Anda di halaman 1dari 115

KEKUATAN HUKUM SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK

TANGGUNGAN (SKMHT) SETELAH JANGKA WAKTUNYA


BERAKHIR PADA TAKE OVER (PERALIHAN KREDIT) HAK ATAS
TANAH TERDAFTAR (SERTIFIKAT) DI PT. BANK ARTHA
GRAHA INTERNASIONAL, Tbk CABANG PEKANBARU

Oleh
Susi Triana
Nim : 1620123060

Tesis

DOSEN PEMBIMBING

1. DR. YULFASNI SH., MH


2. SYAHRIAL RAZAK SH., MH

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2018
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : SUSI TRIANA

NIM : 1620123060

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Dengan ini menyatakan bahwa, tesis yang saya tulis ini dengan judul Kekuatan Hukum Surat

Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Setelah Jangka Waktunya Berakhir

Pada Take Over (Peralihan Kredit) Hak Atas Tanah Terdaftar (Sertifikat) Di PT. Bank

Artha Graha Internasional, Tbk Cabang Pekanbaru adalah hasil karya saya sendiri dan bukan

merupakan jiplakan dari asli karya orang lain, kecuali kutipan dan sumbernya yang dicantumkan.

Jika kemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka status kelulusan dan gelar yang saya peroleh

menjadi batal dengan sendirinya.

Padang, 09 Juli 2018

Yang membuat pernyataan,

SUSI TRIANA
NIM: 1620123060
Bismillahirrohmaanirrohiim...

Segala puji dan syukur kupersembahkan bagi yang Maha Besar Allah Swt,
dengan rahman rahim yang menghampar melebihi luasnya angkasa raya. Dzat yang
menganugerahkan kedamaian bagi jiwa-jiwa yang senantiasa merindu akan kemaha
besaran-Nya.

Lantunan sholawat beriring salam , tidak lupa kupersembahan penuh


kerinduan pada sang revolusioner Islam, pembangun peradaban manusia yang
beradab Habibana wanabiyana Muhammad SAW...

Alhamdulillah maha besar Alloh, sembah sujud sedalam qalbu hamba


haturkan atas karunia dan rizki yang melimpah, kebutuhan yang tercukupi, dan
kehidupan yang layak.

Pada akhirnya tugas akhir (tesis) ini dapat diselesaikan dengan baik dan
bila meminjam pepatah lama “Tak ada gading yang tak retak” maka sangatlah pantas
bila pepatah itu disandingkan dengan karya ini. Karya ini merupakan wujud dari
kegigihan dalam ikhtiar untuk sebuah makna kesempurnaan dengan tanpa berharap
melampaui kemaha sempurnaan sang maha sempurna.

Dengan hanya mengharap ridho-Mu semata, ku persembahkan karya ini


untuk yang terkasih bapak ,mamak ,keluarga beserta buk Affin yang doanya
senantiasa mengiringi setiap derap langkahku dalam meniti kesuksesan.

Untuk mu teman, sungguh kebersamaan yang kita bangun selama ini telah
banyak merubah kehidupanku. Kemarahanmu telah menuntunku menuju kedewasaan,
senyummu telah membuka cakrawala dunia dan melepaskan belenggu-belenggu
ketakutanku, tetes air mata yang mengalir di pipimu telah mengajariku arti
kepeduliaan yang sebenarnya, dan gelak tawamu telah membuatku bahagia. Sungguh
aku bahagia bersamamu, bahagia memiliki kenangan indah dalam setiap bait pada
paragraf kisah persahabatan kita. Bila Tuhan memberikanku umur panjang, akan aku
bagi harta yang tak ternilai ini (persahabatan) dengan anak dan cucuku kelak.

Untuk mu Guru-guruku; semoga Alloh selalu melindungimu dan meninggikan


derajatmu di dunia dan di akhirat, terima kasih atas bimbingan dan arahan selama
ini. Semoga ilmu yang telah diajarkan menuntunku menjadi manusia yang berharga di
dunia dan bernilai di akhirat. Alhamdulillahi robbil „aalamiin...

“Ya Alloh, jadikanlah Iman, Ilmu dan Amal ku sebagai lentera jalan hidupku
keluarga dan saudara seimanku”
KATA PENGANTAR

Bismilahirahmanirrahim...

Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa telah memberikan rahmat serta

hidayah-Nya kepada penulis untuk menjalankan segala aktifitas sebagaimana biasanya.

Dengan melewati jenjang yang melelahkan dan waktu yang panjang akhirnya penulis

dapat menyelesaikan Tesis ini dengan Judul “Kekuatan Hukum Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Pada Take Over (Peralihan Kredit) Hak Atas

Tanah Terdaftar (Sertifikat) di PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk Cabang

Pekanbaru”.

Penulisan Tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat mencapai

gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Andalas. Penulis

sadar bahwa tanpa bantuan dan bimbingan berbagai pihak, tesis ini tidak akan dapat

diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih

sebesar-besarnya kepada pembimbing penulis, Ibu Dr. Hj. Yulfasni, SH., MH, selaku

Pembimbing I dan Bapak H. Syahrial Razak, SH., MH, selaku Pembimbing II yang telah

bersedia meluangkan waktu, memberi arahan, masukan, memeriksa, mengoreksi dan

saran-saran dalam tulisan ini, sehingga penulis dapat merampungkan tesis ini.

Tesis ini dapat menjadi lebih baik berkat masukan dan saran-saran dari para penguji

sejak seminar proposal hingga ujian hasil tesis, untuk itu penulis mengucapkan terima

kasih kepada Bapak Dr. Rembrandt, SH, M.Pd dan Ibu Dr. Khairani, SH., MH.
Tidaklah berkelebihan kiranya pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya atas saran dan pikiran kepada segenap pihak yang turut

membantu penulis dalam menyelesaikan pendidikan Pascasarjana ini, kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Tafdil Husni, SE, MBA selaku Rektor Universitas Andalas, yang

telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan dan menjadi

salah satu mahasiswa pada Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas

Andalas.

2. Bapak Prof. Dr. H. Zainul Daulay, SH., MH, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Andalas, yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan kepada

penulis dalam mempersiapkan tesis ini.

3. Bapak Dr. Azmi Fendri, SH., M.Kn, selaku Ketua Prodi Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Andalas, yang telah memberikan bimbingan, pengajaran

kepada penulis dalam mempersiapkan dan menyelesaikan tesis ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Andalas, yang telah memberikan bimbingan serta ilmu pengetahuan

kepada penulis, sehingga penulis mendapatkan tambahan ilmu dan wawasan selama

penulis menjalankan perkuliahan.

5. Bapak dan Ibu Staf atau pegawai perpustakaan, serta staf atau pegawai Tata Usaha

Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Andalas,

yang telah memberikan kemudahan dalam pelayanan administrasi yang tulus selama

penulis mengikuti perkuliahan.

6. Bapak Hamler SH, MH, M.Kn selaku teman senior yang selalu sempat meluangkan

waktunya untuk membantu penulis dalam merampungkan tesis ini.


7. Teman-teman penulis angkatan Tahun 2016, kelas Mandiri A dan kelas Mandiri B

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

8. Teman-teman seperjuangan dalam menempuh perjalanan Pekanbaru-Padang tiap

minggunya untuk memperoleh ilmu dibidang kenotariatan, yang terutama kepada

abang Aswandi, Bayu Nofyandri Surbakti, Richad Sahat Silitonga, Eko Permana,

Dwi Weka Wirawan, Vila Novita Syahputri, Ucha Hadi Putri, Reza Azurma, Eko

Afrianto,

9. Pimpinan Kantor penulis Ibu Affin, SH, rekan-rekan kerja penulis Ibu Mariana,

Auriawati, Febria Susanti, SH, Novi Yanti, SH, Vandy Sunata, SH., M.Kn,

Wayandra Dwi Yulisa, A.Md Lisa Septiani, Yelvi Usmagustri atas support yang

diberikan dan kerjasamanya.

Serta tak lupa penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada

keluarga, yaitu kepada ayahanda penulis Bapak Tugiyono, yang telah merawat,

membesarkan, serta memberi support dan semangat baik secara moril maupun materiil

hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan hingga jenjang Strata 2 dan doa buat

ibunda penulis almarhumah Ernawati, kepada Doni Sandika dan adik penulis Febria

Susanti, SH atas support dalam menyemangati penulis menyelesaikan pendidikan Strata 2

ini untuk menjaga buah hati penulis Lyona Gita Desandika selama penulis menempuh

pendidikan di Universitas Andalas.

Dengan penuh keinsyafan penulis menyadari bahwa didalam penulisan tesis ini

masih terdapat kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan, baik dari segi bahasa

maupun pembahasannya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan penulis


sendiri. Oleh karena itu dengan lapang dada penulis mengharapkan kritik maupun saran

yang bersifat membangun dari semua pihak, demi kesempurnaan tesis ini.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih terhadap semua pihak, semoga kita

semua senantiasa mendapat Rahmad dan Hidayah dari Allah SWT dengan segala apa

yang telah kita lakukan.

Pekanbaru, Juli 2018

SUSI TRIANA
Kekuatan Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Setelah
Jangka Waktunya Berakhir Pada Take Over (Peralihankredit) Hak Atas Tanah
Terdaftar (Sertifikat) di PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk Cabang
Pekanbaru

Susi Triana di bawah bimbingan


Dr. Yulfasni, SH., MH dan Syahrial Razak, SH., MH
Program Pascasarjana Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2018

ABSTRAK

Saat ini lembaga perbankan sangat diminati oleh masyarakat dalam hal penyediaan dana.
Selain berfungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat juga dapat menyalurkan kredit
kepada pihak yang membutuhkan. Salah satu jasa layanan perbankan yang banyak
ditawarkan adalah dalam bentuk take over. Kata Take over adalah istilah yang saat ini
sering dipakai dalam perbankan artinya pihak ketiga (kreditur baru) memberikan kredit
baru kepada debitor untuk melunasi hutang/kredit debitor kepada pihak kedua (kreditor
awal) sehingga kedudukan pihak ketiga menggantikan pihak kedua. Setelah pihak kedua
menyetujui debitor untuk melunasi kreditnya pada hari yang telah disepakati, proses take
over dapat dilaksanakan. Proses take over ini, selain debitor menandatangani Perjanjian
Kredit diikuti pembuatan SKMHT. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) belum
dapat ditandatangani oleh debitor sebab jaminan Hak Atas tanah terdaftar (Sertifikat) dan
sertifikat hak tanggungan masih terdaftar atas nama pemegang hak tanggungan pihak
kedua. Dilakukan roya hak tanggungan dan pengecekan sertifikat di kantor Pertanahan
Kota Pekanbaru dahulu untuk dilanjutkan pembuatan APHT. Permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana kekuatan hukum SKMHT pada proses peralihan kredit
dengan sarana hukum SKMHT yang berakhir jangka waktunya bagi kreditur atas tanah
terdaftar dan apa saja factor penghambat dalam pembebanan hak tanggungan terhadap
SKMHT yang berakhir jangka waktu tersebut dan apa saja upaya yang dilakukan untuk
mengatasinya. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris atau yuridis
sosiologis, didukung dengan data yang diperoleh dari kepustakaan, studi dokumen, studi
catatan hukum dan wawancara untuk kemudian dilakukan penyusunan data sehingga
memperoleh kesimpulan. Berdasarkan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun
1996 tentang hak tanggungan, SKMHT untuk hak atas tanah terdaftar harus dilanjutkan
dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah SKMHT diberikan.
SKMHT yang telah berakhir jangka waktunya tidak dapat memberikan kekuatan hukum,
kepastian hukum dan perlindungan hukum pada pihak ketiga (kreditur baru), SKMHT
tersebut batal demi hukum. Sebelum SKMHT berakhir jangka waktunya harus dilakukan
penandatanganan APHT, selanjutnya didaftarkan hak tanggungannya ke kantor
Pertanahan untuk diterbitkan sertifikat hak tanggungan sehingga dapat memberikan
kekuatan eksekutorial bagi kreditur.
Kata Kunci :Take Over (PeralihanKredit), SKMHT, Hak Atas Tanah Terdaftar
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………... i

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………. ii

SURAT PERNYATAAN……………………………………………………… iii

ABSTRAK…………………………………………………………………....... iv

KATA PENGANTAR…………………………………………………………. v

DAFTAR ISI…………………………………………………………………… vi

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………… 1

A. Latar Belakang Masalah…………………………………………… 1

B. Rumusan Masalah……………………………………………...…... 9

C. Keaslian Penelitian…………………………………………………. 9

D. Tujuan Penelitian…………………………………………………... 11

E. Manfaat Penelitian…………………………………………………. 11

F. Kerangka Teoritis…………………………………………………... 11

G. Kerangka Konseptual………………………………………………. 22

H. Metode Penelitian………………………………………………….. 23

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN……………………………………. 30

A. Gambaran Umum Kota Pekanbaru………………………………… 30

B. Lembaga Perbankan/Bank………………......................................... 31

C. Perjanjian………………………………........................................... 35

D. Perjanjian Kredit………………………............................................ 47

E. Surat Kuasa Membebankan HakTanggungan (SKMHT)………...... 50


BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………………. 63

A. Kekuatan hukum SKMHT pada proses peralihan kredit dengan sarana

hukum SKMHT dan sejauh mana kekuatan hukum SKMHT yang berakhir

jangka waktunya bagi kreditur atas hak tanah

terdaftar.............................................................................................. 63

B. Faktor penghambat dalam pembebanan hak tanggungan terhadap..

SKMHT yang berakhir jangka waktunya dan upaya yang………....

dilakukan untuk mengatasinya …………………………………….. 89

BAB IV PENUTUP…………………………………………………………. 100

A. Kesimpulan………………………………………………………… 100

B. Saran……………………………………………………………….. 100

DAFTAR KEPUSTAKAAN…………………………………………………... 102


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara hukum, selain memiliki kekuatan mengendalikan

tindakan masyarakat dalam mencapai nilai-nilai yang positif, mengatur banyak aspek

kehidupan, mulai dari sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama, hukum juga sebagai

kontrol dan penyelesai konflik dalam kehidupan masyarakat. Setiap aspek tindakan

yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah didasarkan pada peraturan

perundang-undangan artinya masyarakat dan pemerintah tidak dapat melakukan

tindakan melanggar hukum, siapapun yang melanggar hukum atau bersalah dapat

dituntut dimuka pengadilan. Hal itu agar terciptanya tatanan kehidupan masyarakat,

berbangsa dan bernegara yang aman, adil dan tertib dengan jaminan kepastian hukum

dan perlindungan Hak Asasi Manusia.

Indonesia sebagai negara hukum dituangkan jelas dalam Pasal 1 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan ke-4

yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Sebelum dilakukannya

perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

landasan konstitusional yang menyatakan Indonesia adalah negara yang berdasarkan

atas hukum juga tercantum didalam Pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum

agama dan hukum adat. Sebagian sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana
berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu

Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda

(Nederlandsch-Indie). Indonesia menganut hukum agama karena sebagian besar

masyarakat Indonesia menganut ajaran Islam, maka dominasi hukum atau syariat

Islam lebih banyak terlihat di dalam perkawinan, kekeluargaan dan warisan.

Hukum merupakan segala aturan yang menjadi pedoman perilaku setiap orang
dalam hubungan hidup bermasyarakat atau bernegara disertai sanksi yang tegas
apabila dilanggar. Cakupan hukum di mulai dari tingkat yang tertinggi yaitu
berdasarkan Undang-undang Dasar sampai dengan tingkat terendah yaitu Peraturan
Daerah di tingkat Kabupaten/Kota, yang menjadi acuan/pedoman perilaku setiap
manusia.1

Fungsi hukum selain untuk mengendalikan dan mengatur berbagai aspek

kehidupan masyarakat di Indonesia, norma yang berlaku dalam suatu lingkungan

masyarakat atau etnis tertentu juga dapat memberikan landasan dan nilai bagi

masyarakat itu sendiri untuk melakukan tindakan atau perilaku yang dilarang oleh

hukum yang berlaku.

Secara umum, saat ini lembaga perbankan amat diminati oleh masyarakat. Selain

berfungsi menghimpun dana dari masyarakat, lembaga perbankan juga berfungsi

menyalurkan dana kredit kepada pihak yang membutuhkan untuk kegiatan usahanya.

Mulai proses pencairan kredit yang tidak memerlukan waktu lama, bunga bank yang

tidak tinggi serta keamanan dalam penyimpanan aset jaminan di bank menjadikan

lembaga perbankan sebagai pilihan terbaik saat ini bagi pelaku usaha.

Ada masyarakat yang kelebihan dana (surplus spending group) tetapi tidak

memiliki kemampuan untuk mengusahakannya, ada juga kelompok atau masyarakat

memiliki kemampuan untuk berusaha namun memiliki sedikit atau bahkan tidak

1
. Abdul Kadir Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 1
memiliki dana (deficit spending group) sama sekali. Untuk mempertemukan keduanya

diperlukan perantara (intermediary) yang akan bertindak selaku pihak pemberi kredit

(kreditor) dan pihak penerima kredit (debitor).2

Bank adalah lembaga keuangan yang diperlukan dalam memberikan dana berupa

pinjaman kepada masyarakat untuk pengembangan usahanya. Bank menghimpun dana

dari masyarakat yang kelebihan dana, melalui piranti-pirantinya dalam bentuk giro,

tabungan dan deposito. Selanjutnya, bank menyalurkan dana tersebut dalam bentuk

kredit kepada masyarakat yang memerlukan dana. 3 Pemberian kredit oleh bank

maupun lembaga pembiayaan didasarkan pada perjanjian kredit. Pada perjanjian kredit

melibatkan pihak yang meminjamkan (kreditor) dan pihak yang meminjam (debitor).

Ketentuan pada Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dinyatakan

bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat, dalam rangka menaikkan

taraf hidup rakyat banyak. Selanjutnya pada Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang

Perbankan dinyatakan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam

untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Prinsip terpenting dalam kredit adalah adanya prinsip penyaluran kredit. Prinsip

penyaluran kredit adalah prinsip kepercayaan, tenggang waktu, derajat resiko (degree

2
. Gunawan Widjaja dkk, 2007, Jaminan Fidusia, PT. RajaGrafindo Persada, Bandung, hlm.1
3
. Adrian Sutedi, 2010,Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 13
of risk), prestasi/objek kredit.4 Dalam menyalurkan kredit, pihak bank mensyaratkan

adanya jaminan, sebagai pengamanan dan kepastian akan kredit yang diberikan, tanpa

jaminan bank akan sulit menghindari resiko yang terjadi jika debitor yang wanprestasi.

Semua pemberian kredit pada hakekatnya merupakan perjanjian


pinjam-meminjam sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1754 sampai dengan Pasal
1769 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disingkat
KUHPerdata). Perjanjian pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana
pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir
ini mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula. 5

Pelaksanaannya di Indonesia, bank-bank membuat perjanjian kredit dalam dua


bentuk, yaitu perjanjian kredit yang dibuat secara dibawah tangan dan perjanjian kredit
yang dibuat dalam bentuk akta notaris. Didalam Undang-Undang Perbankan
dijelaskan dan mewajibkan bahwa perjanjian kredit bank harus dibuat dalam bentuk
tertulis, namun bank lebih banyak membuat perjanjian kredit secara dibawah tangan. 6

Pada pengikatan kredit, tidak semua aset tanah dan bangunan dalam bentuk

sertifikat dapat diterima jaminannya oleh bank. Jaminan tanah dan bangunan yang

dapat dijadikan agunan di bank berupa bentuk sertifikat hak milik (SHM), sertifikat

hak guna bangunan (SHGB) dan sertipikat hak milik atas satuan rumah susun

(SHMRSS). Sertifikat hak milik memiliki status paling aman dan tidak beresiko serta

lebih mudah diterima oleh bank dalam penjaminan kredit atau pembiayaan perbankan.

Hak milik merupakan hak atas tanah yang kuat dan terpenuh menjadi bukti pemilikan

paling kuat atas lahan atau tanah yang bersangkutan karena tidak ada lagi campur

tangan dari pihak lain.

Salah satu jasa pelayanan perbankan yang diminati dan ditawarkan lembaga

perbankan kepada masyarakat adalah dalam bentuk take over. Take over (untuk

4
. Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 394
5
. Subekti, 1991, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit menurut Hukum Indonesia, cetakan
ke-5, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 3
6
. Untung Budi, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi, Yogyakarta, hlm. 31
selanjutnya disebut peralihan kredit) dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia berarti

mengambil alih. 7

Peralihan Kredit merupakan suatu istilah yang dipakai dalam lembaga perbankan

dalam hal kreditur baru (untuk selanjutnya disebut pihak ketiga) memberikan kredit

kepada calon debitur (untuk selanjutnya disebut pihak pertama) bertujuan untuk

melunasi hutang/kredit pihak pertama kepada kreditur awal (untuk selanjutnya disebut

pihak kedua). Pihak ketiga memberikan kredit kepada pihak pertama sehingga

kedudukan pihak ketiga menggantikan kedudukan pihak kedua. 8

KUHPerdata mengatur 3 mekanisme atau cara yang dapat digunakan dalam

peralihan hutang, yaitu :

a. Novasi

Novasi atau pembaharuan hutang yaitu suatu perjanjian yang menghapuskan

perikatan lama akan tetapi pada saat yang sama menimbulkan perikatan baru yang

menggantikan perikatan lama. 9 Hakikatnya, Novasi merupakan perikatan baru

yang menggantikan perikatan lama tapi segala sesuatu yang mengikuti perikatan

lama tidak ikut berpindah atau beralih kepada perikatan baru, kecuali diperjanjikan

terlebih dahulu.

b. Subrogasi

Pada Pasal 1400 KUHPerdata disebutkan bahwa subrogasi adalah penggantian

hak-hak si berpiutang oleh seorang pihak ketiga, yang membayar kepada si

berpiutang, terjadi baik dengan persetujuan maupun berdasarkan undang-undang.

