Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

Laringitis Akut dan Vocal Nodule

Oleh :
Aulannisa Handayani
H1A 013 010

Pembimbing :
dr. Hamsu Kadriyan, Sp.THT-KL, M.Kes

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
DAN BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NTB
2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas
karunia-Nya sehingga tulisan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tulisan
ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian
Lab/SMF Ilmu Telinga, Hidung, dan Tenggorokan Fakultas Kedokteran
Universitas Mataram/RSUD Provinsi NTB.

Dalam penyusunan tinjauan pustaka yang berjudul “Laringitis Akut dan


Vocal Nodule” ini penulis banyak memperoleh bimbingan dan petunjuk serta
bantuan, dukungan dari berbagai pihak dari institusi maupun dari luar institusi
Fakultas Kedokteran. Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. dr. Hamsu Kadriyan, Sp.THT-KL, M.Kes selaku pembimbing.


2. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian tulisan ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
tulisan ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan dan
memberi manfaat bagi masyarakat.

Mataram, Agustus 2018

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1

BAB II ISI...................................................................................................2

2.1 Anatomi Laring.............................................................................2

2.2 Fisiologi Laring............................................................................6

2.3 Laringitis Akut. ............................................................................10


2.3.1 Definisi .........................................................................11
2.3.2 Etiologi..........................................................................11
2.3.3 Epidemiologi.................................................................11
2.3.4 Manifestasi Klinis.........................................................12
2.3.5 Patofisiologi..................................................................12
2.3.6 Diagnosis.......................................................................13
2.2.7 Penatalaksanaan............................................................14
2.2.8 Prognosis ......................................................................15
2.2.9 Komplikasi....................................................................15

2.4 Vocal Nodule.................................................................................15


2.4.1 Definisi .........................................................................15
2.4.2 Etiologi..........................................................................16
2.4.3 Epidemiologi.................................................................16
2.4.5 Patofisiologi..................................................................16
2.4.4 Manifestasi Klinis.........................................................17
2.2.7 Penatalaksanaan............................................................18

BAB III PENUTUP..........................................................................................17


DAFTAR PUSTAKA........................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN

Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang


disebabkan kelainan pada organ-organ fonasi, terutama laring, baik yang bersifat
organik maupun fungsional. Disfonia bukan penyakit, tetapi merupakan gejala
penyakit atau kelainan laring. Berikut ini akan dibahas dua penyebab disfonia
tersering adalah laringitis akut dan vocal nodule atau nodul pita suara.1,2
Laringitis akut merupakan penyakit umum pada anak-anak. Laringitis
mempunyai onset yang cepat dan biasanya sembuh sendiri. Bila laringitis
berlangsung lebih dari 3 minggu maka disebut laringitis kronik. Laringitis
didefinisikan sebagai proses inflamasi yang melibatkan laring dan dapat
disebabklan oleh berbagai proses baik infeksi maupun non-infeksi.3
Laringitis akut biasanya sembuh sendiri dan diobati dengan terapi
konservatif. Laringitis akut memiliki onset yang cepat dan biasanya sembuh
sendiri. Jika pasien memiliki gejala laringitis lebih dari 3 minggu, keadaan ini
diklasifikasikan sebagai laringitis kronik. Pemeriksaan tindak lanjut menunjukkan
laring yang normal, akan tetapi hampir tanpa suara. Rujukan kepada ahli patologi
suara akan dapat mengatasi keadaan tersebut.3
Nodul pita suara merupakan penyebab tersering disfoni menetap pada
anak-anak. Nodul pita suara juga merupakan penyebab perubahan kualitas suara
individu yang sering menggunakan suaranya secara profesional, seperti penyanyi,
oleh karena itu nama lainnya adalah “singer’s nodes” atau “screamer’s nodes”
atau sering juga disebut “teacher’s nodes”.1
Strategi penanganan nodul pita suara dilakukan secara konservatif; terapi
wicara merupakan terapi paling utama. Pada terapi wicara ini, pasien diajari
bagaimana menggunakan suara dengan tepat, sehingga dengan demikian dapat
meregresi nodulnodul tersebut.1,3

