Anda di halaman 1dari 18

Penyebab Terjadinya Kolangitis Akut serta Tatalaksananya

Balqis binti baharudin

102014234

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Telp. 021-56942061

Pendahuluan

Kolangitis akut merupakan infeksi bakteri dari sistem duktus bilier yang bervariasi
tingkat keparahannya dari ringan dan dapat sembuh sendiri sampai berat dan dapat
mengancam nyawa. Pertama kali dikemukakan pada tahun 1877 oleh Charcot, ia
mempostulatkan bahwa penyakit ini berhubungan dengan proses patologi berupa obstruksi
bilier dan infeksi bakteri. Kolangitis merupakan salah satu komplikasi dari batu pada ductus
choledochus. Penyakit ini perlu diwaspadai karena insidensi batu empedu di Asia Tenggara
cukup tinggi, serta kecenderungan penyakit ini untuk terjadi pada pasien berusia lanjut, yang
biasanya memiliki penyakit penyerta yang lain yang dapat memperburuk kondisi dan
mempersulit terapi. Penting bagi dokter umum untuk mengetahui penyakit ini, agar dapat
menegakkan diagnosis secara tepat, melakukan penanganan pertama, memberikan penjelasan
yang baik kepada pasien, dan merujuk secara tepat. 3

Anamnesis

Anamnesis pada pasien harus dilakukan dengan lengkap. Hal ini bertujuan agar dapat
memperoleh keterangan sebanyak-banyaknya sehingga dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis. Anamnesis harus dilakukan berupa identitas pasien mencakup (nama, umur, jenis
kelamin), keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat
penyakit keluarga, riwayat penyakit sosial. Pada pasien yang mengalami gangguan pada
hepar dan saluran empedu dimana ditemukannya BAK seperti air teh pekat, maka anamnesis
yang harus diajukan, antara lain.1

1. Gejala yang dirasakan oleh pasien seperti nyeri (sejak kapan, lokasinya, menjalar atau
tidak, onset nyeri), mual atau muntah (frekuensinya, warna muntahan, disertai darah atau
tidak, jumlah muntahan, terasa asam atau tidak, disertai nyeri atau tidak), disertai demam

1
atau tidak, pernahkah teman atau kerabat mengamati adanya perubahan, apakah urin
pasien gelap, apakah tinja pasien pucat?1
2. Apa pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya? Apakah pasien pernah ikterus?
Adakah riwayat hematemesis atau melena? Adakah riwayat hepatitis sebelumnya? Jika
ya, didapat dari mana (misalnya transfusi darah, penggunaan obat intravena)?
Apakah pasien pernah menjalani transfusi darah?1
3. Apa di keluarga ada yang seperti ini juga? Sudah minum obat apa?Bagaimana hasilnya?
Obat apa yang sedang dikonsumsi pasien? Apakah pasien mengkonsumsi jamu? Apakah
pasien pernah mengkonsumsi obat ilegal, terutama intravena?1
4. Kebiasaan makan sehari-hari (suka makan yg berlemak-lemak tidak?).
5. Punya kebiasaan minum alkohol atau merokok? (minumnya sering atau jarang,
berapa banyak alkohol yang dikonsumsi).

Pemeriksaan Fisik

Sebagaimana sudah dibahas di atas, pasien kolangitis akut ditemukan secara kebetulan.
Bisa jadi pada saat menjalani pemeriksaan tahunan atau karena keluhan nyeri perut akibat
gangguan sakit lambung, seperti perut kembung, nyeri ulu hati, mual, sendawa, dan
dada panas. Akan tetapi, di saat lain pasien memang datang dengan keluhan dan tanda-tanda
yang berhubungan dengan kolangitis akut, seperti :2

a. Keadaan umum sakit berat


b. Kesadaran compos mentis
c. nyeri perut yang hebat (kolik bilier) di perut kanan atas
d. demam tinggi
e. sklera ikterik
f. nyeri dan muntah-muntah
g. nyeri tekan di perut kanan atas.2

Kulit kuning sebagaimana dialami oleh pasien merupakan pertanda bahwa di dalam
darah seseorang terjadi peningkatan kadar bilirubin. Bilirubin yang seharusnya diekskresi
melalui saluran empedu (duktus koledokus) terbendung di situ karena sumbatan batu. 2

Pemeriksaan Penunjang

2
Selain melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, tindakan diagnostik
khusus yang bermanfaat untuk mendeteksi penyakit kolangitis akut adalah pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan radiologi (USG abdomen, ERCP, MRCP).7

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium, apabila ditemukan beberapa kondisi seperti berikut:

- Pemeriksaan darah rutin: Leukositosis: Pada pasien dengan cholangitis, 79% memiliki
sel darah putih melebihi 10.000/mL, dangan angka rata-rata 13.600.
- SGOT dan SGPT biasanya sedikit meningkat.
- Kadar C-reactive protein dan LED pada umumnya meningkat.
- Peningkatan enzim hati yang menunjukkan kolestasis gamma GT dan alkali fosfatse
- Peningkatan enzim pankreas (amilase dan lipase) apabila batu menyumbat duktus
koledokus dan duktus pankreatikus
- Peningkatan bilirubin serum7

