Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik
usus, mulai dari spinkter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang
bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum
dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional (Kartono,1993)
Zuelser dan Wilson (1948) mengemukakan bahwa pada dinding usus yang
menyempit tidak ditemukan ganglion parasimpatis. Sejak saat itu penyakit ini
lebih di kenal dengan istilah aganglionosis kongenital.
Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick
Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald
Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863.
Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga
tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang
dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal
usus defisiensi ganglion (Kartono, 1993)
Penyakit hisprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi hisprung
di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran
hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35
permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit
hisprung. (Munahasrini, 2012)
Insidens keseluruhan dari penyakit hisprung 1: 5000 kelahiran hidup, laki-
laki lebih banyak diserang dibandingkan perempuan ( 4: 1 ). Biasanya, penyakit
hisprung terjadi pada bayi aterm dan jarang pada bayi prematur. Penyakit ini
mungkin disertai dengan cacat bawaan dan termasuk sindrom down, sindrom
waardenburg serta kelainan kardiovaskuler. (Munahasrini, 2012)
Selain pada anak, penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya kegagalan
mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah berwarna
hijau dan konstipasi faktor penyebab penyakit hisprung diduga dapat terjadi
karena faktor genetik dan faktor lingkungan. Oleh karena itu, penyakit hisprung

1
sudah dapat dideteksi melalui pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan
radiologi, barium, enema, rectal biopsi, rectum, manometri anorektal dan melalui
penatalaksanaan dan teraupetik yaitu dengan pembedahan dan colostomi.

Labioskizis dan Labiopalatoskizis Merupakan deformitas daerah mulut


berupa celah atau sumbing atau pembentukan yang kurangsempurna semasa
embrional berkembang, bibir atas bagian kanan dan bagian kiri tidak
tumbuhbersatu. Belahnya belahan dapat sangat bervariasi, mengenai salah satu
bagian atau semua bagian daridasar cuping hidung, bibir, alveolus dan palatum
durum serta molle. Suatu klasifikasi bergunamembagi struktur-struktur yang
terkena menjadi :Palatum primer meliputi bibir, dasar hidung, alveolus dan
palatum durum dibelahan foramenincisivumPalatum sekunder meliputi palatum
durum dan molle posterior terhadap foramen.Suatu belahan dapat mengenai salah
satu atau keduanya, palatum primer dan palatum sekunder dan dapat unilateral
atau bilateral.Kadang-kadang terlihat suatu belahan submukosa, dalam kasus ini
mukosanya utuh denganbelahan mengenai tulang dan jaringan otot palatum.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi Hisprung dan Labiopalatoskizis
2. Bagaimana etiologi Hisprung dan Labiopalatiskizis
3. Bagaimana patofisiologi Hisprung dan Labiopalatiskizis
4. Bagaimana manifestasi klinis Hisprung dan Labiopalatiskizis
5. Apa saja komplikasi Hisprung dan Labiopalatiskizis
6. Bagaimana pemeriksaan diagnostik Hisprung dan Labiopalatiskizis
7. Bagaimana penatalaksanaan Hisprung dan Labiopalatiskizis
8. Bagaimana cara membuat Asuhan Keperawatan Hisprung

2
1.3 Tujuan
1. untuk mengetahui definisi Hisprung dan Labiopalatiskizis
2. untuk mengetahui etiologi Hisprung dan Labiopalatiskizis
3. untuk mengetahui patofisiologi Hisprung dan Labiopalatiskizis
4. untuk mengetahui manifestasi klinis Hisprung dan Labiopalatiskizis
5. untuk mengetahui komplikasi Hisprung dan Labiopalatiskizis
6. untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Hisprung dan Labiopalatiskizis
7. untuk mengetahui penatalaksanaan Hisprung dan Labiopalatiskizis

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hisprung


Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon.
Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai
persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus
kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi
“kelumpuhan” usus besar dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi
membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk
setiap individu.
Penyakit hirschsprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion
parasimpatis pada usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus. (Ngastiyah,
1997 : 138).
Penyakit hirschsprung adalah anomali kongenital yang mengakibatkan
obstruksi mekanik karena ketidak adekuatan motilitas sebagian dari usus. (Donna
L. Wong, 2003 : 507).
Macam-macam Penyakit Hirschprung
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu :
a. Penyakit Hirschprung segmen pendek
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan
70% dari kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak
laki-laki dibanding anak perempuan.
b. Penyakit Hirschprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon
atau usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki maupun
prempuan.(Ngastiyah, 1997 : 138)

2.2 Etiologi Hisprung


Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam
lapisan dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70 %
terbatas di daerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 %

4
dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus. Diduga terjadi karena faktor genetik
dan faktor lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down Syndrom, kegagalan
sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal
pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus (Budi, 2010).

