Keputusan itu mengejutkan karena MK dinilai berani di tengah makin menguatnya peran swasta
dalam pengusahaan air menjadi barang dagangan atau bisnis. Padahal, dalam konstitusi sudah
secara tegas dan jelas terang benderang bahwa air dikuasai oleh Negara.
Di sisi lain, keputusan ini juga membukakan mata pemahaman publik bahwa di tengah sorotan
pada MK terkait dengan sepak terjang pimpinannya terdahulu, lembaga tersebut terjerembap
pada citra yang agak buruk. Keputusan ini mendongkrak kembali kepercayaan publik pada MK.
Namun, di samping hal-hal yang positif dari keputusan itu, ada juga keprihatinan karena gugatan
ini baru diajukan dan baru diputuskan, padahal UU Nomor 7/2004 sudah berlaku 10 tahun.
Meski demikian, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Keputusan ini juga perlu menjadi bahan koreksi, evaluasi, dan introspeksi DPR RI dan
pemerintah yang membahas dan menyetujui pemberlakuan UU tersebut. Dengan membatalkan
seluruh isi UU, hal itu berarti bahwa seluruh pasalnya merugikan masyarakat dan bertentangan
dengan konstitusi.
Pertanyaaannya mengapa hal itu bisa terjadi? Bagaimana logika berpikir anggota parlemen yang
membahas rancangan UU ini bersama pemerintah waktu itu? Bukankah seluruh aturan hukum
yang disusun dan diberlakukan harus berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945?
Oleh karena itu, DPR dan pemerintah tampaknya perlu menjadikan keputusan MK ini sebagai
pelajaran yang sangat berharga agar tidak terulang kembali. Banyak kalangan yakin DPR dan
pemerintah tidak mau dipermalukan lagi secara telanjang di hadapan MK sehingga akan sangat
berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan kalimat pada pasal demi pasal di RUU yang sudah
masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan beberapa lembaga serta perseorangan mengajukan gugatan
terhadap UU tersebut karena dinilai telah membuka peluang privatisasi dan komersialisasi air.
Beberapa ketentuan dalam UU ini juga dikhawatirkan menimbulkan konflik masyarakat dengan
pelaku bisnis.
Menurut Muhammadiyah, air yang merupakan basic need dan public good seyogianya tidak
boleh diprivatisasi dan dikomersialisasi yang akhirnya berdampak pada harga tinggi dan
merugikan rakyat. Pertimbangan itu kemudian disepadankan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Pasal 33 UUD 1945 berbunyi: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
Pasal 3 berbunyi "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya secara tegas menyatakan bahwa UU Sumber
Daya Air (SDA) tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air.
Putusan Nomor 85/PUU-XII/2013 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada hari Rabu
(18/2) di Ruang Sidang Pleno MK.
"Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI,
Pemohon VII, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X, dan Pemohon XI untuk seluruhnya.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan UUD
1945," kata Arief.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa sumber daya air sebagai bagian dari hak asasi,
sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan
lainnya, seperti untuk pengairan pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan
industri, yang mempunyai andil penting bagi kemajuan kehidupan manusia dan menjadi faktor
penting pula bagi manusia untuk dapat hidup layak.
Hak penguasaan negara atas air itu dapat dikatakan ada bilamana negara, yang oleh UUD 1945
diberi mandat untuk membuat kebijakan (beleid), masih memegang kendali dalam melaksanakan
tindakan pengurusan (bestuursdaad), tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan
(beheersdaad) dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad)," katanya Wakil Ketua MK
Anwar Usman.
Enam Prinsip
Selain dua aspek tersebut, jaminan bahwa negara masih tetap memegang hak penguasaannya atas
air menjadi syarat yang tidak dapat ditiadakan dalam menilai konstitusionalitas UU SDA.
Jaminan ini terlihat dalam enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air.
Keenam prinsip dasar tersebut, pertama, \pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan
pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya
air, sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di atas
diperoleh langsung dari sumber air.
Kedua, konsep hak dalam hak guna air harus dibedakan dengan konsep hak dalam pengertian
umum dan haruslah sejalan dengan konsep "res commune" yang tidak boleh menjadi objek harga
secara ekonomi.
