Anda di halaman 1dari 59

REFLEKSI KASUS Juli 2018

MANAJEMENT ANASTESI REGIONAL DENGAN


SUBARACHNOID BLOK PADA PASIEN PROLAPS
UTERI DENGAN TINDAKAN HISTEREKTOMI DAN
VAGINOPLASTY

Disusun Oleh:
FIADELFIA SARI S.Ked
N 111 16 026

Pembimbing Klinik:
dr. SOFYAN BULANGO, Sp.An

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang tidak


berorientasi pada organ atau umur, tetapi pada fungsi. Dengan demikian maka
hubungan dengan cabang-cabang ilmu kedokteran (klinik) yang lain cukup
banyak, bahkan seringkali di ruang lingkup anestesi merupakan titik temu
persilangan cabang ilmu medik dan bedah.1
Pemilihan jenis anestesi sangat bergantung pada kemampuan dan
pengalaman, peralatan dan obat-obatan yang tersedia dan keadaan klinis. Selain
itu, pemilihan teknik anestesi juga ditentukan oleh kondisi klinis pasien, waktu,
tidakan gawat darurat, keadaan lambung.2
Pada dasarnya baik pada anak maupun dewasa tujuan anestesi adalah sama,
yaitu menghilangkan rasa sakit dan membuat nyaman pasien selama operasi
berlangsung dan setelahnya.General anesthesia merupakan jenis anestesi yang
sering digunakan untuk pasien yang akan menjalani operasi. Selama operasi
berlangsung, tanda vital akan dipantau melalui monitor fungsi tubuh secara umum
yaitu denyut nadi, nafas, dan saturasi oksigen. Selain itu, intubasi diperlukan
untuk membuka jalan nafas pada anestesi umum.1
Balanced anesthesia dalam konteks ini meliputi yaitu obat diberikan
sebelum induksi anestesi (Premedikasi), obat diberikan selama induksi anestesi
dan obat diberikan selama maintenance anestesi. Anestesi merupakan tahapan
yang paling penting dalam tindakan pembedahan, karena tindakan pembedahan
belum dapat dilakukan bila anestesi belum diberikan. Anestesi memiliki resiko
yang jauh lebih besar dari prosedur tindakan pembedahan karena nyawa pasien
yang dianestesi dapat terancam. Untuk pemilihan anestesi yang ideal dibutuhkan
dalam menghasilkan sifat analgesi, sedasi, relaksasi, Unconsciousness (hilang
kesadaran), keamanan dan kenyamanan untuk sistem vital, ekonomis, dan mudah
dalam aplikasi baik di lapangan ataupun di ruang operasi. Namun, sampai saat ini
anestesi yang memenuhi kriteria yang ideal belum ada.1

1
Anestesi umumnya digolongkan berdasarkan cara penggunaan obatnya dan
berdasarkan luas pengaruh obat. Berdasarkan cara penggunaan obat anestesi
dibagi menjadi empat meliputi anestesi inhalasi yaitu obat anestesi berupa gas/uap
diaplikasikan melalui respirasi dengan kombinasi oksigen, anestesi injeksi yaitu
obat anestesi (diberikan dengan cara injeksi/suntikan, bisa melalui intravena,
intramuskuler atau subkutan), oral atau rektal yaitu obat yang diberikan melalui
saluran pencernaan (gastrointestinal) dan anestesi topikal yaitu anestesi yang
diberikan melalui kutaneus atau membran mukosa untuk tujuan anestesi lokal.2
Anestesi lokal dianggap lebih aman daripada anestesi umum pada berbagai
keadaan, atau menyebabkan lebih sedikit efek sampng pasa bedah yang tidak
menyenangkan pada kasus lain, tetapi sering diabaikan kebaikkannya bila di
bandingkan kecepatan dan kemudahannya secara komparatif dengan anestesi
umum.3
Prolapsus uteri adalah suatu kondisi jatuh atau tergelincirnya uterus ke
dalam atau keluar melalui vagina. Hal tersebut dikarenakan dukungan yang tidak
adekuat dari ligamentum kardinal dan uterosakral serta struktur penyangga pelvis
mengalami kerusakan dan kadang-kadang organ pelvis yang lain juga ikut turun.5
Pada studi Women’s Health Initiative (Amerika), 41 % wanita usia 50-79
tahun mengalami Prolapsus Organ Panggul (POP), diantaranya 34% mengalami
cystocele, 19% mengalami rectocele dan 14% mengalami prolapsus uteri.5
Prolapsus terjadi di Amerika sebanyak 52% setelah wanita melahirkan anak
pertama, sedangkan di Indonesia prolapsus terjadi sebanyak 3,4-56,4% pada
wanita yang telah melahirkan. Data Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
menunjukkan setiap tahun ada 47-67 kasus prolapsus, dan sebanyak 260 kasus
pada tahun 2005-2010 yang mendapat tindakan operasi.5
Pada laporan ini akan membahas mengenai management anastesi regional
dengan subarachnoid blok pada pasien prolaps uteri dengan tindakan histerektomi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PROLAPS UTERI
1. Definisi
Prolapsus uteri adalah suatu kondisi jatuh atau tergelincirnya uterus
ke dalam atau keluar melalui vagina. Hal tersebut dikarenakan
dukungan yang tidak adekuat dari ligamentum kardinal dan uterosakral
serta struktur penyangga pelvis mengalami kerusakan dan kadang-
kadang organ pelvis yang lain juga ikut turun.5
2. Epidemiologi
Prolapsus organ panggul (POP) masih menjadi masalah kesehatan
pada wanita yang mengenai hingga 40% wanita usia di atas 50 tahun.3
Prolapsus uteri merupakan salah satu jenis prolapsus organ panggul
(genitalia) dan menjadi kasus nomor dua tersering setelah
cystouretrochele (bladder and urethral prolapse.5
Prolapsus organ panggul (POP) merupakan masalah yang sering
dialami dengan prevalensi 41-50% dari keseluruhan perempuan di atas
usia 40 tahun dan akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia
harapan hidup seorang 8 perempuan. Insidensi bedah untuk POP yaitu
15-49 kasus per 10.000 perempuan per tahun.5
3. Etiologi
Penyebab prolapsus organ panggul belum diketahui secara pasti,
namun secara hipotetik penyebab utamanya adalah persalinan
pervaginam dengan bayi aterm.9 Pada studi epidemiologi
menunjukkan bahwa faktor risiko utama penyebab prolapsus uteri
adalah persalinan pervaginam dan penuaan. Para peneliti Gambar 3.
Tingkatan pendukung organ panggul menyetujui bahwa etiologi
prolapsus organ panggul adalah multifaktorial dan berkembang secara
bertahap dalam rentang waktu tahun. Terdapat berbagai macam faktor

3
risiko yang mempengaruhi terjadinya prolapsus dan dikelompokkan
menjadi faktor obstetri dan faktor non-obstetri.5
Tabel 1. Faktor Resiko Prolapsus

