PENDAHULUAN
Penyakit dermatomikosis superfisialis sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah
kesehatan khususnya di Indonesia. Hal tersebut terutama disebabkan karena perjalanan
penyakitnya yang sering rekuren, durasi pengobatan yang cenderung lama, didukung oleh
iklim tropis Indonesia yang merupakan faktor predisposisi yang sangat berpengaruh untuk
timbulnya penyakit-penyakit dermatomikosis superfisialis.
Hingga saat ini infeksi jamur superfisial masih umum ditemukan diseluruh dunia dan
insidensnya terus meningkat. Dermatomikosis ini diperkirakan mengenai sekitar 20-25%
populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk infeksi yang paling sering pada manusia.
Etiologi tersering kasus mikosis superfisialis adalah golongan dermatofita (dermatofitosis),
tetapi juga disebabkan oleh candida spp.(kandidiasis/kandidosis) dan malasezia furfur
(pitriasis versikolor).
Infeksi jamur pada kulit dapat disebabkan oleh berbagai jenis jamur, yaitu jamur
superfisial, deep mycosis/ subkutan seperti misetoma, kromomikosis, sporotrikosis, dan
jamur-jamur sistemik yang menginvasi kulit seperti kriptokosis, histolamosis, dan lain-lain.
Mikosis kutan disebabkan oleh jamur yang hanya menginvasi jaringan superfisialisyang
terkeratinisasi (kulit, rambut dan kuku) dan tidak ke jaringan yang lebih dalam.Bentuk yang
paling penting adalah dermatofita, suatu kelompok jamur serumpunyang diklasifikasikan
menjadi 3 genus Epidermophyton, Microsporum danTrychopyton. Ada dua golongan jamur
yang menyebabkan mikosis superfisialis yaitu nondermatofita dan dermatofita.
1
Meskipun banyak orang menghiraukan dermatomikosis, dermatomikosis memiliki efek
psikologis yang besar dan morbiditas yang tinggi. Namun beberapa penelitian menyebutkan
bahwa dermatomikosis dapat mengancam jiwa pada pasien dengan imunitas rendah.
Karena itu penting untuk dapat menegakkan diagnosis secara tepat sehingga tidak terjadi
kegagalan dalam penatalaksanaannya. Pengobatan sendiri dapat dilakukan secara topikal
dan sistemik. Pada masa kini banyak pilihan obat untuk mengatasi dermatofitosis, baik daro
golongan antifungal konvensional hingga antifungal terbaru. Pengobatan yang efektif
sendiri ada kaitannyadengan daya tahan seseorang, faktor lingkungan, dan agen penyebab.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk
(keratin) misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang
disebabkan oleh golongan jamur dermatofita.
3
a. Antrophophilic dermatophyta sering dikaitkan dengan manusia dan
ditransmisikan baik melalui kontak langsung atau melalui muntahan yang
terkontaminasi
b. Zoophilic dermatophyta sering dikaitkan dengan hewan-hewan, jamur ini
ditransmisikan kepada manusia baik melalui kontak langsung dengan hewan
tersebut misalnya hewan peliharaan dan melalui produksi hewan tersebut
seperti wool.
c. Geophilic dermatophyta addalah jamur tanah yang ditransmisikan kepada
manusia melalui paparan langsung ke tanah atau ke hewan yag berdebu
2.2. Etiologi
Dermatofitosis disebabkan oleh jamur golongan dermatofita yang teridiri dari tiga
genus, yaitu genus Microsporum, Trichophyton, dan Epidermofiton. Dari 41
spesies dermatofita yang sudah dikenal hanya 23 spesies yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia dan binatang, yang terdiri dari 15 spesies Trichophyton, 7
spesies Microsporum dan satu spesies Epidermofiton. Selain sifat keratinofilik,
setiap spesies dermatofita mempunyai afinitas terhadap hospes tertentu.
Dermatofita yang zoofilik terutama menyerang binatang, dan kadang-kadang
menyerang manusia, misalnya Microsporum canis dan Trichophyton verrucosum.
Dermatofita yang geofilik adalah jamur yang hidup di tanah dan dapat
menimbulkan radang yang moderat pada manusia, misalnya Microsporum
gypseum.
