Anda di halaman 1dari 18

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S

Umur : 40 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Depok

Agama : Islam

Pekerjaan : Perawat RSPAD

Status Perkawinan : Menikah

Tanggal Pemeriksaan : Selasa, 10 Juli 2018

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis, tanggal 10 Juli 2018.

Keluhan Utama:

Timbul bercak kemerahan disertai rasa gatal di lipatan bawah payudara yang
bertambah gatal saat berkeringat.

Keluhan Tambahan:

Tidak ada

Riwayat Perjalanan Penyakit:

Pasien datang dengan keluhan timbul bercak berwarna kemerahan disertai


rasa gatal pada lipatan bawah payudara sejak 2 minggu SMRS Awalnya bercak
kemerahan timbul berukuran kecil pada lipatan bawah payudara kiri dan dirasa
semakin bertambah besar dan meluas sampai ke lipatan payudara kanan, serta
semakin gatal terutama saat berkeringat.

Pasien mengaku menggunakan salep betametason 1 minggu SMRS yang

1
dibeli sendiri di apotek, yang dioleskan pada daerah bercak kemerahan dan
gatal, menurut pasien setelah menggunakan obat tersebut rasa gatal namun
daerah kemerahan semakin membesar.

Pasien mengaku mandi 2 kali sehari mengganti pakaian dua kali sehari dan
pemakaian handuk sendiri, dan tidak memiliki hewan peliharaan. Namun
pasien mengatakan menggunakan sabun mandi secara bersama-sama dalam
keluarga, dan mengaku sering berkeringat. Pasien menyangkal menggunakan
pakaian berlapis namun pasien selalu mengenakan seragam yang tertutup saat
bekerja.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Tidak ada penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit pasien


saat ini

Riwayat Penyakit Keluarga

- Tidak ada keluarga pasien yang sedang menderita penyakit yang sama
dengan pasien saat ini

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis.

Status Gizi : BB/TB = 73kg/159cm = 28,9 kg/m2, status gizi :


Overweight
 Tanda-tanda vital
Tekanan Darah : 110/80 mmhg
Nadi : 82 x /menit
Pernapasan : 20 x /menit
Suhu : Afebris

 Status Generalis
Kepala : Normosefalik,
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-.

2
THT : Normotia, normosepta, faring tidak hiperemis, tonsil T1-
T1
Leher : Kelenjar tiroid dan KGB tidak teraba membesar
Jantung : Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, Murmur -, gallop -
Paru : Gerak napas kedua dada simetris, rh -/-, wh -/-
Abdomen : Nyeri tekan - , BU + normal
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/-)

IV. STATUS DERMATOLOGIKUS


1. Lokasi : Regio Infra Mammae
Efloresensi : Bercak eritematosa berukuran plakat dengan bentuk tidak
beraturan tepi polisiklik berbatas tegas disertai skuama halus yang menutupi
sebagian lesi.

Gambar 1. Bercak eritematosa berukuran plakat, bentuk tidak beraturan


dengan tepi polisiklik berbatas tegas disertai skuama halus yang menutupi
sebagian lesi

3
Gambar 2. Bercak eritematosa berukuran plakat, bentuk tidak beraturan
dengan tepi polisiklik berbatas tegas disertai skuama halus yang menutupi
sebagian lesi

Gambar 3 Bercak eritematosa berukuran plakat, bentuk tidak beraturan dengan


tepi polisiklik berbatas tegas disertai skuama halus yang menutupi sebagian lesi

4
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

- KOH 10%: Hasil Positif, didapatkan adanya hifa sejati dengan artospora

Gambar 4. Gambaran hifa sejati dengan artospora

VI. RESUME
Pasien Ny. S, perempuan, 40 tahun, datang ke Poli Klinik Kulit dan
Kelamin RSPAD Gatot Subroto dengan keluhan bercak kemerahan disertai
rasa gatal di daerah lipatan bawah payudara sejak 2 minggu yang lalu. Gatal
dirasakan bertambah ketika berkeringat.

Pasien mengaku menggunakan sabun mandi bersama dengan keluarga dan


mengaku sering berkeringat serta sering memakai baju yang tertutup.

