Anda di halaman 1dari 3

BAB III

PEMBAHASAN

Pada kasus diatas pasien atas nama Tn. MH usia 61 tahun

didiagnosis dengan creeping eruption atau cutaneus larva migan.

Pekerjaan pasien sebagai petani dan jarang menggunakan sandal saat ke

sawah merupakan faktor resiko penyakit cutaneus larva migan , karena

tanpa adanya proteksi larva cacing dapat masuk ke tubuh manusia melalui

kontak kulit dengan telur yang berada di kotoran anjing atau kucing.

Pasien mengeluh gaatal pada telapak kaki sejak 1 bulan yang lalu.

Awalnya hanya berupa bintik merah yang kecil dan sekarang timbul

seperti bintik-bintik merah yang berkelok-kelok dan pada efloresensi

didapatkan makula eritematosa batas tegas, bentuk serpiginosa, (berkelok-

kelok) membentuk terowongan disertai krusta dan skuama diatasnya et

regio dosrs pedis sinsitra, hal ini sesuai dengan buku Ilmu Penyakit Kulit

dan Kelamin FK UI yaitu berupa bentuk khas, seperti benang yang lurus

atau berkelok, menimbul dan terdapat papul atau vesikel di atasnya.

Bentuk hidup yang menginvasi ke dalam kulit umumnya adalah

larva dari Ancylostoma brazilines dan Ancylostoma caninum atau bisa juga

dalam bentuk telur. Larva ini akan menembus epidermis dan masuk ke

bagian dalam namun tidak dapat menembus membran basal. Gambaran

berupa lesi seperti benang yang lurus atau berkelok baru akan timbul

setelah larva berhasil menembus stratum korneum[2]. Pasien biasanya

belum akan mengeluhkan gejala pada fase ini karena hanya berupa gatal
saja tanpa timbulnya lesi. Setelah beberapa hari larva akan bermigrasi

tanpa tujuan sehingga akan menimbulkan rasa panas dan gatal yang

meningkat. Pada saat bermigrasi inilah gambaran klinis berupa lesi

berkelok dan menimbul membentuk terowongan terlihat. Biasanya pada

fase seperti ini pasien datang untuk berobat ke dokter.

Pemeriksaan penunjang biasanya jarang dilakukan karena

gambaran klinis dari cutaneous larva migrans sangat khas. Untuk

menentukan diagnosis biasanya dilihat dari gambaran klinis lesi berkelok

yang khas membentuk terowongan, berisi cairan serosan, lesi terasa sangat

gatal dan panas, dapat juga timbul gejala sistemik yang tidak khas. Selain

itu predileksi cutaneous larva migrans juga khas biasanya di daerah kaki

dan tungkai mencapai 50 %, di daeran tangan, dan pantat. Lesi juga bisa

terdapat di daerah perut. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah

pemeriksaan laboratorium dari sampel lesi dapat ditemukan larva atau

telur nematoda.

Diagnosis banding dari cutaneous larva migrans salah satunya

adalah Scabies, karena gambaran klinis yang sama-sama membentuk

terowongan, dengan gatal yang menghebat dimalam hari, pada Tn. MH

lesi terdapat telapak kaki. Namun, yang membedakannya dari Scabies,

terowongan yg terbentuk pada Scabies relatif pendek dan kecil predileksi

khas dari scabies yang terdapat pada sela-sela jari, pantat, daerah lipat

paha, perut dan dada.

Terapi yang diberikan terdiri dari topikal dan sistemik peroral.

Terapi topikal yang langsung dilakukan terhadap pasien di ruang tindakan


adalah cryotherapy dengan menggunakan kloretil yang disemprotkan pada

sepanjang lesi berkelok yang dilebihkan beberapa sentimeter untuk

mengantisipasi letak larva. Penyemprotan kloretil ini bertujuan untuk

mematikan larva dengan menurunkan suhu jaringan di sekitarnya secara

drastis.

Pilihan terapi sistemik yang dapat diberikan adalah antihelmintes

seperti ivermectin, tiabendazol, mebendazol, dan albendazol. Ivermectin

dengan dosis tunggal 20 mg / kg BB per hari lebih efektif dibandingkan

antihelmintes lainnya karena langsung mematikan larva yang diam

ataupun yang sedang bermigrasi. Namun, obat ini hanya terdapat di

negara-negara tertentu saja. Terapi oral yang diberikan kepada Tn. MH

adalah albendazol sirup suspensi 10 ml yang mengandung 400mg

albendazol single dose 1 kali sehari selama 3 hari berturut-turut.

Albendazol mudah didapatkan di negara-negara di Asia tersedia dalam

bentuk tablet dan suspensi 10 ml / botol dengan dosis 400 mg. Obat ini

bekerja dengan cara menghambat pengambilan glukosa oleh larva cacing

sehingga produksi ATP sebagai sumber energi untuk mempertahankan

hidup lambat laun berkurang dan menyebabkan kematian larva. Efek

samping obat dapat menyebabkan gatal-gatal dan mulut kering.

Prognosis dari kasus ini yaitu dubia ad bonam.

Anda mungkin juga menyukai