Anda di halaman 1dari 32

BAB II

PENDAHULUAN
2.1. Latar Belakang

Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak
di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
anak berusia dibawah lima tahun. Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh
dunia, lebih kurang 2 juta anak balita meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian
besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001,
27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit
respiratori, terutama pneumoia. Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru.
sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/ bakteri) dan sebagian kecil
disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dll). Pada pneumonia yang disebabkan oleh kuman,
menjadi pertanyaan penting adalah penyebab dari pneumonia (virus atau bakteri). Pneumonia
seringkali dipercaya diawali oleh infeksi virus yang kemudian mengalami komplikasi infeksi
bakteri. Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakerial dengan pneumonia
viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya
cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada
pemeriksaan radiologis.

Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh bakteri.


Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenzae, dan Staphylococcus aureus. Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri-bakteri
umumnya responsif terhadap pengobatan dengan antibiotik beta-laktam. Di lain pihak,
terdapat pneumonia yang tidak responsif dengan antibiotik beta-laktam dan dikenal sebagai
pneumonia atipik. Pnemonia atipik terutama disebbakan oleh Mycoplasma pneumoniae dan
Chlamydia pneumoniae. Berdasarkan tempat terjadnya infeksi, dikenal dua bentuk
pneumonia, yaitu; 1. Pneumonia masyarakat, 2. Pneumonia RS. Oleh kerana tingginya
mortalitas dan morbiditas pneumonia pada anak, diharapkan dengan pembuatan referat ini
dapat membantu masyarakat untuk dapat mengenali gejala pneumonia serta penangananya
dengan harapan angka mortalitas dan morbiditas pneumonia pada anak dapat menurun.

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. PNEUMONIA

3.1.1. Definisi

Pneumonia adalah inflamasi akut jaringan paru akibat infeksi oleh berbagai
mikroorganisme terutama bakteri, virus, mikoplasma atau campuran mikroorganisme
tersebut. Gambaran inflamasi akut jaringan paru dapat juga disebabkan oleh faktor non-
infeksi misalnya aspirasi inhalasi hidrokarbon atau gas-gas toksik lainnya. Pada pneumonia
yang disebabkan oleh kuman, menjadi pertanyaan penting adalah penyebab dari pneumonia
(virus atau bakteri).1
Pneumonia seringkali dipercaya diawali oleh infeksi virus yang kemudian mengalami
komplikasi infeksi bakteri. Secara klinis sulit membedakan pneumonia bakterial dengan
pneumonia viral. Demikian pula pemeriksaan radiologi dan laboraturium tidak menunjukkan
perbedaan nyata. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial
awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata
pada pemeriksaan radiologi.1

3.1.2. Etiologi

Umur penderita merupakan faktor penting adanya perbedaan dan kekhasan dalam
spektrum etiologi, gambaran klinik dan strategi pengobatan pada pneumonia anak. Spektrum
mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan anak yang lebih
besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptokokus grup B dan
bakteri Gram negatif seperti E coli, Pseudomonas atau Klebsiela. Pada bayi yang lebih besar
dan anak balita pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptokokus pneumonia,
Hemofilus influenzae tipe B dan Stafilokokus aureus; sedangkan pada anak yang lebih besar
dan remaja selain bakteri tersebut sering ditemukan infeksi dengan Mikoplasmapneumoniae.1
Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh bakteri.
Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptokokus pneumoniae, Hemofilus
influenzae dan Stafilokokus aureus. Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri-bakteri ini
umumnya responsif terhadap pengobatan dengan antibiotik beta-laktam. Di lain pihak

16
terdapat pula pneumonia yang tidak responsif dengan antibiotik beta laktam dan dikenal
sebagai pneumonia atipik. Pneumonia atipik terutama disebabkan oleh bakteri atipik seperti
Mikoplasma pneumoniae dan Klamidia pneumoniae.1
Di negara maju pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus disamping
bakteri atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk dalam penelitian pada pneumonia anak
menemukan etiologi virus saja 32%, campuran bakteri dan virus 30% dan bakteri saja 22%.
Virus yang terbanyak ditemukan adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV), virus Rino dan
virus Parainfluenza; bakteri yang terbanyak adalah Streptokus pneumoniae, Hemofilus
influenzae tipe B dan Mikoplasma pneumoniae. Anak usia 2 tahun ke atas mempunyai
etiologi infeksi bakteri lebih banyak dibandingkan anak usia di bawah 2 tahun.1,2,3
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok umur yang bersumber
dari data di negara maju dapat di lihat pada tabel berikut :1,3
Tabel 1: Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok umur di negara maju1,3
Umur Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Bakteri Bakteri
E coli Bakteri anaerob
Streptokokus grup B Streptokokus grup D
Listeria monositogenes Hemofilus influenzae
Lahir – 20 hari Streptokokus pneumoniae
Ureaplasma urealitikum
Virus
Virus Sitomegalo
Virus Herpes simpleks
Bakteri Bakteri
Klamidia trakomatis Bordetela pertusis
Streptokokus pneumoniae Hemofilus influenzae tipe B
Virus Moraksela kataralis
3 minggu-3 bulan Virus Adeno Stafilokokus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealitikum
Virus Parainfluenza 1,2,3 Virus
Respiratory Syncytial Virus Virus Sitomegalo
Bakteri Bakteri
Klamidia pneumoniae Hemofilus influenzae tipe B

17
Mikoplasma pneumoniae Moraksela kataralis
Streptokokus pneumoniae Neiseria meningitis
Virus Stafilokokus aureus
4 bulan-5 tahun Virus Adeno Virus
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial Virus
Bakteri Bakteri
Klamidia pneumoniae Hemofilus influenza
Mikoplasma pneumoniae Legionela spp
Streptokokus pneumoniae Stafilokokus aureus
Virus
Virus Adeno
5 tahun- remaja Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial Virus
VirusVarisela-zoster

3.1.3. Epidemiologi1,3

Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi pneumonia tahun 2013 sebesar
4,5 persen. Lima provinsi yang mempunyai insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk
semua umur adalah Nusa Tenggara Timur (4,6% dan 10,3%), Papua (2,6% dan 8,2%),
Sulawesi Tengah (2,3% dan 5,7%), Sulawesi Barat (3,1% dan 6,1%), dan Sulawesi Selatan
(2,4% dan 4,8%). Period prevalensi pneumonia balita di Indonesia adalah 18,5 per mil. Balita
dengan pneumonia yang berobat hanya 1,6 per mil. Lima provinsi yang mempunyai insiden
pneumonia balita tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (38,5%), Aceh (35,6%), Bangka
Belitung (34,8%), Sulawesi Barat (34,8%), dan Kalimantan Tengah (32,7%). Insidens
tertinggi pneumonia balita terdapat pada kelompok umur 12-23 bulan (21,7%).

