Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh :
B. ETIOLOGI
Penyebab kejang demam sampai saat ini masih belum diketahui secara
jelas. Kejang demam biasanya dikaitkan dengan infeksi saluran pernapasan
atas, infeksi saluran kemih dan roseola. Kejang ini merupakan kejang umum
dengan pergerakan klonik selama kurang dari 10 menit. SSP normal dan tidak
ada tanda-tanda defisit neurologis pada saat serangan telah menghilang.
Sekitar sepertiga akan mengalami kejang demam kembali jika terjadi demam,
tetapi sangat jarang yang mengalami kejang setelah usia 6 tahun. Kejang yang
lama, fokal, atau berulang, atau gambaran EEG yang abnormal 2 minggu
setelah kejang, menunjukkan diagnosis epilepsi (kejang nondemam berulang).
(Meadow, 2010)
Menurut Hidayat (2014), faktor yang berperan dalam menyebabkan
kejang demam antara lain :
1) Demam itu sendiri
2) Efek produk toksik dari pada mikroorganisme (kuman dan virus terhadap
otak).
3) Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi.
4) Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit.
5) Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak
diketahui atau ensekalopati toksik sepintas.
6) Gabungan semua faktor tersebut di atas.
Menurut Meadow (2010) penyebab kejang demam dibedakan menjadi
intrakranial dan ekstrakranial.
Intrakranial meliputi :
1) Trauma (perdarahan): perdarahan subarachnoid, subdural atau
ventrikuler.
2) Infeksi: bakteri, virus, parasit misalnya meningitis.
3) Congenital : disgesenis, kelainan serebri
Ekstrakranial meliputi:
1) Gangguan metabolik: hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia,
gangguan elektrolit (Na dan K) misalnya pada pasien dengan riwayat
diare sebelumnya.
2) Toksik : intoksikasi, anastesi lokal, sindroma putus obat.
3) Congenital: gangguan metabolisme asam basa atau ketergantungan dan
kekurangan piridoksin.
C. KLASIFIKASI KEJANG
1. Kejang Parsial (Fokal, Lokal)
a. Kejang Parsial Sederhana
Kesadaran tidak terganggu, dapat meliputi satu atau kombinasi dari
hal-hal berikut :
1) Tanda motorik – kedutan pada wajah, tangan, atau suatu bagian
tubuh, biasanya gerakan yang sama terjadi pada setiap kejang,
dan dapat menjadi merata.
2) Tanda dan gejala otomatis – muntah, berkeringat, wajah merah,
dilatasi pupil.
3) Gejala-gejala somatosensori atau sensori khusus – mendengar
suara musaik, merasa jatuh dalam suatu ruang, parestesia.
4) Gejala-gejala fisik – déjă vu (sepertiga siaga), ketakutan,
penglihatan panoramik. (Betz, 2010)
b. Kejang Parsial Kompleks
1) Gangguan kesadaran, walaupun kejang dapat dimulai sebagai
suatu kejang parsial sederhana.
2) Dapat melibatkan gerakan otomatisme atau otomatis – bibir
mengecap, mengunyah, mengorek berulang, atau gerakan tangan
lainnya.
3) Dapat tanpa otomatisme – tatapan terpaku. (Betz, 2010)
2. Kejang Menyeluruh (Konvulsif atau Nonkonvulsif)
a. Kejang Lena
1) Gangguan kesadaran dan keresponsifan.
2) Dicirikan dengan tatapan terpaku yang biasanya berakhir kurang
dari 15 detik.
3) Awitan dan akhir yang mendadak, setelah anak sadar dan
mempunyai perhatian penuh.
4) Biasanya dimulai antara usia 4 dan 14 tahun dan sering hilang
pada usia 18 tahun. (Betz, 2010)
b. Kejang Mioklonik
1) Hentakan otot atau kelompok otot yang mendadak dan
involunter.
2) Sering terlihat pada orang sehat saat mulai tidur, tetapi bila
patologis melibatkan hentakan leher, bahu, lengan atas, dan
tungkai secara sinkron.
3) Biasanya berakhir kurang dari 5 detik dan terjadi berkelompok.
4) Biasanya tidak ada atau hanya terjadi perubahan tingkat
kesadaran singkat. (Betz, 2010)
c. Kejang Tonik-klonik
1) Dimulai dengan kehilangan kesadaran dan bagian tonik, kaku
otot ekstremitas, tubuh, dan wajah secara keseluruhan yang
berakhir kurang dari satu meit, sering didahuluioleh suatu aura.
2) Kemungkinan kehilangan kendali kandung kemih dan usus.
3) Tidak ada respirasi dan sianosis.
4) Bagian tonik yang diikuti dengan gerakan klonik ekstremitas
atas dan bawah.
5) Letargi, konfusi, dan tidur pada fase postictal. (Betz, 2010)
d. Kejang Atonik
1) Kehilangan tonus tiba-tiba yang dapat mengakibatkan turunnya
kelopak mata, kepala terkulai, atau orang tersebut jatuh ke
tanah.
2) Singkat dan terjadi tanpa peringatan. (Betz, 2010)
e. Status Epileptikus
1) Biasanya kejang tonik-klonik, menyeluruh yang berulang.
