Anda di halaman 1dari 52

MANAJEMEN ANASTESI SPINAL PADA PASIEN

DENGAN PRE EKLAMSIA BERAT

Oleh:

KARTIKA APRIANI
10101012

Pembimbing :
Dr. Benny Chairuddin, Sp.An, M.Kes

Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Penyakit Syaraf


Rumah Sakit Umum Daerah Bangkinang
Program Studi Pendidikan Dokter
Universitas Abdurrab
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah dan
pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul “Manajemen
Anastesi Spinal Pada Pasien Dengan Pre Eklamsia Berat” yang diajukan sebagai persyaratan
untuk mengikuti KKS Ilmu Anestesi. Terima kasih penulis ucapkan kepada dokter pembimbing
yaitu dr. Benny Chairuddin, Sp.An, M.Kes yang telah bersedia membimbing penulis, sehingga
laporan kasus ini dapat selesai pada waktunya.

Penulis memohon maaf jika dalam penulisan laporan kasus ini terdapat kesalahan, dan
penulis memohon kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan laporan kasus ini. Atas
perhatian dan sarannya penulis mengucapkan terima kasih.

Siak, 25 Oktober 2015

Penulis

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 2


BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat
anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/ subaraknoid juga disebut sebagai
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.

Anestesi spinal dimulai pertama kali oleh beberapa dokter Jerman. Pada tahun 1884, Dr.
Carl Kaler pertama kalinya mengaplikasikan kokain pada kornea dan konjunctiva untuk
menghasilkan anestesia topikal. Pada tahun 1897, dr. bedah Jerman, Dr. August Bier memakai
jarum spinal yang dikembangkan oleh seorang dokter dari Universitas Berlin, Dr. Iraneus
Quincke, untuk menginjeksikan kokain ke ruangan subarachroid. Pada awal eksperimen, Bier
dan asistennya saling menyuntikkan anastesi spinal ini satu sama lain. Setelah pulih dari blok
motorik dan sensoris, masing-masing peneliti melaporkan timbulnya postdural puncture
headache yang parah.

Anestesi spinal awalnya dihambat oleh nyeri kepala hebat, hipotensi, pilihan farmakologi
yang terbatas dan komplikasi infeksi. Saat ini masing-masing hal tersebut diatas sudah dapat
diatasi. Postdural puncture headache dapat berkurang hingga < 2,5 % dengan pemakaian
pencil point spinal needle dan blood patch telah dikembangkan untuk terapi yang efektif.
Hidrasi intravena dan pemakaian vasokonstriktor yang bijaksana merupakan terapi yang simpel
dan efektif untuk atasi masalah spinal anesthesia induced hypotensi.
Ada banyak pilihan farmakologi yang tersedia sehingga dapat disesuaikan dengan
kebutuhan ketinggian blok dan durasi kerja yang dibutuhkan sesuai dengan prosedur bedah
tertentu. Akhirnya, teknik yang aseptik dan kit spinal anestesia yang steril dan sekali pakai
akan mengurangi komplikasi infeksi.

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 3


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. ANASTESI SPINAL
A. Anatomi1.4
Ruangan subarachnoid spinal dimulai dari foramen magnum dan berlanjut dengan ruang
subarachnoid intrakranial. Ruang subarachonoid spinal tersebar sampai dengan kira-kira
setinggi sakral 2.
Kolumna vertebralis melindungi spinal cord dan nerve root proksimal dalam suatu
ruangan tulang yang protektif dan dibagi menjadi 7 servikal, 12 thoraks, 5 lumbal. Di caudal
dari Lumbal 5 terdapat sacrum dan koksigeal. Diantara sacrum dan koksigeal terdapat
posterior opening disebut sacral hiatus yang secara klinis dipakai untuk melakukan teknik
blok kaudal epidural.
Kolumna vertebralis memiliki beberapa kurve yang relevan secara klinis. Pada saat
pasien dengan posisi supinasi : Titik paling tinggi (paling anterior) pada kolumna vertebralis
adalah C5 dan L4-5. Titik paling posterior adalah T5 dan S2
Anatomi ini, bersama dengan barisitas dari anestesi yang disuntikkan dapat dipakai untuk
mengontrol level dermatom dari anestesia. Masing-masing vertebra dihubungkan olel rangkaian
ligament yang menjaga kestabilan saat pergerakan. Di anterior dari kanalis spinalis, korpus
vertebra dihubungkan oleh ligamentum longitudinal anterior dan posterior. Di posterior dari
kanalis spinalis, rangkaian dari 3 buah ligamen menghubungkan lamina dan processus spinosus
dari vertebra yang saling berdampingan. Ligamen flavum adalah yang paling kuat, dari
processus artikuler ke midline processus spinosus. Ligamentum interspinosus menghubungkan
dengan ligamentum flavum di bagian anterior dan di bagian posterior dengan ligamentum
supraspinosus. Di bagian superior dan posterior berhubungan dengan processus spinosus.
Ligamentum supraspinosus dari C7 – S1, menghubungkan apeks dari processus spinosus di
posterior.
Pada kanalis spinalis terdapat elemen saraf (spinal cord dan cauda equina), cairan
serebrospinal (CSF) dan pembuluh darah yang mensuplai spinal cord. Pertimbangan anatomi
yang penting adalah inferior terminus dari spinal cord, yaitu konus medularis. Spinal cord
tersebar hingga L 3 pada anak-anak dan L 1-2 pada orang dewasa.

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 4


Di bagian inferior dari titik ini, elemen saraf yang berada pada kanalis spinalis adalah
nerve roots yang terendam di dalam cairan serebrospinal yang disebut Cauda Equina
(merupakan bahasa latin dari “ekor kuda” menggambarkan penampakan nerve roots pada sakus
thekal di bawah konus medularis).

Anestesi spinal diinjeksikan biasanya dibawah L2 untuk mencegah kemungkinan spinal


cord injuri. Disini, nerve roots dari cauda equina relatif mobile dan tampaknya cenderung
tidak tertusuk oleh spinal needle yang masuknya berlebihan. Spinal cord dibungkus oleh 3
lapisan jaringan penghubung disebut meningen. Yang membungkus CSF adalah meningen
arakhnoid dan durameter). Ruang di luar dura disebut ruangan epidural, sedangkan bagian
dalam dari arakhnoid disebut ruang subarakhnoid. Anestesi lokal yang diinjeksikan hanya
sampai pada bagian eksternal dari dura disebut “epidural anestesia”. Ruangan subarakhnoid
disebut juga ruangan “intrathecal”. Anestesi lokal yang diinjeksikan ke dalam ruang
subarakhnoid, menimbulkan anestesia sensoris disebut “spinal anestesia”.

Piameter adalah lapisan pembungkus ketiga dan merupakan jaringan dengan


vaskularisasi sangat banyak, langsung menempel pada elemen saraf. Diantara arakhnoid dan
piameter terdapat penghubung yang lembut disebut arachnoid trabeculae. Elemen saraf dari
kolumna spinalis terendam dalam CSF, yang merupakan ultrafiltrasi dari darah, yang diproduksi
dan disekresi oleh pleksus khoroidea pada ventrikel lateral, III dan IV. Jumlah produksinya
relatif sama, kira-kira 500 ml/hari. Absorpsi CSF sama dengan jumlah produksinya, sehingga
total volume CSF sama dengan jumlah produksinya, total volume CSF adalah 130 – 150 ml.
Cerebrospinal fluid mengandung protein dan elektrolit (utamanya Na dan Cl) dengan berat jenis
1,003 – 1,009 pada suhu 37oC.

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 5


B. Definisi Anestesi Spinal1.8
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid.
Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal
intradural atau blok intratekal.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kutis 
subkutis  Lig. Supraspinosum  Lig. Interspinosum  Lig. Flavum  ruang epidural

 durameter  ruang subarachnoid.

Gambar 1.Anestesi Spinal

Medula spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan


serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada
dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. Oleh karena itu,
anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3
atau L3-L4 atau L4-L5.

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 6


B. Indikasi dan kontra indikasi anastesi spinal1.3.5

Indikasi

Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah, panggul,
dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi,
urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetric, dan bedah anak.
Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi
umum.

Kontraindikasi

Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi lumbal,
bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan intracranial.
Kontraindikasi relatf meliputi neuropati, prior spine surgery, nyeri punggung, penggunaan obat-
obatan preoperasi golongan AINS, heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil,
serta a resistant surgeon.

 Kontra indikasi relatif :


1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 7


C. Persiapan analgesia spinal3.5.8
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia
umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,
misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga
tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah
ini:
1. Informed consent, kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia
spinal
2. Pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang
punggung
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran, Hemoglobin, Hematokrit, PT
(Prothrombine Time), PTT (Partial Thromboplastine Time)

 Peralatan analgesia spinal


1. Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll.
2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock) atau
jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)

Gambar 2.Jarum Spinal

 Anastetik lokal untuk analgesia spinal

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 8


Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada 37º C adalah 1.003-1.008.
Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik. Anastetik lokal
dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan
berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik. Anastetik lokal yang sering
digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik lokal dengan
dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan
mencampur dengan air injeksi.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine(xylocain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-
100mg (2-5ml)
2. Lidokaine(xylocain,lignokain) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.033, sifat
hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-
20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)

Dosis (mg) Durasi (menit)

Obat Perineum, Abdomen Blok Anestetik Ditambah


tungkai bawah setinggi T4 murni epinefrin
bawah

Prokain 75 125 200 45 60

Tetrakain 6-8 8-14 14-20 90 120-150

Lidokain 25 50-75 75-100 60 60-90

Bupivakain 4-6 8-12 12-20 120-150 120-150

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 9


 Teknik analgesia spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi
tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan
posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.

