Anda di halaman 1dari 27

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Self Care
1. Pengertian Self Care Dorothea E. Orem

Individu akan berusaha berperilaku untuk dirinya sendiri dalam

menemukan dan melaksanakan treatment pengobatan untuk memelihara

kesehatan dan kesejahteraan. Hal tersebut merupakan bagian yang natural

dari manusia. Orem percaya bahwa manusia memiliki kemampuan dalam

merawat dirinya sendiri (self care) dan perawat harus fokus terhadap

dampak kemampuan tersebut (Alligood, 2014). Filosofi dari ilmu

keperawatan adalah memandirikan dan membantu individu memenuhi

kebutuhan dirinya (self care). Salah satu teori self care dalam ilmu

keperawatan yang terkenal adalah teori self care Orem.

Orem dalam hal ini melihat individu sebagai satu kesatuan utuh yang

terdiri dari aspek fisik, psikologis, dan sosial dengan derajat kemampuan

untuk merawat dirinya yang berbeda-beda sehingga tindakan perawat

berupaya untuk memacu kemampuan tersebut. Individu juga memiliki

kamampuan untuk terus berkembang dan belajar (Alligood, 2014). Orem

mendefinisikan keperawatan sebagai seni di mana perawat memberikan

bantuan khusus kepada individu dengan ketidakmampuannya dalam

memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk perawatan mandiri

serta berpastisipasi secara intelegensi dalam perawatan medis yang

diberikan oleh dokter.

10
11

Teori Orem mendeskripsikan peran dari perawat adalah menolong

seseorang dalam ketidakmampuannya dalam melaksanakan self

care. Tujuan utama sistem Orem ini adalah menemukan kebutuhan self care

(Self care demand) pasien hingga pasien mampu untuk melaksanakannya

(Alligood, 2014). Menurut Orem, asuhan keperawatan diberikan apabila

pasien tidak mampu melakukannya, namun perawat tetap harus mengkaji

mengapa klien tidak dapat memenuhinya, apa yang dapat perawat lakukan

untuk meningkatkan kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya secara

mandiri dan menilai sejauh mana klien mampu memenuhi kebutuhannya

secara mandiri (Potter & Perry, 2012).

Teori Orem mengidentifikasi dua set ilmu keperawatan yaitu nursing

practice science dan foundational sciences. Termasuk di dalam nursing

practice science yaitu

a. wholly compensatory dimana perawat membantu penuh

ketidakmampuan total pasien dalam melakukan aktivitas self care;


b. partialy compensatory dimana perawat membantu

ketidakmampuan sebagian pasien dalam melakukan aktifitas self

care;
c. supporting educative dimana perawat membantu pasien untuk membuat

keputusan dan memiliki kemampuan dan pengetahuan (Alligood, 2014).

Area poli klinik Jantung merupakan salah satu area praktik

keperawatan untuk mengaplikasikan teori self care Orem ini di mana

aplikasi ini akan sesuai karena penting sekali untuk pasien agar dapat

aktif terlibat dalam perawatan dirinya. Tujuan utama praktek keperawatan


12

adalah untuk membantu pasien menyiapkan diri untuk berperan serta

secara adekuat dalam perawatan dirinya dengan cara meningkatkan

outcome pasien dan kualitas hidup. Sebagai perawat, kita dapat melakukan

hal tersebut dengan membentuk hubungan saling percaya antara perawat

dan pasien, menyediakan dukungan dan pendidikan kesehatan,

memperbolehkan pasien mengontrol beberapa situasi dengan berpartisipasi

dalam pengambilan keputusan, dan mendorong pasien untuk aktif

berpartisipasi dalam penyembuhan penyait Jantung

Self care dalam hal ini merupakan istilah yang lebih luas dari hanya

sekedar seperti self care behaviors, self care performance, self care ability,

self care activity, self care compliance, self care skills dan self care

practice. Self care adalah suatu proses kognitif yang aktif di mana seseorang

berupaya untuk mempertahankan kesehatan atau mengatasi penyakitnya

(Anita, 2012). Self care meliputi gabungan antara self care behavior dan

self care ability. Self care adalah sebuah proses pengambilan keputusan

secara naturalistik terhadap pemilihan tingkah laku untuk

mempertahankan stabilitas fisiologis (self care maintenance) dan respon

terhadap gejala yang dialami (self management) (Ramirez, Campos,

Herrera, 2013).

Kemampuan self care pasien dipengaruhi oleh faktor internal dan

eksternal dari individu itu sendiri yang dikenal dengan basic conditioning

factors, yang meliputi : usia, jenis kelmain, tingkat perkembangan, status

kesehatan, orientasi sosio kultural, sistem pelayanan kesehatan,


13

system keluarga, pola hidup, faktor lingkungan seperti faktor fisik atau

biologis, dan ketersediaan serta adekuatnya sumber daya. Basic

conditioning factor ini menggambarkan pengaruh nilai yang dimiliki pasien

tentang kebutuhan perawatan diri terhadap kemampuan yang dimilikinya

(Alligood, 2014).

