Anda di halaman 1dari 11

1.

Pengertian Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang
dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya biasanya dilakukan pada
waktu penghibah masih hidup. Biasanya pemberian-pemberian tersebut tidak akan pernah
dicela oleh sanak keluarga yang tidak menerima pemberian itu, oleh karena pada dasarnya
seseorang pemilik harta kekayaan berhak dan leluasa untuk memberikan harta bendanya
kepada siapapun. Adapun Menurut Asaf A. A. Fyzee, Pengertian Hibah ialah penyerahan
langsung dan tidak bersyarat tanpa pemberian balasan. Selanjutnya diuraikan dalam
Kitab Durru’l, Muchtar memberikan definisi Hibah sebagai pemindahan hak atas harta
milik itu sendiri oleh seseorang kepada orang lain tanpa pemberian balasan.
Sedangkan menurut KUHperdataYang dimaksud dengan hibah menurut Pasal 1666
KUH Perdata adalah :“ suatu persetujuandengan mana seorang penghibah, menyerahkan
suatu barang secara Cuma-Cuma , tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan
seseorang yang menerima penyerahan barang itu .

2. Sistem pendaftaran tanah, bahwa didunia ini dikenal ada dua model atau jenis pendaftaran
tanah , yaitu: pertama, disebut dengan model pendaftaran akta atau " registration of deeds"
yang oleh beberapa penulis menggunakan istilah pendaftaran tanah dengan stelsel negatif
atau pendaftaran tanah negatif dan kedua, pendaftaran hak atau "registration of title",
dimana lazim pula disebut dengan nama " pendaftaran dengan stelsel positif" ataupun
seringkali disebut " system Torrens".