Gambar 3.PosisiDudukdan Lateral Decubitus


2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, misal
L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma
terhadap medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan
jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan
jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 10


duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah,
untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala
pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan
keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap
baik. Kalau yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukan kateter.

Gambar 4.TusukanJarumpadaAnestesi Spinal


6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ±
6cm.
 Penyebaran anastetik lokal tergantun :
1. Faktor utama:
a. Berat jenis anestetik lokal (barisitas)
b. Posisi pasien
c. Dosis dan volume anestetik lokal
2. Faktor tambahan
a. Ketinggian suntikan
b. Kecepatan suntikan/barbotase
c. Ukuran jarum
d. Keadaan fisik pasien
e. Tekanan intra abdominal

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 11


 Lama kerja anestetik lokal tergantung :
1. Jenis anestetia lokal
2. Besarnya dosis
3. Ada tidaknya vasokonstriktor
4. Besarnya penyebaran anestetik lokal
 Komplikasi tindakan anestesi spinal :
1. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan.
2. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total

 Komplikasi pasca tindakan :


1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. Meningitis

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 12


C. Patofisiologi Obat Anastesi Spinal3.5.6
Injeksi anestesi lokal ke ruang subarakhnoid akan menimbulkan berbagai respon fisiologis.
Pengetahuan terhadap efek ini penting untuk mengoptimalkan keselamatan pada saat melakukan
spinal anestesia.

 Efek Kardiovaskuler
Respon kardiovaskular adalah akibat blok sistem saraf simpatis yang ditimbulkan oleh
lokal anestesi intratekal. Impuls simpatis dibawa oleh serat saraf A dan C yang sangat
mudah diblok oleh agen lokal anestesi. Sehingga, blok simpatis biasanya tersebar beberapa
dermatom lebih tinggi daripada blok sensoris selama anestesi spinal. Serat saraf simpatis,
keluar dari spinal cord mulai dari T1 – L2, sehingga blok simpatis total sangat mungkin
terjadi pada blok sensoris setinggi thorakal.

Blok simpatis menimbulkan vasodilatasi arteriole, biasanya akan menurunkan sistemik


vaskular resistensi sebanyak 15% - 20%. Sebagai catatan, otot polos arteriole masih dapat
mempertahankan autoregulasinya (pada keadaan ini), sehingga tonus vasomotor tetap bisa
dimodulasi oleh kebutuhan metabolik. Sebaliknya, tonus vena akan terblok total dengan blok
simpatis. Sehingga pooling pada vena sangat menonjol selama spinal anestesia dan venous
return menjadi sangat tergantung pada gravitasi dan tekanan intrathorak negatif selama
ventilasi spontan.

Membalik posisi trendelenburg memiliki efek yang dramatis pada preload jantung
dengan spinal anestesi tinggi. Karena afterload (sistemik vaskuler resistensi) menurun
selama anestesia spinal dan preload akan menjadi penentu utama dari curah jantung, maka
pemberian cairan intravena dan posisi pasien adalah penentu utama untuk mencegah
hipotensi selama anestesi spinal. Denyut jantung mungkin berkurang dalam hubungan
dengan spinal anestesia, terutama pada blok di tingkat thorak yang tinggi. Bradikardi
prinsipnya adalah akibat blok simpatis preganglionik pada serat kardioakselarator (T1 – T4).

Mekanisme bradikardi lainnya pada spinal anestesia tinggi adalah chronotropic stretch
receptor pada atrium kanan. Saat teregang, reseptor ini akan menimbulkan peningkatan
denyut jantung, tapi dengan spinal anestesia yang menginduksi venodilatasi, aktifasi dari
atrial stretch reseptor akan menghilang dan heart rate berkurang. Meskipun biasanya denyut

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 13


jantung hanya berkurang 10 – 20%, pasien atletis dengan denyut jantung saat istirahat yang
rendah, dapat mengalami asistole selama anestesia spinal. Kasus yang ekstrem ini terutama
akibat mediasi dari reflek Bezold-jarish, reflek yang menimbulkan bradikardi dan hipotensi
melalui pathway aferent dan eferen nervus vagus dan berasal dari kemoreseptor yang tidak
dapat diidentifikasi pada jantung.

Bagaimana peranan reflek Bezold-Jarish menimbulkan bradikardi dan hipotensi setelah


spinal anestesia masih dipertanyakan. Efek kardiak dari spinal anestesia tergantung dari
pemeliharaan preload; spinal anestesia tidak boleh dilakukan pada pasien hipovolemia yang
preload dan aktifitas vasokonstriksi dalam pertahankan tekanan darahnya sudah berkurang.
Pada situasi ini, spinal anestesia dapat menimbulkan hipotensi yang sangat parah. Suplai dan
kebutuhan oksigen miokard sangat dipengaruhi oleh spinal anesthesia. Suplai O2 miokard
adalah berbanding proporsional dan langsung dengan aliran darah koroner. Aliran darah
koroner, dikontrol oleh coronary perfusion pressure (CPP) dan denyut jantung. Karena kira-
kira 80 % aliran darah koroner terjadi selama diastolik, maka :

Coronary Perfusion = Diastolic Blood - Left Ventricular End

Pressure (CPP) Presure (DBP) Diastolic Pressure

(LVEDP)

Spinal anesthesia merubah tiap-tiap parameter diatas. DBP biasanya berkurang 15-20%
yang cenderung menurunkan perfusi koroner. Penurunan preload dan afterload, keduanya
mengurangi LVEDP, yang akan menurunkan kebutuhan O2 miokard sehingga menutupi
penurunan DBP. Hasilnya hanya terjadi sedikit penurunan CPP (5-10%). Heart rate juga
penting, karena waktu diastolik secara tidak proporsional memendek (dibandingkan dengan
waktu sistolik) akibat peningkatan heart rate. Heart rate cenderung menjadi stabil / menurun
dengan spinal anestesia.

Kebutuhan O2 miokard juga dipengaruhi oleh heart rate, tegangan dinding ventrikel dan
keadaan inotropik. Denervesi (hambatan) simpatis kardiak akan menurunkan heart rate dan
inotropik kira-kira 15 – 20 %. Berkurangnya preload dan afterload akan mengurangi ukuran
ventrikel kiri sehingga akan menurunkan tegangan dindingnya. Kebutuhan O2 juga
menurunkan sejumlah yang kira-kira sama dengan suplai O2 ke miokard. Sehingga,

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 14


meskipun suplai dan kebutuhan berkurang secara keseluruhan, keseimbangan metabolik tetap
terpelihara.

Cerebral blood flow juga dibicarakan. Autoregulasi serebral mempertahankan cerebral


blood flow secara konstan, antara mean arterial pressure 50 – 150 mmHg. Hal ini terjadi
karena perubahan pada resistensi vaskular serebral yang timbul secara lokal sebagai
kompensasi untuk peningkatan atau pengurangan tekanan perfusi. Dua kelompok pasien
membutuhkan pertimbangan spesial.

Pada pasien dengan hipertensi kronis, autoregulasi serebral berubah ke arah yang lebih
tinggi, biasanya pada kisaran 80 – 180 mmHg. Sehingga hanya sedikit hipotensi yang boleh
terjadi pada pasien hipertensi kronis dengan spinal anestesia. Pasien dengan aterosklerosis
serebravaskuler yang signifikan lebih sensitif dengan menurunkan MAP. Karena adanya
obstruksi yang menetap dan signifikan, vasodilatasi serebral sebagai respon hipotensi,
tampaknya tidak bisa mempertahankan cerebral blood flow. Pasien ini harus memiliki MAP
pada kisaran 20 % normal.

 Perubahan Respirasi
Volume tidal resting, minute ventilasi dan arterial blood gases tidak berubah dengan
spinal anestesi thorak tinggi. Hal ini karena, kontrol inspirasi adalah oleh fungsi diafragma
(n.phrenicus), yang tidak dipengaruhi oleh spinal anestesia. Ekshalasi normal dikontrol oleh
elastic recoil pasif dari paru. Respirasi manuver yang memerlukan ekshalasi aktif akan
dihambat oleh anestesi spinal yang luasnya sampai ke dermatom thoraks.

Maximum breathing capacity, maximum ekspiratory volume dan maximum ekshalasi


pressure ditimbulkan oleh batuk, melibatkan otot nafas aksesoris termasuk otot abdominal
anterior dan otot interkostal. Anestesi spinal yang meluas sampai dengan dematom thorax
akan memblok fungsi motoris otot-otot ini dan dapat menimbulkan eksaserbasi dispnea pada
pasien yang memerlukan ekshalasi aktif (ashma) atau bronkitis kronis. Tidaklah umum
terjadi gagal nafas sebagai akibat dari hal ini.