2. Dimensi Self-Care

Riegel, Jaarsma, & Strömberg (2012) membagi self care ke dalam 3

(tiga) dimensi yaitu:

a. Self care Maintenance. Aktivitas yang dinilai dalam self maintenance

pasien dengan penyakit jantung meliputi: 1) terapi pengobatan sesuai

indikasi, 2) mengelola diit nutrisi, yang terdiri protein, kalium, natrium,

fosfat, 3) memonitor perubahan yang terjadi pada tubuh seperti

hemodinamik & perawatan kulit, 4) teratur dalam melaksanakan

pemeriksaan sesuai dengan yang dianjurkan petugas kesehatan.


b. Self Care Management

Self care management meliputi upaya untuk mempertahankan kesehatan

atau gaya hidup sehat. Aktivitas yang dapat dilakukan dalam dimensi ini

meliputi;

1) Meningkatnya kepatuhan dalam pengaturan diit,


2) Kemampuan mengenal dan mengevaluasi perubahan status nutrisi

yang terjadi,
3) Meningkatnya pengetahuan dengan dapat mengambil keputusan

untuk penanganan dan mengevaluasi respon tindakan serta mampu

mendapatkan akses informasi secara mandiri, 4) mempunyai rasa

percaya diri pada kemampuan untuk menggunakan support services.


14

c. Self Care Confidence

Dimensi self care confidence ini menentukan bagaimana kepercayaan

diri pasien dalam mengikuti semua petunjuk tentang self care, yang

meliputi;

1) Kepercayaan diri terhadap perasaan bebas dari gejala penyakit,


2) Kepercayaan diri mengikuti petunjuk pengobatan,
3) Kepercayaan diri mengenal secara dini perubahan kesehatan

yang dialami,
4) Kepercayaan diri melakukan sesuatu untuk mengatasi gejala penyakit,
5) Kepercayaan diri mengevaluasi keberhasilan tindakan yang telah

dilakukan.
3. Faktor Prediktor Self Care Pada Pasien Gagal Jantung

Riegel, Jaarsma, & Strömberg (2012), mengembangkan sebuah model

terkait karakteristik individu yang dikategorikan sebagai faktor

prediktor self care pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisis, yaitu:

a. Usia
Usia merupakan faktor prediktor penting pada self care. Bertambahnaya

usia sering dihubungkan dengan berbagai keterbatasan maupun kerusakan

fungsi sensori. Kondisi seperti ini ditemukan dalam penelitian yang

dilakukan oleh De Geest et. al. (2004) dalam Anita (2012) yaitu terjadi

penurunan kemampuan belajar dan mendemonstrasikan aktivitas self care

pada pasien yang mengalami gangguan kronik sebagai akibat penurunan

fungsi sensori. Selain itu bertambahnya usia berpengaruh terhadap

perkembangan disfungsi organ sebagai akibat upaya tubuh untuk

mempertahankan homeostasis. Gerontologis dalam Karavidas, Lazaros,


15

& Pyrgakis (2010) membagi usia lanjut menjadi 3 (tiga) grup yaitu usia

lanjut muda (60-74 tahun), usia lanjut (75-85 tahun) dan usia sangat

lanjut (>85 tahun). Sedangkan Syamsiah (2011) mengklasifikan usia

menjadi usia dewasa muda (21-40 tahun), usia dewasa menengah (40-65

tahun) dan usia lanjut (.65 tahun). Seiring bertambahnya usia maka hal

itu akan berpengaruh secara langsung terhadap perubahan struktur

jantung, dimana terjadi peningkatan penebalan dinding ventrikel kiri

yang disebabkan karena hipertensi atau karena penyebab lain yaitu

peningkatan afterload (Anita,2012).


Syamsiah (2011) menyatakan dua hipotesisnya terkait dengan usia dan

pembentukan sikap dan perilaku. Hipotesis pertama mengenai adanya

tahun-tahun tertentu dalam kehidupan dimana individu sangat rawan

terhadap persuasi. Hipotesis ini menyatakan bahwa sikap akan terbentuk

secara kuat dalam tahun-tahun ini dan stabil untuk jangka waktu lama.

Hipotesis kedua beranggapan bahwa semakin lama (tua) individu

akan semakin tahan terhadap persuasi. Dalam hipotesis ini dinyatakan

bahwa orang akan lebih rawan terhadap persuasi sewaktu masih muda

dan kemudian dengan bertambahnya usia akan semakin kuat dan kurang

peka sehingga lebih stabil sampai usia tengah baya dimana orang

mencapai puncak keteguhan sikapnya.

b. Perbedaan Jenis Kelamin

Beberapa studi yang memperlihatkan adanya perbedaan yang berkaitan

dengan gender dalam hal cara berfungsinya intelek cenderung terlalu

melebih-lebihkan hasil temuan mereka. Hasil dari studi yang tidak


16

memperlihatkan perbedaan gender biasanya tidak diterbitkan atau hasil

temuannya kurang diperhatikan (Rohman, 2012). Sejauh mana hasil

pembelajaran itu dipengaruhi oleh perbedaan gender hingga kini masih

terus dipertanyakan dan dikaji.

Laki-laki dan perempuan sudah pasti berbeda. Berbeda dalam cara

berespon, bertindak, dan bekerja di dalam situasi yang mempengaruhi

setiap segi kehidupan. Misalnya dalam hubungan antar manusia, intuisi

perempuan cenderung ditampakkan dengan nada suara dan air muka

yang lembut, sedangkan laki-laki cenderung tidak peka terhadap tanda-

tanda komunikasi tersebut. Perempuan cenderung mengalami kesulitan

dalam hal navigasi seperti untuk menemukan jalan, sedangkan laki-laki

lebih kuat pengenalan arahnya. Sementara itu, dalam bidang kognitif,

perempuan lebih unggul di bidang bahasa dan verbalisasi, sedangkan

laki-laki menunjukkan kelebihannya dalam kemampuan mengenali ruang

dan matematika.

c. Tingkat pendidikan

Pendidikan merupakan pengalaman yang berfungsi untuk

mengembangkan kemampuan dan kualitas pribadi seseorang.

Semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin besar kemampuannya

untuk memanfaatkan pengetahuan dan keterampilannya (Rohman, 2014).

Beberapa bukti menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pasien berperan

dalam kepatuhan, tetapi memahami instruksi pengobatan dan


17

pentingnya perawatan mungkin lebih penting daripada tingkat

pendidikan pasien

e. Kebiasaan Merokok

Merokok merupakan masalah kesehatan yang utama di banyak negara

berkembang (termasuk Indonesia). Rokok mengandung lebih dari 4000

jenis bahan kimia yang di antaranya bersifat karsinogenik atau

mempengaruhi sistem vaskular. Penelitian menunjukkan bahwa merokok

merupakan faktor prediktor kuat untuk ketidakpatuhan. Leggat

(Kamerrer, 2014) adalah orang pertama yang mempertimbangkan bahwa

merokok sebagai prediktor potensial dari ketidakpatuhan. juga

menunjukkan bahwa merokok saat ini memiliki hubungan yang

bermakna dengan ketidakpatuhan.

f. Pengetahuan

Pengetahuan atau kognitif merupakan faktor yang sangat penting

untuk terbentuknya tindakan seseorang sebab dari hasil dan penelitian

ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng

dari pada prilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Manusia

mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan

kelangsungan hidupnya. Penelitian telah menunjukkan bahwa

peningkatan pengetahuan tidak berarti meningkatkan kepatuhan pasien

terhadap pengobatan yang diresepkan, yang paling penting, seseorang

harus memiliki sumber daya dan motivasi untuk mematuhi protokol

pengobatan (Kamerrer, 2014).


18

g. Motivasi

Motif seringkali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan atau tenaga

tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat. Jadi motif

tersebut merupakan suatu driving force yang menggerakkan manusia

untuk bertingkah- laku, dan di dalam perbuatanya itu mempunyai tujuan

tertentu. Beberapa Pengertian motivasi yaitu menurut Syamsiah (2011)

motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif, dapat pula diartikan

hal atau keadaan menjadi motif. Hidayati (2012), motivasi bertalian

dengan tiga hal yang sekaligus merupakan aspek- aspek dari motivasi.

Ketiga hal tersebut adalah;

1) Keadaan yang mendorong tingkah laku ( motivating states )


2) Tingkah laku yang di dorong oleh keadaan tersebut ( motivated

behavior),
3) Tujuan dari pada tingkah laku tersebut (goals or ends of such

behavior),
Dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan sejumlah proses - proses

psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkannya, dan

terjadinya persistensi kegiatan- kegiatan sukarela yang diarahkan ke

tujuan tertentu, baik yang bersifat internal, atau eksternal bagi seorang

individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi.

Penelitian membuktikan bahwa motivasi yang kuat memiliki hubungan

yang kuat dengan kepatuhan (Kamerrer, 2014).

h. Akses Pelayanan Kesehatan

Faktor akses pelayanan kesehatan meliputi : fasilitas unit

hemodialisis, kemudahan mencapai pelayanan kesehatan (termasuk


19

didalamnya biaya, jarak, ketersediaan transportasi, waktu pelayanan dan

keterampilan petugas (Kamerrer, 2014).

i. Persepsi pasien terhadap pelayanan keperawatan

Perawat merupakan salah satu petugas kesehatan yang berinteraksi

paling lama dengan pasien hemodialisis, mulai dari persiapan, pre

hemodialisis, intra hemodialisis sampai post dialisis. Riset

membuktikan bahwa keberadaan tenaga-tenaga perawat yang terlatih dan

professional dan kualitas interaksi perawat dengan pasien memiliki

hubungan yang bermakna dengan tingkat kepatuhan pasien hemodialisis.

Perawat harus bisa memberikan kesan yang mendalam pada interaksi

dengan pasien, peduli dengan masalah-masalah pasien pada saat pasien

di rumah. Berbagai penelitian telah menguatkan bahwa peran perawat

sebagai edukator mampu meningkatkan kepatuhan pasien secara

signifikan. Hasil studi menunjukkan keberadaan staf 10 % jam staf

terlatih mampu menurunkan kemungkinan melewatkan sesi dialysis dari

pasien (OR=0,84, P=0,02). Setiap kenaikan 10 % Staf terlatih, mampu

menurunkan 11 % melewatkan sesi dialysis (OR=0,89, P=0,06)

(Kamerrer, 2014) sehingga baik persentase waktu kehadiran seorang

perawat terlatih maupun jumlah staf terlatih tampaknya memiliki

efek pada kepatuhan pasien. Sebenarnya waktu yang didedikasikan

perawat untuk konseling pasien, sangat bermanfaat untuk meningkatkan

kepatuhan pasien.

j. Dukungan keluarga
20

Keluarga merupakan faktor eksternal yang memiliki hubungan paling

kuat dengan pasien. Keberadaan keluarga mampu memberikan

motivasi yang sangat bermakna pada pasien disaat pasien memiliki

berbagai permasalahan perubahan pola kehidupan yang demikian

rumit, menjenuhkan dengan segala macam program kesehatan. Penelitian

yang dilakukan oleh Kugler & Maes (2015) membuktikan bahwa

terdapat hubungan yang positif antara dukungan keluarga dengan

meningkatnya angka kepatuhan pasien hemodialisis dengan r = 0,584 and

p = 0,003.

k. Penghasilan

Penghasilan sering dikaitkan dengan status sosial ekonomi seseorang.

