Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
oleh:
Nikmatul Khoiriyah
NIM 122311101075
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN ACUTE MYELOID
LEUKEMIA (AML)
Oleh: Nikmatul Khoiriyah NIM 122311101075
2. Epidemiologi
Pada tahun 2016, di AS diperkirakan ada sekitar 8.220 kasus baru leukemia
mieloid kronik dan sekitar 1.070 orang meninggal karena penyakit tersebut. Usia
median saat didiagnosis leukemia mieloid kronik 55-60 tahun, penyakit ini
terutama dijumpai pada orang dewasa. Di Indonesia median usia saat didiagnosis
leukemia mieloid kronik adalah 34-35 tahun. Leukemia mieloid kronik dijumpai
sekitar 15% dari semua leukemia dan 7-20% dari leukemia pada dewasa. Pria
sedikit lebih sering dibandingkan wanita (1,3-2,2 : 1).
3. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Namun terdapat
beberapa faktor prediposisi dari LMA pada populasi tertentu (Jabbour, Estey, and
Kantarjian, 2006) diantaranya:
a. Faktor Genetik
Anak-anak dengan down’s syndrome memiliki risiko 10-20 kali lipat
mengalami AML dari pada anak-anak normal. Terdapat pula penyakit turunan
lainnya seperti Fanconi’s anemia, klinefelter anemia dan Bloom syndrome, yang
ditandai dengan dengan ketidakstabilan genetik dan ketidakmampuan
memperbaiki kerusakan DNA yang berhubungan dengan meningkatnya risiko
menderita leukemia.
b. Bahan Kimia
Paparan jangka panjang terhadap benzene dapat mengakibatkan leukemia
akut. Paparan jangka panjang terhadap herbisida, pestisida dan bahan kimia
pertanian lain, berhubungan dengan meningkatnya risiko leukemia. Banyak
pewarna rambut yang mengandung bahan kimia yang menyebabkan kanker dan
berhuhungan dengan leukemia, terutama dalam jangka panjang.
c. Merokok
Menghisap rokok dapat menyebabkan leukemia, terlebih bila mengandung
senyawa penyebab leukemia seperti benzene. Merokok pada usia remaja
menyebabkan peningkatan yang relative tidak terlalu besar berkembangnya
leukemia. Tapi, pada orang di atas usia 60 tahun merokok meningkatkan risiko
dua kali lipat berkembangnya LGA/LMA dan tiga kali lipat LLA.
d. Virus
Acute T cell leukemia berhubungan dengan infeksi oleh human T cell
leukemia virus (HTLV); human lymphotrophic virus-1 penyebab leukemia pada
manusia. Pada pasien yang terinfeksi, protein HTLV melekat pada protein
lymphocytes yang bertanggung jawab dalam mengatur pertumbuhan sel. Jika
HLTV melekat, maka dia mengganggu pertumbuhan sel normal dan mengkorup
fungsinya. Leukemia ini jarang terjadi di Amerika Serikat. Umumnya terjadi di
Asia dan sebagian Karibia.
e. Obat-obatan
Obat-obatan seperti chloramphenicol, phenylbutazone, chloroquine dan
methoxypsoralen dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sumsum tulang
yang kemudian beresiko terhadap terjadinya LMA.
f. Radiasi
Radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA, seperti pada orang-
orang yang selamat dari bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada 1945. Efek
leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun
sesudah pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah
pengeboman.
Terapi radiasi dengan menggunakan golongan alkylating agent dan
topoisomerase II inhibitor diketahui dapat meningkatkan resiko terjadinya LMA.
Golongan alkylating agent seperti cychlophospamide, melphalan, dan nitrogen
mustard sering dihubungkan dengan kejadian abnormalitas pada kromosom 5
dan/atau 7. Terpapar golongan topoisomerase II inhibitor seperti etoposide dan
teniposide sering menyebabkan abnormalitas pada kromosom 11 dan/atau 27.
4. Klasifikasi Leukemia
French-American-British (FAB) sejak tahun 1976 telah mengklasifikasikan
LMA menjadi 8 subtipe, berdasarkan pada hasil pemeriksaan morfologi sel dan
pengecatan sitokimia (Sutoyo & Setiyohadi, 2006; Wakui, 2008).