Pemeriksaan Radiologi

USG Abdomen

Merupakan sarana diagnosis pencitraan pilihan dan pemeriksaan rutin untuk


menilai penyakit batu empedu. Hati dan pankreas juga secara rutin dievaluasi. Sensitivitas
untuk mendeteksi batu kandung empedu lebih dari 96 %. Penemuan yang khas berupa fokus
ekogenik disertai bayangan akustik. Ultrasonografi juga akan menampakkan ketebalan
dinding, gas intramural dan pengumpulan cairan perikolesistik. Cairan perikolesistik dan gas
intramural sangat spesifik untuk kolesistitis akut. Dapat juga ditemukan lumpur bilier
yang biasa ditemukan pada obstruksi bilier ekstrahepatik. Adanya tanda Murphy sonografik
(rasa nyeri maksimum tepat di atas kandung empedu) juga khas pada kolesistitis akut.
Ultrasonografi dapat juga secara akurat mengidentifikasi pelebaran saluran empedu baik intra
dan ekstrahepatik, selain juga lesi parenkim hati atau pankreas. Batu di koledokus bisa juga
terlihat dengan ultrasonografi walau sensitivitas tidak lebih dari 50 %. Ketiadaan gambaran
sonografi batu pada duktus koledokus tidak menyingkirkan kemungkinan adanya batu
koledokus.7

3
Gambar 1. Ultrasonografi pada kandung empedu mendemonstrasikan adanya batu empedu (tanda panah). 5

Ultrasonografi-merupakan prosedur noninvasif tanpa penggunaan radiasi dan dapat


dibawa (portabel) sehingga memungkinkan pemeriksaan di samping tempat tidur pasien.
Modalitas ini dapat juga digunakan untuk menuntun biopsi jarum halus, kolangiografi
transhepatik perkutan, dan prosedur drainase bilier. Keterbatasan relatif ultrasonografi
meliputi ketergantungan ketelitian diagnosis pada keterampilan operator, pasien gemuk, dan
adanya gas di usus yang memberikan bayangan kurang baik.7

ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio-Pancreatography)

ERCP dilakukan bila diperlukan gambaran definitif sistem bilier dan saluran pankreas.
ERCP adalah suatu prosedur yang dilakukan dengan cara kolangiografi dan pankreatografi
langsung secara retrograd. Melalui kanulasi papila vateri, kontras disuntikkan ke dalam
saluran bilier atau pankreas. Indikasi utama ERCP adalah ikterus obstruktif, misalnya karena
batu empedu.7

4
Gambar 2. Menunjukkan endoscope Cholangiopancreotography (ERCP) dimana menunjukkan duktus biliaris yang
berdilatasi pada bagian tengah dan distal (dengan gambaran feeling defect)

MRCP (Magnetic Resonance Cholanguo-Pancreatography)

MRCP merupakan suatu adaptasi MRI dengan sensitivitas dan spesivitas lebih dari 90 %
untuk batu saluran empedu dibandingkan dengan ERCP. MRCP merupakan pilihan terbaik
apabila terdapat kecurigaan adanya batu di saluran empedu. Bila dicurigai kuat ada batu
koledokus, ERCP didahulukan karena bisa diikuti oleh ekstraksi batu perendoskopi.
Keuntungan MRCP di antaranya noninvasif dan tidak menggunakan bahan kontras.7

Working Diagnosis
Seorang wanita berusia 50 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri hebat yang
hilang timbul secara mendadak pada perut kanan atasnya dan menjalar hingga ke punggung
kanan sejak 6 jam yang lalu. Selain itu, sejak 5 hari yang lalu, pasien juga mengeluh demam
tinggi, tubuhnya berwarna kekuningan, dan tinjanya berwarna pucat seperti dempul.

Dari anamnesis, dapat diketahui umurnya yaitu wanita berusia 50 tahun dan mengeluh
nyeri hebat yang hilang timbul secara mendadak pada perut kanan atasnya dan menjalar
hingga ke punggung kanan sejak 6 jam yang lalu. Selain itu juga diketahui bahwa pasien juga
mengeluh demam tinggi, tubuhnya berwarna kekuningan, dan tinjanya berwarna pucat seperti
dempul.

Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum sakit berat, keasadaran compos mentis, suhu
38,70C, sklera ikterik, nyeri tekan abdomen regio hipokondrika dextra (+). Pada pemeriksaan
laboratorium, didapatkan kadar leukosit 15.000/uL, ALT 120 U/L, AST 130 U/L, bilirubin
total 4 mg/dL, GGT 54 U/L, alkali phosphatase 115 U/L.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, didapatkan bahwa


pasien wanita 50 tahun tersebut menderita kolangitis akut ec koledokolithiasis.

Kolangitis akut merupakan superimposa infeksi bakteri yang terjadi pada obstruksi
saluran bilier, terutama yang ditimbulkan oleh batu empedu, namun dapat pula ditimbulkan
oleh neoplasma ataupun striktur. Kolangitis akut merupakan sindrom klinis yang ditandai
dengan demam, sakit kuning, dan nyeri perut yang berkembang sebagai akibat dari
stasis/sumbatan dan infeksi di saluran empedu. Kolangitis pertama kali dijelaskan oleh
Charcot sebagai penyakit yang serius dan mengancam jiwa, namun sekarang diakui bahwa

5
keparahan dapat berkisar dari ringan sampai mengancam. Koledokolitiasis atau adanya batu
didalam saluran empedu/bilier merupakan penyebab utama kolangitis akut. Koledokolitiasis
adalah terdapatnya batu empedu di dalam saluran empedu yaitu di duktus koledokus
komunis.4,6