18
3.1.4. Fisiologi Sistem Pernafasan4

Respirasi dibagi menjadi 2 bagian, yaitu respirasi internal dan respirasi eksternal.
Respirasi internal atau seluler mengacu pada proses metabolism intreasel yang berlangsung di
dalam mitokondria, yang menggunakan O2 dan menghasilkan CO2 selama penyerapan energi
dari molekul nutrient. Respirasi eksternal mengacu kepada keseluruhan rangkaian kejadian
yang terlihat dalam pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel tubuh.4

19
 Proses pernafasan terdiri dari 2 bagian, yaitu sebagai berikut4 :
- Ventilasi pulmonal yaitu masuk dan keluarnya aliran udara antara atmosfir dan
alveoli paru yang terjadi melalui proses bernafas (inspirasi dan ekspirasi) sehingga
terjadi disfusi gas (oksigen dan karbondioksida) antara alveoli dan kapiler
pulmonal serta transport O2 & CO2 melalui darah ke dan dari sel jaringan.
- Mekanik pernafasan
Masuk dan keluarnya udara dari atmosfir ke dalam paru-paru dimungkinkan olen
peristiwa mekanik pernafasan yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi (inhalasi)
adalah masuknya 02 dari atmosfer dan CO2 ke dalam jalan nafas.4
Dalam inspirasi pernafasan perut, otot difragma akan berkontraksi dan kubah
difragma turun ( posisi diafragma datar ), selanjutnya ruang otot intercostalis
externa menarik dinding dada agak keluar, sehingga volume paru-paru membesar,
tekanan dalam paru-paru akan menurun dan lebih rendah dari lingkungan luar
sehingga udara dari luar akan masuk ke dalam paru-paru. Ekspirasi (exhalasi)
adalah keluarnya CO2 dari paru ke atmosfir melalui jalan nafas. Apabila terjadi
pernafasan perut, otot difragma naik kembali ke posisi semula ( melengkung ) dan
muskulus intercotalis interna relaksasi. Akibatnya tekanan dan ruang didalam
dada mengecil sehingga dinding dada masuk ke dalam udara keluar dari paru-paru
karena tekanan paru-paru meningkat.4

 Transportasi gas pernafasan


a. Ventilasi
Selama inspirasi udara mengalir dari atmosfir ke alveoli. Selama ekspirasi
sebaliknya yaitu udara keluar dari paru-paru. Udara yg masuk ke dalam alveoli
mempunyai suhu dan kelembaban atmosfir. Udara yg dihembuskan jenuh dengan
uap air dan mempunyai suhu sama dengan tubuh.4
b. Difusi
Yaitu proses dimana terjadi pertukaran O2 dan CO2 pada pertemuan udara dengan
darah. Tempat difusi yg ideal yaitu di membran alveolar-kapilar karena
permukaannya luas dan tipis. Pertukaran gas antara alveoli dan darah terjadi secara
difusi. Tekanan parsial O2 (PaO2) dalam alveolus lebih tinggi dari pada dalam
darah O2 dari alveolus ke dalam darah.4

20
Sebaliknya (PaCO2) darah > (PaCO2) alveolus sehingga perpindahan gas
tergantung pada luas permukaan dan ketebalan dinding alveolus. Transportasi gas
dalam darah O2 perlu ditrasport dari paru-paru ke jaringan dan CO2 harus
ditransport kembali dari jaringan ke paru-paru. Beberapa faktor yg mempengaruhi
dari paru ke jaringan , yaitu:
o Cardiac out put.
o Jumlah eritrosit.
o Exercise
o Hematokrit darah, akan meningkatkan vikositas darah
mengurangi transport O2 menurunkan CO. g v
c. Perfusi pulmonal
Merupakan aliran darah aktual melalui sirkulasi pulmonal dimana O2 diangkut
dalam darah membentuk ikatan (oksi Hb) / Oksihaemoglobin (98,5%) sedangkan
dalam eritrosit bergabung dengan Hb dalam plasma sbg O2 yg larut dlm plasma
(1,5%). CO2 dalam darah ditrasportasikan sebagai bikarbonat, alam eritosit sebagai
natrium bikarbonat, dalam plasma sebagai kalium bikarbonat , dalam larutan
bergabung dengan Hb dan protein plasma. CO2 larut dalam plasma sebesar 5 – 7 %
, HbNHCO3 Carbamoni Hb (carbamate) sebesar 15 – 20 % , Hb + CO2 HbC0
bikarbonat sebesar 60 – 80% .4
d. Perfusi jaringan
Okaigen tetap dipakai oleh sel. Karena itu, PO2 intraseluler tetap lebih rendah
daripada PO2 dalam kapiler. Juga, pada beberapa contoh, ada jarak yang dapat
dipertimbangkan antara kapiler dan sel. Oleh, karena itu PO2 intraseluler normal
berkisar dari serendah 5 mmHg sampai setinggi 40 mmHg, rata- rata 23 mmHg.
Karena pada keadaan normal hanya dibutuhkan tekanan oksigen sebesar 1 sampai 3
mmHg untuk memenuhi proses kimiawi dalam sel yang menggunakan oksigen,
maka kita dapat melihat bahwa PO2 seluler yang rendah, yaitu 23 mmHg, lebih
cukup dan merupakan faktor pengaman yang besar. Ketika oksigen dipakai oleh
sel, sebagian besar oksigen ini menjadi karbondioksida, sehingga PCO2
intraseluler meningkat.
Faktor terpenting yang menetukan % saturasi Hb adalah PO2 darah yang pada
gilirannya berkaitan dengan konsentreasi O2 secara fisik larut dalam darah.
Menurut hokum aksi massa, apabila konsentrasi salah satu bahan yang terlibat

21
dalam sebuah reaksi reversible meningkat, reaksi akan mengarah ke sisi yang
berlawanan. Sebaliknya, apabila konsentrasi salah satu zat berkurang, reaksi akan
mengarah ke sisi tersebut. Dengan menerapkan hokum ini pada reaksi reversible
yang melibatkan Hb dan O2 (Hb + O2 HbO2 ), Apabila PO2 darah meningkat,
misalnya di kapiler paru, reaksi akan mengarah ke sisi kanan, sehingga terjadi
peningkatan pembentukan HBO2. Apabila PO2 darah berkurang, misalnya saat di
kapiler sistemik reaksi akan mengarah ke sisi kiri persamaan dan oksigen akan
mengarah ke sisi kiri persamaan dan oksigen akan dibebaskan dari Hb ketika Hbo2
terurai. Dengan demikian, karena adanya perbedaan PO2 di paru dan jaringan lain,
Hb secara otomatis mendapat O2 di paru, tempat pasokan O2 segar secara terus
menerus diberikan oleh ventilasi dan menumpahkan O2 jaringan yang secara terus
menerus menggunakan O2.
 Pengukuran volume paru
Fungsi paru, yg mencerminkan mekanisme ventilasi disebut volume paru dan kapasitas
paru. Volume paru dibagi menjadi :
o Volume tidal (TV) yaitu volume udara yang dihirup dan dihembuskan setiap
kali bernafas. Nilai rata- rata pada keadaan istirahat = 500 ml
o Volume cadangan inspirasi (IRV) , yaitu volume udara maksimal yg dapat
dihirup setelah inhalasi normal. Nilai rata- rata 3000 ml
o Volume Cadangan Ekspirasi (ERV), volume udara maksimal yang dapat
dihembuskan dengan kuat setelah exhalasi normal. Nilai rata- rata 1000 ml
o Volume residual (RV) volume udara yg tersisa dalam paru-paru setelah
ekhalasi maksimal. Nilai rata- rata 1200 ml.

 Kapasitas Paru
o Kapasitas vital (VC), volume udara maksimal dari poin inspirasi maksimal.
o Kapasitas inspirasi (IC) Volume udara maksimal yg dihirup setelah ekspirasi
normal.
o Kapasitas residual fungsiunal (FRC), volume udara yang tersisa dalam paru-
paru setelah ekspirasi normal.
o Kapasitas total paru (TLC) volume udara dalam paru setelah inspirasi
maksimal.