1) Faktor obstetri
a) Proses persalinan dan paritas.
Prolapsus uteri terjadi paling sering pada wanita multipara sebagai
akibat progresif yang bertahap dari cedera melahirkan pada fascia
endopelvik (dan kondensasi, ligamentum uteroskral dan kardinal)
dan laserasi otot, terutama otot-otot levator dan perineal body
(perineum). 28 Persalinan pervaginam merupakan faktor risiko
utama terjadinya prolapsus organ genital.
b) Faktor obstetri lainnya.
Penggunaan forsep, vakum, dan episiotomi, disebutkan
sebagai faktor risiko potensial dalam terjadinya prolaps organ
panggul. Penggunaan forsep secara langsung terlibat dalam
terjadinya cedera dasar panggul, yaitu dalam kaitannya dengan
terjadinya laserasi sfingter anal. Manfaat forsep terhadap dasar
panggul dalam memperpendek kala dua masih mempunyai
bukti yang kurang. Penggunaan forsep elektif untuk mencegah
kerusakan pada dasar panggul tidak direkomendasikan.
Perlukaan diafragma urogenitalis dan muskulus levator ani
yang terjadi pada waktu persalinan pervaginam atau persalinan
4
dengan alat dapat melemahkan dasar panggul sehingga mudah
terjadi prolapsus genitalia.5
2) Faktor non-obstetri
a) Genetik
Dua persen prolapsus simptomatik terjadi pada perempuan
nulipara. Perempuan nulipara dapat menderita prolapsus dan
diduga merupakan peran dari faktor genetik. Bila seorang
perempuan dengan ibu atau saudaranya menderita prolapsus,
maka risiko relatif untuk menderita prolapsus adalah 3,2%.
Dibandingkan jika ibu atau saudara perempuan tidak memiliki
riwayat prolapsus, risiko relatifnya adalah 2,4%.5
b) Usia
Bertambahnya usia akan menyebabkan berkurangnya kolagen
dan terjadi kelemahan fascia dan jaringan penyangga. Hal ini
terjadi terutama pada periode post-menopause sebagai
konsekuensi akibat berkurangnya hormon estrogen.5
c) Ras
Perbedaan ras pada prevalensi prolapsus organ panggul (POP)
telah dibuktikan dalam beberapa penelitian. Perempuan
berkulit hitam dan perempuan Asia memiliki risiko yang lebih
rendah, sedangkan perempuan Hispanik dan berkulit putih
memiliki risiko tertinggi. Perbedaan kandungan kolagen antar
ras telah dibuktikan, tetapi perbedaan bentuk tulang panggul
juga diduga memainkan peran. Misalnya, perempuan kulit
hitam lebih banyak yang memiliki arkus pubis (lengkungan
kemaluan) yang sempit dan bentuk panggul android atau
antropoid. Bentuk-bentuk panggul tersebut adalah pelindung
terhadap POP dibandingkan dengan panggul ginekoid yang
merupakan bentuk panggul terbanyak pada perempuan berkulit
putih.5
d) Menopause
5
Pada usia 40 tahun fungsi ovarium mulai menurun,
produksi hormon berkurang dan berangsur hilang, yang
berakibat perubahan fisiologik. Menopause terjadi rata-rata
pada usia 50-52 tahun. Hubungan dengan terjadinya prolaps
organ panggul adalah, di kulit terdapat banyak reseptor
estrogen yang dipengaruhi oleh kadar estrogen dan androgen.
Estrogen mempengaruhi kulit dengan meningkatkan sintesis
hidroksiprolin dan prolin sebagai penyusun jaringan kolagen.
Ketika menopause, terjadi penurunan kadar estrogen sehingga
mempengaruhi jaringan kolagen, berkurangnya jaringan
kolagen menyebabkan kelemahan pada otot-otot dasar
panggul.Saraf pada serviks merupakan saraf otonom, sebagian
besar serabut saraf cholinesterase yang terdiri dari serabut saraf
adrenergik dan kolinergik, jumlah serabut kolinergik lebih
sedikit. Sebagian besar serabut ini menghilang setelah
menopause.5
e) Peningkatan BMI (obesitas)
Obesitas menyebabkan memberikan beban tambahan pada
otot-otot pendukung panggul, sehingga terjadi kelemahan otot-
otot dasar panggul.25 Pada studi Women’s Health Initiative
(WHI), kelebihan berat badan (BMI 25 – 30 kg/m2 ) dikaitkan
dengan peningkatan kejadian prolapsus dari 31- 39%, dan
obesitas (BMI > 30 kg/m2 ) meningkat 40-75%.5
f) Peningkatan tekanan intra abdomen
Tekanan intra abdomen yang meningkat karena batuk-batuk
kronis (bronkitis kronis dan asma), asites, mengangkat beban
berat berulang-ulang, dan konstipasi diduga menjadi faktor
risiko terjadinya prolapsus. Seperti halnya obesitas
(peningkatan indeks massa tubuh) batuk yang berlebihan dapat
meningkatkan tekanan intraabdomen (rongga perut) dan secara
progresif dapat menyebabkan kelemahan otot-otot panggul.5
6
g) Kelainan jaringan ikat
Wanita dengan kelainan jaringan ikat lebih untuk mungkin
untuk mengalami prolapsus. Pada studi histologi menunjukkan
bahwa pada wanita dengan prolapsus, terjadi penurunan rasio
kolagen tipe I terhadap kolagen tipe III dan IV. Pada beberapa
penelitian, sepertiga dari perempuan dengan Sindroma Marfan
dan tigaperempat perempuan dengan Sindroma Ehler- 18
Danlos tercatat mengalami POP. Kelemahan bawaan
(kongenital) pada fasia penyangga pelvis mungkin penyebab
prolapsus uteri seperti yang kadang-kadang ditunjukkan pada
nulipara.5
h) Merokok
Merokok juga dikaitkan dalam pengembangan prolapsus.
Senyawa kimia yang dihirup dalam tembakau dipercaya dapat
menyebabkan perubahan jaringan yang diduga berperan dalam
terjadi prolapsus. Namun, beberapa penelitian tidak
menunjukkan hubungan antara merokok dengan terjadinya
prolapsus.5
4. Patofisiologi
Penyangga organ panggul merupakan interaksi yang kompleks
antara otototot dasar panggul, jaringan ikat dasar panggul, dan dinding
vagina. Interaksi tersebut memberikan dukungan dan mempertahankan
fungsi fisiologis organorgan panggul. Apabila otot levator ani
memiliki kekuatan normal dan vagina memiliki kedalaman yang
adekuat, bagian atas vagina terletak dalam posisi yang hampir
horisontal ketika perempuan dalam posisi berdiri.5
Posisi tersebut membentuk sebuah “flap-valve” (tutup katup) yang
merupakan efek dari bagian atas vagina yang menekan levator plate
selama terjadi peningkatan tekanan intra abdomen. Teori tersebut
mengatakan bahwa ketika otot levator ani kehilangan kekuatan, vagina
jatuh dari posisi horisontal menjadi semi vertikal sehingga
7
menyebabkan melebar atau terbukanya hiatus genital dan 19 menjadi
predisposisi prolapsus organ panggul. Dukungan yang tidak adekuat
dari otot levator ani dan fascia organ panggul yang mengalami
peregangan menyebabkan terjadi kegagalan dalam menyangga organ
panggul.5
Mekanisme terjadinya prolapsus uteri disebabkan oleh kerusakan
pada struktur penyangga uterus dan vagina, termasuk ligamentum
uterosakral, komplek ligamentum kardinal dan jaringan ikat membran
urogenital. Faktor obstetri, dan non-obstetri yang telah disebutkan di
awal diduga terlibat dalam terjadinya kerusakan struktur penyangga
tersebut sehingga terjadi kegagalan dalam menyangga uterus dan
organ-organ panggul lainnya. Meskipun beberapa mekanisme telah
dihipotesiskan sebagai kontributor dalam perkembangan prolapsus,
namun tidak sepenuhnya menjelaskan bagaimana proses itu terjadi.5

Gambar 1. Patofisiologi Prolaps Uteri

5. Klasifikasi
Klasifikasi Terdapat beberapa cara dalam mengklasifikasikan
prolapsus organ panggul. Tahun 1996, International Continence

8
Society, the American Urogynecologic Society, and the Society of
Gynecologic Surgeons memperkenalkan sistem POP-Q (Pelvic Organ
Prolapse Quantification). Metode penilaian prolapsus organ pelvis ini
memberikan penilaian yang objektif, deskriptif sehingga dapat
memberikan nilai kuantifikasi atau derajat ringan beratnya prolapsus
yang terjadi.5
Staging prolapsus organ pelvis berdasarkan sistem POP-Q adalah
sebagai berikut :

6. Penatalaksanaan
a) Observasi

9
Derajat luasnya prolapsus tidak berhubungan dengan gejala.
Apabila telah menderita prolapsus, mempertahankan tetap dalam
stadium I merupakan pilihan yang tepat. Observasi
direkomendasikan pada wanita dengan prolapsus derajat rendah
(derajat 1 dan derajat 2, khususnya untuk penurunan yang masih di
atas himen). Memeriksakan diri secara berkala perlu dilakukan
untuk mencari Gambar 6. Derajat prolapsus uteri perkembangan
gejala baru atau gangguan, seperti gangguan dalam berkemih atau
buang air besar, dan erosi vagina.5
b) Konservatif
Pilihan penatalaksaan non-bedah perlu didiskusikan dengan semua
wanita yang mengalami prolapsus. Terapi konservatif yang dapat
dilakukan, diantaranya:
1) Latihan otot dasar panggul
Latihan otot dasar panggul (senam Kegel) sangat berguna pada
prolapsus ringan, terutama yang terjadi pada pasca persalinan
yang belum lebih dari enam bulan. Tujuannya untuk
menguatkan otot-otot dasar panggul dan otototot yang
mempengaruhi miksi. Namun pada penelitian yang dilakukan
oleh Cochrane review of conservative management prolapsus
uteri menyimpulkan bahwa latihan otot dasar panggul tidak ada
bukti ilmiah yang mendukung. Cara melakukan latihan yaitu,
penderita disuruh menguncupkan anus dan jaringan dasar
panggul seperti setelah selesai buang air besar atau penderita
disuruh membayangkan seolah-olah sedang mengeluarkan
buang air kecil dan tiba-tiba menghentikannya.5
2) Pemasangan pesarium
Pesarium dapat dipasang pada hampir seluruh wanita dengan
prolapsus tanpa melihat stadium ataupun lokasi dari prolapsus.
Pesarium digunakan oleh 75%- 77% ahli ginekologi sebagai
penatalaksanaan lini pertama prolapsus. Alat ini tersedia dalam
10
berbagai bentuk dan ukuran, serta mempunyai indikasi
tertentu.5
c) Operatif
Operasi pada prolapsus uteri tergantung dari beberapa faktor,
seperti umur penderita, masih berkeinginan untuk mendapatkan
anak atau mempertahankan uterus, tingkat prolapsus, dan
adanya keluhan. Prolapsus uteri biasanya disertai dengan
prolapsus vagina. Maka, jika dilakukan pembedahan untuk
prolapsus uteri, prolapsus vagina juga perlu ditangani. Terdapat
kemungkinan prolapsus vagina yang membutuhkan
pembedahan, tetapi tidak ada prolapsus uteri atau prolapsus
uteri yang ada belum perlu dioperasi. Macam-macam operasi
untuk prolapsus uteri sebagai berikut:
1) Ventrofikasi
Dilakukan pada wanita yang masih tergolong muda dan
masih menginginkan anak. Cara melakukannya adalah
dengan memendekkan ligamentum rotundum atau mengikat
ligamentum rotundum ke dinding perut atau dengan cara
operasi Purandare (membuat uterus ventrofiksasi).5
2) Operasi Manchester
Operasi ini disarankan untuk penderita prolapsus yang
masih muda, tetapi biasanya dilakukan amputasi serviks
uteri, dan penjahitan ligamentum kardinale yang telah
dipotong, di depan serviks dilakukan pula kolporafi anterior
dan kolpoperineoplastik. Amputasi serviks dilakukan untuk
memperpendek serviks yang memanjang (elongasio koli).
Tindakan ini dapat menyebabkan infertilitas, partus
prematurus, abortus. Bagian yang penting dari operasi
Manchester ialah penjahitan ligamentum kardinale di depan
serviks karena dengan tindakan ini ligamentum kardinale

