FARSOS
FARSOS
PENDAHULUAN
sumber pengobatan tersebut apakah obat berdasarkan resep dokter, obat tanpa resep,
obat alternatif lain atau obat tradisional, untuk mendapatkan luaran terapi pasien
yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Hal ini dapat terlaksana
bila ada kerjasama yang baik antara farmasis dengan pasien dan juga tenaga
kesehatan yang lain (Cipolle et al., 2004). Salah satu kontribusi farmasis dalam
farmasis dalam edukasi dan konseling kepada pasien-pasien dengan penyakit kronis
seperti diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2). Keterlibatan farmasis dalam pemberian
edukasi dan konseling terbukti dapat memberikan efek positif pada kadar A1C,
kolesterol dan tekanan darah pada pasien DM tipe 2 (National Diabetes education
wadah obat yang khusus dan juga konseling secara bersamasama dapat memberikan
1
2
bulan pada pasien DM tipe 2 juga diketahui dapat menurunkan kadar gula dan
pelayanan medis berkelanjutan dan pemberian edukasi dan dukungan bagi pasien
Menurut Visser dan Snoek (2004), pemberian edukasi sangat penting untuk
management).
2004) dan adherence (kepatuhan) pasien (Kreps et al., 2011). Pengetahuan pasien
merupakan awal untuk meraih tujuan tersebut (Blom dan Krass, 2011). Pasien yang
patuh terhadap rejimen terapi (Rapoff, 2010). Anggraini (2012) dalam penelitiannya
penggunaan obat karena pengetahuan pasien yang juga rendah. Masih pada pasien
pasien yang memberikan outcome berupa berkurangnya stres akibat diabetes dan
kontrol kadar glikemik pasien mendekati angka yang diharapkan (Karlsen et al.,
(Tankova et al., 2004 ; Sarkadi dan Rosenqvist, 2004 ; Karlsen et al., 2004). Selain
itu, penelitian oleh Ramadona (2011) tentang pengaruh konseling yang diberikan di
poliklinik Khusus RSUP Dr. M. Djamil, Padang telah diketahui dapat meningkatkan
dilaksanakan pada saat penyerahan obat kepada pasien, tetapi dapat juga diberikan
sebagai bentuk pelayanan yang terpisah (ASHP, 1997), seperti misalnya melalui
menjaga kerahasiaan untuk dapat membuat pasien menerima dengan baik dan lebih
terlibat dalam proses pembelajaran (ASHP, 1997). Salah satu lingkungan yang
2008, disebutkan bahwa salah satu peran farmasis dalam manajemen penyakit
maupun monitoring penggunaan obat kepada pasien dan keluarga pasien (Depkes
RI, 2008).
perubahan yang terjadi dengan pemberian konseling yang diberikan oleh farmasis
di rumah pasien terhadap tingkat pengetahuan dan kepatuhan pasien DM tipe 2 akan
B. Perumusan Masalah
tipe 2 setelah diberikan konseling terhadap penyakit yang diderita serta pengobatan
yang diterima?
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi rumah sakit: dapat memberikan saran melalui data yang diperoleh
E. Tinjauan Pustaka
(WHO, 2006a). Guyton dan Hall dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (2008)
karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin
a. Diabetes melitus tipe 1 (terjadi akibat kerusakan sel β dan mengarah kepada
defisiensi insulin)
b. Diabetes melitus tipe 2 (terjadi akibat defek progresif pada sekresi insulin
c. Diabetes melitus tipe spesifik lainnya, misalnya defek genetik pada fungsi sel
β, aksi insulin, penyakit pada eksokrin pankreas (misalnya cystic fibrosis), dan
akibat obat atau induksi kimiawi (misalnya pada pengobatan HIV/AIDS atau
Diabetes melitus kini menjadi ancaman yang serius bagi manusia. WHO
memperkirakan bahwa terdapat 171 juta orang di seluruh dunia menderita diabetes
pada tahun 2000 dan diproyeksikan akan meningkat menjadi 366 juta pada tahun
2000 dan diprediksi akan meningkat hingga 21.257.000 pada tahun 2030 (WHO,
2006a). Menurut data dari Departemen Kesehatan RI, jumlah pasien diabetes
6
melitus rawat inap dan rawat jalan menduduki peringkat pertama penyakit endokrin
(Maulana, 2009).
