Anda di halaman 1dari 17

Presentasi Kasus Sulit Kepada Yth

Indra Ihsan Bapak/ibu dr..............................


Rabu, 6 Maret 2013

ABSES REGIO TIP NASI DENGAN KOMPLIKASI MENINGITIS


DAN ABSES ORBITA

Seorang anak laki-laki, usia 1 tahun 6 bulan, dirawat dibangsal anak RSUP Dr. M. Djamil
dan rawat bersama dengan bagian mata dan THT sejak tanggal 16 februari 2013.
Anamnesis (Alloanamnesis didapatkan dari Ibu kandung)
Keluhan utama : Kejang berulang disertai penurunan kesadaran sejak 12 jam yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang
Muncul bisul pada puncak hidung 5 hari yang lalu, berukuran sebesar jarum
pentul, bisul pecah 2 hari yang lalu, bernanah berwarna kekuningan. Demam 1 hari yang
lalu, tinggi, hilang timbul, tidak menggigil. Kelopak mata kiri bengkak, merah dan
bernanah sejak 1 hari yang lalu, dan 8 jam kemudian kelopak mata kanan juga bengkak
dan memerah tetapi tidak bernanah. Kejang berulang sejak 12 jam yang lalu, frekuensi ±6
x, lama 30 detik – 1 menit, kejang seluruh tubuh dengan mata melihat ke atas, kejang
berhenti sendiri, anak tidak sadar setelah kejang kedua, ini merupakan episode kejang
yang pertama. Batuk pilek tidak ada, Sesak nafas tidak ada. Muntah tidak ada. Riwayat
gigi berlobang tidak ada, riwayat trauma pada wajah dan kepala tidak ada, riwayat keluar
cairan dari telinga tidak ada. Riwayat sering demam dan batuk pilek berulang tidak ada.
Riwayat mendapat pengobatan kortikosteroid yang lama tidak ada. Buang air kecil jumlah
dan warna biasa. Buang air besar warna dan konsistensi biasa. Anak kurang mau makan
sejak 2 hari yang lalu, biasanya makan makanan keluarga 3x perhari, dihabiskan 1 piring
kecil + susu 4x200cc/hari, semenjak 2 hari yang lalu anak hanya mau minum susu
4x200cc. Anak sudah dibawa berobat ke bidan 1 hari yang lalu, diberi obat demam dan
antibiotik tetapi karena mengalami kejang, keluarga langsung membawa anak ke RSUP
M Djamil Padang, saat di IGD telah dikonsulkan ke bagian mata dengan kesan
:ditemukan tanda-tanda selulitis preseptal (kemungkinan terjadi selulitis orbita bisa
disingkirkan) dan diberi terapi kloramfenikol salep mata 3 x perhari pada kedua mata.
Dan kebagian THT dengan kesan abses regio tip nasal dengan destruksi septum dan
penjalaran intrakranial.

1
Riwayat Penyakit dahulu
- Tidak pernah menderita kejang dengan atau tanpa demam sebelumnya, tidak
pernah menderita bisul yang berulang.

Riwayat Penyakit keluarga


 Tidak ada keluarga yang menderita kejang dengan atau tanpa demam sebelumnya

Riwayat kehamilan dan persalinan : Pasien merupakan anak ke-2 dari 2 bersaudara.
Selama hamil ibu sehat dan rajin kontrol ke bidan dan spesialis kandungan. Lahir dengan
Sectio secarea atas indikasi bekas sectio secaria, cukup bulan, berat badan lahir 3100
gram, panjang badan lahir 51 cm, Langsung menangis . Kesan riwayat kehamilan dan
persalinan dalam batas normal.

Riwayat pemberian nutrisi : Pasien hanya mendapat air susu ibu (ASI) sampai berusia 3
bulan, karena ibu bekerja. Susu formula umur 3 bulan sampai sekarang. Jenis makanan
tambahan berupa buah biskuit, bubur susu saat usia 4-8 bulan. Nasi tim diberikan usia 9
bulan sampai 12 bulan. Anak sudah mendapatkan makanan keluarga 3x1 porsi sejak umur
satu tahun dengan lauk ikan 3 kali seminggu, telur 5 kali seminggu, daging satu kali
seminggu disertai dengan tahu tempe dan sayur mayur.
Kesan: riwayat asupan nutrisi cukup secara kualitas dan kuantitas.

Riwayat tumbuh kembang dan imunisasi


Berat badan terus meningkat sesuai dengan pertambahan umur. Berat dan tinggi badan
tidak tertinggal dibandingkan teman sebayanya,
Perkembangan anak dimulai dengan tengkurap usia 3 bulan, duduk usia 6 bulan,
berdiri usia 10 bulan, berjalan usia 12 bulan dan bicara usia 15 bulan.
Kesan pertumbuhan dan perkembangan dalam batas normal.
Pasien mendapatkan imunisasi di posyandu, imunisasi BCG tidak ada, DPT, polio
dan hepatitis B usia 2 dan 4 bulan, campak usia 9 bulan.
Kesan : imunisasi dasar tidak lengkap
Riwayat sosial ekonomi dan kondisi lingkungan
Ayah berusia 36 tahun, pendidikan S1, bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS),
dengan penghasilan Rp 3.200.000,-/bulan, tinggi badan ayah 165 cm. Ibu berusia 33
tahun, pendidikan S1, bekerja sebagai PNS, tinggi badan ibu 160 cm. Saat ini pasien