Mentagrophytes
T. rubrum
depan putih sampai merah muda dan dasar koloni warna merah.
hifa.
5
Gambar 3 : Morfologi mikroskopis T. Rubrum Gambar 4: Kultur Trichophyton rubrum
T. verrucosum
abu.
6
b. Microsporum
Makrokonidia adalah spora yang paling banyak ditemukan dan terbentuk pada
M. canis
coklat.
M. gypseum
jalur radier.
7
Mikroskopis : Makrokonidia besar, bentuk bujur telur, dinding tipis dan
bergerigi kecil.
c. Epidermophyton
E. Floccosum
8
2.3. Patogenesis
Dermatofita merupakan jamur keratinofilik yang normalnya ditemukan pada
jaringan keratinisasi yang sudah mati, seperti pada stratum korneum, sekitar
rambut, dan di lapisan kuku atau pangkal kuku. Gejala klinis dari infeksi
dermatofita menunjukkan hasil kerja kombinasi antara jaringan dan respon imun.
Jaringan yang rusak itu menunjukkan kelainan mekanis dan aktivitas enzimatis.
Dermatofita memproduksi keratinolitik proteinase yang efektif pada pH asam dan
enzim ini berperan dalam faktor virulensinya. Terjadinya penularan dermatofitosis
adalah melalui 3 cara yaitu :
a. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara
sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi peradangan (silent
“carrier”)
b. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak
langsung maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan
melekat dipakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah/ tempat tidur hewan,
tempat makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama adalah
anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.
c. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadic menginfeksi
manusia dan menimbulkan reaksi radang.
b. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih sulit untuk terserang jamur.
Tabel 1. faktor virulensi jamur dan mekanisme penghindaran dari pertahanan imun tubuh.
11
Mekanisme imun nonspesifik merupakan pertahanan lini pertama melawan infeksi
jamur. Mekanisme ini dapat dipengaruhi oleh faktor umum seperti gizi, keadaan
hormonal, usia, dan faktor khusus seperti penghalang mekanik dari kulit dan
mukosa, sekresi permukaan, dan respons radang.
Terdapat 2 unsur reaksi radang, yaitu pertama, produksi sejumlah komponen kimia
yang larut dan bersifat toksik terhadap invasi organisme. Komponen kimia ini
antara lain ialah Lisozim, Sitokin, Interferon, Komplemen, dan Protein Fase Akut.
Unsur kedua merupakan elemen selular seperti netrofil dan makrofag, dengan
fungsi utama fagositosis, mencerna, dan merusak partikel asing. Makrofag juga
terlibat dalam respons imun yang spesifik. Sel-sel lain yang termasuk respons
radang nonspesifik ialah basofil, sel mast, eosinofil, trombosit, dan sel NK
(Natural Killer). Neutrofil mempunyai peranan utama dalam pertahanan melawan
infeksi jamur.
12
Istilah Tinea dipakai untuk semua infeksi oleh dermatofita dengan dibubuhi
tempatbagian tubuh yang terkena infeksi, sehingga diperoleh pembagian
dermatofitosis sebagai berikut:
a. Tinea kapitis : bila menyerang kulit kepala clan rambut
b. Tinea korporis : bila menyerang kulit tubuh yang berambut (globrous skin).
c. Tinea kruris : bila menyerang kulit lipat paha, perineum, sekitar anus
dapat meluas sampai ke daerah gluteus, perot bagian bawah dan ketiak atau
aksila
d. Tinea manus dan tinea pedis :Bila menyerang daerah kaki dan tangan, terutama
telapak tangan dan kaki serta sela-selajari.
e. Tinea Unguium : bila menyerang kuku
f. Tinea Barbae : bila menyerang daerah dagu, jenggot, jambang dan kumis.
g. Tinea Imbrikata : bila menyerang seluruh tubuh dengan memberi gambaran
klinik yang khas.
Umumnya dermatofitosis pada kulit memberikan morfologi yang khas yaitu bercak-
bercakyang berbatas tegas disertai efloresensi-efloresensi yang lain,
sehinggamemberikan kelainan-kelainan yang polimorf, dengan bagian tepi yang
aktif sertaberbatas tegas sedang bagian tengah tampak tenang .