Kedua system pendaftaran tanah ini mempunyai perbedaan-persamaan dan kelebihan-


kekurangan satu dengan yang lainnya. Secara umum perbedaan terlihat pada wujud
dokumen formal yang dipergunakan sebagai instrument atau alat pembuktian kepemilikan
hak atas tanah. Wujud dokumen formal dalam system pendaftaran tanah dengan stelsel
negative sebutannya adalah " akta " kepemilikan sedang wujud dokumen dalam model
pendaftaran tanah dengan stelsel positif sebutannya adalah berupa " sertipikat" hak. Kedua
wujud atau bentuk formal dari kedua model tersebut secara yuridis sangat berpengaruh
terhadap eksistensi kekuatan hukum dari hak kepemilikan hak atas tanah.
Pada hakekatnya kedua lembaga pendaftaran tanah baik yang positif maupun negatif
ada persamaan karakter yuridisnya yaitu: kedua model atau jenis ini merupakan sebutan lain
dari "pendaftaran hak atas tanah" untuk kepentingan individual pemegang hak dengan
tujuan untuk memberikan kepastian hak dan keamanan hukum bagi pemilik bidang tanah
yang diselenggarakan oleh Negara. Sebagaimana diungkapkan oleh Boedi Harsono, bahwa
Setiap pendaftaran tanah baik dalam sistem pendaftaran akta maupun hak, tiap pemberian
atau menciptakan hak baru serta pemindahan hak baru dan pembebanannya dengan hak lain
kemudian, harus dibuktikan dengan suatu akta. Dalam akta tersebut dengan sendirinya
dimuat data yuridis tanah yang bersangkutan, perbuatan hukumnya, haknya, penerima
haknya, hak apa yang dibebankan.
Karakter yuridis yang spesifik dari sistem pendaftaran akta ( Registration of deeds) atau
sistem pendaftaran negatif ini adalah bahwa dokumen tertulis atau akta yang dibuat oleh
para pihak ( pemilik yang mengalihkan ) yang dilakukan atas bantuan pejabat umum yang
berwenang ( seperti Notaris atau pejabat lain seperti ahli hukum ) didaftarkan kepada pejabat
yang diberikan wewenang untuk itu agar dicatatkan haknya sebagai pemegang hak atas
tanah yang baru, dan oleh pejabat pencatat tersebut dicatatkan dalam register ( pencatatan
buku tanah ), tanpa melakukan penelitian atas kebenaran akta atau dokumen tertulis yang
diserahkan. Kelebihan dari sistem pendaftaran tanah akta ini adalah adanya jaminan yang
diberikan kepada pemilik yang sebenarnya, dengan kata lain bahwa kesempatan bagi
pemilik atau yang berhak atas sebidang tanah untuk mengadakan perlawanan atau tuntutan
hukum terhadap pihak-pihak lain yang telah mendaftarkan bidang tanah tersebut. Hal mana
tuntutan atau klaim atas bidang tanah tersebut melalui peradilan dengan alat bukti yang
menunjukkan memang yang lebih berhak. Sebaliknya bahwa dalam system pendaftaran
dengan stelsel negative ( akta ) dapat diketemukan beberapa kelemahan yang oleh beberapa
pakar dinilai mendasar. Adapun kelemahannya antara lain adalah:
a. Dalam sistem pendaftaran akta lebih merefleksikan adanya ketidak adanya jaminan
kepastian hak dan hukum bagi mereka pemegang hak atas tanah dan bagi mereka
beretiket baik atas sebidang tanah yang didaftarkannya.
b. Sifat pasif dari pejabat pendaftaran tanah. Artinya bahwa pejabat pendaftaran tanah
tidak melakukan pengujian kebenaran data ( akta ) yang disampaikan oleh pemohon,
sehingga posisi hukum menjadi lemah.
c. Dalam sistem pendaftaran akta ini kekuatan hukum akte yang didaftarkan tidak
mempengaruhi kekuatan hukum akta lainnya. Bahwa pendaftaran akte hanyalah
penetapan sekala prioritas sebagai referensi waktu saat ( tanah ) tersebut didaftarkan
dan bukan waktu untuk pelaksanaannya.
d. Bahwa suatu akta bukanlah bukti hak, namun hanyalah menunjukan adanya pencatatan
selesainya transaksi dan beralihnya benda yang ditransaksikan.
Robert TJ. Stein menyatakan bahwa kelemahan dari system pendafataran yang negative ini
antara lain adalah:
a. Dokumen yang dibuat oleh ahli hukum yang tujuannya untuk mengalihkan suatu hak
atas tanah dibangun sesuai dengan ketentuan hukum dan hubungan hukumnya, untuk
menjamin bahwa suatu kepentingan hukum atas tanah yang diperolehnya hanya bisa
jika sipemilik mempunyai hak dan kemampuan untuk mengalihkan. Suatu akta menjadi
tidak valid apabila terdapat pemalsuan atau karena menyalahi peraturan sehingga
peralihan tersebut tidak mempunyai pengaruh apa-apa.
b. Adanya kesulitan memahami dokumen-dokumen lama yang dibuat ( sebelumnya) dari
sebuah rangkaian hak-hak terdahulu karena adanya perubahan penggunaan bahasa dan
formatnya
c. Pendaftaran akta ini rawan dari kesalahan dan pemalsuan
d. Dalam sistem pendaftaran akte ini ketidak pedulian akan penelitian padahal hal
tersebut diperlukan untuk melacak rangkaian hak-hak yang ada sebelumnya, dimana
