Anda di halaman 1dari 3

Salah Pemahaman Tata Kelola Air

oleh Bosman Batubara · April 2, 2015

Akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 85/PUU-XII/2013 membatalkan


secara keseluruhan Undang-Undang (UU) Sumberdaya Air (SDA) 7/2004. Di satu sisi, itu
membahagiakan karena telah memotong agenda neoliberal mengkomoditisasi. Di sisi lain,
adanya “salah pemahaman” terhadap tata kelola air menyebabkan potensi teoritisasi
secara radikal dan emansipatoris dalam sektor tata kelola air, hilang. Tulisan ini berjuang
menjelaskannya.

Putusan MK Nomor 85/PUU-XII/2013 mengidap salah pemahaman yang konsepsional. Dari


beberapa bagian yang tersurat dalam putusan MK ini, secara analitik terlihat bahwa ia
mengandaikan pengelolaan negara melalui Badan Usaha Milik Negara/Daerah(BUMN/D) adalah
antitesis terhadap tata kelola oleh swasta (private).

Privatisasi dalam sektor air berlangsung karena air yang merupakan milik bersama (common
good) dijadikan milik swasta, yakni satu atau sekelompok orang dalam bentuk perseroan atau
kongsi dagang. Inilah yang terjadi dengan perusahaan air, misalnya, Aqua Danone.

Kesalahpemahaman konsepsional pada putusan MK Nomor 85/PUU-XII/2013 terlihat pada


halaman 19 putusan a quo,“Tanggung jawab penyelenggaraan pengembangan sistem
penyediaan air minum pada prinsipnya adalah tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah
Daerah. Peran serta koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat hanyalah bersifat terbatas
dalam hal Pemerintah belum dapat menyelenggarakan sendiri, dan Pemerintah masih tetap
memungkinkan menjalankan kewenangannya dalam pengaturan, pelaksanaan, dan pengawasan
dalam pengelolaan sumberdaya air secara keseluruhan[sic].” Petikan ini berasal dari putusan
MK 008/PII-III/2005, merupakan putusan terhadap UU yang sama yang dikutip kembali oleh
para pemohon dan kemudian dikabulkan sepenuhnya oleh putusan MK Nomor 85/PUU-
XII/2013.

Kesalahpemahaman serupa muncul pada halaman 20 dalam kritik terhadap Peraturan Pemerintah
(PP) 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), dimana dalam
Pasal 1 butir 9 PP a quo menyatakan bahwa “Penyelenggara pengembangan SPAM adalah
BUMN/BUMD, koperasi, badan usaha swasta, atau kelompok masyarakat”. Oleh putusan MK
Nomor 85/PUU-XII/2013 ini dinyatakan sebagai (jalan menuju) “swastanisasi terselubung”
(hlm. 20).

Teori yang dianut oleh putusan MK Nomor 85/PUU-XII/2013 melihat air sebagai milik bersama.
Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa kontra tata kelola oleh swasta bukanlah tata kelola
oleh negara, namun tata kelola bersama.
Pendapat ini bisa diuji dengan cara melihat tingkat peran kunci rakyat dalam spektrum tata kelola
air. Tata kelola oleh swasta seperti Aqua Danone memposisikan rakyat sebagai pembeli.
Sementara tata kelola Public-Private-Partnership (PPP) seperti di Jakarta, juga sama,
menjadikan rakyat sebagai pembeli. Dalam sistem tata kelola air, “public” diartikan sebagai
“negara”. Dan dalam sistem PPP, negara hadir dalam bentuk BUMD yang bermitra dengan
sektor swasta. Peran negara semakin kuat dalam tata kelola oleh “public” atau “negara” dimana
pengelolaan dilakukan oleh BUMD. Inilah yang terjadi dengan 400-an Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) di Indonesia milik pemerintah daerah.

Lantas, dalam spektrum ini di mana posisi “tata kelola bersama” atau “common-pool”? Belum
ada. Karena yang dibayangkan sebagai “common-pool” dalam spektrum di atas adalah PDAM.
Kenyataannya, PDAM dikelola oleh BUMD. Dan PDAM bukan tata kelola bersama, karena ia
juga hanya memposisikan rakyat sebagai pembeli, bukan pengelola, apalagi pemilik.