Gejala objektif ini selalu disertai dengan perasaan gatal, bila kulit yang gatal ini
digaruk maka papula-papula atau vesikel-vesikel akan pecah sehingga
menimbulkandaerah yang erosit dan bila mengering jadi krusta dan skuama.
Kadang-kadangbentuknya menyerupai dermatitis (ekzema marginatum), tetapi
kadang-kadanghanya berupa makula yang berpigmentasi saja (Tinea korporis) dan
bila ada infeksisekunder menyerupai gejala-gejala pioderma (impetigenisasi).
13
1. Tinea Kapitis
(Scalp ring worm ;Tinea Tonsurans)
Biasanya penyakit ini banyak menyerang anak-anak dan sering ditularkan
melalui binatang- binatang peliharaan seperti kucing, anjing dan sebagainya.
Berdasarkan bentuk yangkhas Tinea Kapitis dibagi dalam 4 bentuk :
a. Gray pacth ring worm
Penyakit ini dimulai dengan papula merah kecil yang melebar ke sekitarnya
danmembentuk bercak yang berwarna pucat dan bersisik.Warna rambut
jadi abu-abudan tidak mengkilat lagi, serta mudah patah dan terlepas dari
akarnya, sehingga menimbulkan alopesia setempat.
c. Kerion
Bentuk ini adalah yang serius, karena disertai dengan radang yang hebat
yangbersifat lokal, sehingga pada kulit kepala tampak bisul-bisul kecil
yangberkelompok dan kadang-kadang ditutupi sisik-sisik tebal.Rambut di
daerah iniputus-putus dan mudah dicabut. Bila kerion ini pecah akan
meninggalkan suatudaerah yang botak permanen oleh karena terjadi
sikatrik. Bentuk ini terutamadisebabkan oleh Mikosporon kanis,
M.gipseum , T.tonsurans dan T. Violaseum.
d. Tinea favosa
Kelainan di kepala dimulai dengan bintik-bintik kecil di bawah kulit yang
berwarnamerah kekuningan dan berkembang menjadi krusta yang
berbentuk cawan(skutula), serta memberi bau busuk seperti bau tikus
"moussy odor".Rambut diatas skutula putus-putus dan mudah lepas dan
tidak mengkilat lagi. Bilamenyembuh akan meninggalkan jaringan parut
dan alopesia yang permanen.Penyebab utamanya adalah Trikofiton
schoenleini, T. violasum dan T. gipsum.
15
2. Tinea Korporis
(Tinea circinata=Tinea glabrosa)
Penyakit ini banyak diderita oleh orang-orang yang kurang mengerti kebersihan
danbanyak bekerja ditempat panas, yang banyak berkeringat serta kelembaban
kulityang lebih tinggi.Predileksi biasanya terdapat dimuka, anggota gerak atas,
dada,punggung dan anggota gerak bawah.
Bentuk yang klasik dimulai dengan lesi-lesi yang bulat atau lonjong dengan tepi
yangaktif. Dengan perkembangan ke arah luar maka bercak-bercak bisa melebar
danakhirnya dapat memberi gambaran yang polisiklis, arsiner, atau sirsiner.Pada
bagian tepi tampak aktif dengan tanda-tanda eritema, adanya papula-papula
danvesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih tenang.Bila tinea
korporis inimenahun tanda-tanda aktif jadi menghilang selanjutnya hanya
meningggalkandaerah-daerah yang hiperpigmentasi saja. Kelainan-kelainan ini
dapat terjadibersama-sama dengan Tinea kruris.
Penyebab utamanya adalah : T.violaseum, T.rubrum, T.metagrofites. M.
gipseum, M.kanis, M.audolini.penyakit ini sering menyerupai:
1. Pitiriasis rosea
2. Psoriasis vulgaris
3. Morbus hansen tipe tuberkuloid
4. Lues stadium II bentuk makulo-papular.
3. Tinea Kruris
(Eczema marginatum."Dhobi itch", "Jockey itch")
Penyakit ini memberikan keluhan perasaan gatal yang menahun, bertambah
hebatbila disertai dengan keluarnya keringat.Kelainan yang timbul dapat bersifat
akutatau menahun.Kelainan yang akut memberikan gambaran yang berupa
makula yangeritematous dengan erosi dan kadang-kadang terjadi ekskoriasis.