2.3 Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya
kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa
kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian
proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau
tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi
usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah
keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus
dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak
pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol
kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen
aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya
bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan
menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson ).

2.4 Manifestasi Klinis


1. Kegagalan lewatnya mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan.
2. Konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat
tinja seperti pita.
3. Obstruksi usus dalam periode neonatal.
4. Nyeri abdomen dan distensi.
5. Gangguan pertumbuhan.
(Suriadi, 2001 : 242)
1. Obstruk total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan
evaluai mekonium.

5
2. Keterlambatan evaluasi mekonium diikuti obstruksi periodic yang
membaik secara spontan maupun dengan edema.
3. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang
diikuti dengan obstruksi usus akut.
4. Konstruksi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen dan
demam. Diare berbau busuk dapat menjadi satu-satunya gejala.
5. Gejala hanya konstipasi ringan.
(Mansjoer, 2000 : 380)

 Masa Neonatal :
1. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir.
2. Muntah berisi empedu.
3. Enggan minum.
4. Distensi abdomen.
 Masa bayi dan anak-anak :
1. Konstipasi
2. Diare berulang
3. Tinja seperti pita, berbau busuk
4. Distensi abdomen
5. Gagal tumbuh (Betz, 2002 : 197)

Komplikasi
Gawat pernapasan (akut)
1. Enterokolitis (akut)
2. Striktura ani (pasca bedah)
3. Inkontinensia (jangka panjang)
(Betz, 2002 : 197)

1. Obstruksi usus
2. Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
3. Konstipasi

6
(Suriadi, 2001 : 241)

2.5 Pemeriksaan Diagnostik


1. Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat
penghisap and mencari sel ganglion pada daerah submukosa.
2. Biopsy otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan
dibawah narkos. Pemeriksaan ini bersifat traumatic.
3. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy asap. Pada
penyakit ini klhas terdapat peningkatan aktivitas enzim asetikolin enterase.
4. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus. (Ngatsiyah,
1997 : 139)

1. Foto abdomen ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.


2. Enema barium ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
3. Biopsi rectal ; untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.
4. Manometri anorektal ; untuk mencatat respons refleks sfingter interna dan
eksterna.

2.6 Penatalaksanaan
Menurut Yuda (2010), penatalaksanaan hirsprung ada dua cara, yaitu
pembedahan dan konservatif.
1) Pembedahan
Pembedahan pada mega kolon/penyakit hisprung dilakukan dalam dua
tahap. Mula-mula dilakukan kolostomi loop atau double barrel sehingga tonus dan
ukuran usus yang dilatasi dan hipertrofi dapat kembali normal (memerlukan
waktu kira-kira 3 sampai 4 bulan).
Tiga prosedur dalam pembedahan diantaranya:

a. Prosedur duhamel
Dengan cara penarikan kolon normal ke arah bawah dan
menganastomosiskannya di belakang usus aganglionik, membuat dinding

7
ganda yaitu selubung aganglionik dan bagian posterior kolon normal yang
telah ditarik.
b. Prosedur swenson
Membuang bagian aganglionik kemudian menganastomosiskan end to
end pada kolon yang berganglion dengan saluran anal yang dilatasi dan
pemotongan sfingter dilakukan pada bagian posterior
c. Prosedur soave
Dengan cara membiarkan dinding otot dari segmen rektum tetap utuh
kemudian kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus tempat
dilakukannya anastomosis antara kolon normal dan jaringan otot
rektosigmoid yang tersisa.

2) Konservatif
Pada neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif melalui
pemasangan sonde lambung serta pipa rectal untuk mengeluarkan mekonium dan
udara.