Ketiga, konsep hak guna pakai air dalam UU SDA harus ditafsirkan sebagai turunan (derivative)
dari hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945. Oleh karena itu, pemanfaatan air di luar hak guna
pakai air dalam hal ini hak guna usaha air harus melalui permohonan izin kepada pemerintah
yang penerbitannya harus berdasarkan pada pola yang disusun dengan melibatkan peran serta
masyarakat yang seluas-luasnya.
Itulah sebabnya, hak guna usaha air tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak penguasaan
atas sumber air, sungai, danau, atau rawa.
Hak guna usaha air merupakan instrumen dalam sistem perizinan yang digunakan pemerintah
untuk membatasi jumlah atau volume air yang dapat diperoleh atau diusahakan oleh yang berhak
sehingga dalam konteks ini izin harus dijadikan instrumen pengendalian, bukan instrumen
penguasaan.
"Dengan demikian, swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya
air, tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai
dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh Negara secara ketat," kata Hakim
Konstitusi Aswanto.
Keempat, hal lain yang dipertimbangkan MK terkait dengan prinsip "penerima manfaat jasa
pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan" harus dimaknai sebagai
prinsip yang tidak menempatkan air sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi. Dengan
demikian, tidak ada harga air sebagai komponen penghitungan jumlah yang harus dibayar oleh
penerima manfaat.
Di samping itu, prinsip ini harus dilaksanakan secara fleksibel dengan tidak mengenakan
perhitungan secara sama tanpa mempertimbangkan macam pemanfaatan sumber daya air. "Oleh
karena itu, petani pemakai air, pengguna air untuk keperluan pertanian rakyat dibebaskan dari
kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber daya air," kata Aswanto.
Kelima, terkait dengan hak ulayat masyarakat hukum adat yang masih hidup atas sumber daya
air diakui sesuai dengan Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945. Adanya ketentuan tentang pengukuhan
kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup melalui peraturan daerah harus dimaknai
tidak bersifat konstitutif, tetapi bersifat deklaratif.
Terakhir, pada prinsipnya pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan. Pemerintah hanya
dapat memberikan izin pengusahaan air untuk negara lain apabila penyediaan air untuk berbagai
kebutuhan sendiri telah terpenuhi.
Kebutuhan dimaksud, antara lain kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan,
industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olahraga, rekreasi
dan pariwisata, ekosistem, estetika, serta kebutuhan lain.
Untuk mencegah terjadinya kekosongan pengaturan mengenai pemanfaatan sumber daya air, MK
juga memerintahkan agar UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan diberlakukan kembali.
Pengelolaan sumber daya air (SDA) di dalam negeri mengalami perubahan yang sangat
berarti setelah Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 18 Pebruari lalu membatalkan UU
No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air. MK menilai pelaksanaan UU tersebut selama ini
bertentangan dengan semangat UUD 1945 yang menjamin hak penguasaan negara atas air
untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
MK dalam putusannya menilai bahwa UU tentang sumber daya alam tidak memenuhi enam
prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air sebagaimana diatur dalam UUD
1945.Permohonan pengujian sejumlah pasal dalam UU SDA diajukan oleh organisasi masyarakat
dan sejumlah tokoh masyarakat.
Pembatalan UU yang sudah berjalan selama 10 tahun itu tentunya memiliki konsekuensi
mengingat pengelolaan sumber daya air di dalam negeri telah menjadi suatu bisnis dan juga
berkaitan erat dengan kegiatan bisnis di sektor minuman.
Pasalnya, dengan pembatalan UU tersebut, kerja sama antara pemerintah dan swasta (KPS)
dalam penyelenggaraan sistem penyediaan air minum menjadi kehilangan landasan hukumnya.
Konsekuensinya, kerja sama yang selama ini terjalin antara pemerintah dan swasta terancam
tidak lagi dapat dilanjutkan, sebab MK mengharuskan pengelolaan SDA diprioritaskan pada
BUMM atau BUMD.
Penerapan UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) memang sejak lama
menjadi perdebatan banyak pihak. Sejumlah kalangan menilai UU ini sangat pro asing karena
investor asing diperbolehkan untuk mengelola sumber daya air di dalam negeri. Padahal, pasal
33 UUD 1945 menyebutkan kalau bumi dan isinya dikuasai oleh engara dan dipergunakan
seperlunya untuk kepentingan rakyat.
Keputusan telah diambil MK dan semua pihak tentunya harus menghormati keputusan tersebut.
