Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Kecemasan

1. Pengertian

Kecemasan adalah keadaan individu atau kelompok yang mengalami

perasaan gelisah dan aktifasi sistem saraf autonom dalam berespons terhadap

ancaman yang tidak jelas (Carpenito, 2006). Menurut Stuart (2007),

kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang

berkaitan perasaan tidak pasti dan tidak berbahaya. Kecemasan merupakan

reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang.

Kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang

samar disertai respons autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak

diketahui oleh individu), perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi yang

berbahaya. Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan

individu akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk bertindak

menghadapi ancaman (Nanda, 2010).

Kecemasan atau ansietas adalah kondisi stress psikologis yang dialami

oleh seorang pasien akibat terganggunya fungsi yang mengancam integritas

fisik dan sistem diri. Ansietas memiliki dua aspek, yaitu aspek sehat dan

aspek membahayakan. Aspek sehat teridentifikasi ketika ansietas

meningkatkan motivasi seseorang untuk belajar dalam rangka mengatasi rasa

kawatir yang dialami. Ansietas menjadi membahayakan saat mengancam

integritas diri dan mengganggu fungsi kognitf, afektif dan psikomotor

8
seseorang. Dua aspek dalam ansietas ini tergantung pada tingkat ansietas,

lama ansietas dan koping yang dimiliki individu dalam menghadapi ansietas

(Suliswati, 2005).

2. Teori Kecemasan

Teori yang menjelaskan mengenai kecemasan menurut Stuart (2007),

antara lain:

a. Teori psikoanalitik, kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi

antara dua elemen kepribadian yaitu id dan superego. Id mewakili

dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan superego mencerminkan

hati nurani seseorang dan dikendalikan norma budaya seseorang. Ego

berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan tersebut,

dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

b. Teori interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap

ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga

berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan

kehilangan, yang menimbulkan kerentanan tertentu. Individu dengan harga

diri rendah terutama rentan mengalami kecemasan yang berat.

c. Teori prilaku, kecemasan merupakan hasil dari frustasi yaitu segala sesuatu

yang mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang

diinginkan. Ahli teori prilaku lain menganggap kecemasan sebagai suatu

dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan dari dalam diri untuk

menghindari kepedihan.

9
d. Teori keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan biasanya terjadi

dalam keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih antara

gangguan kecemasan dan depresi.

e. Teori biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus

untuk benzodiazepin, obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator

inhibisi asam Gama Aminobitirat (GABA), yang berperan penting dalam

biologis yang berhubungan dengan kecemasan.

3. Neurofisiologi Kecemasan

Guyton (2007), menjelaskan neurofisiologi kecemasan adalah respon

sistem saraf otonom terhadap rasa takut dan ansietas menimbulkan aktivitas

involunter pada tubuh yang termasuk dalam mekanisme pertahanan diri.

Secara fisiologi situasi stress akan mengaktifkan hipotalamus, yang

selanjutnya akan mengaktifkan dua jalur utama stress, yaitu sistem endokrin

(korteks adrenal) dan sistem saraf otonom (simpatis dan parasimpatis).

Untuk mengaktifkan sistem endokrin, setelah hipotalamus menerima

stimulus stres atau kecemasan, bagian anterior hipotalamus akan melepaskan

Corticotrophin Releasing Hormone (CRH), yang akan menginstruksikan

kelenjar hipofisis bagian anterior untuk mensekresikan Adrenocorticotropin

Hormone (ACTH). Dengan disekresikannya hormon ACTH ke dalam darah

maka hormon ini akan mengaktifkan zona fasikulata korteks adrenal untuk

mensekresikan hormon glukortikoid yaitu kortisol. Hormon kortisol ini juga

berperanan dalam proses umpan balik negatif yang dihantarkan ke

hipotalamus dan kemudian sinyal diteruskan ke amigdala untuk memperkuat

pengaruh stress terhadap emosi seseorang (Guyton, 2007).

10
Selain itu, umpan balik negatif ini akan merangsang hipotalamus bagian

anterior untuk melepaskan hormon Thirotropic Releasing Hormone (TRH)

dan akan menginstruksikan kelenjar hipofisis anterior untuk melepaskan

Thirotropic Hormone (TTH). TTH ini akan menstimulasi kelenjar tiroid untuk

mensekresikan hormon tiroksin yang mengakibatkan perubahan tekanan

darah, frekuensi nadi, peningkatan Basal Metabolic Rate (BMR), peningkatan

asam lemak bebas, dan juga peningkatan ansietas.

Mekanisme kedua dari stres yaitu melalui jalur sistem saraf otonom.

Setelah stimulus diterima oleh hipotalamus, maka hipotalamus langsung

mengaktifkan sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Aktivasi sistem saraf

simpatis akan mengakibatkan terjadinya peningkatan frekuensi jantung,

dilatasi ateri koronaria, dilatasi pupil, dilatasi bronkus, meningkatkan

kekuatan otot rangka, melepaskan glukosa melalui hati dan meningkatkan

aktivasi mental. Perangsangan saraf simpatis juga mengakibatkan aktivasi dari

medula adrenalis sehingga menyebabkan pelepasan sejumlah besar epineprin

dan norepinefrin ke dalam darah, untuk kemudian kedua hormon ini dibawa

oleh darah ke semua jaringan tubuh. Epinefrin dan norepinefrin akan

berikatan dengan reseptor β1 dan α1 adrenergik dan memperkuat respon

simpatis untuk meningkatkan tekanan darah dan frekuensi nadi.

Aktivasi saraf parasimpatis mengakibatkan terlepasnya asetilkolin dari

postganglion nervus vagus, untuk selanjutnya asetilkolin ini akan berikatan

dengan reseptor muskarinik (M3) pada otot polos bronkus dan mengakibatkan

peningkatan frekuensi nafas. Ketika bahaya telah berakhir, serabut saraf

parasimpatis membalik proses ini dan mengembalikan tubuh pada kondisi

11
normal sampai tanda ancaman berikutnya dan mengaktifkan kembali respons

simpatis.

4. Etiologi

Suliswati (2005), menjelaskan ada 2 faktor penyebab atau yang

mempengaruhi terjadi kecemasan yaitu:

a. Faktor predisposisi yang meliputi:

1) Peristiwa traumatik memicu terjadinya kecemasan berkaitan dengan

krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau situasional.