Bagi banyak pasien dewasa yang hidup dalam kondisi sosial

ekonomi rendah serta tidak memiliki pendapatan tambahan selain

gaji, akan mengalami kesulitan dalam beberapa aspek self care.

Misalnya berhubungan dengan kepatuhan terhadap diet rendah garam,

dan mengikuti program terapi sesuai anjuran (Moser & Watkins, 2013).

Self care yang kurang akan menyebabkan pasien menjalani hospitalisasi

dan ini akan berefek terhadap pembiayaan selama pasien diraat di rumah

sakit.

B. Kualitas Hidup
1. Pengertian Kualitas Hidup

Kualitas hidup menurut World Health Organozation Quality of Life

(WHOQOL) Group (dalam Rapley, 2003), didefinisikan sebagai persepsi

individu mengenai posisi individu dalam hidup dalam konteks budaya dan
21

sistem nilai dimana individu hidup dan hubungannya dengan tujuan,

harapan, standar yang ditetapkan dan perhatian seseorang. (Nimas, 2012).

Kualitas hidup merupakan persepsi subjektif dari individu terhadap

kondisi fisik, psikologis, sosial, dan lingkungan dalam kehidupan sehari-hari

yang dialaminya (Urifah, 2012).Sedangkan menurut Chipper (dalam Ware,

1992) mengemukakan kualitas hidup sebagai kemampuan fungsional akibat

penyakit dan pengobatan yang diberikan menurut pandangan atau perasaan

pasien.

WHO (dalam Kurniawan, 2014) menggambarkan kualitas hidup

sebagai sebuah persepsi individu terhadap posisi mereka dalam kehidupan

dalam konteks budaya dan system nilai dimana mereka tinggal dan hidup

dalam hubungannya dengan tujuan hidup, harapan, standart dan fokus hidup

mereka. Konsep ini meliputi beberapa dimensi yang luas yaitu: kesehatan

fisik, kesehatan psikologis, hubungan sosial dan lingkungan. Menurut

Cohan & Lazarus (dalam Handini, 2011) kualitas hidup adalah tingkatan

yang menggambarkan keunggulan seseorang individu yang dapat dinilai

dari kehidupan mereka.Keunggulan individu tersebut biasanya dilihat dari

tujuan hidupnya, kontrol pribadinya, hubungan interpersonal, perkembangan

pribadi, intelektual dan kondisi materi.Sedangkan Ghozali juga

mengungangkap faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup

diantaranya adalah mengenali diri sendiri, adaptasi, merasakan perhatian

orang lain, perasaan kasih dan sayang, bersikap optimis, mengembangkan

sikap empati. Menurut Karangora (2012) mendefinisikan kualitas hidup


22

sebagai persepsi seseorang dalam konteks budaya dan norma yang sesuai

dengan tempat hidup seseorang tersebut serta berkaitan dengan tujuan,

harapan, standard an kepedulian selama hidupnya. Kualitas hidup individu

yang satu dengan yang lainnya akan berbeda, hal itu tergantung pada

definisi atau interpretasi masing-masing individu tentang kualitas hidup

yang baik. Kualitas hidup akan sangat rendah apabila aspek-aspek dari

kualitas hidup itu sendiri masih kurang dipenuhi.

Berikut penjelasan setiap komponen model HRQoL (Dharma,2011):

a. Faktor biologi / fisiologi


Faktor biologi / fisiologi berkaitan dengan adanya perubahan pada

fungsi sel, organ, jaringan dan sistem organ. Faktor ini dapat dilihat pada

pemeriksaan laboratorium, EKG, dan pemeriksaan fisik secara umum.


b. Status gejala
Kondisi kesehatan seseorang ketika bermasalah maka akan dikeluhkan

dalam bentuk pernyataan subyektif. Pernyataan tersebut adalah gejala,

yang terjadi akibat hubungan atau pengaruh dari faktor biologi/fisologi,

selain itu faktor budaya dan demografi juga mempengaruhi individu

berespon terhadap kesehatan.


c. Status Fungsional
Yaitu kemampuan seseorang untuk melakukan tugas sesuai perannya.

Kemampuan seseorang untuk melakukan perannya akan dipengaruhi oleh

gejala penyakit yang timbul. Semakin berat suatu gejala penyakit maka

akan semakin berkurang kemampuan seseorang untuk melakukan

kegiatannya sehari-hari.
d. Persepsi kesehatan general
Persepsi kesehatan general merupakan suatu integrasi dan ekspresi

subjektif individu terhadap faktor gejala yang dialaminya dan status


23

fungsionalnya. Persepsi kesehatan general dipengaruhi oleh kemampuan

individu dalam melakukan perannya (status fungsional), karakteristik

individu, dan karakteristik lingkungannnya. Berkurangnya status

fungsional menyebabkan persepsi individu yang negatif terhadap

kesehatannya secara umum. Persepsi kesehatan secara umum merupakan

hal yang penting dari perilaku sehat dan hasilnya akan mempengaruhi

kualitas hidup secara keseluruhan.


e. Kualitas hidup secara keseluruhan
Kualitas hidup merupakan indikator kesejahteraan individu secara

subyektif. Kualitas hidup secara keseluruhan juga terkait dengan bahagia

atau puasnya individu secara umum dengan kehidupannya.


f. Karakteristik individu dan lingkungan.
Karakteristik individu dan lingkungan berpengaruh terhadap semua

komponen dari model HRQoL, tetapi pengaruh paling besar adalah

terhadap persepsi kesehataan general dan kualitas hidup secara

keseluruhan.

