Anda di halaman 1dari 5

Patogenesis

Mekanisme tejadinya MDR-TB

Multidrug-resistant Tuberculosis yang terjadi merupakan Mycobacterium tuberculosis


yang resisten terhadap beberapa OAT khususnya Isoniazid (INH) dan Rifampisin dengan atau
tanpa OAT lainnya, teutama pada OAT lini pertama. Terdapat tiga jenis kasus resistensi OAT ini
yaitu:
 Resistensi primer, yang merupakan kasus resisten OAT pada pasien baru didiagnosis TB
yang sebelumnya tidak pernah mendapatkan OAT atau terdapat riwayat OAT yang kurang
dari satu bulan. Pasien ini terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis yang telah resisten
obat.
 Resistensi inisial, yaitu kasus resistensi OAT yang tidak diketahui pasti apakah sebelumnya
sudah mendapatkan riwayat pengobatan OAT atau belum.
 Resistensi sekunder, yaitu kasus resisten OAT yang didapat pasien selama mendapatkan
terapi OAT minimal satu bulan. Pada kasus ini, awalnya Mycobacterium tuberculosis masih
sensitif tehadap obat, tetapi selama perjalanan terapi timbul resistensi obat.
Resistensi merupakan keadaan kuman yang tidak sensitif lagi terhadap suatu obat
meskipun dalam dosis tinggi. Jadi resistensi sel mikoba adalah sifat tidak terganggunya
kehidupan sel mikroba terhadap anti mikroba, Sifat ini merupakan mekanisme alamiah kuman
untuk tetap bertahan hidup. Kuman resisten terjadi akibat perubahan genetik pada kuman secara
spontan atau mutasi kuman. Selain itu, resistensi kuman juga terjadi melalui proses adaptasi
progresif kuman sensitif, contohnya pasien dengan kaviti pada gambaran radiologisnya. OAT
akan sulit menembus dinding kaviti karena vaskularisasi kurang sehingga konsentrasi obat dalam
kaviti rendah. Hal ini menyebabkan basil secara bertahap akan beradaptasi dan terjadi resisten.
Secara mikobiologi, resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini membuat obat
tidak efektif lagi melawan basil mutan. Mutasi terjadi spontan dan berdiri sendiri menghasilkan
resistensi OAT. Umumnya, resistensi pada Mycobacterium tuberculosis melibatkan perubahan
genetik baik mutasi titik maupun delesi genetik pada gen di kromosom. Hanya satu mutasi titik
yang mengakibatkan substitusi asam amino dapat bertanggung jawab terhadap timbulnya fenotip
resistensi.
Mutasi-mutasi tersebut dapat disebabkan oleh perubahan nukleotida pada titik tertentu
(mutasi titik), hilangnya nukleotida baru pada satu titik (delesi mikro) atau pada fragmen besar
DNA (delesi makro). Mutasi dapat tejadi pada daerah pengkode, yang dapat menyebabkan
substitusi asam amino pada protein dengan ukuran normal atau menghasilkan protein yang lebih
pendek. Substitusi asam amino dengan sifat berbeda dapat menyebabkan protein kehilangan
aktivitas pengikatan. Selain terjadi pada daerah pengkode, mutasi juga dapat terjadi pada daerah
yang bertanggung jawab terhadap regulasi ekspresi OAT sasaran atau enzim pengaktivasi OAT,
misalnya saja pada promotor. Mutasi pada daerah promotor mengakibatkan transkripsi tidak
terjadi atau turun sehingga enzim tidak dapat atau hanya sedikit disintesis.