Namun, pemerintah juga harus mampu menjaga iklim investasi di Indonesia, khususnya apda
sektor usaha yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air.
Pemerintah harus mengeluarkan payung hukum yang baru agar kegiatan uasha yang berkaitan
dengan pengendalian dan pasokan sumber daya air di dalam negeri bisa tetap berjalan dengan
baik.
Payung hukum yang abru itu sangat diperlukan karena saat ini sudah banyak investor lokal
maupun asing yang sudah menanamkan investasinya dan menyerap banyak tenaga kerja dan
memberikan kontribusi bagi peningkatan kegiatan ekonomi di dalam negeri. Jangan sampai
karena keputusan MK tersebut, iklim investasi di dalam negeri mengalami kemunduran dan
berakibat negatif bagi penyerapan tenaga kerja dan peningkatan ekonomi nasional.
jakarta,TarungNews.com - RPP Pengusahaan Sumber Daya Air dilatarbelakangi
oleh beberapa hal seperti kondisi sumber daya air yang terbatas dan dapat berpotensi
menimbulkan konflik.
Untuk itu dibutuhkan pengaturan perizinan dan alokasi air, kebutuhan manusia tidak
sekedar primer, namun berkembang pada kebutuhan sekunder seperti kegiatan
pengusahaan SDA dan penyelenggaraan perizinan pengusahaan SDA dengan
melindungi hak rakyat atas air.
Serta, kebutuhan pokok minimal sehari-hari wajib dipenuhi oleh pemerintah dan
menjadi prioritas utama, perizinan dalam pengelolaan SDA merupakan instrumen
pengendali dan hak ulayat masyarakat hukum adat tepat diakui.
Beberapa waktu yang lalu Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa UU No. 7
Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan UUD 1945 dan
dibatalkan. Dengan dibatalkannya UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
maka MK memutuskan UU No. 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan berlaku kembali.
Lanjut Arie, dengan adanya keputusan MK tersebut, maka ini merupakan momentum
untuk mengembalikan hak-hak kepada negara sehingga Direktorat Jenderal SDA akan
makin kuat untuk pengelolaan sumber daya air.
“Inti dari pembatalan tersebut adalah mengenai pengusahaan air dan hak guna air
yang ada di dalam beberapa pasal di UU No. 7 tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.
Dan masa tersebut dianggap terlalu condong untuk komersialisasi air dan
menghilangkan peran pemerintah untuk menyediakan air,” kata Arie Setiadi
Moerwanto.
MK mensyaratkan bahwa ada 6 prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya
air, yaitu pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengenyampingkan dan
meniadakan hak rakyat atas air; perlindungan negara terhadap hak rakyat atas air;
kelestarian lingkungan hidup sebagai salah satu hak asasi manusia; pengawasan dan
pengendalian oleh negara atas air bersifat mutlak; prioritas utama pengusahaan atas
air diberikan kepada BUMN/BUMD; pemberian izin pengusahaan SDA kepada usaha
swasta dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. Prinsip-prinsip tersebut
dipenuhi dan masih terdapat ketersediaan air.
Salah satu nara sumber yang hadir adalah Sri Edi Swasono, Guru Besar UI,
mengatakan bahwa sesuai dengan UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan,
pengusahaan sumber daya air harus mengikuti tiga ketentuan yaitu pengusahaan air
dan atu sumber-sumber air yang ditujukan untuk meningkatkan kemanfaatannya bagi
kesejahteraan rakyat pada dasarnya dilakukan oleh pemerintah, baik pusat maupun
daerah; badan hukum, badan sosial dan atau perorangan yang melakukan pengusahaan
air dan atau sumber-sumber air harus memperoleh izin dari pemerintah dengan
berpedoman pada azas usaha bersama dan kekeluargaan dan pelaksanaan pasal ini
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
“Setelah UU SDA ditolak oleh MK maka konsepsi Triple-Co menjadi relevan untuk
diterapkan demi “meredam” kegiatan the capitalistic greed dan eksploitatif yang
sebenarnya bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Triple-Co yaitu prinsip
co=ownership (pemilikan bersama), co-determination (penentuan/putusan bersama)
dan co-responsibility (tanggungjawab bersama),” kata Sri Edi Swasono (tin/anj/ind)
Editor : Dar,tarungnews.com