Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Abses otak (abses cerebri) adalah suatu proses pernanahan yang


terlokalisir di antara jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai macam
variasi bakteri, fungus dan protozoa. Biasanya tumpukan nanah ini mempunyai
selubung yang disebut sebagai kapsul. Tumpukan nanah tersebut bisa tunggal atau
terletak beberapa tempat di dalam otak.
Abses otak timbul karena ada infeksi pada otak. Infeksi ini dapat berasal
dari bagian tubuh lain, menyebar lewat jaringan secara langsung atau melalui
pembuluh darah. Infeksi juga dapat timbul karena ada benturan hebat pada kepala,
misalnya pada kecelakaan lalu lintas. Pada beberapa sumber dikatakan bahwa
abses otak dapat terjadi tanpa faktor atau dari sumber yang tidak diketahui.
Organisme penyebab abses otak yang paling sering adalah dari golongan
Streptococci. Kebanyakan bakteri ini tidak membutuhkan oksigen dalam hidupnya
(anaerobik). Bakteri Streptococci ini seringkali berkombinasi dengan bakteri
anaerobik lainnya seperti Bacteriodes, Propinobacterium dan Proteus.
Beberapa jenis jamur yang berperan terhadap pembentukan abses otak antara lain
Candida, Mucor, dan Aspergilus.
Insiden abses otak tidak terlihat menurun dan kenyataannya masih banyak
dijumpai kasus ini di dalam masyarakat. Diagnosa dan pengelolaan abses otak
tetap masih merupakan tantangan, walaupun dengan kemajuan-kemajuan dalam
hal cara diagnostik radiologis dengan memakai CT Scan kepala dan
didapatkannya berbagai antibiotika yang bekerja luas, angka kematian masih tetap
tinggi, antara 40% atau lebih.
Maka pengenalan dini dari suatu abses otak sangat memegang peranan
penting di dalam pengelolaannya.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Abses otak ( abses serebri ) adalah infeksi pada otak yang diselubungi
kapsul dan terlokalisasi pada satu atau lebih area di dalam otak.
Abses otak terdapat pada semua usia. Terbanyak pada usia dekade kedua dari
kehidupan, antara 20-50 tahun. Perbandingan antara penderita laki-laki
dengan perempuan adalah 3 : 1 atau 3 : 2.

B. Faktor Etiologi dan Predisposisi

Sebagian besar abses otak timbul secara penyebaran langsung dari


infeksi telinga tengah, sinusitis, atau mastoiditis. Sinusitis dapat berupa
sinusitis paranasal, sinusitis etmoidalis, sfenoidalis dan maksilaris. Juga dapat
diakibatkan oleh infeksi paru sistemik, endokarditis bakterial akut dan
subakut, serta sepsis mikroemboli menuju ke otak.
Penyebab lain tetapi jarang adalah osteomielitis tulang tengkorak,
sellulitis, erisipelas pada wajah, infeksi gigi, luka tembus pada tengkorak oleh
trauma. Bahkan masih banyak penulis lain yang masih belum menemukan
penyebab yang jelas.
Berdasarkan sumber infeksi tersebut, dapat ditentukan kira-kira dari
lobus mana dari otak abses tersebut bakal timbul.
Infeksi pada sinus paranasal, dapat menyebar secara retrograd tromboflebitis
melalui klep vena-vena diploika menuju frontal atau lobus temporal.
Biasanya bentuk absesnya tunggal, terletak suferfisial di otak, dekat dengan
sumber infeksinya. Sinusitis frontal dapat menyebabkan abses di bagian
anterior atau inferior dari lobus- lobus frontalis. Sinusitis sfenoidalis,
biasanya abses didapati pada lobus frontalis atau temporalis.
Infeksi pada telinga tengah dapat menyebar ke lobus temporalis.
Infeksi pada mastoid dapat mebnyebar ke dalam serebelum. Kadang-kadang
kerusakan tengkorak kepala oleh karena kelainan bawaan, seperti kerusakan
tegmentum timpani atau karena kelainan yang didapat seperti pada kerusakan
tulang temporal oleh kolesteatoma, memberi jalan untuk penyebaran infeksi
ke dalam lobus frontalis atau serebelum. Infeksi juga dapat menyebar secara
retrograd tromboflebitis pada cabang-cabang vena di temporal. Cabang-
cabang vena ini bergabung menuju vana-vena kortikal atau ke salah satu sinus
venosus (lateral, inferior, atau petrosal superior).
Abses otak dapat juga timbul akibat penyebaran secara hematogen
dari infeksi yang letaknya jauh dari otak seperti pada infeksi paru sistemik
(empiema, abses paru, bronkiektasis, pneumonia) atau pada endokarditis
bakterialis akut dan subakut dan pada penyakit-penyakit jantung lain seperti
Tertalogi Fallot. Abses yang terbentuk sering sekali multipel dan terdapat
pada substansia alba dan substansis grisea dari jaringan otak.
Dibeberapa negara, penyebaran infeksi secara sistemik ini frekuensinya
terlihat meningkat. Lokalisasi abses otak yang penyebarannya secara
hematogen ini sesuai dengan peredaran darah, paling sering pada daerah yang
didistribusi oleh arteri serebri media, terutama pada lobus parietalis. Bisa juga
pada daerah lain seperti serebelum dan batang otak. Krayenbuhl dan Garfiels
mendapatkan endokarditis subakut bersama sama dengan penyakit jantung
bawaan ataupun penyakit jantung rematik yang amenjadi penyebab abses otak
ini.
Lesi primer lainnya bisa juga akibat pustula kulit, infeksi gigi, abses
tonsil, osteomielitis dan septikemia. Sebaga penyebab abses otak yang tidak
diketahui, persentasenya cukup tinggi, antara 20-37%. Pada penderita
penyakit jantung bawaan ataupun kelainan bentuk arteri dan vena paru
terutama yang didapati adanya aliran darah pintas dari kanan ke kiri, sangat
mudah terkena abses otak, oleh karena darahnya tidak disaring
melalui kapiler-kapiler paru. Polisitemia dapat menyebabkan infark-infark
kecil di otak yang mengakibatkan daerah iskemik untuk perkembangan
organisme. Pada keadaan bakterimia jarang menyebabkan terbentuknya abses
otak oleh karena “Blood brain barrier” yang masih baik sangat resisten
terhadap infeksi.