pelacakan tersebut membutuhkan biaya yang besar , tenaga dan menyita waktu, kadang
dibutuhkan tenaga yang profesional yang mahal. Dalam hal jual beli dan jaminan,
membutuhkan setidaknya dua pengujian yang dilakukan seperti oleh penasehat hukum
pembeli dan oleh penasehat hukum penjaminan. Selajutnya masalah lewat waktu bisa
memunculkan masalah dimana dokumen-dokummen hak mungkin bukan pemilik
terakhir, sehingga mereka bisa saja salah, pada saat hak tersebut dialihkan
e. Diperlukan kemampuan khusus yang disyaratkan untuk membangun suatu rangkaian
hak; keenam, kompleksitas yang mengalir dari suatu pertumbuhan rangkaian hak
termasuk pembagian hak yang asli dari pemilik-pemilik kemudian; pertimbangan
tempat penyimpanan dokumen-dokumen yang relevan dari setiap perjanjian untuk hak;
ketujuh, kemungkinan adanya kesalahan. Dengan kata lain Jaminan terhadap pemilik
atau pemegang hak atas tanah sifatnya tidak mutlak, masih bisa dibantah atau
dipertanyakan, inilah merupakan ciri pokok dari pendaftaran sistem negative.
Sistem pendaftaran hak ( registration of title) atau sistem stelsel positif atau sistem
Torrens ( Torrens System ).
Bahwa sistem pendaftaran ini merupakan perbaikan atau penyempurnaan atas sistem
pendaftaran sebelumnya. Sistem ini merupakan suatu pencatatan hak baik pencatatannya
maupun penyimpanannya menjadi kewenangan dari lembaga publik.Karakter yuridis yang
spesifik dari sistem pendaftaran positif, ini adalah bahwa:
a. Bidang tanah yang didaftarkan menurut sistem ini dianggap belum ada haknya. Hak
baru akan lahir setelah dilakukan pengujian atau penelitian dan diumumkan. Seperti
yang dikemukakan oleh Stein bahwa dalam pendaftaran hak ini hak hanya dapat
diperoleh melalui atau pada saat dilakukan pendaftaran atau tercatat dalam register.
b. Negara memberikan jaminan penuh bagi pemegang haknya yang tercatat ( terdaftar )
dalam daftar umum terhadap tuntutan – tuntutan atau claim pihak ketiga atau siapapun.
Jaminan kerugian dari Negara bagi pemilik yang mungkin dirugikan atau adanya
kekeliruan atau kesalahan dalam pendaftaran haknya bersifat " Indefeasible". Atau
menurut Eugene C. Massie bersifat absolute dan tidak dapat diganggu gugat.
Setidaknya ada 3 ( tiga ) jaminan keamanan bagi tanah yang terdaftar yakni: pertama,
berkaitan dengan bendanya (property ) atau tanahnya yang terdaftar ( the property
register); kedua, berkaitan dengan kepemilikan atau penguasaannya ( the
proprietorship register); ketiga, berkaitan dengan jaminan hak-hak yang ada ( the
charges register).
c. Dalam sistem pendaftaran tanah positif ini pejabat yang diberikan kewenangan
melakukan pendaftaran bersifat aktif. Merupakan konsekuensi logis dari adanya
jaminan Negara hak yang terbit tidak lagi dapat diganggu gugat, tidak ada tuntutan
pihak-pihak lain yang merasa berhak atas bidang tanah yang didaftarkan tersebut. untuk
itu maka adanya pejabat yang disebut " Barister and Conveyancer" yang dikenal
sebagai pejabat penguji atau peneliti yang disebut " examiner of title ( pemeriksa alas
hak). dalam PP No. 10 tahun 1961 disebut sebagai Panitya A atau B, atau semacam
panitya Ajudikasi dalam PP No. 24 tahun 1997.
d. Dalam sistem pendaftaran hak ini negara memberikan jaminan dana kompensasi
apabila ternyata terdapat kesalahan prosedur dalam pendaftarannya yang
mengakibatkan kerugian bagi pihak yang mungkin lebih berhak.
e. Dalam sistem pendaftaran positif ini adalah diterbitkannya tanda bukti sekaligus alat
bukti yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah yang didaftarkan yaitu berupa "
sertifikat hak atas tanah" atau " sertificate of title".
Tidak ada satu pun didunia ini yang sempurna, demikian juga dengan system
pendaftaran tanah yang positif ini. Sisi lemah dari sistem pendaftaran tanah positif ini antara
lain:
Pertama, bahwa setiap pendaftaran hak dan peralihan hak dalam sistem positif ini
memerlukan pemeriksaan yang sangat teliti dan seksama sebelum orang tersebut didaftarkan
sebagai pemilik dalam daftar ini. Disini para petugas pendaftaran harus memainkan peranan
yang sangat aktif disamping peralatan yang cukup. Mereka harus meneliti apakah hak yang
akan didaftar / dipindahkan tersebut dapat didaftarkan, dan mengenai segala persyaratan
formil yang harus dipenuhi oleh orang yang akan mendaftarkan haknya;
Kedua, dalam sistem pendaftaran positif ini, karena peran aktif dari petugas dalam hal
penelitian secara terinci membutuhkan dan menyebabkan memakan waktu lama serta
panjang, sehingga menimbulkan kesan dipersulit;