Istilah kolangitis akut, kolangitis bakterialis, kolangitis asending dan kolangiti supuratif
semuanya umumnya merujuk pada infeksi bacterial saluran bilier, serta untuk
membedakannya dari penyakit inflamasi saluran bilier seperti kolangitis sklerosis (sclerosing
cholangitis).4

Differential Diagnosis
Kolangiokarsinoma

Cholangiocarcinoma merupakan penyakit mematikan kedua setelah karsinoma


hepatoseluler. Pasien dengan intrahepaticcholangiocarcinomas (cholangiocellularcarcinoma)
mempunyai prognosis yang buruk pada tumor metastase awal. Penggunaan thorotrast (suatu
medium kontras yang dimasukan kedalam pembuluh darah) pada tahun sebelumnya menjadi
satu-satunya kemungkinan terapi. Kanker saluran empedu berbeda dengan kanker kantong
empedu. Kanker ini distribusinya sama pada pria dan wanita. Semua cholangiocarcinomas
pertumbuhannya lambat, infiltratif lokal, dan metastasenya lambat.6

Keganasan primer yang paling sering terjadi pada saluran empedu adalah
kolangikarsinoma. Kolangiokarsinoma adalah suatu keganasan dari sistem duktusbiliaris
yang berasal dari hati dan berakhir pada ampulla vateri. Jadi proses keganasan ini dapat
terjadi sepanjang system saluran biliaris, baik intrahepatik atau ekstrahepatik.6

Kolangiokarsinoma adalah tumor yang jarang terjadi dengan bentuk patologi dan
manifestasi klinis yang luas sehingga memberikan gambaran klinis dan radiologi yang
bermacam-macam. Penyakit ini merupakan jenis tumor hati terbanyak kedua di Indonesia
setelah karsinoma hepatoseluler. Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang-orang berusia
diatas 60 tahun dan lebih banyak terjadi pada pria. Tumor ganas ini biasanya tumbuh secara
perlahan dan lambat menyebar, sehingga pada saat diagnosis ditegakan banyak diantaranya
yang sudah terlalu parah untuk dilakukan tindakan operasi. Oleh karena itu peranan
pemeriksaan radiologi sebagai salah satu komponen penunjang diagnosis sangatlah penting.
Beberapa teknik yang seringdigunakan adalah kolangiografi, USG abdomen, CT-scan dan

6
ERCP. Dengan teknik pemeriksaan radiologi yang semakin berkembang, diharapkan
diagnosa untuk kolangiokarsinoma dapat ditegakkan secara dini, sehingga dapat
meningkatkan derajat keberhasilan terapi dan menurunkan angka mortalitas pada pasien-
pasien dengan kolangiokarsinoma.6

Kolangiokarsinoma adalah suatu tumor ganas dari epitelium duktus biliaris intrahepatik
atau ekstrahepatik. Tumor keras dan berwarna putih, dan sel-sel tumor mirip dengan epitel
saluran empedu. Lebih dari 90% kasus merupakan adenokarsinoma dan sisanya adalah tumor
sel squamosa .Sekitar 2/3 kolangiokarsinoma berlokasi di regio perihilar, dan ¼ lainnya
berlokasi di duktus ektrahepatikdan sisanya berlokasi di duktus intrahepatik.6

Gejala utama kolangiokarsinoma ekstrahepatik adalah obstruksi bilier yangmenyebabkan


terjadinya ikterus tanpa rasa nyeri. Kolangiokarsinoma intrahepatik paling sering muncul
sebagai massa intrahepatik yang menyebabkan nyeri pada kuadran kanan atas dan gejala yang
berkaitan dengan tumor seperti kakeksia dan malaise. Gejala kolangitis jarang terjadi jika
tidak dilakukan tindakan instrumental sebelumnya. Feces berwarna kuning dempul, urin
berwarna gelap, pruritus, rasa sakit pada perut kuadran kanan atas (abdomen) dengan rasa
sakit yang menjalar ke punggung dan penurunan berat badan.6

Abses Hati

Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi bakteri,
parasit, jamur maupun nekbrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang
ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus di dalam parenkim hati.6

Abses hati dibagi atas dua secara umum, yaitu abses hati amoeba dan abses hati
pyogenik. abses hati amoeba Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebgai
parasit non patogen dalam mulut dan usus, tapi hanya Enteremoeba histolytica yang dapat
menyebabkan penyakit. Terdapat penempelan E.hystolitica pada mukus usus, pengerusakan
sawar intestinal, lisis sel epitel intestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respons imun
cell- mediated yand disebabkan enzim atau toksin parasit, juga dapat karena penyakit
tuberkulosis, malnutrisi, keganasan dll. penyebaran ameba ke hati, penyebaran ameba dari
usus ke hati sebagian besar melalui vena porta. Terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal
yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu dan granuloma
diganti dengan jaringan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan
fibrosa. Sedangkan abses hati pyogenik adalah infeksi terutama disebabkan oleh kuman

7
gram negatif dan penyebab yang terbanyak adalah E.coli dapat terjadi melalui infeksi yang
berasal dari Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal, bisa menyebabkan
pielflebitis porta atau emboli septik. Saluran empedu merupakan sumber infeksi yang
tersering. Kolangitis septik dapat menyebabkan penyumbatan saluran empedu seperti juga
batu empedu, kanker, striktura saluran empedu ataupun anomali saluran empedu kongenital.
Infeksi langsung seperti luka penetrasi, fokus septik berdekatan seperti abses perinefrik,
kecelakaan lau lintas. Septisemia atau bakterimia akibat infeksi di tempat lain. Kriptogenik
tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada organ lanjut usia.6

