Bab Ii & Iii
Bab Ii & Iii
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. PNEUMONIA
3.1.1. Definisi
Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing.
Bronkopneumonia didefinisikan sebagai peradangan akut dari parenkim paru
pada bagian distal bronkiolus terminalis dan meliputi bronkiolus respiratorius,
duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli.1
3.1.2. Epidemiologi
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun (balita).
Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang
dua juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar
terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional
(SKN) 2001, 27,6% angka kematian bayi dan 22,8% kematian balita di
Indonesia disebabkan oleh penyakit system respiratori, terutama pneumonia 2.
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak
di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di
Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi
pada anak di bawah umur 2 tahun Insiden pneumonia pada anak ≤ 5 tahun di
negara maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan dinegara
berkembang 10-20 kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari
5 juta kematian pertahun pada anak balita di negara berkembang 2.
3.1.3. Etiologi
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan
strategi pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas
16
sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup
A, S. aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri
tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae 2.
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang
mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza,
human metapneumovirus dan adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan estimasi
insidens global pneumonia RSV anak-balita adalah 33.8 juta episode baru di
seluruh dunia dengan 3.4 juta episode pneumonia berat yang perlu rawat-inap.
Diperkirakan tahun 2005 terjadi kematian 66.000 -199.000 anak balita karena
pneumonia RSV, 99% di antaranya terjadi di negara berkembang. Data di atas
mempertegas kembali peran RSV sebagai etiologi potensial dan signifikan
pada pneumonia anak-balita baik sebagai penyebab tunggal maupun bersama
dengan infeksi lain.2
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber
dari data di Negara maju dapat dilihat di tabel.
Umur Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Bakteri Bakteri
E coli Bakteri anaerob
Streptokokus grup B Streptokokus grup D
Lahir – 20 hari
Listeria monositogenes Hemofilus influenzae
Streptokokus pneumoniae
Ureaplasma urealitikum
Virus
Virus Sitomegalo
Virus Herpes simpleks
Bakteri Bakteri
Klamidia trakomatis Bordetela pertusis
Streptokokus pneumoniae Hemofilus influenzae tipe B
3 minggu-3 bulan
Virus Moraksela kataralis
Virus Adeno Stafilokokus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealitikum
Virus Parainfluenza 1,2,3 Virus
17
Respiratory Syncytial Virus Virus Sitomegalo
Bakteri Bakteri
Klamidia pneumoniae Hemofilus influenzae tipe B
Mikoplasma pneumoniae Moraksela kataralis
3.1.4. Klasifikasi
WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan
retraksi subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara berkembang.
Namun demikian, kriteria tersebut mempunyai sensitivitas yang buruk untuk
anak malnutrisi dan sering overlapping dengan gejala malaria.
18
Klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO dijelaskan pada tabel berikut2 :
Klasifikasi Anak usia < 2 bulan Anak usia 2 bulan – 5 tahun
Pneumonia Kesadaran turun, Kesadaran turun, letargis
Sangat Berat letargis Tidak mau minum
Tidak mau menetek / Kejang
minum Sianosis
Kejang Malnutrisi
Demam atau
hipotermia
Bradipnea atau
pernapasan ireguler
Pneumonia Napas cepat Retraksi (+)
Berat Retraksi yang berat Masih dapat minum
Sianosis (-)
Pneumonia Takipnea
Ringan Retraksi (-)
Tabel 2. Klasifikasi beratnya pneumonia berdasarkan WHO.2
19
b) Pneumonia virus:
Respiratory syncytical virus, virus influenza, adenovirus, virus
sitomegalo
c) Pneumonia mikoplasma
d) Pneumonia jamur:
Histolplasma capsulatum, Cryptococcus neoformans,
Blastomyces dermatitides, Coccidoides immitis, Aspergillus
species, Candida albicans
Berdasarkan karakteristik penyakit (9))
a) Pneumonia tipikal
b) Pneumonia atipikal
Berdasarkan lama penyakit (9)
a) Pneumonia akut
b) Pneumonia persisten
3.1.6. Patogenesis1,4
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan
paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara
daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan
berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam
saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain :
20
1. Inhalasi langsung dari udara
2. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
3. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
4. Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius sangat efisien untuk mencegah infeksi
yang terdiri dari :
1. Susunan anatomis rongga hidung.
2. Jaringan limfoid di nasofaring.
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain
yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
4. Refleks batuk.
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.
8. Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja
sebagai antimikroba yang non spesifik.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan
nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan
jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk
suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast
setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan
jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin
untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam
ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan
alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak
yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas
21
ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan
saturasi oksigen hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari
reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag
sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
22
3.1.7. Gejala klinis
Gambaran klinis pneumonia karena virus atau bakteri biasaya berbeda,
walaupun perbedaan tidak selalu jelas pada pasien tertentu. Takipea, batuk,
malaise, demam, nyeri dada pleuritis dan retraksi sering terjadi pada keduanya.
Pneumonia virus lebih sering disertai dengan batuk, mengi, atau stridor,
demam kurang menonjol dibanding dengan pneumonia bakteri.
Roentgenogram dada menunjukkan infiltrat bronkopneumonia bergaris-garis
difus, dan jumlah leukosit sering tidak meningkat (limfosit merupakan tipe sel
yang dominan).
Pneumonia bakteri biasanya disertai dengan batuk, demam tinggi,
menggigil, dispnea, dan temuan-temuan auskultasi berupa konsolidasi paru
(misalnya, penurunan suara pernapasan atau pernapasan bronchial, perkusi
redup, dan egofoni pada daerah terlokalisasi). Roentgenogram dada sering
menunjukkan konsolidasi lobari (pneumonia bundar) serta efusi pleura (10-
30%), dan jumlah leukosit perifer meningkat (>15.000-20.000/mm3), dengan
dominasi neutrofil.
23
Banyak kasus pneumonia mempunyai sifat-sifat yang berada antara dua
gambaran khas pneumonia virus dan bakteri. Pneumonia lobus bawah dapat
terasa seperti nyeri abdomen.(10)
3.1.8. Diagnosis
Anamnesis
- Non-respiratorik
Demam, sakit kepala, kuduk kaku terutama bila lobus kanan atas yang
terkena, anoreksia, letargi, muntah, diare, sakit perut dan distensi
abdomen terutama pada bayi. Pada bayi, gejalanya tidak khas,
seringkali tanpa demam dan batuk.
- Respiratorik
Batuk, sesak napas, sakit dada. (1,4)
Pemeriksaan fisis
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur
tertentu. Takipnea, grunting, pernapasan cuping hidung, retraksi subkostal,
sianosis, auskultasi paru crackles.
24
dan letargi. Pada semua kelompok umur, akan dijumpai adanya pernapasan
cuping hidung. (1)
Pada auskultasi, dapat terdengar suara pernapasan menurun. Fine crackles
(ronki basah halus) yang khas pada anak besar, biasa tidak ditemukan pada
bayi. Gejala lain pada anak besar adalah dull (redup) pada perkusi, vocal
fremitus menurun, suara napas menurun, dan terdengar fine crackles (ronki
basah halus) di daerah yang terkena. Iritasi pleura akan mengakibatkan nyeri
dada. Bila berat, gerakan dada menurun waktu inspirasi, anak berbaring kearah
yang sakit dengan kaki fleksi. Rasa nyeri dapat menjalar ke leher, bahu dan
perut.(1)
Hepatomegali terjadi akibat perubahan letak diafragma yang tertekan
kebawah oleh hiperinflasi paru atau sekunder akibat gagal jantung kongestif.
