Anda di halaman 1dari 5

Oleh:

Danny Santoso / 20411020


Hadi /
Michael Christian /
Paulus /
Sabrina /
Tirta /

Kerusuhan poso
Ditinjau dari sila ke-2 Pancasila
Latar Belakang
Sudah sejak tahun 1997, Indonesia terkena Krismon (Krisis Moneter) dengan naik – turunnya
ekonomi dan politik yang tidak stabil dan mengakibatkan konflik nasional. Sejak pergantian orde baru
oleh B.J Habibie, diharapkan dapat menata sistem politik demokrasi yang baru.

Dalam kurun waktu tersebut, banyak sekali perpecahan yang terjadi di Indonesia, contohnya
konflik poso yang disinyalir menjadi konflik SARA, antara Kristen dan Islam. Peristiwa tersebut berawal
dari pemuda – pemuda yang bertikai dan berlarut-larut, sehingga mengakibatkan kerusuhan dengan
skala besar. Kepentingan politik, lokal dan militer juga mengakibatkan konflik sulit untuk diselesaikan.
Hal ini berimbas pada kematian, kehilangan harta benda, serta jatuhnya banyak korban jiwa.

Poso sendiri sebenarnya sudah mengalami konflik sebanyak tiga kali ( Walau faktanya, ada
beberapa kerusuhan lagi yang mengikuti ). Yakni 25 – 29 Desember 1998, 17 - 21 April 2000, dan 16 Mei
– 15 Juni 2000. Pengeboman dan aksi terorisme mengikuti konflik tersebut. Poso kini mulai berangsur
ansur kondusif, walaupun masih berbahaya.
Pembahasan
Penyebab terjadinya kerusuhan diakibatkan rasa ketidak adilan. Dahulu, poso mula mula damai
karena adanya keseimbangan di dalam kursi pemerintahan. Sebagai contoh, dahulu ketika bupatinya
berasal dari kalangan kristen, wakil bupatinya dicarikan dari islam. Begitu sebaliknya. Namun ketika
demokrasi dipaksakan, yang menang mengambil alih semua kekuasaan. Unsur unsur suku dan agama di
dalam konflik diawali oleh kejadian – kejadian berikut ini:

a) Pembacokan Ahmad Yahya oleh Roy tuntuh bisalembah didalam masjid pesantren Darusalam pada
bulan ramadhan.

b) Pemusnahan dan pengusiran terhadap suku – suku pendatang seperti bugis, jawa, dan gorontalo,
serta kaili pada kerusuhan ke III.

c) Pemaksaan agama kristen kepada masyarakat muslim di daerah pedalaman kabupaten terutama di
daerah tentena dusun III salena, sangira, toinase, Boe, dan meko yang memperkuat dugaan bahwa
kerusuhan ini merupakan gerakan kristenisasi secara paksa yang mengindikasikan keterlibatan Sinode
GKSD tentena.

d) Peneyerangan kelompok merah dengan bersandikan simbol – simbol perjuangan ke agamaan kristiani
pada kerusuhan ke III.

e) Pembakaran rumah – rumah penduduk muslim oleh kelompok merah pada kerusuhan III. Pada
kerusuhan ke I dan II terjadi aksi saling bakar ruamh penduduk antara pihak kristen dan islam.

f) Terjadi pembakaran rumah ibdah gereja dan masjid, sarana pendidikan ke dua belah pihak,
pembakaran rumah penduduk asli poso di lombogia, sayo, kasintuvu.

g) Adanya pengerah anggota pasukan merah yang berasal dari suku flores, toraja dan manado.

h) Adanya pelatihan militer kristen di desa kelei yang berlangsung 1 tahun 6 bulan sebelum meledak
kerusuhan III.

Berdasarkan sila kedua pancasila yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, maka
kejadian di poso ini bisa dianggap melanggar sila ke dua.

Hal ini dikarenakan menyalahi butir- butir pancasila:

 Kerusuhan di poso sudah melanggar butir pertama, karena tidak memperlakukan manusia
sebagaimana harkat dan martabatnya (Main hakim sendiri).

 Butir ke 2, karena sudah membeda-bedakan agama dan kepercayaan dalam konfliknya.


 Tidak mengembangkan sikap mencintai antar sesama manusia

 Tidak ada toleransi dan tenggang rasa.

 Semena – mena, main hakim sendiri.

 Tidak ada nilai kemanusiaan yang ditunjukkan oleh masyarakat.


Kesimpulan
Banyak hal yang harus kita pelajari dari kejadian kerusuhan di poso ini. Kebebasan ini justru
menggangu demokrasi dan memecah persatuan bangsa Indonesia. Agama seharusnya menjadi
pemersatu bangsa malah menjadi pemecah bangsa. Apalagi, agama dianggap sebagai “Yang paling
benar” dan merusuh / membuat kekacauan yang dibenarkan oleh agama. Dalam negara demokrasi,
seharusnya hukum berada di atas agama, supaya tetap terkontrol, tidak menjadi perpecahan berbau
SARA.

Masyarakat Indonesia memang tergolong “Mudah percaya”, sehingga paham “Chauvinisme”


sangat berkembang pesat. Chauvinisme artinya merasa bangsa / golongan / agamanya paling benar
tanpa mempertanyakan sikap bangsa / golongan / agamanya. Mereka tidak tahu bahwa kerusuhan itu
sebenarnya dilarang oleh agama, hukum dan melawan Hak Asasi Manusia.

Anda mungkin juga menyukai