Pengertian Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang
dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya biasanya dilakukan pada
waktu penghibah masih hidup. Biasanya pemberian-pemberian tersebut tidak akan pernah
dicela oleh sanak keluarga yang tidak menerima pemberian itu, oleh karena pada dasarnya
seseorang pemilik harta kekayaan berhak dan leluasa untuk memberikan harta bendanya
kepada siapapun. Adapun Menurut Asaf A. A. Fyzee, Pengertian Hibah ialah penyerahan
langsung dan tidak bersyarat tanpa pemberian balasan. Selanjutnya diuraikan dalam
Kitab Durru’l, Muchtar memberikan definisi Hibah sebagai pemindahan hak atas harta
milik itu sendiri oleh seseorang kepada orang lain tanpa pemberian balasan.
Sedangkan menurut KUHperdataYang dimaksud dengan hibah menurut Pasal 1666
KUH Perdata adalah :“ suatu persetujuandengan mana seorang penghibah, menyerahkan
suatu barang secara Cuma-Cuma , tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan
seseorang yang menerima penyerahan barang itu .
2. Sistem pendaftaran tanah, bahwa didunia ini dikenal ada dua model atau jenis pendaftaran
tanah , yaitu: pertama, disebut dengan model pendaftaran akta atau " registration of deeds"
yang oleh beberapa penulis menggunakan istilah pendaftaran tanah dengan stelsel negatif
atau pendaftaran tanah negatif dan kedua, pendaftaran hak atau "registration of title",
dimana lazim pula disebut dengan nama " pendaftaran dengan stelsel positif" ataupun
seringkali disebut " system Torrens".
Ketiga, sistem ini sangat merugikan bagi mereka para pihak yang benar-benar berhak. Bagi
mereka yang berhak, tidak menutup kemungkinan akan tetap kehilangan hak atas sebidang
tanah atas suatu putusan yang jelas dimenangkan mereka akan tetapi akan tetap kehilangan
haknya diluar perbuatannya dan diluar kesalahannya;
Pertanyaan hukumnya kemudian adalah model sistem pendaftaran tanah yang mana yang
dipergunakan di Indonesia. Jawabannya seharusnya adalah Bilamana mencermati ketentuan
hukum yang berlaku ( PP No. 10 tahun 1961 yo. PP No. 24 tahun 1997 ) dengan menunjuk
bahwa dokumen formal kepemilikan hak atas tanah sesuai ketentuan hukum tersebut berupa
sertipikat hak maka dapat disimpulkan ( sementara ) bahwa Sistem pendaftaran tanah di
Indonesia seharusnya mendasarkan pada system pendaftaran dengan stelsel positif, karena
memang ciri atau karakter khas dari sistem pendaftaran tanah ini adalah adanya sertipikat
sebagai alat bukti hak kepemilikan atas tanah. dan terlebih lagi seluruh urutan prosedur dan
mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan kita menuju kepada aturan
hukum pada system pendaftaran tanah dengan model system stelsel positif. Namun demikian
jika kita mencermati yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia ( MARI ) secara
tegas menyatakan bahwa pendaftaran tanah kita menganut model stelsel negative. Salah satu
yurisprudensi tersebut dapat dibaca dalam Putusan MARI No. Reg. 459 K / Sip / 1975, tanggal
18 September 1975, menyatakan bahwa:
Mengingat stelsel negative tentang register / pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia, maka
terdaftarnya nama seseorang didalam register bukanlah berarti absolute menjadi pemilik tanah
tersebut apabila ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain (seperti halnya dalam
perkara ini).
Pendaftaran Tanah di Indonesia adalah menganut sistem negatif, Namun berkarakter
stelsel yuridis sistem pendaftaran positif sangat terlihat. Karakter positif tersebut dapat dilihat
antara lain:
a. Adanya panitya pemeriksaan tanah "barrister and conveyancer" yang disebut
panitya A dan B yang tugasnya melakukan pengujian dan penelitian " examiner
of title". dari penelitian tersebut maka akan dilakukan pengujian dan
menyimpulkan bahwa setidaknya berisi: pertama, lahan atau bidang tanah yang
diajukan permohonan pendaftaran adalah dalam keadaan baik dan jelas; kedua,
bahwa atas permohonan tersebut tidak ada sengketa dalam kepemilikannya;
ketiga, bahwa atas kenyakinan panitya permohonan tersebut dapat diberikan;
keempat, bahwa terhadap alat bukti yang dijadikaan alas hak untuk pengajuan
pendaftaran tidak ada orang yang berprasangka dan keberatan terhadap
kepemilikan pemohon tersebut. tujuannya untuk menjamin kepastian hukum
tanah yang didaftarkan ( pasal 19 UUPA). Boedi Harsono menyebut sebagai
Sistem negatif tendens positif.
b. Model karakter positif yang terlihat dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No.