2) Konflik emosional yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan

baik. Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan

kenyataan dapat menimbulkan kecemasan pada individu.

3) Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu

berpikir secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan.

4) Frustasi akan menimbulkan ketidakberdayaan untuk mengambil

keputusan yang berdampak terhadap ego.

5) Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan

ancaman integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu.

6) Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani

kecemasan akan mempengaruhi individu dalam berespons terhadap

konflik yang dialami karena pola mekanisme koping individu banyak

dipelajari dalam keluarga.

7) Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi

respon individu dalam berespon terhadap konflik dan mengatasi

kecemasannya.

12
8) Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan

yang mengandung benzodiazepin, karena benzodiazepine dapat

menekan neurotransmiter Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang

mengontrol aktivitas neuron di otak yang bertanggung jawab

menghasilkan kecemasan.

b. Faktor presipitasi meliputi:

1) Ancaman terhadap integritas fisik, ketegangan yang mengancam

integritas fisik meliputi:

a) Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologi sistem

imun, regulasi suhu tubuh, dan perubahan biologis normal.

b) Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan

bakteri, polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, dan

tidak adekuatnya tempat tinggal.

2) Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal.

a) Sumber internal, meliputi kesulitan dalam berhubungan interpersonal

di rumah, di tempat kerja, dan penyesuaian terhadap peran baru.

Berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga dapat mengancam

harga diri.

b) Sumber eksternal, meliputi kehilangan orang yang dicintai,

perceraian, perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok, dan sosial

budaya.

5. Kemampuan Individu Berespon Terhadap Penyebab Kecemasan

Stuart (2007), menjelaskan kemampuan individu dalam berespon

terhadap penyebab kecemasan ditentukan oleh:

13
a. Potensi Stressor

Stressor psikososial merupakan setiap keadaan atau peristiwa yang

menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang itu

terpaksa mengadakan adaptasi.

b. Maturitas

Individu yang memiliki kematangan kepribadian lebih sukar mengalami

gangguan akibat kecemasan, karena individu yang matur mempunyai daya

adaptasi yang lebih besar terhadap kecemasan.

c. Pendidikan dan status ekonomi.

Tingkat pendidikan dan status ekonomi yang rendah akan menyebabkan

orang mudah mengalami kecemasan. Tingkat pendidikan seseorang atau

individu akan berpengaruh terhadap kemampuan berfikir, semakin tinggi

tingkat pendidikan akan semakin mudah berfikir rasional dan menangkap

informasi baru termasuk dalam menguraikan masalah yang baru.

d. Keadaan fisik

Seseorang yang mengalami gangguan fisik seperti cidera atau operasi akan

mudah mengalami kelelahan fisik sehingga lebih mudah mengalami

kecemasan, di samping itu orang yang mengalami kelelahan fisik lebih

mudah mengalami kecemasan.

e. Tipe Kepribadian.

Orang yang berkepribadian A lebih mudah mengalami gangguan akibat

kecemasan daripada orang dengan kepribadian B. Adapun ciri-ciri orang

dengan kepribadian A adalah tidak sabar, kompetitif, ambisius, ingin serba

sempurna, merasa diburu-buru waktu, mudah gelisah, tidak dapat tenang,

14
mudah tersinggung, serta otot-otot mudah tegang. Sedangkan orang dengan

tipe kepribadian B mempunyai ciri-ciri yang berlawanan dengan tipe

kepribadian A. Karena tipe kepribadian B adalah orang yang penyabar,

tenang, teliti, dan rutinitas.

f. Lingkungan dan situasi

Seseorang yang berada di lingkungan asing ternyata lebih mudah

mengalami kecemasan dibanding bila dia berada di lingkungan yang bisa

dia tempati.

g. Usia

Seseorang yang mempunyai usia lebih muda ternyata lebih mudah

mengalami gangguan akibat kecemasan daripada seseorang yang lebih tua.

h. Jenis kelamin

Hawari (2008), menjelaskan wanita lebih mudah mengalami kecemasan

dibandingkan dengan pria. Perbandingan kecemasan antara wanita dan pria

adalah dua banding satu. Perempuan akan lebih mudah cemas dikarenakan

ketidakmampuannya dibandingkan dengan laki-laki. Lakilaki lebih aktif

dan eksploratif, sedangkan perempuan lebih sensitif sehingga perempuan

lebih peka terhadap respon cemas yang terjadi.

6. Rentang Respon Kecemasan

Stuart (2007), menjelaskan rentang respon individu terhadap cemas

berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptif. Rentang respon yang paling

adaptif adalah antisipasi dimana individu siap siaga untuk beradaptasi dengan

cemas yang mungkin muncul. Sedangkan rentang maladaptif adalah panik

15
dimana individu sudah tidak mampu lagi berespon terhadap cemas yang

dihadapi sehingga mengalami ganguan fisik, perilaku maupun kognitif.

Seseorang berespon adaptif terhadap kecemasannya maka tingkat

kecemasan dialaminya ringan, semakin maladaptif respon kecemasan maka

semakin berat pula tingkat kecemasannya, seperti bagan dibawah ini:

Respon Adaptif Respon Adaptif

Adaptasi Ringan Sedang Berat Panik

Bagan 1. Rentang Respon Kecemasan (Sumber: Stuart, 2007)

7. Tingkat Kecemasan

Menurut Stuart (2007), ada empat tingkat kecemasan yang dialami

individu yaitu ringan, sedang, berat, dan panik.

a. Cemas ringan: dihubungkan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari.

Individu masih waspada serta lapang persepsinya meluas, menajamkan

indra. Dapat memotivasi individu untuk belajar dan mampu memecahkan

masalah secara efektif dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.

b. Cemas sedang: individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi

perhatiannya, terjadi penyempitan lapang persepsi, masih dapat melakukan

sesuatu dengan arahan orang lain.

c. Cemas berat: lapang persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya

pada detil yang kecil (spesifik) dan tidak dapat berpikir tentang hal-hal

lain. Seluruh perilaku dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dan

perlu banyak perintah/arahan untuk terfokus pada area lain.

16
d. Panik: individu kehilangan kendali diri dan detail perhatian hilang. Karena

hilangnya kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun meskipun

dengan perintah. Terjadi peningkatan aktivitas motorik, berkurangnya

kemampuan berhubungan dengan orang lain, penyimpangan persepsi dan

hilangnya pikiran rasional yang tidak mampu berfungsi secara efektif.