22
 Pengaturan pernafasan
Sistem kendali memiliki 2 mekanismne saraf yang terpisah yang mengatur
pernafasan. Satu system berperan mengatur pernafasan volunter dan system yang lain
berperan mengatur pernafasan otomatis.
1. Pengendalian Oleh saraf Pusat ritminitas di medula oblongata langsung
mengatur otot otot pernafasan. Aktivitas medulla dipengaruhi pusat
apneuistik dan pnemotaksis. Kesadaran bernafas dikontrol oleh korteks
serebri. Pusat Respirasi terdapat pada Medullary Rhythmicity Area yaitu
area inspirasi & ekspirasi, mengatur ritme dasar respirasi , Pneumotaxic
Area terletak di bagian atas pons dan berfungsi untuk membantu koordinasi
transisi antara inspirasi & ekspirasi, mengirim impuls inhibisi ke area
inspirasi paru-paru terlalu mengembang, dan Apneustic Area yang
berfungsi membantu koordinasi transisi antara inspoirasi dan ekspirasi dan
mengirim eksibisi ke area inspirasi.
2. Pengendalian secara kimia pernafasan dipengaruhi oleh : PaO2, pH, dan
PaCO2. Pusat khemoreseptor : medula, bersepon terhadap perubahan kimia
pada CSF akibat perubhana kimia dalam darah. Kemoreseptor perifer : pada
arkus aortik dan arteri karotis

3.1.5. Patofisiologi pneumonia

Sebagian besar pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau penyebaran langsung
kuman dari saluran respiratorius atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari
viremia atau bakterimia atau penyebaran infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal,
saluran respiratorik bawah mulai dari sub laring hingga unit terminal adalah steril. Paru
terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme termasuk barier anatomi dan mekanik,
juga sistem pertahanan tubuh lokal maupun sistemik. Barier anatomi dan mekanik adalah
filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis, ekspulsi benda asing
melalui refleks batuk, pembersihan ke arah kranial oleh lapisan mukosilier. Sistem pertahanan
tubuh yang terlibat baik sekresi lokal imunoglobulin A maupun respon inflamasi oleh sel- sel
leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, alveolar makrofag dan cell mediated
immunity.5
Pneumonia terjadi apabila satu atau lebih mekanisme diatas mengalami gangguan
sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran napas bagian bawah. Inokulasi patogen

23
penyebab pada saluran napas menimbulkan respon inflamasi akut pada penjamu yang
berbeda, sesuai dengan patogen penyebabnya 5
Virus akan menginvasi saluran napas kecil dan alveoli, umumnya bersifat pathchy dan
mengenai banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa kerusakan silia epitel
dengan akumulasi debris ke dalam lumen. Respon inflamasi awal adalah infiltrasi sel- sel
mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular. Sejumlah kecil sel- sel PMN akan
didapatkan daslam saluran napas kecil. Bila proses ini meluas, dengan adanya sejumlah
debris dan mukus serta sel- sel inflamasi yang meningkat dalam saluran napas kecil, maka
akan menyebabkan obstruksi baik parsial, maupun total. Respon inflamasi ini akan diperberat
dengan adanya edema submukosa yang mungkin bisa meluas ke dinding alveoli. Respon
inflamasi ini di dalam alveoli ini juga seperti yang terjadi pada ruang interstisial yang terdiri
dari sel- sel mononuklear. Proses infeksi yang berat mengakibatkan terjadinya denudasi
(pengelupasan) epitel dan akan terbentuk eksudat hemoragik. Infiltrat ke interstisial sangat
jarang menimbulkan fibrosis. Pneumonia viral pada anak merupakan predisposisi terjadinya
pneumonia bakterial oleh karena rusaknya barier mukosa.6,7
Pneumonia bakterial terjadi oleh karena inhalasi atau aspirasi patogen, kadang –
kadang terjadi melalui penyebaran hematogen. Terjadi tidaknya proses pneumonia tergantung
dari interaksi antara bakteri dan ketahanan sistem imunitas penjamu. Ketika bakteri dapat
mencapai alveoli maka beberapa mekanisme pertahanan tubuh akan dikerahkan. Saat terjadi
kontak antara bakteri dengan dinding alveoli maka akan ditangkap oleh lapisan cairan epitel
yang mengandung opsonin dan tergantung pada respon imunologis penjamu akan terbentuk
antibodi imunoglobulin G spesifik. Dari proses ini akan terjadi fagositosis oleh makrofag
alveolar (sel alveolar tipe II), sebagian kecil kuman akan dilisis melalui perantara
komplemen. Mekanisme seperti ini terutama penting pada infeksi oleh karena bakteri yang
tidak berkapsul seperti streptococcus pneumoniae.1,3
Ketika mekanisme ini tidak dapat merusak bakteri dalam alveolar, leukosit PMN
dengan aktifitas fagositosisnya akan direkrut dengan perantaraan sitokin sehingga akan terjadi
respon inflamasi. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kongesti vaskular dan edema yang
luas, dan hal ini merupakan karakteristik pneumonia oleh karena pneumokokus. Kuman akan
dilapisi oleh cairan edematus yang berasal dari alveolus ke alveolus melalui pori- pori Kohn
(the ores of Kohn). Area edematus ini akan membesar secara sentrifugal dan akan
membentuk area sentral yang terdiri dari eritrosit, eksudat purulen (fibrin, sel-sel lekosit
PMN), dan bakteri. Fase ini secara histopatologis dinamakan red hepatization (hepatisasi
merah) 1

24
Tahap selanjutnya, adalah hepatisasi kelabu yang ditandai dengan fagositosis aktif
oleh lekosit PMN. Pelepasan komponen dinding bakteri dan pneumolisin melalui degradasi
enzimatik akan meningkatkan respon inflamasi dan efek sitotik terhadap semua sel- sel paru.
Proses ini akan mengakibatkan kaburnya struktur sel paru.1
Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika antibodi antikapsular timbul dan lekosit
PMN meneruskan aktifitas fagositosisnya. Sel- sel monosit akan membersihkan debris.
Sepanjang struktur retikular paru masih intak (tidak terjadi keterlibatan instertitial), parenkim
paru akan kembali sempurna dan perbaikan epitel alveolar terjadi setelah terapi berhasil.
Pembentukan jaringan parut pada paru minimal. 5,8
Empat tahapan pada pneumonia :1,3
1. Kongesti (4-12 jam), ditandai dengan adanya eksudat serosa yang masuk ke dalam
alveoli melalui pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor. Disebut hyperemia
mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru
yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas
kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator- mediator
peradangan sel- sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator- mediator tersebut mencakup histamine dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan
histamine dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat
plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan
penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya), ditandai dengan tampakan paru yang merah
dan bergranula karena sel darah merah, fibrin, PMN, cairan edema, dan
mikroorganisme mengisi alveoli.
3. Hepatisasi kelabu (3-8 hari), yaitu ditandai dengan paru yang tampak kelabu karena
deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat leukosit PMN di alveoli dan terjadi
proses fagositosis yang cepat.
4. Resolusi (7-11 hari), ditandai dengan eksudat yang mengalami lisis, jumlah
makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis,
mikroorganisme penyebab dan debris menghilang.

25
Pada pneumonia terjadi gangguan pada komponen volume dari ventilasi akibat
kelainan langsung di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat gangguan volume
ini, tubuh akan berusaha mengkompensasinya dengan cara meningkatkan volume tidal dan
frekuensi nafas sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dispnea dengan tanda- tanda
inspiratory effort. Akibat penurunan ventilasi maka rasio optimal antara ventilasi perfusi tidak
tercapai (V/Q < 4/5) yang disebut ventilation perfusion mismatch, tubuh akan berusaha
meningkatkannya sehingga terjadi usaha nafas ekstra dan pasien terlihat sesak. Selain itu,
dengan berkurangnya volume paru secara fungsional karena proses inflamasi maka akan
mengganggu proses difusi dan menyebabkan gangguan pertukaran gas yang berakibat
terjadinya hipoksia. Pada keadaan yang berat bisa terjadi gagal nafas.9
Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit
hingga stadium khas yang diuraikan di atas tidak terjadi. Beberapa bakteri tertentu sering
menimbulkan gambaran patologis tertentu bila dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi
Streptokokus pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata
di seluruh lapangan paru (bronkopneumonia), dan pada anak besar atau remaja dapat berupa
konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumatokel atau abses-abses kecil sering
disebabkan oleh Stafilokokus aureus pada neonatus atau bayi kecil karena Stafilokokus
aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti hemolisin, lekosidin, stafilokinase
dan koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan nekrosis, perdarahan dan kavitasi.
Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan menghasilkan bahan aktif yang
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin hingga terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat
korelasi antara produksi koagulase dan virulensi kuman. Stafilokokus yang tidak
menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang serius. Pneumatokel dapat
menetap sampai berbulan-bulan tetapi biasanya tidak memerlukan terapi lebih lanjut.1

3.1.6. Gejala Klinis

Sebagian besar gambaran klinik pneumonia pada anak berkisar antara ringan sampai
sedang hingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil berupa penyakit berat dan
mengancam kehidupan serta mungkin berkomplikasi dengan penyakit lain hingga
memerlukan perawatan di rumah sakit.1
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinik pneumonia pada anak adalah
imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinik yang
kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik

26
invasif, etiologi non-infeksi yang relatif lebih sering dan faktor patogenesis. Disamping itu
kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit
berbeda-beda; hingga perlu dipertimbangkan dalam penatalaksanaan pneumonia.1
Tergantung berat ringannya penyakit secara umum gambaran klinik penumonia pada
bayi dan anak adalah sebagai berikut:1
 Gejala infeksi umum seperti demam, sakit kepala, gelisah, malaise, nafsu makan
berkurang, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-
kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
 Gejala gangguan respiratorik seperti batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnu,
napas cuping hidung, air hunger, merintih dan sianosis.