2
tinggal di rumah permanen bersama kedua orang tua,kakek dan nenek, serta 1 orang
kakak. Kakak perempuan pasien berumur 4 tahun. Semua anggota keluarga dalam kondisi
sehat. Sumber air minum PDAM, jamban keluarga berada di dalam rumah, sampah
dibakar, halaman rumah cukup luas.
Kesan: Pasien berasal dari keluarga kelas sosial ekonomi menengah dengan higieni dan
sanitasi lingkungan baik.

Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum tampak sakit berat, tidak sadar : GCS E4M5V1 (10), tekanan darah 90/60
mmHg, laju denyut nadi 116 kali/menit, laju nafas 26 kali/menit, suhu 38 0C. Berat badan
12,5 kg ( P50-75 kurva CDC-NCHS 2000), tinggi badan 86 cm ( P90 kurva CDC-NCHS
2000), BB/U 105,9%, TB/U 102,38%, BB/TB 100%) dengan kesan gizi baik.
Kulit teraba hangat. Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening. Bentuk
kepala normal dan simetris, ubun-ubun besar telah menutup, lingkar kepala 50 cm
(normal standar Nellhaus).
Status oftalmologi:
Status optikus Okuli dextra (OD) Okuli sinistra (OS)
Visus Mengikuti objek Mengikuti objek
Palpebra Oedem (+) Oedem (+)
Konjungtiva Hiperemis(+),Injeksi Hiperemis(+),Injeksi
konjungtiva (+), sekret (+) , konjungtiva (+), sekret (+) ,
kemosis (-) kemosis (-)
Kornea Bening Bening
COA Cukup dalam Cukup dalam
Pupil Bulat, reflex cahaya (+/+) Bulat, reflex cahaya (+/+)
Lensa Bening Bening
Funduskopi Belum bisa dilakukan Belum bisa dilakukan
Gerakan Bebas Bebas
Posisi Ortho Ortho

Pemeriksaan fisik THT, telinga tidak ditemukan kelainan, hidung; luar tampak
abses yang pecah pada regio tip nasi, pus positif, daerah sekitar hiperemis. Kavum nasi
dextra; sempit, pasase udara berkurang, septum hiperemis, oedema positif. Kavum nasi
sinistra; sempit, pasase udara tidak ada, septum hiperemis, odema postif. Mukosa mulut
dan bibir basah, oral thrush tidak ada, carries dentis tidak ditemukan. Kaku kuduk tidak
ada. Bentuk dada simetris, normal, tidak ditemukan retraksi. Pemeriksaan palpasi paru
teraba fremitus kiri sama dengan kanan, terdengar suara sonor pada perkusi dan pada

3
auskultasi terdengar suara nafas vesikuler normal, tidak ditemukan suara nafas tambahan.
Pemeriksaan jantung ; iktus tidak terlihat, iktus teraba 1 jari medial garis tengah klavikula
sinistra ruang intercostals V, batas jantung dalam batas normal, irama teratur, tidak
ditemukan bising.
Pemeriksaan abdomen tidak tampak membuncit, teraba hepar dengan ukuran 1/4-
1/4, konsistensi kenyal padat, permukaan rata, pinggir tajam, lien tak teraba. Perkusi
timpani, bising usus positif normal. Genitalia tak ditemukan kelainan. Akral hangat,
perfusi baik. Reflek fisiologis +/+ normal, reflek patologis ( Babinsky, Chaddock ,
Oppeinheim , Gordon Schaeffer) tidak ditemukan. Tanda rangsangan meningeal
(Brudzinky I & II, kernig) tidak ditemukan.

Hasil pemeriksaan laboratorium rutin:


Pemeriksaan darah; hemoglobin 11 gr/dl, leukosit 7.200/mm3, hitung jenis 0/2/9/51/37/1,
trombosit : 163.000/mm3. Urin dan feses dalam batas normal

Daftar masalah
 Kejang dengan penurunan kesadaran
 Abses regio tip nasi
 Selulitis preseptal ODS
 Imunisasi dasar tidak lengkap

Diagnosis kerja
 Susp meningitis purulenta
DD/ gangguan elektrolit (hiponatremia, hipokalsemia)
gangguan metabolik (hipoglikemia)
 Abses regio tip nasi
 Selulitis preseptal ODS

Tata laksana
1. Suspek meningitis purulenta
DD/: gangguan elektrolit
gangguan metabolik