Biasanya disertai dengan disorganisasi kepribadian.

8. Gejala

Stuart (2007), menjelaskan respon/gejala kecemasan ditandai oleh

empat aspek, yaitu:

a. Respon fisiologis:

1) Kardiovaskuler: palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah meninggi,

rasa mau pingsan, pingsan, tekanan darah menurun dan denyut nadi

menurun.

2) Pernapasan: napas cepat, napas pendek, tekanan dada, napas dangkal,

pembengkakan tenggorok, sensasi tercekik, dan terengah-engah.

3) Neuromuskular: reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedipkedip,

insomnia, tremor, rigiditas, gelisah, wajah tegang, kelemahan umum,

kaki goyah, dan gerakan yang jangkal.

4) Gastrointestinal: kehilangan nafsu makan, menolak makanan, rasa tidak

nyaman pada abdomen, mual, rasa terbakar pada jantung, dan diare.

5) Traktus Urinarius: tidak dapat menahan kencing dan sering berkemih.

6) Kulit: wajah kemerahan, berkeringat setempat, gatal, rasa panas dan

dingin pada kulit, wajah pucat, dan berkeringat seluruh tubuh.

17
b. Respon prilaku: gelisah, ketegangan, tremor, gugup, bicara cepat, kurang

koordinasi, cenderung mendapat cedera, menarik diri dari hubungan

interpersonal, menghalangi, melarikan diri dari masalah, menghindari, dan

hiperventilasi.

c. Kognitif: perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam

memberikan penilaian, preokupasi, hambatan berpikir, bidang persepsi

menurun, kreativitas menurun, produktivitas menurun, bingung, sangat

waspada, kesadaran diri meningkat, kehilangan objektivitas, takut

kehilangan kontrol, takut pada gambaran visual, takut cedera atau

kematian.

d. Afektif: mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, ketakutan, gugup,

dan gelisah.

9. Alat Ukur Kecemasan

Tingkat kecemasan dapat diukur sesuai dengan gejala-gejala yang

terlihat pada saat observasi maupun wawancara. Kecemasan (Anxiety) dapat

diukur secara visual dengan pembagian menurut skala kecemasan itu sendiri

antara lain (Stuart, 2008) :

a. Kecemasan ringan dengan gejala :


1) Peningkatan persepsi dan atensi (kewaspadaan)
2) Mampu menghadapi situasi masalah
3) Dapat mengintegrasikan pengalaman lalu, saat ini dan akan datang
4) Masih dapat belajar, dapat memvalidasi secara konsensus
5) Perilaku untuk meredakan ketegangan ringan (menggigit kuku dan

memuntir rambut)
6) Tidak bisa tidur
b. Kecemasan sedang dengan gejala :
1) Persepsi menurun, kurang perhatian pada hal tertentu tetapi dapat

mengarahkan perhatian

18
2) Sedikit lebih sulit berkosentrasi, belajar membutuhkan lebih banyak

usaha
3) Memandang pengalaman saat ini berdasarkan masa lalu
4) Gagal memahami apa yang terjadi di situasi sekelilingnya; dapat

mengalami kesulitan
5) Perubahan suara atau nada suara
6) Peningkatan frekuensi nafas dan frekuensi jantung
7) Tremor, gemetar
c. Kecemasan berat dengan gejala :
1) Perubahan persepsi, berfokus pada detail yang tersebar, tidak dapat

mengikuti bahkan ketika diajarkan


2) Gangguan belajar berat; sangat mudah terdistraksi, tidak mampu

berkosentrasi
3) Memandang pengalaman saat ini berdasarkan masa lalu; hampir tidak

mampu memahami situasi pada saat ini


4) Fungsi buruk; komunikasi sulit dipahami
5) Hiperventilasi, takikardia, sakit kepala, pening dan mual
6) Sangat berpusat pada diri sendiri
d. Panik dengan gejala :
1) Penalaran tidak rasional; berfokus pada paparan detail
2) Tidak dapat belajar
3) Tidak mampu mengintegrasikan pengalaman; berfokus hanya pada saat

ini; tidak mampu melihat atau memahami situasi; kesalahan mengingat

suatu pemikiran
4) Tidak mampu berfungsi; biasanya aktivitas motorik meningkat atau

respon tidak dapat diprediksi bahkan untuk stimulus minor


5) Merasa akan meninggal
6) Merasa kehilangan control

Menurut Hawari (2008), untuk mengetahui derajat kecemasan seseorang

apakah ringan, sedang, berat atau berat sekali digunakan alat ukur yang

dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale For Anxiety (HRS-A). Alat ukur

ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing kelompok dirinci lagi

dengan gejala-gejala yang lebih spesifik. Masing-masing kelompok gejala

19
diberi penilaian angka (score) antara 0-4, yang artinya nilai 0 berarti tidak ada

gejala, nilai 1 gejala ringan, nilai 2 gejala sedang, nilai 3 gejala berat, dan

nilai 4 gejala berat sekali. Masing-masing nilai angka (score) dari ke-14

kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut

dapat diketahui derajat kecemasan seseorang yaitu Total nilai (score) < 14

tidak ada kecemasan, nilai 14-20 kecemasan ringan, nilai 21-27 kecemasan

sedang, nilai 28-41 kecemasan berat dan nilai 42-56 kecemasan berat.

Tabel 1. Alat Ukur HRS-A (Hamilton Rating Scale For Anxiety)

No Gejala Kecemasan Nilai Angka (skor)


1. Perasaan cemas 0 1 2 3 4
a. Cemas
b. Firasat buruk
c. Takut akan pikiran sendiri
d. Mudah tersinggung
2. Ketegangan 0 1 2 3 4
a. Merasa tegang
b. Lesu
c. Tidak bisa istirahat tenang
d. Mudah terkejut
e. Mudah menangis
f. Gemetar
g. Gelisah
3. Ketakutan : 0 1 2 3 4

20
a. Pada gelap
b. Pada orang asing
c. Ditinggal sendiri
4. Gangguan tidur : 0 1 2 3 4
a. Sukar tidur
b. Terbangun malam hari
c. Tidur tidak nyenyak
d. Bangun dengan lesu
e. Banyak mimpi-mimpi (mimpi buruk)
5. Gangguan kecerdasan 0 1 2 3 4
a. Sukar konsentrasi
b. Daya ingat menurun
c. Daya ingat buruk