1
BAB II
ISI

2.1 Anatomi Laring4,6


Laring merupakan bagian terbawah dari saluran napas bagian atas.
Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih
besar daripada bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring, batas
bawah adalah kaudal kartilago kartilago krikoid.
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang
hioid, dan beberapa buah tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf
U, permukaan atas dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak oleh
otot dan tendo. Sewaktu menelan, kontraksi otot-otot ini menarik laring
keatas, sedangkan jika diam, maka otot ini bekerja membuka mulut dan
membantu menggerakan lidah.
Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis,
kartilago krikoid, kartilago aritaenoid, kartilago kornikulata, dan kartilago
tyroid.
Kartilago krikoid dihubungkan dengan kartilago tiroid dengan
ligamentum krikotiroid. Bentuk kartilago krikoid berupa lingkaran berupa
lingkaran membentuk sendi membentuk sendi dengan kartilago dengan
kartilago tiroid membentuk tiroid membentuk artikulasi artikulasi krikotiroid.
krikotiroid.
Terdapat 2 buah (sepasang) kartilago aritenoid yang terletak dekat
permukaan belakang laring, dan membentuk sendi dengan kartilado krikoid,
disebut artikulasi krikoaritenoid. Sepasang kartilago kornikulata (kiri dan
kanan) melekat pada kartilago aritenoid di daerah apeks, sedangkan sepasang
kartilago kuneiformis terdapat di dalam lipatan ariepiglotik, dan kartilago
triticea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral.

2
Gambar 1. Anatomi Laring

Otot – otot laring


Otot – otot laring dapat dibagi dalam dua kelompok. Otot ekstrinsik
yang terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sementara otot
intrinsik menyebabkan gerakan antara struktur – struktur laring sendiri. Otot
ekstrinsik dapat digolongkan menurut fungsinya. Otot depresor atau otot- otot

3
leher (omohioideus, sternotyroideus, sternohyoideus) berasal dari bagian
inferior. Otot elevator (milohyoideus, geniohyoideus, genioglosus, hyoglosus,
digastrikus dan stilohyoideus) meluas dari os hyoideum ke mandibula, lidah
dan prosessus stiloideus pada kranium. Otot tirohioideus walaupun
digolongkan sebagai otot – otot leher, terutama berfungsi sebagai elevator.
Melekat pada os hioideum dan ujung posterior alae kartilago tiroidea adalah
otot konstriktor medius dan inferior yang melingkari faring disebelah
posterior dan berfungsi pada saat menelan.
Anatomi otot – otot intrinsik laring Menyebabkan gerakan antara
struktur-struktur laring sendiri. Otot-otot intrinsik laring adalah
m.krikoaritenoid lateral, m.tiroepiglotika, m.vokalis, m.tiroaritenoid,
m.ariepiglotika, dan m.krikotiroid. otot-otot ini terletak pada bagian lateral
laring. Otot-otot intrinsik laring yang terletak di posterior, adalah m.aritenoid
transversum, m.aritenoid oblik, m.krikoaritenoidposterior.

Persarafaan, Perdarahan dan Drainase limfatik


Dua pasangan saraf mengurus laring dengan persarafan sensorik dan
motorik. Dua saraf laringeus superior dan dan dua inferior atau laringeus
rekurens saraf laringeus merupakan cabang – cabang saraf vagus. Saraf
laringeus superior meninggalkan trunkus vagalis tepat dibawah ganglion
nodusum melengkung ke anterior dan medial dibawah arteri karotis eksterna
dan interna, dan bercabang dua menjadi suatu cabang sensorik interna dan
cabang motorik eksterna. Cabang interna menembus membrana tirohioidea
untuk mengurus persarafan sensorik valekula, epiglottis, sinus piriformis dan
seluruh mukosa laring superior interna tepi bebas korda vokalis sejati. Masing
– masing cabang eksterna merupakan suplai motorik untuk satu otot saja,
yaitu otot krikotiroideus. Disebelah inferior, saraf rekurens berjalan naik
dalam alur diantara trakea dan esofagus, masuk kedalam laring tepat
dibelakang artikulasio krikotiroideus, dan mengurus persarafan motorik
semua otot interinsik laring kecuali krikotiroideus. Saraf rekurens juga
mengurus sensasi jaringan dibawah korda vokalis sejati ( regio subglotis ) dan