7
. John M. Echols dkk, 1990, Kamus Inggris-Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
hlm. 578
8
. Bankingcentre.blogspot.co.id
9
. Riduan Syahrani, 1992, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, hlm.
290
c. Jual Beli Piutang

Jual beli piutang diatur dalam KUHPerdata Pasal 1533 sampai Pasal 1540.

Berdasarkan Pasal 1533 KUHPerdata, jual beli piutang akan meliputi semua hak

yang melekat padanya, seperti hak tanggungan, hipotik dan fidusia atau hak-hak

istimewa lainnya. Jual beli piutang hakikatnya adalah pengoperan piutang dapat

dilaksanakan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari debitur.

Beberapa alasan pihak pertama (debitur) melakukan take over (peralihan hutang)

yaitu pelayanan pihak kedua (kreditur awal) terhadap pihak pertama kurang

memberikan rasa nyaman, suku bunga bank yang tinggi dan pengajuan penambahan

jumlah kredit pihak pertama untuk modal kerja dan investasi tidak disetujuinya oleh

pihak kedua.

Mekanisme Peralihan Kredit dalam pelaksanaannya dimulai dari permohonan

kredit oleh pihak pertama kepada pihak ketiga dengan menyerahkan semua

kelengkapan data dan syarat-syarat dalam pengajuan kredit menggunakan foto copy

sertifikat. Pihak ketiga sebagai kreditor baru yang memberikan penawaran Peralihan

Kredit kepada pihak pertama, paham bahwa dokumen-dokumen asli sertifikat jaminan

masih berada dikantor milik pihak kedua dan masih terdaftar hak tanggungannya atas

nama pihak kedua, selanjutnya pihak ketiga melakukan survey objek jaminan oleh

seksi kredit (Credit Officer), apabila memenuhi syarat dari dokumen jaminan yang

dipersiapkan dalam Peralihan Kredit tersebut, dilanjutkan dengan pembuatan proposal

kredit yang diajukan kepada bagian kredit. Jika proposal disetujui, pihak ketiga akan

memberikan orderan atau jenis pekerjaan yang harus dipersiapkan dalam peralihan

kredit ini kepada notaris rekanan. Apabila syarat-syarat peralihan kredit telah
dilengkapi oleh debitur, Notaris akan menyampaikan kepada pihak ketiga peralihan

kredit dapat dilaksanakan dan pihak ketiga akan mengatur jadwal pengikatan kredit

antara pihak pertama, pihak ketiga, notaris serta menyampaikan kepada pihak kedua

jadwal pelunasan kredit pihak pertama.

Dalam pengikatan kredit, pihak pertama dan pasangan (jika ada) wajib hadir

dihadapan Notaris untuk menandatangani akta-akta atau surat-surat yang diperlukan

dalam peralihan kredit. Setelah penandatanganan akta-akta atau surat-surat pada

proses peralihan kredit, Notaris mengeluarkan covernote yang isinya menyatakan

bahwa pihak pertama dan pihak ketiga telah menandatangani akta Perjanjian Kredit

dan Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut SKMHT).

Covernote ini yang dijadikan kekuatan pihak ketiga untuk mencairkan sejumlah dana

ke rekening pihak pertama guna pelunasan hutang kepada pihak kedua. Pihak ketiga

akan mengurus perpindahan sertifikat yang semula masih berada di kantor pihak kedua

untuk diserahkan kepada debitor selanjutnya debitor menyerahkan jaminan sertifikat

kepada pihak ketiga.

Teknis peralihan kredit antar bank ini yaitu beberapa hari sebelum pihak pertama

melunasi sisa hutang kepada pihak kedua, pihak pertama, pihak ketiga bahkan Notaris

rekanan dari pihak ketiga, menyampaikan dan menginformasikan kepada pihak kedua

bahwa akan dilakukan pelunasan hutang pihak pertama pada hari yang telah

ditentukan. Pemberitahuan informasi kepada pihak kedua agar pihak kedua

mempersiapkan dokumen-dokumen asli sertifikat jaminan milik pihak pertama.

Tidak semua lembaga perbankan memiliki sistem operasional yang cermat dan

cepat. Pada proses peralihan kredit antar bank ini, setelah ditandatangani akta
Perjanjian Kredit dan akta SKMHT, pelunasan kredit dilakukan. Pihak kedua tidak

bisa mengeluarkan sertifikat hak atas tanah dan sertifikat hak tanggungan pada hari

yang sama dengan pelunasan kredit. Dokumen-dokumen yang belum diterima oleh

pihak pertama pada hari dan waktu bersamaan dengan waktu pelunasan kredit,

mengurangi jangka waktu SKMHT untuk hak atas tanah terdaftar (sertifikat) hanya 1

(satu) bulan sejak SKMHT diberikan, sebagaimana berdasarkan Pasal 15 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan. Berdasarkan uraian

dari latar belakang masalah tersebut diatas untuk itu penulis merasa tertarik menulis

tesis ini dengan mengambil judul “KEKUATAN HUKUM SURAT KUASA

MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) SETELAH JANGKA

WAKTUNYA BERAKHIR PADA TAKE OVER (PERALIHAN KREDIT) HAK

ATAS TANAH TERDAFTAR (SERTIFIKAT) DI PT. BANK ARTHA GRAHA

INTERNASIONAL, Tbk CABANG PEKANBARU”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka penulis menetapkan

permasalahan pokok dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana kekuatan hukum SKMHT pada proses peralihan kredit dengan

sarana hukum SKMHT dan sejauh mana kekuatan hukum SKMHT yang

berakhir jangka waktunya bagi kreditur atas hak atas tanah terdaftar?

2. Apa saja faktor penghambat dalam pembebanan hak tanggungan terhadap

SKMHT yang berakhir jangka waktunya tersebut dan apa saja upaya yang

dilakukan untuk mengatasinya?


C. Keaslian Penelitian

Sebelum memulai penelitian ini, penulis terlebih dahulu melakukan penelitian

mengenai belum pernahnya penelitian ini dilakukan oleh pihak manapun untuk

mendapatkan gelar akademik (Sarjana, Magister dan/atau Doktor), baik pada

Universitas Andalas maupun pada Perguruan Tinggi lainnya, jika ada tulisan yang

sama dengan yang ditulis oleh penulis, sehingga diharapkan tulisan ini sebagai

pelengkap dari tulisan yang sudah ada sebelumnya.

1. Tesis yang disusun oleh Nur Hayatun Nufus dengan judul “Pembebanan Hak

Tanggungan Terhadap Tanah yang belum Bersertipikat (Studi di PT. Bank

Rakyat Indonesia Tbk Unit Bekasi Kota), 2010, Program Pascasarjana Magister

Kenotariatan, Universitas Diponegoro. Permasalahan yang dibahas mengenai

pembebanan peralihan hak milik atas tanah yang dijadikan objek hak

tanggungan yang sedang proses balik nama.

2. Tesis yang disusun oleh Ferry Assaad, SH dengan judul “Kekuatan Hukum Surat

Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) sebagai Dasar Pembebanan

Hak Tanggungan dalam Perjanjian Kredit”, Fakultas Hukum Program

Pascasarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makasar.

Permasalahan yang dibahas mengenai keterbatasan SKMHT sebelum

sepenuhnya dapat dipergunakan sabagai dasar mengeksekusi jaminan dalam

suatu perjanjian kredit.

3. Tesis yang disusun oleh Zulheriyanto dengan judul “Pembaharuan Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Dalam pemasangan Hak


Tanggungan (Studi Kasus di Kota Bukittinggi)”, 2012, Fakultas Hukum

Universitas Andalas.

Permasalahan yang dibahas mengenai pelaksanaan pembaharuan jangka waktu

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) ditinjau dari peranan

notaris dalam membuat akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

(SKMHT).

D. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dalam

penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kekuatan hukum SKMHT pada proses peralihan kredit

dengan sarana hukum SKMHT dan kekuatan hukum SKMHT yang berakhir

jangka waktunya bagi kreditur atas hak atas tanah terdaftar.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor penghambat sebelum

dipasangnya hak tanggungan dengan mempergunakan SKMHT.

E. Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan berguna secara

teoritis dan praktis, yaitu :

1. Untuk memperkaya wawasan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penulis

dalam hal hukum perbankan, hukum jaminan dan hukum pertanahan.

2. Untuk menambah ilmu pengetahuan penulis dalam hal jaminan, sehingga untuk

masa yang akan datang sangat dibutuhkan berkaitan dengan profesi penulis di

masa mendatang sebagai notaris.


F. Kerangka Teoritis

Setiap penelitian dalam rangka menyusun disertasi atau tesis harus disertai

dengan pemikiran kerangka teoritis. 10 Kerangka Teori dibutuhkan karena adanya

hubungan timbal balik antara teori dengan kegiatan-kegiatan pengumpulan data,

konstruksi data dan analisa data.

Teori digunakan untuk menerangkan atau menjelaskan bagaimana gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi, kemudian teori ini di uji dengan mengedepankan

fakta-fakta yang menunjukkan ketidakbenaran, kemudian untuk menunjukkan pikiran

secara sistematis, logis, empiris dan logis. 11

Kerangka teoritis atau teori memiliki kegunaan, yaitu :

1. Untuk lebih mempertajam atau mengkhususkan fakta yang akan diselidiki atau
di uji kebenarannya ;
2. Mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep serta
mengembangkan defenisi ;
3. Teori biasanya merupakan ikhtiar dari pada hal-hal yang telah diketahui serta di
uji kebenarannya yang menyangkut obyek yang akan di teliti ;
4. Memberikan kemungkinan mengadakan proyeksi terhadap fakta mendatang,
oleh karena telah di ketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin
fakta tersebut muncul lagi pada masa mendatang ;
5. Teori memberi petunjuk atas kekurangan-kekurangan yang ada pada
pengetahuan penulis ;12

Teori Hukum yang dijadikan landasan pemikiran dalam penelitian ini berupa

Teori Kepastian Hukum, Teori Perlindungan Hukum dan Teori Kemanfaatan

(Utilitarianisme).

10
. Harkristuti Harkriswono, 26 Juli 2002, “Diskusi Proposal Penelitian”, Makalah, Majalah Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta.
11
. Otje Salman dkk, 2004, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan, Dan Membuka Kembali,
Rafika Aditama Press, Jakarta, hlm. 21.
12
. ibid, hlm. 145
1. Teori Kepastian Hukum

Menurut Jan Michiel Otto, di negara-negara berkembang, ketidak efektifan


hukum memiliki sebab-sebab yuridis dan non yuridis, mengingat adanya
ketidak-lengkapan sumber-sumber hukum, acap mengalami kesulitan mencari dan
menemukan aturan hukum mana yang seharusnya berlaku dalam suatu situasi konkrit
bagi para praktisi dan pengemban hukum, mengalami kesulitan memastikan
bagaimana semua aturan yang tersedia dan ditemukan yang ada seharusnya ditafsirkan
dan dimaknai. Ketidakpastian tentang apa yang seharusnya menjadi hukum, tidak ada
kepastian hukum dalam arti formil-yuridis. Sekalipun kepastian hukum demikian
ternyata ada, maka kepastian hukum yang muncul kerapkali hanyalah berupa kepastian
hukum yuridis atau teoretikal belaka. 13

Dalam pelaksanaannya, instansi pemerintah maupun para pihak atau masyarakat

di Indonesia belum sepenuhnya tunduk dan taat kepada aturan-aturan yang diatur

dalam hukum itu sendiri. Baik aturan yang dibuat untuk mengatur bagaimana suatu

perbuatan hukum harus dilaksanakan dengan pelaksanaan atas suatu perbuatan hukum

tersebut dilaksanakan.

Kepastian hukum merupakan suatu hal yang hanya bisa dijawab secara normatif
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan secara sosiologis.
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis dalam artian tidak
menimbulkan multi-tafsir (keragu-raguan) dan logis dalam arti menjadi sistem norma
yang ditimbulkan dari ketidakpastian. Kepastian hukum merupakan suatu keadaan
dimana perilaku manusia baik individu, kelompok maupun organisasi terikat dan
berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. 14

Sebelum terbentuknya Undang-Undang Hak Tanggungan, pembebanan jaminan

hak atas tanah tunduk pada hipotik dalam buku II KUHPerdata dan credietverband

dalam staatsblad 1908 – 542 juncto S. 1973 – 190. Setelah lahirnya Undang-Undang

Hak Tanggungan yang berangkat dari instruksi Undang-Undang Pokok Agraria (Pasal

13
. Jan Michiel Otto, 2012, Kepastian Hukum Yang Nyata Di Negara Berkembang, Kajian
sosio-legal, Penulis : Sulistyowati Irianto dkk, Edisi Pertama, Pustaka Larasan, Denpasar, Universitas
Indonesia,Universitas Leiden, Universitas Groningen, hlm. 121
14
. Jhon Raws, 1973, A Theory of Justice, London, Oxford University Press, terjemahan dalam
Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, 2006, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, hlm. 85
51) tidak jauh beda dengan proses penerbitan akta hipotik, pada sertipikat hak

tanggungan juga dikenal SKMHT.

SKMHT harus diberikan langsung oleh pemberi hak tanggungan dan harus

memenuhi persyaratan mengenai muatannya, sebagaimana ditetapkan pada Pasal 15

Undang-Undang Hak Tanggungan. Tidak dipenuhinya persyaratan mengenai muatan

SKMHT ini mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal demi hukum, yang

berarti bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar

pembuatan APHT.15

Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan

dinyatakan bahwa pemberian hak tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi

hak tanggungan dengan cara hadir dihadapan PPAT. Apabila karena suatu sebab

pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir sendiri dihadapan PPAT, ia wajib menunjuk

pihak lain sebagai kuasanya dengan SKMHT yang berbentuk akta otentik dengan

memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang penetapan Batas Waktu

penggunaan SKMHT untuk menjamin pelunasan kredit-kredit tertentu dan

berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

Pembuatan SKMHT selain oleh Notaris juga ditugaskan kepada PPAT, karena

PPAT keberadaannya sampai pada wilayah kecamatan dalam rangka pemerataan

pelayanan dibidang pertanahan. SKMHT merupakan kuasa khusus untuk

15
. Rachmadi Usman, 1999, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Djambatan, Jakarta,
hlm. 119
membebankan hak tanggungan dalam arti tidak boleh dicampuri dengan kuasa atau

akta lain. 16

Menurut Pasal 15 ayat (1) huruf a, yang dimaksud dengan “tidak memuat kuasa

untuk melakukan perbuatan hukum lain“ dalam ketentuan ini, misalnya tidak memuat

kuasa untuk menjual, menyewakan objek Hak Tanggungan, atau memperpanjang hak

atas tanah, sehingga secara khusus SKMHT dibuat hanya memuat pemberian kuasa

untuk membebankan Hak Tanggungan saja, sehingga dengan demikian pula terpisah

dari akta-akta lain.

SKMHT tidak dapat disubstitusikan sebagaimana kuasa lainnya seperti surat

kuasa dalam gugatan peradilan sebagaimana tertuang dalam Pasal 1803 KUHPerdata.

Pengertian “substitusi” menurut Pasal 15 ayat (1) huruf b adalah penggantian penerima

kuasa melalui pengalihan, maksudnya disini adalah pihak yang menerima kuasa tidak

diperkenankan untuk mensubstitusikan atau melimpahkan kuasa yang didapatnya

kepada pihak lain, pernyataan tersebut diatas memberi kesan bahwa pemegang atas

tanah atau pemberi Hak Tanggungan hanya menaruh kepercayaan kepada seseorang

tertentu yaitu si penerima kuasa secara langsung, yang dianggap dapat mewakili untuk

mampertahankan hak-hak dan kepentingan-kepentingan pemberi kuasa, sehingga jelas

mengenai pertanggungjawabannya sebagai kuasa.

Tujuan SKMHT adalah semata-mata untuk membebankan hak tanggungan

dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan pembebanan hak

tanggungan atau sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1795 KUHPerdata juncto

Pasal 15 ayat (1) Sub a Undang-Undang Hak Tanggungan “hanya mengenai suatu

kepentingan tertentu”.
16
. Supriadi, 2007, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 187
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, hak dari
pemegang hak tanggungan untuk melaksanakan haknya tersebut adalah hak
semata-mata diberikan oleh undang-undang. Tidaklah berarti hak tersebut demi hukum
ada, melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak dalam APHT atas
hak atas tanah. 17

Demi tercapainya suatu kepastian hukum dalam rangka melindungi kepentingan

pemegang Hak Tanggungan pertama, hak/kewenangan untuk menjual atas kekuasaan

sendiri tersebut diperoleh oleh kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama tidak

semata-mata oleh karena diperjanjikan, tetapi karena undang-undang menetapkan

demikian (setelah terlebih dahulu diperjanjikan). Undang-undang lebih menekankan

memberikan jaminan dalam aturan yang konkrit sebagai norma yang mengikat bahwa

“hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri” adalah sarana yang utama bagi

kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama untuk mendapatkan kemudahan dalam

rangka mendapatkan kembali pelunasan piutangnya, merupakan salah satu perwujudan

dari kedudukan diutamakan sebagai pemegang Hak Tanggungan pertama.

PPAT wajib menolak permohonan untuk membuat APHT apabila SKMHT tidak

dibuat sendiri oleh pemberi hak tanggungan atau tidak memenuhi persyaratan mengenai

muatannya. Persyaratan-persyaratan mengenai muatannya tersebut menunjukkan

bahwa SKMHT sengaja dibuat khusus untuk tujuan pemasangan hak tanggungan,

mencerminkan adanya kepastian hukum, kepastian subjek dan objek haknya, kepastian

tanggal pembuatannya sehingga sulit untuk dibantah mengenai keabsahannya.

2. Teori Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum merupakan salah satu hal yang terpenting dari unsur suatu

negara hukum. Penting, karena pembentukan suatu negara akan dibentuk pula hukum

17
. Kartini Muljadi dkk, 2006, Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, hlm. 32
yang mengatur tiap-tiap warga negaranya dalam memberikan hak dan kewajiban satu

sama lain. Perlindungan hukum merupakan kewajiban bagi negara itu sendiri kepada

warga negaranya, oleh karenanya perlindungan hukum akan menjadi hak bagi setiap

warga negaranya.

SKMHT dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan

jaminan hak atas tanah, hal ini berarti akta jaminan hak tanggungan. SKMHT

memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sebab berbentuk akta notariil. Artinya

kedudukan para pihak pun menjadi lebih kuat, hak maupun kewajiban para pihak

menjadi lebih jelas dan pasti. Ketentuan mengenai hal ini terdapat dalam Pasal 10 ayat

(2) dan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dan Peraturan Menteri

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996.

Penjelasan Umum ayat (9) Undang-Undang Hak Tanggungan menyebutkan

salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan

eksekusinya, jika debitor cidera janji. Secara umum ketentuan tentang eksekusi telah

diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan

secara khusus ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang,

yang mengatur lembaga parate executie18 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224

Reglemen Indonesia yang diperbarui (Het Herziene lndonesisch Reglement), Pasal 258

Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot

Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura).

Perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya melindungi masyarakat dari

perbuatan sewenang-wenang penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk

18
. Parate Executie adalah pelaksanaan dari suatu perikatan dengan langsung tanpa melalui suatu
vonis pengadilan (eksekusi langsung)
mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia menikmati

martabatnya sebagai manusia. 19

Bentuk perlindungan hukum dalam pelaksanaan peralihan hutang atas KPR di

PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk Cabang Pekanbaru adalah perlindungan

preventif, berupa tindakan kehati-hatian dari PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk

Cabang Pekanbaru setiap kali melaksanakan proses peralihan kredit.