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 15


Pada keadaan spinal anestesia tinggi (servikal) fungsi n. phrenicus (C3-C5) bisa terganggu.
Konsentrasi yang diperlukan oleh anestesi lokal untuk menimbulkan blok motoris n.
phrenicus lebih tinggi daripada konsentrasi yang biasanya ditemukan pada total spinal
anestesia.mTampaknya, hipotensi berat akibat anestesi spinal tinggi / total menyebabkan
kurangnya perfusi pada medullary respiratory center, sehingga timbullah apnea.
Pengembalian tekanan darah dan curah jantung biasanya akan mengembalikan ventilasi
spontan.

 Hepatic Dan Renal Blood Flow


Hepatic blod flow berkurang pada anestesi spinal dengan proporsi yang sesuai terhadap
penurunan MAP. Oksigensi vena hepatika berkurang, menunjukkan peningkatan ambilan O2
oleh liver. Perubahan yang sama seperti pada general anestesia. Tidak ada studi pada
manusia, yang menunjukkan apakah spinal atau general anestesia lebih dipilih pada pasien
dengan penyakit hepatik. Manipulasi bedah pada abdomen atas saja, menimbulkan
penurunan hepatic blood flow yang lebih besar daripada general atau regional anestesia.

Renal blood flow diautoregulasi pada kisaran 50-150 MAP. MAP < 50 mmHg
menimbulkan penurunan renal blood flow dan penurunan urine output. Apabila tidak ada
hipovelemia, fungsi ginjal biasanya dapat mempertahankan dengan baik, meskipun terjadi
penurunan tekanan darah yang signifikan.

 Efek Fisiologi Spinal Anestesia Lainnya


Hormonal dan stres respon metabolik yang diinduksi oleh stimulasi bedah, dihambat
lebih baik oleh spinal anestesia daripada general anestesia. Tetapi, setelah pulih dari blok
spinal, stres respon postoperatif adalah sama pada pasien dengan spinal anestesia atau
general anestesia.

Motilitas gaster biasanya meningkat dengan anestesi spinal. Inervasi simpatis pada usus
besar dan kecil adalah lewat spinal nerve root T5 – L1. Dengan blok simpatis, tidak ada
yang menghambat intervasi vagal sehingga peristaltik lebih aktif.

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 16


D. Komplikasi Anastesi Spinal3.5.8

Komplikasi intraoperatif:

1). Komplikasi kardiovaskular

Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi karena
vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola
sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang
akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian
cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin.

Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi
spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat
walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini, hipotensi atau
hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme
reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch. Bila terjadi spinal tinggi atau
high spinal (blok pada cardioaccelerator fiber di T1-T4), dapat menyebabkan bardikardi sampai
cardiac arrest.

Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid


(NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera setelah
penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi
harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg diulang setiap 3-
4menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran
darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg
IV.

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 17


Gambar. Patofisiologi Hipotensi Dan Bradikardi Pada Anastesi spinal

2). Blok spinal tinggi atau total

Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan dosis
yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi,
henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti
jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah
vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini
menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang
cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting
yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat
kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic
interkostal. Aktivitas saraf phrenik biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke
serebral mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 18


jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang mencetuskan
aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting
dalam mencegah terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor,
dan pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan
kembali ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen
yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.

Komplikasi respirasi

Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok lebih dari dermatom T5) mengakibatkan
hipoperfusi dari pusat nafas di batang otak dan menyebabkan terjadinya respiratory arrest. Bisa
juga terjadi blok pada nervus phrenicus sehingga menmyebabkan gangguan gerakan diafragma
dan otot perut yg dibutuhkan untuk inspirasi dan ekspirasi.

Komplikasi postoperative:

1). Komplikasi gastrointestinal

Mual muntah akibat blok neuroaksial sebesar 20%, sehingga menyebabkan


hiperperistaltik gastrointestinal akibat aktivitas parasimpatis dikarenakan oleh simpatis yg
terblok. Hal ini menguntungkan pada operasi abdomen karena kontraksi usus dapat
menyebabkan kondisi operasi maksimal. Mual muntah juga bisa akibat hipotensi, dikarenakan
oleh hipoksia otak yg merangsang pusat muntah di CTZ (dasar ventrikel ke IV).

2). Nyeri kepala

Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala. Nyeri kepala
ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada anestesi epidural. Insiden
terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum yang digunakan. Semakin
besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi
nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post
suntikan biasanya muncul dalam 6 – 48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang
berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retro orbital, dan sering disertai
dengan tanda meningismus, diplopia, mual, dan muntah.

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 19


Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila
pasien dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan
berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 – 48 jam
harus di coba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena),
analgesic, dan suport yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan
terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran
dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif tidak
efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin kedalam epidural untuk menghentikan kebocoran.

3). Nyeri punggung

Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari tusukan jarum
yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur ligament dengan atau tanpa
hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma suntikan jarum dapat di obati
secara simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang singkat sahaja.

4). Komplikasi neurologik

Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah. Komplikasi
neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam waktu 24
jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis
aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan menghilang dalam
beberapa hari.

Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat
menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan. Ia
ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang
bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah.

Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya
terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh
defisit sensoris dan kelemahan motorik pada tungkai yang progresif. Pada penyakit ini terdapat
reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal.

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 20


Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama.
Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke korda spinal.
Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma tusukan jarum pada spinal maupun
epidural, kateter epidural atau suntikan solution anestesi lokal intraneural adalah jarang, tapi
tetap berlaku.

Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang berlaku karena
ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang subaraknoid. Hanya pembuluh
darah radikular lateral merupakan pembuluh darah besar di area lumbar yang menyebar ke ruang
subaraknoid dari akar saraf. Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari anesthesia adalah jarang.
Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai bawah karena iskemia pada 2/3
anterior bawah korda spinal. Kehilangan sensoris biasanya tidak merata dan adalah sekunder dari
nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukannya akibat dari kerusakan didalam korda itu
sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri : kekurangan bekalan darah ke
arteri spinal anterior karena terjadi gangguan bekalan darah dari arteri-arteri yang diganggu oleh
operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan
aliran darah sama ada dari kongesti vena mahu pun obstruksi aliran.

Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan terjadinya


sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya anestesi spinal menggunakan obat
anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi kemungkinan epinefrin yang
menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior atau pembuluh darah yang memberikan
bekalan darah.

Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi regional dapat menyebabkan kekurangan
aliran darah. Infeksi dari spinal adalah sangat jarang kecuali dari penyebaran bacteria secara
hematogen yang berasal dari fokal infeksi ditempat lain. Jika anestesi spinal diberikan kepada
pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran ke bakteri ke
spinal. Oleh yang demikian, penggunaan anestesi spinal pada pasien dengan bakteremia
merupakan kontra indikasi relatif. Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan
menyebabkan araknoiditis. Tanda dan symptom yang paling prominen pada komplikasi ini
adalah nyeri punggung yang berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh
itu, adalah tidak benar jika menggunakan anestesi regional pada pasien yang mengalami infeksi

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 21


kulit loka pada area lumbar atau yang menderita selulitis. Pengobatan bagi komplikasi ini adalah
dengan pemberian antibiotik dan drenase jika perlu.

5). Retentio urine / Disfungsi kandung kemih

Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun regional. Fungsi
kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling akhir pada analgesia spinal,
umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan komplikasi yang
sangat jarang terjadi.

E. Tatalaksana komplikasi2.3.5.8
1. Tindakan Preventif

Pemberian preloading pada pasien yang akan dilakukan anestesi spinal dengan 1 – 2 liter
cairan intravena (kristaloid atau koloid) sudah secara luas dilakukan untuk mencegah hipotensi
pada anestesi spinal. Pemberian cairan tersebut secara rasional untuk meningkatkan volume
sirkulasi darah dalam rangka mengkompensasi penurunan resistensi perifer.

Hipotensi akibat efek kardiovaskuler dari anestesi spinal dapat diantisipasi dengan loading
10 – 20 ml/kg cairan intravena (kristaloid atau koloid) pada pasien sehat akan dapat
mengkompensasi terjadinya venous pooling. Pada beberapa penelitian yang lain dikatakan
bahwa preloading cairan intravena pada pasien yang akan dilakukan anestesi spinal adalah tidak
efektif. Coe et al. dalam penelitiannya mengatakan bahwa prehidrasi pada pasien yang akan
dilakukan anestesi spinal tidak mempunyai efek yang signifikan dalam mencegah terjadinya
hipotensi. Hal ini juga dibenarkan oleh Buggy et al. Berbeda dengan Arndt et al. dia mengatakan
bahwa prehidrasi dapat secara signifikan menurunkan insidensi terjadinya hipotensi, namun
hanya dalam waktu 15 menit pertama setelah dilakukan anestesi spinal.

Penurunan tekanan darah dapat dicegah dengan pemberian preloading cairan kristaloid.
Namun hal ini tergantung dari waktu pemberian cairan tersebut. Dia mengatakan pemberian 20
ml/kg ringer laktat (RL) sesaat setelah dilakukan anestesi spinal dapat secara efektif menurunkan
frekuensi terjadinya hipotensi, bila dibandingkan dengan preloading 20 menit atau lebih sebelum
dilakukan anestesi spinal.