Ketiga, sistem ini sangat merugikan bagi mereka para pihak yang benar-benar berhak. Bagi
mereka yang berhak, tidak menutup kemungkinan akan tetap kehilangan hak atas sebidang
tanah atas suatu putusan yang jelas dimenangkan mereka akan tetapi akan tetap kehilangan
haknya diluar perbuatannya dan diluar kesalahannya;
Pertanyaan hukumnya kemudian adalah model sistem pendaftaran tanah yang mana yang
dipergunakan di Indonesia. Jawabannya seharusnya adalah Bilamana mencermati ketentuan
hukum yang berlaku ( PP No. 10 tahun 1961 yo. PP No. 24 tahun 1997 ) dengan menunjuk
bahwa dokumen formal kepemilikan hak atas tanah sesuai ketentuan hukum tersebut berupa
sertipikat hak maka dapat disimpulkan ( sementara ) bahwa Sistem pendaftaran tanah di
Indonesia seharusnya mendasarkan pada system pendaftaran dengan stelsel positif, karena
memang ciri atau karakter khas dari sistem pendaftaran tanah ini adalah adanya sertipikat
sebagai alat bukti hak kepemilikan atas tanah. dan terlebih lagi seluruh urutan prosedur dan
mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan kita menuju kepada aturan
hukum pada system pendaftaran tanah dengan model system stelsel positif. Namun demikian
jika kita mencermati yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia ( MARI ) secara
tegas menyatakan bahwa pendaftaran tanah kita menganut model stelsel negative. Salah satu
yurisprudensi tersebut dapat dibaca dalam Putusan MARI No. Reg. 459 K / Sip / 1975, tanggal
18 September 1975, menyatakan bahwa:
Mengingat stelsel negative tentang register / pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia, maka
terdaftarnya nama seseorang didalam register bukanlah berarti absolute menjadi pemilik tanah
tersebut apabila ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain (seperti halnya dalam
perkara ini).
Pendaftaran Tanah di Indonesia adalah menganut sistem negatif, Namun berkarakter
stelsel yuridis sistem pendaftaran positif sangat terlihat. Karakter positif tersebut dapat dilihat
antara lain:
a. Adanya panitya pemeriksaan tanah "barrister and conveyancer" yang disebut
panitya A dan B yang tugasnya melakukan pengujian dan penelitian " examiner
of title". dari penelitian tersebut maka akan dilakukan pengujian dan
menyimpulkan bahwa setidaknya berisi: pertama, lahan atau bidang tanah yang
diajukan permohonan pendaftaran adalah dalam keadaan baik dan jelas; kedua,
bahwa atas permohonan tersebut tidak ada sengketa dalam kepemilikannya;
ketiga, bahwa atas kenyakinan panitya permohonan tersebut dapat diberikan;
keempat, bahwa terhadap alat bukti yang dijadikaan alas hak untuk pengajuan
pendaftaran tidak ada orang yang berprasangka dan keberatan terhadap
kepemilikan pemohon tersebut. tujuannya untuk menjamin kepastian hukum
tanah yang didaftarkan ( pasal 19 UUPA). Boedi Harsono menyebut sebagai
Sistem negatif tendens positif.
b. Model karakter positif yang terlihat dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No.
24 tahun 1997, antara lain: a. PPAT diberikan tugas untuk meneliti secara
material dokumen-dokumen yang diserahkan dan berhak untuk menolak
pembuatan akta; b. pejabat yang berwenang ( petugas ) berhak menolak
melakukan pendaftaran jika pemilik tidak wewenang mengalihkan haknya; c.
Pemerintah menyediakan model – model akta untuk memperlancar mekanisme
tugas-tugas PPAT.
c. Adanya sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan, sebagai tanda bukti dan alat
pembuktian hak kepemilikan atas tanah.
Bentuk karakter negatif dinyatakan secara tegas dalam penjelasan pasal 32 PP No. 24 tahun
1997 yang menyatakan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan tidak menggunakan
sistem publikasi positif, namun negatif. Karakter negatif muncul karena tidak adanya
kompensasi yang diberikan apabila terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam rangka
penerbitan sertifikat hak atas tanahnya.
Sistem pendaftaran negatif merupakan warisan masa lalu yang berlangsung sampai saat ini.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda pendaftaran tanah dilakukan untuk tanah-tanah
yang tunduk terhadap hukum barat ( Belanda ) yang dilaksanakan oleh yang namanya
Kantor Kadaster ( Kantor Pertanahan ). Sesuai dengan tugas dari Kantor Kadaster dalam
