Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Hanya deru nafas yang terdengar memburu. Seperti bersahutan. Hanya itulah dialog yang
Jingga menyapu langit Pamanukan. Cahayanya menerobos masuk jendela kamar bertirai kain
Lima remaja tanggung itu masih asik dengan buku kecil bersampul putih di tangan
menjepit guling di pahanya. Nana memilih tengkurap memeluk bantal. Ade duduk bersandar.
Kakinya berselonjor. Sedangkan Andra duduk di depan meja belajar seraya mengangkat kaki ke
atas meja. Sementara Darman, si empunya kamar, memilih duduk di atas kursi di pojok kamarnya.
Pupil mata mereka membesar. Jakunnya naik turun. Adrenaline kelimanya deras mengalir.
Wajah mereka gelisah. Ada gairah yang bergejolak. Menandakan mereka tenggelam dalam fantasi
erotis masing-masing.
Buku bersampul putih itu berukuran kecil. Seukuran buku saku pada umumnya. Berkertas
tipis yang dicetak dengan mesin pencetak penemuan David Gestetner sekitar 125 tahun silam.
Walaupun bentuknya sangat sederhana, namun isinya sungguh dahsyat; yaitu cerita mesum
pasangan muda – mudi, atau kisah tentang tante – tante kesepian, atau om – om senang yang doyan
daun muda. Semua ceritanya ditulis dengan bahasa yang vulgar dengan setting adegan yang liar.
Enny Arrow adalah nama penulis favorit penggemar buku yang beken disebut stensil itu.
Tidak ada yang dapat memastikan siapa sesungguhnya sosok di balik nama yang menggoda itu.
“Ceunah mah Enny Arrow teh bekas hostes di Jakarta (katanya Enny Arrow itu bekas
“Iya. Baca aja ceritanya. Dia kelihatan berpengalaman banget,” jelas Darman sok tahu.
“Ah, nu jelas mah janggol weh (Ah, yang jelas sih PSK),” timpal Nana.
Cover buku stensil biasanya menampilkan sosok perempuan seksi dengan pakaian mini.
Karena takut ketahuan orangtua atau guru biasanya buku Enny Arrow tersebut dibungkus dengan
sampul lain. Sampul putih polos menjadi pilihan Andra dan kawan-kawan untuk mengelabui
orangtua mereka. Terkadang mereka menyelipkannya di tengah buku pelajaran, sehingga dikira
“Emang itu ceritanya tentang apa, Ton?” kali ini Ade yang bertanya.
“Tentang pemuda Arab yang mati pas lagi gituan. Dia kaget karena ceweknya mati. Nggak
kuat sama burungnya Amed yang gede,” jelas Tonny sambil nyengir.
Buku jenis itu menjadi favorit remaja bengal berusia tanggung pada saat itu. Meski dijual
rokok di sepanjang Eyang Tirtapraja, dari arah perempatan Pamanukan ke Barat, erostisme Enny
Arrow sudah bisa hadir di benak remaja pada waktu itu. Harganya juga tidak bikin kantong bolong.
Cukup dengan dua sampai tiga ribu perak, buku itu langsung didapat.
Biasanya remaja – remaja bengal yang mencari stensilan akan berpura-pura membolak
balik TTS atau cergam Petruk – Gareng yang dijajakan dengan cara digantung. Sambil bisik-bisik,
Tanpa banyak tanya si penjual lansung menyodorkan beberapa judul. Secepat kilat buku
Buat yang males beli, Taman Bacaan bisanya menyediakan buku jenis ini secara diam-
diam. Hanya langganan tertentu yang biasanya diberi kesempatan meminjamnya. Di Pamanukan
saat itu hanya ada dua Taman Bacaan yang menyewakan komik dan novel-novel picisan. Dari
Matahari semakin tenggelam, seperti juga lima remaja tanggung itu yang semakin
tenggelam dalam fantasi erotis mereka masing-masing. Hening kembali menguasai suasana.
Hanya deru nafas yang menggantikan dialog mereka di suasana sore itu.
II
Hawa laut utara menyesap ke dalam hidung. Angin Barat bertiup, menerpa tubuh – tubuh
lima remaja bercelana pendek itu. Berjalan beriringan mereka meniti pematang di antara empang
– empang warga yang banyak terdapat di daerah Mayangan. Daerah pesisir di Utara Pamanukan.
siapapun yang masih terjaga malam itu untuk mendekat. Musik yang banyak dimainkan di
kawasan pesisir Jawa Barat itu menjadi hiburan pelepas lelah kaum nelayan yang baru turun
melaut. Ditemani para biduan dengan dandanan menor dan wangi semerbak bedak plus prafum
murahan cukup mampu menggoda kaum Adam yang sedang gelisah. Ke sanalah lima remaja
Alunan musik tarling semakin jelas. Lagu Pemuda Idaman menguar dari sound system yang
terdengar sember. Sesekali terdengar suara tawa genit para perempuan diiringi teriakan-teriakan
“Ayo, cepat dong,” seru Nana tak sabar. Ia mengajak bergegas teman – temannya.