Keluhan awal: demam/menggigil, nyeri abdomen, anokresia/malaise, mual/muntah,


penurunan berat badan, keringan malam, diare, demam (T > 38°), hepatomegali, nyeri tekan
kuadran kanan atas, ikterus, asites, serta sepsis yang menyebabkan kematian.6

Dicurigai adanya AHP apabila ditemukan sindrom klinis klisik berupa nyeri spontan
perut kanan atas, yang di tandai dengan jalan membungkuk kedepan dengan kedua tangan
diletakan di atasnya. Demam/panas tinggi merupakan keluhan yang paling utama, keluhan
lain yaitu nyeri pada kuadran kanan atas abdomen, dan disertai dengan keadaan syok.
Apabila AHP letaknya dekat digfragma, maka akan terjadi iritasi diagfragma sehingga terjadi
nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektesis, rasa mual dan muntah,
berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan yang unintentional.6

Epidemiologi

Batu empedu lebih banyak ditemukan pada wanita dan semakin bertambah seiring
meningkatnya usia. Prevalensi batu empedu bervariasi di berbagai negara dan di antara
kelompok ras yang berbeda pada satu negara. Faktor gaya hidup seperti diet,
obesitas, penurunan berat badan, dan aktivitas fisik yang rendah juga mempengaruhi insiden
batu empedu.2

Prevalensi batu empedu di dunia sekitar 20-35% dan resiko terjadinya kolangitis akut
simtomatik dilaporkan sekitar 0.2%. kolangitis akut dapat pula disebabkan adanya batu
primer di saluran bilier dan keganasan.3

Rasio pasien wanita berbanding pria sebesar 3:1 pada kelompok usia produktif
dan berkurang menjadi <2:1 pada usia di atas 70 tahun. Hal ini dikarenakan adanya estrogen
endogen yang menghambat konversi enzimatik kolesterol menjadi asam empedu sehingga

8
menambah saturasi kolesterol dalam cairan empedu. Kehamilan menambah risiko batu
empedu. Progesteron menyebabkan gangguan pengosongan kandung empedu dan bersama
estrogen meningkatkan litogenesis cairan empedu pada kehamilan. Pemberian estrogen
secara farmakologis juga menambah risiko pembentukan batu empedu.2

Pasien dengan ileitis luas atau riwayat reseksi ileum yang disertai gangguan sirkulasi
enterohepatik memiliki risiko tinggi pembentukan batu empedu karena hilangnya asam
empedu yang berlebihan.2

Faktor genetik juga terlibat pada pembentukan batu empedu, dibuktikan


dengan prevalensi batu empedu yang tersebar luas di antara berbagai bangsa dan ras tertentu.
Prevalensi paling mencolok ada pada suku Indian Pima di Amerika Utara (>75 %), Chili dan
Kaukasia di Amerika Serikat, lalu dilanjutkan penduduk Swedia, Jerman, dan Austria diikuti
oleh New Zealand, Inggris, Norwegia, Irlandia, serta Yunani. Prevalensi terendah ada pada
orang Asia di Singapura dan Thailand. Batu pigmen lebih umum di Asia dan Afrika.
Walaupun demikian, akhir-akhir ini insiden batu kolesterol meningkat di Asia dan Afrika,
terutama di Jepang ketika terjadi westernisasi pola diet dan gaya hidup.2

Etiologi

Kolangitis akut terjadi sebagai hasil dari obstruksi bilier saluran (kolestasis) dan
pertumbuhan bakteri dalam empedu (infeksi empedu). Kolangitis akut membutuhkan
kehadiran dua faktor : (1) obstruksi bilier dan (2) pertumbuhan bakteri dalam empedu (infeksi
empedu). Cairan empedu biasanya normal pada individu yang sehat dengan anatomi bilier
yang normal. Bakteri dapat menginfeksi sistem saluran bilier yang steril melalui ampula

9
vateri (karena adanya batu yang melewati ampula/passing stone), sfingterotomi atau
pemasangan sten (yang disebut kolangitis asending/ascending cholangitis) atau bacterial
portal, yaitu terjadinya translokasi bakteri melalui sinusoid-sinusoid hepatic dan celah disse
(Space of Disse). Bakterobilia tidak otomatis dengan sendirinya menyebabkan kolangitis
pada individu yang sehat karena efek bilasan mekanik aliran empedu, kandungan antibakteri
garam empedu, dan produksi IgA. Namun demikian, obstruksi bilier dapat mengakibatkan
kolangitis akut karena berkurangnya/ menurunnya aliran empedu (bile flow) dan produksi
IgA, menyebabkan gangguan fungsi sel kuffer dan rusaknya celah membrane sel (biliary tight
junction) menimbulkan refluks kolangiovena.8

Penyebab sering obstruksi bilier adalah choledocholithiasis, stenosis bilier jinak, striktur
anastomosis empedu, dan stenosis dengan penyakit ganas. Choledocholithiasis digunakan
untuk menjadi penyebab paling sering, tetapi baru-baru kejadian kolangitis akut yang
disebabkan oleh penyakit ganas, sclerosing cholangitis, dan instrumentasi non-bedah saluran
empedu telah meningkat. Hal ini melaporkan bahwa penyakit ganas sekitar 10-30%
menyebabkan kasus akut kolangitis.8