 Resistensi terhadap Isoniazid (INH)


Isoniazid (INH) merupakan anti tuberkulosis yang paling efektif baik untuk pengobatan
maupun untuk pencegahan penyakit TB, karena Mycobacterium tubeculosis sangat sensitif
tehadap Isoniazid ini. Namun galur resisten Isoniazid juga sering muncul yaitu dengan
frekuensi kurang lebih 90%. Resistensi tehadap Isoniazid ini disebabkan oleh mutasi pada
salah satu dari gen katG, inhA, atau ahpC.
Setelah masuk ke dalam sel, Isoniazid diubah menjadi bentuk aktifnya oleh enzim
katalase-peroksidase (KatG) yang dikode oleh gen katG. Diduga, Isoniazid yang aktif yaitu
berupa bentuk teksidasinya. Enzim katG merupakan satu-satunya enzim yang mengaktivasi
Isoniazid, oleh karena itu hilangnya aktivitas KatG akibat mutasi pada gen katG
mengakibatkan Mycbacterium tuberculosis resisten terhadap Isoniazid. Resistensi terhadap
Isoniazid yang paling banyak terjadi adalah akibat mutasi pada gen katG.
Isoniazid dalam bentuk aktif menghambat enzim enoil-ACP reduktase, yaitu InhA.
InhA merupakan enzim yang mengkatalisis tahap awal sintesis asam mikolat, yang dikode
oleh gen inhA. Reaksi yang dikatalisis oleh KatG terhadap Isoniazid diduga menghasilkan
spesi elektrofil yang dapat bereaksi dengan molekul sasaran dalam sel Mycobacterium
seperti InhA. Penelitian dengan pendekatan stuktur menunjukkan bahwa Isoniazid(INH)-
aktif bereaksi dengan NAD(H), suatu kofaktor yang terikat pada InhA kemudian membentuk
ikatan kovalen INH-NAD. Kepekaan terhadap INH disebabkan karena penggabungan INH-
NAD sehingga menghambat aktivitas enzimatik InhA.
Mutasi gen yang juga dapat menyebabkan resistensi terhadap Isoniazid yaitu mutasi
pada gen ahpC, yang mengkode AhpC, suatu enzim alkil hidroperoksidase yang befungsi
sebagai komponen reduktase antioksidan. Jika gen katG termutasi maka ekspresi ahpC
meningkat untuk mengatasi hilangnya fungsi KatG. Mutasi yang bertanggung jawab terhadap
peningkatan ekspresi gen ahpC adalah pada daerah berukuan 105 pasangan basa yang
berlokasi di antara axyR-ahpC, yang biasanya terjadi pada frekuensi rendah berupa transisi
G-C menjadi A-T.

 Resistensi terhadap Rifampisin


Terjadinya resistensi terhadap Rifampisin juga seringkali terjadi, yang umumnya terjadi
akibat mutasi pada rpoB yang mengkode subunit β RNA polimerase, komponen penting
dalam poses transkripsi. Rifampisin terikat secara spesifik pada subunit β RNA polimerase
sehingga transkripsi terhambat. Berbagai mutasi pada gen rpoB telah diketahui bertanggung
jawab terhadap resistensi Rifampisin, terbanyak terjadi pada kodon 526 dan kodon 531.

 Resistensi terhadap Pirazinamid


Pirazinamid yang masuk ke dalam Mycobacterium tuberculosis akan diubah menjadi bentuk
aktif oleh enzim pirazinamidase (PZAase). Enzim PZAase akan dikode oleh gen pncA dan
mutasi pada gen pncA menyebabkan aktivitas PZAase hilang sehingga Mycobacterium
tuberculosis resisten terhadap Pirazinamid. Pada sejumlah isolat resisten PZA, ditemukan
mutasi berupa substitusi nukleotida, insersi, delesi, substitusi asam amino, atau pergeseran
kerangka baca, diantaranya yaitu pada kodon 118, insersi CG pada posisi 501, insersi CC
pada posisi 403, delesi 8 pb pada kodon start, kodon 54, insersi AG pada posisi 368, kodon
41, kodon 88, dan insesi A pada posisi 301.