“Sampe malem sih. Tapi kalo udah malem ceweknya nggak ada. Habis dibooking orang,”
jelas Ade.
Sejak menjelang petang lima remaja tanggung itu sudah berencana mendatangi kawasan
pesisir pantai di daerah Mayangan. Kelimanya penasaran dengan cerita – cerita tentang jenis tarian
yang dibawakan para perempuan muda berdandan menor. Orang Pamanukan menyebutnya
Dombret. Sebuah tradisi masyarakat lokal sebagai cara menghibur diri selepas lelah melaut.
“Dombret tuh apaan, sih?” tanya Andra sore itu.
“Itu cewek – cewek penari yang bisa diajak kencan. Tapi sebatas sekwilda. Nggak boleh
Pada zamannya, sekira tahun 1930-an, Dombret, sebagian orang lain menyebutnya Dongbret,
kesenian tradisi di pesisir Utara, Jawa Barat, khususnya sepanjang pantai Blanakan sampai
Pamanukan, merupakan bagian kesenian yang diadakan untuk mengisi upacara nadran atau pesta
laut. Upacara ini digelar para nelayan sebagai wujud syukur kepada Yang Kuasa atas limpahan
rejeki melalui ikan yang mereka dapat selama kurun waktu satu tahun.
Perkembangan zaman membuat kesenian Dombret berubah fungsi. Tidak lagi hanya bisa
ditemui saat pesta nadran, kesenian Dombret dapat ditemui hampir di setiap waktu terutama di
lokasi dekat pelalangan. Dombret menjadi hiburan pelepas lelah para nelayan selepas melaut.
Berikutnya tidak hanya para nelayan yang melaut, para tengkulak dan orang-orang yang
bekecimpung dalam bisnis perikanan yang bertransaksi di sekitar pelelangan juga turut menikmati
Seperti juga malam itu para pengunjung ke lokasi kesenian Dombret lebih banyak didominasi
kaum pelancong alias mereka yang bukan nelayan, dan bukan warga setempat. Mereka datang
tentu saja tidak hanya sekadar melepas penat dengan melihat para Dombret menari dan menyanyi.
Seperti juga Andra dan empat sekondannnya yang datang karena didorong rasa penasaran tentang
“Ndra, tuh yang itu mirip Elok, yah?” goda Toni seraya menujuk seorang gadis muda dengan
Dulu, dulu sekali, musik pengiring dombret bukan menggunakan musik Tarling, melainkan
ketuk, kecrek, kendang, rebab dan gong kecil. Meski sederhana namun, bunyi-bunyian yang
dihasilkanya cukup riang dan mengundang orang untuk datang dan menari bersama para Dombret.
Para Dombret yang terdiri para gadis muda itu memasuki arena, satu di antara mereka langsung
menyanyikan kidung berisi mantra layaknya mendaraskan sebuah doa agar semuanya lancar.
Setelah itu para penonton boleh menari dengan para dombret pilihannya. Bahkan boleh mengajak
III
Bunyi pluit panjang itu mengagetkan semua yang hadir di arena. Sontak, seperti Pdikomando
semua orang berlarian ke segala penjuru. Bunyit prrriiit… cukup membuat mereka yang hadir
lintang pukang. Tanpa perlu memastikan lagi siapa yang datang, bunyi itu sudah mengisyaratkan
kehadiran petugas polisi yang biasa melakukan razia. Tak terkecuali Andra dan sekondannya.
Mereka pun ngibrit, lari sekencang-kencangnya. Menerobos gelap. Melintasi pematang becek di
“Sssttt… lihat tuh,” Ade menunjuk ke arah lokasi pertunjukan Dombret yang baru saja
Serentak lima remaja tanggung itu menoleh ke sana. Sayup-sayup terdengar kembali musik
tardug dengan suara genit sang biduan. Lampu-lampu kembali berpendar-pendar, setelah
sebelumnya sempat dipadamkan. Sayup-sayup suasana pesta kecil-kecilan ala kampung nelayan
mendengar suara pluit polisi, ternyata suara itu hanya berasal dari pluit yang iseng ditiupkan
sesorang. Begitu menyadari tidak ada petugas yang datang merazia, sisa-sisa orang yang masih
“Ya, udah pulang aja. Kita nunggu tumpangan mobil yang mau ke Pamanukan. Sapa tahu
Lima remaja tanggung itu kembali berjalan, berbaris seperti biasanya. Seperti burung kuntul
di pematang. Mereka terus bergerak menerobos gelap, menuju titik cahaya di ujung jalan.