3. Teori Kemanfaatan (Utilitarianisme)

Aliran Utilitarianisme merupakan reaksi terhadap ciri metafisis dan abstrak dari
filsafat hukum pada abad ke delapan belas. Jeremy Bentham sebagai penemunya
menunjuk banyak dari karyanya pada kecaman-kecaman yang hebat atas seluruh
konsepsi hukum alam. Bentham tidak puas dengan kekaburan dan ketidaktetapan
teori-teori tentang hukum alam, dimana Utilitarianisme mengetengahkan salah satu dari
gerakan-gerakan periodik dari yang abstrak hingga yang konkret, dari yang idealitis
hingga yang materialistis, dari yang apriori hingga yang berdasarkan pengalaman.
Gerakan aliran ini merupakan ungkapan-ungkapan/tuntutan-tuntutan dengan ciri khas
dari abad kesembilan belas.20

Tokoh-tokoh penganut aliran Utilitarianisme, yaitu :

a. Jeremy Bentham(1748-1832)

Pemikiran hukum Bentham banyak diilhami oleh karya David Hume


(1711-1776) yang merupakan seorang pemikir dengan kemampuan analisis luar
biasa, yang meruntuhkan dasar teoritis dari hukum alam, di mana inti ajaran Hume
bahwa sesuatu yang berguna akan memberikan kebahagiaan. Atas dasar pemikiran
tersebut, kemudian Bentham membangun sebuah teori hukum komprehensif di atas
landasan yang sudah diletakkan Hume tentang asas manfaat. Bentham merupakan
tokoh radikal dan pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifiasikan, dan untuk
merombak hukum yang baginya merupakan sesuatu yang kacau. Ia merupakan
pencetus sekaligus pemimpin aliran kemanfaatan. Menurutnya hakikat
kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan.
Bentham menyebutkan bahwa “The aim of law is The Greatest Happines for the
greatest number.21
19
. Setiono, 2004, Rule of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hlm. 3
20
. W. Friedman, 1990, Teori dan Filsafat Hukum ; Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan,
diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhamad Arifin, Disunting oleh Achmad Nasir
Budiman dan Suleman Saqib, Rajawali, Jakarta, hlm 111
21
. Otje Salman, S, 2010, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), PT. Refika
Aditama, Bandung, hlm 44
Bentham mendefinisikan kegunaan (utilitas) sebagai segala kesenangan,
kebahagiaan, keuntungan kebajikan, manfaat atau segala cara untuk mencegah rasa
sakit, jahat, dan ketidakbahagiaan. Beberapa pemikirannya pentingnya yaitu :
a. Hedonisme kuantitatif (paham yang dianut orang-orang yang mencari
kesenangan semata-mata secara kuantitatif) bahwa hanya ada semacam
kesenangan, dimana kesenangan hanya berbeda secara kuantitatif yaitu
menurut banyaknya, lama dan intensitasnya sehingga kesenangan adalah
bersifat jasmaniah dan berdasarkan penginderaan.
b. Summun bonum yang bersifat materialistik berarti bahwa
kesenangan-kesenangan bersifat fisik dan tidak mengakui kesenangan spritual
dan menganggapnya sebagai kesenangan palsu.
c. Kalkulus hedonistik (hedonistik calculus) bahwa kesenangan dapat diukur atau
dinilai dengan tujuan untuk mempermudah pilihan yang tepat antara
kesenangan-kesenangan yang saling bersaing. Seseorang dapat memilih
kesenangan dengan jalan menggunakan kalkulus hedonistik sebagai dasar
keputusannya. Kriteria kalkulus yaitu : pertama, intensitas dan tingkat
kekuatan kesenangan, kedua, lamanya berjalan kesenangan itu, ketiga,
kepastian dan ketidakpastian yang merupakan jaminan kesenangan, keempat,
keakraban dan jauh dekatnya kesenangan dengan waktu, kelima, kemungkinan
kesenangan akan mengakibatkan adanya kesenangan tambahan berikutnya,
keenam, kemurnian tentang tidak adanya unsur-unsur yang menyakitkan,
ketujuh, kemungkinan berbagi kesenangan dengan orang lain. Disamping itu
ada sanksi untuk menjamin agar orang tidak melampaui batas dalam mencapai
kesenangan yaitu : sanksi fisik, sanksi politik, sanksi moral atau sanksi umum
dan sanksi agama atau sanksi kerohanian. 22

b. John Stuar Mill (1806-1873)


Sejalan dengan pemikiran Bentham, Mill memiliki pendapat bahwa suatu
perbuatan hendaknya bertujuan untuk mencapai sebanyak mungkin kebahagian.
Keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan
yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapatkan
simpati dari kita, sehingga hakikat keadilan mencakup semua persyaratan moral
yang hakiki bagi kesejahteraan umat manusia. 23

Menurut Mill keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan
membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja
yang mendapat simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap
kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan
lebih luas dari itu sampai kepada orang lain yang kita samakan dengan diri kita
sendiri, sehingga hakikat keadilan mencakup semua persyaratan moral yang sangat
hakiki bagi kesejahteraan umat manusia. 24
22
. Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Filsafat Hukum dalam Konsepsi dan Analisa, Alumni, Bandung,
hlm, 118-120
23
. Otje Salman, S, Loc. Cit, hlm. 44
24
. Bodenheimer dkk, 2006, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 277
Namun demikian, Mill juga mengkritik pandangan Bentham, Pertama, bahwa
kesenangan dan kebahagiaan harus diukur secara kuantitatif. Mill berpendapat
bahwa kualitas kebahagiaan harus dipertimbangkan juga, karena ada kesenangan
yang lebih tinggi mutunya dan ada yang rendah. Kedua, bahwa kebahagian bagi
semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagian satu orang saja
yang bertindak sebagai pelaku utama, kebahagiaan satu orang tidak boleh dianggap
lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. 25

c. Rudolf von Jhering (1800-1889)


Rudolf von Jhering dikenal sebagai penggagas teori Sosial Utilitarianisme atau
Interessen Jurisprudence (kepentingan). Teorinya merupakan penggabungan
antara teori Bentham dan Stuar Mill dan positivisme hukum dari John Austin. Pusat
perhatian filsafat hukum Jhering adalah tentang tujuan, seperti dalam bukunya yang
menyatakan bahwa tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu
peraturan hukum yang tidak memiliki asal usul pada tujuan ini, yaitu pada motif
yang praktis. Lebih lanjut Jhering menyatakan bahwa tujuan hukum adalah
kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat dan evaluasi hukum dilakukan
berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum,
berdasarkan orientasi ini isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan
penciptaan kesejahteraan negara.26

Menurut Jhering ada empat kepentingan-kepentingan masyarakat yang


menjadi sasaran dalam hukum baik yang egoistis adalah pahala dan manfaat yang
biasanya didominasi motif-motif ekonomi. Sedangkan yang bersifat moralistis
adalah kewajiban dan cinta. Hukum bertugas menata secara imbang dan serasi
antara kepentingan-kepentingan tersebut.27

Aliran positivisme hukum juga berkembang di Indonesia. Undang-undang

sebagai hukum negara menjadi hukum utama yang diberlakukan dalam masyarakat dan

undang-undang merupakan suatu bentuk aliran positivisme hukum. Hukum memiliki

sifat memaksa, baik dari pembuat maupun pelaksana undang-undang. Aliran

Utilitarianisme memberikan manfaat pada hukum di negara kita, karena aliran ini

memberikan pemikiran yang bisa mengkaji bagaimana tujuan hukum dalam memberi

kemanfaatan kepada banyak orang. Kemanfaatan diartikan sebagai kebahagiaan

25
. Muh. Erwin, 2011, Filsafat Hukum ; Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Rajawali Press, Jakarta,
hlm. 183-184
26
. Otje Salman, S, Loc Cit, hlm. 44
27
. Bernard et all, 2013, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta
Publishing, Yogyakarta, hlm. 98-99
(happines). Baik atau buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah

hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Kebahagiaan ini

selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai dan

pasti tidak mungkin diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak

mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) Indonesia tersebut.

Tujuan hukum di dalam aliran Utilitarianisme ditujukan untuk mencapai

kebahagiaan tertinggi dengan cara melengkapi kehidupan, mengendalikan kelebihan,

mengedepankan persamaan dan menjaga kepastian. Sehingga, hukum itu pada

prinsipnya ditujukan untuk menciptakan ketertiban masyarakat, disamping untuk

memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak.

Dalam hal ini, tugas legislator adalah menghasilkan keserasian antara kepentingan

publik dan kepentingan pribadi. Legislasi merupakan proses kunci untuk mewujudkan

hukum yang dapat mendatangkan manfaat bagi individu yang akan menghasilkan

hukum yang dipatuhi oleh semua warga negara, termasuk penyelenggara negara

sendiri. Hukum inilah nantinya yang akan dijadikan alat untuk memberikan ruang bagi

individu mencapai kebahagiaannya.

G. Kerangka Konseptual

Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap penelitian ini, maka penulis

membatasi istilah pokok yang terkandung dalam judul ini. Adapun konsep yang

penulis maksud meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Kekuatan Hukum adalah perjenjangan setiap jenis peraturan

perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan


perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 28

2. SKMHT adalah surat kuasa yang diberikan pemberi hak tanggungan kepada

kreditur sebagai penerima hak tanggungan untuk membebankan hak tanggungan

atas objek hak tanggungan.29

3. Take Over (peralihan kredit) adalah memindahkan dari kreditur satu ke kreditur

lainnya dalam pemberian fasilitas kredit/pinjaman oleh suatu lembaga keuangan

(bank/non bank) yang dipergunakan untuk pemindahan fasilitas kredit dari

lembaga keuangan lain. 30

4. Hak atas tanah terdaftar (Sertifikat) menurut Pasal 1 angka 20 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah surat tanda

bukti untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan

rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam

buku tanah yang bersangkutan.

H. Metode Penelitian

Metode yuridis empiris atau yuridis sosiologis yang digunakan adalah dengan

pengolahan data yang didasarkan pada hasil studi pelaksanaan yang kemudian

dipadukan dengan data yang diperoleh dari tinjauan kepustakaan sehingga akan

diperoleh data yang akurat. Dalam menghadapi pembahasan dalam penelitian ini

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku kemudian dihubungkan

dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam masyarakat.

28
. Yuliandri, 2010, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik ;
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT. Rajagrafindo Persada, Bandung, hlm.
67-68
29
. Medianotaris.com
30
. https://www.pinjamandanatunai.info
Metode penelitian merupakan suatu cara yang digunakan dalam mengumpulkan
data penelitian dan membandingkan dengan standar ukuran yang telah ditentukan. 31
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah yuridis empiris yang dengan kata lain adalah
jenis penelitian hukum sosiologis dan dapat disebut pula dengan penelitian lapangan,
yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam
kenyataannya di masyarakat.32

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini mempergunakan penelitian deskriptif. Penelitian yang

menyampaikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun buatan

manusia. Fenomena itu bisa berupa aktivitas, kesamaan, perbedaan antara fenomena

yang satu dengan yang lainnya.

Soerjono Soekanto melihat dari segi “sifat penelitian”, beliau membedakan


menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu penelitian eksploratori, penelitian deskriptif dan penelitian
eksplanatori. 33 Dilihat dari segi tujuan penelitian, J. Vredenbregt membedakan
penelitian sosial menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu penelitian eksploratori, penelitian
deskriptif dan penelitian eksplanatori.34

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini meliputi dari data primer dan data sekunder.

A. Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama

yang terkait dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. 35 Sumber

yang akan diteliti dengan kata lain data utama yang diperoleh langsung dari

lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan beberapa notaris

dan bagian legal lembaga perbankan di kota Pekanbaru sebagai data penunjang

bagi penulis dalam penelitian ini.


31
. Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta,
Jakarta, hlm. 126.
32
. Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 15
33
. Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 50.
34
. Vrendenbregt J, 1981, Metode Dan teknik Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta.
35
. Amiruddin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
hal. 30.
B. Data Sekunder merupakan data yang diperoleh dari buku-buku sebagai data

pelengkap sumber data primer dengan melakukan kajian kepustakaan yang

berhubungan dengan objek penelitian. Penulis dalam penelitian ini

mempergunakan 3 (tiga) bahan hukum sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan

hukum mengikat, yang berasal dari :

a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ;

b) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria ;

c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah;

d) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ;

e) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;

f) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang bersifat memberikan

penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan dapat membantu

menganalisa serta memahami bahan hukum primer, yang berupa

literatur-literatur, buku-buku, makalah-makalah dan kamus hukum dan

bahan lainnya yang berkaitan dengan materi dalam penulisan ini ditambah

dengan kegiatan pencarian data dari internet.


c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan penunjang lain yang ada

keterkaitan dengan pokok-pokok rumusan masalah, memberikan kejelasan

terhadap apa isi informasi dan penjelasan terhadap bahan hukum primer

dan sekunder, bukan apa saja yang ada dalam kajian bahan hukum, namun

dapat dijadikan bahan analisa terhadap penerapan kebijakan hukum

dilapangan, seperti kamus, ensiklopedia, buletin, majalah, artikel-artikel di

internet dan bahan lainnya yang sifatnya karya ilmiah berkaitan dengan

masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Pekanbaru, dengan pertimbangan bahwa di

Kota Pekanbaru adalah sebagai gerbang kegiatan perekonomian di ibukota Propinsi

Riau dengan berbagai macam lembaga perbankan atau bank, berupa bank swasta dan

bank milik pemerintah (BUMN). Penelitian ini penulis lakukan di salah satu lembaga

perbankan yang ada di Kota Pekanbaru yaitu di PT. Bank Artha Graha Internasional,

Tbk Cabang Pekanbaru.

4. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

yuridis empiris atau yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis sosiologis adalah

mengidentifikasi dan mengkonsepsikan hukum sebagai institusi sosial yang riil dan

fungsional dalam sistem kehidupan yang nyata”.36 Pendekatan yang digunakan dalam

penulisan ini adalah pendekatan yuridis sosiologis adalah mengenai berakhirnya jangka

waktu SKMHT sebagaimana yang terdapat didalam Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan berkaitan dengan


36
. Soerjono Soekanto, Loc.Cit, hlm. 51
proses peralihan kredit atas hak tanah terdaftar di PT. Bank Artha Graha Internasional,

Tbk Cabang Pekanbaru.

5. Pengumpulan Data

Data bagi suatu penelitian merupakan bahan yang akan digunakan untuk

menjawab permasalahan dalam penelitian. Oleh karena itu, data harus selalu ada agar

permasalahan penelitian itu dapat dipecahkan. Dalam penelitian ini jenis data yang

dikumpulkan terdiri dari data yang bersifat primer dan data yang bersifat sekunder.

Teknik pengumpulan data yang dikenal adalah studi kepustakaan, pengamatan

(observasi), wawancara (interview), kuisioner.37 Sesuai dengan sumber data seperti

yang disebutkan diatas, maka dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan

dengan cara :

a. Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan studi kepustakaan, studi dokumen

dan studi catatan dan studi catatan hukum38 untuk memperoleh data sekunder

dengan serangkaian kegiatan penelusuran literatur dan dokumentasi dengan cara

membaca, memahami, mengkaji, merangkum data, mengutip buku-buku,

membuat catatan-catatan serta menelaah peraturan perundang-undangan,

dokumen dan informasi lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang

dibahas dalam penulisan ini.

b. Wawancara ;

Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara

lisan terdiri dari dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara

37
. Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, cetakan 5, hlm. 51
38
. Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 125
39
langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan. Wawancara

dilakukan secara langsung, dengan materi-materi yang akan dipertanyakan telah

dipersiapkan terlebih dahulu oleh pewawancara sebagai pedoman dalam

wawancara, metode ini digunakan agar sumber informasi bebas memberikan

jawaban-jawaban dalam bentuk uraian-uraian.

Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara dengan 1 narasumber dari

Legal PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk Cabang Pekanbaru dan 2 orang

Notaris/PPAT di Kota Pekanbaru.

6. Pengolahan data

Pengolahan data dalam penulisan ini dilakukan dengan cara :

a. Identifikasi, adalah mencari dan menetapkan data yang berhubungan dengan

SKMHT dalam pemasangan hak tanggungan serta identifikasi segala literatur

yang berhubungan dengan penelitian ini.

b. Editing, merupakan proses meneliti kembali data yang diperoleh dari berbagai

kepustakaan yang ada. Hal ini sangat perlu untuk mengetahui apakah data yang

telah dimiliki sudah cukup dan dapat dijadikan proses selanjutnya. Dari data

yang diperoleh kemudian disesuaikan dengan permasalahan yang ada dalam

penulisan ini, editing dilakukan pada data yang sudah terkumpul serta diseleksi

dahulu dan diambil data yang diperlukan.

c. Penyusunan data, yaitu penyusunan data secara teratur sehingga dalam data

tersebut dapat dianalisa menurut susunan yang benar dan tepat, sehingga tidak

ada data yang dibutuhkan terlewatkan dan terbuang begitu saja.

39
. Cholid Narbuko dkk, 2001, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 81
d. Penarikan Kesimpulan, yaitu langkah selanjutnya setelah data tersusun secara

sistematis, kemudian dengan penarikan suatu kesimpulan yang bersifat umum

data yang bersifat khusus.

7. Analisa Data

Data yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpul data belum memberikan

arti apa-apa. Penelitian belum dapat ditarik kesimpulan bagi tujuan penelitiannya,

sebab data itu masih merupakan data mentah dan masih diperlukan usaha atau upaya

untuk mengolahnya.

Pembahasan dengan cara menguraikan data secara bermutu dalam bentuk

kalimat yang teratur, logis dan efektif sehingga memudahkan interprestasi data dan

pemahaman hasil analisa guna menjawab permasalahan yang ada dalam perumusan

masalah kemudian ditarik kesimpulan-kesimpulan. Memeriksa dan meneliti data yang

telah diperoleh untuk menjamin apakah data yang dapat dipertanggung jawabkan

sesuai dengan kenyataan. Setelah data diolah dan dirasa cukup maka selanjutnya

disajikan dalam bentuk narasi dan mungkin juga dalam bentuk tabel.

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Gambaran Umum Kota Pekanbaru

Kota Pekanbaru merupakan Ibukota Propinsi Riau dan kota terbesar di Propinsi

Riau. Kota ini merupakan salah satu sentra ekonomi terbesar di bagian Timur Pulau

Sumatera,40 dan termasuk sebagai kota dengan tingkat pertumbuhan, migrasi dan

urbanisasi yang tinggi. 41

Pekanbaru mempunyai satu Bandar udara Internasional, yaitu Bandar Udara


Sultan Syarif Qasim II dan terminal bus antar kota dan antar Propinsi Bandar Raya
Payung Sekaki, serta dua pelabuhan di Sungai Siak, yaitu Pelita Pantai dan Sungai
Duku. Saat ini kota Pekanbaru sedang berkembang pesat menjadi kota dagang yang
multi-etnik, keberagaman ini telah menjadi modal sosial dalam mencapai kepentingan
bersama untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakatnya. 42

Secara geografis kota Pekanbaru memiliki posisi strategis berada di jalur lintas
Timur Sumatera, terhubung dengan beberapa kota seperti Medan, Padang dan Jambi,
dengan wilayah administratif, diapit oleh Kabupaten Siak pada bagian Utara dan
Timur, sementara di bagian Barat dan Selatan oleh Kabupaten Kampar. Kota ini
dibelah oleh Sungai Siak yang mengalir dari Barat ke Timur dan berada pada
ketinggian berkisar antara 5-50 meter diatas permukaan laut. Kota Pekanbaru
termasuk beriklim tropis dengan suhu udara maksimum berkisar antara 34,1 ° Celcius
hingga 35,6 ° Celcius dan suhu minimum antara 20,2 ° Celcius hingga 23,0 °
Celcius.43

Sebelum tahun 1960 Pekanbaru hanyalah kota dengan luas 16 km² yang
kemudian bertambah menjadi 62.96 km² dengan 2 kecamatan yaitu kecamatan
Senapelan dan kecamatan Limapuluh. Selanjutnya pada tahun 1965 menjadi 6
kecamatan dan tahun 1987 menjadi 8 kecamatan dengan luas wilayah 446,50 km².
Setelah Pemerintah daerah Kampar menyetujui menyerahkan sebagian dari
wilayahnya untuk keperluan perluasan wilayah Kota Pekanbaru, yang kemudian
ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
1987.Pada tahun 2003 jumlah kecamatan kotaPekanbaru dimekarkan menjadi 12
kecamatan.44

40
. Profil daerah Kabupaten dan Kota, 2001, Buku Kompas. ISBN 979-709-054-X
41
. Darmawati, 2008, Determinasi Registrasi Penduduk di Kota Pekanbaru, Teroka Riau, Vol. VIII
nomor 2, hlm. 61-71
42
. Zaenuddin, Dundin, 2005, Modal Sosial Dalam Pengembangan Budaya Sipil Komunitas Etnik :
Studi kasus di Kota Manado, Sulawesi Utara & Pekanbaru, Riau, Lembaga Ilmu Pengetauan Indonesia,
ISBN 979-3673-69-9
43
. Wilayah Geografis, Pemda Kota Pekanbaru, diakses tanggal 01 Oktober 2010
44
. Wilayah Geografis, PEMDA Kota Pekanbaru, diakses 01 Oktober 2010.
Etnis Minangkabau merupakan masyarakat terbesar dengan jumlah sekitar
37,96 % dari total penduduk kota Pekanbaru. 45 Mereka pada umumnya bekerja
sebagai profesional dan pedagang. Populasi yang cukup besar telah mengantarkan
bahasa Minang sebagai bahasa pergaulan yang umum digunakan oleh penduduk Kota
Pekanbaru, selain bahasa Indonesia.46

Masyarakat Tionghoa Pekanbaru pada umumnya merupakan pengusaha,

pedagang dan pelaku ekonomi. Selain berasal dari Pekanbaru sendiri, mereka yang

bermukim di Pekanbaru banyak yang berasal dari Bengkalis, Selatpanjang dan Bagan

Siapi-api. Selain itu, masyarakat Tionghoa dari Medan dan Padang juga banyak

ditemui di Pekanbaru, terutama setelah era millennium karena perekonomian Kota

Pekanbaru yang bertumbuh sangat pesat hingga sekarang.

Agama Islam merupakan salah satu agama yang dominan di anut di Kota

Pekanbaru, pemeluk agama Kristen, Katolik, Buddha, Hindu dan Khonghucu juga

terdapat di kota ini.

B. Lembaga Perbankan/Bank

1. Defenisi Bank

Pada Pasal 1 butir (2) Undang-Undang Perbankan menyebutkan bahwa “Bank

adalah bahan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan

dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk

lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

45
. Leo Suryadinata dkk, 2003, Indonesia’s Population : Ethnicity and Religion in a Changing
Political Landscape, Institute of Southeast Asian Studies,
46
. Parsudi Suparlan, 1989, Interaksi antar Etnik di Beberapa Propinsi di Indonesia, Proyek
Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Indonesia
Kata “Bank” berasal dari bahasa Italia “Banco” yang berarti bangku. Bangku

inilah yang dipergunakan oleh bankir untuk melayani kegiatan operasionalnya kepada

para nasabah. Istilah bangku secara resmi dan populer menjadi bank. 47

Lembaga keuangan dalam arti luas adalah sebagai perantara dari pihak yang
mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak yang kekurangan dana
(lack of funds) sehingga peranan dari lembaga keuangan yang sebenarnya yaitu
sebagai perantara keuangan/dana masyarakat (Financial Intermediary). Dalam arti
yang luas ini termasuk didalamnya lembaga perbankan, perasuransian, dana pensiun,
pegadaian dan sebagainya yang menjembatani antara pihak yang kelebihan dana
dengan pihak yang memerlukan dana.48

Dalam bukunya yang berjudul “Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya”, Kasmir
memberikan defenisi mengenai Bank umum yaitu bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 49

2. Fungsi dan Tujuan Lembaga Perbankan

Fungsi perbankan adalah sebagai penghimpun, penyalur dan pelayanan jasa

dalam praktek perbankan dalam pembayaran dan peredaran uang dimasyarakat yang

bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, dalam meningkatkan

pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat banyak.

Fungsi bank secara umum sesuai dengan tugasnya dikategorikan menjadi :

a. Menghimpun Dana dari Masyarakat

Bank menghimpun dana dari masyarakat melalui tabungan, deposito berjangka,

giro ataupun bentuk simpanan lainnya. Dengan penghimpunan dana ini, bank

menjamin keamanan uang masyarakat tersebut sekaligus memberikan bunga

untuk dana tersebut.