 Resistensi terhadap Etambutol


Resistensi terhadap Etambutol berkaitan dengan mutasi yang terjadi pada gen embB
pengkode arabinosiltransferase yang terlibat dalam biosintesis arabinan, suatu komponen
arabinogalaktan pada dinding sel. Mutasi pada gen embB dapat menghambat polimerasi
dinding sel arabinan dan menyebabkan akumulasi karier lipid dekaprenol fosfoarabinosa.
Diduga bahwa obat mengganggu transfer arabinosa pada aseptor dinding sel. Isolat
Mycobacterium tuberculosis resisten paling umum mengalami mutasi pada gen embB pada
kodon 306 atau 406 dimana tejadi substitusi asam amino. Selain itu ada dilaporkan juga
adanya mutasi pada kodon 285, 330, dan 630.

 Resistensi terhadap Streptomisin


Resitensi terhadap Streptomisin disebabkan oleh mutasi yang diketahui berhubungan dengan
gen 16S rRNA (rrs) dan gen protein ribosom S12 (rpsL). Dan yang paling banyak yaitu
mutasi pada gen rpsL, dan umumnya terjadi pada kodon 43.

Resistensi terhadap lebih dari satu OAT pada Mycobacterium tuberculosis terjadi
akibat mutasi yang tidak saling bergantung (independent mutation) pada lebih dari satu gen
pengkode OAT dan atau gen pengkode enzim pengaktivasi prazat OAT. Mutasi yang terjadi
dapat berupa substitusi asam amino dengan perubahan sifat atau struktur asam amino,
perubahan kodon menjadi kodon stop sehingga enzim yang dihasilkan berukuran lebih
pendek, perubahan kerangka baca akibat hilangnya atau penambahan nukleotida tetentu.
Mutasi ini yang mengakibatkan potein target atau enzim pengaktivasi menjadi hilang
aktivitas enzimatiknya atau aktivitas pengikatnya.
Prognosis

Biasanya, kasus multidrug-resistant Tuberculosis (MDR-TB) dapat disembuhkan dengan


terapi OAT lini kedua dengan waktu perawatan yang cukup panjang. Namun terapi OAT lini
kedua ini memerlukan biaya yang lebih mahal daripada lini petama, dan memiliki efek samping
yang lebih besar pula. Kasus MDR-TB ini meupakan kasus yang cukup berbahaya, sehingga
tidak jarang perlakuan dan pognosisnya jauh lebih mirip dengan penyakit kanker daripada
dengan penyakit infeksi. MDR-TB ini memiliki angka kematian hingga 80%, yang tegantung
pada beberapa faktor, antara lain yaitu:
 Berapa banyak jenis obat (OAT) yang resisten terhadap Mycobacterium  semakin sedikit
obat yang resisten, semakin baik.
 Berapa banyak obat yang diberikan kepada pasien  pasien yang diobati dengan lima atau
lebih obat lebih baik.
 Apakah obat injeksi pernah diberikan atau tidak  obat injeksi harus diberikan setidaknya
pada dua bulan per tama pengobatan.
 Keahlian dan pengalaman petugas kesehatan yang bertanggung jawab  petugas kesehatan
harus yang telah terlatih.
 Bagaimana sikap koopeatif pasien terhadap pengobatannya sendiri  karena pengobatannya
yang cukup sulit dan panjang, maka membutuhkan ketekunan dan tekad dari pihak pasien itu
sendiri.
 Apakah pasien HIV positif atau tidak  karena koinfeksi HIV berkaitan dengan peningkatan
mortalitas pada pasien.

Sebagian besar penderita MDR-TB tidak mendapatkan pengobatan, karena mereka


cenderung memiliki faktor ekonomi yang rendah atau kemiskinan. Karena terapi lini kedua yang
membutuhkan biaya yang jauh lebih tinggi, maka sering menghalangi mereka yang tidak mampu
untuk berobat.

Anda mungkin juga menyukai