11
diperpendek, sehingga uterus akan terletak dalam posisi
anteversifleksi, dan turunnya uterus dapat dicegah.5
3) Histerektomi
Vagina Operasi ini tepat dilakukan pada prolapsus uteri
tingkat lanjut (derajat III dan IV) dengan gejala pada
saluran pencernaan dan pada wanita yang telah menopause.
Setelah uterus diangkat, puncak vagina digantungkan pada
ligamentum rotundum kanan dan kiri atas pada ligamentum
infundibulo pelvikum, kemudian operasi akan dilanjutkan
dengan kolporafi anterior dan kolpoperineorafi untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala saluran pencernaan
seperti, sembelit, inkontinensia flatus, urgensi tinja,
kesulitan dalam mengosongkan rektum atau gejala yang
berhubungan dengan gangguan buang air besar dan untuk
mencegah prolaps vagina di kemudian hari. Histerektomi
vagina lebih disukai oleh wanita menopause yang aktif
secara seksual. Di Netherlands, histerektomi vaginal saat
ini merupakan metode pengobatan terkemuka untuk pasien
prolapsus uteri simtomatik.5
4) Kolpokleisis (kolpektomi)
Tindakan ini merupakan pilihan bagi wanita yang tidak
menginginkan fungsi vagina (aktivitas seksual dan
memiliki anak) dan memiliki risiko komplikasi tinggi.
Operasi ini dilakukan dengan menjahit dinding vagina
depan dengan dinding vagina belakang, sehingga lumen
vagina tertutup dan uterus terletak di atas vagina.5
Keuntungan utama dari prosedur ini adalah waktu
pembedahan singkat dan pemulihan cepat dengan tingkat
keberhasilan 90 - 95%.5

12
B. RESUSITASI CAIRAN
Air merupakan komponen utama dalam tubuh yakni sekitar 60% dari
berat badan pada laki-laki dewasa. Persentase tersebut bervariasi bergantung
beberapa faktor diantaranya:
 TBW pada orang dewasa berkisar antara 45-75% dari berat badan.
Kisaran ini tergantung pada tiap individu yang memiliki jumlah
jaringan adipose yang berbeda, yang mana jaringan ini hanya
mengandung sedikit air.
 TBW pada wanita lebih kecil dibanding dengan laki-laki dewasa pada
umur yang sama, karena struktur tubuh wanita dewasa yang umumnya
lebih banyak mengandung jaringan lemak.
 TBW pada neonatus lebih tinggi yaitu sekitar 70-80% berat badan
 Obesitas serta peningkatan usia akan menurunjkan jumlah kandungan
total air tubuh.4

Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu ;


a. Resusitasi cairan: Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan
tubuh, sehingga seringkali dapat menyebabkan syok. Terapi ini ditujukan
pula untuk ekspansi cepat dari cairan intravaskuler dan memperbaiki
perfusi jaringan.

13
b. Terapi rumatan: Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tub
uh dan nutrisi yang diperlukan oleh tubuh.6

Prinsip pemilihan cairan dimaksudkan untuk :


a. Mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melaui urine, IWL, dan
feses
b.Membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil
Pada penggantian cairan, maka jenis cairan yang digunakan didasarkan
pada :
a. Cairan pemeliharaan ( jumlah cairan yang dibutuhkan selama 24 jam )
b. Cairan defisit ( jumlah kekurangan cairan yang terjadi )
c. Cairan pengganti ( replacement )
- Sekuestrasi ( cairan third space )
- Pengganti darah yang hilang
- Pengganti cairan yang hilang melalui fistel, maag slang dan drainase6

a. Terapi awal cairan


Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis
cairan ini mengisi intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan
volume vaskular dengan cara menggantikan cairan berikutnya ke dalam ruang
interstitial dan intraselular. Larutan ringer laktat adalah cairan pilihan
pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua. Walupun NaCl fisiologis
merupakan pengganti yang baik namun cair ini memiliki potensi untuk
terjadinya asidosis hiperkloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila
fungsi ginjalnya kurang baik. Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan
14
tetesan cepat sebagai bolus. Dosis awal adalah 1 sampai 2 liter pada dewasa
dan 20 ml/kg pada anak. Respons penderita terhadap pemberian cairan ini
dipantau, dan keputusan pemeriksaan diagnostik atau terapi lebih lebih lanjut
akan tergantung pada respons ini.8
Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar
diramalkan pada evaluasi awal penderita. Perkiraan kehilangan cairan dan
darah, dapat dilihat cara menentukan jumlah cairan dan darah yang mungkin
diperlukan oleh penderita. Perhitungan kasar untuk jumlah total volume
kristaloid yang secara akut diperlukan adalah mengganti setiap mililiter darah
yang hilang dengan 3 ml cairan kristaloid, sehingga memungkinkan resusitasi
volume plasma yang hilang kedalam ruang interstitial dan intraselular. Ini
dikenal sebagai “hukum 3 untuk 1” (3 for 1 rule). Namun lebih penting untuk
menilai respons penderita kepada resusitasi cairan dan bukti perfusi dan
oksigenasi end-organ yang memadai, misalnya keluaran urin, tingkat
kesadaran dan perfusi perifer.7

A. infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak diperlukan.


B. Pada kasus B, jika hemoglobin kurang dari 8 gr/dL atau hematokrit
kurang dari 25%, transfusi sebaiknya diberikan. Tetapi seandainya
akan dilakukan pembedahan untuk menghentikan suatu perdarahan,

15
transfusi dapat ditunda sebentar sampai sumber perdarahan terkuasai
dulu.
C.Pada kasus C, transfusi harus segera diberikan. Ada tiga
kemungkinan penyebab yaitu perdarahan masih berlangsung terus
(continuing loss), syok terlalu berat, hipoksia jaringan terlalu lama
dan anemia terlalu berat, sehingga terjadi hipoksia jaringan.6

b. Perkiraan Jumlah Perdarahan

Lebih dahulu dihitung EBV (Estimated Blood Volume) penderita, 65 – 70


ml/kg berat badan. Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan baik.
Kehilangan 10% - 30% EBV memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat.
Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV masih dapat ditunjang untuk sementara
dengan cairan saja sampai darah transfusi tersedia. Total volume cairan yang
dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar antara 2 – 4 x volume
yang hilang.7
Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan kriteria Traumatic
Status dari Giesecke. Dalam waktu 30 sampai 60 menit susudah infusi, cairan
Ringer Laktat akan meresap keluar vaskular menuju interstitial. Demikian sampai
terjadi keseimbangan baru antara Volume Plasma/Intravascular Fluid (IVF) dan
Interstitial Fluid (ISF). Ekspansi ISF ini merupakan interstitial edema yang tidak
berbahaya. Bahaya edema paru dan edema otak dapat terjadi jika semula organ-
organ tersebut telah terkena trauma. 24 jam kemudian akan terjadi diuresis
spontan. Jika keadaan terpaksa, diuresis dapat dipercepat lebih awal dengan
furosemid setelah transfusi diberikan.7
Pada bayi dan anak yang dengan kadar hemoglobin normal, kehilangan
darah sebanyak 10-15% volume darah, karena tidak memberatkan kompensasi
badan, maka cukup diberi cairan kristaloid atau koloid, sedangkan diatas 15%
perlu transfusi darah karena ada gangguan pengangkutan oksigen. Sedangkan
untuk orang dewasa dengan kadar hemoglobin normal angka patokannya ialah
20%. Kehilangan darah sampai 20% ada gangguan faktor pembekuan. Cairan

16
kristaloid untuk mengisi ruang intravaskular diberikan sebanyak 3 kali lipat
jumlah darah yang hilang, sedangkan koloid diberikan dengan jumlah sama.8,9
Transfusi darah umumnya 50% diberikan pada saat perioperatif dengan
tujuan untuk menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume
intravaskular. Kalau hanya menaikkan volume intravaskular saja cukup dengan
koloid atau kristaloid.8

C. Jenis Cairan Intravena


a) Transfusi darah
Ini adalah pilihan pokok apabila terdapat donor yang cocok.
Hemodilusi dengan cairan tidak bertujuan meniadakan transfusi, tetapi
mempertahankan hemodinamik dan perfusi yang baik sementara darah
donor tetap perlu ditransfusikan dalam memberikan koreksi defisit cairan
ekstraselular (ECF). Bila darah golongan yang sesuai tidak tersedia, dapat
digunakan universal donor yaitu golongan O dengan titer anti A rendah
(Rh negatif) atau Packed Red Cell-O. Sebaiknya darah universal ini selalu
tersedia di UGD.8
b) Plasma Expander
Cairan koloid ini mempunyai nilai onkotik yang tinggi (dextran,
gelatin, hydroxy-ethyl starch) sehingga mempunyai volume effect lebih
baik dan tinggal lebih lama di intravaskular. Namun, sayangnya defisit
ECF tidak dapat dikoreksi oleh plasma expander. Selain itu, dari segi
harga, plasma expander jauh lebih mahal daripada Ringer Laktat (kira-kira
10x lipat lebih mahal). Reaksi anaphylactoid dapat terjadi, baik karena
dextran maupun gelatin (0,03 - 0,08% pemberian). Reaksi ini dapat terjadi
disertai dengan syok, yang memerlukan adrenalin untuk mengatasinya.
Apabila tidak segera ditangani dengan baik dan tepat, reaksi ini dapat
berakhir fatal. Dextran juga menyebabkan gangguan pada crossmatch
darah dan pada dosis lebih dari 10 - 15 ml/kgBB akan menyebabkan
gangguan pembekuan darah.7

17
c. Albumin
Albumin 5% ataupun Plasma Protein Fraction adalah alternatif
yang baik dari segi volume effect. Tetapi harganya sangat mahal, sekitar
70x lipat dari harga Ringer Laktat untuk mendapatkan volume effect yang
sama.7

d. Ringer Laktat atau NaCl 0,9%


Cairan ini paling mirip komposisinya dengan cairan ECF.
Meskipun pemberian infus IVF diikuti perembesan, namun akhirnya
tercapai keseimbangan juga setelah cairan interstitial/ISF jenuh. Cairan
lain seperti Dextrose dan NaCl 0,45% tidak dapat digunakan.7
Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau
dextrosa, tidak mengandung molekul besar. Kristaloid dalam waktu
singkat sebagian besar akan keluar dari intravaskular, sehingga volume
yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume darah yang
hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskular 20-30 menit.
Ekspansi cairan dari ruang intravaskular ke interstisial berlangsung selama
30-60 menit sesudah infus dan akan keluar dalam 24 - 48 jam sebagai urin.
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok
hipovolemik dengan hiponatremia, hipokhloremia atau alkalosis
metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan
cairan ekstraselular. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah
besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis
metabolik, kombustio dan sindroma syok.7
Kristaloid Koloid
Keunggulan 1. Lebih mudah tersedia 1. Ekspansi volume
dan murah plasma tanpa ekspansi
2. Komposisi serupa interstitial
dengan plasma (Ringer 2. Ekspansi volume lebih
asetat/ringer laktat) besar
3. Bisa disimpan di suhu 3. Durasi lebih lama
kamar 4. Oksigenasi jaringan
4. Bebas dari reaksi lebih baik