A. Pengertiam Labio/Plato

Labio/plato skisis adalah merupakan kongenital anomali yang berupa


adanya kelainan bentuk pada struktur wajah.Palatoskisi adalah adanya celah pada
garis tengah palato yang disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palato
pada masa kehamilan 7-12 minggu.
Labio / Palato skisis merupakan kongenital yang berupa adanya kelainan
bentuk pada struktur wajah (Ngastiah, 2005 : 167)
Bibir sumbing adalah malformasi yang disebabkan oleh gagalnya propsuesus
nasal median dan maksilaris untuk menyatu selama perkembangan embriotik.
(Wong, Donna L. 2003)
Palatoskisis adalah fissura garis tengah pada polatum yang terjadi karena
kegagalan 2 sisi untuk menyatu karena perkembangan embriotik (Wong, Donna
L. 2003)
Beberapa jenis bibir sumbing :

8
a. Unilateral Incomplete
Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu sisi bibir dan tidak memanjang
hingga ke hidung.
b. Unilateral complete
Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu bibir dan memanjang hingga ke
hidung.
c. Bilateral complete
Apabila celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan memanjang hingga ke
hidung.

Labio Palato skisis merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah
mulut, palato skisis (subbing palatum) dan labio skisis (sumbing tulang) untuk
menyatu selama perkembangan embrio (Hidayat, Aziz, 2005:21)

B. Etiologi
1. Faktor Herediter :
Sebagai faktor yang sudah dipastikan. Gilarsi : 75% dari faktor keturunan resesif
dan 25% bersifat dominan.
a. Mutasi gen.
b. Kelainan kromosom
2. Faktor Eksternal / Lingkungan :
a. Faktor usia ibu
Obat-obatan. Asetosal, Aspirin (SCHARDEIN-1985) Rifampisin,
Fenasetin, Sulfonamid, Aminoglikosid, Indometasin, Asam Flufetamat,
Ibuprofen, Penisilamin, Antihistamin dapat menyebabkan celah langit-
langit. Antineoplastik, Kortikosteroid
b. Nutrisi
c. Penyakit infeksi Sifilis, virus rubella
d. Radiasi
e. Stres emosional
f. Trauma, (trimester pertama). (Wong, Donna L. 2003)

9
C. Patofisiologi
Bibir sumbing merupakan kelainan kongenital yang memiliki prevalensi
cukup tinggi. Bibir sumbing memiliki beberapa tingkant kerusakan sesuai organ
yang mengalami kecacatannya. Bila hanya dibibir disebut labioschizis, tapi bisa
juga mengenai gusi dan palatum atau langit-langit. Tingkat kecacatan ini
mempengaruhi keberhasilan operasi.
Cacat bibir sumbing terjadi pada trimester pertama kehamilan karena tidak
terbentuknya suatu jaringan di daerah tersebut. Semua yang mengganggu
pembelahan sel pada masa kehamilan bisa menyebabkan kelainan tersebut, misal
kekurangan zat besi, obat2 tertentu, radiasi. Tak heran kelainan bibir sumbing
sering ditemukan di desa terpencil dengan kondisi ibu hamil tanpa perawatan
kehamilan yang baik serta gizi yang buruk.

Bayi-bayi yang bibirnya sumbing akan mengalami gangguan fungsi


berupa kesulitan menghisap ASI, terutama jika kelainannya mencapai langit-langit
mulut. Jika demikian, ASI dari ibu harus dipompa dulu untuk kemudian diberikan
dengan sendok atau dengan botol berlubang besar pada bayi yang posisinya
tubuhnya ditegakkan. Posisi bayi yang tegak sangat membantu masuknya air susu
hingga ke kerongkongan. Jika tidak tegak, sangat mungkin air susu akan masuk ke
saluran napas mengingat refleks pembukaan katup epiglottis( katup penghubung
mulut dengan kerongkongan) mesti dirangsang dengan gerakkan lidah, langit-
langit, serta kelenjar liur.

Bibir sumbing juga menyebabkan mudah terjadinya infeksi di rongga


hidung, tenggorokan dan tuba eustachius (saluran penghubung telinga dan
tenggorokan) sebagai akibat mudahnya terjadi iritasi akibat air susu atau air yang
masuk ke rongga hidung dari celah sumbingnya.