47
. Malayu Hasibuan, 2002, Perbankan Islam, PT. Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 1
48
. Muhamad Djumhana, Loc. Cit, hlm. 1-2
49
. Kasmir, 2008, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 25
b. Menyalurkan Dana Kepada Masyarakat

Setelah menghimpun dana dari masyarakat, bank akan menyalurkan dana tersebut

kepada pihak-pihak yang membutuhkan melalui sistem kredit atau pinjaman.

Kredit yang ditawarkan bank akan mengenakan bunga kepada peminjam. Dengan

penyaluran dana tersebut maka tujuan bank dalam pelaksanaan pembangunan

nasional dapat terpenuhi. Masyarakat yang membutuhkan dana dapat

menyejahterakan kehidupannya dan menghasilkan usaha yang mendukung

pembangunan nasional.

c. Fungsi sampingan bank ;

a). Mendukung kelancaran mekanisme pembayaran ;

b). Mendukung kelancaran transaksi internasional ;

c). Penciptaan uang ;

d). Sarana Investasi ;

e). Penyimpanan Barang Berharga ;

Berdasarkan Undang-Undang Perbankan, secara garis besar tujuan perbankan

Indonesia adalah menunjang pelaksaaan pembangunan nasional dalam rangka

meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah

peningkatan kesejahteraan rakyat.

Pada Pasal 3 Undang-Undang Perbankan dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi


bank dalam sistem hukum perbankan di Indonesia sebagai perantara bagi masyarakat
yang surplus dana dan masyarakat yang kekurangan dana. Penghimpun dana
masyarakat yang dilakukan oleh bank berdasarkan pasal tersebut dinamakan
“simpanan”, sedangkan penyalurannya kembali dari bank kepada masyarakat
dinamakan “kredit”. Kesimpulan ini mengandung suatu konsep dasar dari sistem
perbankan di Indonesia bahwa dana masyarakat yang ditempatkan pada lembaga
perbankan disebut “simpanan”, tetapi dana yang ditempatkan pada masyarakat
disebut “kredit”50 dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang di masyarakat
yang bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, dalam rangka
meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah
peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.

3. Asas Perbankan

Berdasarkan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,

perbankan harus memerhatikan kesejahteraan nasabah dan tidak merugikan nasabah.

Dengan begini dapat menarik minat nasabah untuk menyimpan dananya di bank akan

terus meningkat.

Mengenai asas perbankan berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang

Perbankan dikemukakan bahwa, perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya

berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian,

sebagaimana berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Demi terciptanya sistem perbankan Indonesia yang sehat dalam kegiatan

perbankan, asas perbankan terdiri dari :

a. Asas Kepercayaan (Fiduciary Principle)

Adalah suatu asas yang menyatakan bahwa usaha bank dilandasi oleh hubungan

kepercayaan antara bank dan nasabahnya. Bank berusaha dari dana masyarakat

yang disimpan berdasarkan kepercayaan, sehingga setiap bank perlu menjadi

kesehatan banknya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan

masyarakat, sebagaimana diatur di dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang

Perbankan ;

b. Asas Kerahasiaan (Confidential Principle)

50
. Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia :
Simpanan, Jasa dan Kredit, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 7
Adalah asas yang mengharuskan atau mewajibkan bank merahasiaan segala
sesuatu yang berhubungan dengan keuangan yang lain-lain dari nasabah bank
yang menurut kelaziman dunia perbankan (wajib) dirahasiakan, sebagaimana
diatur di dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 47 A Undang-Undang Perbankan.
Menurut Pasal 40 bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya. Namun dalam ketentuan tersebut kewajiban
merahasiakan itu bukan tanpa pengecualian. 51

c. Asas Kehati-hatian (Prudential Principle)

Adalah suatu asas yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan

kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka

melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Tujuan dilakukan

prinsip kehati-hatian agar bank selalu sehat, baik dalam menjalankan usahanya

dan mematuhi ketentuan-ketentuan serta norma-norma hukum yang berlaku di

lembaga perbankan, sebagaimana yang tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat

(2) Undang-Undang Perbankan.

C. Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau

lebih.

Subekti, menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana

seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan suatu hal. Perjanjian ini menerbitkan suatu perikatan antara dua orang

yang membuatnya.52

51
. Neni Sri Imaniyati, 2010, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, PT. Refika Aditama, Jakarta,
hlm. 17
52
. Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hlm. 1
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan suatu perikatan.
Perikatan banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, sumber lain yang melahirkan
perikatan adalah undang-undang. Perikatan adalah suatu pengertian abstrak,
sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau suatu peristiwa tertentu.
Suatu Perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju melakukan
sesuatu. Perjanjian dan persetujuan mempunyai arti yang sama. 53

R. Setiawan juga merumuskan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata belum


lengkap dan terlalu luas. Belum lengkapnya defenisi tersebut karena hanya
menyebutkan perjanjian secara sepihak saja, terlalu luas karena dipergunakan kata
“Perbuatan” yang juga mencakup perwakilan sukarela dan perbuatan melawan
hukum. Sehingga dengan hal tersebut, maka defenisi perjanjian perlu diperbaiki
menjadi :
a. Perbuatan tersebut harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan
yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum ;
b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313
KUHPerdata.54

Abdul Kadir Muhammad menganggap isi Pasal 1313 KUHPerdata tersebut


diatas memiliki beberapa kelemahan, yaitu :
a. Kata “mengikatkan” dalam rumusan pasal tersebut hanya datang dari satu pihak
saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusannya adalah “saling
mengikatkan diri”, sehingga ada konsensus antara kedua belah pihak.
b. Pengertian “perbuatan” dapat diartikan luas termasuk di dalamnya tindakan
melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum
(onrechmatigedaad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya
dipakai kata “persetujuan”.
c. Pengertian perjanjian dalam pasal ini terlalu luas, karena mencakup juga
pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lingkup hukum
keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur
dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh buku tiga
KUHPerdata sebenarnya adalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan
perjanjian yang bersifat personal.
d. Dalam rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut, tidak disebutkan tujuan
mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk
apa.55

Berdasarkan alasan tersebut, Abdul Kadir Muhammad merumuskan pengertian

perjanjian menjadi “Perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih

53
. ibid, hlm. 1-3
54
. R. Setiawan, 1979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, hlm. 49
55
. Abdul Kadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 78
saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta

kekayaan”.56

Pada Pasal 1320 KUHPerdata, berdasarkan bentuknya, perjanjian berupa suatu

rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan

atau ditulis. Hubungan hukum antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa

perjanjian itu menerbitkan perikatan. Hubungan hukum adalah hubungan yang

menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum itu sendiri ada karena timbulnya hak dan

kewajiban, hak merupakan suatu kenikmatan sedangkan kewajiban merupakan beban.

Unsur-unsur yang tercantum dalam hukum perjanjian/kontrak sebagai berikut :

a. Adanya Kaidah Hukum

Kaidah dalam hukum perjanjian terbagi dua macam, yaitu tertulis dan tidak

tertulis.Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang

terdapat didalan undang-undang, traktat dan yurisprudensi, sedangkan kaidah

hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul,

tumbuh dan berkembang didalam masyarakat, dan biasanya berasal dari hukum

adat.

b. Adanya Subjek Hukum

Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperseon, yang diartikan sebagai

pendukung hak dan kewajiban, yang menjadi subjek hukum dalam hukum

kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang

sedangkan debitur adalah orang yang berutang.

56
. Ibid
c. Adanya Prestasi

Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Umumnya

prestasi terdiri dari memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat

sesuatu.

d. Kata Sepakat

Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan empat syarat sah perjanjian, salah

satunya kata sepakat (consensus). Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan

kehendak antara para pihak.

e. Akibat Hukum

Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum,

dengan timbulnya hak dan kewajiban.

2. Subjek Perjanjian

Subjek-subjek dari perikatan adalah kreditur atau si berpiutang yaitu pihak yang

berhak atas prestasi atau merupakan pihak yang aktif dan debitur atau si berhutang

yaitu pihak yang wajib memenuhi prestasi atau pihak yang pasif. 57

Terdapat 4 (empat) syarat keabsahan kontrak yang diatur dalam pasal 1320

KUHPerdata, yang merupakan syarat pada umumnya, sebagai berikut:

A. Syarat sah yang subyekif berdasarkanPasal 1320 KUHPerdata

Disebut dengan syarat subyektif karena berkenaan dengan subyek perjanjian.

Konsekuensi apabila tidak terpenuhinya salah satu dari syarat subyektif ini adalah

bahwa kontrak tersebut dapat “dapat dibatalkan” atau “dimintakan batal” oleh salah

satu pihak yang berkepentingan.Apabila tindakan pembatalan tersebut tidak

57
. Mariam Darus Badrulzaman, 1996, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,
Alumni, Bandung, hlm. 3
dilakukan, maka kontrak tetap terjadi dan harus dilaksanakan seperti suatu kontrak

yang sah.

a. Adanya kesepakatan kehendak (Consensus, Agreement)

Dengan syarat kesepakatan kehendak dimaksudkan agar suatu kontrak

dianggap sah oleh hukum, kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat

tentang apa yang diatur oleh kontrak tersebut. Oleh hukum umumnya diterima

teori bahwa kesepakatan kehendak itu ada jika tidak terjadinya salah satu

unsur-unsur sebagai berikut.

a) Paksaan (dwang, duress)

b) Penipuan (bedrog, fraud)

c) Kesilapan (dwaling, mistake)

Sebagaimana pada Pasal 1321 KUHPerdata menentukan bahwa kata sepakat

tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan

atau penipuan.

b. Wenang / Kecakapan berbuat menurut hukum (Capacity)

Syarat wenang berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan

kontrak haruslah orang yang oleh hukum memang berwenang membuat

kontrak tersebut. Sebagaimana pada Pasal 1330 KUHPerdata menentukan

bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali

undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap. Mengenai orang-orang yang

tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita temukan dalam Pasal 1330

KUHPerdata, yaitu :

a) Orang-orang yang belum dewasa


b) Mereka yang berada dibawah pengampuan

c) Wanita yang bersuami. Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (untuk

selanjutnya disingkat Undang-Undang Perkawinan). Karena Pasal 31

menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan

masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap

orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang oleh

undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUHPerdata

menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu

perjanjian yakni:

d) Orang yang belum dewasa.

Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:

a. Menurut Pasal 330 KUHPerdata, kecakapan diukur bila para pihak

yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21

tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.

b. Menurut Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan, kecakapan bagi pria

adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita

apabila telah mencapai umur 16 tahun.

e) Mereka yang berada di bawah pengampuan.

f) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang

(dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah

tidak berlaku lagi).


g) Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat

perjanjian-perjanjian tertentu.

B. Syarat sah yang objektif berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata

Disebut dengan syarat objektif karena berkenaan dengan obyek perjanjian.

Konsekuensi hukum apabila tidak terpenuhinya salah satu objektif akibatnya

adalah kontrak yang dibuat batal demi hukum. Jadi sejak kontrak tersebut dibuat

kontrak tersebut telah batal.

a) Obyek / Perihal tertentu

Dengan syarat perihal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah

berkenaan dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum.

Mengenai hal ini dapat kita temukan dalam Pasal 1332 dan 1333 KUHPerdata.

Pasal 1332 KUHPerdata menentukan bahwa “Hanya barang-barang yang dapat

diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”, sedangkan Pasal

1333 KUHPerdata menentukan bahwa “Suatu perjanjian harus mempunyai

sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah

menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu

terkemudian dapat ditentukan / dihitung.

b) Kausa yang diperbolehkan / halal / legal

Maksudnya adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud/alasan

yang sesuai hukum yang berlaku. Tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan

hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Isi perjanjian tidak dilarang oleh

undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan ketertiban umum

(Pasal 1337 KUHPerdata). Selain itu Pasal 1335 KUHPerdata juga menentukan
bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab

yang palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Suatu kontrak dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah memenuhi beberapa

persyaratan yuridis tertentu. Terdapat 4 (empat) persyaratan yuridis agar suatu

kontrak dianggap sah, sebagai berikut:

1. Syarat sah yang obyektif berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata

a) Objek / Perihal tertentu

b) Kausa yang diperbolehkan / dihalalkan / dilegalkan

2. Syarat sah yang subjektif berdasarkan Pasal 1320KUHPerdata

a) Adanya kesepakatan dan kehendak

b) Wenang berbuat

3. Syarat sah yang umum di luar Pasal 1320KUHPerdata

a) Kontrak harus dilakukan dengan i’tikad baik

b) Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku

c) Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan

d) Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan umum

4. Syarat sah yang khusus

a) Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu

b) Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu

c) Syarat akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu

d) Syarat izin dari pejabat yang berwenang untuk kontrak-kontrak tertentu

3. Asas-Asas Perjanjian
Dalam perjanjian, asas-asas perjanjian selalu dijadikan dasar dalam membuat

perjanjian, antara lain : 58

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Ketentuan mengenai asas ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata,

setiap warga Negara bebas untuk membuat kontrak disebut asas kebebasan

berkontrak atau terbuka, artinya ada kebebasan seluas-luasnya yang diberikan

oleh undang-undang kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian. Agar

perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan

kesusilaan perlu di tetapkan dengan siapa ingin membuat suatu perjanjian,

kebebasan untuk menentukan isi atau klausula, obyek atau bentuk dalam suatu

perjanjian dibuat.

b. Asas Konsensualitas

Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian sudah dilahirkan sejak tercapainya

kesepakatan. Perjanjian itu sudah sah jika sudah tercapai kesepakatan mengenai

hal-hal pokok tentang apa yang diperjanjikan. Bentuk konsesualitas terjadi pada

saat ditandatanganinya perjanjian oleh para pihak, karena tanda tangan

berfungsi sebagai bukti persetujuan atas tempat, waktu dan isi perjanjian.

c. Asas I’tikad Baik

Setiap pihak yang membuat dan melaksanakan perjanjian harus melandasinya

dengan itikad baik. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa semua

perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, artinya dalam pembuatan dan

pelaksanaan perjanjian harus mementingkan substansi perjanjian berdasarkan

58
. Yunirman Rijan, 2009, Cara Mudah Membuat Perjanjian, Raih Asa Sukses, Jakarta, hlm. 7
kepercayaan atau keyakinan yang teguh serta kemauan yang baik dan

masing-masing pihak.

d. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya.

Dalam pelaksanaannya, kerap terjadi pelanggaran (wanprestasi). Asas ini

menghendaki adanya jaminan dilaksanakannya perjanjian baik melalui

penengah atau pengadilan. Hukum akan memberikan sanksi terhadap pihak

yang melakukan pelanggaran dan cidera janji (wanprestasi).

e. Asas Personalitas

Asas ini sering disebut dengan asas kepribadian, adalah asas yang menentukan

bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat suatu perjanjian

adalah hanya untuk kepentingan perseorangan. Terkait dengan asas ini diatur

dalam Pasal 1315 KUHPerdata, yang berbunyi “Pada umumnya tak seorang pun

dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu

janji dan pada untuk dirinya sendiri. ”Hal ini berarti, perjanjian yang dibuat para

pihak hanya berlaku bagi mereka yang dibuat para pihak hanya berlaku bagi

mereka yang membuatnya, kecuali seseorang dapat mengadakan perjanjian

untuk pihak ketiga, dengan suatu syarat yang ditentukan seperti yang dimaksud

dengan Pasal 1317 KUHPerdata.

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis


atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat
akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.59 Kamus Hukum menjelaskan
bahwa perjanjian adalah persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis

59
. Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Ikthasar Indonesia , Edisi Ketiga, Balai
Pustaka, Jakarta, hlm. 458
maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah
dibuat bersama. 60

Unsur-unsur perjanjian dalam perjanjian terdiri atas :61

a. Kata sepakat dari dua pihak atau lebih.

Unsur atau ciri pertama dari perjanjian adalah adanya kata sepakat, yaitu

pernyataan kehendak beberapa orang, artinya perjanjian hanya dapat timbul

dengan kerja sama dari dua orang atau lebih atau perjanjian “dibangun” oleh

perbuatan dari beberapa orang, karenanya, perjanjian digolongkan sebagai

perbuatan hukum berganda.

b. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak.

Kata sepakat tercapai jika pihak yang satu menyetujui apa yang ditawarkan oleh

pihak lainnya. Namun, kehendak para pihak saja tidaklah cukup. Kehendak

tersebut harus pula dinyatakan. Kehendak saja dari para pihak tidak akan

menimbulkan akibat hukum. Perjanjian terbentuk setelah para pihak saling

menyatakan kehendaknya dan adanya kesepakatan diantara mereka.

c. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum.

Tidak semua janji di dalam kehidupan sehari-hari membawa akibat hukum.

Memang janji yang dibuat seseorang dapat memunculkan kewajiban sosial atau

kesusilaan. Akan tetapi, hal itu muncul bukan sebagai akibat hukum. Kesemua

itu bergantung pada keadaan dan kebiasaan di dalam masyarakat. Faktor itulah

yang harus diperhitungkan untuk mempertimbangkan apakah suatu pernyataan

60
. Sudarsono, 2007, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 363
61
. Herlien Budiono, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, PT. Citra Aditia Bakti, Bandung, hlm. 5
kehendak yang muncul sebagai janji akan memunculkan akibat hukum atau

sekedar kewajiban sosial dalam masyarakat.

d. Keinginan atau kemauan para pihak saja tidaklah cukup untuk memunculkan

akibat hukum

Untuk terbentuknya perjanjian diperlukan unsur bahwa akibat hukum adalah

untuk kepentingan pihak yang satu atas beban pihak yang lain atau bersifat

timbal balik. Akibat hukum perjanjian hanya mengikat para pihak dan tidak

dapat mengikat pihak ketiga, dan tidak membawa kerugian. Ini merupakan asas

umum dari hukum kontrak dan juga termuat di dalam ketentuan Pasal 1315

KUHPerdata juncto Pasal 1340 KUHPerdata yang menetapkan bahwa suatu

perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.

e. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan.

Bentuk perjanjian pada umumnya bebas ditentukan para pihak. Namun,

undang-undang menetapkan bahwa beberapa perjanjian tertentu harus dibuat

dalam bentuk tertentu. Penetapan demikian oleh undang-undang mengenai

bentuk yang diwajibkan mengakibatkan bahwa akta menjadi syarat mutlak bagi

terjadinya perbuatan hukum tertentu.

Bank sebagai lembaga perantara jasa keuangan (financial intermediary), yang

tugas pokoknya adalah menghimpun dana dari masyarakat, diharapkan dengan dana

dimaksud dapat memenuhi kebutuhan dana pembiayaan yang tidak disediakan oleh

dua lembaga sebelumnya (swasta dan Negara).62

Istilah pembiayaan pada dasarnya lahir dari pengertian I believe, I trust, yaitu
“saya percaya” atau “saya menaruh kepercayaan”. Perkataan pembiayaan yang

62
. Veithzal Rivai dkk, 2010, Islamic Banking : Sebuah Teori, Konsep dan Aplikasi, Bumi Aksara,
Jakarta, hlm. 679
artinya kepercayaan (trust) berarti bank menaruh kepercayaan kepada seorang
nasabah untuk melaksanakan amanah yang diberikan oleh bank selaku (shahibul
maal) kreditur. Dana tersebut harus digunakan dengan benar, adil dan harus disertai
dengan ikatan dan syarat-syarat yang jelas serta saling menguntungkan kedua belah
pihak. 63

D. Perjanjian Kredit

Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani yaitu “Credere” yang artinya percaya.

Maksudnya si pemberi kredit percaya kepada si penerima kredit, bahwa kredit yang

disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si penerima

kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk

membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya kredit didasari

oleh kepercayaan atau keyakinan dan kreditur bahwa pihak lain pada masa yang akan

datang sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan. 64

Perjanjian kredit merupakan pactum de contrahendo (perjanjian pendahuluan),


sehingga perjanjian ini mendahului perjanjian hutang piutang (perjanjian
pinjam-pengganti). Perjanjian kredit ini merupakan perjanjian pokok serta bersifat
pactade contrahendo obligatoir (konsensuil) disertai adanya pemufakatan antara
pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan hukum antara keduanya. Pada
saat penyerahan uang dilakukan, maka baru berlaku ketentuan yang dituangkan dalam
perjanjian kredit pada kedua belah pihak. Perjanjian Kredit sebagai perjanjian
pendahuluan adalah standard contract (perjanjian standard). Hal ini terlihat dalam
praktek bahwa setiap bank telah menyediakan blanko perjanjian kredit yang isinya
telah disiapkan terlebih dahulu. Formulir ini diberikan kepada setiap pemohon kredit,
isinya tidak dirundingkan dengan pemohon, kepada pemohon hanya diminta pendapat
untuk menerima atau tidak syarat-syarat dalam formulir. 65

Sutan Remy Sjahdeni menyatakan bahwa berbeda dengan perjanjian-perjanjian


lainnya, dalam perjanjian kredit bank harus diingat bahwa bank tidak hanya mewakili
dirinya sebagai perusahaan bank saja tetapi juga mengemban kepentingan
masyarakat, yaitu masyarakat penyimpanan dana dan selaku bagian dari sistem
moneter, oleh karena itu dalam menentukan apakah suatu klausula itu

63
. Ibid, hlm. 698
64
. Eugenia Liliawati Muljono, 2003, Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan dalam Kaitannya Dengan Pemberian Kredit oleh Perbankan, Harvaindo,
Jakarta, hlm. 8
65
. M. Bahsan, 2002, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rejeki Agung, Jakarta, hlm.
43
memberatkan, baik dalam bentuk klausula eksemi atau dalam bentuk lain,
perimbangannya sangat berbeda bila dibandingkan dengan menentukan
klausul-klausul dalam perjanjian-perjanjian baku, pada umumnya yang para pihaknya
adalah perorangan atau perusahaan biasa. 66

Pengertian Kredit menurut Undang-Undang Perbankan adalah “Kredit adalah

penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan

persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang

mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu

dengan jumlah bunga”.