18
anafilaktik 5. Insiden edema paru
5. Komplikasi minimal dan/atau edema sistemik
lebih rendah
Kekurangan 1. Edema bisa mengurangi 1. Anafilaksis
ekspansibilitas dinding 2. Koagulopati
dada 3.Albumin bisa
2.Oksigenasi jaringan memperberat depresi
terganggu karena miokard pada pasien syok
bertambahnya jarak
kapiler dan sel
3. Memerlukan volume 2-
4 kali lebih banyak

d) Evaluasi Resusitasi Cairan dan Perfusi Organ


Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk
perfusi ginjal. Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran
darah ginjal yang cukup, bila tidak dimodifikasi oleh pemberian obat diuretik.
Sebab itu, keluaran urin merupakan salah satu dari pemantauan utama
resusitasi dan respons penderita.8
Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau
aliran darah ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya
menghasilkan keluaran urin sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1
ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam untuk bayi (di bawah umur
1 tahun). Bila kurang, atau makin turunnya produksi urin dengan berat jenis
yang naik, maka ini menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini
menuntut ditambahnya penggantian volume dan usaha diagnostik.

C. PEMBERIAN OKSIGEN
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan
yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot.
Rangka toraks berfungsi sebagai pompa. Selama inspirasi, volume toraks
bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi
beberapa otot. Otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum keatas dan
otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.6
19
Toraks membesar ke tiga arah: anteroposterior, lateral, dan vertical.
Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan intrapleura, dari
sekitar 4 mmHg (relative terhadap terkanan atmosfer) menjadi sekitar 8
mmHg bila paru mengembang pada waktu inspirasi. Pada saat yang sama
tekanan intrapulmonal atau tekanan jalan nafas menurun sampai sekitar 2
mmHg dari 0 mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara
jalan nafas dan atmosfer menyebabkan udara mengalir ke dalam paru sampai
tekanan jalan nafas pada akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.3,5
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru. Pada waktu otot interkostalis internus
relaksasi, rangka iga turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Otot interkostalis
internus dapat menekan iga ke bawah dan ke dalam pada waktu ekspirasi
kuat dan aktif, batuk, muntah, atau defekasi. Selain itu, otot-otot abdomen
dapat berkontraksi sehingga tekanan intraabdomen membesar dan menekan
diafragma ke atas.3,4
Peningkatan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura
maupun tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang meningkat
dan mencapai 1 sampai 2 mmHg di atas tekanan atmosfer. Selisih tekanan
antara jalan nafas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir
keluar dari paru sampai tekanan jalan nafas dan atmosfer menjadi sama
kembali pada akhir ekspirasi. Tekanan intrapleura selalu berada dibawah
tekanan atmosfer selama siklus pernafasan.6
Definisi-definisi berikut ini akan berguna dalam pembahasan
ventilasi yang efektif :4
 Volume semenit atau ventilasi semenit (VE) adalah volume udara yang
terkumpul selama ekspirasi dalam periode satu menit. VE dapat dihitung
dengan mengalikan nilai VT dengan kecepatan pernafasan. Dalam
keadaan istirahat, VE orang dewasa sekitar 6 atau 7 liter/ menit.

20
 Frekuensi pernafasan (f) atau ‘kecepatan; adalah jumlah nafas yang
dilakukan per menit. Pada keadaan istirahat, pernafasan orang dewasa
sekitar 10-20 kali per menit.
 Volume tidal (VT) adalah banyaknya udara yang diinspirasi atau
diekspirasi pada setiap pernafasan. VT sekitar 8-12 cc/kgBB dan jauh
meningkat pada waktu melakukan kegiatan fisik yaitu bila bernafas
dalam.
 Ruang mati fisiologis (VD) adalah volume udara inspirasi yang tidak
tertukar dengan udara paru; udara ini dapat dianggap sebagai ventilasi
yang terbuang sia-sia. Ruang mati fisiologis terdiri dari ruang mati
anatomis (volume udara dalam saluran nafas penghantar, yaitu sekitar 1
ml per pon berat badan), ruang mati alveolar (alveolus mengalami
ventilasi tapi tidak mengalami perfusi), dan ventilasi melampaui perfusi.
Perbandingan antara VD dengan VT (VD / VT) menggambarkan bagian
dati VT yang tidak mengadakan pertukaran dengan darah paru. Nilai
rasio tersebut tidak melebihi 30% sampai 40% pada orang yang sehat.
Perbandingan ini seringkali digunakan untuk mengikuti keadaan pasien
yang mendapatkan ventilasi mekanik.
 Ventilasi alveolar (VA) adalah volume udara segar yang masuk ke dalam
alveolus setiap menit, yang mengadakan pertukaran dengan darah paru.
Ini merupakan ventilasi efektif. Ventilasi alveolar dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
VA= (VT-VD) x f, atau VA= VE-VD.
VA merupakan petunjuk yang lebih baik tentang ventilasi dibandingkan
VE atau VTkarena pada pengukuran ini diperhitungkan volume udara
yang terbuang dalam ventilasi VD.
 Komplians (C=daya kembang) adalah ukuran sifat elastik
(distensibilitas) yang dimilii oleh paru dan toraks. Didefinisikan sebagai
perubahan volume per unit perubahan dalam tekanan dalam keadaan
statis. Komplians total (daya kembang paru dan toraks) atau komplians
paru saja dapat ditentukan. Komplians paru normal dan komplians
21
rangka toraks per VT masing-masing sekitar 0,2 liter/ cm H2O sedangkan
komplians total besarnya sekitar 0,1 liter/ cm H2O.
Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen sebagai suatu
intervensi medis, dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibanding yang
terdapat dalam udara untuk terapi dan pencegahan terhadap gejala dan
menifestasi dari hipoksia. Oksigen sangat penting untuk metabolisme
sel, dan lebih dari itu, oksigenasi jaringan sangat penting untuk semua
fungsi fisiologis normal.8
Oksigen dapat diberikan secara temporer selama tidur maupun
selama beraktivitas pada penderita dengan hipoksemia. Selanjutnya
pemberian oksigen dikembangkan terus ke arah ventilasi mekanik,
pemakaian oksigen di rumah. Untuk pemberian oksigen dengan aman dan
efektif perlu pemahaman mengenai mekanisme hipoksia, indikasi, efek
terapi, dan jenis pemberian oksigen serta evaluasi penggunaan oksigen
tersebut.8
Tujuan pemberian terapi oksigen, yaitu :
a) Meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke
jaringan untuk memfasilitasi metabolisme aerob.
b) Mempertahankan PaO2 > 60 mmhg atau SaO2 >90 % untuk
mencegah dan mengatasi hipoksemia / hipoksia serta
mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat. Menurunkan
kerja nafas dan miokard. Menilai fungsi pertukaran gas.
Indikasi Pemberian Terapi Oksigen
Oksigen dalam darah akan berikatan dengan hemoglobin dan akan
diedarkan ke seluruh tubuh. Apabila terjadi gangguan pada sistem
respirasi, maupun pada hemoglobin, mengakibatkan gangguan pada
jaringan.
Kekurangan oksigen ditandai dengan keadaan hipoksia yaitu
kondisi di mana berkurangnya suplai oksigen ke jaringan di bawah level
normal yang tentunya tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh. Hipoksia
merupakan salah satu masalah gawat darurat karena dapat merusak organ
22
vital. Selain itu dapat juga mengancam kehidupan. Salah satu cara
mencegah hipoksia dengan memberikan terapi oksigen. Klasifikasi
deksriptif macam-macam penyebab hipoksia, yaitu :
a) Oksigenasi darah di dalam paru yang tidak memadai karena keadaan
ekstrinsik
- Kekurangan oksigen dalam atmosfer.
- Hipoventilasi (gangguan neuromuskular).
b) Penyakit paru
- Hipoventilasi karena peningkatan tahanan saluran napas atau
penurunan komplians paru.
- Kelainan rasio ventilasi-perfusi alveolus (termasuk peningkatan ruang
rugi fisiologis atau pintasan fisiologis).
- Berkurangnya difusi membran pernapasan.
c) Pintasan vena ke arteri
d) Transpor oksigen yang tidak memadai oleh darah ke jaringan
- Anemia atau hemoglobin abnormal.
- Penurunan sirkulasi umum.
- Penurunan sirkulasi lokal (perifer, serebral, pembuluh darah koroner).
- Edema jaringan.
e) Kemampuan jaringan untuk menggunakan oksigen tidak memadai
- Keracunan enzim oksidasi selular.
- Penurunan kapasitas metabolik selular untuk meggunakan oksigen,
karena toksisitas, defisiensi vitamin atau faktor-faktor lain.9
Pengaruh hipoksia pada tubuh, bila cukup berat, dapat
menyebabkan kematian sel-sel seluruh tubuh, tetapi pada derajat yang
kurang berat terutama akan mengakibatkan penekanan aktivitas mental,
kadang-kadang memberat sampai koma, dan menurunkan kapasitas kerja
otot.9
Keadaan lain yang menandakan kekurangan oksigen dalam tubuh
yaitu sianosis. Sianosis berarti kebiruan pada kulit, penyebabnya adalah
hemoglobin yang tidak mengandung oksigen jumlahnya berlebihan dalam
23
pembuluh darah kulit, terutama dalam kapiler. Sianosis terjadi pada
apabila darah arteri mengandung > 5 gram hemoglobin yang tidak
mengandung oksigen dalam setiap 100 ml darah.
Suatu kondisi lain yang disebut dengan istilah dispnea, berarti
penderitaan mental yang diakibatkan oleh ketidakmampuan ventilasi untuk
memenuhi kebutuhan udara. Faktor yang menyertai keadaan ini adalah :
a) Kelainan gas-gas pernapasan dalam cairan tubuh, terutama hiperkapnia
dan hipoksia (dengan porsi yang jauh lebih sedikit)
b) Jumlah kerja yang harus dilakukan oleh otot-otot pernapsan untuk
menghasilkan ventilasi yang memadai
c) Orang tersebut dalam keadaan pikiran
Keadaan ini akan menjadi lebih berat karena pembentukan
karbondioksida yang berlebihan dalam cairan tubuh, akan tetapi dalam
suatu waktu kadar karbondioksida dan oksigen dalam cairan tubuh berada
dalam batas normal, namun dibutuhkan usaha bernapas yang kuat.
Keadaan inilah yang sering menimbulkan dispnea pada orang tersebut.
Ada juga suatu keadaan yang mana fungsi pernapasannya sudah kembali
normal, akan tetapi masih mengalami dispnea karena perasaannya yang
masih abnormal, disebut dispnea neurogenik atau dispnea emosional.
Faktor perkembangan yang terganggu juga merupakan suatu
indikasi yang memerlukan terapi oksigen. Misalnya pada bayi premature
berisiko terkena penyakit membrane hialin karena belum matur dalam
menghasilkan surfaktan. Bayi dan toddler berisiko mengalami infeksi
saluran pernafasan akut. Pada dewasa, mudah terpapar faktor risiko
kardiopulmoner. Sistem pernafasan dan jantung mengalami perubahan
fungsi pada usia tua / lansia.
Alat Pemberian Oksigen
Sistem Kecepatan
FiO2 (%
pemberian aliran Keuntungan Kerugian Lain-lain
oksigen)
oksigen L/menit