Pada pemeriksaan fisik anak dengan pneumonia dapat ditemukan tanda klinik seperti
pekak perkusi, suara napas melemah dan ronki. Namun pada neonatus dan bayi kecil gejala
dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat; pada perkusi dan
auskultasi umumnya tidak ditemukan kelainan.1

 Pneumonia pada Balita dan anak yang lebih besar

Spektrum etiologi pada anak meliputi Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza


tipe B, Staphylococcus aureus. Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, disamping
berbagai virus respiratori. Pada anak yang lebih besar dan remaja, Mycoplasma pneumoniae
merupakan etiologi pneumonia atipik yang cukup signifikan.1,3
Keluhan meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadang-kadang
keluhan gastrointestinal seperti muntah dan diare. Secara klinis ditemukan gejala respiratori
seperti takipnea, retraksi subkosta (chest indrawing), nafas cuping hidung, ronki, dan sianosis.
Penyakit ini sering ditemukan bersamaan dengan konjungtivitis, otitis media, faringitis dan
laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan
lutut tertekuk karena nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat alveoler. Retraksi
dan takipnea merupakan tanda klinis pneumonia yang bermakna. Bila terjadi efusi pleura atau
empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di daerah efusi. Gerakan dada juga akan terganggu
bila terdapat nyeri dada akibat iritasi pleura. Bila efusi bertambah, sesak nafas akan semakin
bertambah, tetapi nyeri plerua semakin berkurang dan berubah menjadi nyeri tumpul.1,3
Kadang-kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan bawah yang
menimbulkan iritas diafragma. Nyeri abdomen dapat menyebar ke kuadran kanan bawah dan
menyerupai apedisitis. Abdomen mengalami distensi akibat dilatasi lambung yang

27
disebabkan aerofagi atau ileus paralitik. Hati mungkin teraba karena tertekan oleh diafragma,
atau memang membesar karena terjadi gagal jantung kongestif sebagai komplikasi
pneumonia.1,3

 Pneumonia atipik

Istilah pneumonia atipik pertama kali digunakan untuk membedakan dengan gambaran
pneumonia yang lazim dikenal. Mikroorganisme penyebabnya adalah Mycoplasma
pneumonia, Clamydia spp, Legionella pneumofilia, dan Ureplasma urealyticum. Clamydia
trachomatis sering ditemukan sebagai penyebab infeksi akut respiratori pada bayi melalui
transmisi vertical dari ibu pada masa persalinan dan merupakan etiologi infeksi perinatal yang
penting. Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia pneumonia merupakan penyebab potensial
infeksi respiratori akut pada anak, terutama pada anak sekolah. Sedangkan Legionella
pneumophila dan Ureaplasma urealiticum jarang dilaporkan menyebabkan infeksi pada
anak.1

 Infeksi oleh Mycoplasma Pneumoniae

Infeksi diperoleh melalui droplet dari kontak dekat, terutama terjadi di asrama atau
keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang besar. Masa inkubasi lebih kurang 3 minggu.
Penularan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam waktu berbulan- bulan. Meskipun
umumnya gejalanya ringan, tetapi kasus berat yang fatal dan mengancam jiwa dapat terjadi.
Gambaran klinis pneumonia atipik didahului dengan gejala menyerupai influenza seperti
demam, malaise, sakit kepala, mialgia, tenggorakan gatal, dan batuk. Suhu tubuh jarang
mencapai lebih dari 38,50C. kadang- kadang dapat juga berlanjut menjadi bronchitis,
bronkiolitis, dan pneumonia. Batuk terjadi 3 – 5 hari setelah awitran penyakit, awalnya tidak
produktif tetapi kemudian menjadi produktif. Sputum mungkin berbecak darah dan batuk
dapat menetap hingga berminggu- minggu. Hasil auskultasi bervariasi. Mengi ditemukan
pada 30 – 40 % kasus pneumonia mikoplasma dan lebih sering ditemukan pada anak yang
lebih besar. Oleh karena itu, diagnosis klinis pneumonia micoplasma tanpa pemeriksaan
radiologis dapat dikacaukan dengan asma. Sering terjadi underdiagnosis pada infeksi
Mycoplasma pneumonia. Hal ini dikarenakan uji mikrobiologis tidak dapat dipakai sebagai
alat diagnostic, oleh karena itu tidak dikerjakan secara rutin. Kultur memerlukan waktu 2
minggu dan uji serologis hanya bermanfaat bila terjadi pembentukan antibody, yaitu ketika
penyakit sangat berkembang. Gambaran foto rontgen toraks pneumonia mikoplasma

28
bervariasi, meliputi gambaran infiltrate interstisial, retikuler, retikulonoduler, bercak
konsolidasi, pembesaran kelenjar hilus, dan kadang- kadang disertai efusi pleura.1

 Infeksi oleh Chlamydia pneumonia

Chlamydia pneumonia merupakan penyebab IRA atas seperti faringitis, rinosinusitis, dan
otitis. Akan tetapi, dapat juga menyebabkan bronchitis dan pneumonia. Gejala klinis awalnya
berupa gejala seperti flu, yaitu batuk kering, mialgia, sakit kepala, malaise, pilek, dan demam
yang tidak tinggi. Pada pemeriksaan auskultasi dada tidak ditemukan kelainan. Gejala
respiratori umumnya tidak mencolok. Leukosit darah tepi biasanya normal. Gambaran foto
rontgen toraks menunjukkan infiltrate difus atau gambaran peribronkial nonfokal yang jauh
lebih berat daripada gejala klinis.1
Pneumonia klamidia dapat ditemukan di seluruh dunia, tetapi lebih sering di daerah
tropis, bersifat endemis, dan epidemic dapat terjadi dengan interval 3 – 4 tahun. Umumnya
perjalanan penyakit dan gejala klinis pneumonia klamidia sulit dibedakan dengan pneumonia
mikoplasma.1

3.1.7. Diagnosis

Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologik dan/atau serologik


sebagai dasar terapi yang optimal. Namun penemuan bakteri penyebab tidak selalu mudah
oleh karena memerlukan laboratorium penunjang yang memadai. Oleh karena itu pneumonia
pada anak umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan keterlibatan
sistem pernapasan dan gambaran radiologis. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah
demam, sianosis dan lebih dari satu gejala respiratorik sebagai berikut: takipnu, batuk, napas
cuping hidung, retraksi, ronki dan suara napas melemah.1
Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
 Pneumonia berat
- Bila ada sesak napas
- Harus dirawat dan diberikan antibiotic
 Pneumonia
- Bila tidak ada sesak napas
- Ada napas cepat dengan laju napas
 > 50 kali/ menit untuk anak usia 2 bulan 2 bulan – 1 tahun
 > 40 kali/ menit untuk anak > 1 – 5 tahun
- tidak perlu dirawat, diberikan antibiotic oral