4
 Diagnostik : Elektrolit, Gula darah, CT-Scan kepala, Lumbal pungsi, Kultur
LCS
 Terapi :
o O2 1 liter/menit (nasal)
o Sementara puasa
o IVFD 2 A 105 cc/kgbb/hari (restriksi 20%) =850 cc/hari=12
tetes/menit makro
o Dexametason bolus 6,25 mg IV, dilanjutkan 3x2 mg IV
o Ampisilin 6x625 mg IV
o Kloramfenikol 4x300 mg IV
o Luminal 75 mg IM, dilanjutkan luminal 2x60 mg peroral (4
jam setelah luminal IM)
 Edukasi : Menjelaskan kepada orangtua tentang penyakit, pengobatan dan
komplikasi yang bisa muncul.
2. Abses regio tip nasi
 Diagnostik : Klinis, pemeriksaan fisik, kultur pus, kultur darah, CT scan
maxilla
 Terapi :
o Eksplorasi abses yang telah pecah dalam anastesi lokal
o Antibiotik intravena (sesuai terapi meningitis)
o Metronidazol bolus 185 mg IV, dilanjutkan 4x100 mg IV
o Gentamisin salep 2xsehari
 Edukasi : Tentang pencegahan infeksi sekunder

3. Selulitis preseptal
 Diagnostik : anamnesis, pemeriksaan fisik, kultur sekret mata, CT-scan orbita
 Terapi :
o Antibiotik intravena (sesuai dosis meningitis)
o Kloramfenikol salep mata 3xsehari ODS
 Edukasi : Menjelaskan mengenai penyakit, pengobatan dan komplikasi
yang ditimbulkan. Pencegahan terjadinya infeksi sekunder

Hasil pemeriksaan penunjang


Elektrolit serum ; natrium 129 mmol/l kesan hiponatremia, belum perlu koreksi. Kalium
4 mmol/l kesan dalam batas normal. Kalsium 8.8 mg/dl, kesan dalam batas normal. Gula
darah random (GDR) 100 mg/dl, kesan dalam batas normal. Hasil expertise CT Scan
kepala oedem serebri, belum perlu pemberian terapi. Hasil lumbal pungsi; cairan mengalir
pelan, warna keruh, nonne dan pandy positif, jumlah sel 1999 (PMN 88%, MN 12%),
pemeriksaan protein tidak bisa dilakukan karena reagen habis, glukosa : 52 mg/dl, kesan
sesuai gambaran meningitis purulenta.

5
Rawatan hari 1-2
Anak masih demam, tidak tinggi. Bengkak pada kedua kelopak mata tidak bertambah.
Bisul pada puncak hidung masih basah, berkurang dari sebelumnya. Kejang tidak ada.
Anak sudah mulai diberi minum per sonde, toleransi minum baik. Muntah tidak ada, seak
nafas tidak ada. BAK ada jumlah cukup, warna biasa. Sakit berat, GCS 10 E4M5V1,
Tekanan darah 90/60 mmHg, laju denyut nadi 110x/menit, laju nafas 26x/menit. Suhu
38,1oC. Status optalmologi;
Status optikus Okuli dextra (OD) Okuli sinistra (OS)
Visus Mengikuti objek Mengikuti objek
Palpebra Oedem (+) berkurang Oedem (+),berkurang
Konjungtiva Hiperemis(+), sekret (+) Hiperemis(+),Injeksi
berkurang , kemosis (-) konjungtiva (+), sekret (+) ,
kemosis (-)
Kornea Bening Bening
COA Cukup dalam Cukup dalam
Pupil Bulat,ukuran 2 mm, reflex Bulat, ukuran 2 mm,reflex
cahaya (+/+) cahaya (+/+)
Lensa Bening Bening
Funduskopi Belum bisa dilakukan Belum bisa dilakukan
Gerakan Bebas Bebas
Posisi Ortho Ortho

Pemeriksaan THT
Nasal : oedema berkurang, hiperemis berkurang. Tip nasi terdapat pus 0,3 cc. Kavum nasi
dextra; sempit, pasase udara berkurang, septum hiperemis, oedema positif. Kavum nasi
sinistra; sempit, pasase udara tidak ada, septum hiperemis, odema postif.
Pemerksaan jantung dan paru tidak ditemukan kelainan, abdomen tidak ada distensi,
hepar teraba 1/4 -1/4, lien tidak teraba. bising usus normal, akral hangat reffiling kapiler
baik. Balance cairan -11 cc, diuresis : 2 cc/kgbb/jam
Kesan perbaikan klinis minimal. Terapi IVFD 2A 12 tetes/menit makro, MC 8x15cc,
terapi lain lanjut.
Rawatan hari ke 3-4
Secara klinis tidak banyak perubahan, anak masih demam hilang timbul dengan suhu
tertinggi 37,9 0C, kesadaran mulai membaik (GCS E3M5V4, 12). Bengkak pada kedua
kelopak mata makin berkurang, abses pada hidung mulai kering. Anak saat ini sudah
mendapat makanan cair 8x100 cc per sonde. Pemeriksaan fisik abdomen ditemukan
pembesaran hepar 1/3-1/3, kenyal padat, permukaan rata, lien tidak teraba.