4
trakea superior.Karena perjalan saraf inferior kiri yang lebih panjang serta
hubungannya dengan aorta, maka saraf ini lebih rentan cedera dibanding saraf
kanan.
Suplai arteri dan drainase venosus dari laring paralel dengan suplai
sarafnya. Arteri dan vena laringea superior merupakan cabang – cabang arteri
dan vena tiroidea superior, dan keduanya bergabung dengan cabang interna
saraf laringeus superior untuk membentuk pedikulus neurovaskuler superious.
Arteri dan vena laringea inferior berasal dari pembuluh tiroidea inferior dan
masuk ke laring bersama saraf laringeus rekurens.
Pengetahuan mengenai drainase limfatik pada laring adalah penting
pada terapi kanker. Terdapat dua system drainase terpisah, superior dan
inferior, dimana garis pemisah adalah korda vokalis sejati. Korda vokalis
sendiri mempunyai suplai limfatik yang buruk. Disebelah superor, aliran
limfe menyertai pedikulus neurovaskuler superior untuk bergabung dengan
nodi limfatisis superior dari rangkaian servikalis profunda setinggi os
hioideus. Drainase subglotis lebih beragam, yaitu ke nodi limfatisi
pretrakeales (satu kelenjar terletak tepat didepan krikoid dan disebut nodi
Delphian), kelenjar getah bening servikalis profunda inferior, nodi
supraklavikularis dan bahkan nodi mediastinalis superior.

Struktur disekitarnya
Disebelah anterior terdapat ismus kelenjar tiroid yang menutup
beberapa cincin trakea pertama, sementara lobus tiroid terletak diatas dinding
lateral trakea dan dapat meluas hingga ke alae tiroid. Ismus perlu diangkat
dan terkadang diinsisi saat melakukan trakeostomi menembus cincin
kartilaginus trakealis yang ketiga. Otot – otot leher menutup laring dan
kelenjar tiroid, kecuali digaris dimana raphe median menyebabkan struktur –
struktur laring terletak dalam posisi subkutan. Membrana krikotiroidea
mudah dipalpasi dan dalam keadaan darurat, dapat dengan cepat diinsisi
unutk membuat jalan napas, arteri inominata tidak jarang melewati didepan
trakea servikalis, sehingga perlu dilakukan palpasi yang cermat dalam

5
pelaksanaan trakeostomi. Dilateral dan posterior terhadap laring adalah
selubung karotis yang masing – masing berisi arteri karotis, vena jugularis
dan saraf vagus.

2.2 Fisiologi Laring6


Laring berfungsi sebagai proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, respirasi,
sirkulasi, menelan, emosi dan fonasi.
Fungsi laring untuk proteksi adalah untuk mencegah agar makanan
dan benda asing masuk kedalam trakea dengan jalan menutup aditus laring
dan rima glotis yang secara bersamaan. Terjadinya penutupan aditus laring
ialah karena pengangkatan laring ke atas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik
laring. Dalam hal ini kartilago aritenoid bergerak ke depan akibat kontraksi
m. tiroaritenoid dan m. aritenoid. Selanjutnya m. ariepiglotika berfungsi
sebagai sfingter. Penutupan rima glotis terjadi karena aduksi plika vokalis.
Kartilago aritenoid kiri dan kanan mendekat karena aduksi otot-otot intrinsik.
Selain itu, dengan refleks batuk, benda asing yang telah masuk ke
dalam trakea dapat dibatukkan ke luar.Demikian juga dengan bantuan batuk,
sekret yang berasal dari paru dapat dikeluarkan.Fungsi respirasi dari laring
ialah engan mangatur besar kecilnya rima glotis. Bila m.krikoaritenoid
posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis kartilago aritenoid
bergerak ke lateral, sehingga rima glotis terbuka (abduksi). Dengan terjadinya
perubahan tekanan udara di dalam traktus trakeo-bronkial akan dapat
mempengaruhi sirkulasi darah tubuh. Dengan demikian laring berfungsi juga
sebagai alat pengatur sirkulasi darah.
Fungsi laring dalam membantu proses menelan ialah dengan 3
mekanisme, yaitu gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup aditus
laringis dan mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak
mungkin masuk ke dalam laring. Laring juga mempunyai fungsi untuk
mengekspresikan emosi, seperti berteriak, mengeluh, menangis dan lain-lain.
Fungsi laring yang lain ialah untuk fonasi, dengan membuat suara
serta menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh

6
ketegangan plika vokalis. Bila plika vokalis dalam aduksi, maka m.krikotiroid
akan merotasikan kartilago tiroid ke bawah dan ke depan, menjauhi kartilago
aritenoid. Pada saat yang bersamaan m.krikoaritenoid posterior akan menahan
atau menarik kartilago aritenoid ke belakang. Plika vokalis kini dalam
keadaan yang efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya kontraksi
m.krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid ke depan , sehingga
plika vokalis akan mengendor. Kontraksi serta mengendornya plika vokalis
akan menentukan tinggi rendahnya nada.

2.3 Laringitis Akut


2.2.1 Definisi
Laringitis akut adalah radang akut laring yang disebabkan oleh
virus dan bakteri yang berlangsung kurang dari 3 minggu dan pada
umumnya disebabkan oleh infeksi virus influenza (tipe A dan B),
parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain
adalah Haemofilus influenzae, Branhamella catarrhalis, Streptococcus
pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae.5,6
Laringitis akut merupakan kelanjutan dari rinofaringitis akut
(Common cold) atau merupakan manifestasi dari radang saluran nafas
bagian atas. Pada anak laringitis akut dapat menimbulkan sumbatan
saluran jalan nafas, sedangkan pada orang dewasa tidak secepat pada
anak.6

2.2.2 Etiologi
Laringitis dapat disbebakan oleh virus maupun bakteri, yang dapat
menyebabkan peradangan lokal atau virus yang menyebabkan radang
sistemik. Adapun penyebab lain diantaranya :4,6
1. Laringitis akut ini dapat terjadi dari kelanjutan infeksi saluran nafas
seperti influenza atau common cold. infeksi virus influenza (tipe A dan
B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus. Difteri harus

7
selalu dicurigai pada laringitis, terutama jia ditemukan suatu
membrana atau tidak adanya riwayat imunisasi.
2. Pemakaian suara yang berlebihan
3. Trauma
4. Merokok dan minum-minum alkohol
5. Alergi

2.2.3 Epidemiologi8
Laringitis adalah salah satu patologi laring yang paling umum.
Prevalensi laringitis akut tidak dilaporkan karena banyak pasien sering
menggunakan tindakan konservatif untuk mengobatinya. Gejala infeksi
saluran pernapasan atas sering menyertai laringitis; dengan demikian,
pasien terbiasa mengelola pengobatan mereka sendiri.
Sebuah studi oleh Bhattacharyya bahwa setiap tahun sekitar 1%
anak-anak di Amerika Serikat dihadapi oleh masalah suara atau
menelan, dengan laringitis menjadi diagnosis umum dalam kasus ini.
Dengan menggunakan Survei Wawancara Kesehatan Nasional pada
tahun 2012, penelitian ini menemukan bahwa diperkirakan 839.000
anak di Amerika Serikat (1,4%) melaporkan masalah suara dalam 12
bulan sebelum survei, dengan 53,5% dari anak-anak ini telah
didiagnosis laringitis (16,6%) dan alergi (10,4%).
Sebuah penelitian retrospektif oleh Roy et al menunjukkan bahwa
di antara anggota lansia dari populasi AS (mereka yang berusia di atas
65 tahun) laringitis akut dan kronis adalah salah satu diagnosis
gangguan laring / suara yang paling sering, dysphonia dan lesi pita
suara jinak.
Sebuah studi oleh Benninger dkk menemukan bahwa antara tahun
2008 dan 2012, terdapat peningkatan diagnosis dysphonia pada
populasi (dari 1,3% hingga 1,7%) yang berkaitan dengan diagnosis
laringitis akut.