Pinggir kelainankulit tampak tegas dan aktif.
16
Apabila kelainan menjadi menahun maka efloresensi yang nampak hanya
makula yang hiperpigmentasi disertai skuamasi dan likenifikasi.Gambaran yang
khas adalahlokalisasi kelainan, yakni daerah lipat paha sebelah dalam, daerah
perineum dansekitar anus. Kadang-kadang dapat meluas sampai ke gluteus,
perot bagian bawahdan bahkan dapat sampai ke aksila.
b. Bentuk hiperkeratosis
Terjadi penebalan kulit disertai sisik terutama ditelapakkaki, tepi kaki dan
punggung kaki.Bila hiperkeratosisnya hebat dapat terjadi fisura-fisurayang
dalam pada bagian lateral telapak kaki.
18
5. Tinea Unguium
(Onikomikosis = ring worm of the nails)
Penyakit ini dapat dibedakan dalam 3 bentuk tergantung jamur penyebab
danpermulaan dari dekstruksi kuku. Subinguinal proksimal bila dimulai dari
pangkalkuku, Subinguinal distal bila di mulai dari tepi ujung dan Leukonikia
trikofita bila dimulai dari bawah kuku. Permukaan kuku tampak suram tidak
mengkilat lagi, rapuhdan disertai oleh subungual hiperkeratosis. Dibawah kuku
tampak adanya detritusyang banyak mengandung elemen jamur.
19
6. Tinea Barbae
Penderita Tinea barbae ini biasanya mengeluh rasa gatal di daerah jenggot,
jambangdan kumis, disertai rambut-rambut di daerah itu menjadi putus.Ada 2
bentuk yaitu superfisialis dan kerion.
a. Superfisialis
Kelainan-kelainan berupa gejala eritem, papel dan skuama yang mula-mula
kecil selanjutnya meluas ke arah luar dan memberi gambaran polisiklik,
dengan bagiantepi yang aktif.Biasanya gambaran seperti ini menyerupai
tinea korporis.
b. Kerion
Bentuk ini membentuk lesi-lesi yang eritematous dengan ditutupi krusta atau
abses kecil dengan permukaan membasah oleh karena erosi. Tinea barbae ini
didiagnosa banding dengan :
1. Sikosis barbae (folikulitis oleh karena piokokus)
2. Karbunkel
3. Mikosis dalam
7. Tinea Imbrikata
Penyakit ini adalah bentuk yang khas dari Tinea korporis yang disebabkan
olehTrikofiton konsentrikum.Gambaran klinik berupa makula yang eritematous
denganskuama yang melingkar.
20
Apabila diraba terasa jelas skuamanya menghadap ke dalam.Pada umumnya
padabagian tengah dari lesi tidak menunjukkan daerah yang lebih tenang, tetapi
seluruhmakula ditutupi oleh skuama yang melingkar. Penyakit ini sering
menyerang seluruhpermukaan tubuh sehingga menyerupai :
1. Eritrodemia
2. Pempigus foliaseus
3. Iktiosis yang sudah menahun
b. Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis dimulai dengan penyediaan slide, bahan diletakan di
atas gelas alas kemudian di tambah 1-2 tetes larutan KOH.Konsentrasi larutan
KOH untuk sediaan rambut adalah 10%, untuk kulit 20% dan untuk kuku
30%.Setelah sediaan dicampurkan dengan larutan KOH, sediaan ditunggu 15-
20 menit untuk melarutkan jaringan.Untuk mempercepatkan proses pelarutan
dapat dilakukan pemanasan sediaan basah dia atas api kecil sehingga berlaku
21
penguapan.Untuk melihat elemen jamur ditambahkan zat pewarna pada sediaan
KOH, tinta parker blue-black.Elemen jamur dapat diperhatikan di bawah
mikroskop cahaya dengan pembesaran 100x dan 400x.
Pada sediaan kuku dan kulit dapat dilihat hifa sebagai garis sejajar terbahagi
oleh sekat lengkap dan bercabang.Terlihat juga spora berderet (artrospora).Pada
sediaan rambut terlihat spora kecil (mikrospora) dan spora besar
(makrospora).Spora yang kelihatan bisa tersusun di luar rambut (ektotriks) atau
di dalam rambut (endotriks).Kadang-kadang dapat terlihat hifa pada sediaan
rambut.
