Anda di halaman 1dari 4

Rancangan peraturan pemerintah (RPP) air minum yang disusun Kementerian PUPR pasca

Pembatalan UU No.7 Tahun 2014 tentang Sumber Daya Air tetap akan melibatkan swasta. Hal
tersebut disampaikan Direktur Pengembangan Air Minum Kementerian PUPR M.Natsir dalam
diskusi tentang tata kelola air yang digelar Investor Daily di Jakarta, Rabu (20/5).

Natsir menjelaskan, RPP yang disusun terdiri dari dua bagian, yaitu untuk di hulu tentang
pengusahaan tata kelola air, dan kedua di hilir yang mengatur tentang sistem pengembangan air
minum. Swasta dalam hal ini tetap bisa berkontribusi namun secara parsial. “Yang tidak boleh
swasta itu apabila mengusasi dari hulu sampai hilir,” kata Natsir.

Saat ini lanjut Natsir, proses RPP sudah sampai tahap harmonisasi lintas kementerian untuk
kemudian nanti ditetepkan. Meskipun demikian, masih terbuka untuk masukan dan juga kritikan
dari draft RPP tersebut. “Dalam tahap harmonisasi ini masih sangat terbuka untuk masukan.
Nanti juga akan kita koordinasikan ke Kemenko,” katanya.

Menanggapi amanat MK agar pemerintah pusat dan daerah melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan kerjasama untuk memnuhi hak rakyat atas air, Nasir mengakui selama ini
kontrak-kontrak bersama antara Pemda maupun BUMN, BUMD dengan swasta belum ada
standarisasinya.

“Jadi dalam rangka pengawasan diperlukan standarisasi supaya bentuknya dan hak dan
kewajibannya bisa seimbang dan tidak beragam antara satu kontrak dengan kontrak yang lain,”
kata Nasir.

Nasir menambahkan, disamping dua PP yang disapkan, pihaknya juga menyiapkan 21 peraturan
menteri PUPR dalam hal Sumber Daya Air dan 10 aturan turunan untuk penyelenggaraan
SPAM.

Sebelum PP ini berjalan sudah ada surat edaran dari Menteri PU sebagai dasar hukum yang
diterbitkan dalam rangka keputusan MK pada Maret 2015. Intinya ada dua, pertama izin
pemanfaatan sumber daya air akan ditinjau kembali sesuai dengan enam prinsip dasar yang
ditetapkan oleh MK. Kedua, kerjasama dengan badan usaha swasta yang selama ini masih
berjalan dilakukan negosiasi dengan mendasarkan kembali pada enam digit prinsip yang
ditetapkan oleh MK.

Dalam amar putusannya MK menegaskan adanya enam prinsip sehubungan dengan pembatalan
UU 7/2004 yaitu:

1. Pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak
rakyat atas air;

2. Negara harus memenuhi hak rakyat atas air. Akses terhadap air adalah salah satu hak asasi
tersendiri;

3. Kelestarian lingkungan hidup, sebagai salah satu hak asasi manusia, sesuai dengan Pasal 28
ayat (1) UUD 1945;
4. Pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak;

5. Prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD;

6. Pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk
melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu. (Dvt)

Pengelolaan Air Bersih Kembali ke Pemprov DKI

Rabu, 25 Maret 2015 lalu Kompas menurunkan judul tersebut di Rubrik Metropolitan.
Pada berita tersebut diungkapkan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
memutuskan bahwa pengelolaan air bersih di DKI Jakarta yang selama ini dikelola oleh
swasta harus dikembalikan kepada pemerintah.

Pada berita tersebut juga disebutkan bahwa perjanjian kerjasama antara PAM Jaya
dengan Palyja dan Aetra batal dan tidak lagi berlaku. Beberapa hari kemudian, tepatnya
Selasa 31 Maret 2015, pada surat kabar yang sama, diberitakan bahwa operator air di
Jakarta tersebut melakukan banding.

Isu mengenai pengelolaan air bersih oleh swasta sepertinya terus bergulir. Apalagi
setelah diputuskan pembatalan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air (SDA) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada pertengahan Februari
2015 lalu. Pembatalan UU tersebut mengharuskan pemerintah lebih banyak terlibat
dalam pengelolaan air bersih.

Saat ini air bersih di beberapa wilayah memang masih dikelola oleh perusahaan
swasta. Selain di DKI Jakarta yang air bersihnya dikelola oleh perusahaan swasta
Palyja dan Aetra, di Palembang ada juga Adhya Tirta Sriwijaya (ATS) yang mengelola
air bersih di salah satu kecamatan.