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 22


Gambar. Perbandingan pengaruh pemberian kristaloid sebelum dan
sesaat anestesi spinal terhadap tekanan darah

Efek posisi trendelenburg, ringer laktat, dan HES 6% terhadap curah jantung setelah
anestesi spinal didapatkan bahwa ketiga cara diatas dapat mencegah terjadinya penurunan curah
jantung. Pemberian RL (kristaloid) maupun HES 6 % (koloid) pada saat anestesi spinal, ternyata
tidak hanya dapat mencegah penurunan curah jantung, tapi dapat meningkatkan curah jantung.
Namun saat efek kristaloid mulai berkurang terhadap curah jantung akibat cepatnya kristaloid
berdifusi ke ruang interstitial, koloid masih dapat bertahan di intravaskuler dan masih dapat
mempertahankan curah jantung. Namun dari segi ekonomis koloid lebih mahal dibandingkan
kristaloid, dan koloid dapat menyebabkan terjadinya anafilaksis walaupun sedikit angka
kejadiannya.

Pemberian ephedrine sebelum anestesi spinal juga dapat digunakan sebagai tindakan
preventif terjadinya hipotensi. Dalam penelitiannya dengan pemberian 5 mg ephedrine IV
(bolus) dapat mengurangi insidensi terjadinya hipotensi. Dalam penelitiannya yang lain,
dikatakan pemberian ephedrine intramuskuler masih dalam perdebatan, karena absorbsi sistemik
dan peak effect dari pemberian intramuskuler sulit diprediksi. Penggunaan infus vasopresor
terutama ephedrine sebagai profilaksis, secara signifikan dapat mengurangi insidensi terjadinya

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 23


hipotensi dibandingkan dengan prehidrasi menggunakan kristaloid. Pada penelitian tersebut tidak
didapatkan adanya hipertensi pada pasien yang diberikan infus ephedrine.

Pemberian atropine IV setelah preloading dengan kristaloid dapat menurunan angka


kejadian hipotensi dan menurunkan penggunaan ephedrine. Pada penelitiannya terhadap 75
pasien, dimana 25 pasien diberikan placebo, 25 pasien diberikan 5 μg atropine IV, dan 25 pasien
diberikan 10 μg atropine IV, didapatkan hasil angka kejadian hipotensi berturut-turut adalah 76
%, 52 % dan 40 %. Dan pada penelitian tersebut, efek samping seperti angina, perubahan ST
segmen pada EKG dan confusion tidak didapatkan. Penelitian ini dibatasi untuk tidak diberikan
pada pasien dengan riwayat penyakit jantung iskemik dan pasien yang menggunakan β bloker.
Lim, et.al., mengatakan bahwa pemberian atropine secara rutin sebagai premedikasi pada
anestesi spinal tidak direkomendasikan, namun pemberian atropine dapat dipertimbangkan pada
pasien-pasien dengan baseline laju nadi yang rendah maupun pasien dengan baseline hipotensi
dan bradikardi.

2. Penatalaksanaan hipotensi

Derajat hipotensi yang membutuhkan terapi aktif masih dalam perdebatan, hal ini
disebabkan karena adanya data-data ilmiah yang menunjukkan bahwa hipotensi masih dapat
ditoleransi pada pasien yang sehat. Penatalaksanaan hipotensi pada anestesi spinal tergantung
pada penyebab dasarnya. Jika terjadi hipotensi secara mendadak yang kemudian diikuti dengan
bradikardia dan nausea, hal ini mungkin disebabkan akibat vasovagal syncope. Atropine dapat
diberikan pada keadaan ini, namun tidak se-efektif bila diberikan vasopresor.

Untuk mengatasi hipotensi secara efektif, penyebab utama dari hipotensi harus dikoreksi.
Penurunan curah jantung dan venous return harus diatasi, pemberian kristaloid sering kali
berguna untuk memperbaiki venous return. Dalam prakteknya pemberian preloading 500 – 1500
ml kristaloid dapat menurunkan terjadinya hipotensi, walaupun pada beberapa penelitian lain
tidak efektif. Pada pasien tanpa adanya gangguan pada target organ dan asimptomatik, dengan
penurunan tekanan darah mencapai 33 % belum perlu perlu dikoreksi.

Monitoring tekanan darah dan juga pemberian suplemen oksigen harus diperhatikan pada
anestesi spinal. Pemberian cairan juga harus dimonitor secara hati-hati, karena pemberian cairan
yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya congestive heart failure, oedem paru, ataupun

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 24


keduanya. Penggunaan hanya dengan cairan intra vena tidak cukup efektif dalam penanganan
hipotensi akibat anestesi spinal. Respon tekanan darah terhadap pemberian cairan intra vena
membutuhkan waktu beberapa menit, sedangkan pada beberapa kasus hal itu tidak cukup cepat,
oleh karena itu sebagai obat pilihan utama diberikan vasopresor. Jika sudah ada indikasi
penatalaksanaan dengan medikamentosa, vasopresor merupakan pilihan obat utamanya.
Kombinasi α dan β adrenergik agonis lebih baik dari pada α agonis murni dalam menangani
penurunan tekanan darah, ephedrine merupakan obat pilihan utamanya. Dengan ephedrine curah
jantung dan resistensi vaskuler perifer dapat meningkat, sehingga dapat meningkatkan tekanan
darah.

Secara fisiologis penatalaksanaan hipotensi adalah dengan mengembalikan preload. Cara


yang efektif adalah dengan memposisikan pasien menjadi trendelenburg atau dengan head down.
Posisi ini tidak boleh lebih dari 20 °, karena dengan posisi trendelenburg yang terlalu ekstrim
dapat menyebabkan penurunan prefusi cerebral dan dapat meningkatkan tekanan vena jugularis,
dan bila ketinggian blok pada anestesi spinal belum menetap, posisi trendelenburg dapat
meningkatkan ketinggian level blok pada pasien yang mendapatkan agen hiperbarik, yang dapat
memperburuk keadaan hipotensinya. Hal ini dapat dihindari dengan menaikkan bagian atas
tubuh menggunakan bantal dibawah bahu ketika bagian bawah tubuh sedikit dinaikkan diatas
jantung.

Algoritme penatalaksanaan hipotensi pada anestesi spinal :

Pada pasien sehat

Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih, dilakukan loading cairan
kristaloid 500 – 1000 ml dengan mempertimbangkan diberikan vasopresor, bila laju nadi
sekitar 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 5 – 10 mg IV, dan bila laju nadi sekitar 80
kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 50 – 100 mcg IV, pemberian vasopresor tersebut
dapat diulang setiap 2 – 3 mnt bila perlu sampai tekanan darah kembali normal. Perlu
dipertimbangkan juga untuk mengubah posisi menjadi trendelenburg.

Pada pasien dengan adanya penyakit jantung dan kardiovaskuler serta penyakit di susunan
saraf pusat

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 25


Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih dan ditemukan adanya
gejala seperti nausea vomitus, nyeri dada, dsb.

Dengan laju nadi 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 10 – 20 mg IV, jika tidak ada respon
sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan epinephrine 8 – 16 mg IV atau infus titrasi
epinephrine 0.15 – 0.3 mcg/kg/min.

Dengan laju nadi 80 kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 100 – 200 mcg IV, jika tidak
ada respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan infus titrasi phenylephrine 0.15
– 0.75 mcg/kg/min atau infus titrasi norepinephrine 0.01 – 0.1 mcg/kg/min.

Algoritme Penatalaksanaan Hipotensi Pada Anestesi Spinal

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 26


3. Ephedrine

Ephedrine memiliki efek kardiovaskuler seperti epinephrine, dapat meningkatkan tekanan


darah, laju nadi, kontraktilitas, dan curah jantung. Ephedrine juga memiliki efek bronkodilator.
Perbedaannya, ephedrine memiliki durasi yang lebih panjang, kurang poten, memiliki efek
langsung maupun tidak langsung dan dapat menstimulasi susunan saraf pusat. Efek tidak
langsung dari ephedrine dapat menstimulasi sentral, melepaskan norepinephrine perifer
postsinaps, dan menghambat reuptake norepinephrine. Efek tidak langsungnya dapat
meningkatkan vasokonstriksi dengan jalan meningkatkan pelepasan dari noradrenaline dan
menstimulasi secara langsung kedua reseptor (ß) beta untuk meningkatkan curah jantung, laju
nadi, tekanan darah sistolik dan diastolik.

Ephedrine tidak menyebabkan penurunan uterine blood flow, sehingga dapat digunakan
sebagai vasopresor kasus-kasus obstetri. Ephedrine juga memiliki efek antiemetik. Pada dewasa,
dosis yang digunakan adalah 5 – 10 mg IV dengan durasi 5 – 10 menit atau 25 mg IM dengan
durasi yang lebih panjang. Dapat pula diberikan dalam infus, dengan dosis 25 – 30 mg ephedrine
dalam 1 liter ringer laktat. Dosis untuk anak-anak dapat diberikan dengan dosis 0.1 mg/kg.