6
Rawatan hari ke 5-6
Anak mulai tidak demam, kejang tidak ada, bengkak pada mata tidak bertambah.
Kesadaran makin membaik (GCS 13, E4M6V3), mendapatkan makanan cair 8x150 cc
personde. Infus sudah dilepas pada hari ke-5. Abdomen tidak ada distensi, hepar teraba
1/3 1/3, lien tidak teraba. Kesan perbaikan klinis
Hari ke-5 rawatan keluar hasil kultur; hasil kultur darah steril, kultur sekret mata tidak
ditemukan pertumbuhan kuma, kultur pus abses hidung : Staphylococcus aureus sensitif
dengan cefotaxim, kloramfenikol, ciprofloxacin, ertromicin, gentamicin, netilmicin, dan
kotrimoksazol. Resisten dengan amoxilin, ampicilin, ceftazidin. Intermediet dengan
ampicilin sulbactam, dan ceftriaxon.
Sikap : Ganti antibiotik ampicilin dengan cefotaxim 3x800 mg IV, kloramfenikol
diteruskan. Saat ini antibiotik metronidazol telah dihentikan sesuai advice bagian THT

Rawatan hari ke 7
Anak kembali demam, sembab pada kedua kelopak mata makin bertambah, kejang tidak
ada, muntah tidak ada, sesak nafas tidak ada,toleransi minum baik, BAK ada jumlah
cukup warna biasa, BAB biasa. Sakit berat, GCS E4M6V3, laju nadi 102x/i, suhu 38.4oC,
Nf 26x/i, berat badan 12,3 kg. Kulit hangat, mata konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik, edem palpebra bertambah, neovaskularisasi +/+, hiperemis +/+, pupil isokor
diameter 2mm, reflek cahaya +/+ normal. Hidung; pus tidak ada, cor dan pulmo tidak
ditemukan kelainan, abdomen tidak ada distensi, hepar teraba 1/3 1/3, pinggir tajam,
kenyal rata, lien tidak teraba. bising usus normal, akral hangat reffiling kapiler baik.
Kesan perburukan (febris + oedem palpebra masih bertambah). Terapi antibiotik
diteruskan dan anak kembali diberikan metronidazol IV dengan pertimbangan anak
sebelumnya perbaikan dengan metronidazol dan kembali demam setelah metronidazol
dihentikan. Sikap : metronidazol 4x100mg iv, terapi lain lanjut
Saat ini dilakukan CT-scan maxila dengan kesan tampak lesi hipodens didaerah kavum
nasi kiri-kanan ukuran 2,5x2x2,4 batas tegas, tepi reguler yang mendestruksi septum nasi
sampai ke kantus. Tak tampak perluasan lesi kesinus paranasal. Kesan : susp abses cavum
nasi tidak disertai perluasan ke sinus paranasal + perluasan ke retro-orbita.

Rawatan hari ke 8-9

7
Anak demam tinggi, hilang timbul, bengkak pada mata makin bertambah disertai kedua
bola mata menonjol. Anak makin rewel dan gelisah. Bisul pada hidung telah kering,
kejang tidak ada, muntah tidak ada, BAK ada jumlah cukup warna biasa, BAB biasa.
Sakit berat, sadar, TD 90/60 mmHg Nd 108x/i, T 39.2oC, Nf 26x/i.
Status optikus Okuli dextra (OD) Okuli sinistra (OS)
Visus Sukar dinilai Sukar dinilai
Palpebra Oedem bertambah, proptosis (+) Oedem bertambah, proptosis (+)
Konjungtiva Hiperemis(+),sekret (+) kemosis Hiperemis(+,sekret (+) , kemosis
(+) (+)
Kornea bening Bening
COA Sukar dinilai Sukar dinilai
Pupil Sukar dinilai Sukar dinilai
Lensa Sukar dinilai Sukar dinilai
Funduskopi Belum bisa dilakukan Belum bisa dilakukan
Gerakan Terbatas Terbatas
Posisi Protusio Protusio

Kesan perburukan klinis (selulitis orbita, kemungkinan trombosis sinus kavernosus belum
bisa disingkirkan). rencana cek darah rutin dan kultur darah ulang, ganti antibiotik. Hasil
laboratorium; Hb 9.9 gr/dl, leukosit 23.850/mm3, hitung jenis : 0/0/3/60/34/3
Kesan : Penurunan hemoglobin dan leukositosis ec proses infeksi yang masih berlanjut
Konsul supervisor : belum perlu ganti antibiotik. Tambahan terapi dari bagian mata;
ulcory tetes mata 6x1 gt ODS, cenfresh tetes mata 6x1 gt ODS.

Rawatan hari ke 10
Anak masih demam tinggi (38,6-39,2 0C), klinis belum ada perbaikan, bengkak pada mata
belum berkurang. Konsul supervisor, tambahkan antibiotik vankomisin. Sikap
vankomisin 3x250 mg IV, terapi lain dilanjutkan

Rawatan hari ke 12
Demam mulai turun, bengkak pada kedua mata belum berkurang. Kejang tidak ada,
Intake masuk per oral, toleransi baik, muntah tidak ada. GCS 13, E4M6V3, laju nadi
105x/menit, laju nafas 24 x/menit, suhu 38 0C. BB 12,3 kg. Kultur darah ke II steril.
Sikap antibiotik cefotaxim dan kloramfenikol dihentikan. Advise konsultan mata, berikan
tambahan antiobiotik mereponem 3x500 mg IV.