8
2.2.4 Patofisiologi
Hampir semua penyebab inflamasi ini adalah virus. Invasi bakteri
mungkin sekunder. Laringitis biasanya disertai rinitis atau nasofaringitis.
Awitan infeksi mungkin berkaitan dengan pemajanan terhadap perubahan
suhu mendadak, defisiensi diet, malnutrisi, dan tidak ada immunitas.
Laringitis umum terjadi pada musim dingin dan mudah ditularkan. Ini
terjadi seiring dengan menurunnya daya tahan tubuh dari host serta
prevalensi virus yang meningkat. Laringitis ini biasanya didahului oleh
faringitis dan infeksi saluran nafas bagian atas lainnya. Hal ini akan
mengakibatkan iritasi mukosa saluran nafas atas dan merangsang kelenjar
mucus untuk memproduksi mucus secara berlebihan sehingga menyumbat
saluran nafas. Kondisi tersebut akan merangsang terjadinya batuk hebat
yang bisa menyebabkan iritasi pada laring. Dan memacu terjadinya
inflamasi pada laring tersebut. Inflamasi ini akan menyebabkan nyeri
akibat pengeluaran mediator kimia darah yang jika berlebihan akan
merangsang peningkatan suhu tubuh.9
Ketika tubuh mengalami infeksi, sel darah putih mengeluarkan
mikroorganisme selama proses penyembuhan. Pita suara kemudian
menjadi lebih edematous. Tekanan ambang fonasi dapat meningkat
hingga tingkat yang menghasilkan tekanan fonasi yang memadai dalam
mode normal menjadi sulit, sehingga menimbulkan suara serak. Frank
afonia terjadi ketika seorang pasien tidak dapat mengatasi tekanan
ambang fonasi yang diperlukan untuk mengatur pergerakan pita suara.8
Penutup membran dari pita suara biasanya merah dan bengkak.
Nada terendah yang dikeluarkan pada pasien laringitis merupakan hasil
dari penebalan yang tidak teratur sepanjang pita suara. Beberapa penulis
percaya bahwa pita suara menegang daripada menebal.8

2.2.5 Manifestasi klinis


Gejala yang muncul dapat berupa demam, malaise, serta gejala
lokal seperti suara parau sampai tidak mengeluarkans uara sama sekali

9
(afonia), nyeri saat menelan atau berbicara, serta gejala sumbatan
laring. Selain itu juga terdapat batuk kering yang lam kelamaan disertai
dengan dahak kental.6
Pada pemeriksaan tampak mukosa laring hiperemis, bengkak,
terutama di atas dan di bawah pita suara. Infeksi biasnaya tidak terata
pada laring, naun merupakan suatu pan-infeksi yang melibatkan sinus,
telinga, laring, dan tuba bronkus.4,6
Gambar 2. mukosa laring yang normal dan mukosa laring & plika vokalis

yang tampak hiperemis dan edema

2.2.6 Diagnosis3,6
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dapat ditanyakan gejala
utama yang muncul biasanya berupa suara serak, perasaan tidak
nyaman dan nyeri ketika menelan atau berbicara, biasanya juga dapat
disertai batuk kering. Dapat terjadi episode afonia yang mengikuti
infeksi saluran nafas atas seperti rhinorrhea dan nyeri pada
tenggorok. Pada laringitis akut dapat terjadi tanda radang umum seperti
demam dan malaise. Demam dan gejala umum lain bergantung pada
seberapa beratnya infeksi.
Pada pemeriksaan tampak mukosa laring hiperemis, membengkak,
terutama di daerah atas dan bawah pita suara. Biasanya terdapat pula
tanda radang akut di hidung, sinus paranasal, atau paru.
Untuk pemeriksaan laring dilakukan dengan laringoskopi indirek.
Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan tampak edema