III. SEKSIO SESARIA


A. Definisi7.9
Istilah seksio sesarea berasal dari bahasa Latin “caedere” yang artinya “memotong”.
Dalam hukum Roma terdapat hukum lex zaesarea. Dalam hukum ini dijelaskan bahwa prosedur
tersebut dijalankan di akhir kehamilan pada seorang wanita yang sekarat demi untuk
menyelamatkan calon bayi. seksio sesarea didefinisikan sebagai lahirnya janin melalui sayatan
di dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi).
Seksio sesarea biasanya dilakukan jika ada gangguan pada salah satu dari dua faktor
yang terlibat dalam proses persalinan yang menyebabkan persalinan tidak dapat berjalan lancar
dan bila dibiarkan maka dapat terjadi komplikasi yang dapat membahayakan ibu dan janin.
Indikasi seksio sesarea terbagi atas dua indikasi, yaitu indikasi medis dan indikasi nonmedis :

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 27


B. Indikasi Seksio Sesarea7.9
Indikasi medis, dua faktor indikasi medis seksio sesarea adalah :
Faktor ibu
- Disproporsi Sefalopelvik
Pengukuran panggul (pelvimetri) merupakan cara pemeriksaan yang penting
untuk mendapat keterangan lebih banyak tentang keadaan panggul. Pelvimetri
dalam dengan tangan mempunyai arti yang penting untuk menilai secara kasar pintu atas
panggul serta panggul tengah, dan memberi gambaran tentang pintu bawah panggul.
- Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kalinya dan telah berusia lebih dari 35 tahun
memiliki risiko melahirkan dengan seksio sesarea karena pada usia tersebut ibu memiliki
penyakit yang beresiko seperti hipertensi, jantung, diabetes melitus, dan preeklamsia.
- Infeksi
Penyakit akibat hubungan seksual antara lain : Gonorea, Chlamydia Trachomatis,
Herpes Simpleks, AIDS, Hepatitis Infeksiosa

HAP (Haemorage Ante Partum)


Plasenta Previa
Posisi plasenta terletak di bawah rahim dan menutupi sebagian dan atau seluruh
jalan lahir. Dalam keadaan ini, plasenta mungkin lahir lebih dahulu dari janin. Hal ini
menyebabkan janin kekurangan oksigen dan nutrisi yang biasanya diperoleh lewat plasenta. Bila
tidak dilakukan sectio caesarea, dikhawatirkan terjadi perdarahan pada tempat implantasi
plasenta sehingga serviks dan Segmen Bawah Rahim menjadi tipis dan mudah robek.

Solusio Placenta
Keadaan dimana plasenta lepas lebih cepat dari korpus uteri sebelum janin lahir. seksio
sesarea dilakukan untuk mencegah kekurangan oksigen atau keracunan air ketuban pada janin.
Terlepasnya plasenta ditandai dengan perdarahan yang banyak, baik pervaginam maupun yang
menumpuk di dalam rahim.

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 28


Kelainan tali pusat
Neoplasma
Riwayat infertilitas
Diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang memiliki anak setelah setahun (12 bulan)
menikah tanpa adanya usaha menghalangi kehamilan. Wanita denga riwayat infertilitas rentan
mengalami penyulit dikehamilannya, seperti kelainan letak, usia tua, hipertensi dan obesitas.
Seksio sesarea dilakukan jika ditemukan partus yang tak maju dengan penyulit.

Ketuban pecah dini


Ketuban pecah dini adalah ketuban yang pecah sebelum proses persalinan berlangsung,
bisa diakibatkan oleh berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya tekanan
intrauterin. Seksio sesarea dilakukan jika ketuban pecah sudah terlalu lama.

Insisi uterus sebelumnya


Insisi uterus sebelumnya seperti miomectomi atau operasi seksio sesarea pada kelahiran
sebelumnya yang bisa membuat dinding uterus jadi lemah dan mudah terjadi ruptur uterus
jika dilakukan persalinan normal.
Tingkat pendidikan
Ibu dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatannya selama
kehamilan bila dibanding dengan ibu yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Pendidikan ibu
merupakan salah satu faktor penting dalam usaha menjaga kesehatan ibu, anak dan juga
keluarga. Semakin tinggi pendidikan formal seorang ibu diharapkan semakin meningkat
pengetahuan dan kesadarannya mengantisipasi kesulitan dalam kehamilan dan persalinannya,
sehingga timbul dorongan untuk melakukan pengawasan kehamilan secara berkala dan teratur.

Partus tak maju


Partus tak maju adalah suatu persalinan dengan his yang adekuat yang tidak
menunjukan kemajuan pada pembukaan serviks, turunnya kepala, dan putar paksi dalam
selama 2 jam terakhir. Partus tak maju dapat disebabkan oleh kelainan letak janin, kelainan
panggul, kelainan his, pimpinan partus yang salah, janin besar, primi tua, dan ketuban pecah dini.
Partus tak maju adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primipara,

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 29


dan lebih dari 18 jam pada multipara. Dilakukannya seksio sesarea jika sudah timbul gejala
seperti dehidrasi, kelelahan ibu, asfiksia.
Preeklampsia dan Eklampsia
Preeklampsia adalah penyakit dengan tanda hipertensi, edema, dan proteinuria
yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan.
Eklampsia adalah memburuknya keadaan preeklampsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala
di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual, nyeri di epigastrium, dan hiperefleksia. Bila
keadaan ini tidak dikenal dan tidak disegera obati, akan timbul kejang. Setelah kejang dapat
diatasi dan keadaan umum penderita dapat diperbaiki, maka direncanakan untuk mengakhiri
kehamilan atau mempercepat persalinan dengan cara yang aman. Dapat dilakukan dengan seksio
sesarea (jika pasien belum inpartu, terdapat fase laten yang lama, dan adanya gawat janin) atau
dengan induksi persalinan pervaginam, hal tersebut tergantung dari banyak faktor, seperti
keadaan serviks, komplikasi obstetrik, paritas, adanya ahli anestesi, dan sebagainya.

Faktor Janin
- Janin besar
- Gawat janin
- Letak lintang
- Letak lintang
- Bayi Abnormal
- Bayi kembar (Gemelly)

Indikasi nonmedis
Indikasi social
Menurut penelitian yang dilakukan sebuah badan di Washington DC menunjukkan bahwa
setengah dari jumlah persalinan seksio sesarea, yang secara medis sebenarnya tidak
diperlukan. Artinya tidak ada kedaruratan persalinan untuk menyelamatkan ibu dan janin yang
dikandungnya. Indikasi sosial timbul oleh karena permintaan pasien walaupun tidak ada
masalah atau kesulitan dalam persalinan normal. Hal ini didukung oleh adanya mitos-mitos yang
berkembang di masyarakat.

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 30


III. PRE EKAMSIA

A. Definisi preeklampsia8
Preeklampsia merupakan suatu penyakit hipertensi yang terjadi setelah umur kehamilan
20 minggu disertai dengan proteinuria.4 Dahulu, preeklampsia didefinisikan sebagai penyakit
dengan 3 tanda yaitu: hipertensi, edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit
ini terjadi pada triwulan ke-3 kehamilan tetapi dapat juga terjadi sebelumnya, misalnya pada
mola hidatidosa.3
B. Etiologi dan patofisiologi
Hingga saat ini penyebab preeklampsia belum diketahui dengan pasti. Beberapa teori
telah dikemukakan tentang hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori tersebut
yang dianggap mutlak benar. Adapun teori-teori yang saat ini banyak diterima adalah sebagi
berikut:3
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Terjadinya kegagalan remodelling arteri spiralis yang karena tidak terjadinya invasi
tropoblas pada arteri spiralis dan jaringan matriks di sekitarnya sehingga lumen arteri spiralis
tidak mengalami distensi dan vasodilatasi Hal ini menyebabkan aliran darah uteroplasenta
menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
b. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Iskemia plasenta akan menyebabkan terbentuknya radikal bebas atau oksidan yang beredar
dalam sirkulasi sehingga disebut toxaemia. Radikal bebas akan mengikat asam lemak tak jenuh
menjadi peroksida lemak yang akan merusak endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel
pembuluh darah menyebabkan disfungsi endotel dan berakibat sebagai berikut:

 Gangguan metabolisme prostaglandin sehingga protasiklin sebagai vasodilator kuat


menurun
 Agregasi trombosit pada endotel yang rusak dan produksi tromboksan sebagai
vasokonstriktor kuat
 Perubahan endotel glomerolus ginjal
 Peningkatan permeabilitas kapiler
 Peningkatan bahan vasopresor endotelin dan penurunan nitrit oxide (NO)
 Peningkatan faktor koagulasi