6. Perasaan depresi (murung) 0 1 2 3 4


a. Hilangnya minat
b. Sedih
c. Bangun dini hari
d. Perasaan berubah-rubah
7. Gejala somatik/fisik (otot) 0 1 2 3 4
a. Sakit dan nyeri di otot-otot
b. Kaku
c. Kedutan otot
d. Gigi gemerutuk
e. Suara tidak stabil
8. Gejala somatik/fisik (sensorik) 0 1 2 3 4
a. Tinitus (telinga berdenging)
b. Penglihatan kabur
c. Muka merah atau pucat
d. Merasa lemas
9. Gejala kardiovaskuler (jantung dan 0 1 2 3 4
pembuluh darah)

21
a. Takikardia (denyut jantung cepat)
b. Berdebar-debar
c. Nyeri di dada
d. Denyut nadi mengeras
e. Rasa lesu/lemas seperti mau pingsan
10. Gejala respiratori (pernafasan) 0 1 2 3 4
a. Rasa tertekan atau sempit didada
b. Rasa tercekik
c. Sering menarik nafas
d. Nafas pendek/sesak
11. Gejala gastrointestinal (pencernaan) 0 1 2 3 4
a. Sulit menelan
b. Perut melilit
c. Gangguan pencernaan
d. Nyeri sebelum atau sesudah makan
e. Rasa penuh dan kembung
f. Mual atau muntah
g. Buang air besar lembek atau konstipasi
12. Gejala urogenital (perkemihan) 0 1 2 3 4
a. Sering buang air kecil
b. Tidak dapat menahan air seni
13. Gejala autonom 0 1 2 3 4
a. Mulut kering
b. Muka merah
c. Mudah berkeringat
d. Kepala terasa berat
14. Tingkah laku 0 1 2 3 4
a. Gelisah
b. Tidak tenang
c. Jari gemetar
d. Kerut kening

22
e. Muka tegang
f. Otot tegang/mengeras

B. Tinjauan Umum Post Partum

1. Pengertian

Periode post partum merupakan masa penyembuhan, masa kembali

pada keadaan sebelum hamil dan penyesuaian terhadap penambahan keluarga

baru. Post partum adalah masa enam minggu atau 40 hari sejak bayi lahir

sampai organ-organ reproduksi kembali ke keadaan normal seperti sebelum

hamil yang penting sekali untuk dipantau (Sulistyawati A., 2009).

Masa post partum atau puerperium adalah masa sesudah persalinan,

masa perubahan, pemulihan, penyembuhan, dan pengembalian alat-alat

kandungan atau reproduksi seperti sebelum hamil yang lamanya 6 minggu

atau 40 hari pasca persalinan (Jannah, 2011).

Masa masa nifas adalah masa setelah seorang ibu melahirkan bayi yang

dipergunakan untuk memulihkan kesehatannya kembali yang umumnya

memerlukan waktu 6-12 minggu (Vivian, 2011).

2. Masa Nifas

Masa nifas dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

a. Pasca nifas, merupakan masa setelah persalinan sampai 24 jam setelah

persalinan (0-24 jam sesudah melahirkan).


b. Nifas dini, adalah 1-7 hari setelah masa persalinan (1 minggu pertama

persalinan.
c. Nifas lanjut, terjadi pada 1 minggu sampai dengan 6 mingggu setelah ibu

melahirkan bayinya (Vivian, 2011).

3. Tujuan Asuhan Keperawatan Post Partum

23
Pelayanan pasca persalinan harus terselenggara pada masa nifas untuk

memenuhi kebutuhan ibu dan bayi, yang meliputi upaya pencegahan infeksi,

deteksi dini dan pengobatan komplikasi dan penyakit yang mungkin terjadi,

serta penyediaan pelayanan pemberian ASI, cara menjarangkan kehamilan,

imunisasi, dan nutrisi bagi ibu. Secara psikologi, ibu pasca persalinan akan

merasakan gejala-gejala psikiatrik. Meskipun demikian, adapula ibu yang

tidak mengalami hal ini. Agar perubahan psikologi yag dialami tidak

berlebihan, ibu perlu mengetahui tentang hal tentang hal yang lebih lanjut.

Wanita banyak mengalami perubahan emosi selama masa nifas sementara ia

menyesuaikan diri menjadi seorang ibu.

Tujuan asuhan keperawatan post partum, yaitu:

a. Menghindarkan adanya kemungkinan perdarahan dan infeksi.

b. Perawatan luka jika ada laserasi jalan lahir atau episiotomi.

c. Memberikan istirahat yang cukup dan latihan-latihan senam.

d. Diet cukup kalori,protein, cairan serta buah.

e. Meningkat pola eliminasi normal.

f. Perawatan payudara.

g. Memelihara psikis ibu.

h. Motivasi cara perawatan diri dan bayi, menyusui serta pesan untuk periksa

ulang (Vivian, 2011).

4. Perubahan-Perubahan pada Masa Post Partum

a. Perubahan fisiologi

1) Tekanan darah

Tekanan darah sedikit berubah dan menetap. Hipotensi ortostatik

24
diindikasikan oleh rasa pusing dan seakan ingin pingsan segera setalah

berdiri, dapat timbul dalam 48 jam pertama. Hal ini akibat

pembengkakan limfa yang terjadi setelah wanita melahirkan (Bobak,

2005).

2) Denyut nadi

Denyut nadi tetap tinggi selama jam pertama setelah bayi lahir.

Kemudian mulai menurun dengan frekuensi yang tidak diketahui. Pada

minggu ke-8 sampai ke-10 setelah melahirkan denyut nadi kembali ke

frekuensi sebelum hamil (Bobak, 2005).

3) Temperatur

Selama 24 jam pertama dapat meningkat sampai suhu 38 derajat celcius

sebagai akibat efek dehadrasi persalinan. Setelah 24 jam wanita harus

tidak demam (Bobak, 2005).

4) Invulosio uteri

Pada akhir tahap ke-3 persalinan, uterus berada digaris tengah, kira-kira

2cm dibawah umbilikus. Dalam waktu 12 jam, tinggi fundus uteri

mencapai kurang lebih 1cm diatas umbilikus. Dalam beberapa hari

kemudian, perubahan invulosio berlangsung dengan sangat cepat fundus

turun kira-kira 1-2cm setiap 24 jam. Pada hari ke enam post partum

fundus normal akan berada dipertengahan antara umbilikus dan simpisis

pubis. Uterus tidak bisa dipalpasi pada abdomen di hari ke sembilan

post partum (Bobak, 2005).