Diabetes sering kali tidak terdiagnosis karena banyak gejala yang tidak
tampak begitu berbahaya. Beberapa tanda dan gejala klasik penyakit diabetes adalah
sering buang air kecil (poliuria), sering haus (polidipsia), penurunan berat badan
yang tidak biasa (Dipiro et al., 2009 ; McPhee dan Papadakis, 2011). Pada tahun
International Diabetes Federation (IDF) dan European Association for the Study of
dengan batas 6,5%. Diagnosis juga dapat dilakukan dengan (ADA, 2011) :
a. Glukosa darah puasa ≥126 mg/dl (7.0 mmol/l). Puasa artinya tidak ada asupan
b. Glukosa darah 2 jam post prandial ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/l) selama tes
c. Glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/l) pada pasien dengan gejala
DM yaitu: a) faktor genetik, yang muncul pada individu dengan riwayat DM dalam
keluarga dan kemungkinan untuk terjadinya DM pada individu ini adalah 15%; b)
abnormalitas sekresi insulin yang berakibat pada defisensi insulin; c) defek pada
2001).
Luaran yang diinginkan dalam pengobatan diabetes mellitus adalah
hidup pasien (ADA, 2007). Sedangkan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
mencapai luaran yang diinginkan tersebut adalah dengan mengubah gaya hidup /
diet (pengendalian berat badan dan aktifitas fisik) dan menggunakan obat-obatan
antidiabetik maupun insulin (Guyton dan Hall, 2008 ; ADA, 2011). Jika tidak
ditangani dengan baik, komplikasi akibat diabetes dapat terjadi, yaitu komplikasi
akibat lesi pada kaki, saraf autonom seperti disfungsi seksual dan gastroparesis),
perkembangan komplikasi adalah dengan pengendalian kadar gula darah yang ketat
8
(Depkes RI, 2005). Diabetes melitus dikatakan terkendali baik apabila kadar
glukosa, kadar lipid, dan HbA1c mencapai kadar yang diharapkan, demikian pula
menimbulkan masalah terkait obat (drug related problems) yang dialami oleh
dalam pencapaian tujuan terapi sebagai akibat pemberian obat (Depkes RI, 2005).
pasien mengikuti terapi. Untuk melakukan hal ini secara efektif, farmasis harus
menyebabkan
informasi yang lengkap dan akurat tentang terapi tersebut. Di dalam hal ini, farmasis
berada di posisi kunci untuk memberi penjelasan umum maupun khusus tentang
morbiditas dan mortalitas DM. Sedangkan tujuan khususnya adalah menjaga agar
kadar gula darah pada tingkat normal atau mendekati normal, mencegah atau
paling awal pada penderita DM tipe 2 atau prediabetes adalah dengan perubahan
gaya hidup menjadi lebih sehat, yang meliputi perubahan pola makan sesuai status
gizi yang ditentukan, menyesuaikan aktivitas fisik dengan kalori yang masuk,
antidiabetes dipilih apabila dengan cara pengubahan gaya hidup tidak dapat lagi
efektif menurunkan gula darah secara signifikan. Penggunaannya bisa dengan terapi
obat antidiabetes oral (ADO) tunggal atau kombinasi, terapi insulin atau kombinasi
Tabel II. Daftar obat Antidiabetika Oral (ADO) dan penjelasannya (Katzung, et al., 2009)
10
a. Metformin (Biguanide)
11
(Katzung, 2009).
Metformin biasanya diberikan 2-3 kali sehari 500 mg. Dosis dapat
(PERKENI, 2006).
makan, mual atau muntah, kembung perut, atau sakit, gas dan diare. Efek
ginjal, hati, infeksi atau trauma berat, dehidrasi dan mereka yang minum
alkohol berlebihan (Sukandar et al., 2008). Selain itu, metformin juga tidak
boleh diberikan pada pasien dengan penyakit jantung kongestif dan wanita
b. Sulfonilurea
ini merupakan masalah biasa dan tidak mungkin terjadi jika makan secara
12
teratur, tidak lewatkan makan, dan tidak minum alkohol terlalu banyak.