24
- Alat
- Iritasi lokal dan
dibersihk
kekeringan mukosa (bila
an setiap
kecepatan
25 - Simpel, hari.
aliran>4L/menit) pada
29 nyaman, murah, Evaluasi
1 aliran tinggi, pasien
33 pasien dapat luak
2 tidak nyaman dan harus
37 makan dan akibat
3 digunakan bersama
1. Nasal 41 minum tekanan
4 sistem
Kanula 45 di telinga
5 humidifikasi/pelembaban
- Tidak ada dan pipi.
6 .
resiko - Aliran
- Tidak efektif untuk
menghirup >6 liter
oksigen konsentrasi tiggi.
CO2 kembali tidak
- Oksigen yang
akan
diberikan tidak
menamba
konsisten.
h FiO2
- Aliran
<5L/meni
- Peningkatan t
aliran ke menyebab
- Harus ditutup ke
10L/menit bisa kan
wajah dengan kuat dan
2. Sungku meningkatkan peningkat
>5 ketat : panas dan terasa
p muka 35-50 konsentrasi an
(5-15) mengikat
sederhana oksigen 50% resistensi
- Tidak praktis untuk
- lebih murah terhadap
jangka waktu lama
dibanding pernapas
masker lain an.
-
Kemung

25
kinan
CO2terku
mpul
dalam
masker
dan
pernapas
an ulang
bisa
terjadi.
Aliran
oksigen
harus
terus
- FiO2 yang
3. sungku 6-10 diberikan
lebih tinggi pada
p muka L/menit untuk
aliran yang lebih
dengan (sistem ini memastik
rendah Resiko atelektasis dan
kantong re dapat an
5-15 - Katup toksisitas oksigen
breathing menyedia kantung
memberikan (pemakaian yang lama)
kan fraksi senantias
ruang untuk
oksigen a terisi
CO2 keluar dari
40-70%) sepertiga
masker
atau
separuh
pada saat
inspirasi.
10 60-80 - Diutamakan Kantong
4. Non- Lebih mahal dibanding
(tergantu untuk pasien harus
rebreathing nasal kanul dan simple
ng aliran rawat inap diisi
mask mask
oksigen - Konsentrasi sebelum

26
dan tipe oksigen tinggi dipasang
pernapas tanpa ke pasien
an) dibutuhkan
10-12 intubasi
95 - Pasien
menghirup
udara yang kaya
oksigen dari
kantung dan
bukan dari
udara yang
tersisa.
Konsentrasi - Resiko atelektasis dan toksisitas
5. Sungku
4 24-28 oksigen akhir oksigen (pemakaian lama)
p muka
6 31 dapat dimonitor - Harus dipasang dengan ketat
venturi
8 35-40 dengan lebih - Tidak dapat mengalirkan oksigen
10 50 ketat dan lebih konsentrasi tinggi dengan fleksibel
tepat
- Meningkatkan O2
- Perlu kecepatan aliran tinggi untuk mencapai
6. Head
konsentrasi O2 yang adekuat dan mencegah
box 5
penumpukan CO2
6 >7
- Aliran gas 2-3L/menit diperlukan untuk
7
mencegah rebreathing CO2

7. Continu
2-10 dengan
e Positive - Pemberian O2 dengan sistem tertutup memberikan tekanan positif
konsentrasi
airway pada inspirasi dan ekspirasi
21-100%
pressure(C

27
PAP)

D. Anastesi Spinal
1) Definisi
Anestesi spinal adalah pemberian obat ke dalam ruang subarachnoid.
Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam
ruang subarachnoid. Anestesi spinal (anestesi subaraknoid) disebut juga
sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.1,3
2) Indikasi
Untuk pembedahan, daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah
(daerah papila mamae kebawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu
lama, maksimal 2-3 jam. 1,3
a. Bedah ekstremitas bawah
b. Bedah panggul
c. Tindakan sekitar rektum perineum
d. Bedah obstetrik-ginekologi
e. Bedah urologi
f. Bedah abdomen bawah
g. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan
dengan anestesi umum ringan
3) Kontra indikasi
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi
dua yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.
a. Kontra indikasi absolut : 1,3
 Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan
bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.

28
 Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun
diare. : Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya
hipovolemia.
 Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
 Tekanan intrakranial meningkat : dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan
intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis
 Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal
bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain,
maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya
 Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini
dapat menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla
spinalis, keterampilan dokter anestesi sangat penting.
 Pasien menolak.

b. Kontra indikasi relatif : 1,5


 Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan
apakah diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan
kemungkinan penyebaran infeksi.
 Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat
suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
 Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya
agar tidak membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis
yang sudah ada pada pasien sebelumnya.
 Kelainan psikis
 Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-
120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa
bertahan hingga 150 menit.
 Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea
rah jantung akibat efek obat anestesi local.

29
 Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau
terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan
atau cairan
 Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat
diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila
dilakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman1.3
4) Struktur Anatomi Vertebra
Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah
tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal,
torakal dan lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang
sakral dan koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang
sakum dan koksigeus.1,3
Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga
berat kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3)
memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk
perlekatan otot-otot, (5) memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh 1,3
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar
sampai mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil
sampai apex dari tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang
harus ditanggung semakin membesar dari cranial hingga caudalsampai kemudian
beban tersebut ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui articulatio
sacroilliaca. 1,3
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh
suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung,
kendati hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan
stabilitas kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang
berjalan di dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan
kekuatan masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot.1,2

30
Gambar 2. Kolumna Vertebralis 3

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi


subaraknoid adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis. Medulla
spinalis berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus
medularis (segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda
equina).Penting diperhatikan bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara
vertebra T12 hingga L1.4
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark
yang lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra,
diantaranya adalah :
a. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang
paling terlihat di daerah leher.
b. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra
torakal 3-4
c. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal
5-6
d. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
e. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra
lumbalis 4-51,3,4

31
Gambar 3. Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis5
Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi
spinal.3,5
a. Kutis
b. Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
c. Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung
procesus spinosus.
d. Ligamentum interspinosum
e. Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1
cm. Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal
dari lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa
sensasi mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat
melewati ligamentum dan masuk keruang epidural.
f. Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah
yang keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah
tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
g. Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus
duramater seperti saat menembus epidural.
h. Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Padaruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada
penusukan.9

32
Gambar 4. Lokasi Penusukan Jarum pada Anestesi Spinal3
5) Persiapan anestesi spinal
Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih
sederhana dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib
diperhatikan karena terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam
operasi dan operasi menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur secara
darurat dapat diubah menjadi anestesi umum.1
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah:3,5
a. Informed consent :Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini
(informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan
terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
b. Pemeriksaan fisik :Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau
kifosis,atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus spinosus
tidak teraba.
c. Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang
perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin(PT)
dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat
gangguan pembekuan darah. 1
Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan
obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
a. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
33
b. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
c. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu
runcing,quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil
point whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
d. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
e. Kapas/ kasa steril dan plester.
f. Obat-obatan anestetik lokal.
g. Spuit 3 ml dan 5 ml.
h. Infus set.

Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock), jarum


spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)1,3

Gambar 5. Jenis Jarum Spinal3

6) Teknik pelaksanaan Anestesi Spinal3,4,5


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Dengan persiapan tempat
lengkap dengan alat manajement jalan napas dan resusitasi tersedia. Biasanya
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan
sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. 3,4,5
34
1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika
visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda
kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak
perlu dipersiapkan untuk spinal anestesi. Setelah dimonitor, tidurkan
pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal kepala, selain
enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien
membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk. 3,4,5
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,
misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya
berisiko trauma terhadap medula spinalis. 3,4,5
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

Gambar 6. Posisi Duduk dan Lateral Decubitus3

4. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 5 cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak
sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
35
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau ke
bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau
yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar,
putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
secara kontinyu dapat dimasukan kateter.2
5. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit – ligamentum
flavum dewasa ± 6cm.2

Gambar 7. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal

7) Komplikasi tindakan anestesi spinal :


a. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah
dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml
sebelum tindakan.
36
b. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok
sampai T-2
c. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
d. Trauma saraf
e. Mual-muntah
f. Menggigil
g. Kejang
8) Farmakologi
Obat anestesia lokal yang disuntikkan ke dalam ruangan subarakhnoid
akan mengalami pengenceran oleh cairan serebrospinal, menyebar baik ke
kranial maupun ke kaudal dan kontak dengan radiks medula spinalis yang
belum mempunyai selubung myelin. Obat anestesia lokal tidak boleh
mengandung bahan (material) yang mempunyai efek iritasi pada radiks dan
medula spinalis. Obat yang dipakai untuk anestesia spinal adalah obat yang
khusus1,2,4
Penggunaan obat-obatan anestesia lokal yang umum dipakai dalam
anestesia spinal harus diikuti dengan pertimbangan-pertimbangan seperti
distribusi dari obat dalam cairan serebrospinalis (level dari anestesia),
ambilan obat oleh elemen-elemen saraf pada ruang subarakhnoid (tipe dari
saraf yang terblok), dan eliminasi obat dari ruangan subarakhnoid (duration
of action).6 Terdapat beberapa macam obat anestesia lokal yang sering
dipakai pada anestesia spinal seperti prokain, lidokain (Xylocaine), tetrakain
(Pantocaine), bupivakain (Marcaine atau Sensorcaine), dan dibukain
(Cinchorcaine). Prokain dan lidokain bersifat short-intermediate acting,
sedangkan tetrakain, bupivakain dan dibukain mempunyai sifat intermediate-
long duration. 1,2,4
a. Prokain.
Menghasilkan anestesia spinal dengan onset efek sekitar 3 sampai 5
menit dengan durasi antara 50-60 menit. Di Amerika Serikat, prokain
37
untuk anestesia spinal terdapat dalam sediaan ampul sebanyak 2 ml
larutan 10%. Jika dilarutkan dengan cairan serebrospinal dalam jumlah
yang sama menghasilkan larutan prokain 5% yang mempunyai berat
hampir sama dengan cairan serebrospinal dan jika dicampur dengan
glukosa 10% dalam jumlah yang sama akan menghasilkan larutan yang
lebih berat dari cairan serebrospinal. Larutan prokain 2,5% dalam air
lebih banyak digunakan sebagai diagnostik dibandingkan dengan
anestesia spinal untuk operasi. Dosis yang disarankan berkisar antara 50-
100 mg untuk operasi daerah perineum dan ekstremitas inferior dan 150-
200 mg untuk operasi abdomen bagian atas.2,3
b. Lidokain.
Juga mempunyai onset anestesia spinal dalam 3 sampai 5 menit dengan
durasi yang lebih lama dari prokain yaitu 60-90 menit. Lidokain yang
dipakai untuk anestesia spinal adalah larutan 5% dalam glukosa 7,5%.
Dosis yang biasa digunakan adalah 25-50 mg untuk operasi perineum
dan saddle block anesthesia dan 75-100 mg untuk operasi abdomen
bagian atas. 2,3
c. Tetrakain.
Obat ini mempunyai onset anestesia dalam 3 sampai 6 menit dengan
durasi yang lebih lama dibandingkan dengan prokain dan lidokain (210-
240 menit). Tetrakain tersedia dalam bentuk ampul berisi kristal 20 mg
dan dalam ampul sebesar 2 ml larutan 1% dalam air. Larutan 1%, jika
dicampur dengan glukosa 10% dalam jumlah yang sama (tetrakain 0,5%
dalam 5% glukosa) digunakan secara luas untuk anestesia spinal dimana
mempunyai berat yang lebih besar daripada cairan serebrospinal. Dosis
yang digunakan berkisar antara 5 mg untuk operasi daerah perineum dan
ekstremitas inferior dan 15 mg untuk operasi abdomen bagian atas. 2,3
d. Bupivakain.
Obat ini menghasilkan onset anestesia spinal dalam waktu 5 sampai 8
menit. Durasi anestesia yang dihasilkan sama dengan tetrakain. Di
Australia dan kebanyakan negara eropa, larutan 0,5% hipobarik atau
38
hiperbarik telah digunakan sebagai anestesia spinal. Dosis yang
direkomendasikan berkisar antara 8-10 mg untuk operasi perineum dan
ekstremitas inferior dan 15-20 mg untuk operasi abdomen bagian atas. 2,
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi
spinal terdapat pada table dibawah ini.

Tabel 2. Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal3

Anestetik lokal Berat jenis Sifat Dosis

Lidokain

2% plain 1.006 Isobarik 20-100 mg (2-5 ml)

5% dalam 1.033 Hiperbarik 20-50 mg (1-2 ml)


dekstrosa 7,5%

Bupivakain

0.5% dalam air 1.005 Isobarik 5-20 mg (1-4 ml)

0.5% dalam 1.027 Hiperbarik 5-15 mg (-3 ml)


dekstrosa 8.25%

Tabel 2. Anestetik lokal yang paling sering digunakan4

39
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. P
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur :68 tahun
Berat badan :50 kg
Alamat : Ds. Bukit Makmur, Kec. Balano Lambunu, Kab.
Parigi Mautong
Agama :Islam
Diagnosa Pra Anestesi : Prolaps Uteri Grade IV
Jenis Pembedahan : Histeroktomy dan Vaginoplasty
Tanggal Operasi :03 Juli 2018
Jenis Anestesi : Sub Arachnoid Blok

B. PERSIAPAN PRE OPERASI


Anamnesis
- Keluhan Utama : Penonjolan diarea genital
- Riwayat penyakit sekarang :
Pasien masuk dengan keluhan adanya benjolan yang keluar dari
jalan lahir sejak 3 minggu yang lalu. Pasien mengaku awalnya penonjolan
tersebut keluar dari jalan lahir saat pasien berjalan dan penonjolan tersebut
tidak dirasakan lagi pada saat pasien berbaring. Penonjolan tersebut
semakin memberat saat pasien jatuh di kamar mandi 1 hari SMRS. Pasien
mengalami nyeri pada perut saat buang air kecil dan besar. Riwayat keluar
darah dari jalan lahir sedikit-sedikit. Keluhan mual (-), muntah (-), demam
(-), batuk (-), sesak (-). Selain itu pasien juga mengeluh perut semakin
membesar yang sudah dirasakan sekitar 2 tahun terakhir dan memberat
sekitar 3 bulan terakhir. Perut terasa penuh (+),, nyeri perut disangkal
pasien.Buang air kecil lancar, Buang air besar lancar seperti biasa.
40
Riwayat penyakit sebelumnya:
 Alergi : tidak ada
 Asma : tidak ada
 Hipertensi : tidak ada
 DM : tidak ada
 Obat-obatan : tidak ada
 Penyakit Jantung : tidak ada
 Riwayat anestesi/operasi : tidak ada

C. PEMERIKSAAN FISIK
- Status generalisata
Kesadaran : compos mentis
Berat badan : 50 kg
Pernafasan : 20 x/menit
Nadi : 80/menit
Suhu : 36,50C
Tekanan darah : 110/80 mmHg
- Pemeriksaan preoperative

➢ Kulit
Pucat (-), turgor kulit kembali cepat (<2 detik).

➢ Kepala
Bentuk : Normocephal
Mata : Edema palpebral (-/-), Conjungtiva: anemis (-/-)
Sclera : Ikterik (-/-)
Telinga : Otorrhea (-/-)
Hidung : Rhinorrhea (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-)
Gusi : Perdarahan (-)
Tenggorokan : Tonsil T1/T1
Pharynx : Hiperemis (-)

41
Kelenjar : Pembesaran kelenjar getah bening (-);kelenjar tiroid (-)

➢ Thorax
Bentuk simetris, retraksi otot dinding dada (-)

➢ Paru-paru
- Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris,
retraksiintercostal (-)
- Palpasi : Vokal fremitus (+/+) normal, massa(-), nyeri tekan
(-)
- Perkusi : Sonor (+) diseluruh lapang paru
- Auskultasi : Bronchovesiculer (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing
(-/-)

➢ Jantung
- Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC V linea midclavicula
sinistra
- Perkusi : Batas atas jantung SIC II, batas kanan jantung SIC
Vlinea parasternal dextra, batas kiri jantung SIC V lineaaxilla
anterior
- Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, murmur (-) ,
gallop (-)

➢ Abdomen
- Inspeksi : Permukaan kesan cembung
- Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
- Perkusi : Tampak pekak di regio umbilikus(+)
- Palpasi : Tampak massa (+), Mobile (+), Konsistensi padat,
permukaan masaa tidak berbenjol- benjol, Nyeri tekan (-).

➢ Genitalia : Tampak vagina yang hiperemis dan edem, terdapat


penonjolan yang keluar dari vagina sebesar bola takraw dengan
ukuran 20x16 cm, berwarna merah, permukaan licin dan berbenjol-

42
benjol, berbatas tegas, konsistensi padat kenyal, dan tidak terdapat
perdarahan aktif pada penonjolan.

➢ Anggota gerak
- Atas : Akral hangat(+/+), edema (-/-)
- Bawah : Akral hangat(+/+), edema(+/+),Look :

▪ Feel : sensai dalam bata normal, terdapat nyeri tekan,


tidak ada krepitasi dan kehangatan dalam batas normal.

▪ Move : pergerakan terbatas.