Definisi HRQoL menurut Wilson dan Cleary (1995) yaitu Health

Related Quality of Life adalah bagian dari kualitas hidup yang

mempresentasikan perasaan, sikap, atau kemampuan untuk mencapai

kepuasan dalam domain kehidupan sebagai kepentingan personal yang

tergangggu akibat proses penyakit atau penurunn fungsi kesehatan

(Dharma, 2011).

2. Konsep kualitas hidup pada gagal jantung


Kualitas hidup pasien gagal jantung dipengaruhi oleh beratnya gejala

yang timbul. Semakin berat suatu gejala maka semakin berkurang

kemampuan fungsional pasien. Oleh karena itu pasien dengan penyakit


24

kronis seperti gagal jantung mengharapkan terjadi peningkatan harapan dan

kualitas hidup sehingga memiliki kemapuan untuk menyesuaikan diri

dengan berbagai perubahan fungsi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

(Furze, Donnison, & Lewin, 2012)


Health Related Quality of Life (HRQoL) pada pasien dengan gagal

jantung menjadi faktor prediktor untuk menilai hasil akhir dari kualitas

hidup pasien akibat penyakit gagal jantung. Tingkat keparahan gagal

jantung dikaitkan dengan rendahnya kualitas hidup pasien itu sendiri.

(Gimmler & Lenk, 2014).

3. Alat Ukur Kualitas Hidup Gagal Jantung


Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan seseorang dapat

menggunakan kuesioner yang berisi faktor-faktor yang mempengaruhi

kualitas hidup. Kualitas hidup pasien gagal jantung diukur dengan

menggunakan alat ukur spesifik yang disebut Minnesota Living with Heart

Failure Quesionnaire (MLHFQ) yaitu berupa kuesioner yang berisi

pertanyaan-pertanyaan khusus terkait dengan penyakit gagal jantung

(Mesbah, Cole, & Lee, 2012).


Rector, Kubo dan Kohn merupakan orang pertama yang

menggunakan Minnesota Living with Heart Failure Quesionnaire

(MLHFQ) untuk mengetahui efek gagal jantung terhadap kualitas hidup

pasien gagal jantung Kuesioner ini juga pernah digunakan oleh Kaawoan

(2012) dalam penelitiannya dengan jumlah pertanyaan sebanyak 20

dengan penilaian menggunakan skala Likert yaitu 1 = tidak pernah, 2 =

jarang, 3 = sering dan 4 = selalu. Hasil skor penilaian dinyatakan dalam


25

rentang 20-80 yang sudah dilakukan uji validitas dan realibilitas

sebelumnya.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup
Kualitas hidup pasien diabetes melitus dipengaruhi oleh berbagai faktor

baik secara medis, maupun psikologis. Berbagai faktor tersebut

diantaranya adalah pemahaman terhadap diabetes, penyesuaian terhadap

diabetes, depresi, regulasi diri (emosi negatif, efikasi diri, dukungan sosial,

komplikasi mayor (kebutaan, dialysis, neuropati, luka kaki, amputasi,

stroke dan gagal jantung). Raebun dan Rootman (2014) mengemukakan

bahwa terdapat delapan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup

seseorang, yaitu:
a. kontrol, berkaitan dengan control terhadap perilaku yang dilakukan oleh

seseorang, seperti pembahasan terhadap kegiatan untuk menjaga

kondisi tubuh.
b. Kesempatan yang potensial, berkaitan dengan seberapa besar seseorang

dapat melihat peluang yang dimilikinya.


c. Keterampilan, berkaian dengan kemampuan seseorang untuk

melakukan keterampilan lain yang mengakibatkan ia dapat

mengembangkan dirinya, seperti mengikuti suatu kegiatan atau kursus

tertentu.
d. Sistem dukungan, termasuk didalamnya dukungan yang berasal dari

lingkungan keluarga, masyarakat maupun sarana-sarana fisik seperti

tempat tinggal atau rumah yang layak dan fasilitas-fasilitas yang

memadai sehinga dapat menunjang kehidupan.


e. Kejadian dalam hidup, hal ini terkait dengan tugas perkembangan dan

stress yang diakibatkan oleh tugas tersebut. Kejadian dalam hidup

sangat berhubungan erat dengan tugas perkembangan yang harus


26

dijalani, dan terkadang kemampuan seseorang untuk menjalani tugas

tersebut mengakibatkan tekanan tersendiri.


f. Sumber daya, terkait dengan kemampuan dan kondisi fisik seseorang.

Sumber daya pada dasarnya adalah apa yang dimiliki oleh seseorang

sebagai individu.
g. Perubahan lingkungan, berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada

lingkungan sekitar seperti rusaknya tempat tinggal akibat bencana.


h. Perubahan politik, berkaitan dengan masalah Negara seperti krisi

moneter sehingga menyebabkan orang kehilangan pekerjaan/mata

pencaharian.
Selain itu, kualitas hidup seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya, mengenali diri sendiri, adaptasi, merasakan pasienan orang

lain, perasaan kasih dan sayang, bersikap optimis, mengembangkan sikap

empati.
5. Aspek-Aspek Kualitas Hidup
WHO (2014) menjelaskan terdapat empat aspek mengenai kualitas

hidup, diantaranya sebagai berikut:


a. Kesehatan fisik, diantaranya Aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada

zat obat dan alat bantu medis, energi dan kelelahan, mobilitas, rasa sakit

dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat, kapasitas kerja.


b. Kesejahteraan psikologi, diantaranya image tubuh dan penampilan,

perasaan negative, perasaan positif, harga diri,

spiritualitas/agama/keyakinan pribadi, berpikir, belajar, memori dan

konsentrasi.
c. Hubungan sosial, diantaranya hubungan pribadi, dukungan sosial,

aktivitas seksual.
Hubungan dengan lingkungan, diantaranya sumber keuangan, kebebasan,

keamanan fisik dan keamanan Kesehatan dan perawatan sosial :


27

aksesibilitas dan kualitas, lingkungan rumah, Peluang untuk memperoleh

informasi dan keterampilan baru dan partisipasi


C. Gagal Jantung
1. Definisi Gagal Jantung
Gagal jantung adalah suatu kumpulan gejala klinis yang terjadi akibat

ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk

memenuhi kebtuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi (Smeltzer & Bare,

2010).