5) Buang air besar dan berkemih

Proses buang air besar dan berkemih pada persalinan normal tidak ada

25
hambatan. Kecuali pada ibu yang takut akan luka episiotomi (Vivian,

2011).

6) Lokia

Darah yang keluar berwarna merah karena berisi darah segar, jaringan

sisa plasenta, lemak bayi, selaput ketuban dan mekonium, lamanya

sekitar seminggu biasa disebut lokia rubra. Selanjutnya darah berwarna

marah dan berlendir, lamanya sekitar 1-2 minggu disebut lokia

sanguelenta. 2 minggu berikutnya cairan yang keluar berwarna

kekuningan kandungannya berupa jaringa serosa atau sisa pengaruh

hormon, disebut lokia serosa. Setelah 2 minggu cairan yang keluar

sudah berwarna putih biasa dan bening, ini normal dan tandanya sudah

memasuki tahap pemulihan, disebut lokia alba (Vivian, 2011).

7) Payudara

Pengaruh menekan dari hormon estrogen dan progeteron terhadap

hipofise hilang, timbul pengaruah hormon-hormon hipofise kembali

antaralain lactogenic hormon (prolaktin). Pengaruh hormon oksitosin

mengakibatkan mioepitelium kelenjar-kelenjar berkontraksi , sehingga

terjadi pengeluaran air susu, umumnya produksi ASI berlangsung betul

pada hari ke 2-3 post partum. Selain pengaruh hormonal rangsangan

terbaik untuk mengeluarkan ASI adalah menetekkan bayi pada ibunya,

dengan perangsangan fisik pada puting mamae kadar prolaktin akan

meningkat sehingga meningkatkan produksi ASI. Dengan rangsangan

psikis yang merupakan reflek dari mata ibu ke otak, mengakibatkan

oksitosin dihasilkan sehingga merangsang kontraksi otot sekitar mamae

26
dan ASI dapat dikeluarkan (Vivian, 2011).

8) Sistem Gastrointestinal

Produksi hormon progesteronyang semakin tinggi pada post partum

berefek pada proses pencernaan yaitu kontraksi berjalan lambat

sehingga sering terjadi sembelit (Vivian, 2011).

9) Sistem endokrin

Pengeluaran plaseta menyebabkan kadar estrogen dan progesteron

menurun. Penurunan kadar estrogen berkaitan dengan pembengkakan

payudara dan diuresis cairan ekstraseluler berlebih yang terakumulasi

selama kehamilan (Bobak, 2005).

Jika ibu dilanda kecemasan, akibat yang jelas antara lain hormon

oksitosin ibu tidak akan keluar, sebaliknya jika ibu merasa tenang,

hatinya senang maka hormon oksitosin bisa keluar dan bekerja dengan

baik. Hormon oksitosin merupakan hormon yang berpengaruh dalam

proses pengeluaran ASI (Rusli, 2005).

Kadar prolaktin akan meningkat dengan rangsangan fisik pada puting

mamae yang mengakibatkan peningkatan produksi air susu ibu (ASI)

(Vivian, 2011).

b. Perubahan Psikologis

Minggu pertama post partum merupakan saat terberat bagi ibu

terlebih jika ibu baru, ketidaknyamanan, kekhawatiran mengalami gejala-

gejala fisik, adanya rasa gembira barganti depresi atau berubah-ubah

diantara keduanya, perasaan tidak mampu menjadi ibu, frustasi untuk

menyusui, juga menurunya gairah seksual. Sensitivitas ibu terhadap

27
perubahan hormonal sering disebut sebagai faktor pencetus terjadinya

Distres post partum (Baby Blues), namun ada juga faktor penyebab lain

yang mungkin adalah riwayat keluarga tentang depresi, kurang dukungan

dari keluarga setelah melahirkan, isolasi dan keletihan (Vivian, 2011).

Sekitar 60-80% ibu pasca persalinan mengalami dirinya merasa agak

sedih setidaknya sesekali ketika menikmati masa-masa paling bahagia

dalam hidup mereka, itulah paradoks dari baby blues. Gejala-gejala baby

blues meliputi rasa sedih, rasa jengkel, terus gelisah dan kecemasan. Kadar

estrogen dan progesteron menurun dengan cepat setelah kelahiran anak,

seringkali membuat perasaan wanita ikut memburuk. Keadaan ini

biasanyan berlangsung sekitar 2 hari sampai 2 minggu setelah persalinan

(Murkoff H, 2009).

Perubahan psikologi masa nifas adalah proses secara psikologi atau

jiwa seorang ibu setelah melahirkan. Proses adaptasi psikologi sudah

terjadi selama kehamilan, menjelang proses kelahiran, maupun setelah

persalinan. Pada peroide tersebut, kecemasan seorang wanita dapat

bertambah. Perubahan psikologis mempunyai peranan yang sangat penting.

Pada masa ini, ibu nifas menjadi sangat sensitif, sehingga diperlukan

pengertian dari keluarga-keluarga terdekat. Peran bidan sangat penting

dalam hal memberi pegarahan pada keluarga tentang kondisi ibu serta

pendekatan psikologis yang dilakukan bidan pada ibu nifas agar tidak

terjadi perubahan psikologis yang patologis.

Dalam menjalani adaptasi setelah melahirkan, ibu akan melalui fase-

fase sebagai berikut :

28
1) Fase taking in
Fase ini merupakan fase ketergantungan yang berlangsung dari hari

pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada saat ini fokus

perhatian ibu terutama pada bayinya sendiri. Pengalaman selama proses

persalinan sering berulang diceritakannya. Kelelahannya membuat ibu

perlu cukup istirahat untuk mencegah gejala kurang tidur, seperti mudah

tersinggung. Hal ini membuat ibu cenderung menjadi pasif terhadap

lingkungannya.
Oleh karena itu kondisi ini perlu dipahami dengan menjaga komunikasi

yang baik. Pada fase ini, perlu diperhatikan pemberian ekstra makanan

untuk proses pemulihannya, disamping nafsu makan ibu yang memang

sedang meningkat.
2) Fase taking hold
Fase ini berlangsung antara 3-10 hari setelah melahirkan. Pada fase

taking hold, ibu merasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa

tanggung jawabnya dalam merawat bayi. Selain itu perasaan yang

sangat sensitif sehingga mudah tersinggung jika komunikasinya kurang

hati-hati. Oleh karena itu ibu memerlukan dukungan karena sat ini

merupakan kesempatan yang baik untuk menerima berbagai penyuluhan

dalam merawat diri dan bayinya sehingga tumbuh rasa percaya diri.
3) Fase letting go
Fase ini merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya

yang berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu sudah mulai

menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Keinginan untuk

merawat diri dan bayinya meningkat pada fase ini.