24 tahun 1997, antara lain: a. PPAT diberikan tugas untuk meneliti secara
material dokumen-dokumen yang diserahkan dan berhak untuk menolak
pembuatan akta; b. pejabat yang berwenang ( petugas ) berhak menolak
melakukan pendaftaran jika pemilik tidak wewenang mengalihkan haknya; c.
Pemerintah menyediakan model – model akta untuk memperlancar mekanisme
tugas-tugas PPAT.
c. Adanya sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan, sebagai tanda bukti dan alat
pembuktian hak kepemilikan atas tanah.
Bentuk karakter negatif dinyatakan secara tegas dalam penjelasan pasal 32 PP No. 24 tahun
1997 yang menyatakan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan tidak menggunakan
sistem publikasi positif, namun negatif. Karakter negatif muncul karena tidak adanya
kompensasi yang diberikan apabila terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam rangka
penerbitan sertifikat hak atas tanahnya.
Sistem pendaftaran negatif merupakan warisan masa lalu yang berlangsung sampai saat ini.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda pendaftaran tanah dilakukan untuk tanah-tanah
yang tunduk terhadap hukum barat ( Belanda ) yang dilaksanakan oleh yang namanya
Kantor Kadaster ( Kantor Pertanahan ). Sesuai dengan tugas dari Kantor Kadaster dalam
melaksanakan kegiatan pendaftaran pada waktu itu, pendaftaran tanahnya berdasarkan Stbl.
1824 No. 27 jo. 1947 No. 53, dimana perjanjian obligatoir peralihan hak dilaksanakan
dengan segala bukti tertulis, akta Notaris, ataupun dibawah tangan yang disaksikan Notaris
dan kemudian oleh Kepala Kantor Kadaster yang merupakan seorang Pegawai Balik Nama
( Overschrijvingsambtenaar) beserta salah seorang pegawainya membuatkan akte
peralihannya. Baru didaftarkan pada daftar yang bersangkutan setelah kewajiban –
kewajiban pembayaran dilakukan lebih dahulu. Perubahan yuridis baru setelah Negara kita
merdeka dan setelah dikeluarkannya undang-undang pokok agraria ( UUPA) beserta
peraturan pelaksaannya sebagai pengganti atau mencabut ketentuan perundangan
sebelumnya yang dikeluarkan oleh pemerintah hindia Belanda terutama yang berhubungan
dengan tanah, seperti pencabutan ketentuan yang diatur dalam buku II BW ( burgelijk
Wetboek ) khusus yang mengatur mengenai tanah. tanda bukti kepemilikan hak atas tanah
yang berwujud Sertipikat baru muncul setelah terbitnya UUPA ( pasal 19 UUPA ) yang
ditindak lanjuti oleh PP. No. 10 tahun 1961 dan selanjutnya digantikan oleh PP. No. 24
tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Proses lavering terhadap tanah dengan hibah di bawah tangan dapat di laksanakan
mengingat Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 yang
secara tegas menyatakan bahwa pasal 1682 KUH Perdata tidak berlaku lagi. Dalam perihal
surat edaran tersebut menyebutkan gagasan bahwa KUH Perdata tidak sebagai undang-
undang melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok
hukum tak tertulis yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan
Tinggi Seluruh Indonesia. Sebagaimana dalam praktek peradilan khususnya dalam putusan
no.335 PK/Pdt/1987dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan bahwa Putusan Kasasi
Mahkamah Agung No.945 K/Pdt/1985 tertanggal 26 Agustus 1986 dibatalkan oleh Putusan
tersebut diatas. Kemudian dalam pertimbangannya juga mendasarkan kepada Surat Edaran
Mahkamah Agung RI No.3 Tahun 1963 bahwa Mahkamah Agung menganggap tidak
berlaku lagi pasal 1682 KUH Perdata yang mengaharuskan dilakukannya suatu penghibahan
dengan akta notaris.
4. Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Menurut
ketentuan pasal 1234 KUHPdt ada tiga kemungkinan wujud prestasi, yaitu (a) memberikan
sesuatu, (b) berbuat sesuatu, (c) tidak berbuat sesuatu.[3] Pengertian memberikan sesuatu
adalah menyerahkan suatu kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur,
misalnya dalam jual-beli, sewa-menyewa, hibah. Dalam perikatan yang objeknya “berbuat
sesuatu”, debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan,
misalnya melakukan perbuatan berupa membangun gedung. Kemudian dalam perikatan
yang objeknya “tidak berbuat sesuatu”, debitur tidak melakukan perbuatan yang telah
ditetapkan dalam perikatan, misalnya debitur tidak boleh melakukan aktivitas berjualan
selama perikatan berlangsung, jika perbuatan debitur berlawanan maka ia bertanggung
jawab karena telah melanggar ketetapanPrestasi adalah objek perikatan. Supaya objek itu
dapat dicapai, dalam arti dipenuhi oleh debitur, maka perlu diketahui sifat-sifatnya
sebagaimana tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata ayat (3), yaitu:Barang atau
perbuatannya harus sudah ditentukan Harus mungkin, artinya prestasi itu mungkin dipenuhi
oleh debitur secara wajar dengan segala usahanyam Harus diperbolehkan (halal), artinya
tidak bertentangan dengan agama dan undang-undang Harus ada manfaat bagi kreditur,
artinya kreditur dapat menggunakan dan memanfaatkannya.
Dari unsur-unsur prestasi dan pengertian prestasi tersebut pernajian di atas merupakan
perjanjian prestasi.
5. A. Perbedaan Hibah dan Wasiat dari Segi Pengertian
Hibah adalah sebuah akad yang dilakukan untuk menyerahkan hak miliknya kepada orang
lain sesuai dengan aturan yang sudah ditentukan. Hibah juga bisa diartikan sebagai hadiah
atau sumbangan yang merupakan bentuk penghormatan terhadap orang lain baik dalam
bentuk harta atau hal lainnya. Sedangkan wasiat secara harfiah berarti harta yang
ditinggalkan seseorang di dunia dikarenakan dia sudah meninggal dunia. Pemberian wasiat
juga harus dipertimbangkan dengan baik tanpa memberi pada ahli waris yang sudah
digariskan.
Dari pengertian tersebut maka terlihat jelas perbedaan hibah dan wasiat yaitu untuk hibah
penerimanya bisa mendapatkan kepemilikannya secara langsung setelah dihibahkan.
Namun untuk wasiat haruslah menunggu hingga pemberi wasiat sudah meninggal dunia.
Hal tersebut tentu harus diperhatikan dengan baik agar tidak sampai tertukar dan
menyebabkan masalah perdebatan di kemudian hari setelah adanya penyerahan baik hibah
maupun wasiat.
Dalam pembagian warisan tentu tidak boleh melanggar ketentun pembagian yang sudah ada
secara agama. Siapa saja yang bisa menjadi ahli waris dan berapa bagianya sudah diatur dan
anda hanya tinggal mengikuti aturan tersebut
Harus ada saksi yang mengikuti jalannya pemberian hibah atau warisan sehingga disahkan
secara bersama. Hal tersebut juga untuk memaksimalkan kesahannya karena disaksikan juga
oleh pihak lain yang bukan pemberi dan penerima hibah atau warisan
Dalam pembuatan surat wasiat atau hibah juga harus mengikuti bentuk surat yang sudah
ditentukan
Dititipkan kepada notaris adalah hal yang paling tepat sebagai perwakilan untuk
membicarakannya dengan keluarga atau ahli waris setelah pemberi wasiat sudah meninggal
Adanya persetujuan dari semua kerabat terdekat sesuai dengan keinginan pemberi hibah
atau warisan
Kasus II
1. Jaksa agung MA Rachman menerbitkan SP3 atas dasar SKL(surat keterangan lunas)
yang dikeluarkan BPPN berdasar Inpres No. 8/2002. SKL tersebut berisi tentang
pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaiakan
kewajibanya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham. Berdasaran Inpres
tersebut debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang walaupun hanya 30 persen
dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen
dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada bppn. Dari hal tersebut, Negara menanggung
kewajiban tersebut. Atas dasar bukti itu mereka yang diperiksa dalam penyedikan akan
mendapatkan surat perintah pengehentian perkara (SP3).
2. Kasus BLBI telah berjalan lebih kurang selama 10 tahun sejak krisis moneter tahun
1997/1998.
