Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

DIFTERI PADA DEWASA

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia

Oleh :
Cut Putri Shavana
110611022

Preseptor :
dr. Suhaemi, Sp.PD, FINASIM

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIMAL
RSUD CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan rahmat, karunia dan izinNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
lapkas yang berjudul “Difteri” sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit
Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih yang tak
terhingga kepada dr. Suhaemi, Sp.PD, FINASIM sebagai pembimbing yang telah
meluangkan waktunya memberi arahan kepada penulis selama mengikuti KKS di
bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh
Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
lapkas ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.

Lhokseumawe, April 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 2


3.1 Definisi .......................................................................................... 2
3.2 Epidemiologi ................................................................................. 2
3.3 Etiologi. ......................................................................................... 4
3.4 Patogenesis. ................................................................................... 6
3.5 Gejala klinis .................................................................................. 10
3.6 Penegakkan Diagnosis. ................................................................. 11
3.7. Diagnosis Banding. ....................................................................... 12
3.8. Tatalaksana ................................................................................... 15
3.9. Prognosis ....................................................................................... 16
3.10. Komplikasi .................................................................................. 17

BAB 3 PENUTUP........................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA
1

BAB 1
PENDAHULUAN

Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium


diphteriae. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung, dan kadang pada
kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga [1]. Difteri didapat melalui kontak dengan
karier atau seseorang yang sedang menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan
melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin atau berbicara [2]. Sejak diperkenalkan
dan digunakan secara luas toksoid difteri tahun 1920, difteri telah terkontrol
dengan baik, dengan kejadian sekitar 1.000 kasus setiap tahunnya. Sebelum
vaksinasi, setidaknya 200.000 kasus terjadi setiap tahun di Amerika Serikat [3].

Dulunya difteri dikenal sebaga penyakit yang terjadi pada masa kanak-
kanak, mempengaruhi populasi yang lebih muda dari 12 tahun. Difteri telah
bergeser ke populasi remaja dan dewasa, terutama di usia 40 dan yang lebih tua
untuk sebagian besar kasus baru. Hal ini terutama disebabkan oleh status
imunisasi yang tidak lengkap, termasuk tidak pernah diimunisasi, vaksin yang
tidak efisien atau respons terhadap vaksinasi, dan tidak menerima booster setelah
vaksinasi sebelumnya [5].

Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif


(basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,
mati pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan
pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau
merupakan formasi mirip huruf Cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam
pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit
agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila
direduksi oleh C [4]. Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi
toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit
yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan
serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria [1].
2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung, dan kadang pada
kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala
lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan
oleh mikroorganisme pada tempat infeksi [1].

Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang
menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk,
bersin atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit
merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran nafas [2].

2.2. Epidemiologi
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini turun dengan
penggunaan tosoid difteri secara meluas. Umumnya tetap terjadi pada individu-
individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak mendapatkan imunisasi
primer). Bagaimanapun, pada setiap insidens menurut usia tergantung pada
kekebalan individu. Serangan difteri yang sering terjadi, mendukung konsep
bahwa penyakit ini terjadi di kalangan penduduk miskin yang tinggal di tempat
berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas. Kematian
umumnya terjadi pada individu yang belum mendapatkan imunisasi [2].
Sejak diperkenalkan dan digunakan secara luas toksoid difteri tahun 1920,
difteri telah terkontrol dengan baik, dengan kejadian sekitar 1.000 kasus setiap
tahunnya. Sebelum vaksinasi, setidaknya 200.000 kasus terjadi setiap tahun di
Amerika Serikat [3]. Menurut WHO, epidemi difteri tetap menjadi ancaman
kesehatan di negara berkembang. Epidemi terbesar yang tercatat sejak
implementasi program vaksin secara luas pada tahun 1990-1995, ketika epidemi
difteri muncul di Rusia, dengan cepat menyebar di semua Negara Baru yang
3