Dari status generalis tidak didapatkan adanya kelainan, status gizi


didapatkan kategori overweight. Status dermatologikus pada infra mammae
tampak bercak eritematosa berukuran plakat dengan bentuk tidak beraturan tepi
polisiklik, berbatas tegas disertai skuama halus yang menutupi sebagian lesi.
Pada KOH 10% hasilnya didapatkan adanya hifa sejati dengan artospora.

VII. DIAGNOSIS KERJA


Tinea Corporis

5
VIII. DIAGNOSIS BANDING

Tidak ada

IX. PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa

 Menjaga agar daerah lesi tetap kering dan menjaga kebersihan diri

 Menggunaka pakaian yang terbuat dari bahan yang menyerap keringat


seperti katun, tidak ketat, dan dganti setiap hari.

 Kepatuhan dan ketaatan dalam pengobatan 


 Menyarankan untuk diet rendah kalori

 Mengedukasi pasien untuk control setelah 7 hari untuk melihat respon


pengobatan dan perbaikan klinis.

Medikamentosa

Sistemik

 Itrakonazole capsul 100mg diminum satu kali sehari setelah makan

Topikal

 Mikonazole krim 2% digunakan pagi dan sore

X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Bonam

Quo ad functionam : Bonam

Quo ad sanactionam : Bonam

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINEA KORPORIS

I. DEFINISI
Tinea korporis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur
superficial golongan dermatofita, menyerang daerah kulit tak berambut
pada wajah, badan, lengan, dan tungkai.1 Tinea korporis ini memiliki
kesamaan nama dengan tinea sirsinata atau tinea glabrosa.2,3

II. EPIDEMIOLOGI
Tinea korporis merupakan infeksi umum yang sering terlihat pada
daerah dengan iklim yang panas dan lembab. Tricophyton rubrum
merupakan infeksi yang paling umum di seluruh dunia dan sekitar 47%
menyebabkan tinea korporis. Trycophyton tonsuran merupakan dermatofit
yang lebih umum menyebabkan tinea kaptiis dan orang dengan infeksi
tinea kapitis antropofilik akan berkembang menjadi tinea korporis.
Prevalensi tinea korporis dapat disebabkan oleh peningkatan Tricophyton
tonsuran atau Microsporum canis yang merupakan organism ketiga
sekitar 14% menyebabkan tinea korporis.4

III. ETIOLOGI
Dermatofita adalah jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini memiliki sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk
kelas fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Trichophyton,
Microsporum, dan Epidermophyton. Ketiga genus ini memiliki sifat
keratolitik.2

7
IV. KLASIFIKASI5
Berdasarkan lokasi dari lesi, dermatofitosis dibagi menjadi:
1. Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala.
2. Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jenggot.
3. Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus,
bokong dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah.
4. Tinea pedis et manus, dermatofitosis pada kaki dan tangan.
5. Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki.
6. Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak
termasuk bentuk 5 tinea di atas.
Selain dari 6 bentuk tinea di atas, ada beberapa arti khusus yang dapat
dianggap sebagai sinonim tinea korporis, yaitu:
1. Tinea imbrikata
Dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris dan
disebabkan oleh Tricophyton concentricum.
2. Tinea favosa atau favus
Dermatofitosis yang terutama disebabkan oleh Tricophyton
schonleini yang secara klinis berbentuk skutula dan berbau seperti
tikus (mousy odor).
3. Tinea fasialis
Tinea aksilaris yang juga menunjukkan daerah kelainan.
4. Tinea sirsinata
Arkuata yang memiliki penamaan deskriptif morfologis.

V. FAKTOR RISIKO
Cara penularan jamur dapat secara langsung dan secara tidak
langsung. Penularan langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut-rambut
yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang atau dari tanah.
Penularan tak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi
jamur, barang-barang atau pakaian, debu atau air. Disamping cara

8
penularan tersebut diatas, untuk timbulnya kelainan-kelainan di kulit
tergantung dari beberapa faktor :3
1. Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini tergantung pada afinitas jamur itu, apakah jamur
Antropofilik, Zoofilik atau Geofilik. Selain afinitas ini masing-masing
jenis jamur ini berbeda pula satu dengan yang lain dalam afinitas
terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh Misalnya :
Tricophyton rubrum jarang menyerang rambut, Epidermatofiton
flokosum paling sering menyerang lipat pada bagian dalam.3
2. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang
jamur.3
3. Faktor-suhu dan kelembaban
Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur,
tampak pada lokalisasi atau lokal, di mana banyak keringat seperti
lipat paha dan sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur ini.3
4. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur di mana
terlihat insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang
lebih rendah, penyakit ini lebih sering ditemukan dibanding golongan
sosial dan ekonomi yang lebih baik.3
5. Faktor umur dan jenis kelamin5