29
 Bukan pneumonia
- bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
- tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotic, hanya diberikan pengobatan
simptomatis seperti penurun panas
Bayi berusia di bawah 2 bulan
Pada bayi berusia dibawah 2 bulan, perjalanan penyakitnya lebih bervariasi,
mudah terjadi komplikasi, dan sering menyebabkan kematian.
Klasifikasi pneumonia pada kelompok usia ini adalah sebagai berikut :
 pneumonia
- bila ada napas cepat (>60 kali/menit) atau sesak napas
- harus dirawat dan diberikan antibiotic
 bukan pneumonia
- tidak ada napas cepat atau sesak napas
- tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatik

3.1.8. Pemeriksaan Penunjang

 Darah perifer lengkap

Pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya ditemukan
leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Namun pada pneumonia bakteri
didapatkan leukositosis, berkisar antara 15 000 - 40 000l/mm3 dengan predominan
polimorfonuklir. Bila terdapat leukopenia (< 5 000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk.
Leukositosis hebat (> 30 000/mm3) hampir selalu menunjukkan infeksi bakteri, sering
ditemukan pada keadaan bakteremia dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada
infeksi dengan Klamidia pneumoniae kadang – kadang ditemukan eosinofilia. Efusi pleura
merupakan cairan eksudat dengan sel polimofonuklir berkisar 300 – 100.000/mm3, protein >
2,5 g/dl dan glukose relatif rendah dari glukose darah. Kadang-kadang terdapat anemia ringan
dan Laju Endap Darah (LED) meningkat.1,3,5
Walaupun terdapat kecenderungan namun secara umum pemeriksaan darah perifer
lengkap dan LED tidak dapat membedakan infeksi virus dengan infeksi bakteri secara
pasti.1,5

C-reactive protein (CRP)


30
CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respons
infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat di stimulasi oleh sitokin, terutama
interleukin (IL)-6, IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Meskipun fungsi pastinya in vivo
belum diketahui, CRP sangat mungkin mempunyai peranan dalam opsonisasi
mikroorganisme atau sel yang rusak. Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik
untuk membedakan faktor infeksi dan non-infeksi; antara infeksi virus dan infeksi bakteri
atau infeksi bakteri superfisialis dan infeksi bakteri profunda. Kadar CRP biasanya lebih
rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis dibandingkan dengan infeksi bakteri
profunda. CRP kadang-kadang juga digunakan untuk mengevaluasi respons terapi antibiotik.
Suatu penelitian melaporkan bahwa CRP cukup sensitif tidak hanya untuk diagnosis empiema
torasis tetapi juga untuk memantau respons pengobatan. Dari 38 kasus empiema yang
diselidiki ternyata sebelum pengobatan semua kasus mempunyai CRP yang tinggi. Dengan
pengobatan antibiotik kadar CRP turun secara meyakinkan pada hari pertama pengobatan.
Hanya 4 pasien yang CRP nya tidak kembali normal pada waktu pulang dari rumah sakit.1,3
Meskipun pemeriksaan CRP dapat memberikan kecenderungan namun secara umum
CRP belum terbukti secara konklusif dapat membedakan infeksi virus dan bakteri.1,3

 Uji serologik

Uji serologik untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri atipik
mempunyai sensitivitas dan spesivisitas yang rendah. Namun untuk diagnosis infeksi
Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti
Antistreptolisin O, streptozim atau anti Dnase B; walaupun peningkatan titer dapat juga
berarti adanya infeksi terdahulu. Perlu diingat untuk konfirmasi diperlukan serum fase akut
dan serum fase konvalesen (paired sera).1,3
Secara umum uji serologik tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi
bakteri tipik. Tetapi untuk deteksi infeksi bakteri atipik seperti Mikoplasma, Klamidia
demikian juga untuk deteksi beberapa virus seperti RSV, Sitomegalo, campak, Parainfluenza
1,2,3, Influenza A dan B dan Adeno, peningkatan antibodi IGM dan IgG dapat
mengkonfirmasi diagnosis.1,3

 Pemeriksaan mikrobiologik

31
Umumnya pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin di
lakukan kecuali pada pneumonia berat yang di rawat di rumah sakit. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan
bronkus, darah, pungsi pleura dan aspirasi paru. Diagnosis baru definitif bila kuman
ditemukan dari darah, cairan pleura atau aspirasi paru. Namun setelah masa neonatus,
kejadian bakteremia sangat rendah hingga kultur darah jarang yang positif. Pada pneumonia
anak dilaporkan hanya 10-30% ditemukan bakteri pada kultur darah. Pada anak besar dan
remaja spesimen untuk pemeriksaan mikrobiologik dapat berasal dari sputum baik untuk
pewarnaan Gram maupun untuk kultur. Spesimen yang memenuhi syarat adalah sputum yang
mengandung lebih dari 25 leukosit dan kurang dari 40 sel epitel/lapangan pada pemeriksaan
mikroskopis dengan pembesaran kecil. Disamping itu spesimen nasofaring untuk kultur
maupun untuk deteksi antigen bakteri kurang bermanfaat, karena tingginya prevalensi
kolonisasi bakteri di nasofaring.1,3
Pada infeksi mikoplasma dan klamidia kultur darah jarang yang positif oleh karena
itu tidak rutin dianjurkan. Pemeriksaan PCR memerlukan laboratorium yang canggih dan
disamping tidak selalu tersedia, hasil PCR positif pun tidak selalu menunjukkan diagnosis
pasti.1
 Foto toraks

Kelainan foto toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran
klinis. Kadang-kadang pada gambaran radiologis bercak - bercak sudah ditemukan sebelum
timbul gejala klinik. Namun resolusi infiltrat sering memerlukan waktu lebih lama setelah
gejala klinik menghilang. Pada pneumonia ringan foto toraks tidak rutin dilakukan; foto
toraks hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat.1,3
Pada pasien dengan pneumonia tidak terkomplikasi ulangan foto toraks tidak
diperlukan.Ulangan foto toraks atau CT scan diperlukan bila gejala klinik menetap, penyakit
memburuk atau untuk tindak lanjut. Umumnya untuk penunjang diagnosis pneumonia di
Instalasi Gawat Darurat hanya diperlukan foto toraks posisi AP saja. Lynch dkk, meneliti
bahwa tambahan posisi lateral pada foto toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas penegakan diagnosis pneumonia pada anak. Foto toraks AP dan lateral hanya
dibuat pada pasien yang menunjukkan tanda dan gejala klinik distres pernapasan seperti
takipnu, batuk, ronki dengan atau tanpa suara napas melemah.1,3

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari :

32
 infiltrat intersisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskuler,
peribronchial cuffing dan hiperaerasi
 infiltrat alveoler, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi
dapat mengenai satu lobus disebut pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi
tunggal, biasanya cukup besar, berbentuk sferis, dengan batas yang tidak terlalu tegas,
menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.
 Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada ke dua paru, berupa
bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas sampai ke daerah perifer paru, disertai
peningkatan corakan peribronkial.

Gambaran foto toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat ringan pada satu sisi
sampai perpadatan luas kedua sisi paru. Pada suatu penelitian ditemukan lesi pneumonia pada
anak terbanyak terdapat di paru kanan, terutama di lobus atas. Bila ditemukan di paru kiri,
terbanyak di lobus bawah, merupakan prediktor perjalanan penyakit lebih berat dan risiko
terjadinya pleuritis lebih meningkat. Beberapa faktor teknik radiologik dan faktor non-infeksi
dapat menyerupai gambaran seperti pneumonia pada foto toraks sebagai berikut:1,3
1. Faktor teknik radiologik:
 intensitas sinar rendah (underpenetration)
 grid pada film tidak merata
 kurang inspirasi
2. Faktor non-infeksi:
 bayangan timus
 bayangan payudara
 gambaran atelektasis
Gambaran atelektasis sukar dibedakan dengan gambaran pneumonia pada foto toraks.
Atelektasis disebabkan oleh berbagai penyebab seperti kompresi ekstrinsik pada bronkus
(malformasi kongenital, limfadenopati, tumor, penyakit kardiovaskuler, web atau ring) dan
obstruksi bronkial intrinsik (benda asing, udem, inflamasi, bronkomalasia atau stenosis,
tumor dan sumbatan mukus). Di samping itu penyakit paru non-infeksi dapat juga
menyebabkan atelektasis misalnya penyakit membran hialin atau udem paru. Gambaran foto
toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan
peribronkial, infiltrat intersisial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia
virus. Infiltrat alveoler berupa konsolidasi segmen atau lober, bronkopneumonia, air