(4)
Pemeriksaaan penunjang
- Pemeriksaan Radiologi
Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar
diagnosis utama pneumonia. Foto lateral dibuat bila diperlukan informasi
tambahan, misalnya efusi pleura. Pada bayi dan anak yang kecil gambaran
radiologi sering kali tidak sesuai dengan gambaran klinis. Tidak jarang secara
klinis tidak ditemui apa-apa tetapi gambaran foto thoraks menunjukkan
pneumonia berat.(1)
25
Gambaran pneumonia karena S.aureus dan bakteri lain biasanya
menunjukkan gambaran bilateral yang difus, corakan peribronchial yang
bertambah, dan tampak infiltrate halus sampai ke perifer.
Staphylococcus pneumonia juga sering dihubungkan dengan
pneumatocelle dan efusi pleura (empiema), sedangkan mycoplasma akan
memberikan gambaran berupa infiltrat retikulat atau retikulonoduler yang
terlokalisasir di satu lobus.(1)
- Laboratorium
Hitung lekosit dapat membantu membedakan antara pneumonia viral
dan pneumonia bakteri. Pada pneumonia viral, hasil pemeriksaan leukosit bisa
normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3), limfosit predominan.
Pada pneumonia bakteri, hasil pemeriksaan leukosit meningkat (15.000-
40.000/mm3), neutrofil predominan.(1,4)
Laju endap darah (LED) dan C reactive protein juga tidak menunjukkan
gambaran khas. Trombositopeni biasa didapatkan pada 90% penderita
pneumonia dengan empiema.(1)
26
3.1.9. Penatalaksanaan
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis,
distres pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang
lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan
bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap.
Bayi Anak
Saturasi oksigen < 92%, sianosis Saturasi oksigen <92%, sianosis
Frekuensi napas > 60 kali/menit Frekuensi napas > 50 kali/menit
Distres pernapasan, apnea intermiten, Distres pernapasan
atau grunting
Tidak mau minum/menetek Grunting
Keluarga tidak bisa merawat di rumah Terdapat tanda dehidrasi
Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Tabel 5. Kriteria rawat inap pneumonia2
27
Pneumonia rawat jalan
Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara
oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat
jalan, dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai
90%. Dosis yang digunakan adalah Kotrimoksazol (4mg TMP/kgBB/kali) 2 kali
sehari selama 3 hari atau Amoksisilin (25mg/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3
hari. Untuk pasien HIV diberikan selama 5 hari.
Anjurkan Ibu untuk memberi makan anak. Nasihati Ibu untuk kontrol ulang
anaknya setelah 2 hari ke RS, atau lebih cepat jika keadaan anak memburuk, tidak
bisa minum atau menyusu.
Ketika anak kembali :
- Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu makan membaik,
lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari
- Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti ke
antibiotik ke lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali lagi.
- Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani sesuai pedoman
di bawah ini.
28
6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari-3 kali pemberian). Bila keadaan anak
membaik, lanjutkan klosasiklin (atau diklosasiklin) secara oral 4 kali sehari
sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral
selama 2 minggu.
Tatalaksana Umum
Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan udara
kamar, harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup
untuk mempertahankan saturasi oksigen >92%
- Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan intravena dan
dilakukan balans cairan ketat
- Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak dengan
pneumonia
- Anitipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyaman pasien
(Paracetamol 10-15 mg/kgBB/kali)
- Nebulisasi dengan ß2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki
mucocilliary clearance
- Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4 jam
sekali, termasuk pemerikaan saturasi oksigen
Nutrisi
Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral,
harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau
intravena. Tetapi harus diingat bahwa pemasangan NGT dapat menekan
pernapasan, khusunya pada bayi/anak dengan ukuran lubang hidung kecil. Jika
memang dibutuhkan sebaiknya menggunakan yang terkecil.
Perlu dilakukan pemantauan balans cairan agar anak tidak mengalami
overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon
antidiuretik.
Kriteria pulang:
- Gejala dan tanda pneumonia menghilang
- Asupan peroral adekuat
- Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)
- Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol
dan kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah.