Undang-Undang Perbankan tidak menentukan bentuk perjanjian kredit bank,

berarti pemberian kredit bank dapat dilakukan secara tertulis dan lisan. Dalam praktek

perbankan, guna mengamankan pembiayaan, perjanjian kredit dibuat dalam bentul

tertulis dan standar.

Undang-Undang Perbankan juga memberikan ketentuan-ketentuan pokok

terhadap bank yang memberikan kredit kepada para nasabahnya. Ketentuan-ketentuan

pokok ini merupakan pedoman perkreditan yang wajib dimiliki dan diterapkan oleh

bank dalam pemberian kredityaitu :

a. Pemberian kredit dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis ;

b. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah

debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian seksama terhadap watak,

kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha nasabah debitur ;

c. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit ;

d. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan

persyaratan kredit ;

66
. Sutan Remi Sjahdeini, 1996, Hak Tanggungan, Cetakan Pertama, Airlangga University Press,
Surabaya, hlm. 35
e. Larangan bank untuk memberikan kredit dengan persyaratan yang berbeda

kepada nasabah debitur dan atau pihak-pihak terafiliasi ;

f. Penyelesaian sengketa ;

Menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan, kredit diartikan sebagai

penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan

persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang

mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu

dengan pemberian bunga.

Menurut Ch. Gatot Wardoyo, pemberian kredit mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu
:
a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit
merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang
mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan ;
b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan
kewajiban diantara kreditur dan debitur ;
c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.67

E. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)

1. Jaminan Kebendaan

Dalam rangka menjalankan fungsi perbankan sebagai lembaga yang

menyalurkan kredit kepada masyarakat, diperlukan adanya kepastian hukum dan

perlindungan hukum terhadap terlaksananya perjanjian kredit yang diharapkan dapat

memberikan kedudukan seimbang dimata hukum antara bank (kreditur) dan nasabah

(debitur). Pengikatan jaminan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam

pemberian kredit.

Menurut Undang-Undang Perbankan, jaminan artinya keyakinan atau itikad dan

kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau

67
. Ch. Gatot Wardoyo, 1992, Sekitar Klausul-klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank dan
Manajemen, hlm. 64-69
mengembalikan pembiayaan dimaksud dengan perjanjian. Menurut Pasal 8

Undang-Undang Perbankan, pengertian jaminan adalah keyakinan atas kemampuan

dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang

diperjanjikan.

Pemberian jaminan oleh debitur kepada kreditur semata-mata hanya sebagai

jaminan dalam pengembalian fasilitas kredit yang telah dinikmati oleh debitur apabila

debitur wanprestasi. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengambil hasil

dari penjualan barang jaminan tersebut. Konsepnya, kreditur bukan untuk memiliki

hak jaminan yang diberikan oleh debitur namun untuk mengantisipasi praktek

perbankan, dalam Undang-Undang Perbankan dalam Pasal 12 A yang menyebutkan

bahwa “Bank dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan

maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik

agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar pelelangan dari pemilik agunan

dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank, dengan ketentuan

agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya”.

Jaminan Kebendaan terdiri dari :

a. Benda Tetap/Tidak Bergerak

Yang dimaksud dengan benda tetap atau barang tidak bergerak adalah suatu

benda atau barang yang tidak dapat bergerak atau tidak dapat dipindahkan

secara fisik, yaitu misalnya tanah dan bangunan, pekarangan dan apa yang

didirikan di atasnya, pohon dan tanaman ladang, mesin yang melekat pada tanah

dimana mesin tersebut berada, kapal laut serta kapal terbang.


Menurut Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan, tanah yang dapat dijadikan

jaminan adalah :

a) Tanah Hak Milik ;

b) Tanah Hak Guna Usaha (HGU) ;

c) Tanah Hak Guna Bangunan (HGB) ;

d) Tanah Hak Pakai atas Tanah Negara ;

Pengikatan jaminan atas tanah hak tersebut di atas adalah dengan APHT yang

meliputi pula seluruh bangunan dan tanaman yang berada di atasnya dan wajib

dilakukan sendiri oleh pemberi hak tanggungan.Hanya apabila benar-benar

diperlukan yaitu dalam hal pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir di

hadapan PPAT dapat dipergunakan SKMHT yang harus diberikan langsung

oleh pemberi hak tanggungan.Undang-undangmengatur bahwa SKMHT juga

dapat dipergunakan dalam hal hak atas tanah belum bersertipikat serta khusus

untuk pemberian kredit program.

b. Benda Bergerak

Yang dimaksud dengan benda bergerak atau barang bergerak adalah barang

yang karena sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan, yaitu misalnya

kendaraan bermotor, deposito, barang persediaan (inventory), barang-barang

inventaris kantor, mesin, hewan ternak, tagihan, hak tagih atas klaim asuransi

dan sebagainya.

Benda-benda tersebut dapat dijadikan jaminan atas pelunasan utang

debitur.Sedangkan pengikatan jaminan atas benda-benda tersebut adalah dengan

gadai atau fidusia.


2. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)

Pemberian kuasa adalah suatu perbuatan hukum yang bersumber pada perjanjian
yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena alasan
bermacam-macam, di samping kesibukan sehari-hari sebagai anggota masyarakat
yang demikian kompleks, sehingga sering dilakukan dengan pemberian kuasa
dengan cara surat kuasa.68

Dari sudut isinya, pemberian kuasa membebankan hak tanggungan merupakan

salah satu kuasa yang bersifat khusus dan bahkan sangat khusus , berhubungan hanya

memuat kuasa yang diberikan dalam pembebanan hak tanggungan dan tidak dapat di

substitusikan, sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Hak Tanggungan

Pasal 15 ayat (10 huruf a dan huruf b) yang dikenal dengan SKMHT.

Mengenai kuasa khusus dalam SKMHT, Pasal 1795 dan Pasal 1796 ayat (2)

KUHPerdata menyatakan secara berturut-turut sebagai berikut :

“Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu

kepentingan tertentu atau lebih…..” dan ;

“Untuk memindahtangankan benda-benda atau untuk meletakkan hipotik diatasnya,

atau untuk membuat suatu perdamaian, ataupun suatu perbuatan lain yang hanya

dapat dilakukan oleh seorang pemilik diperlukan suatu pemberian kuasa dengan

kata-kata yang tegas”.

Kesimpulan dari alinea diatas bahwa dalam kuasa khusus bisa dikuasakan lebih

dari satu perbuatan hukum (kepentingan), hal ini berbeda dengan kuasa

membebankan hak tanggungan yang hanya boleh dikuasakan 1 (satu) perbuatan

hukum, yaitu untuk membebankan hak tanggungan.

68
. Djaja S. Meliala, 2008, Penuntun Praktis Perjanjian Pemberian Kuasa Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Nuansa Alulia, Bandung, hlm. 1
Pada asasnya pemberian Hak Tanggungan wajib dihadiri dan dilakukan sendiri

oleh pemberi Hak Tanggungan sebagai pihak yang berwenang melakukan perbuatan

hukum membebankan Hak Tanggungan atas obyek yang dijadikan jaminan. Hanya

apabila benar-benar diperlukan dan berhalangan, kehadirannya untuk memberikan

Hak Tanggungan dan menandatangani APHT-nya dapat dikuasakan kepada pihak

lain.

Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Hak Tanggungan mengatur tentang SKMHT

untuk menjamin kredit tertentu seperti yang termuat dalam Peraturan Menteri Agraria

atau Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan

SKMHT untuk menjamin kredit tertentu.

SKMHT adalah surat kuasa yang diberikan oleh pihak pemberi hak tanggungan
sebagai pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk membebankan suatu benda hak
tanggungan.
Dasar Hukum SKMHT, yaitu :
a. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah ;
b. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4
Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Pengunaan Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan untuk menjamin Pelunasaan Kredit-Kredit
Tertentu.
c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia nomor 26/24/KEP/DIR/1993 tentang
kredit usaha kecil yang kemudian dicabut dan diganti dengan surat keputusan
direksi Bank Indonesia nomor 30/55/LEP/DIR tanggal 08 Agustus 1998.
Keputusannya menyatakan bahwa “Perbankan Indonesia bertujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kea rah peningkatan ksejahteraan
rakyat banyak”.69

Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan menegaskan bahwa

SKMHT wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT. Dengan demikian, berarti

kewenangan dalam pembuatan SKMHT ada pada notaris (berdasarkan Pasal 38

69
. Mariam Darus Badrulzaman, 2009, Kompilasi Hukum Jaminan, Mandar Maju, Bandung, hlm. 76
Undang-Undang Jabatan Notaris dan Peraturan Jabatan Notaris) dan PPAT

(berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012).

PPAT hanya berwenang membuat SKMHT mengenai obyek Hak Tanggungan

yang terletak di wilayah daerah kerjanya. Sebaliknya karena daerah kerjanya tidak

dibatasi, pembatasan itu tidak berlaku terhadap notaris dalam pembuatan SKMHT.

Ditunjukkannya PPAT sebagai Pejabat yang juga bertugas membuat SKMHT

adalah dalam rangka memudahkan pemberian pelayanan kepada pihak-pihak yang

memerlukan. Berbeda dengan umumnya para notaris, PPAT keberadaannya sampai

pada wilayah kecamatan. 70

Berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014

menyebutkan bahwa SKMHT yang dibuat oleh Notaris maupun Notaris/PPAT

merupakan akta otentik yang dibuat oleh mewujudkan kepastian hukum dalam hukum

jaminan. SKMHT merupakan dasar dalam pembuatan APHT yang selanjutkan akan

di daftarkan ke kantor Pertanahan setempat untuk dipasang Hak Tanggungan.

Pemasangan Hak Tanggungan terhadap jaminan Debitur kepada Kreditur dapat

mewujudkan kepastian hukum terhadap kreditur itu sendiri.

M. Yahya Harahap menjelaskan SKMHT sebagai suatu kuasa yang istimewa,

yaitu :71 “Kebolehan memberi kuasa istimewa hanya terbatas untuk tindakan tertentu

yang sangat penting. Pada prinsipnya, perbuatan hukum yang bersangkutan hanya

dapat dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Jadi pada dasarnya, perbuatan tersebut

tidak dapat dilakukan oleh kuasa berdasarkan surat kuasa. Untuk menghilangkan

ketidakbolehan itu, dibuatlah bentuk kuasa istimewa sehingga suatu tindakan yang

70
. Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, hlm. 428
71
. M. Yahya Harahap, 2006, Hukum Acara Perdata, Cetakan Keempat, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
6
hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan secara pribadi, dapat diwakilkan

kepada kuasa.

Undang-Undang Hak Tanggungan bertujuan memberikan landasan untuk dapat

berlakunya lembaga hak tanggungan yang kuat, diantaranya mengenai kedudukan

SKMHT. Persyaratan SKMHT berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak

Tanggungan, yaitu :

a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada

membebankan hak tanggungan ;

b. Tidak memuat kuasa substitusi ;

c. Mencantumkan secara jelas obyek hak tanggungan, jumlah utang dan nama

serta identitas krediturnya, nama dan identitas debiturnya, apabila debitur bukan

pemberi hak tanggungan ;

Penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, tidak


dipenuhinya syarat ini mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal demi
hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan
sebagai dasar pembuatan APHT. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa PPAT wajib
menolak permohonan untuk membuat APHT, apabila SKMHT tidak dibuat sendiri
oleh pemberi hak tanggungan atau tidak memenuhi persyaratan tersebut diatas. 72

Undang-Undang Hak Tanggungan secara tegas juga mengatakan bahwa

SKMHT tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga

kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka

waktunya (Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan) 73 bahwa “Kuasa

untuk membebankan hak tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat

72
. Sutan Remy Sjahdeni, 1999, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan
Masalah Yang dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan),
Alumni, Bandung, hlm. 105
73
. Sutan Remy Sjahdeni, 25 Juli 1996, Beberapa Permasalahan UUHT Bagi Perbankan, Makalah
pada Seminar Nasional Sehati tentang “Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan
Perbankan”, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm. 45
berakhir oleh sebab apapun juga, kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan

atau karena telah habis jangka waktunya. Ketentuan tersebut merupakan ketentuan

kuasa mutlak karena memuat penegasan klausul “tidak dapat ditarik kembali oleh

pemberi kuasa atau meninggalnya pemberi kuasa tidak mengakhiri kuasa”.

Namun, ketentuan kuasa “tidak dapat ditarik kembali” bertentangan dengan tata

cara berakhirnya pemberian kuasa yang di atur dalam Pasal 1813 juncto Pasal 1814

Buku III KUHPerdata. Pasal 1813 KUHPerdata menentukan bahwa “pemberian kuasa

berakhir dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa ; dengan pemberitahuan

penghentian kuasanya oleh di kuasa, dengan meninggalnya, pengampuannya, atau

pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa, dengan perkawinannya si perempuan

yang memberikan atau menerima kuasa”. Pasal 1814 KUHPerdata menentukan

bahwa “Si pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu

dikehendakinya, dan jika ada alasan untuk itu, memaksa si kuasa untuk

mengembalikan kuasa yang dipegangnya”.

Melihat kedua peraturan diatas, adanya ketidak serasian atau penjelasan yang

berbeda-beda (inskonsistensi) tentang berakhirnya kuasa yang ada dalam

Undang-Undang Hak Tanggungan dengan KUHPerdata, namun perlu diingat bahwa

Buku III KUHPerdata adalah bersifat hak tambahan (aanvullensrecht) sehingga pasal

tersebut dapat dikesampingkan jika para pihak menghendaki dan juga Buku III

KUHPerdata menganut sistem terbuka (openbaar system) artinya bahwa setiap orang

bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum di

atur dalam undang-undang, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang,

kesusilaan dan ketertiban umum.


Buku III KUHPerdata selain menganut system terbuka juga sebagai pelengkap,

yaitu :

a. Buku III KUHPerdata berlaku seluruhnya karena para pihak dalam membuat

perjanjian tidak mengaturnya sama sekali ;

b. Buku III KUHPerdata hanya bersifat pelengkap saja karena para pihak dalam

membuat perjanjian tidak mengaturnya secara lengkap ;

c. Buku III KUHPerdata tidak berlaku karena para pihak membuat ketentuan

sendiri secara lengkap. 74

Ketentuan sebagai hukum pelengkap inilah, maka para pihak dapat

mengenyampingkan ketentuan yang ada dalam Buku III KUHPerdata sepanjang tidak

bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, sehingga

ketentuan kuasa dapat ditarik kembali seperti yang terdapat pada KUHPerdata dapat

dikesampingkan, dengan demikian ketentuan surat kuasa yang tidak dapat ditarik

kembali seperti yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Hak

Tanggungan tidak bertentangan dengan Buku III KUHPerdata.

SKMHT mempunyai jangka waktu, untuk mencegah pemberian kuasa yang

berlarut-larut demi terciptanya kepastian hukum. Untuk tanah yang sudah terdaftar

(bersertifikat), SKMHT wajib segera diikuti dengan pembuatan APHT dalam jangka

waktu 1 (satu) bulan sesudah penandatanganan SKMHT, sedangkan untuk tanah yang

belum terdaftar, kewajiban tersebut harus dipenuhi dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan,

sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Hak

Tanggungan.

74
. Surbekti, 1979, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hlm. 13
SKMHT merupakan akta yang bersifat pemberian kuasa oleh pemilik

tanah/bangunan kepada kreditur untuk melakukan pembebanan hak tanggungan atas

tanah/bangunan yang dijadikan jaminan utang. Pada dasarnya SKMHT bukanlah

pengikatan jaminan, tetapi hanya sekedar kuasa untuk membebankan hak tanggungan

dan karenanya kreditur belum mendapatkan hak-hak yang seluasnya.

3. Pengalihan Hutang

Memiliki penghasilan dan memiliki keinginan untuk bisa membeli sebuah

rumah adalah hal yang sangat wajar. Pembelian rumah akan membutuhkan sejumlah

dana yang besar, karena itu mempersiapkannya sejak awal dan mempertimbangkan

untuk memilikinya selagi masih muda adalah hal yang lebih baik bagi yang telah

bekerja.

Harga pembelian sebuah rumah tidaklah murah, hal ini membuat banyak orang

mengalami kesulitan untuk memilikinya dengan cepat. Untuk mendapatkan sebuah

rumah secara tunai dan tidak memiliki dana yang cukup membeli rumah dapat

digunakan layanan Kredit Pemilikan Rumah (untuk selanjutnya disingkat KPR).

Peralihan kredit KPR merupakan suatu tindakan pengalihan kepemilikan sebuah

rumah dari seseorang kepada orang lain atau pihak lain (bank) yang dilakukan dengan

sebuah perjanjian resmi dan sah berdasarkan hukum serta ketentuan yang berlaku.

Peralihan kredit dalam kamus Inggris Indonesia berarti mengambil alih. 75

Menurut Ahmad Antoni K. Muda, peralihan kredit adalah pengambilalihan atau

dalam lingkup suatu perusahaan atau perubahan kepentingan pengendalian suatu

perseroan.76

75
. John M. Ehols dkk, 1990, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 578
76
. Ahmad Antoni K. Muda, 2003, Kamus Lengkap Ekonomi, GitamediaPress, Jakarta, hlm. 331
Peristiwa peralihan kredit dalam KUHPerdata dikenal dengan nama “subrogasi”.
Dalam KUHPerdata Pasal 1400, defenisi subrogasi yaitu “penggantian hak-hak
kreditor oleh seorang pihak ketiga yang membayar kreditur itu dan pihak ketiga itu
dalam rangka pembahasan ini diberi nama kreditur baru, sedang kreditur yang
menerima pembayaran dari pihak ketiga diberi nama kreditur lama. 77

Permasalahan bunga utang yang lumayan besar di bank asal memungkinkan

nasabah untuk melakukan peralihan kredit ke bank baru agar diberi kemudahan dalam

pelunasan utangnya di bank asal, yang pada prinsipnya peralihan kredit dilakukan

untuk mengurangi biaya atau beban bunga. Peralihan kredit merupakan suatu produk

kredit dalam dunia perbankan yang ditawarkan kepada nasabah oleh bank yang

tujuannya untuk membantu masyarakat menyelesaikan masalah ekonomi yang

menjeratnya walaupun sebenarnya nasabah terpaksa melakukan peralihan kredit

tersebut yang hanya ingin memperoleh dana tunai dengan bunga yang ringan.

Sistem peralihan kredit adalah salah satu produk perbankan yang disediakan

bagi para nasabah yang ingin men-take over hutangnya saat jatuh tempo maupun

karena nasabah yang tidak nyaman dengan fluktuasi bunga pada bank sebelumnya.

Peralihan kredit merupakan salah satu strategi pemasaran yang dikembangkan oleh

bank-bank saat ini.

Peralihan kredit merupakan perpindahan fasilitas kredit nasabah yang telah

berjalan di suatu bank ke bank lain, hal ini lazim terjadi di dunia bisnis, yang diambil

alih adalah sisa pokok pinjaman nasabah dari bank pemberi kredit (bank awal).

Selanjutnya nasabah akan mencicil sisa pokok pinjaman tersebut kepada bank yang

mengambil alih itu. Peralihan kredit senantiasa tumbuh dan berkembang sejalan

dengan pertumbuhan ekonomi dan kegiatan bisnis.

77
. Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat Beberapa Mata Pelajaran Dan Serba-serbi Praktek
Notaris, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hlm. 337
Ada 3 kategori utama peralihan kredit (take over), yaitu :

a. Take over horizontal, yaitu take over yang melibatkan perusahaan-perusahaan

yang merupakan pesaing langsung dalam pasar yang sama ;

b. Take over vertical, yaitu take over yang melibatkan perusahaan-perusahaan

yang berada dalam hubungan pemasok dan langganan ;

c. Take over konglomerat, yaitu take over yang melibatkan perusahaan-perusahaan

yang beroperasi dalam pasar-pasar yang tidak ada hubungannya satu sama lain

dan dilakukan dalam rangka di verifikasi aktivitas perusahaan ;

Beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa peralihan kredit yang sering

dilakukan dalam dunia bisnis yaitu suatu cara atau metode pengambilalihan peranan

dalam kegiatan bisnis yang dapat terjadi antara satu atau dua orang yang melibatkan

pihak ketiga.

Peralihan kredit yang dimaksud dalam tulisan ini yaitu pengambil alihan

peranan dari bank lama (bank asal) kepada nasabah yang melibatkan bank baru

sebagai pihak ketiga, bank baru bertindak sebagai wakil dari calon nasabah untuk

membantu melunasi sisa kredit calon nasabahnya di bank lama (bank asal),

mengambil bukti lunas kredit, asli surat agunan (sertifikat), surat perizinan, polis

asuransi dan surat roya.