Merdeka dan Negara Baltik. Epidemi ini menyebabkan lebih dari 157.000 kasus
dan 5000 kematian menurut laporan WHO. Tingkat kematian yang sangat tinggi
diamati pada individu yang lebih tua dari 40 tahun, dan 5.000 kematian
dilaporkan. Epidemi ini menyumbang 80% kasus yang dilaporkan di seluruh
dunia selama periode ini [4].
Dulunya difteri dikenal sebaga penyakit yang terjadi pada masa kanak-
kanak, mempengaruhi populasi yang lebih muda dari 12 tahun. Difteri telah
bergeser ke populasi remaja dan dewasa, terutama di usia 40 dan yang lebih tua
untuk sebagian besar kasus baru. Hal ini terutama disebabkan oleh status
imunisasi yang tidak lengkap, termasuk tidak pernah diimunisasi, vaksin yang
tidak efisien atau respons terhadap vaksinasi, dan tidak menerima booster setelah
vaksinasi sebelumnya [5]. Menurut studi imunologi, seseorang harus memiliki
tingkat antitoksin >0,1 IU/mL untuk kekebalan yang memadai. Selain itu, remaja
dan orang dewasa dapat menunjukkan presentasi atipikal penyakit, sehingga
berpotensi mengaburkan diagnosis. Jadwal imunisasi baru-baru ini berubah
membutuhkan booster toxoid pada usia 11-12 dan setiap 10 tahun sesudahnya.
Booster toxoid, tanpa tetanus, disetujui untuk wanita hamil jika titer antitoksin
mereka kurang dari 0,1 IU/mL [6].
Faktor sosial ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang buruk,
terbatasnya fasilitas kesehatan, merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini.
Orang-orang yang berada pada risiko tertular difteri meliputi [3]:

a. Anak-anak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi


terbaru
b. Orang yang hidup dalam kondisi tempat tingal penuh sesak atau
tidak sehat
c. Orang yang memiliki gangguan sistem kekebalan
d. Siapapun yang bepergian ke tempat atau daerah endemik difteri
Karier yang asimtomatik dilaporkan menjadi reservoar untuk C.
diphteriae. Infeksi oleh C. diphteriae didapat melalui kontak dengan pembawa
atau penderita aktif dari penyakit ini. Bakteri ini bisa dirasmisikan melalui droplet
ketika batuk, bersin, atau berbicara [3].
4

Penyakit ini muncul pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di


negara subtropis. Sering juga dijumpai pada kelompok remaja yang tidak
diimunisasi. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah pada daerah padat penduduk
dengan tingkat sanitasi rendah. Sejak ditemukannya vaksin DPT (diphtheria,
Pertusis dan tetanus) penyakit difteri mulai jarang dijumpai [1].
2.3. Etiologi
Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif
(basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,
mati pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan
pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau
merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam
pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit
agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila
direduksi oleh C. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup
bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi
serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan
khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa [4].

Secara umum dikenal 3 tipe utama C. diphtheriae yaitu tipe garvis,


intermedius dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil
ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe
serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa
mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C. diphtheriae
adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro,
toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji
kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek)
yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan.Eksotoksin ini merupakan suatu
protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya,
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B
(karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau
memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa
5

diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung


toxigene [5].

Gambar 1. Corynebacterium diphtheria


2.4. Patofisiologi
Kuman Corynebacterum diphteriae masuk melalui mukosa atau kulit,
melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran napas bagian
atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya
menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek
toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam
sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino
yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dalam
ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain
untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses
translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA +
dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim translokase yang aktif [6].

Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan


fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi
enzim translokase yang menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga
tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati.
Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respon, terjadi
inflamasi lokal bersama-sama dengan dengan jaringan nekrotik, membentuk
6

bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak,
daerah infeksi semakin melebar dan terbentuklah eksudat fibrin.Terbentuklah
suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari
jumlah darah yang terkandung. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi
perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan
[4].

Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder


dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Gangguan pernapasan atau
sufokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang
trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan
kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteri
hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi
tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah
toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya
manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi
saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang
mencolok adalah nekrosis toksik dan degenerasi hialin pada bermacam-macam
organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel
mononuclear pada serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien tetap hidup,
terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstitial. Pada saraf tampak neuritis toksik
dengan degenerasi lemak pada selaput myelin.9 Nekrosis hati bisa disertai gejala
hipoglikemik, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular
akut pada ginjal [4].

2.5. Manifestasi Klinis


Onset gejala difteri biasanya memiliki masa inkubasi 2-5 hari (kisaran, 1-
10 hari). Gejala awalnya bersifat umum dan tidak spesifik, sering menyerupai
infeksi saluran pernapasan atas virus yang khas. Keterlibatan pernapasan biasanya
dimulai dengan radang tenggorokan dan radang pharyngeal ringan.
Pengembangan pseudomembran lokal atau gabungan dapat terjadi di setiap bagian
dari saluran pernapasan. Pseudomembran ditandai oleh pembentukan lapisan
7

padat abu-abu yang terdiri dari campuran sel-sel mati, fibrin, sel darah merah,
leukosit, dan organisme [3].

Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias


bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta
fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,
virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae (kemampuan kuman membentuk
toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit
sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya.
Pasien pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita
keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain
tergantung pada lokalisasi penyakit difteria [7].

Difteri Saluran Pernapasan

Pada uraian 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan pada
tahun 1954, focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan
hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa
inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam
jarang lebih tinggi dari 39ºC [2].

Difteri Hidung

Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala


pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih
sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan
pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam
adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi.
Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata
sehingga diagnosis lambat dibuat [8].
8

Gambar 2. Difteri Hidung

Difteri Tonsil Faring

Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang
umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau
nyeri kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna
putih kelabu, infeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil
unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula,
palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis [8].

Gambar 3. Difteri Tonsil

Edema jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat


menyebabkan gambaran “bull neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat
peneterasi toksin dan luas membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan
pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun
bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias
9

terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi
secara berangsur-angsur dan bias disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada
kasus ringan membrane akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi
penyembuhan sempurna [8].

Difteri Laring

Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita


dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan
penyumbatan lapisan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria
faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai
daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala
obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok [8].

Gambar 4. Difteri Laring

Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang
lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering.
Pada Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan
supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membrane yang menutup jalan nafas biasa
terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membrane dapat meluas ke
percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari
difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi
dan toksemia [8].

Difteri Kulit
10

Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada
dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi
nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh,
superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteri kulit
tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan
mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari,
luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder.
Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema,
dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran
pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian
kecil penderita dengan difteri kulit [8].

Gambar 5. Difteri Kulit

Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga

C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada


tempat-tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta
dan ulseratif), dan saluran genital (vulvovaginitis purulenta dan ulseratif). Wujud
klinis, ulserasi, pembentukan membrane dan perdarahan submukosa membantu
membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus lain [8].

2.6. Penegakkan Diagnosis


Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus ditegakkan
berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena
preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan
waktu beberapa hari. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara
11

Flourescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.


Diagnosis pasti dengan isolasi C diphtheriae dengan pembiakan pada media
loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo (marmot) dan in-
vitro (tes Elek) [9].

Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk


difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi
membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna
membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih
banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di bawahnya. Bila diangkat terjadi
perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula [1].

KRITERIA DIAGNOSIS

Anamnesis

 Kontak dengan penderita difteri


 Suara serak
 Stridor dan tanda lain obstruksi jalan nafas
 Demam tak begitu tinggi
Pemeriksaan Fisik

 Tonsilitis, faringitis, rinitis


 Limfadenitis servikal + edema jaringan lunak leher (bullneck)
 Sangat penting untuk dignosis ditemukannya membran pada tempat
infeksi yang berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat
Laboratorium

 Hitung leukosit darah tepi dapat ↑


 Kadang-kadang timbul anemia
 Protein likuor pada neuritis difteria sedikit ↑
 Urea N darah pada nekrosis tubular akut dapat ↑
 Diagnosis pasti ; Kuman difteria pada sediaan langsung / biakan (+)
2.7. Diagnosis Banding [8]
12

 Difteria Hidung: rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda


asing dalam hidung, snuffles (lues kongenital)
 Difteria Faring: tonsilitis membranosa akut yang disebabkan oleh
Streptokokus (tonsilitis akut, septic sore throat), mononukleosis
infeksiosa, tonsilitis membranosa non-bakterial, tonsilitis herpetika primer,
moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.
 Difteria Laring: laringitis, dapat menyerupai infectious croups yang lain
yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda asing
dalam laring.
 Difteria Kulit: impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh
streptokokus dan stafilokokus.
2.8. Tatalaksana
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria [1].

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan


tenggorok negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi
selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna,
cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan
terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan
setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas
tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer [1].

1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan


pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang
dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa
meningkat sampai 30% [12].
13

Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian

Difteria Hidung 20.000 Intramuscular

Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular /Intravena

Difteria Faring 40.000 Intramuscular /Intravena

Difteria Laring 40.000 Intramuscular /Intravena

Kombinasi lokasi 80.000 Intravena


diatas

Difteria+penyulit, 80.000-100.000 Intravena


bullneck

Terlambat 80.000-100.000 Intravena


berobat(>72jam)

Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi
anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam
semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam
larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam
20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan
1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain
diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak
gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata
positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila
ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus
secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat
penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar
antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS
intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-
14

2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan


selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula
perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness)
[1].

2. Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan


untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga
mencegah penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya
rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin,
klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap
eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas.
Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih
unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring [12].