33
bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia stafilokokus sering
ditemukan abses-abses kecil dan pneumatokel dengan berbagai ukuran.1,3
Gambaran foto toraks pada pneumonia mikoplasma sangat bervariasi. Pada beberapa
kasus kelihatan sangat mirip dengan gambaran foto toraks pneumonia virus. Dapat juga
ditemukan gambaran bronkopneumonia terutama di lobus bawah, infiltrat intersisial
retikulonoduler bilateral dan yang jarang ialah konsolidasi segmen atau sub segmen.
Biasanya lesi foto toraks lebih berat daripada gambaran kliniknya. Walaupun tidak terdapat
gambaran foto toraks yang khas namun bila terdapat perpadatan retikulonoduler fokal pada
satu lobus, cenderung disebabkan oleh infeksi mikoplasma. Demikian juga bila terlihat
gambaran perkabutan atau ground-glass consolidation, transient pseudoconsolidation karena
infiltrat intersisial yang konflueren, patut dipertimbangkan adanya infeksi mikoplasma.
Gambaran radiologik pneumonia klamidia sukar dibedakan dengan pneumonia
mikoplasma.1,3
Walaupun terdapat beberapa pola yang memberikan kecenderungan, namun secara
umum gambaran foto toraks tidak dapat secara pasti membedakan pneumonia virus, bakteri,
mikoplasma atau campuran

3.1.9. Tatalaksana

1. Pneumonia ringan 2
a. Pasien dirawat jalan
b. Diberikan antibiotik: Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3
hari atau amoksisilin (25mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien
pneumonia dengan HIV diberikan selama 5 hari.
c. Anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk membawa kembali
anaknya setelah 2 hari, atau lebih cepat kalau keadaan anak memburuk atau tidak bisa
minum atau menyusu.
d. Ketika anak kembali jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang,
nafsu makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari.

2. Pneuomonia Berat 2
a. Anak dirawat di rumah sakit
b. Terapi antibiotik :
 Beri ampisilin atau amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam),
yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi

34
respon baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan dirumah
atau dirumah sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/kgBB/kali tiga kali sehari)
untuk 5 hari berikutnya.
 Bila keadaan memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat (tidak
dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis
atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kg BB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
 Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan
pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
 Sebagai alternatif diberikan, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali
sehari).
 Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan buat foto dada.
 Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin (7,5
mg/kgBB IM sekali sehari) dan klosasilin (50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam)
atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari 3 kali pemberian). Bila keadaan anak membaik,
lanjutkan kloksasilin (atau diklosasilin) secara oral 4 kali sehari sampai secara
keseluruhan mencapai 3 minggu, lalu klindamisin oral selama 2 minggu.
c. Terapi oksigen. 2
 Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat.
 Bila tersedia pulse oximetri, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen
(berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%). Lakukan periode tanpa
oksigen setiap harinya pada anak yang stabil, hentikan pemberian bila saturasi tetap
>90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna lagi.
 Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.
 Pengggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk menghantarkan oksigen
pada bayi muda. Masker wajah atau masker kepala tidak direkomendasikan.
Oksigen harus tersedia secara terus-menerus setiap waktu.
 Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan dinding dada
bagian bawa ke dalam yang berat atau napas >70/menit) tidak ditemukan lagi.
 Sebaiknya memeriksa setiap 3 jam bahwa kateter atau prongs tidak tersumbat oleh
mukus dan berada ditempat yang benar serta memastikan semua sambungan baik.
d. Perawatan penunjang. 2
 Bila anak disertai demam (≥ 39° C) beri parasetamol.

35
 Bila ditemukan adanya wheezing, beri bronkodilator kerja cepat
 Bila terdapat sekret kental ditenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh anak,
hilangkan dengan alat penghisap secara perlahan.
 Pastikan anak mendapatkan kebutuhan cairan rumatan sesuai umur anak, tetapi
hati-hati terhadap kelebihan cairan.
 Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral.
 Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan rumatan
dalam jumlah sedikit tetapi sering, jika asupan cairan oral mencukupi, jangan
menggunakan pipa nasogastrik untuk meningkatkan asupan, karena akan
meningkatkan resiko pneumonia aspirasi.
 Bujuk anak untuk makan, segera setelah anak bisa menelan makanan. Beri
makanan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak dalam menerimanya.
e. Pemantauan
 Anak diperiksa perawat paling sedikit setiap 4 jam dan oleh dokter paling sedikit 1
kali sehari.
 Jika tidak ada komplikasi maka dalam 2 hari akan tampak perbaikan klinis
(bernapas tidak cepat, tidak adanya tarikan dinding dada, bebas demam, anak dapat
makan dan minum)
f. Kriteria pulang menurut IDAI 2:
 Gejala dan tanda pneumonia menghilang
 Asupan per oral adekuat
 Pemberian antibiotik dapat dilanjutkan dirumah (peroral)
 Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol
 Kondisi rumah memadai perawatan lanjutan dirumah

3.1.10. Komplikasi 3

Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sering menyebabkan pembentukan cairan


inflamasi yang terkumpul di dalam rongga pleura yang berdekatan, menyebabkan efusi
parapneumonia atau jika terlalu purulen akan menyebabkan empiema. Diseksi udara di dalam
jaringan paru-paru dapat menyebabkan pneumatokel atau kantong udara. Pembentukan
jaringan parut pada saluran napas dan jaringan paru dapat menyebabkan pelebaran bronkus,
sehingga menyebabkan bronkiektasis dan peningkatan risiko infeksi.

36
Pneumonia yang menyebabkan nekrosis jaringan paru dapat berkembang menjadi abses
paru. Bagian paru yang paling sering terkena adalah segmen posterior lobus atas dan segmen
superior lobus bawah. Abses paru sering disebabkan oleh bakteri anaerob, kelompok
Streptokokus, E. coli, Klebsiella pneumoniae, P. aeruginosa , dan S. Aureus.

3.2. DIARE

3.2.1. Definisi

Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi lebih
dari biasnya (>3x perhari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), dengan atau
tanpa darah dan atau lendir.10
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai
perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung
kurang dari satu minggu. Untuk bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare yang
praktis adalah meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistesinya menjadi cair yang
menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang-kadang pada seorang anak
buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistesinya cair, keadaaan ini sudah dapat
disebut diare.11

3.2.2. Cara penularan dan faktor resiko

Cara penularan diare pada umumnya melalui fekal oral yaitu melalui makanan atau
minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung tangan dengan penderita
atau barang-barang yang telah tercemar tinja penderita atau tidak langsung melalui lalat. (4F=
field, flies, fingers, fluid).10
Banyak faktor yang menimbulkan penyakit diare antara lain faktor lingkungan, faktor
balita, faktor ibu, dan faktor sosiodemografis. Faktor lingkungan meliputi sarana air bersih
(SAB), jamban, saluran pembuangan air limbah (SPAL), keadaan rumah, tempat pembuangan
sampah, kualitas bakteriologis air bersih dan kepadatan hunian. faktor risiko penyebab diare
menurut faktor ibu meliputi aspek pengetahuan, perilaku dan higienitas ibu. Pada aspek
perilaku ibu menunjukkan bahwa perilaku hidup bersih yang dilakukan ibu mempunyai
hubungan yang bermakna dalam mencegah terjadinya penyakit diare pada bayi dan balita.
Salah satu perilaku hidup bersih yang umum dilakukan ibu adalah mencuci tangan sebelum
memberikan makan pada anaknya. Pada aspek pengetahuan ibu, rendahnya pengetahuan ibu
mengenai hidup sehat merupakan faktor risiko yang menyebabkan penyakit diare pada bayi