Pada negara-negara barat, Choledocholithiasis merupakan penyebab utama cholangitis


akut, diikuti oleh ERCP dan tumor.3

Batu saluran empedu merupakan predisposisi bagi cholangitis. Kira-kira 10-15% pasien
dengan cholecystitis memiliki choledocholithiasis, kira-kira 1% pasien pasca
cholecystectomy memiliki choledocholithiasis yang tersisa. Sebagian besar
choledocholithiasis bersifat simtomatik, sementara sebagian dapat bersifat asimtomatik
selama bertahun-tahun.2

Patofisiologis

Kolangitis akut terutama disebabkan oleh infeksi bakteri pada pasien dengan obstruksi
bilier. Organisme biasanya naik dari duodenum, penyebaran hematogen dari vena portal
adalah sumber yang jarang dari infeksi . Faktor predisposisi yang paling penting bagi
cholangitis akut adalah obstruksi bilier dan stasis. Penyebab paling umum dari obstruksi

10
bilier pada pasien dengan cholangitis akut tanpa saluran empedu stent adalah batu empedu
(28-70 persen), stenosis jinak (5-28 persen), dan keganasan (10-57 persen)1. Selain itu,
kolangitis akut adalah komplikasi umum penempatan stent untuk obstruksi bilier.5

Mekanisme masuknya bakteri pada saluran empedu


Bakteri dapat masuk ke saluran empedu ketika mekanisme penghalang normal
terganggu. Hal ini dapat mengakibatkan translokasi bakteri dari sistem portal atau duodenum
ke dalam pohon bilier. Mekanisme penghalang yang normal termasuk sfingter Oddi, yang
biasanya membentuk suatu penghalang mekanis yang efektif untuk duodenum refluks dan
naik infeksi bakteri. Selain itu, tindakan pembilasan kontinu empedu ditambah aktivitas
bakteriostatik garam empedu membantu menjaga sterilitas empedu. Sekretorik IgA dan lendir
empedu mungkin berfungsi sebagai faktor anti-kepatuhan, mencegah kolonisasi bakteri.5
Obstruksi bilier mempromosikan pembendungan empedu dan bakteri pertumbuhan dan
juga dapat membahayakan mekanisme pertahanan kekebalan tubuh inang. Karena anatomi
yang khas, sistem bilier kemungkinan akan terpengaruh terhadap tekanan intraductal tinggi.
Terjadinya bakteremia atau endotoksemia berkorelasi langsung dengan tekanan intrabiliari.
Meningkatnya tekanan intrabiliari akan menyebabkan peningkatan permeabilitas ductules
empedu, memungkinkan translokasi bakteri dan racun dari sirkulasi portal ke dalam saluran
empedu. Tekanan tinggi juga meningkatkan migrasi bakteri dari empedu ke dalam sirkulasi
sistemik, meningkatkan risiko septikemia. Selain itu, peningkatan tekanan bilier merugikan
mempengaruhi sejumlah mekanisme pertahanan tuan rumah termasuk : Sel Kupffer, Aliran
empedu , Produksi IgA.5
Bakteri duodenum dapat memasuki sistem empedu dalam konsentrasi tinggi ketika
mekanisme penghalang terganggu, seperti yang terjadi setelah sphincterotomy endoskopi,
bedah koledokus, atau penyisipan stent empedu. Kolangitis akut sering berkembang setelah
endoskopi atau manipulasi perkutan dengan lengkap drainase bilier atau sebagai komplikasi
akhir dari penyumbatan stent empedu.5
Namun, bakteri juga bisa lewat secara spontan melalui sfingter Oddi dalam jumlah kecil.
Kehadiran benda asing, seperti batu atau stent, kemudian dapat bertindak sebagai media
untuk kolonisasi bakteri. Empedu yang diambil dari pasien tanpa obstruksi steril atau hampir
steril. Sebagai perbandingan, sekitar 70 persen dari semua pasien dengan batu empedu
memiliki bukti bakteri dalam empedu. Pasien dengan batu empedu saluran memiliki
probabilitas lebih tinggi empedu budaya positif dibandingkan dengan batu empedu di
kandung empedu atau duktus sistikus.5

11
Bakteri juga dapat dikultur dari batu empedu. Dalam satu studi, misalnya, 80 persen batu
pigmen coklat adalah biakan positif, dan 84 persen menunjukkan pemindaian elektron bukti
mikroskopis struktur bakteri. Organisme yang khas yang terlihat pada kolangitis (enterococci
- 40 persen; Escherichia coli - 17 persen, Klebsiella spp - 10 persen), meskipun rasio
enterococci dan E. coli terbalik dari yang biasanya ditemukan dalam empedu yang terinfeksi.
Beberapa hal yang dapat meningkatkan patogenisitas dalam pengaturan ini meliputi :
- Pili eksternal dalam gram negatif Enterobacteriaceae, yang memfasilitasi keterikatan
pada permukaan asing, seperti batu atau stent.
- Sebuah matriks glycocalyx terdiri dari exopolysaccharides yang dihasilkan oleh bakteri
yang melindungi organisme dari mekanisme pertahanan tuan rumah dan dapat
menghalangi penetrasi antibiotik.5