Sebagai faktor pencetus lain adalah terjadinya trauma tembus pada kepala,
terutama bila didapatkan adanya benda asing yang tertinggal di dalam
jaringan otak, umpamanya tulang.

Luka tembak akibat senjata api dapat menyebabkan abses otak setelah
beberapa lama dari kejadiannya, tetapi ini jarang di jumpai oleh karena
biasanya logam panas tersebut steril. Untuk mencegah terjadinya abses otak
akibat trauma tembus kepala, dinjurkan untuk segera melakukan
“debridement” .

Patah tulang dasar tengkorak yang disertai dengan kebocoran cairan


serebrospinal dapat menyebabkan meningitis yang mengakibatkan terjadinya
abses otak. Pada kraniotomi, bila terjadi infeksi osteomielitis dari “bone
flap”, kemungkinan dapat menyebabkan abses otak. Demikian pula dengan
pemakaian implan, bila terinfeksi dapat menyebabkan abses otak.

Akhir-akhir ini terlihat adanya peningkatan insiden abses otak pada


penderita penyakit imunologik. Termasuk dalam kelompok ini yaitu penderita
dengan penyakit kronis seperti pada penderita yang menggunakan kemoterapi
untuk penyakit-penyakit malignan yang dapat menekan kekebalan tubuh,
penderita yang mendapat pengobatan dengan steroid ataupun bahan
sitotoksik, antibiotika dengan kerja luas dan penderita dengan sindroma
kegagalan sistem kekebalan tubuh (AIDS).

Pernah dilaporkan abses otak disebabkan oleh organisme parasit, seperti


Schistosomiasis atau amoeba, tetapi sangat jarang. Juga oleh jamur seperti
Aktinimikosis, okardiosis, Candida Albicans dan lain-lain . Abses otak oleh
bakteri multosida yang tumbuh saprofit pada saluran pencernaan binatang
piaraan seperti anjing dan kucing pernah juga dilaporkan. Infeksi biasanya
karena gigitan hewan tersebut.
C. Neuropatologi dan Gambaran CT Scan