37
dan balita. Faktor risiko penyebab diare menurut faktor anak meliputi rendahnya status gizi
pada bayi dan balita, pemberian ASI eksklusif, serta imunisasi.12

3.2.3. Etiologi

Pada saat ini, dengan kemajuan dibidang teknik laboratorium telah dapat diidentifikasi
tidak kurang dari 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada anak dan
bayi. Penyebab infeksi timbulnya diare umumnya adalah golongan virus, bakteri dan parasit.
Dua tipe dasar dari diare akut oleh karena infeksi adalah non-inflamatory dan inflammatory.10
Enteropatogen menimbulkan non-inflamatory diare melalui produksi enterotoksin
oleh bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus, perlekatan oleh parasit, perlekatan dan
atau translokasi dari bakteri. Sebaliknya inflammatory diare biasanya disebabkan oleh bakteri
yang menginvasi usus secara langsung atau memproduksi sitotoksin.10,12
Di samping itu penyebab diare nonifeksi yang dapat menimbulkan diare pada anak
antara lain:10
Kesulitan makanan Neoplasma
 Neuroblastoma
 Phaeochromocytoma
 Sindroma Zollinger Ellison
Defek anatomis Lain-lain:
 Malrotasi  Infeksi non gastrointestinal
 Penyakit Hirchsprung  Alergi susu sapi
 Short Bowel Syndrome  Penyakit Crohn
 Atrofi mikrovilli  Defisiensi imun
 Striktur  Colitis ulserosa
 Ganguan motilitas usus
 Pellagra

Malabsorbsi Keracunan makanan


 Defesiensi disakaridase  logam berat
 Malabsorbsi glukosa dan galaktosa  Mushrooms
 Cystic fibrosis
 Cholestosis
 Penyakit celiac
Endokrinopati
 Thyrotoksikosis
 Penyakit Addison
 Sindroma Androgenital

38
3.2.4. Patofisiologi diare

Ada 2 prinsip mekanisme terjadinya diare cair, yaitu sekretorik dan osmotik.
Meskipun dapat melalui kedua mekanisme tersebut, diare sekretorik lebih sering ditemukan
pada infeksi saluran cerna. Begitu pula kedua mekanisme tersebut dapat terjadi bersamaan
pada satu anak.10,11
1. Diare osmotik
Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilalui oleh air dan elektrolit
dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara lumen usus dengan cairan
ekstrasel. Adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus
bagian proksimal tersebut bersifat hipertoni dan menyebabkan hiperosmolaritas. Akibat
perbedaan tekanan osmose antara lumen usus dan darah maka pada segmen usus jejunum
yang bersifat permeabel, air akan mengalir ke arah jejunum, sehingga akan banyak terkumpul
air dalam lumen usus. Na akan mengikuti masuk ke dalam lumen, dengan demikian akan
terkumpul cairan intraluminal yang besar dengan kadar Na normal. Sebagian kecil cairan ini
akan dibawa kembali, akan tetapi lainya akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan
yang tidak dapat diserap seperti Mg, glukosa, sukrose, laktose, maltose di segmen ileum dan
melebihi kemampuan absorbsi kolon, sehingga terjadi diare. Bahan-bahan seperti karbohidrat
dan jus buah, atau bahan yang mengandung sorbitol dalam jumlah berlebihan akan
memberikan dampak yang sama.12
2. Diare Sekretorik
Diare sekterik disebabkan oleh sekresi air dan elektrolit ke dalam usus halus yang
terjadi akibat gangguan absorbsi natrium oleh vilus saluran cerna, sedangkan sekresi klorida
tetap berlangsung atau meningkat. Keadaan ini menyebabkan air dan elektrolit keluar dari
tubuh sebagai tinja cair. Diare sekretorik ditemukan diare yang disebabkan oleh infeksi
bakteri akbat rangsangan pada mukosa usus halus oleh toksin E.coli atau V. cholera.13

3.2.5. Manifestasi klinis

Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala lainya bila
terjadi komplikasi ekstraintestinal termasuk manifestasi neurologik. Gejala gastrointestinal
bisa berupa diare, kram perut, dan muntah. Sedangkan manifestasi sistemik bervariasi
tergantung pada penyebabnya.12
Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion
natrium, klorida dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada muntah

39
dan kehilangan air juga akan meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan dehidrasi,
asidosis metabolik, dan hipokalemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang paling berbahaya
karena dapat menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskular dan kematian bila tidak
diobati dengan tepat. Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi
isotonik, dehidrasi hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut derajat
dehidrasinya bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan sedang, dehidrasi berat. Infeksi
ekstraintestinal yang berkaitan dengan bakteri enterik patogen antara lain : vulvovaginitis,
infeksi saluran kemih, endokarditis, osteomielitis, meningitis, pneumonia, hepatitis,
peritonitis dan septik tromboplebitis. Gejala neurologik dari infeksi usus bisa berupa
parestesia (akibat makan ikan, kerang, monosodium glutamate), hipotoni dan kelemahan
otot.12
Bila terdapat panas dimungkinkan karena proses peradangan atau akibat dehidrasi.
Panas badan umum terjadi pada penderita dengan inflammatory diare. Nyeri perut yang lebih
hebat dan tenesmus terjadi pada perut bagian bawah serta rektum yang menunjukan
terkenanya usus besar. Mual dan muntah adalah gejala yang nonspesifik akan tetapi muntah
mungkin disebabkan oleh karena mikroorganisme yang menginfeksi saluran cerna bagian atas
seperti: enteric virus, bakteri yang memproduksi enteroroksin, giardia, dan cryptosporidium.12

3.2.6. Diagnosis

Ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.


Tabel 2. Penetuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995
Penilaian A B C
Lihat:
Keadaan umum Baik,sadar *Gelisah,rewel *lesu,lunglai/tidak
Mata Normal Cekung sadar
Air mata Ada Tidak ada Sangat cekung
Mulut dan lidah Basah Kering Kering
Rasa haus Minum biasa,tidak *haus ingin minum Sangat kering
haus banyak *malas minum atau
tidak bias minum
Periksa: turgor Kembali cepat *kembali lambat *kembali sangat
kulit lambat

40
Hasil pemeriksaan Tanpa dehidrasi Dehidrasi Dehidrasi berat
ringan/sedang Bila ada 1 tanda*
Bila ada 1 tanda* ditamb1ah 1 atau
ditambah 1 atau lebih tanda lain
lebih tanda lain
Terapi Rencana terapi A Rencana terapi B Rencana terapi C

3.2.7. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak


diperlukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab
dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada
penderita dengan dehidrasi berat. Contoh: pemeriksaan darah lengkap, kultur urine
dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran kemih. Pemeriksaan laboratorium yang
kadang-kadang diperlukan pada diare akut:11,12
 darah : darah lengkap, serum eleketrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan
tes kepekaan terhadap antibiotika
 urine: urine lengkap, kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotika
 tinja:

a. Pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan makroskopik mencakup warna tinja, konsistesi tinja, bau tinja,
adanya lendir, adanya darah, adanya busa. Warna tinja tidak terlalu banyak
berkolerasi dengan penyebab diare. Warna hijau tua berhubungan dengan adanya
warna empedu akibat garam empedu yang dikonjugasi oleh bakteri anaerob pada
keadaan bacterial overgrowth. Warna merah akibat adanya darah dalam tinja atau
obat yang dapat menyebabkan warna merah dalam tinja seperti rifampisin.
Konsistensi tinja dapat cair, lembek, padat. Tinja yag berbusa menunjukan adanya gas
dalam tinja akibat fermentasi bakteri. Tinja yang berminyak, lengket, dan berkilat
menunjukan adanya lemak dalam tinja. Lendir dalam tinja menggambarkan kelainan
di kolon, khususnya akibat infeksi bakteri. Tinja yang sangat berbau menggambarkan
adanya fermentasi oleh bakteri anaerob dikolon. Pemeriksaan pH tinja menggunakan
kertas lakmus dapat dilakukan untuk menentukan adanya asam dalam tinja. Asam