2.6. Tatalaksana
Secara garis besar, dapat dijelaskan bahwa Mekanisme kerja obat antijamur adalah
dengan mempengaruhi sterol membran plasma sel jamur, sintesis asam nukleat
jamur, dan dinding sel jamur yaitu kitin, β glukan, dan mannooprotein.
a. Sterol membran plasma : ergosterol dan sintesis ergosterol
Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas membran sel
jamur dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan dinding membran sel
jamur. Kerja obat antijamur secara langsung (golongan polien) adalah
menghambat sintesis ergosterol dimana obat ini mengikat secara langsung
ergosterol dan channel ion di membran sel jamur, hal ini menyebabkan
gangguan permeabilitas berupa kebocoran ion kalium dan menyebabkan
kematian sel. Sedangkan kerja antijamur secara tidak langsung (golongan azol)
22
adalah mengganggu biosintesis ergosterol dengan cara mengganggu demetilasi
ergosterol pada jalur sitokrom P450 (demetilasi prekursor ergosterol).
Infeksi pada badan dan lipat paha dan lesi-lesi superfisialis, di daerah
jenggot,telapak tangan dan kaki, biasanya dapat diobati dengan pengobatan topikal
saja.
a. Lesi-lesi yang meradang akut dengan vesikula dan eksudat harus
dirawatdengan kompres basah secara terbuka, dengan berselang-selang atau
terusmenerus. Vesikel harus dikempeskan tetapi kulitnya harus tetap utuh.
b. Toksilat, haloprogin, tolnaftate dan derivat imidazol seperti mikonasol,
ekonasol,bifonasol, kotrimasol dalam bentuk larutan atau krem dengan
23
konsentrasi 1-2%dioleskan 2 x sehari akan menghasilkan penyembuhan dalam
waktu 1-3 minggu.
c. Lesi hiperkeratosis yang tebal, seperti pada telapak tangan atau kaki
memerlukanterapi lokal dengan obat-obatan yang mengandung bahan
keratolitik seperti asamsalisilat 3-6%. Obat ini akan menyebabkan kulit
menjadi lunak dan mengelupas. Obat-obat keratolitik dapat mengadakan
sensitasi kulit sehingga perlu hati-hatikalau menggunakannya.
d. Pengobatan infeksi jamur pada kuku, jarang atau sukar untuk mencapai
kesembuhan total. Kuku yang menebal dapat ditipiskan secara mekanis
misalnya dengan kertas amplas, untuk mengurangi keluhan-keluhan
kosmetika. Pemakaian haloprogin lokal atau larutan derivat asol bisa
menolong. Pencabutan kuku jari kaki dengan operasi, bersamaan dengan
terapi griseofulvin sistemik, merupakansatu-satunya pengobatan yang bisa
diandalkan terhadap onikomikosis jari kaki.
24
Berdasarkan lokasi tinea yang dialami pasien, tatalaksana yang diberikan yaitu:
a. Tinea Unguium
Pengobatan tergantung jenis klinis, jamur penyebab, jumlah kuku yang
terinfeksi, dan tingkat keparahan keterlibatan kuku. Pengobatan sistemik selalu
diperlukan pada pengobatan subtipe OSP (Onikomikosis Subungual Proksimal)
dan subtipe OSD (Onikomikosis Subungual Distal) yang melibatkan daerah
lunula. OSPT (Onikomikosis Superfisial Putih) dan OSD (Onikomikosis
Subungual Distal) yang terbatas pada distal kuku dapat diobati dengan agen
topikal. Kombinasi pengobatan sistemik dan topikal akan meningkatkan
kesembuhan. Tingkat kekambuhan tetap tinggi, bahkan dengan obat-obat baru,
sehingga dibutuhkan kerjasama yang baik antara pasien dan tenaga kesehatan.
25
amorolfine jarang dan terbatas, berupa rasa terbakar, pruritus, dan
eritema.