Perjalanan bentuk abses otak oleh infreksi Streptococcus alfa


hemolitikus secara histologis dibagi dalam 4 fase, dan ini memerlukan waktu
sampai 2 minggu untuk terbentuknya kapsul dari abses.
Keempat fase tersebut ailah :
1. Early cerebritis ( hari ke 1 - 3 )
2. Late cerebritis ( hari ke 4 – 9 )
3. Early capsule formation ( hari ke 10 – 13 )
4. Late capsule formation ( hari ke 14 atau lebih )

a. “Early cerebritis”
Terjadi reaksi radang lokal dengan infiltrasi polimorfonuklear leukosit,
limfosit dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi. Dimulai pada
hari pertama dan meningkat pada hari ke-tiga. Sel-sel radang terdapat pada
tunika adventisia dari pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis
infeksi. Peradangan perivaskuler ini disebut cerebritis. Pada waktu ini
terjadi edema sekitar otak dan peningkatan efek dari massa oleh karena
pengembangan abses.
Gambaran CT Scan :
- Pada hari pertama terlihat daerah yang hipodens dengan sebagian
gambaran seperti cincin.
- Pada hari ketiga gambaran cincin lebih jelas, sesuai derngan
diameter cerebritisnya, didapati mengelilingi pusat nekrosis.

b. “Late Cerebritis”
Pada wakti ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah
pusat nekrosis membesar oleh karena meningkatnya “acellular debris” dan
pembentukan nanah oleh karena perlepasan enzim-enzim dari sel radang.
Pada tepi-tepi pusat nekrosis didapati daerah sel-sel radang, makrofag-
mafrofag besar dan gambaran fibroblas yang terpencar-pencar. Fibroblas
mulai menjadi anyaman retikulum, yang akan membentuk kapsul kollagen,
lesi menjadi sangat besar.
Gambaran CT Scan :
- Gambaran cincin sempurna, 10 menit setelah pemberian kontras
perinfus. Kontras masuk ke daerah sentral dengan gambaran lesi
yang homogen. Gambaran ini menunjukkan adanya cerebritis.

c. “Early Capsule Formation”


Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag-makrofag menelan “acelluler
debris” dan fibroblas meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan
fibroblas membentuk anyaman retikulum, mengelilingi pusat nekrosis. Di
dalam ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat oleh karena
kurangnya vaskularisasi di daerah substansi alba dibandingkan dengan
substansi grisea. Pembentukan kapsul yang terlambat dipermukaan
tengah memungkinkan abses membesar ke dalam substansia alba. Bila
abses cukup besar, dapat robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada
pembentukan kapsul, terlihat daerah anyaman retikulum yang tersebar
membentuk kapsul kollagen. Mulai meningkatnya reaksi astrosit di
sekitar otak.

- Hampir sama dengan fase cerebritis, tetapi pusat nekrosis terlihat


lebih kecil.
- Kapsul terlihat lebih tebal.

d. “Late Capsule Formation”


Terjadi perkembangan lengkap dari abses otak dengan gambaran
histologisnya berupa :
- Bentuk pusat nekrosis diisi oleh “acelluler debris” dan sel-sel
radang.
- Daerah tepi dari sel radang, mafrofag, dan fibroblas.
- Kapsul kolagen yang tebal.
- Lapisan neovaskuler sehubungan dengan cerebritis yang berlanjut.
- Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.
- Gambaran kapsul dari abses jelas terlihat, sedangkan daerah nekrosis
diisi oleh kontras.

C. Gambaran Klinis

Penderita datang dengan keluhan berupa sakit kepala, mintah-muntah,


kejang dan bisa disertai gangguan penglihatan. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan demam, kaku kuduk, papil bendung, bisa pula dijumpai pupil
anisokor, afasia, hemiparese, parastesia, nistagmus ataupun ataksis. Gejala-
gejala tersebut tergantung pada berbagai faktor seperti lokasi abses, virulensi
dari bakteri penyebab, apakah edema otak hebat dan kondisi tubuh atau daya
tahan si penderita sendiri. Tidak dijumpai tanda-tanda spesifik dan gejala
yang khas untuk suatu abses otak.
Paling sering dijumpai tanda-tanda umum peningkatan tekanan
intrakranial. Bisa dijumpai tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
tanpa tanda-tanda infeksi pada waktu penderita datang ke rumah sakit. Pada
umumnya peningkatan tekanan intrakranial oleh tumor jinak lebih pelan
daripada oleh abses otak.
Pada abses yang letaknya pada “silent area” dari otak seperti pada lobus
frontalis atau lobus temporal non dominan, mungkin didapati pembesaran
abses sebelum adanya gejala-gejala dan tanda-tanda.
Gejala sakit kepala yang hebat pada penderita abses otak ini sering
tidak dapat diatasi hanya dngan pengobatan simptomatis saja. Hampir seluruh
penderita didapati keluhan sakit kepala.
Beberapa penulis mendapatkan gejala-gejala dengan persentase
sebagai berikut : muntah (25-50%), kejang-kejang (30-50%). Pada
penderita dengan abses serebelli, didapatkan gejala-gejala pusing,
vertigo, ataksis, dan gejala-gejala serebelar lainnya. Gejala fokal
yang sering ditemukan (61%) pada kasus dengan abses
supratentorial. Pada abses temporal dapat dijumpai gangguan
bicara pada 19,6% kasus, hemianopsia pada 31% kasus, 20,5%
kasus dijumpai unilateral midriasis yang merupakan indikasi
terjadinya herniasi tentorial. 30% dari kasus tidak didapati tanda-
tanda fokal.