Bila ditotal ada cukup banyak perusahaan air swasta yang ada di Indonesia. Selain di
Jakarta dan Palembang, Provinsi Banten juga memiliki perusahaan air minum swasta.
Provinsi tersebut bahkan memiliki lebih dari 10 perusahaan pengelolaan air bersih
swasta yakni PT. Sauhbahtera Samudera, PT. Jaya Mitra Sarana, PT. Aetra Air
Tangerang, PT. Bintang Hytien Jaya, PT. Alfa Goldlain Realty, PT. Jaya Real Property,
PT. Bumi Serpong Damai, PT. Sarana Tirta Rejeki, PT. Sentra Asritama Realty
Development, PT. Jakartabaru Cosmopolitan, dan PT. Krakatau Tirta Industri (Sumber:
Perpamsi)

Selain di daerah tersebut ada beberapa perusahaan air lain yang juga dikelola oleh
swasta. Salah tiganya adalah PT. Air Manado di Kota Manado, Sulawesi Utara, PT.
War Besrendi di Biak, Papua, dan PT. Adhya Tirta Batam (ATB) di Batam, Kepulauan
Riau. ATB bahkan mengelola air bersih sekaligus mendistribusikan air tersebut ke
seluruh pelanggan di Pulau Batam. ATB juga mengutip tagihan secara langsung
kepada pelanggan dan memiliki wewenang untuk mengalokasikan anggaran untuk
pembangunan infrastruktur maupun biaya operasional lainnya.
Saat ini ada sekitar 40 perusahaan air swasta di Indonesia. Mereka bahkan membuat
organisasi tersendiri yang bernama Forum Komunikasi Air Minum Swasta (Forkasta).
Ada sekitar 35 perusahaan air minum swasta di Indonesia yang bernaung di forum
tersebut.

Sebenarnya apa sih kelebihan dan kekurangan bila pengelolaan air dikelola oleh
swasta?

Tidak Mendapat dana dari APBN/APBD

Perusahaan air minum yang dikelola oleh swasta (umumnya) tidak mendapat bantuan
dana operasional dari pemerintah. Mereka benar-benar membiayai operasional dari
“kantong sendiri” – meski mungkin sebagian dari mereka mengajukan pinjaman dari
lembaga keuangan seperti bank.

Untuk Kota Batam sebenarnya pemerintah mengucurkan dana yang cukup besar untuk
membangun dam sebagai tempat menampung air hujan yang nantinya akan digunakan
sebagai air baku. Batam memiliki enam dam – dan jumlahnya akan bertambah menjadi
tujuh bila Dam Tembesi sudah beroperasi.

Saya tidak tahu berapa biaya pembangunan setiap dam di Kota Batam. Hanya saja
sebagai gambaran, untuk membangun Dam Tembesi yang berkapasitas 600 liter/detik
pemerintah harus mengucurkan dana dari APBN sekitar Rp190 milliar. (Sumber:
http://haluankepri.com/batam/66338-biaya-dam-tembesi-rp190-m.html).

Dam yang dibangun tersebut dibawah kendali BP Batam. Setiap kali mengambil air
baku yang akan diolah menjadi air bersih, pengelola air bersih swasta harus membayar
ke BP Batam. Saat ini untuk setiap 1m3 air baku, operator air swasta dibebankan biaya
Rp150. Harga tersebut tentu nantinya akan dikalkulasikan dan dibebankan kepada
pelanggan.

Pada satu sisi, sistem kerjasama tersebut cukup menguntungkan pemerintah.


Pemerintah tidak harus merogoh uang untuk biaya operasional pengolahan dan
pendistribusian air bersih, namun kebutuhan air bersih masyarakat tetap terlayani.
Hanya saja, karena perusahaan tersebut tidak (secara langsung) menggunakan uang
dari APBN/APBD, saat ada dana yang digunakan secara menyimpang lembaga rusuah
tidak dapat bertindak.

Dulu sempat ada kasus penggelapan uang yang dilakukan salah satu karyawan
operator perusahaan air swasta di Batam. Kasusnya tetap diusut, hanya saja
pengusutan dilakukan seperti umumnya penggelapan uang yang terjadi diperusahaan
pada umumnya. Perusahaan melapor, oknum tersebut disidang, kemudian setelah
terbukti baru dijatuhi hukuman. Tidak ada campur tangan dari lembaga pemerintah
seperti KPK dll.

Investasi Cenderung Lebih Cepat


Pengelola air bersih yang mendapat mandat (hampir) penuh bisa lebih leluasa untuk
mengalokasikan dana yang mereka miliki untuk membangun infrastruktur karena tidak
ada campur tangan dari pihak lain (misalkan walikota atau DPRD) untuk mendiskusikan
pembangunan apa yang harus lebih dulu dilakukan. Apalagi bila pengeloaan air bersih
tersebut sama sekali tidak menggunakan dana APBD/APBN.

Bila dirasa perlu menambah jaringan pipa, mereka tinggal menambah, Bila perlu
membeli alat untuk pengolahan air, mereka tinggal membeli, bila perlu membangun
infrastruktur, tinggal membangun. Tidak harus menunggu “ketok palu” terlebih dahulu.

Lebih Leluasa Merekrut Personel

Perusahaan swasta umumnya lebih leluasa merekrut karyawan sesuai dengan keahlian
mereka. Karyawan diperusahaan tersebut juga umumnya lebih ramping dibanding
perusahaan air yang bernaung di BUMD. Gaji mungkin menjadi alasan mengapa
mereka menerapkan sistem kepegawaian yang efektif.

Perusahaan air swasta di Batam saat ini rasio pegawainya mencapai 2,3 per 1.000
pelanggan. Padahal rasio nasional berada diangka 6,3 per 1.000 pelanggan. Mungkin
perusahaan berpikir, semakin sedikit karyawan, dana yang dikeluarkan untuk gaji akan
semakin sedikit. Sehingga, dana tersebut dapat dialokasikan untuk keperluan lain.

Mungkin ada K’ers lain yang mau menambahkan perbedaannya? Salam Kompasiana!

Anda mungkin juga menyukai