41
dalam tinja tersebut adalah asam lemak rantai pendek yang dihasilkan karena
fermentasi laktosa yang tidak diserap di usus halus sehingga masuk ke usus besar
yang banyak mengandung bakteri komensal. Bila pH tinja<6 dapat dianggap sebagai
malabsorbsi laktosa.12
b. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan untuk mencari adanya leukosit dapat memberikan informasi
tentang penyebab diare, letak anatomis serta proses peradangan mukosa. Leukosit
dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang menyerang mukosa
kolon. Leukosit yang positif menunjukkan adanya kuman invasi atau kuman yang
memproduksi enterotoksin seperti shigella, salmonella, C. difficile,Y. enterocolitica,
V. Parahaemolyticus, kemungkinan aeromonas atau P. Shigelloides. Leukosit yang
ditemukan pada umumnya adalah PMN, kecuali pada S. thypii ditemukan MN. Tidak
semua penderita kolitis terdapat leukosit pada tinjanya, pasien yang terinfeksi dengan
E. hystolitica pada umumnya leukosit pada tinja minimal. Parasit yang menyebabkan
diare pada umumnya tidak memproduksi leukosit dalam jumlah banyak. Normalnya
tidak diperlukan pemeriksaan untuk mencari telur atau parasit kecuali terdapat riwayat
baru saja bepergian ke daerah resiko tinggi, kultur tinja negatif untuk enteropatogen,
diare lebih dari 1 minggu atau pada pasien immunocompromised. Pasien yang
dicurigai menderita diare yang disebabkan giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis,
dan strongylodiasis di mana pemeriksaan tinja negatif, aspirasi atau biopsi duodenum
atau yeyunum bagian atas mungkin diperlukan. Karena organisme ini hidup di saluran
cerna bagian atas, prosedur ini lebih tepat daripada pemeriksaan tinja. Biopsi
duodenum adalah metoda yang spesifik dan sensitif untuk diagnosis giardiasis,
strongylodiasis dan protozoa yang membentuk spora. E. hystolitica dapat didiagnosis
dengan cara pemeriksaan mikroskopik tinja segar. Trophozoit biasanya ditemukan
pada tinja cair sedangkan kista ditemukan pada tinja yang berbentuk. Tehnik
konsentrasi dapat membantu untuk menemukan kista amuba. Pemeriksaan serial
mungkin diperlukan oleh karena ekskresi kista sering terjadi intermitten. Sejumlah tes
serologis amubiasis untuk mendeteksi tipe dan konsentrasi antibodi juga tersedia. Tes
serologis untuk amuba hampir selalu positif pada disentri amuba akut dan amubiasis
hati.12

42
3.2.8. Tatalaksana

Terdapat lima pilar penting dalam tatalaksana diare yaitu rehidrasi, zink, nutrisi,
antibiotik selektif, dan edukasi pada orang tua.11,12
Terapi Cairan dan Pemberian Makanan ada GEA tanpa Penyulit12
Dehidrasi Rehidrasi Cairan Pencegahan Makan
Waktu Dehidrasi Minum
Tanpa - - 10-20 ASI
dehidrasi cc/kgBB / diteruskan.
tiap BAB, Susu formula
Oralit diteruskan
dengan
mengurangi
makanan
berserat,
ekstra 1 porsi
Ringan- 4 jam 75 cc (½ 10-20 Dapat
sedang gelas) cc/kgBB / ditangguhkan
oralit/kgBB tiap BAB, sampai anak
atau ad Oralit menjadi segar
libitum
sampai tanda-
tanda
dehidrasi
hilang
Berat 4 jam IVFD RL 10-20 Dapat
30cc/kg BB cc/kgBB / ditangguhkan
7½ tiap BAB, sampai anak
tetes/kgBB/m Oralit menjadi segar
enit,
Oralit ad
libitum segera
setelah anak
bisa minum

43
Monitoring dilakukan tiap 1 jam
Setelah Sesuai terapi penderita tanpa dehidrasi
rehidrasi

 Zinc diberikan selama 10 hari berturur-turut12


Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu
makan anak. Penggunaan zinc ini memang popular beberapa tahun terakhir karena
memilik evidence based yang bagus. Beberapa penelitian telah membuktikannya.
Pemberian zinc yang dilakukan di awal masa diare selam 10 hari ke depan secara
signifikan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien. Lebih lanjut, ditemukan bahwa
pemberian zinc pada pasien anak penderita kolera dapat menurunkan durasi dan jumlah
tinja/cairan yang dikeluarkan.
Dosis zinc untuk anak-anak :
Anak di bawah umur 6 bulan : 10mg (½ tablet) per hari
Anak di atas umur 6 bulan : 20 mg (1 tablet) per hari
 ASI dan makanan11,12
Makanan dan ASI dapat diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada
waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti nutrisi yang
hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya perbaikan nafsu
makan menandakan fase kesembuhan
 Antibiotik selektif 11,12
Antibiotik tidak diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah atau kolera.
Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan memperpanjang lamanya diare
karena akan mengganggu keseimbangan flora usus dan Clostridium difficile yang
akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu, pemberian
antibiotik yang tidak rasional akan mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik,
serta menambah biaya pengobatan yang tidak perlu. Pada beberapa penelitian
ditemukan bahwa telah terjadi peningkatan resistensi terhadap antibiotik yang sering
dipakai seperti ampisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan trimetoprim sulfametoksazole
dalam 15 tahun ini.

3.2.9. Edukasi

44
Nasihat pada ibu atau pengasuh: kembali segera jika demam, tinja berdarah, berulang,
makan atau minum sedikit, sangat halus, diare makin sering, atau belum membaik
dalam 3 hari.12

3.2.10. Komplikasi

1. Gangguan elektrolit12
- Hipernatremia
Penderita diare dengan natrium plasma>150 mmol/L memerlukan pemantauan berkala
yang ketat. Tujuanya adalah menurunkan kadar natrium secara perlahan-lahan.
Penurunan kadar natrium plasma yang cepat sangat berbahaya oleh karena dapat
menimbulkan edema otak. Rehidrasi oral atau nasogastrik menggunakan oralit adalah
cara terbaik dan paling aman.
- Hiponatremia
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya mengandung
sedikit garam, dapat terjadai hiponatremia ( Na<130 mmol/L). Hiponatremia sering
terjadi pada anak dengan Shigellosis dan pada anak malnutrisi berat dengan odema.
Oralit aman dan efekstif untuk terapi dari hampir semua anak dengan hiponatremi.
- Hiperkalemia
Disebut hiperkalemia jika K>5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium
glukonas 10% 0,5-1 ml/kgBB i.v pelan-pelan dalam 5-10 menit dengan monitor detak
jantung.
- Hipokalemia
Diakatakan hipokalemia bila K<3,5 mEq/L, koreksi dilakukan menuurut kadar K: jika
kalium 2,5-3,5 mEq/L diberikan peroral 75 mcg/kgBB/hr dibagi 3 dosis. Bila <2,5
mEq/L maka diberikan secara intravena drip (tidak boleh bolus) diberikan dalam 4
jam. Dosisnya: (3,5-kadar K terukurx BBx0,4 +2 mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam
4 jam Kemudian 20 jam berikutnya adalah (3,5-kadar K terukurx BBx 0,4+1/6x2
mEqxBB). Hipokalemia dapat menyebakan kelemahan otot, paralitik usus, gangguan
fungsi ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemia dapat dicegah dan kekurangan kalium
dapat dikoreksi dengan menggunakan makanan yang kaya kalium selama diare dan
sesudah diare berhenti.

2. Demam
3. Edema/overhidrasi

45
4. Asidosis metabolik
5. Ileus paralitik
6. Kejang
7. Malabsorbsi dan intoleransi laktosa
8. Muntah

3.2.11. Pencegahan

1. Mencegah penyebaran kuman patogen penyebab diare


2. Memperbaiki daya tahan tubuh pejamu

46

Anda mungkin juga menyukai