Klasifikasi FAB (Wakui, 2008):
No Subtipe Penjelasan
1 M0 LMA berdiferensiasi minimal
2 M1 LMA tanpa maturasi
3 M2 LMA dengan berbagai derajat maturasi
4 M3 Leukemia promielositik hipergranular
5 M4 Leukemia mielomonositik
6 M5 Leukemia monoblastik
7 M6 Eritroleukemia
8 M7 Leukemia megakarioblastik
5. Patofisiologi
Patogenesis utama LMA adalah adanya gangguan pematangan yang
menyebabkan proses diferensiasi sel-sel mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast)
dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi Blast di
dalam sumsum tulang akan menyebabkan terjadinya gangguan hematopoesis
normal yang akhirnya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang
(bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia (anemia,
leukopeni, trombositopeni). Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah
lelah dan pada kasus yang lebih berat akan sesak nafas, adanya trombositopenia
akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan, serta adanya leukopenia akan
menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi. Selain itu, sel-sel blast yang
terbentuk juga dapat bermigrasi keluar sumsum tulang atau berinfiltrasi ke organ-
organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem saraf pusat dan merusak
organ-organ tersebut.
Pada hematopoiesis normal, myeloblast merupakan sel myeloid yang belum
matang yang normal dan secara bertahap akan tumbuh menjadi sel darah putih
dewasa. Namun, pada AML myeloblast mengalami perubahan genetik atau mutasi
sel yang mencegah adanya diferensiasi sel dan mempertahankan keadaan sel yang
imatur, selain itu mutasi sel juga menyebabkan terjadinya pertumbuhan tidak
terkendali sehingga terjadi peningkatan jumlah sel blast (Sutoyo dan Setiyohadi,
2006).
6. Manifestasi Klinis
Gejala leukemia akut biasanya terjadi setelah beberapa minggu dan dapat
dibedakan menjadi 3 tipe (Safitri, 2005), yaitu:
7. Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada penyakit
leukemia akut (Safitri, 2005), meliputi:
a. Pemeriksaan darah lengkap, bertujuan untuk mengetahui perubahan pada
jumlah dari masing-masing komponen darah yang ada. Dari pemeriksaan
ini akan didapatkan gambaran adanya anemia, trombositopenia, leukopenia,
leukositosis ataupun kadar leukosit yang normal.
b. Biopsi sumsum tulang, dilakukan ketika ditemukan adanya kelainan pada
hasil pemeriksaan darah lengkap, yang bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya peningkatan pada jumlah sel blast.
c. Lumbal pungsi, bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya penyebaran
penyakit ke cairan serebrospinal (sistem saraf pusat).
d. Pemeriksaan radiologi, seperti Ultrasound, X-ray, CT scan, dan MRI,
bertujuan untuk membantu penegakan diagnosis dan mengetahui ada
tidaknya infiltrasi ke organ lain.
8. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
1) Transfusi darah, biasanya diberikan jika kadar Hb kurang dari 6g%. Pada
trombositopenia yang berat dan perdarahan masif, dapat diberikan transfusi
trombosit dan bila terdapat tanda-tanda DIC dapat diberikan heparin
2) Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya). Setelah
dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.
3) Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6-merkaptopurin atau 6-mp,
metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih
poten seperti vinkristin (Oncovin), rubidomisin (daunorubycine) dan
berbagai nama obat lainnya. Umumnya sitostatika diberikan dalam
kombinasi bersama-sama dengan prednison. Pada pemberian obat-obatan ini
sering terdapat efek samping berupa alopesia (botak), stomatitis, leukopenia,
infeksi sekunder atau kandidiasis. Bila jumlah leukosit kurang dari
2000/mm3 pemberiannya harus hati-hati.
4) Imunoterapi, merupakan cara pengobatan terbaru. Setelah tercapai remisi
dan jumlah sel leukemia cukup rendah (105-106), imunoterapi mulai
diberikan (mengenai cara pengobatan yang terbaru masih dalam
pengembangan).
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Masalah pasien yang perlu diperhatikan umumnya sama dengan pasien lain
yang menderita penyakit darah. Tetapi karena prognosis pasien pada umumnya
kurang menggembirakan (sama seperti pasien kanker lainnya) maka pendekatan
psikososial harus diutamakan. Yang perlu diusahakan ialah ruangan yang aseptik
dan cara bekerja yang aseptik pula. Sikap perawat yang ramah dan lembut
diharapkan tidak hanya untuk pasien saja tetapi juga pada keluarga yang dalam
hal ini sangat peka perasaannya jika mengetahui penyakit anaknya atau
keluarganya.