26
2. Pengobatan Sistemik
Obat sistemik utama yang diindikasikan dan secara luas digunakan untuk
pengobatan onikomikosis adalah terbinafine dan itraconazole. Griseofulvin
juga diindikasikan, tetapi lebih jarang digunakan.
27
Pengobatan biasanya dengan dosis 250 mg per hari selama 6 bulan
untuk infeksi jamur kuku tangan dan
12 bulan untuk infeksi jamur kuku kaki. Terbinafine memiliki efek
fungisida yang luas dan kuat terhadap dermatofita, terutama T. rubrum
dan T. mentagrophytes, tetapi memiliki aktivitas fungistatik rendah
terhadap spesies Candida dibandingkan golongan azole. Sebuah
penelitian surveilans postmarketing mengungkapkan bahwa efek
samping yang paling umum adalah gastrointestinal (4 - 9%) seperti
mual, diare, atau gangguan rasa, dan dermatologis (2 - 3%) seperti ruam,
pruritus, urtikaria, atau eksim.
3. Laser
Onikomikosis banyak terjadi pada pasien dengan beberapa penyakit
sistemik lain yang sulit diberi obat antijamur sistemik jangka panjang.
Terapi laser merupakan salah satu pilihan terapi.
Terapi laser sejak tahun 2010 diteliti baik secara in vitro maupun in vivo.
Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui beberapa jenis laser
28
untuk onikomikosis, di antaranya: PinPointeTM FootLaserTM (PinPointe
USA, Inc.), Cutera GenesisPlusTM (Cutera, Inc.), Q-ClearTM (Light Age,
Inc.), CoolTouch VARIATM (CoolTouch, Inc.), dan JOULE
ClearSenseTM (Sciton, Inc.). Laser mempunyai efek bakterisidal. Energi
yang disalurkan menyebabkan hipertermia lokal, destruksi mikroorganisme
patogen, dan stimulasi proses penyembuhan. Energi laser bekerja melalui
mekanisme denaturasi molekul, baik total maupun parsial pada organisme
patogen.30 Energi laser menghasilkan reaksi fotobiologi atau fotokimia
yang merusak sel patogen atau melalui mekanisme yang memicu respons
imun yang menyerang organisme patogen. Mekanisme kerja laser pada
onikomikosis belum diketahui dengan pasti. Diduga berdasarkan prinsip
fototermolisis selektif. Absorpsi laser tidak sama antara infeksi jamur dan
jaringan sekitarnya, menyebabkan konversi energi tersebut menjadi energi
panas atau mekanik.
b. Tinea Kapitis
1. Topikal
Tidak disarankan bila hanya terapi topikal saja. Rambut dicuci dengan
sampo antimikotik: selenium sulfida 1% dan 2,5% 2- 4 kali/minggu atau
sampo ketokonazol 2% 2 hari sekali selama 2-4 minggu.
29
2. Sistemik
Spesies Microsporum
Obat pilihan: griseofulvin fine particle/microsize 20-25
mg/kgBB/hari dan ultramicrosize 10-15 mg/kgBB/hari selama 8
minggu.
Alternatif: Itrakonazol 50-100 mg/hari atau 5 mg/kgBB/hari selama
6 minggu, atau terbinafin 62,5 mg/hari untuk BB 10-20 kg, 125 mg
untuk BB 20-40 kg dan 250 mg/hari untuk BB >40 kg selama 4
minggu.
Spesies Trichophyton:
Obat pilihan: terbinafin 62,5 mg/hari untuk BB 10-20 kg, 125 mg
untuk BB 20-40 kg dan 250 mg/hari untuk BB >40 kg selama 2-4
minggu.
Alternatif : Griseofulvin 8 minggu, itrakonazol 2 minggu, atau
flukonazol 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu.
2. Sistemik
Diberikan bila lesi kronik, luas, atau sesuai indikasi
Obat pilihan: terbinafin oral 1x250 mg/hari (hingga klinis membaik dan
hasil pemeriksaan laboratorium negatif) selama 2 minggu
30
Alternatif: itrakonazol 2x100 mg/hari selama 2 minggu, griseofulvin
oral 500 mg/hari atau 10-25 mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu, atau
ketokonazol 200 mg/hari
d. Tinea Imbrikata
Terbinafin 62,5-250 mg/hari (tergantung berat badan) selama 4-6 minggu.
