Refrerat Difteri
Refrerat Difteri
Oleh :
Cut Putri Shavana
110611022
Preseptor :
dr. Suhaemi, Sp.PD, FINASIM
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan rahmat, karunia dan izinNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
lapkas yang berjudul “Difteri” sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit
Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih yang tak
terhingga kepada dr. Suhaemi, Sp.PD, FINASIM sebagai pembimbing yang telah
meluangkan waktunya memberi arahan kepada penulis selama mengikuti KKS di
bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh
Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
lapkas ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB 3 PENUTUP........................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Dulunya difteri dikenal sebaga penyakit yang terjadi pada masa kanak-
kanak, mempengaruhi populasi yang lebih muda dari 12 tahun. Difteri telah
bergeser ke populasi remaja dan dewasa, terutama di usia 40 dan yang lebih tua
untuk sebagian besar kasus baru. Hal ini terutama disebabkan oleh status
imunisasi yang tidak lengkap, termasuk tidak pernah diimunisasi, vaksin yang
tidak efisien atau respons terhadap vaksinasi, dan tidak menerima booster setelah
vaksinasi sebelumnya [5].
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung, dan kadang pada
kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala
lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan
oleh mikroorganisme pada tempat infeksi [1].
Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang
menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk,
bersin atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit
merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran nafas [2].
2.2. Epidemiologi
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini turun dengan
penggunaan tosoid difteri secara meluas. Umumnya tetap terjadi pada individu-
individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak mendapatkan imunisasi
primer). Bagaimanapun, pada setiap insidens menurut usia tergantung pada
kekebalan individu. Serangan difteri yang sering terjadi, mendukung konsep
bahwa penyakit ini terjadi di kalangan penduduk miskin yang tinggal di tempat
berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas. Kematian
umumnya terjadi pada individu yang belum mendapatkan imunisasi [2].
Sejak diperkenalkan dan digunakan secara luas toksoid difteri tahun 1920,
difteri telah terkontrol dengan baik, dengan kejadian sekitar 1.000 kasus setiap
tahunnya. Sebelum vaksinasi, setidaknya 200.000 kasus terjadi setiap tahun di
Amerika Serikat [3]. Menurut WHO, epidemi difteri tetap menjadi ancaman
kesehatan di negara berkembang. Epidemi terbesar yang tercatat sejak
implementasi program vaksin secara luas pada tahun 1990-1995, ketika epidemi
difteri muncul di Rusia, dengan cepat menyebar di semua Negara Baru yang
3
Merdeka dan Negara Baltik. Epidemi ini menyebabkan lebih dari 157.000 kasus
dan 5000 kematian menurut laporan WHO. Tingkat kematian yang sangat tinggi
diamati pada individu yang lebih tua dari 40 tahun, dan 5.000 kematian
dilaporkan. Epidemi ini menyumbang 80% kasus yang dilaporkan di seluruh
dunia selama periode ini [4].
Dulunya difteri dikenal sebaga penyakit yang terjadi pada masa kanak-
kanak, mempengaruhi populasi yang lebih muda dari 12 tahun. Difteri telah
bergeser ke populasi remaja dan dewasa, terutama di usia 40 dan yang lebih tua
untuk sebagian besar kasus baru. Hal ini terutama disebabkan oleh status
imunisasi yang tidak lengkap, termasuk tidak pernah diimunisasi, vaksin yang
tidak efisien atau respons terhadap vaksinasi, dan tidak menerima booster setelah
vaksinasi sebelumnya [5]. Menurut studi imunologi, seseorang harus memiliki
tingkat antitoksin >0,1 IU/mL untuk kekebalan yang memadai. Selain itu, remaja
dan orang dewasa dapat menunjukkan presentasi atipikal penyakit, sehingga
berpotensi mengaburkan diagnosis. Jadwal imunisasi baru-baru ini berubah
membutuhkan booster toxoid pada usia 11-12 dan setiap 10 tahun sesudahnya.
Booster toxoid, tanpa tetanus, disetujui untuk wanita hamil jika titer antitoksin
mereka kurang dari 0,1 IU/mL [6].
Faktor sosial ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang buruk,
terbatasnya fasilitas kesehatan, merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini.
Orang-orang yang berada pada risiko tertular difteri meliputi [3]:
bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak,
daerah infeksi semakin melebar dan terbentuklah eksudat fibrin.Terbentuklah
suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari
jumlah darah yang terkandung. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi
perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan
[4].
padat abu-abu yang terdiri dari campuran sel-sel mati, fibrin, sel darah merah,
leukosit, dan organisme [3].
Pada uraian 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan pada
tahun 1954, focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan
hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa
inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam
jarang lebih tinggi dari 39ºC [2].