10
terutama dibagian atas dan bawah glotis. Namun pada kondisi akut
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena struktur di sekitar daerah laring
mengalami hipersensitivitas. Untuk membantu mengatasi masalah ini
maka dapat digunakan agen anestesi lokal berupa spray xylocaine 4-
10%.

2.2.7 Tatalaksana6
Tatalaksana utama laryngitis adalah pencegahan penggunaan suara
berebihan dan menghindari iritan lainnya. Beberapa yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Umumnya dapat sembuh sendiri.
2. Istirahat berbicara dan dan bersuara selama 2-3 hari
3. Menghirup udara lembab untuk melembutkan jalan napas dan
membantu membersihka sekresi eksudat
4. Menghindari iritasi pada faring dan laring (misalnya merokok,
makanan pedas dan dingin).
5. Berikan mukolitik jika disertai dengan batuk produktif.
6. Berikan kosrtikosteroid atau antihistamin
7. Antibitotika diberikan apabila peradangan berasal dari paru.
8. Bila terdapat sumbatan laring, dilaukan pemasangan pipa
endotrakea, atau trakeostomi.

2.2.8 Prognosis
Laringitis akut biasanya sembuh sendiri dan diobati dengan terapi
konservatif. Prognosis untuk penderita laringitis akut ini umumnya baik
dan pemulihannya selama satu minggu. Namun pada anak khususnya pada
usia 1-3 tahun penyakit ini dapat menyebabkan udem laring dan udem
subglotis sehingga dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas dan bila hal
ini terjadi dapat dilakukan pemasangan endotrakeal atau trakeostomi.

2.2.9 Komplikasi

11
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu laringitis kronik, apabila
gejala menetap dan tidak ada perubahan selama lebih dari 3 minggu.6

2.4 Vocal Nodule1,2,6


2.4.1 Definisi
Vocal nodule atau nodul pita suara adalah pembengkakan pita suara
bilateral dengan ukuran bervariasi yang ditemukan pada bagian tengah
membrane pita suara. Nodul ini memiliki karakteristik berupa
penebalan epitel dengan tingkatan reaksi infl amasi berbeda pada
lapisan superfi sial lamina propia.3 Kelainan ini sering juga disebut
dengan “singer’s nodes”, “screamer’s nodes” atau “teacher’s nodes”.

2.4.2 Etiologi
Nodul pita suara umumnya terjadi karena penyalahgunaan suara
(vocal abuse). Pada awalnya terdapat edema dan vasodilatasi (diatesis
prenodular) pada pita suara, sehingga menyebabkan penambahan massa
namun tidak terlalu memengaruhi ketegangan pita suara.4 Vocal abuse
menjelaskan perlakuan suara (vocal behaviour) yang berhubungan
dengan kualitas suara normal yang seringkali menyebabkan
abnormalitas pita suara dan menghasilkan disfonia.
Vocal abuse bercirikan suara yang berangsurangsur menurun,
terutama disebabkan oleh:
a. Latihan suara yang berlebihan
b. Menghabiskan banyak waktu bekerja di studio
c. Bernyanyi terlalu keras
d. Bernyanyi di luar kapasitas suara sang penyanyi.
Berteriak atau berbicara di area dengan suasana berisik (misalnya:
restoran atau lapangan terbang) juga dapat menjadi salah satu penyebab.
Nodul pita suara dapat juga disebabkan oleh infeksi, alergi, dan refluks.
Kebiasaan merokok dinyatakan sebagai faktor tambahan.