Gagal jantung adalah kumpulan gejala klinis kronik yang terjadi saat

jantung tidak mampu memompa darah ke dalam sistem sirkulasi sehingga

organ tubuh tidak mendapat cukup oksigen dan nutrisi (Burrai, Hasan,

Fancourt, Luppi, & Somma, 2016).

2. Etiologi
Saat terjadi kondisi gagal jantung, curah jantung tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan tubuh atau dapat memenuhi kebutuhan hanya dengan

peningkatan tekanan pengisian (preload). Mekanisme kompensasi mungkin

mampu untuk mempertahankan curah jantung saat istirahat, namun mungkin

tidak mencukupi saat menjalani aktivitas. Fungsi jantung akhirnya menurun

dan gagal jantung menjadi berat (dekompensata). Gagal jantung disebabkan

oleh kondisi yang melemahkan atau merusak miokardium. Gagal jantung

dapat disebabkan oleh faktor yang berasal dari jantung (misalnya penyakit

atau faktor patologis intrinsik atau dari faktor eksternal. (Aaronson & Ward,

2010)
Loscalzo (2014) menjelaskan ada beberapa etiologi dari penyakit

gagal jantung, yaitu:


a. Kelainan otot jantung
28

Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung

disebabkan karena menurunnya kontraktilitas otot jantung.


b. Aterosklerosis koroner
Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi otot jantung karena

terganggunya aliran darah ke otot jantung. Dengan adanya disfungsi otot

jantung maka akan mengakibatkan kontraktilitas menurun.


c. Hipertensi sistemik atau pulmonal

Adanya peningkatan tekanan darah menyebabkan meningkatnya beban

kerja jantung yang pada akhirnya menyebabkan hipertrofi otot jantung.

d. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif


Kondisi ini secara langsung akan merusak serabut otot jantung sehingga

akan menurunkan kemampuan kontraktilitas jantung.


e. Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi akibat dari adanya penyakit jantung yang

secara langsung mempengaruhi jantung. Beberapa penyakit jantung yang

secara langsung dapat menyebabkan gagal jantung antara lain

tamponade, perikarditis dan stenosis katup atrioventrikuler.


f. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam perkembangan dan

beratnya gagal jantung. Meningkatnyalau metabolisme, hipoksia dan

anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi

kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan

suplai oksigen ke otot jantung (Loscalzo, 2014)


3. Klasifikasi
Klasifikasi fungsional dari gagl jantung dari New York Heart

Association (NYHA) merupakan klasifikasi umum yang digunakan. NYHA

mengklasifikasikan gagal jantung berdasarkan batasan fungsional sebagai

berikut:
Tabel 1 New York Heart Association Classification of Heart Failure
29

Kelas Definisi Fungsional

I Tidak ada keluhan pada aktivitas sehari-hari.


Bila melakukan aktivitas berat menimbulkan sesak,
II Berdebar- debar, lelah, nyeri dada. Nampak sehat bila
istirahat.
Aktivitas fisik sangat terbatas, bila melakukan aktivitas
III ringan menimbulkan sesak, Berdebar-debar, lelah, nyeri
dada. Nampak sehat bila istirahat.
Gejala insufisiensi jantung terlihat saat istirahat dan
IV memberat ketika melakukan aktivitas ringan.

Sumber: (Morgan, & Simpson, 2011)

Gagal jantung juga diklasifikasikan berdasarkan sisi jantung yang

terkena, yaitu atas gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan.

a. Gagal jantung kiri, yaitu berbagai kondisi yang mengakibatkan gannguan

ventrikel kiri memompa darah ke aorta.


b. Gagal jantung kanan, yaitu kondisi ketika ventrikel kanan gagal

memompa total volume diastolik ke arteri pulmonal yang menyebabkan

kongesti darah di pembuluh vena sistemik. (Gray, Dawkins, Morgan, &

Simpson, 2011)

Berdasarkan proses terjadi dan perkembangannya, gagal jantung dibedakan

atas:

a. Gagal jantung akut (Acute Heart Failure [AHF]) adalah gagal jantung

jantung yang disebabkan oleh kegagaln mempertahankan curah jantung

yang terjadi secara mendadak. Tidak terdapat cukup waktu untuk


30

terjadinya mekanisme kompensasi dan gambaran klinisnya didominasi

oleh edema paru akut.


b. Gagal jantung kronis (Chronic Heart Failure [CHF]) adalah gagal

jantung di mana curah jantung menurun secara bertahap , gejala dan

tanda tidak terlalu jelas dan didominasi oleh gambaran yang

menunjukkan mekanisme kompensasi (Davey, 2012)


4. Manifestasi Klinis
Ignativicius & Workman (2016), manifestasi klinis gagal jantung

dibagi berdasarkan tipe gagal jantung itu sendiri, yaitu:

a. Left-Sides Heart Failure


Tanda dan gejala gagal jantung kiri antara lain:
1) Penurunan cardiac output: kelelahan, aliguria, angina, konfusi dan

gelisah, takikardi dan palpitasi, nadi perifer lemah, pucat dan akral

dingin.
2) Kongesti pulmonal: sesak napas bertambah buruk pada malam hari

(paroxysmal nocturnal dyspnea), krekels, takipnea, othopnea.


b. Right-Sided Heart Failure
Tanda dan gejala pada gagal jantung kanan adalah kongesti sistemik

yaitu berupa: distensi vena jugularis, pembesaran hati dan limpa,

anoreksia, edema menetap, distensi abdomen, asites, edema anasarka.


