit Dalam FK Unpad.

Hemphill, R. R. (2012, Agustus 2). Hyperosmolar Hyperglycemic State. Dipetik


Januari 9, 2014, dari Medscape: http://emedicine.medscape.com/article/1914705-
overview#a0156

Kitabchi, A. E., Umpierez, G. E., Miles, J. M., & Fisher, J. N. (2009).


Hyperglicemic Crises in Adult Patients With Diabetes. Diabetes Care , 1335-
1343.

Powers, A. C. (2010). Diabetes Mellitus. Dalam J. L. Jameson, Harrison's


Endocrinology 2nd Edition (hal. 267-313). Chicago: McGraw-Hill.

Saksono, D. (2012). Hyperosmolar Hyperglicemic State. Dalam B. Setiyohadi, P.


M. Arsana, A. Y. Soeroto, A. Suryanto, & M. Abdullah, EIMED PAPDI (hal.
327-335). Jakarta: InternaPublishing.

Saksono, D. (2012). Ketoasidosis Diabetik. Dalam B. Setiyohadi, P. M. Arsana,


A. Y. Soeroto, A. Suryanto, & M. Abdullah, EIMED PAPDI (hal. 318-326).
Jakarta: InternaPublishing.

Soewondo, P. (2009). Ketoasidosis Diabetik. Dalam A. W. Sudoyo, B.


Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata, & S. Setiati, Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam
Jilid III Edisi V (hal. 1906-1911). Jakarta: InternaPublishing.

14
Soewondo, P. (2009). Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik. Dalam A.
W. Sudoyo, B. Setiyohadi, S. Setiati, M. Simadibrata, & I. Alwi, Buku Ajar
Penyakit Dalam Jilid III Edisi V (hal. 1912-1916). Jakarta: Internapublishing.

Wonosobo, 10 Januari 2014

Praktikan, Dokter Pembimbing

Dwi Arif Wahyu W dr. Widhi P. S., Sp.PD

15

Anda mungkin juga menyukai