Keuntungan dalam melakukan peralihan kredit karena nasabah menginginkan

bunga yang lebih rendah di bank lain daripada bunga pada bank asal. Biasanya

peralihan kredit terjadi pada produk KPR. Di awal negosiasi bank akan memberikan

akan memberikan bunga tetap pada jenjang waktu tertentu pada awal kredit untuk

menarik perhatian nasabah dan selanjutnya bunga akan berubah menjadi bunga
anuitas, pada saat itulah nasabah akan melakukan peralihan kredit karena bunga yang

tinggi.
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kekuatan Hukum SKMHT pada Proses Peralihan Kredit dengan Sarana

Hukum SKMHT dan Sejauh Mana Kekuatan Hukum SKMHT yang Berakhir

Jangka Waktunya Bagi Kreditur Atas Hak Atas Tanah Terdaftar

Kegiatan peralihan kredit merupakan hal yang wajar dilakukan di lembaga

perbankan. Peralihan kredit di perbankan pada umumnya terjadi sebagai tindak lanjut

dari adanya perbuatan hukum dari pemilik sertifikat. Alasan debitur melakukan

peralihan kredit biasanya karena debitur menginginkan bunga bank yang lebih rendah

dari bunga bank kreditur lama dan adanya penawaran yang lebih menarik dan

menguntungkan dari calon kreditur selain karena suku bunga yang rendah, selisih

bunga antara satu bank dengan bank lain, perbandingan biaya pokok ditambah biaya

bunga dan biaya lain-lain yang lebih meringankan calon debitur, debitur dapat juga

menambah plafon (pinjaman) dari kredit awal serta adanya ketidak puasan pelayanan

yang diterima oleh debitur dari kreditur awal dan alasan lainnya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Hamler dijelaskan bahwa

peralihan kredit yang timbul dari suatu perjanjian kredit tidak dapat dipisahkan dari

peralihan kredit kreditur lama atas jaminan yang sama dan menjamin fasilitas kredit

kepada kreditur baru, semua ini untuk melindungi kepentingan kreditur dan untuk

menjamin kembali dan/atau pelunasan atas setiap jumlah uang yang terhutang oleh

debitur kepada bank, maka dari itu di dalam perjanjian kredit yang dibuat antara
debitur dengan kreditur dapat disepakati adanya penyerahan jaminan oleh debitur

kepada kreditur.78

Mengacu kepada Pasal 1338 KUHPerdata sebagai bagian dari asas kebebasan

berkontrak, mekanisme dalam proses peralihan kredit yaitu pihak debitur

mengalihkan objek jaminan KPR kepada pihak ketiga selaku penerima peralihan

kredit, namun objek KPR masih dalam status jaminan (hak tanggungan) di bank lain.

Beberapa prinsip yang diperhatikan dalam mekanisme pemberian kredit,

prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan sesuai dengan fungsi perbankan dan

perkreditan. Ada 2 prinsip utama yang menjadi pedoman dalam pemberian kredit,

yaitu :79

a. Prinsip Kepercayaan

Pemberian kredit oleh bank kepada nasabah selalu didasarkan pada kepercayaan.

Bank mempunyai kepercayaan bahwa kredit yang diberikan tersebut bermanfaat

bagi nasabah sesuai dengan peruntukannya, dan bank juga harus percaya bahwa

nasabah mampu meunasi utang kredit beserta bunganya dalam jangka waktu

kredit.

b. Prinsip Kehati-hatian

Selain prinsip kepercayaan yang diberikan oleh bank satu lagi prinsip yang

diperlukan oleh bank adalah prinsip kehati-hatian. Prinsip ini diwujudkan dalam

bentuk penerapan secara konsisten berdasarkan itikad baik terhadap semua

persyaratan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberian

kredit oleh bank yang bersangkutan.

78
. Hasil Wawancara dengan Bapak Hamler, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
79
. Hermansyah, 2008, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta, hlm.
61
Pada Pasal 8 Undang-Undang Perbankan, dijelaskan juga bahwa sebelum bank

memberikan kredit yang mesti dinilai yaitu watak, kemampuan, modal, agunan dan

prospek usaha dari nasabah yang dikenal dengan prinsip 5 C, yaitu : 80

a. Penilaian Watak (Character)

Penilaian watak atau kepribadian calon debitur dimaksudkan untuk mengetahui

kejujuran atau itikad baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan

pinjamannya, sehingga tidak akan menyulitkan bank di kemudian hari. Hal ini

dapat diperoleh karena adanya hubungan antara calon debitur atau informasi yang

diperoleh dari pihak lain yang mengetahui moral, kepribadian dan perilaku calon

debitur dalam kehidupan kesehariannya.

b. Penilaian Kemampuan (Capacity)

Bank harus meneliti tentang keahlian calon debiturnya dalam bidang usaha dan

kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan dibiayai

dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga calon debitur dalam jangka waktu

tertentu mampu melunasi atau mengembalikan pinjamannya.

c. Penilaian Modal (Capital)

Bank harus melakukan analisis terhaap posisi keuangan menyerahkan mengenai

masa lalu dan yang akan datang, sehingga dapat diketahui kemampuan

permodalan calon debitur dalam menunjang pembiayaan usaha calon debitur yang

bersangkutan. Dalam pelaksanaannya, bank jarang memberikan kredit untuk

membiayai seluruh dana yang diperlukan nasabah. Nasabah waib menyediakan

dananya sendiri dan kekurangannya dapat dibiayai dengan kredit bank, sehingga

80
. Rachmadi Usman, 2001, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, hlm. 246
fungsi bank hanya menyediakan tambahan modal, biasanya lebih sedikit dari

pokoknya.

d. Penilaian Agunan (Collateral)

Untuk menanggung pembayaran kredit macet, calon debitur umumnya wajib

menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan

yang nilainya minimal sejumlah kredit yang diberikan kepadanya. Bank wajib

meminta agunan tambahan untuk menutupi pelunasan atau pengembalian kredit

atau pembiayaan yang tersisa.

e. Penilaian Prospek Usaha (Condition of Economy)

Bank harus menganalisa keadaan pasar di dalam dan di luar negeri baik masa lalu

maupun masa yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran dari hasil

proyek atau usaha calon debitur yang akan dibiayai bank dapat diketahui.

Mekanisme proses peralihan kredit pada PT. Bank Artha Graha Internasional,

Tbk juga telah menerapkan prinsip-prinsip tersebut diatas, sebagaimana berdasarkan

wawancara dengan Resa Oktaviana dijelaskan bahwa yaitu sebelum pihak kreditor

menyetujui kredit yang diajukan debitur, kreditur terlebih dahulu harus menganalisa

permohonan kredit oleh debitur tersebut, dengan melakukan penilaian berdasarkan

pada prinsip-prinsip 5 C, yaitu Character (watak), Capacity (kemampuan), Capital

(modal), Collateral (jaminan) dan Condition of Economy (kondisi ekonomi).81

Selanjutnya, menurut Ibu Resa Oktaviana, beberapa alasan debitur melakukan

proses peralihan kredit kredit di PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk, karena

debitur mempertimbangan selisih bunga antara satu bank dengan bank lainnya,

81
. Hasil Wawancara dengan Ibu Resa Oktaviana, Legal PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk,
Cabang Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
biasanya karena adanya insentif berupa reward dari bank yang dituju, kemudian

karena Debitur berharap akan memperoleh tambahan plafon kredit dari bank yang

dituju, biasanya Debitur yang memiliki catatan angsuran yang baik atau tepat waktu

dan tidak pernah menunggak pada rentang waktu diatas dua tahun dari masa kredit

maka akan memiliki peluang yang sangat besar untuk melakukan peralihan kredit,

lalu alasan selanjutnya bisa juga karena debitur merasa tidak puas atas pelayanan

yang diberikan oleh bank semula atau Debitur ingin mendapatkan bunga lebih rendah

dibandingkan bunga yang di pasang oleh bank semula dan atau karena suatu

kebutuhan keuangan yang begitu mendesak.82

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Resa Oktaviana selanjutnya, alasan

lain mengapa debitur mengajukan peralihan kredit jika dilihat dari segi ekonomi

perbankan karena terjadinya persaingan bisnis antar bank seperti suku bunga dan

service excellent sementara dari segi ekonomi debitur dengan melakukan peralihan

kredit kredit, debitur yang memerlukan dana dari bank yang dituju dalam proses

peralihan kredit digunakan untuk perputaran dunia usahanya untuk pertumbuhan

usaha saat ini yang mengalami penurunan. 83

Pihak bank akan menyetujui peralihan kredit apabila calon debitur telah

memiliki sertifikat dan telah mencicil kredit di bank lama selama lebih kurang 1

(satu) tahun masa kredit, biasanya dalam rentang waktu 1 (satu) tahun selain

sertifikat telah terdaftar atas nama kreditur sebagai pemilik hak tanggungan dapat

82
. Hasil Wawancara dengan Ibu Resa Oktaviana, Legal PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk,
Cabang Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
83
. Hasil Wawancara dengan Ibu Resa Oktaviana, Legal PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk,
Cabang Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
juga diketahui riwayat cicilan debitur apakah pernah bermasalah atau tidak melalui

pengecekan melalui BI Cheking.84

Dalam peralihan kredit, pihak ketiga belum memegang sertifikat tanah dan

bangunan yang menjadi jaminan ketika kredit telah dicairkan. Terdapatnya jeda

waktu antara pencairan kredit dan penerimaan jaminan kepada pihak ketiga sebagai

kreditur baru merupakan sebuh resiko. Dalam kondisi-kondisi tertentu jaminan belum

dapat dilepas dari pihak kedua maka perjanjian kredit dan SKMHT yang sebelumnya

telah ditandatangani oleh pihak pertama akan batal dengan sendirinya karena belum

lepasnya jaminan dan belum lunasnya hutang pihak pertama kepada pihak kedua. 85

Perkembangan kegiatan usaha dan bertambahnya lembaga pembiayaan atau

lembaga perbankan di Indonesia khususnya di Kota Pekanbaru dan pesatnya

pertumbuhan Kota Pekanbaru saat ini selain sebagai kota metropolitan bagi

daerah-daerah yang bersebelahan menjadikan Kota Pekanbaru sebagai pusat kegiatan

usaha, pusat informasi dan sebagai pusat investasi. Sebagai jalur lintas antar propinsi

bahkan antar negara menjadikan Kota Pekanbaru sebagai tempat penanaman uang

atau modal dalam usaha dengan tujuan mendapatkan keuntungan (investor),

membuka usaha baik dari investor lokal maupun investor dari luar negeri untuk

menanamkan aset dan saham dikota Pekanbaru.86

Lembaga pembiayaan maupun lembaga perbankan berlomba-lomba untuk

menawarkan produk-produk yang ada di masing-masing bank mereka.

Perhitungannya, bank membutuhkan dana dari debitur untuk dapat melakukan

84
. Hasil Wawancara dengan Ibu Resa Oktaviana, Legal PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk,
Cabang Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
85
. Hasil Wawancara dengan Bapak Hamler, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
86
. Hasil Wawancara dengan Ibu Resa Oktaviana, Legal PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk,
Cabang Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
perputaran dana yang dititipkan debitur kepada bank dan debitur membutuhkan dana

tersebut untuk melakukan perputaran uang guna menyokong usaha yang dijalankan.

Dengan aset yang debitur punya, debitur mencari lembaga perbankan yang dapat

menerima kreditnya dengan memberikan suku bunga yang rendah, selisih bunga yang

relatif dibawah suku bunga kreditur awal, bebas provisi, bebas administrasi dan dapat

untuk menambah jumlah pinjaman dari jumlah pinjaman yang dahulu diperolehnya

dari kreditur awal. 87

Dalam proses peralihan kredit kredit, baik peralihan kredit antar debitur maupun

peralihan kredit yang dilakukan antar bank, pelaksanaannya pihak pertama (debitur)

menandatangani Perjanjian Kredit dan SKMHT. Perjanjian Kredit yang

ditandatangani harus dibuat dalam bentuk tertulis baik dibawah tangan88 maupun

dalam bentuk akta Otentik.89 Semua isi dan bentuk perjanjian kredit merupakan draft

standar yang telah disiapkan oleh pihak bank untuk ditanda tangani debitur.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Hamler dijelaskan bahwa SKMHT

merupakan pengikatan jaminan awal, yang nantinya dijadikan dasar untuk pemberian

hak tanggungan dengan menandatangani APHT. SKMHT merupakan kuasa khusus

yang diberikan pemberi hak tanggungan untuk membebankan hak tanggungan atas

nama kreditur. Berdasarkan janji-janji yang terdapat di dalam isi SKMHT, dalam

proses peralihan kredit, pemberi kuasa dalam hal ini belum memiliki kewenangan

87
. Hasil Wawancara dengan Ibu Resa Oktaviana, Legal PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk,
Cabang Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
88
. Akta bawah tangan yaitu akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa
bantuan dari pejabat yang berwenang. Akta bawah tangan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang
lengkap sepanjang tanda tangan dalam akta tersebut diakui keasliannya sedangkan apabila tanda tangan
atau tulisannya dipungkiri maka proses pemeriksaan kepalsuan harus diselesaikan terlebih dahulu,
berdasarkan ketentuan pada Pasal 1874 KUHPerdata
89
. Akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat
oleh atau pejabat umum yang berwenang untuk itu, ditempat dimana akta itu dibuat (Pasal 1868 BW)
untuk mengalihkan objek jaminannya yang masih atas nama pemegang hak

tanggungan awal karena debitur belum memiliki secara tertulis surat bukti lunas dan

surat roya hak tanggungan. Kelemahan SKMHT dalam peralihan kredit salah satunya

karena belum adanya kepastian hukum terhadap perbuatan hukum yang hanya

menandatangani SKMHT.90

Selanjutnya Bapak Hamler juga menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan

peralihan kredit kredit melibatkan beberapa pihak yang bekerja sama, yaitu pihak dari

kreditur awal (bank awal), pihak debitur, pihak kreditur baru (bank baru), pihak dari

Kantor Pertanahan dan dari Notaris. Pihak-pihak ini saling berhubungan satu sama

lain dan bekerja sama untuk mendapatkan dan memberikan informasi sehubungan

dengan peralihan kredit ini guna menghindarkan konflik-konflik antar pihak di

kemudian hari atas perbuatan hukum yang telah dilaksanakan. Dalam proses

peralihan kredit, selain dokumen tertulis yang dipersiapkan secara cermat dan teliti

juga data yang diperoleh dari Kantor Pertanahan berupa informasi jaminan dahulu

yang masih tercatat atas nama kreditur (bank lama) harus dipastikan. Dengan adanya

Surat Keterangan Pendaftaran Tanah yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kota

Pekanbaru atau Kantor Pertanahan setempat memberi keyakinan kepada

masing-masing pihak untuk bisa lanjut melaksanakan proses peralihan kredit ini.

Berkaitan dengan penjelasan yang disampaikan Bapak Hamler tersebut diatas

dan juga berdasarkan wawancara dengan Ibu Affin dijelaskan juga bahwa dalam

proses peralihan kredit, sertifikat asli yang masih berada di kreditur lama (pihak

kedua) mengurangi syarat utama dalam pengikatan yang dilakukan antara pihak

90
. Hasil Wawancara dengan Bapak Hamler, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
ketiga dengan pihak pertama. Pihak ketiga belum mempunyai jaminan atas kedit yang

akan di cairkan ke rekening debitur untuk pelunasan hutang pihak pertama kepada

pihak kedua. Untuk memberikan rasa tenang dan aman atas peralihan kredit kredit

tersebut adalah dengan meminta Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (untuk

selanjutnya disebut SKPT) dari Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru atau Kantor

Pertanahan setempat berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan

Pertanahan. Berikut persyaratan yang dibutuhkan untuk memperoleh SKPT sesuai

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan adalah sebagai berikut :

a. Mengisi formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon

atau kuasanya ;

b. Surat Kuasa apabila dikuasakan ;

c. Fotocopy identitas (KTP) pemohon dan kuasanya apabila dikuasakan, yang

telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket Kantor Pertanahan ;

d. Bukti hubungan hukum antara subjek dan objek hak ;

Dalam Pelaksanaannya, SKPT diperoleh dengan cara sebagai berikut :

a. Pihak Ketiga mengajukan surat permohonan kepada notaris yang telah ditunjuk

sebagai rekanan dari Pihak Ketiga, untuk melanjutkan keinginan dalam

perolehan keterangan tentang identitas debitur dan jaminan hak atas tanah yang

masih berada di tangan Pihak Kedua ;


b. Berdasarkan surat permohonan dari Pihak Ketiga tersebut kepada kantor Notaris

rekanan, kemudian Notaris membuat surat pengantar untuk informasi hak atas

tanah tersebut di tujukan kepada Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru ;

c. Kemudian surat pengantar dari Notaris dimasukkan ke loket informasi pada

Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru, untuk proses tersebut dikenakan biaya

PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) ;

d. Penyelesaian SKPT tersebut dibutuhkan waktu lebih kurang 1 (satu) minggu

sejak surat didaftarkan dan bayar PNBP nya.91

Setelah Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru mengeluarkan SKPT terkait dengan

kredit pihak pertama di PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk, Notaris

menginformasikan SKPT tersebut kepada pihak PT. Bank Artha Graha Internasional,

Tbk, setelah diterima oleh PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk, maka pihak dari

PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk akan memberikan orderan kepada notaris

atas apa saja akta yang akan dibuat sehubungan dengan peralihan kredit kredit antar

bank ini.

Pihak ketiga akan mengatur jadwal penandatanganan atas peralihan kredit ini

bersamaan waktunya dengan pelunasan utang pihak pertama kepada pihak kedua.

Setelah jadwal waktu pengikatan dan pelunasan kredit cocok antara pihak pertama,

pihak pihak kedua, pihak ketiga dalam hal ini PT. Bank Artha Graha Internasional,

Tbk dan notaris, dilaksanakanlah penandatanganan Perjanjian Kredit dan

penandatanganan akta SKMHT. Perjanjian Kredit yang ditandatangani oleh pihak

pertama berupa perjanjian kredit yang dibuat secara dibawah tangan dan dapat juga

91
. Hasil Wawancara dengan Ibu Affin, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
berupa Akta Perjanjian Kredit yang dibuat secara notariil. 92 Sarana hukum yang

digunakan dalam peralihan kredit ini adalah SKMHT. Pembuatan APHT belum dapat

dilakukan karena jaminan kredit dalam bentuk hak atas tanah terdaftar (sertifikat)

masih berada di kantor kreditur awal dan masih terdaftar atas nama pemegang hak

tanggungan kreditur awal, jadi untuk proses pendaftaran hak tanggungan selanjutnya

ke atas nama kreditur baru, sertifikat tersebut harus dilakukan penghapusan nama

pemilik hak tanggungan di dalam sertifikat milik debitur tersebut, karena itu juga

sarana hukum yang digunakan masih dalam bentuk akta SKMHT. 93

Selanjutnya menurut wawancara dengan Ibu Affin, isi SKPT tersebut berupa

nama pemilik sertifikat, nomor sertifikat hak atas tanah, luas tanah, kelurahan/desa,

kecamatan, nomor bidang tanah dan catatan mengenai pembebanan hak tanggungan

sesuai yang tertera di dalam sertifikat hak atas terdaftar. SKPT inilah yang dapat

memberikan rasa aman terhadap pihak ketiga dalam mencairkan uang kepada

rekening pihak pertama guna melunasi utang pihak pertama kepada pihak kedua agar

semua jaminan yang berada di pihak kedua dapat dikeluarkan.94

SKMHT adalah kuasa yang diberikan oleh pemberi hak tanggungan sebagai

pemberi kuasa kepada penerima kuasa khusus untuk membebankan suatu benda

dengan hak tanggungan.95 Terkait dengan masa berlakunya SKMHT, Undang-Undang

Hak Tanggungan telah mengaturnya di dalam Pasal 15 ayat (3) dan (4) yang pada

intinya disebutkan bahwa untuk hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti

dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan dan

92
. Hasil Wawancara dengan Ibu Affin, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
93
. Hasil Wawancara dengan Ibu Affin, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
94
. Hasil Wawancara dengan Ibu Affin, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
95
. Mariam Darus Badrulzaman, 2004, Buku II Kompilasi Hukum Jaminan, Mandar Maju, Bandung,
hlm 76
untuk hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT

selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.

Notaris sebagai pihak yang netral, saat penandatanganan Perjanjian Kredit dan

SKMHT, harus menjelaskan dan memberikan penyuluhan hukum kepada pihak

pertama dan pihak ketiga atas segala tindakan hukum yang dilakukan dalam proses

peralihan kredit untuk kebaikan para pihak yang berjanji dan bersepakat. Tugas notaris

untuk mencegah terjadinya konflik antar para pihak sebelum kedua belah pihak

bersepakat melakukan penandatanganan Perjanjian Kredit dan SKMHT atau perbuatan

hukum lainnya. 96

Notaris juga menyampaikan kepada pihak pertama jika proses di Kantor

Pertanahan sehubungan dengan roya hak tanggungan hingga pengecekan sertifikat

memerlukan waktu lebih sedangkan jangka waktu SKMHT dalam hal ini hanya 1

(satu) bulan. Diminta kepada pihak pertama dan pihak ketiga saat penandatangan

SKMHT lanjutan hadir kembali dihadapan notaris untuk penandatanganan SKMHT

lanjutan tersebut.97

Menurut wawancara dengan Bapak Hamler, penandatanganan SKMHT lanjutan

untuk hak atas tanah terdaftar disebabkan proses verifikasi, penghapusan roya hak

tanggungan atas nama pihak kedua di dalam sertifikat hak atas tanah dan sertifikat hak

tanggungan serta pengecekan sertifikat di Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru belum

selesai sehingga belum dapat dilakukan pembuatan APHT. 98

Menurut Ibu Affin, cara aman meminta debitor hadir kembali untuk

menandatangani SKMHT ulang dihadapan notaris dengan meminta debitor membuat

96
. Hasil Wawancara dengan Ibu Affin, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
97
. Hasil Wawancara dengan Ibu Affin, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
98
. Hasil Wawancara dengan Bapak Hamler, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
surat Pernyataan yang isinya bersedia hadir kembali untuk menandatangani SKMHT

jika suatu hari diperlukan demi kelanjutan pembuatan APHT untuk mendaftarkan hak

tanggungan atas nama pihak ketiga yaitu PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk. 99

Sama halnya dengan penandatanganan SKMHT pertama, SKMHT lanjutan

dibuat dihadapan Notaris maupun Notaris/PPAT 100 dalam bentuk akta otentik dan

dalam Bahasa Indonesia sehingga SKMHT memiliki kekuatan pembuktian yang

sempurna sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Jabatan

Notaris dan Peraturan Jabatan Notaris (PJN) ataupun dalam berbentuk akta PPAT

berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 8 Tahun 2012.