Rawatan hari ke 15

8
Demam masih ada, hilang timbul, tidak tinggi. Bengkak pada mata mulai berkurang,
kelopak mata sudah mulai bisa membuka. Saat ini anak mendapatkan terapi; MC 8x150
cc, vankomisin 3x250 mg IV hari ke-6, meropenem 3x500 mg IV hari ke-4, metronidazol
4x100 mg IV hari ke-13. Cenfresh 6x1 gt ODS, Ulcory 6x1 gt ODS, luminal 2x30 mg po.

DISKUSI

Dilaporkan satu kasus abses regio tip nasal yang disebabkan Staphylococcus aureus
dengan komplikasi meningitis dan abses orbita yang ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan fisik THT dan mata, serta pemeriksaan penunjang
tomografi komputer sinus paranasal dan orbita.
Daerah segitiga yang dibentuk oleh glabela dan kedua sudut bibir merupakan zona
bahaya. Infeksi pada daerah tersebut dapat berakibat fatal. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup sehingga darah dapat mengalir kesegala arah tergantung kepada tekanan
sistem vena dalam gradasi yang kuat. Hal ini merupakan faktor predisposisi mudahnya
penyebaran infeksi baik secara anterograt maupun retrograd ke orbita ataupun ke
intrakranial. Vena pada daerah segitiga berbahaya akan mengalir ke vena angularis, vena
oftalmika, vena etmoidalis dan bermuara pada sinus kavernosus yang terletak diantara
duramater pada lapisan meningen. Disamping penyebaran secara hematogen, infeksi pada
hidung juga dapat menyebar ke intrakranial melaui aliran limfe dari meatus superior
melalui lamina kribriformis dan lamina perpendikularis os etmoid yang bermuara ke
ruang subarachnoid. Selubung perineural yaitu selubung olfaktorius juga dapat menjadi

9
rute penjalaran infeksi ke intrakranial melalui lamina kribriformis. 2,3 Pada kasus ini
terdapat fokal infeksi berupa abses pada regio tip nasi yang terletak pada zona bahaya di
wajah. Abses ini kemudian mengalami komplikasi berupa meningitis dan selulitis
preseptal (yang kemudian berkembang menjadi abses retro orbita). Penyebaran infeksi ke
intrakranial dan orbita pada kasus ini diduga terjadi secara retrograd melalui jalur
hematogen dan mungkin juga melalui aliran limfe.

Gambar 1. Anatomi sistem vena dan area segitiga berbahaya pada wajah

Diagnosis meningitis purulenta pada kasus ini berdasarkan adanya gejala kardinal
meningitis berupa demam di ikuti kejang dan penurunan kesadaran serta adanya fokal
infeksi yang jelas berupa abses pada regio tip nasal. Pada kasus ini tidak dijumpai tanda
rangsangan meningeal, tetapi dari pemeriksaan lumbal pungsi didapatkan hasil yang
sangat mendukung diagnosis meningitis purulenta. Cairan LCS berwarna keruh,
pemeriksaan Nonne dan Pandy positif. Jumlah sel > 1.000/mm 3 dengan dominasi sel
PMN. Glukosa LCS menurun lebih setengah dari glukosa serum.
Selulitis orbita (postseptal) merupakan infeksi yang mengenai jaringan posterior
septum orbita, termasuk jaringan lemak, otot dan rongga orbita. Sedangkan selulitis
preseptal merupakan infeksi jaringan lokal yang berada pada anterior septum orbita dan
tidak melibatkan bolamata dan rongga orbita.4 Selulitis preseptal dan selulitis orbita dapat
berkembang dari penyebaran secara eksogen ataupun endogen. Penyebaran secara
eksogen berasal dari kerusakan barrier kulit disekitar daerah mata dan hidung akibat
infeksi ataupun trauma. Penyebaran langsung melalui defek kelainan bawaan, foramen
atau garis sutura yang terbuka, erosi tulang terutama pada lamina papirasea dan
tromboflebitis retrograd langsung melalui pembuluh darah vena yang tidak berkatup yang
menghubungkan orbita dengan wajah, kavum nasi, dan sinus paranasal. Penyebaran
secara endogen dapat berasal dari sepsis atau endoftalmitis. 5

10
Selulitis orbita paling sering terjadi akibat komplikasi sinusitis terutama sinusitis
maxilla. Disamping itu dapat akibat infeksi lokal pada daerah sekitar wajah, infeksi gigi
dan dakriosititis. Pada anak selulitis preseptal dapat berkembang menjadi selulitis orbita
karena perkembangan septum orbita belum sempurna.4Pada kasus ini terjadi selulitis
preseptal sekunder akibat penjalaran infeksi dari abses hidung dan kemudian berkembang
menjadi abses retro orbita. Secara anatomi terdapat 3 keadaan yang menjadi faktor
predisposisi terjadinya selulitis orbita4
a. Septum orbita
Septum orbita merupakan jaringan fibrosa yang memisahkan palpebra dengan
bola mata dan pada anak fungsi barrier septum orbita belum sempurna
b. Dinding medial orbita
Dinding medial orbita sangat tipis dan memiliki banyak celah berupa lobang-
lobang tempat lewatnya pembuluh darah dan syaraf. Hal ini memudahkan
terjadinya penyebaran infeksi kerongga orbita terutama infeksi yang berasal dari
sinus maxilaris.