➢ Punggung : Tidak ada deformitas

➢ Otot-otot : Eutrofi, tonus otot baik

➢ Refleks : Fisiologis (+/+), Patologis (-/-)


D. Pemeriksaan penunjang

Parameter Hasil Satuan Range Normal

RBC 4,62 106/mm3 3,80-5,20


Hemoglobin (Hb) 12,4 g/dL 11,7-15,5
Hematokrit 38,2 % 37,0-47,0
PLT 454 103/mm3 150-500
WBC 10,7 103/mm3 4,0-10,0
CT 8' Menit 4-10
BT 3' Menit 1-5
GDS 110 mg/dl <200

HbsAg Non Reaktif Non Reaktif

Creatinin 0,78 mg/dl 0,70-1,30

Urea 26 mg/dl 18,0-55,0

E. Diagnosis Kerja
Prolaps Uteri Grade IV

43
F. Penatalaksanaan IGD
Saat masuk UGD
IVFD RL 28 tpm
Inj. Ceftriaxone 1gr
Inj. Ketorlac 30 mg
Rencana Tindakan Histerektomy
G. Kesan Anestesi
PS. ASA II : Pasien penyakit bedah tidak disertai dengan penyakit
sistemik ringan sampai sedang dengan status emergensi.
H. PERSIAPAN PRE OPERATIF
` Di Ruangan
a. Surat persetujuan operasi dan Surat persetujuan tindakan anestesi.
b. Puasa 6 jam pre operasi
c. Pasang infus RL pada saat puasa dengan kecepatan 28 tpm
d. Persiapan Whole Blood Cell (WBC) 2 bag Gol.O
e. IVFD 1 line tangan kiri dengan cairan RL 28 tpm
Di Kamar Operasi
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Obat-obat anestesia yang diperlukan.
d. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin,
natriumbikarbonat dan lain-lainnya.
e. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
f. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
g. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi,
misalnya; “Pulse Oxymeter”
h. Kartu catatan medic anestesia.
Laporan Anestesi Durante Operatif
 Jenis anestesi : Sub Arachnoid Blok
 Lama anestesi : 12.05 - 15.00 (3 jam 32 menit)
44
 Lama operasi : 12.10 – 15.00(3 jam 30 menit)
 Anestesiologi : dr. Ajutor Donny, Sp. An
 Ahli Bedah : dr. Abdul Faris, Sp. OG
 Posisi : Supine
 Infus : 2 line di tangan kiri dan tangan kanan
 Alat bantu pernapasan : Non-rebreathing mask

Laporan Monitoring Anestesi

Frekuensi Saturasi
Tekanan Darah
Jam Denyut Nadi Oksigen Keterangan
(mmHg)
(x/menit) (%)

Pasien menggunakan nasal canul dengan


80 kecepatan 2,5 liter per menit, karena
11.45 150/90 90
saturasi oksigen tetap menurun kemudian
dinaikkan menjadi 4 liter per menit

Karena saturasi oksigen tetap menurun,


79 kemuadian alat bantu pernapasan diganti
11.50 170/80 90
menggunakan Non-rebreathing mask
dengan kecepatan 12 liter per menit

11.55 170/90 80 100 Perlahan saturasi oksigen kemudian naik

100 Ondancentron 4 mg
12.00 140/80 78
Ranitidin 50 nmg

100 Bupivacaine 20 mg
12.05 110/80 70

100 Karena tekanan turun sehingga diberikan


12.10 70/50 65 Ephedrine 20 mg

100 Dexamethasone 10 mg
12.15 170/80 90

100 Diberikan Gelofusin 500 cc


12.20 150/70 90

100 Setelah dinsisi untuk Histerektomy,


155/78 kemuadian operator ingin lagi melakukan
12.25 90
Vaginoplasty

12.30 140/70 100 Diberikan Cairan RL 500 cc guyur


85

45
12.35 100
120/60 85

12.40 100
110/78 80

12.45 100
120/70 86

12.50 100
150/80 90

12.55 100 Diberikan cairan RL 500 cc guyur


140/70 82

13.00 100
130/70 98

13.05 100
112/60 94

13.10 100
130/75 90

13.15 100 Asam Traneksamat 250 mg


110/80 80

13.20 100 Diberikan Cairan RL 500 cc guyur


118/70 89

13.25 100 Ephedrine 20 mg


90/50 100

13.30 100
140/90 90

13.35 100
130/78 87

13.40 100
120/80 89

13.45 100
120/87 95

13.50 100
120/70 80

13.55 100 Ketorolac 30 mg


140/89 87

14.00 100
130/70 70

14.05 100
130/75 73

46
14.10 100
130/82 70

14.15 100 Diberikan Cairan RL 500 cc guyur


150/80 80

14.20 100
153/80 80

14.25 100
160/88 89

14.30 100
155/80 90

14.35 100
150/80 90

14.40 100
130/80 88

14.45 100
130/90 86

14.50 100
130/90 88

14.55 100 Operasi selesai


140/80 90

15.00 100 Anastesi selesai


130/90 90

MONITORING ANESTESI
180
160
140
120
100 sistol
80
diastol
60
40 nadi
20
0
12:25
11:45
11:55
12:05
12:15

12:35
12:45
12:55
13:05
13:15
13:25
13:35
13:45
13:55
14:05
14:15
14:25
14:35
14:45
14:55

Keterangan: mulai anastesi mulai operasi

- Perdarahan selama operasi: ± 1000cc.

47
- Jumlah urin selama operasi ± 1600 cc
- Jumlah cairan yang diberikan selama pembedahan :
RL 2000cc
Gelofusin 500 cc
Jumlah medikasi
- Ondancentron 4 mg
- Ranitidin 50 mg
- Efedrine 70 mg
- Ketorolac 30 mg

TERAPI CAIRAN
Berat Badan : 50 kg
Jumlah perdarahan : ±1000
 EBV = BB (Kg)x 65ml/kgBB
=50x65ml/kgBB
= 3.250 cc
 % perdarahan = Jumlah Perdarahan : EBV x 100%
= 1000 : 3250 x 100%
= 0,3076 x 100%
= 30 %
𝑯𝒄𝒕 𝒑𝒂𝒔𝒊𝒆𝒏−𝑯𝒄𝒕 𝒔𝒕𝒂𝒏𝒅𝒂𝒓
 𝑨𝑩𝑳 = 𝑬𝑩𝑽 × (𝑯𝒄𝒕 𝒑𝒂𝒔𝒊𝒆𝒏+𝑯𝒄𝒕 𝒔𝒕𝒂𝒏𝒅𝒂𝒓 )/ 𝟐

3250×(38,2−30)
= (38,2+30)/2
3250 𝑥8,2
= 34,1

= 26650 : 34,1
= 781,52 ml

o Cairan masuk :
Pre operatif : Kristaloid RL 500 cc
Durante operatif :Kristaloid RL 2000 cc
Gelofusin 500 cc
48
o Cairan keluar :
- Perdarahan :±1000 cc
- Urin : ±600 cc

Perhitungan Cairan
a. Input yang diperlukan selama operasi :
1) Cairan Maintanance (M)
M = (4 x 10) + (2 x 10) + (1 x 30)
= 40 + 20 + 30
= 90cc/jam
2) Cairan defisit selama puasa (P)
P = Lama puasa x Maintenance
= 6 x 90 cc
= 540 ml
3) Cairan yang masuk saat puasa
Cairan masuk puasa = Jumlah infus (TPM) x Lama Puasa
(Menit)/20
= 28 x 360/20
= 10080/20
= 504 ml
Cairan defisit puasa – Cairan masuk puasa = 540ml – 504ml
= 36 ml
4) Stress Operasi berat = 8cc/kgBB/jam x BB
= 8cc x 50kg
= 400cc/jam
5) Cairan defisit darah selama operasi : 1000 ml x 3 = 3000ml
6) Total kebutuhan cairan selama 3 jam operasi
Kebutuhan cairan operasi
= M + Defisit Cairan Selama Puasa + Stress Operasi + Urin +
deficit darah selama operasi
= 270 + 36+ 400 + 600 +3000
= 4306 ml
49
b. Cairan masuk

▪ Kristaloid : 500 ml + 500 ml + 500 ml+ 500 ml= 2000 ml

▪ Koloid : 500 ml x 3 = 1500 ml

▪ PRC :-

▪ Total cairan masuk : 3.500 ml

a. Keseimbangan kebutuhan :

▪ Cairan masuk – cairan yang dibutuhkan = 3.500 ml – 4.306 ml


= -806 ml
I. POST OPERATIF
Post-operatif dalam ruangan RR
- Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
- Beri O22L/menit nasal canul.
- Bila Bromage Skor ≤2, boleh pindah ruangan.
- Mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), boleh makan dan minum
sedikit – sedikit.
Bromage score merupakan salah satu indikator pasca anestesia.
Jika nilai Bromage score ≤2, pasien boleh pindah ke ruangan.