melaksanakan kegiatan pendaftaran pada waktu itu, pendaftaran tanahnya berdasarkan Stbl.
1824 No. 27 jo. 1947 No. 53, dimana perjanjian obligatoir peralihan hak dilaksanakan
dengan segala bukti tertulis, akta Notaris, ataupun dibawah tangan yang disaksikan Notaris
dan kemudian oleh Kepala Kantor Kadaster yang merupakan seorang Pegawai Balik Nama
( Overschrijvingsambtenaar) beserta salah seorang pegawainya membuatkan akte
peralihannya. Baru didaftarkan pada daftar yang bersangkutan setelah kewajiban –
kewajiban pembayaran dilakukan lebih dahulu. Perubahan yuridis baru setelah Negara kita
merdeka dan setelah dikeluarkannya undang-undang pokok agraria ( UUPA) beserta
peraturan pelaksaannya sebagai pengganti atau mencabut ketentuan perundangan
sebelumnya yang dikeluarkan oleh pemerintah hindia Belanda terutama yang berhubungan
dengan tanah, seperti pencabutan ketentuan yang diatur dalam buku II BW ( burgelijk
Wetboek ) khusus yang mengatur mengenai tanah. tanda bukti kepemilikan hak atas tanah
yang berwujud Sertipikat baru muncul setelah terbitnya UUPA ( pasal 19 UUPA ) yang
ditindak lanjuti oleh PP. No. 10 tahun 1961 dan selanjutnya digantikan oleh PP. No. 24
tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Proses lavering terhadap tanah dengan hibah di bawah tangan dapat di laksanakan
mengingat Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 yang
secara tegas menyatakan bahwa pasal 1682 KUH Perdata tidak berlaku lagi. Dalam perihal
surat edaran tersebut menyebutkan gagasan bahwa KUH Perdata tidak sebagai undang-
undang melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok
hukum tak tertulis yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan
Tinggi Seluruh Indonesia. Sebagaimana dalam praktek peradilan khususnya dalam putusan
no.335 PK/Pdt/1987dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan bahwa Putusan Kasasi
Mahkamah Agung No.945 K/Pdt/1985 tertanggal 26 Agustus 1986 dibatalkan oleh Putusan
tersebut diatas. Kemudian dalam pertimbangannya juga mendasarkan kepada Surat Edaran
Mahkamah Agung RI No.3 Tahun 1963 bahwa Mahkamah Agung menganggap tidak
berlaku lagi pasal 1682 KUH Perdata yang mengaharuskan dilakukannya suatu penghibahan
dengan akta notaris.
4. Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Menurut
ketentuan pasal 1234 KUHPdt ada tiga kemungkinan wujud prestasi, yaitu (a) memberikan
sesuatu, (b) berbuat sesuatu, (c) tidak berbuat sesuatu.[3] Pengertian memberikan sesuatu
adalah menyerahkan suatu kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur,
misalnya dalam jual-beli, sewa-menyewa, hibah. Dalam perikatan yang objeknya “berbuat
sesuatu”, debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan,
misalnya melakukan perbuatan berupa membangun gedung. Kemudian dalam perikatan
yang objeknya “tidak berbuat sesuatu”, debitur tidak melakukan perbuatan yang telah
ditetapkan dalam perikatan, misalnya debitur tidak boleh melakukan aktivitas berjualan
selama perikatan berlangsung, jika perbuatan debitur berlawanan maka ia bertanggung
jawab karena telah melanggar ketetapanPrestasi adalah objek perikatan. Supaya objek itu
dapat dicapai, dalam arti dipenuhi oleh debitur, maka perlu diketahui sifat-sifatnya
sebagaimana tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata ayat (3), yaitu:Barang atau
perbuatannya harus sudah ditentukan Harus mungkin, artinya prestasi itu mungkin dipenuhi
oleh debitur secara wajar dengan segala usahanyam Harus diperbolehkan (halal), artinya
tidak bertentangan dengan agama dan undang-undang Harus ada manfaat bagi kreditur,
artinya kreditur dapat menggunakan dan memanfaatkannya.
Dari unsur-unsur prestasi dan pengertian prestasi tersebut pernajian di atas merupakan
perjanjian prestasi.
5. A. Perbedaan Hibah dan Wasiat dari Segi Pengertian
Hibah adalah sebuah akad yang dilakukan untuk menyerahkan hak miliknya kepada orang
lain sesuai dengan aturan yang sudah ditentukan. Hibah juga bisa diartikan sebagai hadiah
atau sumbangan yang merupakan bentuk penghormatan terhadap orang lain baik dalam
bentuk harta atau hal lainnya. Sedangkan wasiat secara harfiah berarti harta yang
ditinggalkan seseorang di dunia dikarenakan dia sudah meninggal dunia. Pemberian wasiat
juga harus dipertimbangkan dengan baik tanpa memberi pada ahli waris yang sudah
digariskan.