Langkah penegakan hukum yang dilakukan mengakibatkan pengambil kebijakan
pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dijatuhi hukuman. Sementara
dua direksi lain di-SP3-kan (surat perintah penghentian penyidikan) Kejaksaan Agung
(Kejagung) dan sejumlah penerima BLBI dihukumPemerintah menetapkan kebijakan
hukum dan menggunakan UU No 25/2000 tentang Propenas dan payung politik Tap
MPR untuk penyelesaian di luar pengadilan, diikuti Inpres No 8/2002 yang
mengesahkan MSAA, MRNIA, APU, dan SKL.Konsekuensi dari Inpres itu adalah
dihentikannya penyidikan kasus BLBI oleh Kejagung. Namun, penghentian itu tidak
merujuk pada ketentuan KUHAP atau UU Kejaksaan.Surat keterangan lunas (SKL)
terhadap obligor yang diharapkan kooperatif (melunasi kewajibannya) tidak memberi
hasil maksimal bagi kepentingan negara. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
pada 6 Mei 2008, membatalkan SP-3 Kejagung yang telah dikeluarkan atas nama kasus
SYN (BDNI) bertanggal 14 Juni tahun 2004, merupakan bukti bahwa payung hukum
itu tidak memenuhi asas kepastian hukum dan belum berpihak pada kepentingan
masyarakat luas. Sementara pengembalian atas kerugian negara tidak mencapai 10
persen dari total dana BLBI yang telah disalurkan.Menimbulkan ketidakadilan
Kepastian hukum dan keadilan dalam kebijakan hukum yang diambil pemerintah telah
menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian tersangka/terdakwa serta masyarakat luas,
bahkan tampak diskriminatif. Contoh nyata, mengapa obligor SYN dalam kasus BDNI
masih diberi kebebasan untuk ”buron” ke luar negeri dengan alasan kesehatan dan
mendapat izin Jaksa Agung, sedangkan tersangka/terdakwa lain tidak diberi perlakuan
sama dan tetap dikenakan penahanan serta dituntut secara pidana.Tertangkapnya UTG
dengan uang sekitar Rp 6 miliar dari Art tiga hari setelah diumumkan bahwa Kejagung
tidak menemukan unsur melawan hukum dalam kasus BDNI (SYN); dua kali
keterangan Glenn Yusuf (mantan Kepala BPPN) di hadapan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang mengakui adanya suap dalam kasus BLBI; serta rekaman
percakapan UTG dan Art, KyR dan Art, UUS dan Art yang dibuka dalam persidangan
terdakwa Art ditambah rencana penangkapan Art oleh Kejagung dengan sepengetahuan
Jaksa Agung membuktikan bahwa penegakan hukum kasus BLBI telah menciptakan
miscarriage of justice.Ini merupakan skandal besar kedua dalam sejarah penegakan
hukum di Indonesia setelah kasus dana BI. Rencana penangkapan Art oleh Kejagung
juga melanggar Pasal 50 UU KPK (2002) yang tegas melarang kejaksaan atau
kepolisian melakukan langkah hukum saat KPK sudah menangani kasus korupsi
itu.Inisiatif Kejagung memeriksa keterlibatan petinggi Kejagung dalam kasus UTG
tidak dapat menghapus citra negatif masyarakat. Maka, KPK seharusnya dapat
mengambil alih kasus BLBI dari Kejagung dan memeriksa petinggi Kejagung tersebut.
Analisis kasus BLBI Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia telah
menganalisis kasus BLBI. Kesimpulannya, pertama, kasus BLBI sarat muatan korupsi.
Kedua, KPK dapat mengambil alih kasus BLBI dari Kejagung. Kasus BLBI, terutama
pasca-Inpres No 8/2002, merupakan tindak pidana korupsi karena unsur melawan
hukum, memperkaya diri atau orang lain atau korporasi, dan kerugian negara telah
dipenuhi. Penyelesaian di luar pengadilan juga tidak membuahkan hasil signifikan bagi
kepentingan negara. Selain itu, tidak ada iktikad baik dari penerima BLBI, antara lain
nilai jaminan jauh lebih rendah dari nilai kewajiban yang seharusnya diselesaikan
kepada negara dan tidak kooperatif terhadap pemanggilan Kejagung.KPK dapat
mengambil alih dalam rangka supervisi (Pasal 9 juncto Pasal 8) dan merujuk Pasal 68
UU No 30/2002 tentang KPK. Tidak ada alasan bahwa KPK tidak dapat mengambil
alih kasus BLBI karena hukum acara pidana Indonesia (Pasal 284 Ayat 1 KUHAP)
tegas tidak mengakui asas nonretroaktif sepanjang terkait dengan kewenangan
menyidik dan menuntut perkara sebelum KUHAP terbentuk. Asas itu diakui dalam
proses kriminalisasi suatu perbuatan menjadi tindak pidana vide Pasal 1 Ayat (1)
KUHP.
Wewenang KPK mengambil alih perkara korupsi yang belum selesai penanganannya
tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan Perubahannya karena Pasal 28 I UUD 1945
dan Perubahannya tidak melarang wewenang retroaktif KPK. Jika ada pendapat KPK
tidak dapat mengambil alih kasus BLBI, jelas mereka tidak memahami sejarah hukum
pidana Indonesia sampai KUHAP diundangkan tahun 1981. Jika asas nonretroaktif
diterapkan pada masalah wewenang, akan terjadi stagnasi pemerintahan dan kinerja
penegakan hukum dari satu periode ke periode lain.