Gejala gula darah rendah dapat berupa berkeringat, goncangan, merasa lapar
dan cemas.
hati atau fungsi ginjal, wanita hamil, pada pasien usia lanjut karena resiko
2008).
c. Thiazolidinedion
insulin (Departemen Kesehatan RI, 2005). Biasanya obat ini dalam bentuk
kombinasi dengan obat lain seperti metformin, sulfonilurea, atau insulin dan
lebih efektif dalam bentuk kombinasi. Obat ini tidak tergantung dengan
d. Meglitinide
darah dalam waktu 1 jam. Karena masa kerjanya sangat cepat, obat ini cocok
e. Penghambat α-glukosidase
aksinya tidak seperti metformin atau sulfonilurea. Efek samping yang tidak
diinginkan dari penggunaan obat ini adalah flatulensi, diare, dan nyeri
2009).
f. DPP IV Inhibitor
Ada pula langkah dalam pencegahan komplikasi DM, yaitu dengan cara
yang disebut self care. Self care meliputi pemeriksaan kesehatan secara rutin
infeksi gusi), kesehatan kaki (DM dapat menyerang saraf), pengawasan konsumsi
alkohol (dapat menurunkan kadar gula namun penggunaannya harus dibatasi), serta
pengetahuan, dan ketrampilan yang cukup dalam aturan pakai farmakoterapi dan
pasien harus memiliki pemahaman yang baik tentang mengapa pengobatan mereka
untuk menggunakan obat (ketrampilan). Minimal pasien harus tahu tentang dosis,
frekuensi dan dasar pemikiran untuk tepat menggunakan obat dan memiliki
kemampuan untuk membaca label obat, membuka botol obat dan membedakan
atribut fisik obat mereka seperti warna dan bentuk (Nikolaus et al., 1996).
hidup dari pasien itu sendiri (Lewis et al., 1997 ; Malathy et al., 2011). Contohnya
penelitian lain menyebutkan, pada pasien yang telah diberi edukasi (pengetahuan)
memperlihatkan kontrol glikemik yang lebih baik. Hal tersebut berasosiasi dengan
berkurangnya simptom, mood yang lebih baik, dan kebugaran tubuh, yang pada
15
akhirnya berdampak pada quality of life dan keuntungan ekonomi bagi pasien
pasien yang kemudian menjadi aturan yang telah disepakati antara penyedia layanan
kesehatan dengan pasien, yang didasarkan pada argumen bahwa pasien harus
menjadi mitra aktif dengan tenaga kesehatan yang profesional dalam perawatan diri
mereka sendiri dan terjadi komunikasi yang baik antara pasien dan tenaga kesehatan
adalah suatu keharusan untuk praktek klinis yang efektif. Sedangkan kesesuaian
(compliance) lebih kepada kepatuhan terhadap hal yang telah disampaikan penyedia
layanan kesehatan secara sepihak tanpa persetujuan pasien (WHO, 2003). Namun
ada beberapa literatur yang menyebutkan bahwa adherence dan compliance adalah
et al., 2002).
a. Faktor pasien atau keluarganya, meliputi demografi (seperti umur dan jenis
keparahan penyakit yang lebih tinggi cenderung akan lebih patuh terhadap
penyakit. Faktor yang berhubungan dengan obat, seperti bentuk sediaan dan
seperti:
a. Faktor fisik dan psikologis. Pasien dengan permasalahan psikiatrik akan
lainnya terlalu jauh. Pemberian informasi yang tepat dan komunikasi yang
ketidakpatuhan terhadap pengobatan akan mengarah pada hasil yang lebih buruk,
tingkat hospitalisasi yang lebih tinggi, dan biaya pengobatan yang lebih tinggi
(Kripalani, 2007).