Beberapa cara yang bisa kita anjurkan adalah hindari menyikat gigi terlalu
keras, karena bulu sikat gigi dapat mencederai gusi. Menyarankan klien supaya
berhati-hati ketika berjalan di lantai yang licin seperti kamar mandi agar tidak
jatuh. Memberikan klien dan keluarganya pendidikan kesehatan bagaimana cara
mengatasi perdarahan hidung, misalnya dibendung dengan kapas atau perban,
posisi kepala menengadah.
Untuk menangani infeksi klien harus menjaga kebersihan diri, seperti mencuci
tangan, mandi 3x sehari. Menganjurkan keluarga klien untuk menjaga keersihan
diri mereka, membatasi jumlah pengunjung karena dikhawatirkan dapat
menularkan penyaki-penyakit seperti flu dan batuk. Menciptakan lingkungan yang
bersih dan jika perlu pertahankan tehnik isolasi.
B. Clinical Pathway
Intoleransi
Hemoglobin Pertahanan Imunitas Pendarahan
Aktivitas
ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer
C. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
Nama: mengetahui identitas klien
Umur dan tanggal lahir: sering terjadi pada usia anak-anak.
Jenis kelamin: bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan
b. Keluhan utama : Biasanya keluhan utama klien adalah adanya tanda-tanda
perdarahan pada kulit seperti petekie, tanda-tanda infeksi seperti demam,
menggigil, serta tanda anemia seperti kelelahan dan pucat.
c. Riwayat penyakit sekarang: Biasanya klien tampak lemah dan pucat, mengeluh
lelah, dan sesak. Selain itu disertai juga dengan demam dan menggigil,
penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan.
d. Riwayat penyakit dahulu : Adanya riwayat penyakit dengan gangguan pada
kromosom atau pernah mengalami kemoterapi atau terapi radiasi
e. Riwayat penyakit keluarga : Adanya keluarga yang pernah menderita leukemia
atau penyakit keganasan lain sebelumnya .
f. Pemeriksaan Fisik :
B1 (Breath) : terjadi peningkatan respiration rate, ditemukan adanya
perubahan pada suara dan frekuensi nafas karena sesak akibat
anemia.
B2 (Blood) : Nadi 120x/menit, CRT > 2detik, anemia, trombositopenia,
neutropenia, terjadi kelemahan, tampak pucat, tanda-tanda
perdarahan seperti petekie, ekimosis, perdarahan pada gusi, serta
adanya luka yang menandakan kelemahan imun tubuh (sariawan/
stomatitis).
B3 (Brain) : Composmentis, tidak terjadi defisit neurologis
B4 (Bladder) : berkemih dengan normal
B5 (Bowel) : abdomen
I: tampak normal, datar
A: terdengar bising usus dengan intensitas normal (5x/menit)
P: turgor kulit normal
P: timpani, tidak ada distensi abdomen, hepatomegali dan
splenomegali
B6 (Bone) : terdapat nyeri tulang dan sendi
g. Hasil pemeriksaan penunjang
1. Dari hasil pemeriksaan darah akan didapatkan adanya penurunan jumlah
eritrosit sampai dengan ≤7,5 g/dl (anemia berat), penurunan trombosit
<100.000 g/ml (trombositopenia) dan penurunan leukosit (leukositopenia).
2. Dari hasil biopsi sumsum tulang belakang akan didapatkan gambaran
adanya peningkatan jumlah sel blast (myeloblas) ≥20%.
3. Dari hasil pemeriksaan pengecatan sitokimia dengan menggunakan
Suddan Black B atau myeloperoxidase akan didapatkan hasil yang positif.
1. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan infiltrasi leukosit ke jaringan
sistemik
b. Resiko Infeksi berhubungan dengan menurunnya daya tahan
tubuh yang berkaitan dengan neutropenia/ menurunnya sistem imun
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara
menyeluruh akibat anemia
d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan,
ancaman kematian t/d kontak mata kurang, susah tidur, khawatir.
e. Defisiensi Pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pajanan
informasi t/d kurangnya pengetahuan terkait penyakit.
f. Gangguan Rasa Nyaman berhubungan dengan regimen
pengobatan (kemoterapi) t/d muntah, nyeri.
3 Rencana Tindakan Keperawatan
Jabbour, E. J., Estey, E., and Kantarjian, H. M. 2006. Adult Acute Myeloid
Leukemia. Mayo Clinic Proceedings. (Online), diakses pada tanggal 06
Agustus 2018, melalui http://media.proquest.com/
Price and Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Vol.
1, Ed. 6. Jakarta: EGC.