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 31


c. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Hasil konsepsi pada kehamilan normal tidak terjadi penolakan karena adanya HLA-G pada
plasenta sehingga melindungi tropoblas dari lisis oleh sel NK ibu. HLA-G juga akan membantu
invasi tropoblas pada jaringan desidua ibu. Pada penurunan HLA-G, invasi tropoblas terhambat
sehingga tidak terjadi dilatasi arteri spiralis.
d. Teori adaptasi kardiovaskulatori genetik
Pada wanita hamil normal, terjadi refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor
sehingga membutuhkan kadar yang tinggi untuk menyebabkan vasokonstriksi, hal tersebut
terjadi karena adanay perlindungan protasiklin. Pada keadaan menurunnya protasiklin maka
kepekaan terhadap vasokonstriktor meningkat sehingga mudah terjadi vasokonstriksi.
e. Teori genetik
Adanya faktor keturunan dan familial dengan gen tunggal. Genotipe ibu lebih menentukan
terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial dibanding dengan genotip janin. Terbukti
bahwa ibu dengan preeklampsia memungkinkan 26% anak perempuannya juga mengalami
preeklampsia. Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada penderita preeklampsia
adalah peningkatan Human leukocyte antigen (HLA). Menurut beberapa peneliti,wanita hamil
yang mempunyai HLA dengan haplotipe A 23/29, B 44 dan DR 7 memiliki resiko lebih tinggi
menderita preeklampsia dan pertumbuhan janin terhambat.
f. Teori defisiensi gizi
Penelitian membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk minyak hati halibut, dapat
mengurangi risiko preeklampsia. Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tak jenuh yang
akan menghambat terbentuknya tromboksan, aktivasi trombosit dan vasokonstriksi pembuluh
darah. Konsumsi kalsium menurut penelitian juga menurunkan insidensi preeklampsia. Selain
itu, beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsiumm pada diet perempuan hamil
mengakibatkan risiko terjadinya preeklampsia/eklampsia.
g. Teori stimulasi inflamasi
Lepasnya debris tropoblas didalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya
proses inflamasi. Pada kehamilan normal , plasenta juga melepaskan debris tropoblas sebagai
sisa proses apoptosis dan nekrotik akibat stres oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai benda asing
yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal jumlahnya
dalam batas wajar. Bebeda dengan kehamilan pada preeklampsia, dimana terjadi peningkatan

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 32


stress oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik tropoblas juga meningkat.
Makin banyak sel tropoblas plasenta, mislanya pada plasenta yang besar, kehamilan ganda, dan
mola maka debrisnya juga semakin banyak dan terjadi reaksi sistemik inflamasi pada ibu.
Respons inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel dan sel-sel makrofag/granulosit yang lebih
besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala preeklampsia
pada ibu.
C. Faktor predisposisi8
Wanita hamil cenderung dan mudah mengalami pre-eklampsia bila mempunyai faktor-
faktor predisposing sebagai berikut:3,5
 Paritas
Dari penelitian didapatkan bahwa Primigravida mengalami kejadian preeklampsia dan
eklamsia sebesar 3-8 % dari semua kasus hipertensi pada kehamilan.13 Dan faktor yang
mempengaruhi preeklampsia dan eklamsia lebih tinggi frekuensinya pada primigravida
dibandingkan dengan multigravida, terutama pada primigravida dengan usia muda.
 Kehamilan ganda
 Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel, bayi besar
 Usia < 20 atau > 35 th (umur yang ektrem)
 Riwayat pre-eklampsia, eklampsia pada kehamilan sebelumnya
 Riwayat dalam keluarga pernah menderita pre-eklampsia
 Penyakit ginjal, hipertensi dan diabetes melitus yang sudah ada sebelum kehamilan
 Obesitas.

D. Manifestasi klinis pada penderita preeklampsia8


 Kardiovaskuler : vasospasme menyeluruh, resistensi pembuluh darah perifer meningkat,
stroke work index ventrikel kiri meningkat, central venous pressure menurun, pulmonary
wedge pressure menurun.
 Hematologi : volume plasma menurun, viskositas darah meningkat,
hemokonsentrasi, koagulopati.
 Ginjal : glomerular filtration rate menurun, renal plasma flow
menurun, uric acid clearence menurun
 Hepar : necrosis periportal, kerusakan hepatoselluler, subcapsular

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 33


hematome.
 Sistem Saraf Pusat : edema serebri dan perdarahan cerebri.
 Otak : Tekanan darah meningkat, cerebral perfusion pressure
meningkat dari 60-120 mmHg pada kondisis normal
menjadi 130-150 mmHg, akan terjadi kegagalan
autoregulasi sehingga pembuluh darah vasodilatasi yang
akhirnya menimbulkan iskemia, terjadi peningkatan
permeabilitas pembuluh darah otak, eksudasi plasma,
edema otak, kompresi pembuluh darah otak sehingga
aliran darah otak menurun. Pada CT scan otak
didapatkan: edema cerebral, perdarahan otak
(diintraventrikular, bisa diparenkim), infark otak.
E. Klasifikasi8
Preeklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
a. Preeklampsia ringan
 Definisi: Suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi organ yang
berakibat vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel.
 Kriteria diagnostik : hipertensi dan proteinuria dengan atau tanpa udema setelah usia
kehamilan 20 minggu.
- Tekanan darah  140/90 mmHg yang diukur pada posisi terlentang; kenaikan
sistolik  30 mmHg; atau kenaikan tekanan diastolik  15 mmHg tidak dipakai
sebagai kriteria preeclampsia. Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali
pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 4 jam.
- Proteinuria kuantitatif  300 mg/24 jam ataui ≥ +1 dipstik; pada urin kateter atau
mid stream
- Edema : lokal pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria diagnostik kecuali
anasarka
 Manajemen umum preeklampsia ringan
- Rawat jalan : ibu hamil dengan preeklampsia ringan dianjurkan banyak
istirahatdengan posisi miring kekiri dan diet mengandung 2 gram natrium
atau 4-6 gram NaCL serta diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 34


roboransia pranatal. Tidak diberikan obat-obat diuretik, antihipertensi, dan
sedatif. Dilakukan pemeriksaan laboratprium hemoglobin, hematokrit, fungsi
hati, urin lengkap dan fungsi ginjal.
- Rawat inap dengan kriteria: (a) bila tidak ada perbaikan tekanan darah, kadar
proteinuria selama 2 minggu; (b) adanya satu atau lebih gejala dan tanda-
tanda preeklampsia berat
- Perawatan obstetrok yaitu sikap terhadap kehamilan: (a) pada kehamilan
preterm (<37 minggu), bila tekanan darah mencapai normotensif selama
perawatan, persalinannya ditunggu sampai aterm; (b) pada kehamilan aterm
(>37 minggu) persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau
dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal
persalinan. Persalinan daat dilakukan secara spontan, bila perlu
memperpendek kala II.
 Tujuan utama perawatan preeklampsiaRawat jalan
Mencegah kejang , perdarahan intrakranial, mencegah gangguan fungsi organ vital,
dan melahirkan bayi sehat.
b. Preeklampsia berat
 Definisi: preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≥110 mmHg disertai proteinuria lebih dari 5 gram/24 jam.
 Preeklampsia digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih gejala:

- Tekanan sistole 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastole 110 mmHg atau
lebih dan tidak turun walaupun sudah menjalani perawatan di RS dan tirah
baring
- Proteinuria 5 gr atau lebih per jumlah urin selama 24 jam atau +4 dipstik
- Oliguria, air kencing kurang dari 500 cc dalam 24 jam.
- Kenaikan kreatinin serum
- Gangguan visus dan serebral; penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan
pandangan kabur
- Nyeri di daerah epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen karena
teregangnya kapsula Glisson
- Terjadi edema paru-paru dan sianosis
KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 35
- Hemolisis mikroangiopatik
- Terjadi gangguan fungsi hepar peningkatan SGOT dan SGPT
- Pertumbuhan janin terhambat
- Trombositopenia berat (< 100.000 sel/mm3) atau penurunan trombosit dengan
cepat
- Sindroma HELLP.
 Pembagian preeklampsia berat:
- Preeklampsia berat dengan impending eklampsia
Menurut Organization Gestosis, impending eklampsia adalah gejala-gejala
edema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan obyektif. Gejala
subyektif antara lain : nyeri kepala, gangguan visual dan nyeri epigastrium.
Sedangkan gejala obyektif antara lain hiperreflexia, eksitasi motorik dan
sianosis.3
- Preeklampsia berat tanpa impending eklampsia

 Perawatan dan pengobatan preeklampsia berat


Pengelolaan preeklampsia dan eklamsia mencakup pencegahan kejang, pengobatan
hi[ertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang
terlibat dan saat yang tepat untuyk persalinan.
 Monitoring selama di rumah sakit
Pemeriksaan sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda-tanda klinik
berupa: nyeri kepala, gangguan visus, nyeri episgatrium, dan kenaikan cepat berat
badan. Selain itu, perlu dilakukan penimbangan berat bdan, pengukuran proteinuria,
pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, pemriksaan USG dan NST.
 Manajemen umum perawatan preeklampsia berat, dibagi menjadi 2:
- Sikap terhadap penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau terapi medisialis
- Sikap terhadap kehamilannya
 Sikap terhadap penyakit
 Penderita PEB harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inao dan dianjurkan
tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada PEB adalah
pengelolaan cairan atau monitoring input cairan (melalui oral atau infus) dan

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 36


out[ut cairan (melalui urin, sebab PEB memiliki risiko untuk terjadi edema paru
dan oligouria)
 Pemberian obat anti kejang, berupa: MgSO4 dan obat-obat lainnya yang dipakai
untuk anti kejang adalah diasepam dan fenitoin. Pemberian magnesium sulfat
lebih efektif dan banyak dipakai di Indonesia. Magnesium sulfat dapat
menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf
dengan menghambat transmisi neuromuskular, transmisi neuromuskular
membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat,
magnesiuma akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidka terjadi
(terjadi kompetitif inhibitor antara ion kalsium dan ion magnesium). Cara
pemberian :

Syarat pemberian SM :

- Reflex patella harus positif -Respiration rate > 16 /m


- Produksi urine dalam 4 jam 100cc
- Tersedia antidotum MGSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu calcium glukonas
10 %. Bila timbul gejala intoksikasi SM dapat diberikan injeksi Calcium
gluconas 10 %, iv pelan-pelan dalam waktu 3 menit Bila refrakter terhadap
SM dapat diberikan preparat berikut:
- 1.Sodium thiopental 100 mg iv
- 2.Diazepam 10 mg iv
- 3.Sodium amobarbital 250 mg iv