Fase-fase adaptasi ibu nifas ini merupakan perubahan perasaan

sebagai respon alami terhadap rasa lelah yang dirasakan dan akan kembali

29
secara perlahan setelah ibu dapat menyesuaikan diri dengan peran barunya

dan tumbuh kembali pada keadaan normal. Walaupun perubahan-

perubahan terjadi sedemikian rupa, ibu sebaiknya tetap menjalani ikatan

batin dengan bayinya sejak awal. Sejak dalam kandungan bayi hanya

mengenal ibu yang memberinya rasa aman dan nyaman sehingga stress

yang dialaminya tidak bertambah berat.


Banyak ketakutan dan kekhawatiran pada ibu yang baru melahirkan

terjadi akibat persoalan yang sederhana dan dapat diatasi dengan mudah

atau sebenarnya dapat dicegah oleh tenaga kesehatan, pengunjung dan

suami dapat mengantisipasi hal-hal yang bisa menimbulkan stress

psikologis (Vivian, 2011).

C. Tinjauan Umum Air Susu Ibu

1. Pengertian

Air susu ibu (ASI) merupakan cairan putih yang dihasilkan oleh

kelenjar payudara wanita melalui proses laktasi. ASI adalah satu jenis

makanan yang mencukupi seluruh unsur kebutuhan bayi baik fisik,

psikososial maupun spiritual. ASI mengandung nutrisi, hormon, unsur

kekebalan tubuh, anti alergi, serta anti inflamasi. Nutrisi dalam ASI mencakup

hampir 200 unsur zat makanan (Roesli , 2008).

2. Fisiologi Laktasi

Proses laktasi dimulai saat persalinan, yaitu ketika hormon estrogen dan

progesteron menurun sedangkan prolaktin meningkat. Isapan bayi pada puting

susu memacu atau merangsang kelenjar hipofise anterior untuk memproduksi

atau melepaskan prolaktin sehingga terjadi sekresi ASI (Ariani H, 2012).

30
Proses menyusui secara penuh tidak segera terjadi setelah persalinan.

Selama dua atau tiga hari pertama sesudah melahirkan dikeluarkan kolostrum

dalam jumlah yang sedikit. Pada hari-hari berikutnya terjadi peningkatan

cepat sekresi ASI, yang umumnya mencapai puncak pada akhir minggu

pertama sesudah melahirkan. Pada ibu yang pertama sekali melahirkan

(primipara), hal ini baru terjadi pada minggu ketiga atau lebih. Oleh sebab itu

dua atau tiga minggu pertama merupakan periode perkenalan yang dilanjutkan

dengan periode pemeliharaan yang berlangsung lama.

ASI diproduksi atas hasil kerja gabungan antara hormon dan refleks.

Selama kehamilan, perubahan pada hormon berfungsi mempersiapkan

jaringan kelenjar susu untuk memproduksi ASI. Segera setelah melahirkan,

bahkan mulai pada usia kehamilan 6 bulan akan terjadi perubahan pada

hormon yang menyebabkan payudara mulai memproduksi ASI. Pada waktu

bayi mulai mengisap ASI, akan terjadi dua refleks pada ibu yang akan

menyebabkan ASI keluar pada saat yang tepat dan jumlah yang tepat pula

(Bobak, 2005). Dua refleks tersebut adalah :

a. Refleks prolaktin (refleks pembentukan atau produksi ASI)

Rangsangan isapan bayi melalui serabut syaraf akan memacu

hipofise anterior untuk mengeluarkan hormon prolaktin ke dalam aliran

darah. Prolaktin memacu sel kelenjar untuk sekresi ASI. Makin sering bayi

mengisap makin banyak prolaktin dilepas oleh hipofise, makin banyak pula

ASI yang diproduksi oleh sel kelenjar, sehingga makin sering isapan bayi,

makin banyak produksi ASI. Sebaliknya, jika berkurang isapan bayi maka

31
produksi ASI semakin kurang. Mekanisme ini disebut mekanisme “supply

and demand”.

b. Refleks oksitosin (refleks pengaliran atau pelepasan ASI / let down reflex)

Setelah diproduksi oleh sumber pembuat susu, ASI akan dikeluarkan

dari sumber pembuat susu dan dialirkan ke saluran susu. Pengeluaran ASI

ini terjadi karena sel otot halus di sekitar kelenjar payudara mengerut

sehingga memeras ASI untuk keluar. Penyebab otot-otot itu mengerut

adalah suatu hormon yang dinamakan oksitoksin.

Rangsangan isapan bayi melalui serabut syaraf memacu hipofise

posterior untuk melepas hormon oksitosin dalam darah. Oksitosin memacu

sel-sel myoepithel yang mengelilingi alveoli dan duktuli untuk

berkontraksi, sehingga mengalirkan ASI dari alveoli ke duktuli menuju

sinus dan puting. Dengan demikian sering menyusui penting untuk

pengosongan payudara agar tidak terjadi engorgement (payudara bengkak),

tetapi justru memperlancar pengaliran ASI.

Hal penting adalah bayi tidak akan mendapatkan ASI cukup bila

hanya mengandalkan refleks pembentukan ASI atau refleks prolaktin saja.

Ia harus dibantu refleks oksitosin. Bila refleks ini tidak bekerja maka bayi

tidak akan mendapatkan ASI yang memadai, walaupun produksi ASI-nya

cukup. Refleks oksitosin lebih rumit dibanding refleks prolaktin. Pikiran,

perasaan dan sensasi seorang ibu sangat memengaruhi refleks ini. Perasaan

ibu dapat meningkatkan dan juga menghambat pengeluaran oksitosin.

32
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan refleks let down adalah

melihat bayi, mendengarkan suara bayi, mencium bayi, dan memikirkan

bayi. Sedangkan faktor-faktor menghambat refleks let down adalah stress,

seperti keadaan bingung, pikiran kacau, takut dan cemas (Soetjiningsih,

2008).