Bacteriologi
Kultur empedu, batu duktus, dan diblokir stent empedu positif di lebih dari 90 persen
kasus cholangitis akut, menghasilkan pertumbuhan campuran bakteri gram negatif dan gram-
positif. Bakteri yang paling umum terisolasi adalah asal kolon :
- Escherichia coli adalah bakteri gram negatif utama terisolasi (25 sampai 50 persen),
diikuti oleh Klebsiella (15 sampai 20 persen) dan spesies Enterobacter (5 sampai 10
persen).
- Bakteri gram positif Yang paling umum adalah spesies Enterococcus (10 sampai 20
persen)
- Anaerob, seperti Bacteroides dan Clostridia, biasanya hadir sebagai bagian dari infeksi
campuran.5

Manifestasi Klinis

Diagnosis defenitif kolangitis akut memerlukan konfirmasi infeksi bilier sebagai sumber
gejala sakit sistemik, misalnya dengan aspirasi cairan bilier purulen pada ERCP. Namun
demikian, kolangitis akut biasanya didiagnosis secara klinis dengan adanya trias Charcod :
(1) demam dan / atau bukti inflamasi Tanggapan seperti peradangan, (2) penyakit kuning dan

12
Hasil tes fungsi hati yang abnormal seperti kolestasis, dan (3) riwayat penyakit empedu, nyeri
abnormal dan empedu dilatasi, atau bukti etiologi seperti manifestasi empedu. Ini dianggap
bahwa kasus-kasus ini memenuhi 3 kategori dapat didiagnosis sebagai cholangitis akut,
karena tidak adanya metode yang mudah untuk mendapatkan cairan empedu untuk
pemeriksaan dan kultur selain dengan aspirasi pada ERCP, pungsi perkutan dan pembedahan.
Suatu studi prospektif melaporkan hanya 22% pasien dengan cairan empedu purulen pada
operasi koledoktomi memenuhi criteria triad Charcot. Adanya tambahan syok septic dan
delirium (confusion) pada triad Charcot dikenal sebagai pentad Reynold.6

Morbiditas dari kolangitis akut dikaitkan dengan terjadinya cholangiovenous dan


cholangiolymphatic refluks bersama dengan tekanan tinggi di saluran empedu dan infeksi
empedu akibat obstruksi saluran empedu yang disebabkan oleh batu dan tumor. Kriteria
Diagnostik TG13 Akut Cholangitis kriteria untuk menegakkan diagnosis ketika kolestasis dan
peradangan berdasarkan tanda-tanda klinis atau tes darah di samping manifestasi empedu
berdasarkan pencitraan yang hadir.6

Pada pertemuan di Tokyo mendefinisikan kolangitis akut sebagai ringan (respon


terhadap terapi supportif dan antibiotic), sedang (tidak respon terhadap terapi medical namun
tidak ada disfungsi organ), atau berat (adanya paling tidak 1 tanda disfungsi organ). Tanda
tanda disfungsi organ meliputi hipotensi, sehingga memerlukan pemberian dobutamin atau
dopamine, delirium (confusion), rasio PaO2/FiO2 <300, kreatinin serum >1,5mg/dl, INR
>1.5 atau kadar trombosit <100000/μl.8

Banyak pasien yang datang dengan ascending cholangitis tidak memiliki gejala-gejala
klasik tersebut. Sebagian besar pasien mengeluhkan nyeri pada abdomen kuadran lateral atas;
namun sebagian pasien (misal: pasien lansia) terlalu sakit untuk melokalisasi sumber infeksi.
Gejala-gejala lain yang dapat terjadi meliputi: Jaundice, demam, menggigil dan kekakuan
(rigors), nyeri abdomen, pruritus, tinja yang acholis atau hypocholis, dan malaise.8

Komplikasi

Infeksi yang terjadi di dalam saluran empedu bisa saja menyebar ke hati dan menyebabkan
disfungsi pada organ tersebut. Selain itu, komplikasi lain yang mungkin saja terjadi akibat
cholangitis akut adalah :

13
- Cedera ginjal akut
- Disfungsi ginjal
- Disfungsi sistem pernapasan
- Disfungsi sistem kardiovaskular
- Disfungsi sistem saraf
- Disfungsi sistem hematologis
- Syok septik8

Penatalaksanaan

Pada semua pasien kolangitis akut, hidrasi agresif harus diberikan segera setelah akses
vena didapatkan untuk koreksi kekurangan volume/dehidrasi dan menormalkan tekanan
darah. Terapi kolangitis akut terdiri dari pemberian antibiotic dan drainase bilier. beratnya
kolangitis akut menetukan perlu tidaknya pasien dirawat di rumah sakit. bila klinis
penyakitnya ringan, dapat berobat jalan, teruma jika kolangitis akut ringan yang
kambuh/berulang (misalnya pada pasien dengan batu intrahepatik). Namun demikian
umumnya dokter menyarankan perawatan rumah sakit pada kasus kolangitis akut. kolangitis
ringan sampai sedang dapat ditatalaksana di ruangan umum, akan tetapi pada kolangitis berat
sebaiknya dirawat di ICU.8