12
2.4.3 Epidemiologi
Prevalensi nodul pita suara pada populasi umum tidak diketahui
pasti tetapi telah dilaporkan bahwa hal ini menyebabkan suara serak
pada 23,4% anak-anak, 0,5-1,3% pasien klinik THT dan 6% pasien
klinik phoniatric. Pada sebuah studi, prevalensi yangditemukan adalah
43% dari 218 kasus disfoni dari 1046 guru wanita di Spanyol. Para guru
rata-rata berbicara selama 102 menit per 8 jam. Pada penyanyi yang
bersuara serak, 25% mengalami nodul pita suara.

2.4.4 Patofisiologi
Bagian pita suara yang berperan dalam vibrasi hanya 2/3 anterior
(bagian membranosa), karena kartilago aritenoidea terdapat pada 1/3
posterior bukaan glotis (glottic aperture). Vibrasi yang
berkepanjangan atau terlalu dipaksakan dapat menyebabkan kongesti
vaskular setempat dengan edema bagian tengah membranosa pita
suara, tempat kontak tekanan paling besar. Akumulasi cairan pada
submukosa akibat vocal abuse menyebabkan pembengkakan
submukosa (terkadang disebut insipien atau nodul awal). Voice abuse
yang lama dapatmengakibatkan hialinisasi Reinke’s space dan
penebalan epitelium dasar. Perubahan massa mukosa mengurangi
kemampuan ketegangan pita suara dan penutupan glottis yang tidak
sempurna.

2.4.5 Manifestasi Klinis


Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada penderita nodul pita suara:
a. Suara terdengar kasar, serak dan pecah
b. Menghilangnya kemampuan bernyanyi nada tinggi dengan halus
c. Menurunnya kemampuan modulasi suara
d. Meningkatnya pengeluaran udara saat berbicara (breathiness) dan
suara parau
e. Pada saat bernyanyi terasa seperti memaksa

13
f. Pemanasan suara yang lebih lama
g. Peningkatan tegangan otot leher dan masalah tenggorokan.
Pada pasien dengan nodul berukuran sedang sampai besar, suara
saat berbicara umumnya lebih rendah daripada biasanya, dalam dan
berat (husky), parau, dan breathy. Sedangkan pasien dengan
pembengkakan yang tidak terlihat sampai sedang biasa bersuara
normal. Suara saat berbicara kurang sensitive dibandingkan dengan
suara saat bernyanyi.
Pada pasien dengan pembengkakan yang tak terlihat sampai kecil,
terdapat limitasi vokal saat dilakukan penilaian vokal (seperti
diplophonia, tidak dapat bernyanyi nada tinggi dengan suara yang
lembut atau keterlambatan onset bersuara).
Pemeriksaan laringoskopi sering menunjukkan penutupan glotis
yang tidak sempurna, dengan bentuk menyerupai jam pasir dan aduksi
pada pita suara palsu saat fonasi.
Laringoskopi menunjukkan adanya lesi kecil berbatas tegas pada
pita suara. Lesi-lesi ini dapat dibedakan dari pita suara normal karena
warnanya putih dan umumnya ditemukan pada 2/3 posterior pita suara.
Lesi nodul ini tidak timbul secara unilateral, walaupun ukuran yang satu
dapat lebih besar daripada yang lain. Secara histologi, ditemukan
jaringan fibrotik dengan penebalan epitel dan proliferasi jaringan
submukosa.Pemeriksaan mikrolaringskopi dilakukan apabila pada
keadaan sebagai berikut:
1. Pada anak yang dicurigai memiliki nodul pita suara tetapi tidak
dapat diajak bekerja sama untuk pemeriksaan lain.
2. Pada orang dewasa jika perlu operasi mikro eksisi nodul atau saat
diagnosis masih belum jelas. Nodul dapat dieksisi dengan
menggunakan instrumen operasi mikro yang tepat atau teknik
vaporisasi menggunakan laser CO2.

14
Gambar 3. Nodul pita suara yang terletak pada pertemuan anterior dan
sepertiga tengah pita
2.4.7 Tatalaksana
Terapi Medis
Penanganan berfokus pada lubrikasi laring yang baik melalui
hidrasi dan mengobati penyebab lain seperti alergi dan refluks asam
lambung (GERD). Hidrasi yang adekuat dapat membantu mukosa pita
suara menahan kekuatan dan tenaga paksaan getaran.