29
3.1.10. Komplikasi
3.1.11. Prognosis6
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi
didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan
datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui.
Infeksi berat dapat memperburuk keadaan melalui asupan makanan dan
peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi
ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi
memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh
faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.
3.1.12. Pencegahan5
Pneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita
atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan
terjadinya bronkopneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya
tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup
sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat
yang cukup, rajin berolahraga, dan lainnya. Melakukan vaksinasi juga
diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain.
30
Vaksinasi pneumokokus
Dapat diberikan pada umur 2,4,6, 12-15 bulan. Pada umur 17-12 bulan
diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan ; pada usia > 1 tahun di berikan 1 kali,
namun keduanya perlu dosis ulangan 1 kali pada usia 12 bulan atau minimal 2
bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan
cukup 1 kali.
3.2. DIARE
3.2.1. Definisi
Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi
defekasi lebih dari biasnya (>3x perhari) disertai perubahan konsistensi tinja
(menjadi cair), dengan atau tanpa darah dan atau lendir.10
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali
perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa
lendir dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu. Untuk bayi yang
minum ASI secara eksklusif definisi diare yang praktis adalah meningkatnya
frekuensi buang air besar atau konsistesinya menjadi cair yang menurut ibunya
abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang-kadang pada seorang anak
buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistesinya cair, keadaaan
ini sudah dapat disebut diare.11
31
Pada aspek perilaku ibu menunjukkan bahwa perilaku hidup bersih yang
dilakukan ibu mempunyai hubungan yang bermakna dalam mencegah
terjadinya penyakit diare pada bayi dan balita. Salah satu perilaku hidup bersih
yang umum dilakukan ibu adalah mencuci tangan sebelum memberikan makan
pada anaknya. Pada aspek pengetahuan ibu, rendahnya pengetahuan ibu
mengenai hidup sehat merupakan faktor risiko yang menyebabkan penyakit
diare pada bayi dan balita. Faktor risiko penyebab diare menurut faktor anak
meliputi rendahnya status gizi pada bayi dan balita, pemberian ASI eksklusif,
serta imunisasi.12
3.2.3. Etiologi
Pada saat ini, dengan kemajuan dibidang teknik laboratorium telah dapat
diidentifikasi tidak kurang dari 25 jenis mikroorganisme yang dapat
menyebabkan diare pada anak dan bayi. Penyebab infeksi timbulnya diare
umumnya adalah golongan virus, bakteri dan parasit. Dua tipe dasar dari diare
akut oleh karena infeksi adalah non-inflamatory dan inflammatory.10
Enteropatogen menimbulkan non-inflamatory diare melalui produksi
enterotoksin oleh bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus, perlekatan
oleh parasit, perlekatan dan atau translokasi dari bakteri. Sebaliknya
inflammatory diare biasanya disebabkan oleh bakteri yang menginvasi usus
secara langsung atau memproduksi sitotoksin.10,12
Di samping itu penyebab diare nonifeksi yang dapat menimbulkan diare
pada anak antara lain:10
Kesulitan makanan Neoplasma
Neuroblastoma
Phaeochromocytoma
Sindroma Zollinger Ellison
Defek anatomis Lain-lain:
Malrotasi Infeksi non gastrointestinal
Penyakit Hirchsprung Alergi susu sapi
Short Bowel Syndrome Penyakit Crohn
Atrofi mikrovilli Defisiensi imun
Striktur Colitis ulserosa
Ganguan motilitas usus
Pellagra
32
Malabsorbsi glukosa dan Mushrooms
galaktosa
Cystic fibrosis
Cholestosis
Penyakit celiac
Endokrinopati
Thyrotoksikosis
Penyakit Addison
Sindroma Androgenital
34
3.2.6. Diagnosis
Ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Penilaian A B C
Lihat:
Keadaan umum Baik,sadar *Gelisah,rewel *lesu,lunglai/tidak
Mata Normal Cekung sadar
Air mata Ada Tidak ada Sangat cekung
Mulut dan lidah Basah Kering Kering
Rasa haus Minum biasa,tidak *haus ingin minum Sangat kering
haus banyak *malas minum atau
tidak bias minum
Periksa: turgor Kembali cepat *kembali lambat *kembali sangat
kulit lambat
Hasil pemeriksaan Tanpa dehidrasi Dehidrasi Dehidrasi berat
ringan/sedang Bila ada 1 tanda*
Bila ada 1 tanda* ditamb1ah 1 atau
ditambah 1 atau lebih tanda lain
lebih tanda lain
Terapi Rencana terapi A Rencana terapi B Rencana terapi C
3.2.7. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak
diperlukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya
penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare akut
atau pada penderita dengan dehidrasi berat. Contoh: pemeriksaan darah
lengkap, kultur urine dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran kemih.