Bromage score merupakan salah satu indicator respon motorik pasca


anastesi yang terdiri dari :
 Bernilai 0 jika terdapat gerakan penuh tungkai
 Bernilai 1 jika tak ampu ekstensi tungkai

50
 Bernialai 2 jika tak mampu fleksi lutut
 Bernilai 3 jika tak mampu fleksi pergelangan kaki

Perintah di ruangan:
a. Awasi tanda vital (TD, Nadi, Pernapasan tiap ½ jam)
b. Bila kesakitan, beri analgetik.
c. Bila mual atau muntah, beri Injeksi Ondansetron 4 mg IV
d. Program cairan, infus NaCl 20 tetes/menit

51
BAB III
PEMBAHASAN

Saat sebelum melalui pembedahan, pada pasien ini di lakukan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, sehingga pasien digolongkan
sebagai ASA II. Pada kasus ini pasien didiagnosis Prolaps Uteri Grade IV
sehingga dilakukan tindakan Histerektomi dan Vaginoplasty.
Teknik anastesi yang digunakan adalah spinal anastesi dengan alasan
operasi yang dilakukan pada bagian tubuh inferior, sehingga cukup memblok
bagian tubuh inferior saja. Dengan kelebihan pasien tetap dalam kondisi respirasi
spontan, lebih murah, tidak memerlukan intubasi, bahaya kemungkinan terjadinya
aspirasi kecil karena pasien dalam keadaan sadar dan observasi dan perawatan
post operatif lebih ringan.
Untuk premedikasi pada pasien ini diberikan ondancentron 4mg yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya mual dan muntah. Ondansentron bekerja
sebagai antagonis selektif dan bersifat kompetitif pada reseptor 5HT3, dengan
cara menghambat aktivasi aferen-aferen vagal sehingga menekan terjadinya
refleks muntah.
Pada pasien juga diberikan alat bantu pernapasan berupa nasal canul
dengan kecepatan 2,5 Liter per menit. Namun, pada saat pemberian saturasi
oksigen yang didapatkan rendah sehingga untuk memulai operasi tidak
memungkinkan, sehingga alat bantu pernapasan diganti dengan menggunakan
Non-breathing mask dengan kecepatan 12 Liter per menit. Keuntungan alat ini
konsentrasi oksigen tinggi tanpa dibutuhkan intubasi dan pasien menghirup udara
yang kaya oksigen dari kantung dan bukan dari udara yang tersisa. Dengan
menggunakan alat ini, saturasi oksigen dari pasien perlahan mulai naik.
Obat anastesi yang diberikan pada pasien ini adalah bupivacain, dipilih
karena durasi kerja yang lama dan berpotensi kuat. Bupivacaine bekerja dengan
cara berikatan secara intaselular dengan natrium dan memblok masuknya natrium
kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut
saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan
52
tidak memiliki selubung mielin, maka bupivacaine dapat berdifusi dengan cepat
ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa
proprioseptif yang mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih
tebal.
Pada pasien, setelah diberikan anastesi kemudin didapatkan tekanan darah
menurun. Hal ini terjadi karena Efek samping Bupivacaine pada kardiovaskuler
dapat berupa efek toksik konsentrasi bupivacaine plasma yang tinggi, sehingga
menyebabkan efek pada jantung, berupa hipotensi kerena relaksasi otot polos
arteriol dan depresi langsung pada miokard, sehingga menurunkan resistensi
vaskuler sistemik dan cardiac output. Sehingga untuk mencegah hipotensi yang
berkepanjangan maka diberikan Efedrin sebanyak 10 mg. Dimana Efedrin
merupakan vasopresor tidak langsung, meningkatkan kontraksi otot jantung (efek
sentral) dan vasokonstriktor (efek perifer).
Sebagai analgetik digunakan Ketorolac (berisi 30 mg/ml ketorolac
tromethamine) sebanyak 1 ampul (1 ml) disuntikan iv. Ketorolac merupakan
nonsteroid anti inflamasi (AINS) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin
sehingga dapat menghilangkan rasa nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg
mempunyai efek analgetik yang setara dengan 50 mg pethidin atau 12 mg
morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang lebih lama serta lebih aman daripada
analgetik opioid karena tidak ada evidence depresi nafas.
Anestesi spinal terutama yang tinggi dapat menyebabkan paralisis otot
pernafasan, abdominal, intercostal. Oleh karenanya, pasien dapat mengalami
kesulitan bernafas. Untuk mencegah hal tersebut, perlu pemberian oksigen yang
adekuat dan pengawasan terhadap depresi pernafasan yang mungkin terjadi.
Banyaknya cairan yang harus diberikan per infus disesuaikan dengan
banyaknya cairan yang hilang. Terapi cairan intravena terdiri dari cairan
kristaloid, koloid, atau suatu kombinasi kedua-duanya. Larutan kristaloid adalah
larutan mengandung ion dengan berat molekul rendah (garam) dengan atau tanpa
glukosa, sedangkan cairan koloid berisi ion dengan berat molekul tinggi seperti
protein atau glukosa. Cairan koloid menjaga tekanan onkotic plasma dan
sebagian besar ada di intravascular, sedangkan cairan kristaloid dengan cepat
53
didistribusikan keseluruh ruang cairan extracellular. Terapi cairan dimaksudkan
untuk maintenence, mengganti cairan yang hilang pada waktu puasa, pada waktu
pembedahan (translokasi), adanya perdarahan dan oleh sebab-sebab lain misalnya
adanya cairan lambung, cairan fistula dan lain-lainnya.
1. Kebutuhan cairan maintenance
Pada waktu intake oral tidak ada, defisit cairan dan elektrolit dapat
terjadi dengan cepat karena adanya pembentukan urin yang terus
berlangsung,sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses dari
kulit dan paru. kebutuhan pemeliharaan normal dapat diestimasi dari tabel
berikut:
Tabel 4. Estimasi Kebutuhan Cairan Pemeliharaan

Berat badan Kebutuhan

10 kg pertama 4 ml/kg/jam

10-20 kg kedua 2 ml/kg/jam

masing-masing kg > 20 kg 1 ml/kg/jam

Pada kasus didapatkan berat badan pasien 50 kg sehingga kebutuhan cairan


pemeliharaannya (4x10) + (2x10) + (1x30) = 90 ml/jam sedangkan cairan
pemeliharaannya selama 3 jam: 3 x 90 = 270 ml
2. Cairan pengganti Operasi
Pada kasus ini dilakukan pembedahan jenis histerektomi dan
vaginoplasty, dimana operasi ini merupakan operasi yang besar, sehingga
perlu juga kita mengetahui cairan yang hilang berdasarkan jenis operasinya,
sebagaimana rumus yang bisa kita gunakan adalah :
Tabel Redistribution and Evaporative Surgical Fluid Losses

54
Sehingga, pada pasien ini didapatkan 4-8 ml/kg = (4-8 ml) x 50 kg = 200
sampai 400 ml. Sedangkan cairan pengganti operasi selama 3 jam adalah 3 x
(200 – 400 ) = 600 sampai 1200 ml
Cairan yang dapat digunakan sebagai cairan maintenance adalah cairan
kristaloid (asering, RL, NaCl) dengan perhitungan perbandingan 3:1.
3. Cairan pengganti puasa
Lama puasa x maintenance = 6 x 90 ml = 540 ml– 360 ml (cairan yang
masuk saat puasa) = 180ml
4. Pengganti Perdarahan
Tabel Volume Darah

Adapun MABL (Maximum Allowed Blood loss) pada pasien ini adalah
sebagai berikut. EBV (Estimate Blood Volume) pada pasien :
EBV (Estimate Blood Volume) pada pasien :
EBV = 65 ml/kg x BB kg
= 65ml/kg x 50kg
= 3250 ml
Jumlah perdarahan: ± 1000cc
% perdarahan : 1000/3250 x 100% = 30,7%
MABL :
(𝐻𝑡 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛−𝐻𝑡 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛𝑡𝑎)
𝑀𝐴𝐵𝐿 = 𝐸𝐵𝑉 𝑥 𝐻𝑡 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛+𝐻𝑡 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛𝑡𝑎
2

55
(38,2 − 30)
𝑀𝐴𝐵𝐿 = 3250 𝑥 38,2304
2
MABL = 781,52 ml
Defisit darah selama 3 jam = 1000 ml dimana semestinya pada pasien
ini dilakukan transfusi darah karena kehilangan darahnya mencapai MABL
nya. Namun pada pasien ini tidak dilakukan transfuse dan hanya diberikan
cairan kristaloid sesuai dengan kebutuhan cairannya.
• Total kebutuhan cairan selama 1800 menit operasi
Kebutuhan cairan operasi
= M + Defisit Cairan Selama Puasa + Stress Operasi + Urin + deficit
darah selama operasi
= 270 + 36+ 400 + 600 +3000
= 4306 ml
 Keseimbangan cairan / Fluid Balance:
Cairan masuk – Cairan keluar = 2500 ml – 4306 ml = -806 ml

Pada akhir proses pembedahan pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan


melanjutkan oksigenasi 2 lpm dengan kanul oksigen, diawasi tanda vital.
Kemudian pasien dipindahkan ke ruang perawatan.

56
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan laporan kasus yang telah dibahas, sehingga dapat disimpulkan :


1. Pada kasus dilakukan operasi histerektomi dan vaginoplasty pada pasien
prolaps uteri grade IV pada pasien usia 68 tahun, dan setelah dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka ditentukan status fisik ASA II
dan dilakukan jenis anestesi dengan Regional Anestesi dengan
Subarachnoid Block.
2. Pada pasien ini menjemen anestesi dimulai dari pre operatif, intra
operatif serta post operatif.
3. Berdasarkan penggunaannya cairan dibagi atas beberapa golongan, yaitu
cairan pemeliharaan (maintenance), cairan pengganti puasa, cairan
pengganti operasi dan pengganti perdarahan.
 Kebutuhan cairan pemeliharannya pada kasus 90 ml/jam
 Cairan pengganti operasi adalah 200 sampai 400 ml
 Total kebutuhan cairan selama operasi 2 jam adalah 4800 ml
 Keseimbangan cairan pada kasus terdapat kekurangan cairan 2210 ml
4. Setelah menjalani operasi pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
kemudian dipindahkan ke ruang perawatan karena Bromage Score 1.

57
DAFTAR PUSTAKA

1. Pramono A. Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC; 2014.


2. Dobson, MB. 2012. Penuntuk Praktik Anestesi. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
3. Bagian Anestesiologi RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Catatan
Anestesi. Makassar: Bursa Buku Kedokteran Aesculapius;2010.
4. Orebaugh SL. 2007. Atlas Of Airway Management Techniques and Tools.
Philadelphia: LippincoETT, Williams, and Wilkins.
5. Thomas G, Lahunduitan I, 2016. Angka Prolaps Uteri Periode Oktober 2012-
September 2015. Jurnal e-clinic (eCl), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni
2016
6. Desai,Arjun M.2010. Anestesi. Stanford University School of Medicine.
Diakses dari: http://emedicine.medcape.com
7. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI.
8. Gwinnutt, CL. 2014. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta
9. FKUI, 2012. Farmakologi Dan Terapi, Edisi 5, Departemen Farmakologi Dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta

58

Anda mungkin juga menyukai