Behavioral Voice Therapy (Terapi Wicara)


Terapi behavioral ini diberikan pada sebagian besar nodul pita
suara karena behavior dan pada pasien yang mengalami gangguan suara
karena infeksi saluran pernapasan atas. Terapi ini sebaiknya menjadi
pengobatan lini pertama, terutama pada anak dan dewasa. Dokumentasi
foto nodul di klinik suara (voice clinic) dapat digunakan untuk menilai
kemajuan pengobatan dan kepatuhan pasien selama terapi wicara.

Terapi Operatif
Pengangkatan nodul dengan cara operasi menjadi pilihan jika
nodul tersebut menetap meskipun sudah mengecil dan pasien
merasakan suaranya tetap tidak membaik setelah terapi yang adekuat
(umumnya minimum 3 bulan). Beberapa penulis memilih menggunakan
teknik microdissection (Gambar 5). Vocal fold stripping tidak termasuk
dalam operasinodul.

15
Lama istirahat pita suara yang diperlukan setelah operasi masih
kontroversial. Biasanya pasien diminta beristirahat berbicara selama 4
hari. Pada awal hari ke-4, pasien diperbolehkan menggunakan suara
secara perlahan-lahan di bawah supervisi ahli terapi wicara.

BAB III
PENUTUP

16
3.1 Kesimpulan
Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang
disebabkan kelainan pada organ-organ fonasi, terutama laring, baik yang
bersifat organik maupun fungsional. Disfonia bukan penyakit, tetapi
merupakan gejala penyakit atau kelainan laring. Berikut ini akan dibahas dua
penyebab disfonia tersering adalah laryngitis akut dan vocal nodule atau
nodul pita suara.
Laringitis merupakan inflamasi laring yang terjadi kurang dari 3
minggu. Penyebabnya dapat berupa infeksi maupun non infeksi. Gejala
umum yaitu suara serak, demam, dan malaise. Diagnose dapat ditegakkan
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Terapi dapat dilakukan dengan konservatif.
Nodul pita suara merupakan penyebab tersering disfoni menetap pada
anak-anak. Nodul pita suara juga merupakan penyebab perubahan kualitas
suara individu yang sering menggunakan suaranya secara profesional, seperti
penyanyi, oleh karena itu nama lainnya adalah “singer’s nodes” atau
“screamer’s nodes” atau sering juga disebut “teacher’s nodes”.
Strategi penanganan nodul pita suara dilakukan secara konservatif;
terapi wicara merupakan terapi paling utama. Pada terapi wicara ini, pasien
diajari bagaimana menggunakan suara dengan tepat, sehingga dengan
demikian dapat meregresi nodul-nodul tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Yuwono N, Novita S. Nodul Pita Suara ( Singer ’ s Nodes ). Kalbemed.

2014;41(6):428–31.

17
2. Maharjan S, Parajuli R, Neopane P. Vocal Nodules and Polyps : Clinical

and Histological Diagnosis. 2017;8(5):8–10.

3. Hermani B,Kartosudiro S & Abdurrahman B, Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi ke 5. Jakarta :

FKUI.2007:190-200

4. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed.

Jakarta: EGC; 2014. 369 p.

5. Abdurrahman MH, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Edisi ke 2. Jakarta :

FKUI.2003

6. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 7th ed.

Jakarta: FKUI; 2012. 216 p.

7. Kasper, Dennis L. Harrison’s Principles of Internal Medicine, Edisi 16.

USA: McGraw Hill. 2005. h 192.

8. hah RK. Acute Laryngitis. Medscape; 2017.

9. Jhon SD & Maves MD Surgical Anatomyof the Head and Neck. In Byron-

Head and Neck surgery Otolaryngology.ed3.Vol I,USA.Wilkins

Publisher,2001:9

18

Anda mungkin juga menyukai