D. Manifestasi Klinis
Pada labio Skisis :
1. Distorsi pada hidung

10
2. Tampak sebagian atau keduanya
3. Adanya celah pada bibir

Pada palato skisis:


1. Tampak ada celah pada tekak (uvula), palato lunak, dan keras dan atau foramen
incisive
2. Adanya rongga pada hidung
3. Distorsi hidung
4. Teraba celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari
5. Kesukaran dalam menghisap atau makan
Sumber : Medicastore.com

E. Komplikasi
1. Gangguan bicara dan pendengaran
2. Terjadinya otitis media
3. Aspirasi
4. Distress pernafasan
5. Risisko infeksi saluran nafas
6. Pertumbuhan dan perkembangan terhambat

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Foto roentgen
2. Pemeriksaan fisisk
3. MRI untuk evaluasi abnormal

G. Pemeriksaan Terapeutik
1. Penatalaksanaan tergantung pada beratnya kecacatan
2. Prioritas pertama adalah pada teknik pemberian nutrisi yang adekuat
3. Mencegah komplikasi
4. Fasilitas pertumbuhan dan perkembangan

11
H. Penatalaksanaan Medis
1. Penatalaksanaan bibir sumbing adalah tindakan bedah efektif yang
melibatkan beberapa disiplin ilmu untuk penanganan selanjutnya. Adanya
kemajuan teknik bedah, orbodantis,dokter anak, dokter THT, serta hasil akhir
tindakan koreksi kosmetik dan fungsional menjadi lebih baik. Tergantung dari
berat ringan yang ada, maka tindakan bedah maupun ortidentik dilakukan secara
bertahap.
Biasanya penutupan celah bibir melalui pembedahan dilakukan bila bayi
tersebut telah berumur 1-2 bulan. Setelah memperlihatkan penambahan berat
badan yang memuaskan dan bebas dari infeksi induk, saluran nafas atau sistemis.
Perbedaan asal ini dapat diperbaiki kembali pada usia 4-5 tahun. Pada kebanyakan
kasus, pembedahan pada hidung hendaknya ditunda hingga mencapi usia pubertas
Karena celah-celah pada langit-langit mempunyai ukuran, bentuk
danderajat cerat yang cukup besar, maka pada saat pembedahan, perbaikan harus
disesuaikan bagi masing-masing penderita. Waktu optimal untuk melakukan
pembedahan langit-langit bervariasi dari 6 bulan – 5 tahun. Jika perbaikan
pembedahan tertunda hingga berumur 3 tahun, maka sebuah balon bicara dapat
dilekatkan pada bagian belakang geligi maksila sehingga kontraksi otot-otot faring
dan velfaring dapat menyebabkan jaringan-jaringan bersentuhan dengan balon
tadi untuk menghasilkan penutup nasoporing.

12
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HISPRUNG

STUDY KASUS
Seorang anak M (pr) berusia 1 bulan dibawa ibunya ke rumah sakit pada tanggal 2
Juni 2008 dikarenakan perutnya kembung dan tidak bisa BAB. Setelah
mendapatkan pelayanan dari rumah sakit, ibu mengatakan, anaknya baru bisa
BAB jika diberi obat lewat dubur, anaknya sudah tidak muntah dan sudah bisa
BAB, jadi sudah sembuh, mestinya boleh pulang, ibu bingung karena dokter
umum membolehkan pulang dan rawat jalan tapi dokter spesialis anak belum
boleh karena sekalian mau di operasi.

3.1 Pengkajian
1. Biodata
Data bayi
Nama : By. M
Jenis kelamin : perempuan
Tanggal Lahir : 8 Mei 2008
Tanggal MRS : 2 juni 2008
BB/PB : 2900 g/ 54cm
Dx medis : hirsprung
Pengkajian : 9 Juni

Data Ibu
Nama : Ny. K
Pekerjaan : Tidak kerja
Pendidikan : SLTA
Alamat : Kedinding Tenagh SBY
Nama ayah : Tn T
Pekerjaan : PT PAL
Pendidikan : SLTA

13
2. Keluhan utama
Tidak bisa BAB sehingga perut anak besar sehingga tidak mau makan dan
minum

3. Riwayat penyakit sekarang


Kembung, pasien muntah setelah minum susu, muntah berupa susu yang
diminum, muntah sejak 3 hari yang lalu.

4. Riwayat penyakit sebelumnya


Lahir spontan ditolong dokter, langsung boleh pulang, tidak ada kelainan.