c. Ruang subperiosteum
Merupakan ruang antara periorbita dan rongga orbita. Ruang subperiosteum
bagian medial merupakan tempat yang longgar dan merupakan lokasi paling
umum abses subperiosteum.
Chandler mengklasifikasi selulitis orbita kedalam 5 klasifikasi: 5
1. Selulitis periorbita : peradangan pada kelopak mata yang ditandai dengan edema
pada kelopak mata.
2. Selulitis orbita : peradangan dan edema sudah meluas ke orbita, ditandai dengan
adanya proptosis, kemosis, dan gangguan pergerakan bola mata. Biasanya bisa
meluas menjadi abses orbita dan kebutaan.
3. Abses periorbita (abses subperiosteal) : pembentukan dan pengumpulan pus
antaraperiorbita dan dinding tulang orbita, yang ditandai dengan proptosis dengan
perubahan letak bola mata, gangguan pergerakan bola mata dan penurunan visus.
4. Abses orbita : terdapat pembentukan dan pengumpulan pus di orbita ditandai
dengan optalmoplegi, proptosis, dan kehilangan penglihatan
5. Thrombosis sinus kavernosus : sudah terjadi perluasan infeksi ke sinus kavernosus
yang ditandai dengan proptosis, optalmoplegi, kehilangan penglihatan disertai
perluasan tanda infeksi ke mata yang sehat dan tanda-tanda meningitis

11
Gambar 2. Klasifikasi selulitis orbita menurut Chandler5
Berdasarkan klasifikasi Chandler, pada kasus ini saat masuk ditegakkan diagnosis
selulitis periorbita karena hanya ditemui oedema pada kedua palpebra, tidak dijumpai
protusio bulbi ataupun ekimosis dan pergerakan bola mata yang masih baik. Akan tetapi
selama rawatan oedem pada kedua palpebra makin bertambah, terjadi protusio bulbi
ODS, ditemui tanda-tanda oftalmoplegi, dan penurunan visus serta diperkuat dengan hasil
pemeriksaan tomografi komputer sehingga pasien didiagnosis dengan abses orbita.
Abses orbital sangat jarang dijumpai apalagi pada era antibiotik yang moderen
saat ini.6 Penelitian Seltz dkk (2004-2009), dari 94 kasus selulitis atau abses orbita pada
anak, didapatkan 8 kasus abses intraorbita (8,5%), yang paling banyak ditemukan adalah
abses subperiosteal (44%) dan selulitis orbita (42%).7 Abses orbita dapat terjadi dari
perluasan selulitis orbita, subperiosteal abses dan penumpukan sitokin inflamasi
intraorbita dan biasanya sekunder akibat pembedahan, emboli septik dan trauma mata. 6
Beberapa faktor yang menyebabkan perkembangan selulitis orbita menjadi abses
orbita antara lain daya tahan tubuh host yang rendah, virulensi kuman yang tinggi dan
penggunaan antibiotik yang tidak adekuat.4,5 Pada kasus ini disamping faktor usia tidak
dijumpai faktor resiko lain yang bisa menyebabkan keadaan imunodefisiensi pada host.
Pada kasus ini diberikan terapi antibiotik kombinasi secara intravena. Saat masuk
diberikan terapi secara empiris yaitu ampisilin dan kloramfenikol yang lebih difokuskan
untuk tatalaksana meningitis yang telah terjadi pada pasien ini, disamping itu juga
diberikan metronidazole untuk eradikasi kuman anaerob. Setelah kultur pus keluar