E. Pemeriksaan Penunjang

Untuk mencari sumber infeksi primer dari suatu abses otak


dapat dibuat suatu foto rontgen polos kepala, sinus ataupun
mastoid. Pada foto rontgen polos kepala, mungkin terlihat
pergeseran letak glandula pinealis yang mengalami kalsifikasi.
Didapatkan pneumosefali kalau penyebarannya bakteri anaerob.
Pada anak-anak kemungkinan sutura melebar oleh karena
peninggian tekanan intrakranial. Kalau ada indikasi, kemungkinan
dapat dibuat foto rontgen toraks untuk mencari apakah ada infeksi
dari paru. Dengan ultrasonografi didapatkan gambaran lateralisasi
pada 34,5% kasus. Dengan angiografi dapat ditentukan lokalisasi
abses secara tepat pada 34% kasus.
Pemeriksaan dengan “Computerized Tomography Scanning”(CT
Scan) dapat terlihat lokasi yang tepat dari abses dan juga fase dari
abses tersebut, apakah pada fase cerebritis atau pada fase sudah
terbentuknya kapsul. Dengan adanya CT Scan ini, pengelolaan
abses otak dapat dilakukan secara cepat dan tepat.
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan jumlah leukosit dan laju endap darah hasilnya selalu


abnormal. Pada 60-70% kasus dijumpai jumlah leukosit antara 10.000-
3
20.000/cm . Sampai 40% kasus dijumpai normal atau sedikit meningkat.
Laju endap darah meningkat pada 75-90% kasus, rata-rata 45 mm/jam. Cairan
serebrospinal tidak dianjurkan untuk diperiksa. Abnormalnya hasil LP tidak
spesifik untuk abses otak. Penderita abses otak dengan peninggian tekanan
intrakranial, terlalu riskan untuk dilakukan LP ( lumbal pungsi ).
Yang S.Y melaporkan beberapa kasus yang dilakukan lumbal pungsi
dengan cepat menunjukkan tanda-tanda herniasi otak, oleh karena itu pada
penderita dengan sangkaan meningitis dan dijumpai tanda-tanda neurologis
abnormal, sebaiknya lebih dulu dilakukan pemeriksaan CT Scan untuk
menyingkirkan diagnosa abses otak. Bila ditemkan abses dengan efek massa
yang jelas, maka tidak dianjurkan untuk melakukan LP.

F. Diagnosa Banding

Dari gejala-gejala dan keluhan yang umum pada penderita dengan


peningkatan tekanan intrakranial serta kemungkinan didapatkan tanda-tanda
infeksi, maka abses otak ini didiagnosis banding antra lain dengan tumor,
terutama tumor ganas yang tumbuh dengan cepat, tromboflebitis intra
serebral, empiema subdural, abses ektra dural dan ensefalitis.

G. Komplikasi

Sebagai komplikasi didapati robeknya kapsul abses kedalam ventrikel


atau keruangan subarakhnoidal, penyumbatan cairan serebrospinalis
mengakibatakan hidrosefalus, edema otak dan terjadinya herniasi tentorial
oleh massa abses otak tersebut.
H. Pengobatan Abses Otak