Dosis :

a. Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam


selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
b. Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6
jam selama 14 hari.
c. Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m.
atau i.v. , dibagi dalam 4 dosis.
d. Amoksisilin.
e. Rifampisin.
f. Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri
kulit diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi
sekurang-kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok
(atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi [1].
15

3. Kortikosteroid

Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini


pada difteria. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria
yang disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat
disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis.
Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak
terbukti [5].

Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus
berat selama 14 hari.

Pengobatan Penyulit

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika


tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya
reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan
yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi [1].

Pengobatan Karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,


mempunyai uji Schick negative tetapi mengandung basil difteria dalam
nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100
mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu
minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/ edenoidektomi [1].

Pengobatan Terhadap Kontak Difteria

Biakan Uji Schick Tindakan

(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi


dasar diberikan booster toksoid difteria

(+) (-) Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari


oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari
16

selama 1 minggu

(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau


eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI

(-) (+) Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan dengan


status imunisasi

Tabel 2. Pengobatan Terhadap Kontak Difteria

2.9. Prognosis

Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran


membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan
perawatan umum. Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih
baik daripada sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain.
Kematian tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri.
Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh
karena [7]:

(1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,


(2) Adanya miokarditis dan gagal jantung,
(3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria. Pada umumnya setelah menderita difteria,
kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan
pengobatan karier. Seorang yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap,
mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody
terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan seseorang menjadi
pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteri ringan [11].

Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin,


kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar
imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan
17

batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu
DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL;
preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5
mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk
dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya
superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang
lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid
difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid
difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi [1].

2.10. Prognosis dan Komplikasi


Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat
aktivitas eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi
tumpangan oleh kuman lain, obstruksi jalan nafas akibat membrane atau adema
jalan nafas, sistemik; karena efek eksotoksin terutama ke otot jantung, syaraf, dan
ginjal [7].

Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh


membrane difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah
submandibular dan servical. Kasus septikemi yang jarang dan secara umum
mematikan telah diuraikan. Kasus endokarditis sporadik terjadi, dan kelompok-
kelompok pengguna obat intravena telah dilaporkan di beberapa negara; kulit
adalah tempat masuk yang mungkin, dan hampir semua strain adalah
nontoksigenik. Kasus arthritis piogenik sporadic terutama karena strain
nontoksigenik, dilaporkan pada orang dewasa dan anak-anak. Difteroid yang
diisolasi dari tempat-tempat tubuh steril tidak boleh dianggap sebagai kontaminan
tanpa pertimbangan wujud klinis yang teliti [12].

Miokardiopati toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan


difteri dan menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak
kentara dapat terdeteksi pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang
lebih tua, tetapi resiko komplikasi yang berarti berkorelasi secara langsung
dengan luasnya dan keparahan penyakit orofaring lokal eksudatif dan penundaan
18

pemberian antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu
ke-2 dan ke-3 sakit ketika penyakit faring membaik tetapi dapat muncul secara
akut awal 1 minggu bila berkemungkinan hasil akhir meninggal, atau secara
tersembunyi lambat sampai sakit minggu ke-6. Takikardi diluar proporsi demam
lazim dan dapat merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi system
saraf otonom. Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T
pada elektrokardiogram relative merupakan tanda yang lazim. Disaritmia jantung
tunggal atau disaritmia progresif dapat terjadi, seperti blockade jantung derajat I,II
dan III, dissosiasi atrioventrikule, dan takikardi ventrikuler. Gagal jantung
kongestif klinis mungkin mulai secara tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar
aminotransferase aspartat serum sangat parallel dengan keparahan mionekrosis.
Disaritmia berat menramalkan kematian. Penemuan histologik pascamati dapat
menunjukkan sedikit mionekrosis atau difus dengan respons radang akut. Yang
bertahan hidup dari disaritmia yang lebih berat dapat mempunyai defek hantaran
permanent; untuk yang lain, penyembuhan dari miokardiopati toksik biasanya
sempurna [15].