Pemeriksaan laboratorium yang kadang-kadang diperlukan pada diare
akut:11,12
darah : darah lengkap, serum eleketrolit, analisa gas darah, glukosa darah,
kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotika
urine: urine lengkap, kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotika
tinja:
a. Pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan makroskopik mencakup warna tinja, konsistesi tinja, bau
tinja, adanya lendir, adanya darah, adanya busa. Warna tinja tidak terlalu
banyak berkolerasi dengan penyebab diare. Warna hijau tua berhubungan
35
dengan adanya warna empedu akibat garam empedu yang dikonjugasi oleh
bakteri anaerob pada keadaan bacterial overgrowth. Warna merah akibat
adanya darah dalam tinja atau obat yang dapat menyebabkan warna merah
dalam tinja seperti rifampisin. Konsistensi tinja dapat cair, lembek, padat.
Tinja yag berbusa menunjukan adanya gas dalam tinja akibat fermentasi
bakteri. Tinja yang berminyak, lengket, dan berkilat menunjukan adanya
lemak dalam tinja. Lendir dalam tinja menggambarkan kelainan di kolon,
khususnya akibat infeksi bakteri. Tinja yang sangat berbau menggambarkan
adanya fermentasi oleh bakteri anaerob dikolon. Pemeriksaan pH tinja
menggunakan kertas lakmus dapat dilakukan untuk menentukan adanya asam
dalam tinja. Asam dalam tinja tersebut adalah asam lemak rantai pendek yang
dihasilkan karena fermentasi laktosa yang tidak diserap di usus halus sehingga
masuk ke usus besar yang banyak mengandung bakteri komensal. Bila pH
tinja<6 dapat dianggap sebagai malabsorbsi laktosa.12
b. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan untuk mencari adanya leukosit dapat memberikan
informasi tentang penyebab diare, letak anatomis serta proses peradangan
mukosa. Leukosit dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang
menyerang mukosa kolon. Leukosit yang positif menunjukkan adanya kuman
invasi atau kuman yang memproduksi enterotoksin seperti shigella,
salmonella, C. difficile,Y. enterocolitica, V. Parahaemolyticus, kemungkinan
aeromonas atau P. Shigelloides. Leukosit yang ditemukan pada umumnya
adalah PMN, kecuali pada S. thypii ditemukan MN. Tidak semua penderita
kolitis terdapat leukosit pada tinjanya, pasien yang terinfeksi dengan E.