Tujuannya untuk memberikan kepastian hukum dalam hukum jaminan untuk

kreditur, karena SKMHT merupakan dasar dalam pembuatan APHT yang kemudian

didaftarkan ke Kantor Pertanahan guna dipasang Hak Tanggungan. Pemasangan hak

tanggungan terhadap jaminan pihak pertama atas nama pihak ketiga dapat memberikan

hak preferent (hak yang diutamakan dari pada kreditur lain) kepada pihak ketiga jika

suatu waktu pihak pertama mengalami wanprestasi atau meninggal dunia. 101

Akta otentik sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna, jika seluruh ketentuan prosedur dan tata cara pembuatan aktanya dipenuhi.
Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi dan prosedur yang tidak dapat dipenuhi tersebut
dapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan
sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Jika
sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan kepada
hakim. 102

Karakter yuridis akta notaris, yaitu :

99
. Hasil Wawancara dengan Ibu Affin, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
100
. Hasil Wawancara dengan Bapak Hamler, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
101
. Hasil Wawancara dengan Ibu Affin, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
102
. Habib Adjie, 2007, Telaah Ulang, Kewenangan PPAT Untuk Membuat Akta, Bukan Mengisi
Blanko/Formulir Akta, Renvoi 8.44, Jakarta, hlm. 41
a. Akta notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang

(Undang-Undang Jabatan Notaris) ;

b. Akta notaris dibuat karena ada permintaan para pihak, dan bukan keinginan notaris

c. Meskipun di dalam akta notaris tercantum nama notaris, tapi dalam hal ini notaris

tidak berkedudukan sebagai pihak yang sama-sama para pihak atau penghadap

yang namanya tercantum dalam akta.

d. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapapun yang terkait dengan

akta notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang tercantum dalam akta

tersebut.

e. Pembatalan daya ikat akta notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para

pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, maka pihak

yang tidak setuju harus mengajukan permohonan ke pengadilan umum agar akta

yang bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat

dibuktikan.

Akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah

tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal

1869 BW, yaitu karena :

a. Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau ;

b. Tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau ;

c. Cacat dalam bentuknya ;


Maka akta tersebut tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun mempunyai

kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan jika akta tersebut ditandatangani

oleh para pihak.

Notaris wajib membuat SKMHT dalam bentuk akta notaris (bukan surat) dengan

memenuhi semua ketentuan yang tercantum dalam Pasal 38 Undang-Undang Jabatan

Notaris dan tidak mempergunakan blangko SKMHT. Jika ada notaris yang membuat

SKMHT masih menggunakan blangko SKMHT, maka notaris tersebut telah bertindak

diluar kewenangannya, sehingga SKMHT tersebut tidak mempunyai kekuatan

pembuktian sebagai akta otentik, tapi hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai

akta dibawah tangan dan tindakan notaris tersebut dapat menimbulkan kerugian

terhadap pihak-pihak yang namanya tersebut di dalam akta, ini melanggar Pasal 1869

KUHPerdata.

SKMHT yang tidak dibuat sebagaimana diatur dalam PERKABAN Nomor 8

Tahun 2012, Undang-Undang Jabatan Notaris dan Peraturan Jabatan Notaris, maka

SKMHT akan menjadi akta dibawah tangan dan sebagaimana disebutkan dalam Pasal

48 ayat (3) Undang-Undang Jabatan Notaris “Pelanggaran terhadap ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan suatu akta hanya

mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan dan dapat menjadi

alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti

rugi dan bunga kepada Notaris”.

Selain sanksi yang diatur dalam Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang Jabatan

Notaris tentang penggantian biaya, ganti rugi dan bunga yang timbul, notaris yang

membuat SKMHT ke II yang tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan


tersebut dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (11)

Undang-Undang Jabatan Notaris. Notaris dalam menjalankan tugasnya harus bertindak

amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang

terkait dalam perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a.

Dalam hukum Perdata tindakan notaris dalam membuat SKMHT ke II maupun

selanjutnya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dapat

dikategorikan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum diatur dalam

Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang

membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu.”

Jika SKMHT dibuat dan dipergunakan sesuai dengan peraturan yang berlaku dan

sesuai kepentingan kreditur, maka SKMHT dapat memberikan kedudukan yang kuat

kepada kreditur karena SKMHT tidak akan dapat ditarik kembali, tidak dapat berakhir

karena sebab apapun dan tidak akan dapat dipergunakan jika telah habis jangka

waktunya serta hak dan kewajiban para pihak menjadi lebih jelas dan pasti.

Berdasarkan wawancara dengan Ibu Affin dijelaskan bahwa maksud dari

SKMHT tersebut tidak dapat ditarik kembali apabila telah ditandatangani oleh para

pihak adalah apa yang telah tertulis di dalam SKMHT dan tertuang didalam perjanjian

pokok. Perjanjian pokok dan SKMHT tersebut merupakan satu kesatuan atau bagian

yang tidak dapat dipisahkan walaupun perjanjian pokok dan SKMHTdibuat secara

terpisah dan perjanjian pokok tersebut dibuat secara akta notariil, surat dibawah tangan

maupun secara lisan. Jadi, yang tidak dapat ditarik kembali itu adalah perjanjian
pokoknya. Intinya, antara perjanjian pokok dan SKMHT saling berhubungan satu

dengan lainnya yang tidak akan terpisahkan. 103

Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (2)

KUHPerdata yang berbunyi “Perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan

kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh

undang-undang”.

Selanjutnya dalam wawancara dengan Ibu Affin dijelaskan bahwa SKMHT akan

gugur dengan sendirinya jika masa berlakunya berakhir. Jadi, apa yang telah ditanda

tangani oleh debitur dalam hal perjanjian pokok dan perjanjian accesoir (perjanjian

tambahan) tidak akan dapat dibatalkan atau berlaku surut (asas non-retroaktif) karena

perbuatan hukum yang telah dilakukan debitur tersebut telah diatur di dalam

undang-undang, bertalian dengan asas itu terdapat juga pada Pasal 2 Algemene

Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (“AB”) serta di dalam hukum pidana,

tercantum lagi di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “Tiada suatu

perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam

undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”. 104 Oleh karena itu,

terhadap SKMHT yang telah berakhir jangka waktunya sebagaimana yang telah diatur

didalam Pasal 15 Undang-Undang Hak Tanggungan, tidak mempunyai kekuatan

hukum bagi kreditur walaupun kreditur baru telah melakukan pencairan kredit untuk

membiayai pelunasan utang debitur kepada kreditur awal dalam praktek peralihan

kredit dan SKMHT dianggap batal demi hukum, terhadap perbuatan hukum

103
. Hasil Wawancara dengan Ibu Affin, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
104
. Hasil Wawancara dengan Ibu Affin, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
selanjutnya karena tidak dapat dipergunakan sebagai dasar dalam pembuatan APHT,

kecuali terhadap SKMHT tersebut telah dilaksanakan. 105

SKMHT yang telah berakhir jangka waktunya tidak akan memiliki kekuatan

hukum bagi kreditur. Sesuai dengan Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Hak

Tanggungan, SKMHT yang tidak dilanjutkan dengan pemberian Hak Tanggungan

adalah batal demi hukum, dan tidak bisa memberikan kekuatan eksekutorial untuk

mengeksekusi objek jaminan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur.

Sehubungan dengan telah dicairkannya kredit debitur namun SKMHT belum

dilakukan APHT hingga SKMHT tersebut berakhir jangka waktunya tidak akan

membuat perjanjian pokok atau perbuatan hukum yang berkaitan dengan take over

tidak akan berlaku surut juga. 106

Selain itu, asas non-retroaktif juga disebutkan dalam Pasal 281 Undang-Undang

Dasar Tahun 1945 yang berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak

kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak

untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar

hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apapun”.

Menurut pendapat penulis, dengan adanya larangan undang-undang berlaku surut

terhadap suatu perbuatan hukum sebagaimana yang telah diatur di dalam

undang-undang, hal itu untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum

terhadap pihak-pihak yang melakukan perbuatan hukum atau peristiwa hukum. Seperti

masyarakat yang telah mempelajari bidang ilmu hukum, hukum itu berfungsi untuk

105
. Hasil Wawancara dengan Ibu Affin, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
106
. Hasil Wawancara dengan Bapak Hamler, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
melindungi kepentingan manusia dan sebagai alat untuk mengatur dan menjaga

ketertiban umum bagi warga negara suatu negara agar tercipta keadilan, keamanan,

kenyamanan serta kemakmuran rakyat.

Kekuatan hukum SKMHT telah dijamin dalam Undang-Undang Hak

Tanggungan guna menjamin pelunasan kredit, namun belum dapat dijadikan dasar

untuk mengeksekusi jaminan. Agar mempunyai kekuatan hukum dalam mengeksekusi

jaminan maka SKMHT harus dilanjutkan dengan pembuatan APHT kemudian

didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat untuk diterbitkan sertifikat hak

tanggungannya. Sertifikat Hak Tanggungan inilah yang menjadikan dasar kekuatan

hukum eksekutorial bagi kreditur.107

SKMHT tanpa diikuti dengan APHT akan dipertanyakan kekuatan hukum dan

perlindungannya, apakah tetap dapat melindungi kreditur dengan jaminan

tanah/bangunan yang diberikan debitur? Jawabannya yaitu SKMHT belum mempunyai

kekuatan hukum karena SKMHT bukanlah suatu lembaga jaminan, SKMHT hanya

suatu bentuk kuasa yang diberikan oleh pemilik jaminan kepada pihak yang berhak

menerimanya, kuasa yang suatu saat kekuatannya akan menimbulkan masalah. 108

Kaitan teori kepastian hukum yang penulis ambil untuk memecahkan

permasalahan dalam tulisan ini adalah penandatangan SKMHT belum dapat

memberikan kepastian hukum atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak

antara pihak pertama (debitur) dan pihak ketiga (kreditur baru). Pihak ketiga akan

merasakan kekhawatiran jika suatu waktu pihak pertama memiliki itikad tidak baik

dan cidera janji setelah pencairan uang dari pihak ketiga untuk melunasi utang pihak

107
. Hasil Wawancara dengan Ibu Affin, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
108
. Hasil Wawancara dengan Bapak Hamler, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
pertama di tempat pihak kedua. SKMHT yang belum dilanjutkan pendaftaran hak

tanggungan, jika pihak pertama cidera janji (wanprestasi) maka pihak ketiga tidak

memiliki kekuatan eksekutorial terhadap objek jaminan yang di berikan pihak

pertama kepada pihak ketiga.

Disamping hal tersebut diatas, untuk mencegah berlarut-larutnya pemberian

kuasa dalam SKMHT dan demi tercapainya kepastian hukum, SKMHT dibatasi

jangka waktu berlakunya, sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 15 ayat (3)

Undang-Undang Hak Tanggungan menentukan terhadap tanah-tanah yang sudah

terdaftar, SKMHT wajib segera diikuti dengan pembuatan APHT dalam jangka waktu

1 (satu) bulan sesudah diberikan dan terhadap tanah-tanah yang belum terdaftar,

SKMHT tersebut harus dipenuhi dalam waktu 3 (tiga) bulan.

Lebih lanjut, analisis penulis antara teori hukum dan jangka waktu SKMHT

dalam tesis ini disimpulkan bahwa, SKMHT yang berakhir jangka waktunya tidak

bisa dilanjutkan dengan pembuatan APHT mengakibatkan objek jaminan yang

diagunkan kepada pihak ketiga tidak memiliki kepastian hukum bagi pemegang hak

tanggungan (pihak ketiga) karena didalam sertifikat hak atas tanah dan sertifikat hak

tanggungan belum muncul nama pemegang hak tanggungannya (dalam hal ini

bank/kreditur). Terdaftarnya nama pemegang hak tanggungan didalam sertifikat hak

atas tanah dan sertifikat hak tanggungan, memberikan kekuatan kepada pihak ketiga

dalam mengeksekusi objek jaminan melalui pelelangan.

Untuk hal itu, Notaris berperan mewujudkan prinsip kehati-hatian demi

tercapainya kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap para pihak yang

tertera di dalam akta Perjanjian Kredit dan SKMHT yang ditanda tangani di awal
pengikatan. Akta yang dibuat oleh Notaris harus memberikan kepastian hukum dan

perlindungan hukum bagi para pihak yang melakukan kesepakatan dalam perjanjian

kredit, hal itu untuk menghindari konflik yang merugikan para pihak dalam akta

tersebut, maupun merugikan Notaris sendiri. Apalagi salah satu pihak yang

mengikatkan diri tersebut mengingkari perbuatan hukum yang telah dilakukannya.

Hubungan hukum antara teori perlindungan hukum dan pengalihan kredit

dengan SKMHT yang telah berakhir jangka waktunya yaitu sebagaimana berdasarkan

Pasal 15 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa jangka

waktu SKMHT untuk hak atas tanah terdaftar adalah 1 (satu) bulan dan SKMHT

untuk hak atas tanah belum terdaftar adalah 3 (tiga) bulan, SKMHT yang belum

dibuat APHT nya sampai jangka waktu yang telah diatur dalam Undang-Undang Hak

Tanggungan tidak dapat memberikan kekuatan perlindungan hukum terhadap

kedudukan pihak ketiga sebagai pihak yang telah mencairkan dana kredit untuk

pelunasan utang pihak pertama kepada pihak kedua dalam pengalihan kredit antar

bank. Perlindungan Hukum di negara kita tetap mengacu kepada Pancasila dan

peraturan perundang-undangan. Perlindungan hukum atas perbuatan hukum yang

telah dilakukan dalam proses peralihan kredit tersebut bagi kreditur dan debitur

adalah untuk melindungi harkat dan martabat sebagai manusia yang masing-masing

memiliki kepentingan. Perlindungan hukum dibuat oleh negara untuk menciptakan

kenyamanan, ketertiban, ketentraman serta keserasian antara nilai-nilai dan

kaidah-kaidah dalam sikap dan sifat individunya menjadikan manusia tersebut

menikmati martabatnya dalam kehidupan antar sesama manusia.


Perlindungan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan di negara

kita dibuat untuk mendapatkan dan memberikan kepastian hukum kepada para pihak

yang saling sepakat untuk melakukan satu atau beberapa perbuatan hukum, agar para

pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian dan perbuatan hukum tersebut dapat

menikmati masing-masing hak dan kewajibannya serta dapat menerima sanksi atas

pelanggaran-pelanggaran dari hak dan kewajiban atas perbuatan hukum itu sendiri.

Di dalam peraturan perundang-undangan yang ada di negara kita ini, segala

bentuk perbuatan hukum yang ada memiliki aturan tersendiri agar pelaku perbuatan

hukum tersebut dapat melaksanakan perbuatan hukumnya sesuai dengan kepentingan

orang banyak serta untuk menghindari berbagai macam konflik antar sesama pelaku

perbuatan hukum. SKMHT yang di gunakan dalam proses peralihan kredit kredit

kaitannya dengan teori kemanfaatan hukum adalah hukum dibuat untuk menciptakan

keadilan hukum, kepastian hukum dan persamaan kedudukan di depan hukum. Dalam

teori kemanfaatan hukum ini, menurut pendapat penulis adalah hukum di buat bukan

untuk memberikan kesengsaraan dan penderitaan kepada masyarakat dalam suatu

negara tetapi untuk memberikan kesenangan, kegembiraan, kemanfaatan serta

kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat yang ada di dalam suatu negara

tersebut, hukum tidak akan memberikan kesengsaraan kepada masyarakatnya, tetapi

hukum akan memberikan kesenangan dan kebahagiaan bagi warga negaranya yang

menjalankan hukum itu sesuai dengan peraturan-peraturan yang dibuat di negara itu.

Konsep perlindungan hukum yang diciptakan penguasa dengan aturan-aturan

yang ada dalam bentuk perundang-undangan dan peraturan-peraturan di negara kita

untuk menyeimbangkan undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuat dengan


pelaksanaan dilapangan tidak selalu seiring sejalan, semua itu untuk memberikan

pengakuan dan perlindungan hukum kepada hak-hak asasi manusia dengan

meletakkan pembatasan-pembatasan apa saja yang harus dilakukan bagi warga

negaranya untuk kepentingan masyarakat dan pemerintah itu sendiri.

SKMHT harus segera dilaksanakan pembuatan APHT nya sesegera mungkin

dalam jangka waktu 1 bulan untuk sertifikat hak atas tanah terdaftar dan 3 bulan

untuk sertifikat belum atas tanah terdaftar. SKMHT tidak akan mempunyai kekuatan

hukum jika belum di tandatanganinya APHT dihadapan PPAT dan segera didaftarkan

di kantor Pertanahan setempat. SKMHT hanya sebagai sarana atau dasar pembuatan

APHT, jika SKMHT tidak mempunyai kekuatan hukum, maka APHT tidak akan

mempunyai kekuatan eksekutorial bagi pihak ketiga (jika debitur wanprestasi). Pihak

pertama (Debitur), pihak ketiga (kreditur) dan Notaris tidak menginginkan terjadinya

konflik di belakang hari dengan perbuatan hukum ini, karena SKMHT yang belum

dilanjutkan dengan pemberian hak tanggungan dalam bentuk APHT dan dilanjutkan

pendaftaran di Kantor Pertanahan untuk penerbitan sertifikat hak tanggungan.

SKMHT belum mempunyai kekuatan hukum bagi pihak ketiga apalagi dalam rentang

waktu penyelesaian proses roya hak tanggungan dilanjutkan pengecekan sertifikat di

Kantor Pertanahan lalu SKMHTnya berakhir dan pihak pertama mengalami cedera

janji atau pihak pertama keberatan untuk menandatangani perpanjangan SKMHT

lanjutan, SKMHT tidak dapat memberikan kekuatan hukum, kepastian hukum,

perlindungan hukum dan kemanfaatan hukum bagi pihak ketiga.

Masyarakat sangat mengharapkan dan membutuhkan kemanfaatan hukum

dalam kehidupan masyarakat, untuk memulihkan tatanan kehidupan serta


menyeimbangkan konflik-konflik yang nantinya terjadi antara kreditur dan debitur

dalam mempertahankan hak dan kewajibannya dalam perjanjian utang piutang yang

telah terjadi.

Teori Kepastian Hukum, Teori Perlindungan Hukum dan Teori Kemanfaatan

Hukum, diperlukan untuk memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum serta

kemanfaatan hukum bagi kreditur baru dalam hal ini PT. Bank Artha Graha

Internasional, Tbk yang telah mencairkan kredit kepada debitur untuk melunasi utang

debitur kepada kreditur awal.

Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus ditegakkan, yaitu

keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum, ketiganya harus seiring sejalan.

Namun, pelaksanaannya tidak seperti yang di idam-idamkan masyakat pada

umumnya. Tidak selalu mudah untuk mengusahakan ketiga unsur ini kompromi

secara seimbang. Kenyataannya, sering kali antara teori kepastian hukum terjadi

benturan dengan kemanfaatan hukum, atau teori perlindungan hukum dengan

kepastian hukum, sehinggga sering merugikan bagi teori kemanfaatan hukum bagi

masyarakat luas.

Sejauh ini, menurut penulis, hukum merupakan suatu sistem bahwa hukum

merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian yang saling

berkaitan erat satu sama lain dalam bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan

tersebut. Namun, belum semua sistem hukum yang ada di Indonesia terlaksana sesuai

dengan harapan untuk mendapatkan ketenangan, kedamaian dan ketertiban. Sanksi

yang ada dalam setiap pelanggaran-pelanggaran dari hukum itu sendiri juga belum
memberikan keadilan bagi pelaku pelanggarannya tersebut, belum juga memberikan

kepastian dan manfaat terhadap pelanggar hukum itu sendiri.

Dengan adanya teori kemanfaatan hukum dalam prakteknya, bukan berarti teori

kepastian hukum dan teori perlindungan hukum diabaikan. Teori kepastian hukum

selalu mengedepankan norma-norma hukum tertulis dari hukum hukum positif yang

ada. Peraturan ditegakkan demi kepastian hukum. Kepastian hukum akan mengalami

kebuntuan manakala ketentuan tertulis dalam bentuk perundang-undangan tidak dapat

dijawab dan menjawab persoalan-persoalan yang ditemui dalam pelaksanaannya di

lapangan. Situasi ini harus di tutupi untuk mengisi kelengkapan hukum. Hukum itu

dibuat untuk manusia dan orang banyak dan berguna untuk manusia.

B. Faktor penghambat dalam pembebanan hak tanggungan terhadap SKMHT

yang berakhir jangka waktunya dan upaya yang dilakukan untuk

mengatasinya

Sesuai dengan proses pembebanan hak tanggungan, terdapat tahap pemberian

hak tanggungan, yaitu dengan dibuatnya APHT oleh PPAT yang didahului dengan

perjanjian pokok atau perjanjian utang piutang dan selanjutnya APHT tersebut harus

didaftarkan ke kantor Pertanahan. Pada dasarnya pelaksanaan pemberian jaminan hak

atas tanah harus dilakukan sendiri oleh pemberi hak tanggungan dengan hadir

dihadapan PPAT, namun bila pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir dihadapan

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), diperkenankan membuat SKMHT.

Dalam penelitian ini, SKMHT yang telah ditanda tangani di awal pengikatan

dengan pihak PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk Cabang Pekanbaru dalam

proses peralihan kredit, dilaksanakan penandatanganan SKMHT (lanjutan) karena


terdapat beberapa kendala yang belum selesai di Kantor Pertanahan berkaitan dengan

roya hak tanggungan milik pihak pertama sebagaimana yang tertera di sertifikat milik

pihak pertama. Mulai dari sertifikat harus di ploting109 (informasi bidang tanah yang

telah bersertifikat), sertifikat harus di verifikasi dahulu, sertifikat belum selesai di roya

(penghapusan hak tanggungan), buku tanah sertifikat dan buku tanah hak tanggungan

belum diketemukan di arsip kantor pertanahan, berikut hambatan-hambatan lainnya.