Pengobatan abses otak ditujukan kepada menghilangkan proses infeksi


dan mengurangkan atau menghilangkan efek massa pada otak dan oleh edema
otak, sebagian besar infeksi ini diobati dengan antibiotika yang tepat dan
dihilangkan dengan tindakan pembedahan, baik dengan aspirasi maupun
dengan eksisi.
Williams-Maurice RS melaporkan bahwa tindakan bedah yang
memuaskan hasilnya adalah evakuasi, eksisi total beserta kapsul abses,
mereka melakukan pembedahan semua kasus dengan pembiusan umum.
Pendekatan dengan osteoplastik supratentorial dan intratentorial, ataupun
suboksipital osteoklastik luas dengan membuang arkus dari atlas untuk
dekompresi. Pengobatan medikamentosa disesuaikan dengan hasil kultur dari
abses otak, kultur darah ataupun sekret nasofaring.
Beberapa peneliti melaporkan hasil pengobatan hanya dengan
medikamentosa saja pada beberapa kasus berhasil, tetapi ini banyak yang
menentang. Heineman et al (1971) memperkenalkan cara pengobatan hanya
dengan antibiotika tanpa tindakan pembedahan. Dilaporkan, pada abses otak
dengan fase cerebritis pengobatan hanya dengan antibiotika. Diperiksa kultur
darah, cairan serebrospinal, sesuai dengan kultur luka apabila ditemukan.
Tidak diperiksa bakteriologis dari nanah abses intrakranial. Untuk
mengurangi edema otak, digunakan kortikosteroid.
Rosenblum dkk menemukan pengobatan medikamentosa pada abses
yang kecil dengan diameter rata-rata 1,7 cm ( 0,8 – 2,5 cm ). Kalau diameter
lebih besar antara 2 – 6 cm ( rata-rata 4,2 cm ) dianjurkan untuk dilakukan
tindakan bedah. Sebagai tambahan bahwa ada beberapa abses otak yang kecil
yang tidak berhasil dengan pengobatan antibiotika, bahkan absesnya
bertambah besar, pada pengobatan dengan hanya antibiotika ini diperlukan
pemeriksaan CT Scan secara serial. Kalau dari hasil CT Scan memperlihatkan
keadaan bertambah buruk, maka ini merupakan indikasi untuk dilakukan
pembedahan.
Penderita dengan abses otak yang multipel, kemungkinan hanya abses
yang besar saja yang dapat dilakukan aspirasi atau eksisi dan ini sangat
riskan. Maka selain tindakan pembedahan, untuk abses yang dalam dan riskan
diperlukan pemberian antibiotika.
Adapun antibiotika yang dianjurkan diantara nya :
- Kombinasi penisilin dan metronidazol/kloramfenikol adalah
pilihan pertama. Kombinasi alternatif adalah sefalosporin generasi
III seperti seftriakson/sefotaksim dan metronidazol.

- Penisilin G atau sefalosporin generasi III ( sefotaksim, seftriakson )


dapat digunakan untuk Streptococci sp. Dosis penisilin G 20-24
juta unit, dan juga 4-6 juta unit. Kloramfenikol atau metronidazol
dapat dierikan secara intravena dengan loading dose 15 mg/kg
diikuti 7,5 mg/kg setiap 6 jam.

- Golongan penisilin resisten beta laktam ( oksasilin, metisilin,


nafilin ) dengan dosis 1,5 g setiap 4 jam IV atau vankomisin dosis
1 g setiap 12 jam IV, diberikan untuk Staphylococcus aureus,
paska operasi saraf, trauma, atau endokarditis bakterialis.

- Metronidazol dosis 500 mg setiap 6 jam dapat menembus sawar


darah otak dan tidak dipengaruhi oleh kortikosteroid, tetapi hanya
aktif untuk bakteri Streptococcus anaerob, aerob, dan
mikroaerofilik,

- Sefalosporin generasi III ( sefotaksim, seftriakson ) umumnya


adekuat untuk organisme gram negatif aerob. Jika terdapat
Pseudomonas, sefalosporin parenteral pilihan adalah seftazidim
atau sefepim.

- Trimetoprim-sulfametoksazol dosis tinggi 15 mg/kg/hari dari


komponen trimetoprim dibagi 3 - 5 dosis untuk abses otak dengan
penyebab ikardia sp. Dosis dapat diturunkan 1/2 selama 3-6
bulan pada pasien tanpa penekanan imun dan selama 1 tahun pada
pasien dengan penekanan imun.
Apabila didapatkan sinusitis, mastoiditis, dilakukan drainase. Pada
kasus-kasus abses otak yang dilakukan tindakan pembedahan digunakan dua
cara yaitu aspirasi melalui pengeboran tulang tengkorak dan eksisi melalui
kraniotomi.