Dari pengertian tersebut maka terlihat jelas perbedaan hibah dan wasiat yaitu untuk hibah
penerimanya bisa mendapatkan kepemilikannya secara langsung setelah dihibahkan.
Namun untuk wasiat haruslah menunggu hingga pemberi wasiat sudah meninggal dunia.
Hal tersebut tentu harus diperhatikan dengan baik agar tidak sampai tertukar dan
menyebabkan masalah perdebatan di kemudian hari setelah adanya penyerahan baik hibah
maupun wasiat.

B. Perbedaan Hibah dan Wasiat Berdasarkan Aturannya


Mengetahui aturan-aturan dari prosedur hibah dan wasiat tentu harus dipahami dengan baik
sebelum melakukannya. Ada berbagai poin yang memang harus diperhatikan dalam hal ini
untuk memaksimalkan fungsi dari adanya pembagian harta tersebut sesuai dengan aturannya
masing-masing. Berikut beberapa aturan dari masing-masing hibah dan wasiat yang
membuat anda lebih memahami mengenai perbedaan hibah dan wasiat :

 Dalam pembagian warisan tentu tidak boleh melanggar ketentun pembagian yang sudah ada
secara agama. Siapa saja yang bisa menjadi ahli waris dan berapa bagianya sudah diatur dan
anda hanya tinggal mengikuti aturan tersebut
 Harus ada saksi yang mengikuti jalannya pemberian hibah atau warisan sehingga disahkan
secara bersama. Hal tersebut juga untuk memaksimalkan kesahannya karena disaksikan juga
oleh pihak lain yang bukan pemberi dan penerima hibah atau warisan
 Dalam pembuatan surat wasiat atau hibah juga harus mengikuti bentuk surat yang sudah
ditentukan
 Dititipkan kepada notaris adalah hal yang paling tepat sebagai perwakilan untuk
membicarakannya dengan keluarga atau ahli waris setelah pemberi wasiat sudah meninggal
 Adanya persetujuan dari semua kerabat terdekat sesuai dengan keinginan pemberi hibah
atau warisan

Kasus II
1. Jaksa agung MA Rachman menerbitkan SP3 atas dasar SKL(surat keterangan lunas)
yang dikeluarkan BPPN berdasar Inpres No. 8/2002. SKL tersebut berisi tentang
pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaiakan
kewajibanya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham. Berdasaran Inpres
tersebut debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang walaupun hanya 30 persen
dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen
dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada bppn. Dari hal tersebut, Negara menanggung
kewajiban tersebut. Atas dasar bukti itu mereka yang diperiksa dalam penyedikan akan
mendapatkan surat perintah pengehentian perkara (SP3).