Griseofulvin microsize 10-20 mg/kgBB/hari selama 6-8 minggu.
e. Tinea Pedis
1. Topikal
Obat pilihan: golongan alilamin (krim terbinafin, butenafin**) sekali
sehari selama 1-2 minggu.
Alternatif: Golongan azol: misalnya, krim mikonazol, ketokonazol,
klotrimazol 2 kali sehari selama 4-6 minggu. 14-15, siklopiroksolamin
(ciclopirox gel 0,77% atau krim 1%) 2 kali sehari selama 4 minggu
untuk tinea pedis dan tinea interdigitalis.
2. Sistemik
Obat pilihan: terbinafin 250 mg/hari selama 2 minggu. Anak-anak 5
mg/kgBB/hari selama 2 minggu.
Alternatif: itrakonazol 2x100 mg/hari selama 3 minggu atau 100 mg/hari
selama 4 minggu.
2.7. Edukasi
Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa kebersihan pribadi yang sederhana dan
pendidikan kesehetan yang baik tanpa obat lebih efektif dan lebih murah daripada
menggunakan farmakoterapi seperti griseofulvin dalam pengobatan tinea cruris.
Beberapa edukasi yang dapat diberikan pada pasien dengan tinea adalah:
a. Menjaga kebersihan diri.
b. Mematuhi pengobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi obat.
31
c. Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat.
d. Pastikan kulit dalam keadaan kering sebelum menutup area yang rentan
terinfeksi jamur.
e. Gunakan sandal atau sepatu yang lebar dan keringkan jari kaki setelah mandi.
f. Hindari penggunaan handuk atau pakaian bergantian dengan orang lain. Cuci
handuk yang kemungkinan terkontaminasi.
g. Skrining keluarga
h. Tatalaksana linen infeksius: pakaian, sprei, handuk dan linen lainnya direndam
dengan sodium hipoklorit 2% untuk membunuh jamur atau menggunakan
disinfektan lain
i. Menenangkan pasien dengan menjelaskan bahwa kasus tinea bila diobati
dengan benar, penyakit akan sembuh dan tidak kambuh, kecuali bila terpajan
ulang dengan jamur penyebab.Tinea pedis menjadi kronik dan rekuren bila
sumber penularan terus menerus ada.
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanactionam : bonam
33
BAB III
KESIMPULAN
34
DAFTAR PUSTAKA
Ameen M, Lear JT, Madan V, Mohd Mustapa MF, Richardson M. British Association of
Dermatologists’ guidelines for the management of onychomycosis 2014. Br J
Dermatol. 2014;171(5):937–58.
Anugrah, Radityo. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Onikomikosis. CDK 43(9): 675-678.
Bramono, Suyoso dkk. 2013. Dermatomikosis Superfisialis. Edisi kedua. Badan Penerbit
FKUI. Jakarta. Hal. 9-23, 50-69,154
Cholis M. 2015. Imunologi Dermatomikosis Superfisialis. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Djuanda. Adhi, dkk. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima: Balai Penerbit,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hal.89-105
Kaltsum, Ummi. 2014. Pendekatan Holistik Penatalaksanaan Dermatofitosis (Tinea Manum
Dekstra, Tinea Korporis, dan Tinea Cruris Sinistra) pada Wanita Usia 43 Tahun
Dengan Pekerjaan Buruh Cuci Harian. J Medula Unila. 3 (1): 135-142.
Kartowigno, Soenarto. 2011. 10 Besar Kelompok Penyakit Kulit. Unsri Press. Palembang.
Hal: 41-63
Rippon. 1988. Medical Mycology, The Pathogenic fungi and The Pathogenic
Actinomycetes. W.B. Saunders Company. Philadelphia
Siregar, R.S. 2005.Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Widaty, Sandra, dkk. 2017. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin di Indonesia. Jakarta: Perdoski.
35
Wolff, Lowell et all. 2008. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine Seventh Edition
Vol. 2. P: 1807-1830. Mc Graw-Hill’s
Wolff, Johnson. 2006. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis Of Clinical Dermatology.
Section 23. Cutaneus Fungal Infection. Mc Graw-Hill’s.
36