Chapter II PDF
Chapter II PDF
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
2.1.2 Epidemiologi
Bakteri Pneumococcus
Meningococcus
Haemophilus influenza
Staphylococcus
Escherichia coli
Salmonella
Mycobacterium tuberculosis
Virus Enterovirus
Jamur Cryptococcus neoformans
Coccidioides immitris
Sumber : Kahan, 2005
2.1.5 Klasifikasi
Sumber : emedicine.medscpae.com
2.1.6 Patofisiologi
Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang, merupakan struktur halus yang melindungi pembuluh darah dan cairan
serebrospinal, dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri dari 3
lapisan, yaitu dura mater, araknoid, dan pia mater (Whiteley, 2014).
Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak
pembuluh darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf, ia tidak
berkontak dengan sel atau serat saraf. Di antara pia mater dan elemen neural
terdapat lapisan tipis cabang-cabang neuroglia, melekat erat pada pia mater dan
membentuk barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat yang
memisahkan sistem saraf pusat dari cairan serebrospinal. Pia mater menyusuri
seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup kedalamnya untuk
jarak tertentu bersama pembuluh darah. Pia mater di lapisi oleh sel-sel gepeng
yang berasal dari mesenkim. Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat
melalui torowongan yang dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler. Pia mater
lenyap sebelum pembuluh darah ditransportasi menjadi kapiler. Dalam susunan
saraf pusat, kapiler darah seluruhnya dibungkus oleh perluasan cabang neuroglia.
(Drake, 2015).
1. Araknoiditis Proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa
fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus
pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomeningen ini ditandai
dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis
otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma
dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan
mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami
kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami
paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI,
kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan
strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum
menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta
bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial
VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya
permanen (Frontera, 2008).
2. Vaskulitis
Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah
kortikomeningeal yang melintasi membran basalis atau berada di
dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang
obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang
meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark
terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna,
maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan
terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena,
ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika
adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa
pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak
tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang
perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi
subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang
sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-
cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat
mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan
trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya
flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan
infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin (Schwartz, 2005).
3. Hidrosefalus
Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna
basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan
serebrospinalis (Albert, 2011).
1. Stadium I : Prodormal
Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala
infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut,
sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang,
murung, berat badan menurun, mudah tersinggung, cengeng,
opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan keadaran berupa apatis.
Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala,
konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung,
halusinasi, dan sangat gelisah.
2. Stadium II : Transisi
Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat
dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang-
kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-
tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat
menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-
ubun menonjol dan muntah yang lebih hebat.
2.1.8 Diagnosis
2.1.8.1 Anamnesa
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam,
nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan nafsu
makan, mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang, penurunan kesadaran
adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis. Pada neonatus, gejalanya
mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum,
letargi, distress pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia. Anamnesa dapat
dilakukan pada keluarga pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan
untuk autoanamnesa (Gleadle, 2007).
BB/U<80%
Demam yang tidak ≥ 2 minggu - -
diketahui penyebabnya -
Batuk kronik - ≥ 3 minggu - -
Pembesaran kelenjar ≥ 1 cm, lebih - -
dari 1 KGB,
aksila, inguinal -
tidak nyeri
Pembengkakan Bengkak - -
2.1.9 Penatalaksanaan
1. Rifampisin (R)
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat
memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman
yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan
baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam
sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam.
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB
/ hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali
pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis
rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid
10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan
dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Distribusi rifampisin
ke dalam cairan serebrospinal lebih baik pada keadaan selaput otak
yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek
samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat,
sputum, dan air mata menjadi warna oranye kemerahan. Efek samping
lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia.
Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan
450 mg (Heemskerk, 2011).
2. Isoniazid ( H )
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman
intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan
cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan asites,
jaringan kaseosa, dan memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid
diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg
/ kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu
kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet
100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml.
Konsentrasi puncak di darah, sputum, cairan serebrospinal dapat dicapai
dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam.
Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan
dapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek
toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang
terjadi pada anak, biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa
dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Bagi
mencegah timbulnya neuritis perifer, dapat diberikan piridoksin dengan
dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg
isoniazid (Heemskerk, 2011).
3. Pirazinamid ( Z )
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada
jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Obat ini
bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diabsorbsi
baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari
dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 µg / ml
tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif
karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang
timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping
pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam
bentuk tablet 500mg (Heemskerk, 2011).
4. Etambutol ( E )
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat
bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten.
Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya
resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg /
kgBB/ hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar
serum puncak 5 µg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam
bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik
oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau
dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga
pada keadaan meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutol
adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau, sehingga seringkali
penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam
penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai
pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan
penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari.
Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan
TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat
digunakan (Heemskerk, 2011).
5. Streptomisin ( S )
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif
untuk membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang
digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya
penting pada pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan
MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan
secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1
gram / hari, dan kadar puncak 45-50 µg / ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi
tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin
berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan diekskresi
melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat
kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita
tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus
kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan
gejala berupa telinga berdengung (tinitus) dan pusing. Streptomisin
dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam
menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak saraf
pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat. Efek
samping yang mungkin juga terjadi adalah gangguan pendengaran dan
vestibuler (Heemskerk, 2011).
Rifampisin 10-20mg/kg/BB/hari
Isoniazid 7-15mg/kg/BB/hari
Pirazinamid 30-40 mg/kg/BB/hari
Etambutol 15-25mg/kg/BB/hari
Streptomisin 20 mg/kgBB/hari
- Hidrosefalus
- Cairan subdural
- Abses otak
- Cedera kepala
- Gangguan pendengaran
- Peningkatan tekanan dalam otak ( tekanan itrakranial )
- Kerusakan otak
- Kejang
- Serangan otak
- Araknoiditis
2.1.11 Pencegahan
2.1.12 Prognosis
Prognosis meningitis tuberkulosis lebih baik sekiranya didiagnosa dan
diterapi seawal mungkin. Sekitar 15% penderita meningitis nonmeningococcal
akan dijumpai gejala sisanya.
- Umur penderita.
- Jenis kuman penyebab
- Berat ringan infeksi
- Lama sakit sebelum mendapat pengobatan
- Kepekaan kuman terhadap antibiotik yang diberikan
- Adanya dan penanganan penyakit.
Prognosis yang buruk terjadi pada bayi, lanjut usia, pasien malnutrisi,
dan pasien dengan penyakit yang menular atau dengan peningkatan tekanan
intrakranial (Thomas, 2011).
2.2 Imunisasi
c. Reaksi Imunisasi
Biasanya setelah suntikan BCG bayi tidak akan menderita demam. Bila
ia demam setelah imunisasi BCG umumnya disebabkan oleh keadaan
lain.
e. Kontraindikasi
Tidak ada larangan untuk melakukan imunisasi BCG, kecuali pada anak
yang berpenyakit TB atau menunjukkan uji Mantoux positif
(Eisenhut,2014).