hystolitica pada umumnya leukosit pada tinja minimal. Parasit yang
menyebabkan diare pada umumnya tidak memproduksi leukosit dalam jumlah
banyak. Normalnya tidak diperlukan pemeriksaan untuk mencari telur atau
parasit kecuali terdapat riwayat baru saja bepergian ke daerah resiko tinggi,
kultur tinja negatif untuk enteropatogen, diare lebih dari 1 minggu atau pada
pasien immunocompromised. Pasien yang dicurigai menderita diare yang
disebabkan giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis, dan strongylodiasis di
mana pemeriksaan tinja negatif, aspirasi atau biopsi duodenum atau yeyunum
bagian atas mungkin diperlukan. Karena organisme ini hidup di saluran cerna
bagian atas, prosedur ini lebih tepat daripada pemeriksaan tinja. Biopsi
36
duodenum adalah metoda yang spesifik dan sensitif untuk diagnosis giardiasis,
strongylodiasis dan protozoa yang membentuk spora. E. hystolitica dapat
didiagnosis dengan cara pemeriksaan mikroskopik tinja segar. Trophozoit
biasanya ditemukan pada tinja cair sedangkan kista ditemukan pada tinja yang
berbentuk. Tehnik konsentrasi dapat membantu untuk menemukan kista
amuba. Pemeriksaan serial mungkin diperlukan oleh karena ekskresi kista
sering terjadi intermitten. Sejumlah tes serologis amubiasis untuk mendeteksi
tipe dan konsentrasi antibodi juga tersedia. Tes serologis untuk amuba hampir
selalu positif pada disentri amuba akut dan amubiasis hati.12
3.2.8. Tatalaksana
Terdapat lima pilar penting dalam tatalaksana diare yaitu rehidrasi, zink,
nutrisi, antibiotik selektif, dan edukasi pada orang tua.11,12
37
setelah anak
bisa minum
38
Edukasi
Nasihat pada ibu atau pengasuh: kembali segera jika demam, tinja berdarah,
berulang, makan atau minum sedikit, sangat halus, diare makin sering, atau
belum membaik dalam 3 hari.12
3.2.9. Komplikasi
Gangguan elektrolit12
- Hipernatremia
Penderita diare dengan natrium plasma>150 mmol/L memerlukan
pemantauan berkala yang ketat. Tujuanya adalah menurunkan kadar
natrium secara perlahan-lahan. Penurunan kadar natrium plasma yang
cepat sangat berbahaya oleh karena dapat menimbulkan edema otak.
Rehidrasi oral atau nasogastrik menggunakan oralit adalah cara terbaik dan
paling aman.
- Hiponatremia
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya
mengandung sedikit garam, dapat terjadai hiponatremia ( Na<130
mmol/L). Hiponatremia sering terjadi pada anak dengan Shigellosis dan
pada anak malnutrisi berat dengan odema. Oralit aman dan efekstif untuk
terapi dari hampir semua anak dengan hiponatremi.
- Hiperkalemia
Disebut hiperkalemia jika K>5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan
pemberian kalsium glukonas 10% 0,5-1 ml/kgBB i.v pelan-pelan dalam 5-
10 menit dengan monitor detak jantung.
- Hipokalemia
Diakatakan hipokalemia bila K<3,5 mEq/L, koreksi dilakukan menuurut
kadar K: jika kalium 2,5-3,5 mEq/L diberikan peroral 75 mcg/kgBB/hr
dibagi 3 dosis. Bila <2,5 mEq/L maka diberikan secara intravena drip
(tidak boleh bolus) diberikan dalam 4 jam. Dosisnya: (3,5-kadar K
terukurx BBx0,4 +2 mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam 4 jam Kemudian
20 jam berikutnya adalah (3,5-kadar K terukurx BBx 0,4+1/6x2 mEqxBB).
Hipokalemia dapat menyebakan kelemahan otot, paralitik usus, gangguan
39
fungsi ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemia dapat dicegah dan
kekurangan kalium dapat dikoreksi dengan menggunakan makanan yang
kaya kalium selama diare dan sesudah diare berhenti.
Demam
Edema/overhidrasi
Asidosis metabolik
Ileus paralitik
Kejang
Malabsorbsi dan intoleransi laktosa
Muntah
3.2.10. Pencegahan
Mencegah penyebaran kuman patogen penyebab diare
Memperbaiki daya tahan tubuh pejamu
40