17
dengan terapi jangka panjang hanya 50%. Dari kegagalan ini terlihat bahwa
ketidakpatuhan menjadi salah satu tantangan terapi terbesar bagi para profesional
Sebagai tambahan atas intervensi berbasis pasien, peningkatan hal lain dapat juga
pasien terkait dengan kepatuhan pengobatan. Intervensi yangb efektif dapat berupa
keluarga, terapi psikologi, intervensi krisis, follow up manual dengan telepon, dan
Cryan, 2003).
suatu pelayanan kepada pasien yang dilakukan di rumah khususnya untuk kelompok
pasien lanjut usia dan pasien yang menggunakan obat dalam jangka waktu lama
obat dan atau alat kesehatan yang tepat, terwujudnya kerjasama profesi kesehatan,
pasien dan keluarga (Depkes RI, 2008). Salah satu tujuan pelayanan kefarmasian di
obat di rumah dan juga memberikan edukasi kepada keluarga pasien yang seringkali
dukungan kepada pasien untuk dapat menggunakan obat dengan tepat (ASHP,
1999).
c. Pasien dengan risiko adalah pasien dengan usia 65 tahun atau lebih dengan
ruangan tertutup yang memberikan privasi dan kesempatan bagi pasien dan farmasis
hal tersebut.
juga melibatkan diskusi yang saling menguntungkan dan adanya pertukaran opini
antara pemberi dan penerima konseling (Rantucci, 2007). Konseling pasien oleh
untuk memberikan edukasi kepada pasien sesuai dengan situasi dan kebutuhan
a. Pembukaan
konseling.
b. Diskusi
Informasi obat meliputi tujuan pengobatan, dosis dan efektivitas obat, cara
terhadap pasien dan dokter dapat memperbaiki luaran yang berupa kepatuhan
2001). Penelitian yang dilakukan oleh Bouvy et al., (2003), menunjukkan bahwa
meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien gagal jantung dari 61% hingga 93%.
Review pengobatan oleh farmasis, konseling pasien, dan tindak lanjut melalui
telepon juga dihubungkan dengan tingkat Adverse Drug Events yang lebih rendah
setelah 30 hari sejak pengobatan rawat inap dihentikan (Schnipper et al., 2006).
21
Rekomendasi farmasis tidak hanya memperbaiki kualitas hidup pasien namun juga
7. Teori Perubahan Perilaku Pasien The Precaution Adoption Process Model (PAPM)
pasien (health behavior) terutama teori yang berkaitan dengan perubahan perilaku
(Rantucci, 2007). Salah satu teori perubahan perilaku adalah teori The Precaution
Sandman tahun 1992 (Glanz et al., 2008). Teori PAPM menjelaskan bagaimana
seseorang sampai pada keputusan untuk melakukan aksi tertentu dan bagaimana
perubahan yang dijelaskan dalam teori ini, seperti terlihat pada gambar 2.
22
Tahap 4.
Memutuskan
untuk tidak
melakukan
Tahap 7. Tahap 6.
Tahap 5.
Melakukan Melakukan
10. Memutuskan
tindakan tindakan
untuk melakukan
dengan ajeg
tindakan
Gambar 2. Tahap-tahap yang terjadi dalam Precaution Adoption Process Model (Glanz et al., 2008)
Dalam proses transisi antar tahap dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang
diterima oleh pasien. Faktor-faktor tersebut antara lain seperti terlihat pada tabel III
Tabel III. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses tansisi individu ke tahapan proses
berikutnya dalam model PAPM (Glanz et al., 2008)
Transisi tahap Faktor yang mempengaruhi
Tahap 1 ke tahap 2 Informasi dari media atau informasi lain yang diterima
Tahap 2 ke tahap 3 Informasi dari media atau informasi lain
Komunikasi dengan orang yang dipercaya
Pengalaman pribadi
Tahap 3 ke tahap 4 / 5 Kepercayaan terhadap keparahan
Kepercayaan terhadap kerentanan dirinya
Rekomendasi perubahan perilaku oleh orang lain
Takut dan khawatir
Tahap 5 ke tahap 6 Waktu, usaha dan sumber-sumber yang diperlukan untuk melakukan
tindakan
Informasi detail tentang bagaimana melakukan suatu tindakan
Pengingatan dan faktor lain yang mengingatkan untuk melakukan
tindakan
Bantuan dalam melakukan tindakan yang diharapkan
berikutnya dengan tujuan akhir sampai pada tahap perubahan perilaku yang kokoh.
G. Keterangan Empiris
diharapkan pasien dapat berproses menuju ke tahap berikutnya sesuai dengan proses
dalam PAPM sehingga hasil akhir yang diharapkan adalah kepatuhan pasien dalam