3. Produksi ASI

Menurut Roesli tahun 2008, pada bulan terakhir kehamilan kelenjar-

kelenjar pembuat ASI mulai memproduksi ASI. Apabila tidak ada kelainan,

pada hari pertama sejak bayi lahir akan dapat menghasilkan 50-100 ml sehari

dan jumlah akan terus bertambah sehingga mencapai 400-450 ml pada waktu

mencapai usia minggu kedua.

Soetjiningsih (2008) menjelaskan bahwa pada hari-hari pertama

biasanya ASI belum keluar, bayi cukup disusui selama 5 menit untuk

merangsang produksi ASI dan membiasakan puting susu diisap oleh bayi.

Setelah produksi ASI cukup bayi dapat menyusu selama 10-15 menit dan

jumlah ASI yang terhisap bayi pada 5 menit pertama adalah ± 112 ml, 5 menit

kedua 64 ml dan 5 menit terakhir hanya ± 15 ml. Pada prinsipnya menyusui

bayi adalah tanpa jadwal (on demand) karena bayi akan menentukan sendiri

kebutuhannya. Pada awalnya bayi akan menyusu dengan jadwal yang tidak

teratur, tetapi selanjutnya akan memiliki pola tertentu yang dilakukan dengan

frekuensi 2-3 jam sekali, sehingga sedikitnya dilakukan 7 kali menyusui

dalam sehari setelah 1-2 minggu kemudian.

Produksi ASI selama periode menyusui mengalami beberapa perubahan

dengan karakteristik dan komposisi berbeda yaitu kolostrum, ASI transisi, dan

33
ASI matang (mature). Kolostrum adalah cairan yang dihasilkan oleh kelenjar

payudara setelah melahirkan (4-7 hari) dengan volume 150-300 ml/hari. ASI

transisi adalah ASI yang dihasilkan setelah kolostrum (8-20 hari) dimana

kadar lemak, laktosa dan protein lebih tinggi sedangkan mineral lebih rendah.

Sedangkan ASI matang adalah ASI yang dihasilkan ≥ 21 hari setelah

melahirkan dengan volume bervariasi yaitu 300-850 ml/hari tergantung pada

besarnya stimulasi saat laktasi (Roesli, 2008).

Untuk menilai produksi ASI dapat merujuk pada volume ASI yang

dikeluarkan oleh payudara. ASI yang telah diproduksi disimpan di dalam

gudang ASI. Selanjutnya ASI dikeluarkan dari payudara kemudian dialirkan

ke bayi. Banyaknya ASI yang dikeluarkan oleh payudara dan diminum oleh

bayi, diasumsikan sama dengan produksi ASI (Lawrence A., 2012).

Penilaian terhadap produksi ASI dapat menggunakan beberapa kriteria

sebagai acuan untuk mengetahui keluarnya ASI dan jumlahnya mencukupi

bagi bayi pada 2- 3 hari pertama kelahiran, diantaranya adalah sebelum

disusui payudara ibu terasa tegang, ASI yang banyak dapat keluar dari puting

dengan sendirinya, sedangkan ASI yang kurang dapat dilihat saat stimulasi

pengeluaran ASI dan ASI yang keluar hanya sedikit, bayi baru lahir yang

cukup mendapatkan ASI maka BAK-nya selama 24 jam minimal 6-8 kali,

warna urin kuning jernih, jika ASI cukup setelah menyusu maka bayi tertidur

atau tenang selama 2-3 jam (Bobak, 2005).

Indikator lain untuk melihat bahwa produksi ASI mencukupi bagi bayi

adalah karakteristik dari BAB bayi. Pada 24 jam pertama bayi mengeluarkan

BAB yang berwarna hijau pekat, kental dan lengket, yang dinamakan dengan

34
mekonium, BAB ini berasal dari saluran pencernaan bayi, serta cairan amnion

(Lawrence A., 2012).

Pola eliminasi bayi tergantung dari intake yang bayi dapatkan. Bayi

yang meminum ASI, umumnya pola BAB-nya 2-5 kali perhari. BAB yang

dihasilkan adalah berwarna kuning keemasan, tidak terlalu encer dan tidak

terlalu pekat, sedangkan bayi yang mendapatkan susu formula, umumnya pola

BAB-nya hanya 1 kali sehari dan BAB berwarna putih pucat (Lawrence A.,

2012).

Pengukuran volume ASI dapat juga dilakukan dengan cara lain yaitu:

a. Memerah ASI dengan Tangan

Memerah ASI dengan tangan disebut juga dengan teknik Marmet.

Dengan pijitan dua jari sendiri, ASI bisa keluar lancar dan membutuhkan

waktu sekitar 15 menit pada masing-masing payudara. Cara ini sering

disebut juga dengan back to nature karena caranya sederhana, lebih mudah,

lebih cepat dan tidak membutuhkan biaya. Caranya adalah menyiapkan

wadah bersih yang siap pakai untuk mengumpulkan ASI dan menempatkan

tangan ibu di salah satu payudara, tepatnya di tepi areola untuk melakukan

masase ringan dan meregangkan puting sedikit untuk memungkinkan

hormon mengalir. Posisi ibu jari terletak berlawanan dengan jari telunjuk.

Tekan tangan ke arah dada, lalu dengan lembut tekan ibu jari dan telunjuk

bersamaan. Pertahankan agar jari tetap di tepi areola, jangan sampai

menggeser ke puting. Ulangi secara teratur untuk memulai aliran susu.

Putar perlahan jari di sekeliling payudara agar seluruh saluran susu dapat

tertekan. Ulangi pada sisi payudara lain, dan jika diperlukan, pijat

35
payudara di antara waktu-waktu pemerasan. Ulangi pada payudara

pertama, kemudian lakukan lagi pada payudara kedua. Letakan wadah

penampung yang sudah disterilkan di bawah payudara yang diperas,

kemudian diukur menggunakan gelas ukur (Maryunani, 2012).

b. Pemompa ASI

Cara menampung atau mengukur ASI yang paling baik dan efektif

dengan menggunakan alat pemompa ASI elektrik namun harganya relatif

mahal. Ada cara lain yang lebih terjangkau yaitu piston atau pompa

berbentuk suntikan. Prinsip kerja alat ini memang seperti suntikan, hingga

memiliki keunggulan, yaitu setiap jaringan pompa mudah sekali

dibersihkan dan tekanannya bisa diatur. Pompa-pompa yang ada di

Indonesia jarang berbentuk suntikan, lebih banyak berbentuk squeeze and

bulb. Bentuk squeeze and bulb tidak dianjurkan oleh banyak ahli ASI.