12
antibiotik diberikan sesuai uji sensitivitas. Ampisilin dihentikan karena dari uji sensitif
resisten terhadap kuman dan diganti dengan cefotaxim dosis meningitis, metronidazol
dihentikan pada hari ke-5 rawatan setelah hasil kultur keluar dan kloramfenikol
diteruskan. Selama rawatan gejala meningitis dan abses tip nasal mengalami perbaikan
tetapi tidak dengan gejala pada mata yang hari demi hari gejala semakin berat. Infeksi
pada mata yang awalnya hanya berupa selulitis preseptal dengan gejala bengkak dan
merah pada kelopak mata, berkembang menjadi abses orbita dengan gejala protusio bulbi,
kemosis, penurunan gerakan bola mata dan penurunan visus. Karena infeksi yang makin
berat dan klinis yang tidak perbaikan walupun telah diberikan antibiotik intravena yang
sesuai uji sensitivitas maka saat ini dipikirkan suatu infeksi Staphylococcus aureus
resisten metisilin (MRSA). Disamping itu lokasi abses orbita yang sulit untuk dilakukan
drainase sehingga efektivitas antibiotik menjadi berkurang, juga merupakan faktor lain
yang mempersulit penanganan abses orbita pada kasus ini.
Hasil kultur pus abses tip nasal ditemukan kuman Staphylococcus aureus yang
sensitif dengan kloramfenikol, gentamisin, cefotaxim, eritromisin, kotrimoksazol dan
netilmisin semntara antibiotik meropenem dan vankomisin tidak diuji. Tetapi hasil kultur
darah dan sekret mata tidak ditemukan pertumbuhan kuman. Kuman yang sama juga
diduga sebagai penyebab meningitis dan selulitis preseptal yang akhirnya menjadi abses
orbita. Hal ini berdasarakan kepada perjalanan penyakit dimana gejala meningitis dan
abses orbita muncul setelah abses tip nasal pecah yang menyebabkan kuman dapat
menyebar ke intraorbita dan intrakranial baik secara langsung ataupun melalui
penyebaran hematogen. Tetapi sayangnya dugaan ini tidak dapat dibuktikan karena kultur
sekret mata tidak ditemukan pertumbuhan kuman dan kultur LCS dan drainase abses
orbita tidak dilakukan.
Sebelum tahun 1985 (sebelum ditemukanya vaksin Haemofillus influenza),
Haemophilus influenza merupakan penyebab utama selulitis preseptal dan postseptal.
Saat ini dari beberapa penelitian menujukan bahwa penyebab utama selulitis orbita pada
anak adalah Staphylococcus aureus terutama jenis MRSA dan penyebab terbanyak kedua
adalah streptococcus.4,5 Penelitian Pandian dkk, di India ,77% selulitis orbita disebabkan
oleh Staphylococcus aureus terutama jenis MRSA (39%) dan 15 % disebabkan oleh
streptococcus pyogens.8 Hasil yang sama juga didapatkan dari penelitian Liu dkk, di
China.9 Sedangkan penelitian Seltz dkk di Kanada mendapatkan penyebab utama selulitis
orbita pada anak adalah Streptococcus anginosus (15%) dan Staphylococcus aureus
(9%).7

13
Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang termasuk dalam
family Staphylococcaceae berbentuk coccus bersifat aerob fakultatif, tidak menghasilkan
spora dan tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok, dengan
diameter sekitar 0,8-1,0 µm. S. aureus tumbuh dengan optimum pada suhu 37oC dengan
waktu pembelahan 0,47 jam. Bakteri ini merupakan flora normal saluran pernafasan atas
dan kulit, namun dalam keadaan tertentu dapat menyebabkan abses, impetigo, selulitis
bahkan dapat menyebabkan pneumonia, meningitis, osteomielitis, endokarditis bakterimia
dan sepsis. MRSA atau methicillin resistant staphylococcus aureus adalah strain dari
Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotik β-laktam, termasuk
penicillinase-resistant penicillins (methicillin, oxacillin, nafcillin) dan cephalosporin.10,11
MRSA dikasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu Healthcare-associated MRSA (HA-
MRSA) dan community-associated MRSA (CA-MRSA). Strain CA-MRSA secara tipikal
mengandung eksotoksin yang dinamakan toksin Panton- Valentine Leukodin (PVL). PVL
sering terdapat pada pasien yang imunokompeten tanpa adanya faktor risiko yang dapat
diidentifikasi. Strain CA-MRSA yang mengandung PVL ini mempunyai kemampuan
untuk menimbulkan kerusakan jaringan dan lekosit yang parah. PVL masuk melalui
lubang pada membran sel kemudian menghasilkan lesi pada permukaan kulit dan di
dalam mukosa saluran pernapasan. Tampilan klinis strain CA-MRSA yang mengandung
PVL biasanya tampak sebagai gambaran infeksi kulit dan jaringan lunak /skin and soft
tissue infection (SSTI), seperti bisul, jerawat, furunkel, dan abses kulit. Gambaran klinik
dari SSTI itu biasanya digambarkan dan didiagnosis sebagai “gigitan serangga atau laba-
laba”. Pilihan terapi infeksi MRSA adalah vankomisin yang bersifat bakterit dengan
menghambat sintesis dinding sel bakteri. 10,11
Penatalaksanaaan selulitis orbita tergantung pada stadium klasifikasi Chandler.
Tatalaksana meliputi perawatan lokal, antibiotik yang adekuat dan intervensi bedah.
Perawatan lokal bertujuan untuk mencegah infeksi sekunder dan mencegah komplikasi
terutama kerusakan kornea. Antibiotik yang digunakan dapat diberikan secara oral atau
intravena. Pemberian antibiotik secara oral di indikasikan pada selulitis pre septal (stage
1), dapat digunakan dicloxacillin, cephalexin, amoxicillin/asam klvulanat, klindamisin
atau eritromisin diberikan selama 10 hari. Tetapi apabila dalam 24 jam terapi tidak terjadi
perbaikan atau gejala semakin berat maka antibiotik harus diganti dengan antibiotik
intravena terutama ampisilin sulbaktam 50 mg/kgbb tiap 4 jam selama 7 hari.4,12
Standar terapi selulitis orbita stage II-V adalah dengan antibiotik intravena dan
diberikan dosis meningitis.4 Penggunaan antibiotik kombinasi lebih dianjurkan. Pilihan