Difteri Hidung
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang
umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau
nyeri kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna
putih kelabu, infeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil
unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula,
palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis [8].
terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi
secara berangsur-angsur dan bias disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada
kasus ringan membrane akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi
penyembuhan sempurna [8].
Difteri Laring
Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang
lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering.
Pada Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan
supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membrane yang menutup jalan nafas biasa
terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membrane dapat meluas ke
percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari
difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi
dan toksemia [8].
Difteri Kulit
10
Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada
dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi
nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh,
superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteri kulit
tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan
mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari,
luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder.
Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema,
dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran
pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian
kecil penderita dengan difteri kulit [8].
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi
anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam
semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam
larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam
20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan
1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain
diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak
gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata
positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila
ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus
secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat
penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar
antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS
intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-
14
2. Antibiotik
Dosis :
3. Kortikosteroid
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus
berat selama 14 hari.
Pengobatan Penyulit
Pengobatan Karier
selama 1 minggu
2.9. Prognosis
batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu
DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL;
preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5
mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk
dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya
superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang
lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid
difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid
difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi [1].
pemberian antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu
ke-2 dan ke-3 sakit ketika penyakit faring membaik tetapi dapat muncul secara
akut awal 1 minggu bila berkemungkinan hasil akhir meninggal, atau secara
tersembunyi lambat sampai sakit minggu ke-6. Takikardi diluar proporsi demam
lazim dan dapat merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi system
saraf otonom. Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T
pada elektrokardiogram relative merupakan tanda yang lazim. Disaritmia jantung
tunggal atau disaritmia progresif dapat terjadi, seperti blockade jantung derajat I,II
dan III, dissosiasi atrioventrikule, dan takikardi ventrikuler. Gagal jantung
kongestif klinis mungkin mulai secara tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar
aminotransferase aspartat serum sangat parallel dengan keparahan mionekrosis.
Disaritmia berat menramalkan kematian. Penemuan histologik pascamati dapat
menunjukkan sedikit mionekrosis atau difus dengan respons radang akut. Yang
bertahan hidup dari disaritmia yang lebih berat dapat mempunyai defek hantaran
permanent; untuk yang lain, penyembuhan dari miokardiopati toksik biasanya
sempurna [15].
mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat menyebabkan
hipotensi atau gagal jantung [11].
20
BAB 3
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
[1] Rupnik M, Wilcox MH, Gerding DN. Clostridium difficile infection: new
developments in epidemiology and pathogenesis. Nat. Rev. Microbiol. 7(7),
526–536 (2009).
[2] Final Report for Rates of Clostridium difficile for Ohio Hospitals and
Nursing Homes. Final Report for Rates of Clostridium difficile for Ohio
Hospitals and Nursing Homes. Ohio Department of Health, OH, USA (2006).
[4] Wagner KS, White JM, Lucenko I, Mercer D, Crowcroft NS, Neal S.
Diphtheria in the postepidemic period, Europe, 2000-2009. Emerg Infect Dis.
2012 Feb. 18(2):217-25.
[5] Carter GP, Douce GR, Govind R et al. The anti-sigma factor TcdC modulates
hypervirulence in an epidemic BI/NAP1/027 clinical isolate of Clostridium
difficile. PLoS Pathog. 7(10), e1002317 (2011).
[7] Patel UV, Patel BH, Bhavsar BS. A Retrospective Study of Diphtheria Cases
Rajkot, Gujarat. Indian Journal of Community Medicine. 2004. XXIX, No 4.
[10] Carter GP, Awad MM, Kelly ML, Rood JI, Lyras D. TcdB or not TcdB: a
tale of two Clostridium difficile toxins. Future Microbiol. 6(2), 121–123
(2011).
[11] Kelly CP, Kine L. The host immune response to Clostridium difficile. J.
Med. Microbiol. 60, 1070–1079 (2011).
22
[12] Adams, G. L., Boeis, L. R., Higler, P. H., 2012, BOEIS: Buku Ajar Penyakit
THT. EGC: Jakarta, h 330-331.
[13] Burns DA, Heeg D, Cartman ST, Minton NP. Reconsidering the sporulation
characteristics of hypervirulent Clostridium difficile BI/NAP1/027. Plos One
6(9), e24894 (2011).
[14] Centers for Disease Control and Prevention. FDA approval of expanded age
indication for a tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular
pertussis vaccine. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2009 Apr 17.
58(14):374-5.
[17] de Benoist AC, White JM, Efstratiou A, et al. Imported cutaneous diphtheria,
United Kingdom. Emerg Infect Dis. 2004 Mar. 10(3):511-3.