Perlunya penandatanganan SKMHT lanjutan untuk menghindarkan SKMHT

tidak dapat dipergunakan karena sudah berakhir jangka waktunya untuk dijadikan

dasar dalam pemberian hak tanggungan dengan penandatanganan APHT demi

terciptanya kepastian hukum dan perlindungan hukum dan kemanfaatan hukum bagi

pemegang hak tanggungan (kreditur) dalam bentuk sertifikat hak tanggungan dari

Kantor Pertanahan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Resa Oktaviana, dijelaskan bahwa

penghambat dari belum dapat dilakukannya pembuatan APHT atas SKMHT dalam

proses peralihan kredit, selain karena keterlambatan kreditur awal dalam menyerahkan

jaminan-jaminan dan berkas-berkas yang berhubungan dengan debitur dan pelunasan

utang debitur selanjutnya disebabkan karena keterlambatan di Kantor Pertanahan

dalam menyelesaikan segala hal yang berhubungan dengan proses , verifikasi, roya hak

tanggungan, pindah desa dan pengecekan sertifikat.110

Selanjutnya berdasarkan wawancara dengan Bapak Hamler atas faktor-faktor

penghambat dalam pembebanan hak tanggungan berdasarkan SKMHT, yaitu :

109
. Kebijakan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2017
tentang Layanan Informasi Pertanahan Secara Elektronik
110
. Hasil Wawancara dengan Ibu Resa Oktaviana, Legal PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk,
Cabang Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
A. Dari Pihak Kedua ;

Keterlambatan dalam penerimaan dokumen jaminan dari pihak kedua pada hari

pelunasan kredit yang sebelumnya telah dikonfirmasikan kepada pihak kedua.

Konfirmasi dilakukan satu hari sebelum pihak pertama melakukan pelunasan

kredit. Dokumen-dokumen jaminan diterima pihak pertama atau pihak ketiga

setelah 1-2 hari kerja.111

C. Dari Pihak Pertama ;

Pada awal pengikatan kredit, informasikan kepada pihak pertama kemungkinan

adanya keterlambatan pada proses penghapusan hutang hingga pendaftaran hak

tanggungan atas objek jaminan, agar pihak pertama bersedia datang kehadapan

notaris guna penandatanganan SKMHT lanjutan. 112

C. Dari kantor pertanahan, yaitu ;

Berdasarkan penjelasan umum ayat (7) Undang-undang Hak Tanggungan proses

pembebanan hak tanggungan dilaksanakan melalui 2 tahap kegiatan, yaitu :

a. Tahap pemberian hak tanggungan, dengan dibuatnya APHT oleh PPAT, yang

didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin ;

a). Dalam memberikan hak tanggungan, pemberian hak tanggungan wajib

hadir dihadapan PPAT. Jika karena sesuatu sebab tidak dapat hadir sendiri,

ia wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya, dengan SKMHT yang

berbentuk akta otentik. Pembuatan SKMHT selain kepada Notaris,

ditugaskan juga kepada PPAT yang keberadaannya sampai pada wilayah

111
. Hasil Wawancara dengan Bapak Hamler, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
112
. Hasil Wawancara dengan Ibu Affin, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
kecamatan, dalam rangka memudahkan pemberian pelayanan kepada

pihak-pihak yang memerlukan.

b). Pada saat pembuatan SKMHT dan APHT, harus sudah ada keyakinan pada

Notaris atau PPAT yang bersangkutan, bahwa pemberi hak tanggungan

mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap

obyek hak tanggungan yang dibebankan, walaupun kepastian mengenai

dimilikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu

pemberian hak tanggungan itu didaftar.

c). Pasal 10 Undang-Undang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa

pemberian Hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak

tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan

didalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian

utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang

menimbulkan utang tersebut.

d). Didalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan

bahwa didalam APHT wajib dicantumkan nama identitas pemegang dan

pemberi hak tanggungan, domisili pihak-pihak, apabila diantara

pihak-pihak ada yang berdomisili diluar Indonesia, baginya harus pula

dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia. Dan dalam hal domisili

pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan APHT

dianggap sebagai domisili yang dipilih, penunjukan secara jelas utang atau

utang-utang yang dijamin, nilai tanggungan dan uraian yang jelas mengenai

obyek hak tanggungan.


e). Didalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan

bahwa dapat dicantumkan janji-janji.

b. Tahap pendaftaran oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak

Tanggungan yang dibebankan.

a). Menurut Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian hak

tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, selambat-lambatnya

7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan APHT, PPAT wajib

mengurumkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan

kepada Kantor Pertanahan.

b). Didalam Pasal 14 Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa

sebagai tanda bukti telah adanya hak tanggungan, kepada pemegang hak

tanggungan akan diberikan sertifikat hak tanggungan yang diterbitkan oleh

Kantor Pertanahan. Sertifikat hak Tanggungan merupakan tanda bukti

adanya hak tanggungan, maka sertifikat tersebut membuktikan sesuatu

yang pada saat pembuatannya sudah ada. Sertifikat Hak Tanggungan

mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai grosse

acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.

Dalam pelaksanaan pembebanan hak tanggungan berdasarkan SKMHT, teknisnya

adalah sebagai berikut :

1. a). Ploting

a. Seluruh wilayah Republik Indonesia, tidak terkecuali Kota Pekanbaru,

pemilik hak atas tanah lama (sertifikat) yang telah terdaftar maupun
sertifikat yang belum terdaftar, sebelum melakukan suatu perbuatan

hukum, apakah itu berbentuk jual beli, hibah, pemberian hak

tanggungan atau pemberian hak bersama, sertifikat harus di ploting

bidang-bidang tanah tersebut di dalam peta pendaftaran tanah di kantor

pertanahan kota Pekanbaru sebagai dasar untuk menghindarkan

tumpang tindih pada peta pendaftaran tanah di kota Pekanbaru.

b. Ploting (upaya memastikan kebenaran data letak tanah disertifikat

dengan fisik tanah) menggunaan Global Positioning System (GPS). Hal

ini belum bisa dilakukan untuk seluruh wilayah Indonesia, karena

kesadaran masyarakat atas status hak atas tanah milik mereka masih

kurang dan pemberitahuan daripada instansi terkait kepada publik atau

masyarakat umum sosialisasinya masih kurang dan belum merata. Hasil

pengecekan letak tanah ini bertujuan untuk menunjukkan benar lokasi

dari sertifikat kepemilikan tersebut. Pelaksanaan pengecekan letak

tanah sertifikat, tidak bisa langsung dan cepat dilakukan walaupun

sudah di daftarkan melalui loket penerimaan berkas di kantor

pertanahan kota Pekanbarudan harus menunggu antrian untuk

penggunaan Global Positioning System (GPS) dengan petugas ukur

yang lain, karena jumlah alat yang ada belum tercukupi untuk wilayah

yang ada di kota Pekanbaru.

c. Apabila hasil dari pengecekan letak tanah tersebut menunjukkan hasil

100 % kepemilikan asli artinya baik data pendaftaran dan lokasi valid

(akurat), sebaliknya bila ditemukan tanah pada lokasi sertifikat tidak


akurat, biasanya didalam data pendaftaran kantor pertanahan tercantum

nama pemilik sertifikat namun dalam pengecekan lokasi menggunakan

Global Positioning System (GPS) tanah tersebut bersifat fiktif, hal ini

bisa saja terjadi sebab dahulu pengukuran tanah-tanah di wilayah kota

Pekanbaru oleh kantor pertanahan masih mempergunakan cara manual.

d. Jika sertifikat tanah tidak akurat, dilakukan verifikasi ke lapangan atau

pengecekan tanah ke lokasi untuk menentukan titik kordinat dari tanah

tersebut, lalu dikeluarkan gambar hasil verifikasi atas tanah tersebut

yang telah diketahui dan ditandatangani oleh pejabat kantor pertanahan

yang berwenang.

e. Proses pengecekan letak tanah, memerlukan waktu 3-6 hari kerja.

Pelaksanaan ploting untuk sertifikat hak atas tanah terdaftar sesuai dengan

surat edaran Nomor 13/SE/XII/2017 tentang pemanfaatan aplikasi layanan

pertanahan “Sentuh Tanahku” yang dikeluarkan oleh Menteri Agraria Dan

Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

b). Roya hak tanggungan.

a. Dalam proses roya hak tanggungan, sertifikat asli hak atas tanah, asli

sertifikat hak tanggungan, asli surat roya, kartu tanda penduduk pemilik

sertifikat serta kartu tanda penduduk kuasa pengurusan ke kantor

pertanahan harus dilampirkan, ini merupakan syarat yang harus

dilengkapi sehubungan dengan penghapusan nama kreditur awal di

dalam sertifikat hak atas tanah debitur.

b. Proses roya hak tanggungan memerlukan waktu 14 hari kerja.


Roya hak tanggungan dilakukan berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Hak

Tanggungan.

c). Pindah Kelurahan atau Kecamatan.

Sesuai dengan Perda Nomor 4 Tahun 2016 tentang pemekaran wilayah,

untuk sertifikat yang terkena pemekaran wilayah harus dilakukan pindah

Kelurahan atau Kecamatan atas sertifikat tersebut, untuk mempermudah

sertifikat tersebut dilakukan ceking. Sertifikat yang pindah Kelurahan atau

Kecamatan memerlukan waktu sekitar 3-6 hari kerja.

d). Pengecekan sertifikat.

a. Pengecekan sertifikat adalah kegiatan yang dilakukan untuk

mengetahui data fisik dan data yuridis yang tersimpan dalam peta

pendaftaran, daftar tanah, surat ukur dan buku tanah seperti yang

tercantum di dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 24).

b. Pengecekan sertifikat diperlukan untuk memastikan kesesuaian data

teknis dan yuridis antara sertifikat tanah dengan buku tanah di Kantor

Pertanahan. Bagi Notaris pengecekan sertifikat untuk memastikan

bahwa tanah tidak sedang terlibat sengketa hukum, tidak sedang

dijaminkan atau tidak sedang berada dalam penyitaan yang berwenang.

c. Jika tidak terdapat catatan blokir di dalam buku tanah atau sertifikatnya,

maka sertifikat dinyatakan bersih, kantor Pertanahan akan

membubuhkan tanda bahwa sertifikat sesuai dengan buku tanah, dengan


adanya tulisan “Telah diperiksa dan sesuai dengan daftar di Kantor

Pertanahan”, yang dilengkapi dengan nomor daftar isian dan tanggal.

d. Pengecekan sertifikat memerlukan waktu 1-3 hari kerja.113

2. Kurangnya personil (sumber daya manusia) yang menempati bidang pelayanan

administrasi dan pelayanan dilapangan pada kantor pertanahan membuat

lambat proses pencarian arsip buku tanah atas sertifikat hak tanah dan arsip

buku tanah sertifikat hak tanggungan mengakibatkan berkurangnya jangka

waktu SKMHT.114

3. Kurangnya peralatan-peralatan yang berhubungan dengan Global Positioning

System (GPS) menyebabkan kinerja personil tidak efesien. Seperti yang

diketahui, saat ini proyek Pemerintah dalam hal pendaftaran tanah sesuai

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah mengharuskan segera selesai dengan jangka waktu tertentu yang

ditetapkan oleh Pemerintah.

Mulai dari penerimaan sertifikat jaminan oleh pihak pertama dan pihak ketiga,

hingga sertifikat hak atas tanah dilakukan ploting, verifikasi, roya hak tanggungan,

pindah wilayah (kelurahan ataupun kecamatan) serta ceking sertifikat memerlukan

waktu yang lama, kurangnya personil dan kekurangan peralatan di kantor

Pertanahan, memungkinkan SKMHT berakhir jangka waktunya, menjadikan

beberapa faktor penghambat dalam pembebanan hak tanggungan dengan sarana

SKMHT.

113
. Hasil Wawancara dengan Ibu Affin, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
114
. Hasil Wawancara dengan Bapak Hamler, Notaris di Pekanbaru, tanggal 11 April 2018
Menurut wawancara dengan Ibu Affin, dari faktor-faktor penghambat yang

disebutkan diatas, solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasinya, yaitu :

1. Sebelum proses akad kredit di pihak ketiga yang berkaitan dengan peralihan

kredit antar bank, pihak notaris rekanan yang ditunjuk dalam proses akad

kredit, membantu menginformasikan kepada pihak kedua waktu dan tanggal

pelunasan kredit dan meminta pihak kedua menyiapkan dokumen-dokumen

yang berhubungan dengan milik pihak pertama yang akan dilunasi dan ditarik

sebagai jaminan di pihak kedua. Biasanya pihak pihak kedua paham dan

menerima penjelasan dan alasan yang disampaikan pihak notaris atas maksud

dan tujuan proses peralihan kredit antar bank ini.

2. Notaris wajib memberikan penyuluhan hukum, pengertian dan penjelasan akan

kewajiban-kewajiban debitur dalam proses peralihan kredit antar bank yang

berhubungan dengan kantor Pertanahan. Jika proses penghapusan hutang dan

pendaftaran hak tanggungan mengalami hambatan dan memerlukan waktu

yang lama, debitur diminta untuk bersikap bekerja sama demi terhindarnya

konflik antara para pihak.

3. Notaris harus selalu memantau proses demi proses yang dilaksanakan di Kantor

Pertanahan berhubungan dengan penghapusan hutang atas nama pihak kedua

dan pendaftaran hak tanggungan atas nama pihak ketiga, mulai dari

pelaksanaan pengecekan letak tanah, verifikasi, roya hak tanggungan hingga

pengecekan sertifikat. Semua itu demi menghindarkan jangka waktu SKMHT

berakhir. Jika jangka waktu SKMHT tersebut akan berakhir, harus dilakukan

perpanjangan jangka waktu SKMHT dengan menandatangani SKMHT


perpanjangan. Notaris menginformasikan kepada pihak ketiga detail proses

yang telah dilakukan namun belum bisa dilakukan pembuatan APHT karena

masih ada proses yang belum selesai di kantor Pertanahan dan meminta pihak

ketiga untuk datang kehadapan Notaris guna penandatanganan SKMHT

perpanjang.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Take Over (Peralihan kredit) dengan mempergunakan sarana hukum SKMHT

yang telah berakhir jangka waktunya tidak dapat memberikan kekuatan hukum,

kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pihak ketiga (kreditur baru).

SKMHT yang tidak diikuti dengan pembuatan APHT dalam waktu yang

ditentukan dalam SKMHT batal demi hukum.

2. Berdasarkan Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996

tentang Hak Tanggungan, disebutkan bahwa SKMHT untuk hak atas tanah

terdaftar harus dilanjutkan pembuatan APHT 1 (satu) bulan sejak SKMHT

diberikan. Mulai dari proses Roya Hak Tanggungan, Ploting, verifikasi hingga

pengecekan sertifikat memerlukan waktu melebihi 1 (satu) bulan dan

mengakibatkan SKMHT berakhir jangka waktunya. Harus dilakukan

penandatangan SKMHT ulang untuk dilanjutkan pembuatan APHT.

B. Saran

1. Pemerintah sebaiknya membuat peraturan khusus sehubungan dengan proses

take over (peralihan kredit) dengan sarana hukum SKMHT. Dalam

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, tidak terdapat

proses peralihan kredit, hanya pengertian tentang Subrogasi, Cessie dan Novasi.
2. Perlunya koordinasi antara pihak notaris sebagai pihak yang mengetahui

proses demi proses yang dilaksanakan di Kantor Pertanahan Pekanbaru dengan

pihak kreditur dan pihak debitur, untuk menghindari penandatangan SKMHT

ulang, karena proses pelaksanaan verifikasi, roya dan pengecekan sertifikat yang

belum selesai di Kantor Pertanahan dan perlu ditambahnya personil (Sumber

Daya Manusia) di Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru untuk memberikan

keefesienan sistem kerja sebagai instansi yang melayani kebutuhan dan

kepentingan masyarakat dalam bidang pertanahan.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

A. BUKU

Adrian Sutedi, 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta.

Abdul Kadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung

, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya


Bakti, Bandung.

, 2004, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan


Pembiayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

, 2010, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya


Bakti, Bandung.

Ahmad Antoni K. Muda, 2003, Kamus Lengkap Ekonomi, GitamediaPress, Jakarta.

Amiruddin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum,PT. RajaGrafindo Persada,


Jakarta.

Bambang Sunggono, 2002, Metodologi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo


Persada, Jakarta.

Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta.

Bernard et all, 2013, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta.

Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta.

, 2000, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan


Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum
Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta.

Bodenheimer dkk, 2006, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Ch. Gatot Wardoyo, 1992, Sekitar Klausul-klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank
dan Manajemen.

Cholid Narbuko dkk, 2001, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta.

Djaja S. Meliala, 2008, Penuntun Praktis Perjanjian Pemberian Kuasa Menurut


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Nuansa Alulia, Bandung.

Darmawati, 2008, Determinasi Registrasi Penduduk di Kota Pekanbaru, Teroka


Riau, Vol. VIII nomor 2

Eugenia Liliawati Muljono, 2003, Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 4


Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dalam Kaitannya Dengan Pemberian
Kredit oleh Perbankan, Harvaindo, Jakarta.

Gunawan Widjaja dkk, 2007, Jaminan Fidusia, PT. RajaGrafindo Persada,


Bandung.

Habib Adjie, 2007, Telaah Ulang, Kewenangan PPAT Untuk Membuat Akta, Bukan
Mengisi Blanko/Formulir Akta, Renvoi 8.44, Jakarta.

Herlien Budiono, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di


Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditia Bakti, Bandung.

Jan Michiel Otto, 2012, Kepastian Hukum Yang Nyata Di Negara Berkembang,
Kajian sosio-legal, Penulis : Sulistyowati Irianto dkk, Edisi Pertama, Pustaka
Larasan, Denpasar, Universitas Indonesia,Universitas Leiden, Universitas
Groningen

J. Vredenbregt, 1981, Metode Dan teknik Penelitian Masyarakat, Gramedia,


Jakarta.

John M. Ehols dkk, 1990, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta

Jhon Raws, 1973, A Theory of Justice, London, Oxford University Press,


terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,
Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Kartini Muljadi dkk, 2006, Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta.

Kasmir, 2008, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, Raja Grafindo, Jakarta.

Kelik Pramudya dkk, 2010, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum, Pustaka
Yustisia, Jakarta.
Koentjaraningrat, 1997, Metode-metode Penelitian Masyarakat/Redaksi
Koentjaraningrat, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.

Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial,


diterjemahkan oleh M. Khozim, Nusa Media, Bandung.

Leo Suryadinata dkk, 2003, Indonesia’s Population : Ethnicity and Religion in a


Changing Political Landscape, Institute of Southeast Asian Studies.

Malayu Hasibuan, 2005, Dasar-Dasar Perbankan, Bumi Aksara, Jakarta.

Marzuki, 1983, Metodologi Riset, PT. Hanindita Offset, Yogyakarta.

Mariam Darus Badrulzaman, 1996, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan


Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung.

, 2009, Kompilasi Hukum Jaminan, Mandar Maju,


Bandung.

M. Bahsan, 2002, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rejeki Agung,


Jakarta

Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya


Bakti, Bandung.

Muh.Erwin. 2011, Filsafat Hukum ; Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Rajawali


Press. Jakarta.

Neni Sri Imaniyati, 2010, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, PT. Refika
Aditama, Jakarta.

Otje Salman S dkk, 2004, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan, Dan


Membuka Kembali, Rafika Aditama Press, Jakarta.

, 2010, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), PT.


Refika Aditama, Bandung.

Parsudi Suparlan, 1989, Interaksi antar Etnik di Beberapa Propinsi di Indonesia,


Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Indonesia.

Rachmadi Usman, 1999, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah,


Djambatan, Jakarta.

R. Setiawan, 1979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung.


, 1987, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta,
Bandung.

Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,


Ghalia Indonesia, Cetakan 5, Jakarta.

, 2005, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,


Jakarta.

Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Jakarta, PT Raja


Grafindo Persada, Jakarta.

dkk, 2007, Perancangan Kontrak dan Memorandum of


Understanding (Mou), Sinar Grafika, Jakarta.

Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat, 2002, Metodologi Penelitian, CV. Mandar


Maju, Bandung.

Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Filsafat Hukum dalam Konsepsi dan Analisa,


Alumni, Bandung.

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia


Press, Jakarta.

dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu


Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta.

Subekti, 1991, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit menurut Hukum


Indonesia, cetakan ke-5, Citra Aditya Bakti, Bandung

, 2001, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta.

, 2002, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta.

Sudikmo Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cetakan 5,


Universitas Atmajaya, Yogyakarta.

Sudarsono, 2007, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.


Sunu Widi Purwoko, 2015, Aspek Hukum Bisnis Bank Umum, Nine Seasons
Communication, Jakarta.

Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek, Rineka


Cipta, Jakarta.
Supriadi, 2007, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta.

Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan, Cetakan Pertama, AirLangga


University Press, Surabaya.

, 1999, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan


dan Masalah yang dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai
Undang-Undang Hak Tanggungan), Cetakan 1, Alumni, Bandung.

Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat Beberapa Mata Pelajaran Dan Serba-serbi
Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.

Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di


Indonesia : Simpanan, Jasa dan Kredit, Ghalia Indonesia, Bogor.

Untung Budi, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi, Yogyakarta.

Veithzal Rivai dkk, 2010, Islamic Banking : Sebuah Teori, Konsep dan Aplikasi,
Bumi Aksara, Jakarta.

W. Friedman, 1990, Teori dan Filsafat Hukum ; Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan,
diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhamad Arifin, Disunting oleh
Achmad Nasir Budiman dan Suleman Saqib, Rajawali, Jakarta.

Yunirman Rijan, 2009, Cara Mudah Membuat Perjanjian, Raih Asa Sukses,
Jakarta.

Zaenuddin, Dundin, 2005, Modal Sosial Dalam Pengembangan Budaya Sipil


Komunitas Etnik : Studi kasus di Kota Manado, Sulawesi Utara & Pekanbaru,
Riau, Lembaga Ilmu Pengetauan Indonesia

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang undang-undang Pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah


Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

C. MAKALAH

Harkristuti Harkriswono, 26 Juli 2002, Diskusi Proposal Penelitian, Makalah,


Majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departeman Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia, Jakarta.

Sutan Remy Sjahdeini, 25 Juli 1996, Beberapa Permasalahan UUHT Bagi


Perbankan Makalah Seminar Nasional Sehati tentang “Persiapan
Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan”, Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan.

Anda mungkin juga menyukai