2. Kasus BLBI telah berjalan lebih kurang selama 10 tahun sejak krisis moneter tahun
1997/1998.
Langkah penegakan hukum yang dilakukan mengakibatkan pengambil kebijakan
pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dijatuhi hukuman. Sementara
dua direksi lain di-SP3-kan (surat perintah penghentian penyidikan) Kejaksaan Agung
(Kejagung) dan sejumlah penerima BLBI dihukumPemerintah menetapkan kebijakan
hukum dan menggunakan UU No 25/2000 tentang Propenas dan payung politik Tap
MPR untuk penyelesaian di luar pengadilan, diikuti Inpres No 8/2002 yang
mengesahkan MSAA, MRNIA, APU, dan SKL.Konsekuensi dari Inpres itu adalah
dihentikannya penyidikan kasus BLBI oleh Kejagung. Namun, penghentian itu tidak
merujuk pada ketentuan KUHAP atau UU Kejaksaan.Surat keterangan lunas (SKL)
terhadap obligor yang diharapkan kooperatif (melunasi kewajibannya) tidak memberi
hasil maksimal bagi kepentingan negara. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
pada 6 Mei 2008, membatalkan SP-3 Kejagung yang telah dikeluarkan atas nama kasus
SYN (BDNI) bertanggal 14 Juni tahun 2004, merupakan bukti bahwa payung hukum
itu tidak memenuhi asas kepastian hukum dan belum berpihak pada kepentingan
masyarakat luas. Sementara pengembalian atas kerugian negara tidak mencapai 10
persen dari total dana BLBI yang telah disalurkan.Menimbulkan ketidakadilan
Kepastian hukum dan keadilan dalam kebijakan hukum yang diambil pemerintah telah
menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian tersangka/terdakwa serta masyarakat luas,
bahkan tampak diskriminatif. Contoh nyata, mengapa obligor SYN dalam kasus BDNI
masih diberi kebebasan untuk ”buron” ke luar negeri dengan alasan kesehatan dan
mendapat izin Jaksa Agung, sedangkan tersangka/terdakwa lain tidak diberi perlakuan
sama dan tetap dikenakan penahanan serta dituntut secara pidana.Tertangkapnya UTG
dengan uang sekitar Rp 6 miliar dari Art tiga hari setelah diumumkan bahwa Kejagung
tidak menemukan unsur melawan hukum dalam kasus BDNI (SYN); dua kali
keterangan Glenn Yusuf (mantan Kepala BPPN) di hadapan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang mengakui adanya suap dalam kasus BLBI; serta rekaman
percakapan UTG dan Art, KyR dan Art, UUS dan Art yang dibuka dalam persidangan
terdakwa Art ditambah rencana penangkapan Art oleh Kejagung dengan sepengetahuan
Jaksa Agung membuktikan bahwa penegakan hukum kasus BLBI telah menciptakan
miscarriage of justice.Ini merupakan skandal besar kedua dalam sejarah penegakan
hukum di Indonesia setelah kasus dana BI. Rencana penangkapan Art oleh Kejagung
juga melanggar Pasal 50 UU KPK (2002) yang tegas melarang kejaksaan atau
kepolisian melakukan langkah hukum saat KPK sudah menangani kasus korupsi
itu.Inisiatif Kejagung memeriksa keterlibatan petinggi Kejagung dalam kasus UTG
tidak dapat menghapus citra negatif masyarakat. Maka, KPK seharusnya dapat
mengambil alih kasus BLBI dari Kejagung dan memeriksa petinggi Kejagung tersebut.
Analisis kasus BLBI Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia telah
menganalisis kasus BLBI. Kesimpulannya, pertama, kasus BLBI sarat muatan korupsi.
Kedua, KPK dapat mengambil alih kasus BLBI dari Kejagung. Kasus BLBI, terutama
pasca-Inpres No 8/2002, merupakan tindak pidana korupsi karena unsur melawan
hukum, memperkaya diri atau orang lain atau korporasi, dan kerugian negara telah
dipenuhi. Penyelesaian di luar pengadilan juga tidak membuahkan hasil signifikan bagi
kepentingan negara. Selain itu, tidak ada iktikad baik dari penerima BLBI, antara lain
nilai jaminan jauh lebih rendah dari nilai kewajiban yang seharusnya diselesaikan
kepada negara dan tidak kooperatif terhadap pemanggilan Kejagung.KPK dapat
mengambil alih dalam rangka supervisi (Pasal 9 juncto Pasal 8) dan merujuk Pasal 68
UU No 30/2002 tentang KPK. Tidak ada alasan bahwa KPK tidak dapat mengambil
alih kasus BLBI karena hukum acara pidana Indonesia (Pasal 284 Ayat 1 KUHAP)
tegas tidak mengakui asas nonretroaktif sepanjang terkait dengan kewenangan
menyidik dan menuntut perkara sebelum KUHAP terbentuk. Asas itu diakui dalam
proses kriminalisasi suatu perbuatan menjadi tindak pidana vide Pasal 1 Ayat (1)
KUHP.
Wewenang KPK mengambil alih perkara korupsi yang belum selesai penanganannya
tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan Perubahannya karena Pasal 28 I UUD 1945
dan Perubahannya tidak melarang wewenang retroaktif KPK. Jika ada pendapat KPK
tidak dapat mengambil alih kasus BLBI, jelas mereka tidak memahami sejarah hukum
pidana Indonesia sampai KUHAP diundangkan tahun 1981. Jika asas nonretroaktif
diterapkan pada masalah wewenang, akan terjadi stagnasi pemerintahan dan kinerja
penegakan hukum dari satu periode ke periode lain.

Anda mungkin juga menyukai