VI. PATOFISIOLOGI6
Dermatofitosis bukan merupakan jamur pathogen endogen.
Transmisi dermatofit ke manusia dapat melalui 3 sumber yang masing-
masing penyebabnya memberikan gambaran yang khas. Dermatofit tidak
memiliki virulensi secara khusus dan hanya akan mengivasi bagian luar
stratum korneum dari kulit. Penggunaan bahan yang tidak berpori akan
meningkatkan suhu dan keringat sehingga mengganggu fungsi pertahanan
dari stratum korneum. Infeksi dapat ditularkan melalui kontak langsung

9
dengan individu atau hewan yang terinfeksi, benda-benda seperti pakaian,
alat-alat dan lain-lain. Infeksi ini dimulai dengan terjadinya kolonisasi hifa
atau cabang-cabangnya dalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini
memproduksi enzim keratolitik yang mengadakan difusi ke dalam jaringan
epidermis dan merusak kertainosit. Infeksi dermatofita terjadi dalam 3
tahap, yaitu:6
1. Perlekatan ke keratinosit
Jamur superficial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa
melekat pada jaringan keratin di antaranya sinar UV, suhu,
kelembaban, kompetisi dengan flora normal lain, sphingosin
yang diproduksi oleh keratinosit, dan asam lemak yang
diproduksi oleh kelenjar sebasea yang bersifat fungistatik. 6
2. Penetrasi melalui atau di antara sel
Setelah terjadi perlekatan atau penempelan, spora harus
berkembang dan menembus stratum korneum pada kecepatan
yang lebih cepat daripada proses deskuamasi. Penetrasi juga
dibantu oleh sekresi proteinase lipase dan enzim musinolitik
yang menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi
juga membantu penetrasi jamur ke jaringan. Fungal mannan di
dalam dinding sel dermatofita juga bisa menurunkan kecepatan
proliferasi keratinosit. Pertahanan baru akan muncul ketika
jamur mencapai lapisan terdalam dari epidermis.6
3. Perkembangan respons hospes
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan
organism yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau
Delayed Type Hypersensitivity (DHT) memiliki peran yang
sangat penting dalam melawan dermatofita pada pasien yang
belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya. Infeksi ini
akan menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan
oleh peningkatan pergantian keratinosit. Disebutkan bahwa
antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan

10
dipresentasikan oleh limfosit T di nodus limfe. Limfosit T
melakukan proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang terinfeksi
untuk menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi
inflamasi dan barier epidermalmenjadi permeable terhadap
transferrin dan sel-sel yang bermigrasi. Setelah itu jamur hilang
dan lesi secara spontan akan menjadi sembuh.6
Akan timbul respons jaringan terjadap infeksi yang
semakin jelas dan meninggi yang disebut dengan ringworm
setelah adanya masa inkubasi sekitar 1 – 3 minggu. Respon
terhadap infeksi ini berupa proses proliferasi sel epidermis dan
menghasilkan skuama. Kondisi ini akan menciptakan bagian
tepi yang aktif untuk berkembang dan bagian pusat akan
bersih.6

VII. GEJALA DAN TANDA KLINIS


Predileksi tinea ini adalah di daerah leher, ekstremitas, dan badan.
kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong,
berbatas tegas terdiri dadri eritema, skuama, kadang dengan vesikel dan
papul di bagian tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang
terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya
merupakan bercaka terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat
dilihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa
lesi kulit yang menjadi satu. Bentuk dengan tanda radang yang lebih nyata,
lebih sering dilihat pada anak-anak daripada orang dewasa karena
umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali. 2

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis
terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan.2