Terapi Antibiotik

Terapi antibiotic intravena harus diberikan sesegera mungkin. Pedoman pemberian


antibiotic sebaiknya berdasarkan pola infeksi spesifik dan resistensi lokal rumah sakit.
Beberapa panduan (guidelines) menyarankan pada kolangitis akut ringan sebaiknya
pemberian jangka pendek 2-3 hari dengan sefalosporin generasi pertama atau kedua, penisilin
dan inhibitor β laktamase. sedangkan kolangitis sedang sampai berat sebaiknya pemberian
antibiotic minimal 5-7 hari dengan sefalosporin generasi ketiga atau keempat, nonbaktam
dengan atau tanpa metronidazol untuk kuman anaerob, atau karbapenem. Rekomendasi lain
(Jhon Hopskin) menyarankan regimen berikut pada pasien kolangitis akut ringan sampai
sedang atau community acquired: (misalnya Ampisilin sulbactam iv 3 gram setiap 6 jam, atau
ertepenem 1gram sekali sehari, atau ampisilin iv 2gram setiap 6jam plus gentamicin iv
1.7mg/kgbb setiap 8 jam atau golongan fluorokuinolon (misalnya siprofloksasin iv 400 mg

14
setiap 12 jam, levofloksasin iv 500mg sekali sehari, atau moxiflokasain iv atau oral 400mg
sekali sehari) ditambah metronidazol iv 500mg setiap 6-8 jam untuk bakteri anaerob. Untuk
pasien kolangitis akut berat atau nosokomial (hospital acquired), direkomendasikan
pemberian antibiotic sebagai berikut: piparisilin-tazobaktam (3.375gr iv stiap 6 jamatau 4.5
gr iv setiap 8 jam), stau 3.1 gr iv tikarsilin-klavulanat setiap 6 jam, atau tigesilin (100mg iv
bolus, diteruskan 50mg iv sekali sehari) atau sefalosporin generasi ketiga (misalnya
seftriakson 1-2gr sekali sehari atau cefepim 1-2 gr seiap 12 jam) dengan metronidazol iv
500mg setiap 6-8 jam untuk bakteri anaerob. Pada pasien yang resiko tinggi terkena pathogen
resistensi antibiotic dapat diberikan imipenem iv 500mg setiap 6jam, meropenem iv 1gr
setiap 8 jam atau doripenem iv 500mg setiap 8 jam. Pengecualian/exception terdapat pada
semua panduan, misalnya sefalosporin generasi pertama tidak mencakup infeksi enterococcus
spp. Walaupun cefazolin disetujui FDA untuk terapi kolangitis akut. karena itu pemilihan
terapi antibiotic sebaiknya berdasarkan sejumlah factor meliputi sensitivitas antibiotic,
beratnya penyakit, adanya disfungsi ginjal atau hati, riwayat pemakaian antibiotic
sebelumnya, pola resistensi kuman local dan penetrasi bilier dari antibiotic. Pilihan antibiotic
harus disesuaikan dengan hasil kultur darah dan cairan empedu begitu diperoleh, namun
pemberian antibotik tidak boleh terhambat/tertunda karena menunggu hasil kultur. Pada
akhirnya yang lebih penting dari pemilihan terapi antibitik adalah drainase bilier efektif,
karena adanya obstruksi menghambat ekskresi bilier antibiotic. pada suatu studi, dimana
pasien mendapat satu antibiotic (ceftazime, cefoperazone, imipenem,netilmisin atau
siprofloksasin), hanya siproflokasasin diekskresi kedalam sistem bilier yang obstruksi dan
hanya 20% dari konsentrasi serum.4

Drainase bilier
Drainase bilier biasanya diperlukan pada pasien kolangitis akut untuk menghilangkan
sumber infeksi dan juga karena obstruksi dapat menurunkan ekskresi bilier antibiotic.
beratnya penyakit menetukan dan menegaskan saatnya untuk dilakukan drainase. Drainase
dapat dilakukan secara elektif pada pasien kolangitis akut ringan, dalam 24-28 jam pada
apsien kolangitis sedang, dan segera (dalam beberapa jam) pada pasien kolangitis berat
karena tidak akan respon dengan pemberian antibiotic saja. Beratnya kolangitis ditentukan
oleh respon klinik terhadap terapi medical sebagaimana diuraikan dalam panduan Tokyo,
sehingga penggolangan derajat beratnya penyakit kolangitis akut menuntut observasi untuk
mengetahui pasien-pasien mana akan respons baik terhadap terapi. Pada suatu studi
didapatkaan bahwa sekitar 80% pasien kolangitis akut respon terhadap terapi medical saja