5. Riwayat kesehatan keluarga


Tidak ada saudara yang sakit seperti ananknya

6. Pemeriksaan fisik
a. Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 90/60mm/hg
Denyut nadi : 114/menit
Suhu tubuh : 36,5
RR : 40/menit
b. Pemeriksaan persistem
B1 reathing : normal
B2 Blood : normal
B3 Brain : normal
B4 Bladder : normal
B5 Bowel : kembung, bising usus 10x/ menit, muntah,
Peningkatan nyeri abdomen
B6 Bone : normal

7. Data Tambahan :

Radiologi :

14
 Torax Foto (2-6-08):
Cor : besar & bentuk kesan normal
Pulmo : tidak tampak infiltrat, sinus phrenicocostalis D.S tajam
Thymus : positif
Kesimpulan : foto torax tidak tampak kelainan
 Baby gram (2-6-08):
Dilatasi dan peningkatan gas usus halus dan usus besar
 BOF (2-6-08)
Dilatasi dan peningkatan gas usus halus dan usus besar
(menyokong gambaran Hirsprung Disease
 Colon in loop (5-6-08):
Tampak pelebaran rectosigmoid
Tampak area aganglionik di rectum dengan jarak ± 1,5 cm dari
anal dengan daerah hipoganglionik diatasnya.
Tampak bagian sigmoid lebih besar dari rectum.
Kesimpulan : Sesuai gambaran Hirschprung Diseases

Analisis Data
No DATA ETIOLOGI MASALAH
1 S: Ibu; Aganglionisis parasimpatikus Konstipasi
-Anaknya baru bisa BAB jika ↓
diberi obat lwat dubur. Mesenterikus
-BAB 1-2×/hr, konsisitensi ↓
lembek, berwarna kuning. Daya dorong lemah

O: Feses tidak bisa keluar
- Tampak distensi abdomen. ↓
- Lingkar abdomen 39 cm. Konstipasi
- Bising usus 10×/mnt

15
2. S: Kurang pengetahuan tentang Cemas orang
- Ibu mengatakan, kondisi penyakit dan terapi yang tua (Ibu)
anaknya sudah tidak muntah diprogramkan
dan sudah bisa BAB, jadi
sudah sembuh, mestinya
boleh pulang.
- Ibu mengatakan, saya
bingung karena dokter satu
membolehkan pulang dan
rawat jalan tapi dokter
satunya belum boleh karena
sekalian mau dioperasi.

O:
- Wajah tampak kusut
- Kurang perhatian (rambut
dan baju acak-acakan)
- Interaksi dengan Ibu-Ibu
lain kurang.
- Afek datar
- Emosi rendah
- Tidak ada diaforesis
- T = 130/80
- N = 80×/mnt
- RR = 20 ×/mnt

3.2 Diagnosa dan Intervensi


No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Konstipasi Tujuan: konstipasi dapat 1. Berikan 1. Untuk
berhubungan teratasi dalam 4 × 24 jam microlac rectal mangetahui
dengan Kriteria hasil: tiap hari kondisi usus
aganglionisis 1. BAB teratur 3-4 ×/hr melalui feses

16
parasimpatis 2. Konsisitensi lembek 2. Berikan ASI 2. ASI tetap
area rektum 3. Distensi abdomen diberikan
berkurang secara
4. Lingkar abdomen kontinyu untuk
berkurang memenuhi
nutrisi dan
cairan tubuh
anak
3. Observasi 3. Adanya bunyi
bising usus, abnormal bisa
distensi menunjukkan
abdomen, adanya
lingkar komplikasi dari
abdomen fungsi GI
4. Observasi 4. Indikator
frekuensi dan kembalinya
karakteristik fungsi gastro-
feses tiap BAB intestinal (GI),
mengidentifika
si ketepatan
intervensi.
5. Membantu 5. Intake cairan
memperlancar yang adekuat
defekasi untuk dapat
melunakkan membantu
feses dengan melunaakkan
menambah feses
intake cairan
2 Ansietas Tujuan: Ansietas (ibu) 1. Anjurkan pada 1. Pengungkapan
(ibu) berkurang dalam 24 jam orangtua untuk perasaan
berhubungan Kriteria Hasil: mengekspresikan membantu
dengan 1. Ibu mangungkapkan perasaan mengurangi