11
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop,
mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran
10x45. Pembesaran 10x10 biasanya tidak diperlukan.2
Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan diatas gelas alas,
kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH
untuk sediaan rambut 10% dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah sediaan
dicampur dengan larutan KOH, ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan
untuk melarutkan jaringan. Untuk mempercepat proses pelarutan dapat
dilakukan pemanasan sediaan basah dengan diatas api kecil. Pada saat
mulai keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasan sudah cukup. Bila
terjadi penguapan, maka akan terbentuk Kristal KOH, sehingga tujuan
yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur yang lebih
nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta
Parker super-chroom blue black.2
Pada sediaan kulit yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis
sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet pada
kelainan kulit lama dan / atau sudah diobati.2
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong
pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media
buatan. Yang dianggap paling baik adalah medium agar dekstrosa
Saboraud.2

IX. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan rasa gatal yang sangat mengganggu,
dan gatal bertambah bila berkeringat. Rasa gatal yang dirasa
membuat pasien menggaruk sehingga timbul lesi dan lesi
bertambah luas, terutama pada kulit yang lembab.5
2. Gejala klinis yang khas5

12
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada kerokan kulit dengan KOH 10 – 20% bila positif
memperlihatkan elemen jamur berupa hifa panjang dan artrospora
(hifa yang bercabang) yang khas pada infeksi dermatofita.
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong
pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan
spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan
bahan klinis pada media buatan. Pemeriksaan yang dianggap
paling baik pada waktu ini adalah medium Agar Dekstrosa
Sabouraud.5

X. DIAGNOSIS BANDING
Gambaran klinis tinea korporis dan kruris dapat menyerupai infeksi
oleh Candida albicans. Namun, pada kandidosis, lebih sering ditemukan
pada wanita dan lesi yang ditemukan lebih meradang dan lembab disertai
sejumlah lesi satelit (makula dan pustul putih) yang berukuran kecil dan
banyak.8
Tinea juga dapat didiagnosis banding dengan eritrasma, dermatitis
seboroik, dan psoriasis intertriginosa. Eritrasma dapat dibedakan dari
pemeriksaan penunjang menggunakan lampu Wood yang akan
memberikan warna merah bata yang dihasilkan oleh bakteri
Corynebacterium minutissimum. Sedangkan, pada infeksi jamur golongan
dermatofita, biasanya tidak menampakkan floresensi pada pemeriksaan
lampu Wood. Dermatitis seboroik bisa mengenai lipat paha, dan terkadang
meluas hingga ke daerah lain yang banyak mengandung kelenjar sebasea,
seperti dada dan ketiak. Pada pemfigus vegetans, lesi disertai maserasi dan
erosi. Psoriasis intertriginosa menunjukkan gambaran skuama dan pustul
pada tepi lesi. Namun, pada psoriasi intertriginosa, lesi yang khas juga
dapat ditemukan di bagian tubuh lain. Biopsi dapat dilakukan untuk
psoriasis dengan lesi yang kurang khas.8

13
Eritema intertrigo dan dermatitis kontak juga dapat terjadi di lipat
paha. Eritema intertrigo disebabkan oleh kolonisasi bakteri di lipat paha.
Biasanya ditemukan pada pasien dengan obesitas, baik perempuan
maupun laki-laki. Lesi berbatas tegas dengan maserasi di bagian tengah
lesi. Dermatitis kontak (alergi/iritan) mungkin dapat disebabkan oleh
bahan pakaian dan juga akibat pemakaian deodaran.8

XI. PENCEGAHAN
1. Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah dan
maserasi. Jika faktor-faktor lingkungan ini tidak diobati, kemungkinan
penyembuhan akan lambat. Daerah intertrigo atau daerah antara jari-
jari sesudah mandi harus dikeringkan betul dan diberi bedak pengering
atau bedak anti jamur.3
2. Pasien dengan hiperhidrosis dianjurkan agar memakai kaos dari bahan
katun yang menyerap keringat, jangan memakai bahan yang terbuat
dari wool atau bahan sintetis.3
3. Pakaian dan handuk agar sering diganti dan dicuci bersih-bersih
dengan air panas.3

XII. PENATALAKSANAAN
Non-Medikamentosa3,4
a. Meningkatkan kebersihan badan
b. Mengurangi kelembaban dari tubuh pasien dengan menghindari
pakaian yang panas dan tidak menyerap pakaian
c. Menghindari sumber penularan
d. Faktor predisposisi lain seperti diabetes mellitus, kelainan
endokrin yang lain harus dikontrol.