2) Kesadaran antara kejang tidak didapat.
3) Potensial depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia.
4) Memerlukan penanganan medis darurat segera. (Betz, 2010)
D. PATOFISIOLOGI
Menurut Betz (2010) kejang demam pada anak mudah sekali untuk
terinfeksi bakteri, virus dan parasit yang mengakibatkan reaksi inflamasi dan
terjadinya proses demam sehingga menjadi hipertermi maka terjadi demam.
Demam akan menimbulkan proses peradangan maka anak akan mengalami
anoreksi maka akan muncul diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke
seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang
disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang yang dapat mengakibatkan
resiko cedera. Kejang dengan frekuensi lebih dari 15 menit akan
menyebabkan perubahan suplay darah ke otak sehinnga terjadi hipoksia
kemudian permeabilitas kapiler meningkat akan mengakibatkan kerusakan sel
neuron otak.
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi
dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari
permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam
keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion
kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit
lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat
keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan
di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut
potensial membran dari neuron.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
1) Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
2) Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya
3) Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1ᵒC akan mengakibatkan
kenaikan metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat
20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Oleh karena itu
kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron
dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion
natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran
sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang
demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya
aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat.
E. PATHWAY
Betz (2010)
Infeksi bakteri
Reaksi inflamasi
Proses demam
Hipertermi
F.
Proses
Keringat meningkat
Demam
peradangan
Kekurangan
Ketidakseimbangan Melepaskan muatan listrik yang volume cairan
nutrisi kurang dari besar
kebutuhan tubuh
Tidak menimbulkan
gejala sisa Perubahan suplay
darah ke otak hipoksia
G. TEMUAN PENGKAJIAN
1. Manifestasi klinis
a. Sebagian besar aktivitas kejang berhenti pada saat anak
mendapatkan pertolongan medis, tetapi anak mungkin dalam
keadaan tidak sadar. (Muscari, 2011)
b. Orang tua atau pemberi asuhan akan menggambarkan manifestasi
kejang tonik-tonik (tonik−kontraksi otot, ekstensi ekstremitas,
kehilangan kontrol defekasi dan kandung kemih, sianosis, dan
kehilangan kesadaran; klonik−kontraksi dan relaksasi ekstremitas
yang teratur (ritmik); fase postiktal dikarakteristikkan dengan
ketidaksadaran persisten). (Muscari, 2011)
c. Sering ditemukan adanya riwayat keluarga dengan kejang demam.
(Muscari, 2005)
d. Suhu tubuh mencapai 39oC. (Dewanto, 2012)
e. Kepala anak seperti terlempar ke atas, mata mendelik, tungkai dan
lengan mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang, gejala
kejang bergantung pada jenis kejang. (Dewanto, 2012)
f. Kulit pucat dan mungkin menjadi biru. (Dewanto, 2012)
2. Temuan pemeriksaan diagnostik dan laboratorium
a. Elektroensefalografi (EEG) : dipakai untuk membantu menetapkan
jenis dan fokus kejang. (Betz, 2010)
b. CT scan : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri
biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan. (Betz,
2010)
c. Magneti Resonance Imaging (MRI): menghasilkan bayangan dengan
menggunakan lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna
untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht
bila menggunakan pemindaian CT. (Betz, 2010)
d. Pemindaian Positron Emission Tomography (PET) : untuk
mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan
lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak.
(Betz, 2010)
e. Uji laboratorium
1. Pungsi lumbal: menganalisis cairan serebrovaskuler – terutama
dipakai untuk menyingkirkan infeksi.
2. Hitung darah lengkap: mengevaluasi trombosit dan hematokrit
3. Panel elektrolit
4. Skrining toksik dari serum dan urin
5. GDA
6. Kadar kalsium darah
7. Kadar natrium darah
8. Kadar magnesium darah. (Betz, 2010)
H. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Bila kejang berhenti dengan algoritma tata laksana kejang, maka
dilanjutkan dengan terapi profilaksis intermiten atau rumatan pada saat
demam berupa :
1) Antipiretik : parasetamol 10-15 mg/kg/hari setiap 4-6 jam atau ibuprofen
5-10 mg/kg/hari tiap 4-6 jam.
2) Antikejang : diazepam oral 0,3 mg/kg/dosis tiap 8 jam saat demam atau
diazepam rektal 0,5 mg/kg/hari setiap 12 jam saat demam.
3) Pengobatan jangka panjang selama 1 tahun dapat dipertimbangkan pada
kasus kejang demam kompleks dengan faktor risiko. Obat yang
digunakan adalah fenobarbital 3-5 mg/kg/hari atau asam valproat 15-20
mg/kg/hari. (Dewanto, 2012)
Betz, Cecily Lynn. 2010. Buku Saku Keperawatan Pediatri Ed. 5. Jakarta : EGC
Dewanto, George dkk. 2012. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana
Penyakit Saraf. Jakarta : EGC
Meadow, Sir Roy. 2010. Lecture Notes Pediatrika Ed. 7. Jakarta : Erlangga
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., and Swanson, E. 2016. Nursing
Outcomes Classification (NOC). Edisi Bahasa Indonesia. Indonesia :
Elsevier Inc.