14
antibiotik tergantung pengalaman senter masing-masing. Sefalosporin generasi ke-2 dan
ke-3 terutama cefotaxim dan ceftriaxon lebih dianjurkan jika diketauhi penyebab selulitis
orbita karena sinusitis dan diberikan selama 14 hari. Pilihan lain adalah golongan
imipenem. Bila diketauhi penyebab adalah trauma maka pemilihan antibiotik harus dapat
mengatasi kuman gram postif (vankomisin) dan gram negatif (imipenem). Metronidazol
dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan kuman anaerob atau apabila ditemui
komplikasi intrakranial.4,13 Stanford Guide to Antimicrobial Theraphy merekomendasikan
penggunaan Nafcillin, dikombinasikan dengan ceftriaxon dan metronidazol sedangkan
pada pasien yang alergi penisilin direkomendasikan penggunaan vankomisin
dikombinasikan dengan levofloxacin dan metronidazol. 2 Pada kasus telah terjadi
trombosis sinus kavernosus tatalaksana harus lebih agresif karena dapat menyebabkan
kehilangan fungsi penglihatan yang permanen, sequele neurologis, koma hingga
kematian. Pemberian antibiotik pada kasus trombosis sinus cavernosus dapat mencapai 4-
8 minggu.6 Penggunaan kortikosteroid dalam tatalaksana selulitis orbita masih
kontroversial, beberapa studi menunjukan pemakaian steroid intravena tidak memberikan
manfaat, baik terhadap kebutuhan tindakan pembedahan ataupun lama rawatan.14 Pada
kasus ini antibiotik yang digunakan saat ini adalah kombinasi vankomisin dengan
meropenem dosis meningitis dan metronidazol.
Intervensi bedah bertujuan untuk mengurangi tekanan intraorbita, drainase abses
dan kultur spesimen. Indikasi tindakan drainase pada abses orbita jika ditemukan :12
1. Stadium I atau II jika kondisi pasien memburuk dalam 24-48 jam setelah
pemberian antibiotik
2. Penurunan fungsi penglihatan
3. Peningkatan level proptosis dan oftalmoplegi
4. Terdapat abses pada tomografi komputer
Teknik pembedahan pada kasus abses orbita meliputi pendekatan eksterna dan
subkonjungtiva. Teknik terbaru menggunakan bedah endosopi transnasal yang
sebelumnya digunakan untuk drainase abses subperiosteal. Thakur JS, dkk menggunakan
pendekatan endoskopi transnasal untuk drainase abses retro-orbita yang gagal terapi
antibiotik pada 3 orang pasien, dan didapatkan perbaikan visus yang bermakna 72 jam
setelah drainase.15 Pada kasus ini memenuhi semua indikasi untuk dilakukan tindakan
drainase, namun karena lokasi abses berada pada daerah yang sulit yaitu diruang orbita,
dan memiliki resiko yang besar maka intervensi bedah belum dilakukan pada kasus ini.
Komplikasi tindakan pembedahan yang dapat terjadi antara lain seperti diplopia,

15
perdarahan intraorbita, kerusakan muskulus ekstraokuler dan keterbatasan gerak
ekstraokuler sehingga dibutuhkan operator yang benar-benar ahli dan berpengalaman. 5
Komplikasi selulitis orbita dapat bersifat lokal dan sistemik. Komplikasi okular
meliputi kerusakan kornea, retinitis, uveitis, perlengketan retina, neuropati optik,
endoftalmitis dan ruptur bolamata. Komplikasi sistemik berupa meningitis,abses
intrakranial, sepsis, kehilangan fungsi penglihatan permanen dan kematian. Umumnya
5
komplikasi okuler bersifat reversibel tapi pada beberapa kasus dapat bersifat ireversibel.
Penelitian Ho CF dkk, di China, dari 80 pasien selulitis orbita anak, penyembuhan
sempurna tanpa komplikasi didapatkan pada 71 kasus ( 89% ) dan 8 kasus (10%)
mengalami komplikasi berupa; infeksi intrakranial (5%), penumpukan abses (3%),
opthalmoplegia (3%), parut kornea (1%). Satu dari pasien yang mengalami infeksi
intrakranial meninggal karena septik syok dengan disseminated intravaskuler koagulopati
dan abses subdural
Tabel 1 Komplikasi selulitis orbita berdasarkan klaifikasi Chandler pada penelitian Ho 16

Prognosis pada pasien ini adalah dubia et malam, karena dengan pemberian
antibiotik kombinasi intravena respon terapi masih minimal, dan diperberat dengan tidak
dilakukanya tindakan drainase abses. Adanya gambaran abses yang kental pada tomografi
orbita juga merupakan faktor yang menyulitkan untuk kesembuhan pasien ini.

ANALISIS PICO
Judul : Clinical analysis of computed tomography-staged orbital cellulitis in
children
Problem : outcomes pada anak dengan cellulitis orbita.
Intervention : -
Comparation : Membandingkan efektivitas terapi dan komplikasi selulitis orbita
berdasarakan klasifikasi Chandler

16
Outcome : Delapan puluh sembilan persen anak dengan selulitis orbita mengalami
penyembuhan sempuran, 63% sembuh hanya dengan terapi konservatif
dan 26% membutuhkan intervensi bedah, 10% mengalami komplikasi
berupa infeksi intrakranial, penumpukan abses, oftalmoplegi dan parut
kornea.

17

Anda mungkin juga menyukai