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 37


- 4.Phenytoin dengan dosis :-Dosis awal 100 mg iv-16,7 mg/menit/1
jam500 g oral setelah 10 jam dosis awal diberikan selama 14 jam .
 Diuretikum, tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah
jantung kongesif atau anasarka, yaitu furosemida.
 Pemberian anti hipertensi: Antihipertensi yang secara mutlak harus dihindari adalah:
diazokside, ketaanserin, nimodipin, dan magnesium sulfat.
 Antihipertensi lini pertama
Nifedipin : dosis 10-20 mg per oral, diulangi setalah 30 menit; maksimum 120
mg dalam 24 jam.
 Antihipertensi lini kedua adalah sodium nitroprusside dan diazokside
 Anti hipertensi yang sedang dalam penelitian ialah calcium channel blockers dan
serotinin reseptor antagonis
 Sikap terhadap kehamilan
- Aktif (agressive management): berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi
bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa. Indikasi perawatan
aktif bila didapatkan satu/lebih keadaan dibawah ini:
a. Ibu
- Umur kehamilan ≥ 37 minggu.
- Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eclampsia
- Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik
dan laboratorik memburuk.
- Diduga solusio plasenta
- Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
b. Janin
- Adanya tanda-tanda fetal distress
- Adanya tanda-tanda intra uterine groeth restriction (IUGR)
- NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
- Terjaidnya oligohidroamnion (Oligohidramnion adalah suatu keadaan
dimana air ketuban kurang dari normal, yaitu kurang dari 500 cc)
c. Laboratorik : adanya tanda-tanda HELLP syndrom, khususnya
menurunnya trombosit dengan cepat.

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 38


 Cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan)
dilakukan berdasarkan keadaan obstetrik pada waktu itu, apalah sudah
inpartu atau belum. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap
dipertahankan bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa.
Dengan indikasi: bila kehamilan ≤ 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda
impending eclamsia dengan keadaan janin baik.
- Perawatan konservatif, bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu tanpa disertai tanda-
tanda impending eclampsiadengan keadaan janin baik. Siakp terhadap kehamilan
adalah observasi dan evaluasi, kehamilan tidak diakhiri. Diberi pengobatan yang
sama dengan pengobatan medikamentosa pada pengelolaan secara aktif.
Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklampsia
ringan, selambatnya dalam eaktu 24 jam, bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan
, dianggap sebagai kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi.

F. Komplikasi Preeklampsia/eklamsia8
Nyeri epigastrium menunjukkan telah terjadinya kerusakan pada liver dalam
bentuk kemungkinan:3
 Perdarahan subkapsular
 Perdarahan periportal sistem dan infark liver.
 Edema parenkim liver.
 Peningkatan pengeluaran enzim liver.
Tekanan darah dapat meningkat sehingga menimbulkan kegagalan dari kemampuan
sistem otonom aliran darah sistem saraf pusat (ke otak) dan menimbulkan berbagai bentuk
kelainan patologis sebagai berikut:3

1) Edema otak karena permeabilitas kapiler bertambah

2) Iskemia yang menimbulkan infark serebal

3) Edema dan perdarahan menimbulkan nekrosis

4) Edema dan perdarahan pada batang otak dan retina

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 39


5) Dapat terjadi herniasi batang otak yang menekan pusat vital medula oblongata.
Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan bayi
hidup dari ibu yang menderita preeklampsia dan eklamsia.

Komplikasi dibawah ini yang biasa terjadi pada preeklampsia berat dan eklamsia :

a. Solusio plasenta. Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan
lebih sering terjadi pada preeklampsia.
b. Hipofibrinogenemia. Biasanya terjadi pada preeklampsia berat. Oleh karena itu
dianjurkan untuk pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala.
c. Hemolisis. Penderita dengan preeklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala
klinik hemolisis yang dikenal dengan ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah
ini merupakan kerusakkan sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal
hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklamsia dapat menerangkan
ikterus tersebut.
d. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklamsia.
e. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai
seminggu dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina. Hal ini
merupakan tanda gawat akan terjadi apopleksia serebri.
f. Edema paru-paru. Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan
karena bronkopneumonia sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan abses
paru-paru.
g. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada preeklampsia/eklamsia merupakan akibat
vasospasme arteriole umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklamsia, tetapi ternyata
juga dapat ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui
dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
h. Sindroma HELLP yaitu haemolysis, elevated liver enzymes dan low platelet
merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa gangguan fungsi hati,
hepatoseluler (peningkatan enzim hati [SGPT,SGOT], gejala subjektif [cepat lelah,
mual, muntah, nyeriepigastrium], hemolisis akibat kerusakan membran eritrosit oleh
radikal bebas asam lemak jenuh dan tak jenuh. Trombositopenia (<150.000/cc),

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 40


agregasi (adhesi trombosit di dinding vaskuler), kerusakan tromboksan
(vasokonstriktor kuat), lisosom. Terapi medikamentosa preeklampsia-eklampsia :
 Melakukan monitoring kadar trombosit tiap 12 jam. Bial trombosit < 50.000/ml
atau ada tanda koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa waktu protrombin,
waktu tromboplastin parsial, dan fibrinogen.
 Jika kadar trombosit < 100.00/ml atau 100.000-150.000/ml dengan disertai
tanda-tanda eklampsia, hipertensi berat, nyeri epigastrium, maka diberikan
deksamethason 10 mg. i.v. tiap 12 jam. Pada postpartum diberikan 10 mg i.v.
tiap 12 jam 2 kali, kemudian diikuti 5 mg i.v. tiap 12 jam 2 kali. Terapi
deksamethason dihentikan bila terjadi perbaikan laboratorium yaitu trombosit >
100.000/ml dan penurunan LDH serta perbaikan tanda dan gejala-gejala klinik
preeklampsia-eklampsia. Pertimbangkan transfusi trombosit jika <50.000/ml dan
antioksidan.
 Sikap tehadap obstetrik adalah aktif yaitu kehamilan diakhiri (terminasi) tanpa
memandang umur kehamilan. Persalinan dapat dilakukan pervaginam atau
perabdominam.
i. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur yang lainnya.
Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
j. Komplikasi lain. Tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh akibat kejang-kejang,
pneumonia aspirasi dan DIC (disseminated intravascular cogulation).
k. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 41


BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. N
Umur : 29 tahun
Berat badan : 65 Kg
Tinggi badan : 150 cm
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Dayun
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Tanggal masuk RS : 13/10/2015. Jam 14.55 Wib
No. RM : 155606

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Tekanan darah tinggi
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan rujukan Puskesmas Dayun G1P0A0H0 Gravid 40 minggu +
Hipertensi dalam kehamilan, Janin tunggal Hidup intra uteri.

Keluhan tekanan darah tinggi dirasakan sejak satu minggu sebelum masuk RS.
Keluhan disertai dengan nyeri pinggang dan perut mules-mules. Pasien juga
mengeluhkan keluar air-air bercampur darah, mual dan muntah muntah. Keluhan
nyeri kepala, pandangan terasa kabur, dan kejang disangkal. Periksa kehamilan rutin
satu bulan sekali dengan bidan atau dokter puskesmas, tidak ada dikatakan adanya
tekanan darah tinggi. pemeriksaan USG sebanyak 2 kali dan dikatakann janin dalam
keadaan sehat.

- HPHT : 05-01-2015

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 42


- TP : 12-10-2015
- Riwayat persalinan :
G1P0A0
G1 : hamil sekarang

- Riwayat perkawinan : satu kali menikah


- Riwayat kontrasepsi : tidak diketahui
- Riwayat hipertensi dalam kehamilan (+)
- Pasien terakhir makan dan minum jam 11.30 WIB

c. Riwayat Penyakit Dahulu:


- Riwayat penyakit hipertensi : disangkal
- Riwayat penyakit DM : disangkal
- Riwayat penyakit alergi : disangkal
- Riwayat penyakit asma : disangkal
- Riwayat operasi sebelumnya : disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga:


- Riwayat penyakit hipertensi : disangkal
- Riwayat penyakit DM : disangkal
- Riwayat penyakit alergi : disangkal
- Riwayat penyakit asma : disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Vital Sign
- Tekanan darah : 180/100 mmHg
- Respirasi : 20 kali/menit
- Nadi : 88 /menit

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 43


- Suhu : 36C
Kepala
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Hidung : Discharge (-) epistaksis (-), deviasi septum (-)
Mulut : Bibir kering (-), hiperemis (-), pembesaran tonsil (-)
Gigi : Gigi palsu (-)
Telinga : Discharge (-), deformitas (-)
Leher : Pembesaran tiroid dan limfe (-)
Thorax :
Paru :
Inspeksi : bentuk dada normal, gerakan dada simetris kanan-kiri, retraksi
dinding dada (-)
Palpasi : vokal fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Bronkovesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis teraba
Perkusi : batas jantung kanan di RIC 4 linea parasternalis dextra, batas
jantung kiri di RIC 4 linea midclavicularis sinistra.
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : status obstetri


Extremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema tungkai bawah (+/+)
Vertebra : Tidak ada kelainan

b. Status Obstetri
Inpeksi : perut tampak membesar sesuai usia kehamilan, striae gravidarum
(+), linea nigra (+)
Palpasi
Leopold I : TFU 3 jari di bawah proc.xypoideus, fundus teraba massa lunak

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 44


Leopold II : - kanan (teraba massa padat kotinue)
- kiri (teraba massa kecil-kecil tak kontinue)
Leopold III : presentasi kepala
Leopold IV : sudah masuk PAP

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Tanggal 02-11-2014
Pemeriksaan darah lengkap :
Hb : 9,9 g/dl
Leukosit : 8.600 ul
Ht : 28,5 %
Trombosit : 308.000/ul

Urine rutin
Protein urin : Positif (+)

V. DIAGNOSIS KLINIS
Diagnosis pre operasi: G1P0A0 gravid aterm + Pre Eklamsia Berat

Diagnosis post operasi: P1A0H1 post seksio sesarea

VI. STATUS ANESTESI


Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
Serta perubahan anatomi dan fisiologi dalam masa kehamilan

VII. TINDAKAN
Dilakukan : seksio sesarea
Tanggal : 13 Oktober 2015

VIII. LAPORAN ANESTESI


a. Persiapan Anestesi

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 45


- Informed concent
- Puasa
Pengosongan lambung, penting untuk mencegah aspirasi isi lambung karena
regurgitasi. Untuk dewasa dipuasakan 6-8 jam sebelum operasi
- Pemasangan IV line
Sudah terpasang jalur intravena menggunakan IV catheter ukuran 18 atau
menyesuaikan keadaan pasien dimana dipilih ukuran yang paling maksimal
bisa dipasang.
- Dilakukan pemasangan monitor tekanan darah, nadi dan saturasi O2

b. Penatalaksanaan Anestesi
Jenis anestesi : Spinal Anastesi
Premedikasi :
- Ondansetron IV 4 mg
- Ketorolak IV 30 mg
Medikasi intra operatif:
- Buvacain 12,5 mg
- Fentanyl 25 mg
Medikasi post operatif:
- Fentanyl 100 mg, ondansetron 8 mg, oksitosin 10 iu : dalalm 5000 cc RL  20
tpm.
Teknik anestesi :
Pada pasien ini dilakukan jenis anestesi spinal yang mulai dilakukan dengan
posisi pasien duduk tegak dan kepala menunduk hingga prossesus spinosus mudah
teraba, lalu ditentukan tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian disterilkan
tempat tusukan dengan alkohol dan betadin. Jarum spinal nomor 26-Quincke
ditusukkan dengan arah paramedian, barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih)
kemudian dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara perlahan-
lahan.5

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 46


IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad kosmetikum : Dubia ad bonam

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 47


BAB IV
PEMBAHASAN

A. PRE OPERATIF
seksio sesarea pada pasien ini termasuk kedalam operasi cito, meskipun demikian
persiapan anestesi dan pembedahan harus selengkap mungkin karena dalam pemberian
anestesi dan operasi selalu ada risiko. Persiapan yang dilakukan meliputi persiapan alat,
penilaian dan persiapan pasien, dan persiapan obat anestesi yang diperlukan. Penilaian
dan persiapan penderita diantaranya meliputi :
- informasi penyakit
- anamnesis/alloanamnesis kejadian penyakit
- riwayat imunisasi, riwayat alergi, riwayat sesak napas dan asma, diabetes melitus,
riwayat trauma, dan riwayat operasi sebelumnya.
- riwayat keluarga (penyakit dan komplikasi anestesi)
- makan minum terakhir (mencegah aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau
muntah pada saat anestesi)
- Persiapan operasi yang tidak kalah penting yaitu informed consent, suatu persetujuan
medis untuk mendapatkan ijin dari pasien sendiri dan keluarga pasien untuk
melakukan tindakan anestesi dan operasi, sebelumnya pasien dan keluarga pasien
diberikan penjelasan mengenai risiko yang mungkin terjadi selama operasi dan post
operasi. Setelah dilakukan pemeriksaan pada pasien, maka pasien termasuk dalam
klasifikasi ASA III

B. INTRA OPERATIF
Teknik anestesi disesuaikan dengan keadaan umum pasien, jenis dan lamanya
pembedahan dan bidang kedaruratan. Metode anestesi sebaiknya seminimal mungkin
mendepresi janin, sifat analgesi cukup kuat, tidak menyebabkan trauma psikis
terhadap ibu dan bayi, toksisitas rendah, aman, nyaman, relaksasi otot tercapai tanpa
relaksasi rahim dan memungkinkan ahli obstetri bekerja optimal. Pada pasien ini
digunakan teknik spiall anestesi dengan mempertimbangkan kondisi ibu, janin dan
keadaan hipertensi dalam kehamilan yang telah memasuki kategori pre eklamsia.

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 48


Pada pasien ini dilakukan jenis anestesi spinal yang mulai dilakukan dengan
posisi pasien duduk tegak dan kepala menunduk hingga prossesus spinosus mudah
teraba, lalu ditentukan tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian disterilkan
tempat tusukan dengan alkohol dan betadin. Jarum spinal nomor 26-Quincke
ditusukkan dengan arah paramedian, barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih)
kemudian dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara perlahan-
lahan.
Sesaat setelah segemen bawah Rahim disayat diberikan Oksitosin IV 10 iu.
Setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan Metilerghometrin IV drip oksitosin
10 IU (1 ampul) di dalam 500 cc RL. Pemberian oksitosin bertujuan untuk mencegah
perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus secara ritmik atau untuk
mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu partus 3-5 menit.
Pada pasien ini berikan cairan infus RL (ringer laktat) sebagai cairan fisiologis
untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang. Pasien sudah tidak makan dan
minum ± 6 jam, maka kebutuhan cairan pada pasien dengan BB = 65 kg adalah :
 Pemeliharaan cairan per jam:
2 x 65 (BB) = 130 ml/jam
 Pengganti defisit cairan puasa:
6 jam X 130 ml = 780 ml
 Kebutuhan kehilangan cairan saat pembedahan:
½ puaa (kebutuhan maintenance + sress operatif)
390 (130 + 390) = 910 cc / jam
Satu jam berikutnya setengah dari kebutuhan awal.
Pada pasien diberikan 3 RL, 1 Asering.

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 49


C. POST OPERATIF
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang observasi. Pasien berbaring
dengan posisi terlentang karena efek obat anestesi masih ada dan tungkai tetap lurus
untuk menghindari edema. Observasi post operasi dilakukan selama 2 jam, dan dilakukan
pemantauan vital sign (tekanan darah, nadi, suhu dan respiratory rate) setiap 30 menit.
Oksigen tetap diberikan 2-3 liter/menit. Setelah keadaan umum stabil, maka pasien
dibawa ke ruangan bedah untuk dilakukan tindakan perawatan lanjutan.

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 50


BAB V
KESIMPULAN

G1P1A0H1 usia 29 tahun, gravid 40 minggu atas indikasi PEB, dengan keluhan
tekanan darah tinggi dalam kehamilan sejak 1 minggu yag lalu, dilakukan tindakan sectio
cesarea pada tanggal 13 Oktober 2015 di ruangan operasi RSUD Siak.
Teknik anestesi dengan spinal anestesi (subarachnoid blok) merupakan teknik
anestesi sederhana, cukup efektif. Anestesi dengan menggunakan Bupivacain spinal 12,5
mg untuk maintenance dengan oksigen 2-3 liter/menit. Untuk mengatasi nyeri digunakan
ketorolac sebanyak 30 mg. Perawatan post operatif dilakukan dibangsal dan dengan
diawasi vital sign, keadaan umum dan tanda-tanda perdarahan.

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 51


DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, dkk. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Ed.2.Cet.V.Jakarta:


Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2. Dobson, Michel B. 2012. Penuntun praktis Anestesi. Prinsip terapi cairan
dan elektrolit. Jakarta : EGC.
3. Werth, M. Pokok-Pokok Anestesi. Jakarta: EGC.2010.
4. Snell. Richard S, 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa kedokteran; alih
bahasa Sugiharto; Ed 6. EGC : Jakarta
5. Nugroho dkk, 2012 Perkembangan Sirkuit Anestesi . Jurnal Anestesiologi
Indonesia. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr.
Kariadi, Semarang
6. Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy
Pharmacology). Jakarta:Bagian Farmakologi FKUI.2006
7. Sabiston, DC. Buku Ajar Bedah Bagian 1.Jakarta:EGC.2009.
8. Redjeki, Ike Sri. 2013. Perbandingan lnsidensi Post Dural Puncture
Headache (PDPH) Pascaseksio Sesarea Anestesi Spinal antara Tirah
Baring 24jam dengan Mobilisasi Dini. Jurnal Anestesi Perioperatif. Unpad.
9. Angsar, MD dan Lilakusuma LS. Ilmu bedah kebidanan Sarwono
Prawirohardjo, cetakan ke-7. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2007.
10. Gondo HK, Sugiharta K, Operasi seksio Sesarea di SMF Obstetri &
Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar, Bali. Dept. Obstetri & Ginekologi
Fakultas Udayana Bali, 2006

KKS Ilmu Anestesi RSUD BANGKINANG Page 52

Anda mungkin juga menyukai