Tindakan Pembedahan
Aspirasi

Lebih dahulu dilakukan desinfeksi dan penentuan lokasi yang akan


diaspirasi. Dengan hasil CT Scan yang ada, dapat ditentukan secara pasti.
Dilakukan pembuisan lokal dengan memakai prokain 1 %, diinfiltrasikan ke
kulit di daerah yang akan dilakukan pengbeboran. Kemudian dibuat insisi
kulit kulit kepala sebesar 3-5 cm lapis demi lapis sampai pada periosteum.
Setelah tulang tampak jelas, daerah operasi tersebut dengan alat dibuka
selebar-lebarnya. Dengan alat dilakukan pengeboran tulang sampai terlihat
duramater. Duramater dibersihkan, kalau ada perdarahan dirawat sampai
benar-benar bersih. Dengan pisau runcing perlahan-lahan duramater diiiris
sampai lapisan arakniod. Setelah korteks serebri terlihat jelas, daerah yang
akan dilakukan pungsi atau aspirasi dibakar dengan alat elektris. Dengan
jarum pungsi khusus, dilakukan aspirasi nanah pada abses. Jarum pungsi tetap
di dalam kapsul abses, dengan semprit 10 cc dilakukan aspirasi berulang-
ulang kemudian diirigasi dengan larutan garam fisiologis sampai bersih.
Akhirnya ke dalam rongga abses dimasukkan larutan 3 cc Garamicin 10 mg.
Dipasang drain, dan setiap hari drain diawasi dan dilakuan irigasi dengan
larutan Garamicin 20 mg. Kalau sampai 3-5 hari hail dari irigasi terlihat
jernih, tidak terbentuk pernanahan baru maka drain dapat dilepaskan. Drain
dapat dipertahankan sampai gari ke-7 -10 dengan dijaga kesterilannya.
Disamping itu sejak sebelum pembedahan penderita telah mulai diberi
antibiotika dengan dosis tinggi seperti ampicillin 6x1 g, kloramfenikol 4 x
500 mg, metronidazol 2 x 500 mg. Sampai menunggu hasil kultur, obat-obat
tersebut terus diteruskan. Pemberian antibiotika yang sesuai diberikan sampai
dengan 6 minggu setelah tindakan pembedahan. Pemberian deksametason 4 x
5 mg diturunkan perlahan-lahan setelah pembedahan

Kraniotomi Osteoplastik

Penderita dipersiapkan dengan persiapan bedah selengkap-lengkapnya.


pembedahan dilakukan dengan pembiusan umum. Tergantung dari lokasi
absesnya, kita melakukan kraniotomi osteoplastik dan flap kulit dipersiapkan.
untuk abses fosa posterior/serebellum dilakukan suboksipital kraniotomi yang
luas, sampai membuang arkus dari tulang atlas bila diperlukan. Setelah insisi
kulit sesuai dengan lokasi absesnya, dilakukan pengeboran dibeberapa tempat
untuk kraniotomi tersebut. Tulang dilepaskan, duramater dibuka lebar.
Dengan jarum fungsi khusus dilakukan penusukan pada absesnya. Dilakukan
aspirasi, disediakan untuk dikultur.
Kemudian melalui bekas pungsi, diikuti dengan spatel sampai dinding
abses tersebut terlihat. Korteks serebri diinsisi sepanjang 2-4 cm sampai
dinding abses yang paling permukaan ditemukan. Secara perlahan-lahan
dinding abses dibebaskan dari jaringan otak yang normal sampai terlepas
keseluruhannya. Daerah bekas abses dicuci dengan larutan antibiotika seperti
Garamycin. Setalah perdarahan dihentikan dan luka pembedahan bersih,
duramater ditutup rapat kembali, dijahit dengan cara “interupted suture”
dengan benang sutura 03. Tulang dikembalikan, periosteum dijahit. Kulit
dijahit lapis demi lapis. Dipasang drain subkutan.
Pemberian antibiotika diteruskan sambil menunggu hasil kultur dan
sensitivitas test. Sebagai pencegahan, diberi anti konvulsan Dilantin 5
mg/kgBB. Setelah satu minggu kemudian, dibuat CT Scan sebagai kontrol.
DAFTAR PUSTAKA

Dewantoro, G dkk., Panduan Praktis Diagnosis dan tata Laksana


Penyakit Saraf., Jakarta : EGC., 2009.

Hakim, AR., Pengamatan Pengelolaan Abses Otak di RSUD dr.


Soetomo FK Universitas Airlangga Surabaya pada tahun 1984-1986,
Lab/UPF
Ilmu Bedah FK UNAIR/dr. Soetomo Surabaya., 1986.

Panitia Lulusan Dokter 2002-2003 FKUI., Updates in euroemergencies.,


Jakarta : Balai Penerbit FKUI., 2002.

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia., Buku ajar eurologi


Klinis., Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.,
1996.

Anda mungkin juga menyukai