Gagal jantung menimbulkan tanda dan gejala yang bervariasi dari

asimptomatis (tak bergejala) hingga cardiogenik shock yang dialami oleh

pasien. Gejala gagal jantung tidak semuanya bersifat spesifik seperti batuk

dimalam hari, mengi, berat badan bertambah > 2kg/minggu, nafsu makan

menurun dll. Gejala yang lebih spesifik seperti orthopnoea dan nocturnal

dyspnea jarang terjadi. Selain itu beberapa tanda gagal jantung juga ada

yang spesifk dan kurang spesifik seperti hepatomegali, nafas cepat, ascites,

takikardi, dll (PERKIa , 2015)


31

5. Patofisologi
Sebagian besar kondisi gagal jantung dimulai dari kegagalan ventrikel

kiri yang akhirnya berkembang menjadi kegagalan kedua ventrikel. Hal

tersebut terjadi karena kedua ventrikel ini merupakan dua sistem pompa

jantung yang memiliki fungsi yang berbeda tetapi saling berhubungan.

(Ignativicius & Workman, 2016)


Gagal jantung kiri terjadi disebabkan ketidakmampuan ventrikel kiri

untuk memompakan isinya secara adekuat sehingga menyebabkan

terjadinya dilatasi, peningkatan volume akhir diastolik dan peningkatan

intraventrikular pada akhir diastolik. Kondisi ini disebut disfungsi diastolik.

Hal tersebut akan berefek pada atrium kiri di mana terjadi ketidakmampuan

atrium untuk mengosongkan isinya ke dalam ventrikel kiri dan selanjutnya

tekanan pada atrium kiri pun akan meningkat. Adanya peningkatan tekanan

pada atrium akan berdampak pada vena pulmonal yang mengalirkan darah

dari paru-paru ke atrium kiri. Jika kondisi ini terus berlanjut maka akan

terjadi kongesti paru (Hudak, Gallo, & Morton, 2010)


Gagal jantung kanan seringkali mengikuti gagal jantung kiri. Pada

gagal jantung kanan terjadi peningkatan afterload yang berlebihan pada

ventrikel kanan disebabkan karena peningkatan tekanan pulmonal s ebagai

akibat dari disfungsi diastolik ventrikel kiri. Akibatnya, darah tidak lagi

dipompa secara efektif kedalam paru-paru sehingga terjadi bendungan

volume darah di atrium kanan, vena, dan sirkulasi perifer yang kemudian

akan menyebabkan kongesti sistemik. (Lilly, 2011)


32

Jantung yang mengalami kondisi gagal jantung akan melakukan

mekanisme kompensasi untuk mempertahankan cardiac output. Mekanisme

kompensasi utama yang digunakan meliputi:

a. Mekanisme Frank Starling


Konsep curah jantung dijelaskan dengan persamaan CO = HR x SV, di

mana curah jantung (CO: Cardiac Output) ditentukan oleh frekuensi

jantung (HR: Heart Rate) dan volume sekuncup (SV: Stroke Volume).

Bila cardiac ouput berkurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat

frekuensi jantung untuk mempertahankan cardiac output. Bila

mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan perfusi jaringan

yang memadai maka stroke volume yang harus menyesuaikan diri untuk

mempertahankan cardiac output (Smeltzer & Bare, 2010)


b. Perubahan neurohormonal
Gray et.al (2011) menuliskan bahwa mekanisme kompensasi melalui

perubahan neurohormonal terjadi dengan sendirinya sebagai respon

terhadap penurunan cardiac output. Tiga dari beberapa meknaisme

perubahan neurohormonal yang terjadi adalah peningkatan adrenergic

simpatik, aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) dan

peningkatan hormon antidiuretik (ADH).


c. Hipertrofi ventrikel
Hipertrofi ventrikel terjadi sebagai mekanisme terhadap ventrikel yang

berdilatasi akibat beban volume yang berlangusng lama. Kompensasi ini

bertujuan untuk meningkatkan massa elemen kontraktil dan memperbaiki

kontraksi sistolik, namun di samping itu juga berefek meningkatkan

kekakuan dinding ventrikel, menurunkan pengisian ventrikel serta fungsi

diastolik. (Gray, Simpson, 2011).


33

6. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan jasmani,

elektrokardiografi atau foto toraks, ekokardiografi-Doppler dan katerisasi.

Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung,

yang dibagi menjadi 2 kriteria yaitu kriteria major dan minor (Sudoyo, &

Setiyohadi, 2016).
Kriteria major meliputi paroksimal nokturnal dispnea, distensi vena

leher, ronki paru, kardiomegali, edema paru akut, gallop s3, peninggian

tekanan vena jugularis dan refluks hepatojugular. Sedangkan kriteria minor

meliputi edema ekstremitas, batuk malam hari, dyspnea d’effort,

hepatomegali, efusi pleura, penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal dan

takikardi (>120/menit). Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1

kriteria major dan 2 kriteria minor (Sudoyo, & Setiyohadi, 2016).