15
dan resolusi infeksi. namun semua pasien tersebut akhirnya memerlukan tindakan
pembersihan saluran bilier untuk mencegah kolangitis rekurens. Suatu studi dari hongkong
melakukan ERCP emergenci pada 225 pasien kolangitis. Frekwensi denyut jantung
>100x/menit, kadar albumin <30g/l, kadar bilirubin>50μmol/l dan masa protrombin > 14
detik pada saat masuk rumah sakit signifikan berkaitan dengan diperlukannya ERCP, serta
menunjukkan terapi endoskopi lebih aman dibandingkan pembedahan dalam tatalaksana
kolangitis akut, sehingga dekompresi surgical tidak mempunyai peranan dalam manegemen
kolangitis akut. Studi Lai dkk secara random mengalokasikan 82 pasien dengan kolangitis
akut berat kedalam 2 grup, endoskopi atau dekompresi bilier surgical, kelompok surgical
signifikan lebih banyak mengalami komplikasi dan mortalitas selama di rumah sakit
dibandingkan kelompok endoksopi (66% vs 34%, p >0.05 dan 32% vs 10% , p<0.03 secara
berurutan). Dengan demikian, pasien dengan kolangitis akut sebaiknya masuk dirawat
diruangan medical untuk terapi antibiotik intravena dan dekompresi endoskopi. dekompresi
bilier surgical sebaiknya dihindari pada pasien kolangitis akut. ERCP lebih jadi pilihan
dibandingkan PTBD (percutaneus biliary drainage) karena lebih tidah invasive, lebih aman,
dapat dilakukan bedside dan dapat membersihkan batu saluran empedu, tidak perlu koreksi
koagulopati dan dapat dilakukan tanpa paparan radiasi jika perlu ( pada pasien yang hamil).
Keberhasilan ERCP lebih tinggi dibandingkan PTBD untuk tatakasana obstruksi CBD,
namun PTBD dipertimbangkan pada obstruksi hilar, bila ahli endoskopi tidak ada/tersedia.
PTBD biasanya dilakukan pada apsien yang gagal dengan ERCP awal atau bila terdapat
anatomi yang abnormal akibat prosedur pembedahan sebelumnya seperti
koledokoyeyunostomi, kecuali bila ahli endsokopi utntuk tatalaksana pasien seperti itu ada.
Pasien dengan kolangitis akut dimana kontras tidak terdrainase setelah gagal ERCP dapat
memerlukan drainase bilier perkutan mendesak untuk menghindari perburukan sepsis.
Kolangitis akut yang terjadi stelah manipulasi saluran bilier merupakan faktor resiko
prognosis buruk pada kolangitis akut. Karena itu tidak direkomendasikan injeksi kontras
tanpa terlebih dahulu menempatkan guidwire kedalam sistem bilier. Pada umumnya pusat
endoskopi, keberhasilan ERCP untuk drainase bileir lebih dari 90%, jika tidak demikian
sebaiknya dirujuk pada unit/pusat layanan endoskopi yang lebih baik. EUS terbatas , bila
tersedia sebaiknya dilakukan sebelumnya untuk evaluasi dilatasi saluran bilier intrahepatik
dan ekstrahepatik, adanya batu, massa pancreas atau hilus atau batu kandung empedu.
Aspirasi jarum halus pada suatu massa sebaiknya dilakukan hanya jika pasien stabil dan tidak
memerlukan dekompresi bilier mendesak.4

16
Pengobatan Lain

Extracorporeal shock-wave lihotripsy (ESWL) pertama kali dipergunakan untuk


menghancurkan batu ginjal. Teknik ini telah dikembangkan untuk pengobatan batu empedu,
baik pada kandung empedu maupun pada saluran empedu. Pengobatan ini sering
dikombinasikan dengan prosedur endoskopik untuk memudahkan lewatnya batu yang telah
terfragmentasi atau pengobatan oral yang dapat melarutkan fragmen tersebut. Kadang kala,
batu dapat dilarutkan dengan mempergunakan berbagai bahan kimia yang dimasukkan
langsung pada saluran bilier.8

Prognosis

kolangitis akut menimbulkan masalah yang sangat serius karena penyebab dari
koledokolitiasis yang terjadi di dalam saluran empedu bisa saja menyebar ke hati dan
menyebabkan disfungsi pada organ tersebut.

Kesimpulan
Pasien-pasien dengan gejala nyeri abdomen kuadran kanan atas, jaundice dan demam
patut dicurigai menderita Cholangitis, terutama apabila mempunyai riwayat batu empedu.
Karena penyakit ini berhubungan dengan obstruksi saluran bilier. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan meliputi pemeriksaan darah rutin, fungsi hati (SGOT & SGPT), alkali fosfatase,
dan bilirubin serum, dan kultur bakteri dari sampel darah. Pemeriksaan Radiologi yang dapat
membantu adalah USG, ERCP dan MRCP. Penanganan pertama adalah antibiotik intravena
dan resusitasi cairan untuk stabilisasi pasien, kadangkala diperlukan dekompresi darurat pada
kasus-kasus berat. Pada pasien yang dapat distabilisasi dengan antibiotik dan cairan IV, terapi
elektif untuk dekompresi dapat dilakukan, kemudian terapi dapat dilakukan secara
endoskopik dengan PTC ataupun dengan pembedahan.

17
Daftar Pustaka

1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2011. h. 155.
2. Cahyono JBSB. Batu empedu. Yogyakarta: Penerbit Kanisius; 2012. h. 54.
3. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Biro Publikasi Fakultas
Kedokteran UKRIDA; 2016. h. 187-202.
4. Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA, Sjaifoellah. Buku ajar ilmu penyakit hati. Edisi
ke-1. Jakarta: CV Sagung Seto; 2012. h. 171-88.
5. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit: gangguan
hati, kandung empedu, dan pankreas. Edisi ke-6. Jakarta: 2011. h. 507-8.
6. Sylvia a. Price. (2006). Gangguan System Gastro Intestinal, dalam buku Patofiologi
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteranm EGC. Halaman 472-474
7. Patel PR. Lecture notes: radiologi. Edisi ke-2. Jakarta: Erlangga.; 2012. h. 140-1.
8. Fauzi A. Kolangitis Akut. Buku ajar Gastroenterohepatologi. Edisi-1. Interpublishing;
2011:579-90.

18

Anda mungkin juga menyukai