Neuropati toksik, komplikasi neurologis paralel dengan luasnya infeksi


primer dan pada mulainya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah
mulai radang orofaring, sering terjadi hipestesia dan paralisis lokal palatum molle.
Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior dapat menyertai,
menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan resiko kematian karena
aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan
paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang nampak sebagai strabismus,
pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi. Polineuropati simetris mulainya 1
hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan deficit
motor dengan hilangnya refleks tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai
menyebar kedistal dan lebih sering. Tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal
pada yang kedua tidak dapat dibedakan dari tanda-tanda klinis dan cairan
serebrospinal polineuropati sindrom Landry-Guillain-Barre. Paralisis diafragma
dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. 2 atau 3 minggu sesudah
19

mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat menyebabkan
hipotensi atau gagal jantung [11].
20

BAB 3

PENUTUP

Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium


diphteriae. Difteri menular melalui kontak dengan karier atau seseorang yang
sedang menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat
batuk, bersin atau berbicara. Dulunya difteri dikenal sebaga penyakit yang terjadi
pada masa kanak-kanak dan sekarang telah bergeser ke populasi remaja dan
dewasa, terutama di usia lebih dari 40. Faktor sosial ekonomi, pemukiman yang
padat, nutrisi yang buruk, terbatasnya fasilitas kesehatan, merupakan faktor
penting terjadinya penyakit ini. Difteri biasanya ditandai dengan adanya membran
berwarna abu-abu di saluran nafas. Pengobatan dengan pemberian antiserum dan
antibiotik.
21

DAFTAR PUSTAKA

[1] Rupnik M, Wilcox MH, Gerding DN. Clostridium difficile infection: new
developments in epidemiology and pathogenesis. Nat. Rev. Microbiol. 7(7),
526–536 (2009).

[2] Final Report for Rates of Clostridium difficile for Ohio Hospitals and
Nursing Homes. Final Report for Rates of Clostridium difficile for Ohio
Hospitals and Nursing Homes. Ohio Department of Health, OH, USA (2006).

[3] CDC. Summary of notifiable diseases--United States, 2001. MMWR Morb


Mortal Wkly Rep. 2003 May 2. 50(53):i-xxiv, 1-108.

[4] Wagner KS, White JM, Lucenko I, Mercer D, Crowcroft NS, Neal S.
Diphtheria in the postepidemic period, Europe, 2000-2009. Emerg Infect Dis.
2012 Feb. 18(2):217-25.

[5] Carter GP, Douce GR, Govind R et al. The anti-sigma factor TcdC modulates
hypervirulence in an epidemic BI/NAP1/027 clinical isolate of Clostridium
difficile. PLoS Pathog. 7(10), e1002317 (2011).

[6] Dale DC, ed. 16 Infections Due to Gram-Positive Bacilli. Infectious


Diseases: The Clinician's Guide to Diagnosis, Treatment, and Prevention.
WebMD Corporation; 2007.

[7] Patel UV, Patel BH, Bhavsar BS. A Retrospective Study of Diphtheria Cases
Rajkot, Gujarat. Indian Journal of Community Medicine. 2004. XXIX, No 4.

[8] Freeman J, Bauer MP, Baines SD et al. The changing epidemiology of


Clostridium difficile infections. Clin. Microbiol. Rev. 23(3), 529–549 (2010).

[9] Papatheodorou P, Zamboglou C, Genisyuerek S, Guttenberg G, Aktories K.


Clostridial glucosylating toxins enter cells via clathrin-mediated endocytosis.
PloS One 5(5), e10673 (2010).

[10] Carter GP, Awad MM, Kelly ML, Rood JI, Lyras D. TcdB or not TcdB: a
tale of two Clostridium difficile toxins. Future Microbiol. 6(2), 121–123
(2011).

[11] Kelly CP, Kine L. The host immune response to Clostridium difficile. J.
Med. Microbiol. 60, 1070–1079 (2011).
22

[12] Adams, G. L., Boeis, L. R., Higler, P. H., 2012, BOEIS: Buku Ajar Penyakit
THT. EGC: Jakarta, h 330-331.

[13] Burns DA, Heeg D, Cartman ST, Minton NP. Reconsidering the sporulation
characteristics of hypervirulent Clostridium difficile BI/NAP1/027. Plos One
6(9), e24894 (2011).

[14] Centers for Disease Control and Prevention. FDA approval of expanded age
indication for a tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular
pertussis vaccine. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2009 Apr 17.
58(14):374-5.

[15] Dass J FP, Deepika V. Implications from predictions of HLA-DRB1 binding


peptides in the membrane proteins of Corynebacterium diphtheriae.
Bioinformation. 2008. 3(3):111-3. .

[16] Bonmarin I, Guiso N, Le Fleche-Mateos A, Patey O, Patrick AD, Levy-Bruhl


D. Diphtheria: a zoonotic disease in France?. Vaccine. 2009 Jun 24.
27(31):4196-200.

[17] de Benoist AC, White JM, Efstratiou A, et al. Imported cutaneous diphtheria,
United Kingdom. Emerg Infect Dis. 2004 Mar. 10(3):511-3.

Anda mungkin juga menyukai