Seperti apa tata kelola “common-pool” atau “milik bersama” itu? Tiada lain tiada bukan, ia
adalah kooperasi. Dikatakan demikian, karena dalam kooperasi kepemilikan sebuah usaha ada
pada semua anggotanya yang juga memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan. Demikian
juga dalam pembagian keuntungan dimana para anggota bisa mendapatkan keuntungan usaha
milik bersama ini melalui skema pembagian “sisa hasil usaha” yang biasanya diadakan setahun
sekali.

Di titik ini kesalahan pemahaman yang diidap oleh kedua putusan MK di atas menjadi jelas.
Putusan MK Nomor 008/PII-III/2005 menggandengkan kooperasi dan swasta dalam anak
kalimat “Peran serta koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat hanyalah bersifat
terbatas.” Sementara putusan MK Nomor 85/PUU-XII/2013 memperjelas bahwa menurut MK
“koperasi, badan usaha swasta, atau kelompok masyarakat” adalah (jalan menuju) “swastanisasi
terselubung.” Jadi, kooperasi bagi putusan MK Nomor 85/PUU-XII/2013 di atas adalah swasta,
yang kalau kita lihat dari uraian tingkat peran kunci rakyat di atas, jelas salah. Karena, justru
dalam bentuk kooperasilah rakyat memiliki peran paling strategis.

II

Mengapa kesalahpemahaman demikian bisa terjadi? Kesalahan ini sangat lazim ditemukan
dalam korpus yang membahas tata kelola air minum di seluruh dunia, dan mungkin juga dalam
sektor tata kelola sumberdaya alam yang lain seperti hutan, mineral, dan migas. Untuk kasus
Indonesia, penulis berpendapat bahwa pengalaman 32 tahun Orde Baru, di mana kooperasi
menjadi institusi ekonomi yang busuk dan korup seperti yang banyak terjadi dengan Koperasi
Unit Desa (KUD) yang menjadi instrumen ideologisasi-represi negara di tingkat desa sekaligus
sebagai alat korupsi elit-elit desa yang busuk, telah mempersiapkan semuanya. Praktik jelek
Orde Baru berujung trauma ini, disadari atau tidak, terendapkan dalam sedimen pengetahuan
kita, bahkan dalam dokumen negara hingga tingkat putusan MK.

Yang terakhir disebutkan, pada gilirannya, membuat kita kehilangan potensi teoritisasi secara
radikal dan emansipatoris dari tata kelola “milik bersama,” yang dalam konteks ini adalah
kooperasi air. Pertama, kita kehilangan kesempatan pendidikan ideologis yang luas andaikata air
minum dikelola secara bersama dalam bentuk kooperasi. Karena rakyat, konsumen sekaligus
anggota dan pemilik kooperasi, jelas akan memberlakukan kontrol yang ketat terhadap
kooperasinya. Secara teoritis, ini akan menyelesaikan pekerjaan besar: korupsi dan kolusi yang
menjamur di tubuh PDAM-PDAM di Indonesia. Muaranya adalah pelayanan yang lebih baik.

Kedua, anggota kooperasi akan bergerak mempertahankan kooperasinya dari proses privatisasi
neoliberal, seperti yang dicoba dipotong oleh MK melalui putusan Nomor 85/PUU-XII/2013. Ini
rasional karena para anggota kooperasi akan menolak usaha bersamanya diswastanisasi.

Ketiga, kita kehilangan ruang teoritis mematerialkan bagian “dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat” dari UUD 1945. Karena, indikator “dipergunakan sebesar-besar
untuk kemakmuran rakyat” yang berhasil dirumuskan MK dalam putusan No. 3/PUU-
VIII/2010adalah: 1) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; 2) tingkat pemerataan manfaat
sumber daya alam bagi rakyat; 3) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat
sumberdaya alam; serta 4) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam
memanfaatkan sumberdaya alam (Arizona 2014, 253).

Untuk poin terakhir, tata kelola bersama atau kooperasi memungkinkan terpenuhinya ke-empat
tolok ukur yang dikembangkan MK atas “dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran
rakyat” karena dalam kooperasi air manfaat bagi, pemerataan untuk, peran kunci oleh, dan
penghormatan terhadap rakyat berada pada tingkat yang sebesar-besarnya mengacu pada
spektrum “private, PPP, public, dan common-pool” yang dijelaskan di atas. Dengan demikian,
agenda progresif penyusunan UU di sektor sumberdaya air ke depan adalah menemukan kembali
hal yang hilang ini.

Penulis adalah mahasiswa doktoral UNESCO-IHE, Institute for Water Education, Delft, The
Netherland.

Anda mungkin juga menyukai