7. Penatalaksanaan
Menurut European Society Of Cardiology (ESC) tahun 2012. ESC telah

menerbitkan pedoman pengobatan gagal jantung yang disusun dalam

berbagai tingkatan rekomendasi (Class) dan tingkatan kepercayaan

(Evidence).
Untuk tingkat rekomendasi, adalah sebagai berikut:
a. Kelas I : Adanya bukti/kesepakatan umum bahwa tindakan bermanfaat

dan efektif.
b. Kelas II : Bukti kontroversi
c. Kelas II : Adanya bukti bahwa tindakan cenderung bermanfaat.
d. Kelas IIb : Manfaat dan efektivitas kurang terbukti.
e. Kelas III : Tindakan tidak bermanfaat, bahkan berbahaya.
Berikut ini adalah obat-obatan yang digunakan dalam terapi gagal jantung:
a. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan

pasien yang mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, kecuali pada

pasien yang kontraindikasi. ACEI dapat mengurangi perawat rumah sakit


34

karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka kelangsungan

hidup. ACEI juga dapat mereduksi remodeling ventrikular, fibrosis

miokardial, apoptosis, miosit, hipertrofi kardiak, pelepasan norepinefrin,

vasokonstriksi dan retensi natrium dan air (Sukandar, dkk. 2012).


b. β Blocker
β Blocker atau penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal

jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, kecuali pada

pasien yang kontraindikasi. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan

kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan

gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup (Sukandar, dkk.

2012).
c. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi

ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan

ACEI dan β Blocker dosis optimal. Kecuali pada pasien yang

kontraindikasi dan pada pasien yang mendapat antagonis aldosteron.

ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup. Selain itu, ARB

direkomendasikan sebagai alternatif pada pasien intoleren ACEI

(Sukandar, 2012)
d. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda

klinis atau gejala kongesti. Diuretik harus diatur sesuai kebutuhan pasien,

untuk menghindari dehidrasi atau resistensi (kelas rekomendasi I,

tingkatan bukti B) (Sukandar, 2012).


D. Hubungan Self Care Dengan Kualitas Hidup Pada Pasien Dengan

Penyakit Gagal Jantung


35

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan progresif dengan angka

mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara

berkembang termasuk Indonesia. Gagal jantung didefinisikan sebagai

ketidakmampuan jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen

dan nutrisi jaringan tubuh. Penyakit jantung yang dapat mendasari keadaan

gagal jantung yaitu Penyakit Jantung Koroner (PJK), Infark Miokard Akut

(IMA), hipertensi, kelainan katup jantung, kardiomiopati dan defek jantung

kongenita (Siswanto, 2015).


Self Care memiliki hubungan yang erat dengan gejala gagal jantung,

dimana gejala gagal jantung yang menyebabkan keterbatasan aktivitas sehari-

hari pasien, dapat meningkatkan kejadian depresi. Sebaliknya, Self Care dapat

menyebabkan bertambah beratnya gejala gagal jantung yang semakin

memperburuk kualitas hidup pasien. Penanganan terhadap depresi yang

diderita dapat secara signifikan memperbaiki kualitas hidup pasien gagal

jantung kronik (Siswanto, 2015).

Didalam teori keperawatan terdapat model konsep keperawatan Orem

yang dikenal dengan model Self Care, yaitu suatu wujud perilaku perawatan

diri seseorang dalam menjaga kehidupan, kesehatan dan perkembangan dan

kehidupan sekitar untuk meningkatkan kesejahteraan serta mencegah

percepatan penyakitnya. Self care dalam konteks pasien dengan penyakit

kronis merupakan hal yang kompleks dan sangat dibutuhkan untuk

meningkatkan kualitas hidup pasien serta kontrol dari penyakit kronis

(Nursalam 2013). Dalam penelitian Findow et al, (2012) didapatkan hasil

adanya hubungan antara kepatuhan perawatan diri yang baik dengan Kualitas
36

hidup pasien gagal. Namun dalam penelitian Warren et al (2012), ditemukan

masih banyak pasien gagal yang tidak terkontrol dan mengalami hambatan

dalam melakukan perawatan diri karena faktor kurangnya pengetahuan,

kurangnya dukungan keluarga, tidak adanya keyakinan dari pasien itu sendiri,

dari pasien itu sendiri

Kualitas hidup pasien gagal jantung berkaitan dengan distres psikologis

seperti perasaan cemas, depresi, disforia, dan bentuk reaksi psikis lainnya.

Pasien dengan gagal jantung kronik memiliki prevalensi kejadian depresi yang

tinggi. Gejala depresi dapat memperburuk gejala utama gagal jantung serta

dapat mempengaruhi proses pemulihan pada pasien gagal jantung, dimana

pasien yang depresi umumnya tidak disiplin dalam menjalankan pengobatan.

Apabila hal ini terus berlangsung akan mempengaruhi kualitas hidup pasien

dan secara signifikan dapat meningkatkan risiko kematian bagi pasien dengan

gagal jantung kronik (Kaawoan AY, 2012).

E. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen

F. Hipotesis Self Care Kualitas Hidup


Ada hubungan antara self care asisten dengan kualitas hidup pada pasien

dengan penyakit gagal jantung di poliklinik jantung RSUD M. Yunus Bengkulu

Anda mungkin juga menyukai