Karena pompa seperti ini sulit dibersihkan bagian bulb-nya (bagian

belakang yang bentuknya menyerupai bohlam) karena terbuat dari karet

hingga tak bisa disterilisasi. Selain itu, tekanannya tak bisa diatur, hingga

tak bisa sama/rata (Maryunani, 2012).

4. Pengeluaran ASI

Produksi dan pengeluaran ASI erat kaitannya dengan kondisi kejiwaan

ibu, ketika ibu menyusui harus dalam kondisi tenang dan tidak stres. Berbagai

masalah menyusui pada ibu diantaranya kurang pengetahuan, bentuk puting

susu, puting lecet, payudara bengkak, dan ASI kurang. Selain itu ada juga

berbagai mitos menyusui menyusui merubah bentuk payudara dan payudara

kecil tidak menghasilkan ASI. Pengeluaran asi sangat dipengaruhi oleh

36
hormon oksitosin yang sering disebut sebagi hormon kasih sayang, sebab

kadarnya sangat dipengaruhi oleh suasana hati, rasa bahagia, rasa aman,

ketenangan, dan relak (Kodrat L., 2010).

Faktor mental dan psikologis ibu dalam menyusui sangat besar

pengaruhnya terhadap proses menyusui dan produksi ASI. Perasaan stres dan

tertekan yang dialami seorang ibu dapat menghambat produksi ASI.

Faktor-faktor yang memengaruhi produksi ASI antara lain (1) persiapan

fisik dan mental yang baik dari ibu dan memahami manajemen laktasi hingga

ibu benar-benar termotivasi untuk menyusui, (2) isapan segera bayi baru lahir

dapat segera merangsang refleks produksi ASI dan pengeluaran ASI, (3) rawat

gabung ibu dengan bayi memungkinkan ibu melakukan pemberian ASI

sesering mungkin untuk meningkatkan produksi ASI (on deman feeding) dan

bukan dijadwal (scheduled), (4) perawatan puting susu semasa hamil mulai

enam minggu terakhir kehamilan membantu puting susu menonjol keluar

sehingga memudahkan bayi untuk menyusu, (5) pengosongan payudara setiap

kali menyusui penting dilakukan agar produksi ASI tetap lancar, (6) keadaan

gizi ibu semasa hamil memengaruhi kelancaran produksi ASI (Kristianasari

W., 2009).

Produksi ASI sangat dipengaruhi oleh makanan yang di makan ibu,

faktor psikis dan isapan bayi. Apabila ibu makan secara teratur dan cukup

mengandung gizi yang diperlukan dapat meningkatkan produksi ASI, karena

kelenjar pembuat ASI tidak dapat bekerja dengan sempurna tanpa makanan

yang cukup. Kejiwaan ibu yang selalu dalam keadaan tertekan, sedih, kurang

percaya diri dan berbagai bentuk ketegangan emosional akan menurunkan

37
volume ASI bahkan tidak akan terjadi produksi ASI. Isapan bayi juga akan

merangsang otot polos payudara untuk berkontraksi yang kemudian

merangsang susunan saraf disekitarnya dan meneruskan rangsangan ini ke

otak. Otak akan memerintahkan kelenjar hipofise posterior untuk

mengeluarkan hormon pituitari lebih banyak, sehingga kadar hormon estrogen

dan progesteron yang masih ada menjadi lebih rendah. Pengeluaran hormon

pituitari yang lebih banyak akan memengaruhi kuatnya kontraksi otot-otot

polos payudara dan uterus. Kontraksi otot-otot polos payudara berguna

mempercepat pembentukan ASI, sedangkan kontraksi otot-otot polos uterus

berguna untuk mempercepat involusi (Kristianasari W., 2009).

5. Kelancaran Produksi ASI

Pada Hari pertama, bayi cukup di susukan selama 10-15 menit, untuk

merangsang produksi ASI dan membiasakan puting susu diisap oleh bayi.

Untuk mengetahui banyaknya produksi ASI, beberapa kriteria yang dipakai

sebagai patokan untuk mengetahui jumahASI lancar atau tidak (Kodrat L.,

2010), adalah :

a. ASI yang banyak dapat merembes keluar melalui puting.

b. Sebelum disusukan payudara terasa tegang

c. Berat badan bayi naik dengan memuaskan sesuai umur :

1) 1-3 bulan ( kenaikan berat badan rata-rata 700 gr/bulan)

2) 4-6 bulan ( kenaikan berat badan rata-rata 600 gr/bulan)

3) 7-9 bulan ( kenaikan berat badan rata-rata 400 gr/bulan)

4) 10-12 bulan ( kenaikan berat badan rata-rata 300 gr/bulan)

38
d. Jika ASI cukup, setelah menyusu bayi akan tertidur /tenang selama 3-4

jam.

e. Bayi kencing lebih sering, sekitar 8 kali sehari.

Bayi yang mendapatkan ASI memadai umumnya lebih tenang, tidak

rewel dan dapat tidur pulas. Tanda pasti bahwa ASI memadai dapat terlihat

pada penambahan berat badan bayi yang baik. Dalam keadaan normal usia

0-5 hari biasanya berat badan bayi akan menurun. Setelah usia 10 hari berat

badan bayi akan kembali seperti lahir. Secara alamiah ASI diproduksi dalam

jumlah yang sesuai dengan kebutuhan bayi.

Ibu yang melahirkan dengan cara operasi caesar seringkali sulit

menyusui banyinya segera setelah lahir, terutama jika ibu diberikan anastesi

umum, ibu relatif tidak sadar untuk dapat mengurus bayi di jam pertama

setelah bayi lahir, meskipun ibu mendapat efidural yang membuatnya tetap

sadar, kondisi luka operasi di bagian perut relatif membuat proes menyusui

sedikit terhambat. Sementara itu bayi mungkin mengantuk dan tidak responsif

untuk menyusu terutama jika ibu mendapat obat-obatan penghilang rasa sakit

sebelum operasi. Beberapa jenis anastesi mengurangi refleks bayi mencari

payudara ibu dan menyusu pada ibunya, juga meningkatkan temperatur tubuh

bayi dan tangisan bayi.

39

Anda mungkin juga menyukai