Medikamentosa
Pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi
dengan pemberian griseofulvin yang bersifat fungistatik. Secara umum,

14
griseofulvin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5-1
g untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25
per kgBB.2
Efek samping griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan
keluhan utama ialah sefalgia yang didapati pada 15% penderita. Efek
samping yang lain dapat berupa gangguan traktus digestikus ialah nausea,
vomitus dan diare. Obat tersebut juga bersifat fotosensitif dan dapat
mengganggu fungsi hepar.2
Obat per oral yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu
ketokonazol yang bersifat fungistatik. Pada kasus-kasus resisten terhadap
griseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari
selama 10 hari-2 minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazol
merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.2
Sebagai pengganti ketokonazol yang mempunyai sifat hepatotoksik
terutama bila diberikan lebih dari 10 hari, dapat diberikan suatu obat tiazol
yaitu itrakonazol yang merupakan pemilihan yang baik. Pemberian obat
tersebut untuk penyakit kulit oleh penyakit jamur biasanya cukup 2x100-
200 mg sehari dalam kapsul selama 3 hari.2
Selain itu juga dapat diberikan mikonazol yang berkhasiat sebagai
fungisidal kuat dengan spectrum kerja yang lebar. Lebih efektif dan aktif
terhadap dermatofit biasa dan kandida daripada fungistatika lain.7
Terbinafin yang bersifat fungisidal juga dapat diberikan sebagai
pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5-250 mg sehari
tergantung pada berat badan.2,7
Efek samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10% penderita,
yang tersering gangguan gastrointestinal diantaranya nausea, vomitus,
nyeri lambung, diare, konstipasi, umumnya ringan. Efek samping yang
lain dapat berupa gangguan pengecapan yang bersifat sementara.2
Obat-obat topikal, misalnya asam salisil 2-4%, asam benzoat 6-
12%, sulfur 4-6%, vioform 3%, asam undesilenat 2-5%, dan zat warna

15
dikenal banyak obat topikal baru seperti tolnaftat 2%; tolsiklat, haloprogin,
derivate imidazol, siklopiroksolamin dan naftifine masing-masing 1%.2,7

XIII. PROGNOSIS
Prediktor-prediktor yang mempengaruhi prognosis diantaraya
faktor: usia, sistem kekebalan tubuh, dan perilaku keseharian penderita.
Semakin bertambahnya usia, maka sistem kekebalan tubuh pun akan
menurun, jadi lebih beresiko dan mudah tertular suatu penyakit, termasuk
tinea korporis. Perkembangan penyakit tinea korporis dipengaruhi oleh
bentuk klinik dan penyebab penyakitnya, disamping faktor-faktor yang
memperberat atau memperingan penyakitnya. Apabila faktor-faktor yang
memperberat penyakit dapat dihilangkan, umumnya penyakit ini dapat
hilang sempurna. Tinea korporis mempunyai prognosa baik dengan
pengobatan yang adekuat dan kelembaban dan kebersihan kulit yang
selalu dijaga.9

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Siregar, RS. 2008. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta:
EGC.
2. Budimulja, U. 2017. Mikosis, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Editor:
Djuanda A, Hamzah M, AIsah S. Edisi Ketujuh. Cetakan ke-4. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Harahap, M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Cetakan ke-1. Jakarta: Hipokrates.
4. Lesher, J.L. 2018. Tinea Corporis. Tersedia:
https://emedicine.medscape.com/article/1091473-overview#a5 (Access 11
July 2018.)
5. Patel S, Meixner JA, Smith MB, McGinnis MR. 2006. Superficial mycoses
and dermatophytes. In : Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editors. Tropical
dermatology. China: Elsenvier inc. p 189.
6. Wolff, K. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas of Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology 6th ed. United States of America : Mc Graw Hill. p 693.
7. Cholis, M. 2001. Penatalaksanaan Tinea Glabrosa dan Perkembangan
Obat Antijamur. Malang: Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
8. Wolff K. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7thed vol 2. USA :Mcgraw
hill companies; 2008.p.1807-22.
9. James, William D.; Berger, Timothy G.; Elston, Dirk M.; Odom, Richard
B. (2006). Andrews’ Diseases of the Skin: Clinical Dermatology (10th
ed.). Philadelphia; Saunders Elsevier.p. 302.

17
18

Anda mungkin juga menyukai