17
kurang suatu pemahaman yang rasa cemas
pengetahuan baik tentang proses 2. Gunakan 2. Komunikasi
tentang penyakit anaknya komunikasi yang tepat
penyakit dan 2. Ibu memahami terapi terapeutik sebagai wujud
terapi yang yang diprogramkan tim (kontak tubuh, rasa empati
diprogramka dokter sikap tubuh)
n 1. Jelaskan pada ibu 3. Jelaskan pada 3. Informasi
tentang penyakit orangtua membantu
yang diderita mengenai orangtua
anaknya. penyakit anak, memahami
2. Berikan ibu jadwal perawatan dan kondisi
pemeriksaan pengobatan penyakit anak,
diagnostic perawatan dan
3. Berikan informasi pengobatan
tentang rencana 4. Libatkan 4.Orangtua
operasi orangtua dalam merasa tenang
4. Berikan penjelasan perawatan anak
pada ibu tentang 5. Anjurkan berdoa 5.Dengan berdoa
perawatan setelah sesuai keyakinan membuat hati

operasi tenang, cemas

5. Meningkatkan berkurang

pengetahuan ibu

3.3 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

No Diagnosa Implementasi Evaluasi


1. Konstipasi 1. Memberikan microlac S: Ibu;
berhubungan rectal tiap hari -Anaknya baru bisa BAB jika
dengan 2. Memberikan ASI diberi obat lwat dubur.
aganglionisis 3. Mengobservasi bising -BAB 1-2×/hr, konsisitensi
parasimpatis usus, distensi abdomen, lembek, berwarna kuning.
area rektum lingkar abdomen

18
4. Mengobservasi frekuensi O:
dan karakteristik feses tiap - Tampak distensi abdomen.
BAB - Lingkar abdomen 39 cm.
5. Mengetahui peristaltic - Bising usus 10×/mnt
usus A: Konstipasi teratasi.
6. Membantu memperlancar P : rencana tindakan 1 dihentikan,
defekasi untuk rencana 2, 3,4 dan 5 dilanjutkan
melunakkan feses denagn
menambah intake cairan
2 Ansietas (ibu) 1. Menganjurkan pada S:
berhubungan orangtua untuk - Ibu mengatakan, kondisi anaknya
dengan kurang mengekspresikan perasaan sudah tidak muntah dan sudah bisa
pengetahuan 2. Menggunakan komunikasi BAB, jadi sudah sembuh,
tentang terapeutik (kontak tubuh, mestinya boleh pulang.
penyakit dan sikap tubuh) - Ibu mengatakan, saya bingung
terapi yang 3. Menjelaskan pada orangtua karena dokter satu membolehkan
diprogramkan mengenai penyakit anak, pulang dan rawat jalan tapi dokter
perawatan dan pengobatan satunya belum boleh karena
4. Melibatkan orangtua dalam sekalian mau dioperasi.
perawatan anak
5. Menganjurkan orangtua O:
(ibu) berdoa sesuai - Wajah tampak kusut
keyakinan - Kurang perhatian (rambut dan
baju acak-acakan)
- Interaksi dengan Ibu-Ibu lain
kurang.
- Afek datar
- Emosi rendah
- Tidak ada diaforesis
- T = 130/80
- N = 80×/mnt
- RR = 20 ×/mnt

19
A: Ansietas ibu berkurang
sebagian

P : Semua rencana tindakan


dilanjutkan

20
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan masalah.
Baik masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah pertumbuhan dan
perkembangan anak dengan penyakit hisprung yaitu terletak pada kebiasaan
buang air besar. Orang tua yang mengusahakan agar anaknya bisa buang air besar
dengan cara yang awam akan menimbulkan masalah baru bagi bayi/anak.
Penatalaksanaan yang benar mengenai penyakit hisprung harus difahami dengan
benar oleh seluruh pihak. Baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk tecapainya
tujuan yang diharapkan perlu terjalin hubungan kerja sama yang baik antara
pasien, keluarga, dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya dalam
mengantisipasi kemungkinan yang terjadi.

4.2 SARAN
Kami berharap setiap mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang
penyakit hisaprung. Walaupun dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan


Pediatrik. Edisi ke-3. Jakarta : EGC.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto.

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Sri Kurnianingsih


(Fd), Monica Ester (Alih bahasa) edisi – 4 Jakarta : EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa : Brahm U


Pendit. Jakarta : EGC.

Carpenito , Lynda juall. 1997 . Buku saku Diagnosa Keperawatan.Edisi ke -^.


Jakarta : EGC April 13, 2012 Munahasriani

Carpentino, Lynda Juall.2001.Buku Saku : Diagnosa keperawatan edisi : 8


Penterjemah Monica Ester.EGC.Jakarta

Iwansain.2008. Difteria.www.iwansain.wordpress.com. diambil 15 maret 2012

Doengoes, E Marlynn,dkk.1999. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3


penterjemah Monica Ester.EGC.Jakarta

Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Medika:
Jakarta

Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit Ilmu
Penyakit Dalam: Jakarta

22

Anda mungkin juga menyukai